Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Epistaksis merupakan masalah yang sangat lazim, sehingga tiap dokter
harus siap menangani kasus tersebut. Kunci menuju pengobatan yang tepat adalah
aplikasi tekanan pada pembuluh yang berdarah.
Epistaksis merupakan perdarahan hidung, bukanlah merupakan suatu
penyakit, melainkan sebagai gejala dari suatu kelainan. Perdarahan bisa ringan
sampai serius dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber
perdarahan biasanya berasal dari bagian depan atau bagian belakang hidung.
Epistaksis banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak-anak maupun pada usia
lanjut.
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya,
kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh
kelainan lokal pada hidung ataupun juga dapat disebabkan oleh kelainan sistemik.
Penyebab tersebut diantaranya trauma, infeksi, neoplasma, kelainan kongenital,
penyakit kardiovaskular, kelainan darah, infeksi sistemik, gangguan endokrin,
perubahan tekanan atmosfer.
Epistaksis anterior berasal dari pleksus Kiesselbach atau a.etmoidalis
anterior. Perdarahan biasanya ringan, mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.
Sedangkan epistaksis posterior umumnya berat sehingga sumber perdarahan
seringkali sulit dicari. Umumnya berasal dari a.sfenopalatina dan a.etmoidalis
posterior.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
III.1. Anatomi dan Fisiologi Hidung
Hidung terdiri dari hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar berbentuk
piramid, bagiannya (dari atas ke bawah) yaitu pangkal hidung (bridge), dorsum
nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela, lubang hidung (nares anterior).
Sedangkan bagian hidung dalam terdiri dari vestibulum dan cavum nasi. Tiap
kavum nasi memiliki 4 buah dinding yaitu :
-
medial adalah septum nasi yang dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yaitu
lamina prependikularis, vomer, krista nasalis os maksilla, krista nasalis os
Vaskularisasi
Bagian bawah hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris
interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang
keluar dari foramen sfenopalatina lalu memasuki rongga hidung di belakang
ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari
cabang-cabang a.fasialis.
Bagian atas rongga hidung mendapat vaskularisasi dari a.etmoid aanterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna.
Bagian depan septum, terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina,
a.etmoid anterior, a.labialis superior, a.palatina mayor (Pleksus Kiesselbach) .
mendapat
persarafan
sensoris
dari
nervus
maksila
melalui
ganglion
sfenopalatinum
Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion
ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis
dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan
sedikit diatas ujung posterior konkha media. Nervus Olfaktorius turun melalui
lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung.
Fisiologi
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
hidung dan sinus paranasal adalah :
1.
Fungsi
respirasi
untuk
mengatur
kondisi
udara,
penyaring
udara,
3.
Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses biacara
dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
4.
5.
Refleks nasal.
III.2. Epistaksis
III.2.1.Definisi
Merupakan perdarahan hidung, bukanlah merupakan suatu penyakit,
melainkan sebagai gejala dari suatu kelainan. Perdarahan bisa ringan sampai
serius dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber perdarahan
biasanya berasal dari bagian depan atau bagian belakang hidung.
1.
Epistaksis ringan biasanya berasal dari bagian anterior hidung, umumnya mudah
diatasi dan dapat berhenti sendiri.
2.
Epistaksis berat berasal dari bagian posterior hidung yang dapat menimbulkan
syok dan anemia serta dapat menyebabkan terjadinya iskemia serebri, insufisiensi
koroner dan infark miokard yang kalau tidak cepat ditolong dapat berakhir dengan
kematian. Pemberian infus dan transfusi darah serta pemasangan tampon atau
tindakan lainnya harus cepat dilakukan. Disamping itu epistaksis juga dapat
merupakan tanda adanya pertumbuhan suatu tumor baik ganas maupun jinak. Ini
juga memerlukan penatalaksanaan yang rinci dan terarah untuk menegakkan
diagnosis dan menentukan modalitas pengobatan yang terbaik.
III.2.2.Etiologi
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya,
kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh
kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya
trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing,
tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit
kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir,
kelainan hormonal dan kelainan kongenital.
Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau akibat trauma
yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu-lintas. Selain itu
juga bias terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya septum yang tajam.
Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang
berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan.
5
Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti
rhinitis atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rinitis jamur,
tuberculosis, lupus, sifilis, atau lepra.
Tumor
Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih
sering terjadi pada angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.
Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada
arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes mellitus dapat
menyebabkan epistaksis. Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi sering
kali hebat dan dapat berakibat fatal.
Kelainan darah
Kelainan
darah
penyebab
epistaksis
anatara
lain
leukemia,
Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah
teleangiektasis hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic teleangiectasis OslerRendu-Weber disease), juga sering terjadi pada Von Willenbrand disease.
Infeksi sistemik
Yang sering menyebabkan epistaksis adalah demam berdarah (dengue
hemorrhagic fever). Demam tifoid, influenza dan morbilli juga dapat disertai
epistaksis.
Perubahan udara dan tekanan atmosfir
Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang
cuacanya sangat dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zatzat kimia di tempat industry yang menyebabkan keringnya mukosa hidung
Gangguan hormonal
Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena
pengaruh perubahan hormonal.
Trauma lokal misalnya setelah membuang ingus dengan keras, mengorek hidung,
fraktur hidung atau trauma maksilofasia lainnya.
Tumor, baik tumor hidung maupun sinus yang jinak dan yang ganas. Tersering
adalah tumor pembuluh darah seperti angiofibroma dengan ciri perdarahan yang
hebat dan karsinoma nasofaring dengan ciri perdarahan berulang ringan
bercampur lendir atau ingus.
Idiopatik yang merupakan 85% kasus epistaksis, biasanya ringan dan berulang
pada anak dan remaja. Ketiga diatas ini merupakan penyebab lokal tersering.
Eiologi lainnya yaitu :
iritasi gas atau zat kimia yang merangsang ataupun udara panas pada
mukosa hidung;
Keadaan lingkungan yang sangat dingin
Tinggal di daerah yang tinggi atau perubahan tekanan atmosfir yang tiba
tiba
Pemakaian semprot hidung steroid jangka lama
Benda asing atau rinolit dengan keluhan epistaksi ringan unilateral clsertai
Ingus berbau busuk.
Etiologi sistemik
III.2.3.Epidemiologi
Epistaksis jarang ditemukan pada bayi, sering pada anak, agak jarang pada
orang dewasa muda, dan lebih banyak lagi pada orang dewasa tua. Epistaksis atau
perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum. Puncak kejadian
dari epistaksis didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu pada usia <10 tahun
dan >50 tahun. Epistaksis anterior lebih sering terjadi pada anak- anak dan dewasa
muda, sedangkan epistaksis posterior lebih sering terjadi pada usia lebih tua,
terutama pada laki- laki berusia 50 tahun dengan penyakit hipertensi dan
arteriosklerosis. Pasien yang menderita alergi, inflamasi hidung dan penyakit
hidung lebih rentan terhadap terjadinya epistaksis, karena mukosanya lebih kering
dan hiperemis yang disebabkan oleh reaksi inflamasi.
Kira- kira 10% dari penduduk dunia mempunyai riwayat hidung berdarah
beberapa kali dalam hidupnya. Sekitar 30% anak- anak umut 0-5 tahun, 56%
umur 6-10 tahun dan 64% berumur 11- 15 tahun mengalami satu kali epistaksis.
Sebagai tambahan, 56% orang dewasa dnegan perdarahan hidung berulang pernah
mengalami kejadian serupa pada saat kecil.
III.2.4.Sumber perdarahan
Sumber perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior rongga
hidung.
Epistaksis anterior
10
III.2.5.Patofisiologi
Rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang arteri maksilaris interna
yaitu arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung
mendapat perdarahan dari arteri fasialis. Bagian depan septum terdapat
anastomosis (gabungan) dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid
anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang disebut sebagai
pleksus kiesselbach (littles area).
Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah akan mengalir keluar
melalui dua jalan, yaitu lewat depan melalui lubang hidung, dan lewat belakang
masuk ke tenggorokan.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior
(belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung
dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior
umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa
perdarahan dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan
gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia
11
III.2.6.Diagnosis
Penegakkan diagnosis epistaksis memerlukan ketelitian dalam melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan tambahan
jika diperlukan
2.
Lokasi perdarahan
3.
4.
12
5.
Kecenderungan perdarahan
6.
Hipertensi
7.
Diabetes mellitus
8.
Penyakit hati
9.
Penggunaan antikoagulan
10.
11.
pemeriksaan
fisik
diawali
dengan
kesadaran,
tanda
vital,
Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum,mukosa hidung dan septum nasi, dindng lateral hidung dan
konkha inferior harus diperiksa dengan cermat
13
2.
Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien
dengan epistaksis dan secret hidung kronik untuk menyingkirkan
neoplasma
3.
4.
Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi
5.
III.2.6.Penatalaksanaan
Terdapat 3 prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu
menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi, dan mencegah berulang nya
epistaksis.
Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi,
pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu
misalnya dengan memasang infus. Jalan napas dapat tersumbat oleh darah atau
bekuan darah, perlu dibersihkan atau dihisap. Untuk dapat menghentikan
perdarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya dilihat apakah perdarahan dari
anterior atau posterior.
Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah
mengalir keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya lemah
sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus
diperhatikan jangan sampai darah masuk ke saluran napas bagian bawah. Pasien
anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan
tidak bergerak-gerak.
14
Bila dengan cara ini perdarahan masih berlangsung, maka perlu dilakukan
pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi
pelumas vaselin atau salep antibiotik. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah,
disusun dengan teratur dari dasar hingga atap hidung dan meluas hingga ke
seluruh panjang rongga hidung, serta harus dapat menekan asal perdarahan.
Tampon dipertahankan selama 2x24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah
15
infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilaukan pemeriksaan penunjang untuk mencari
faktor penyebab epistaksis. Bila perdarahan belum berhenti dipasang tampon baru.
16
17
Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma,
digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri,
dan tampon posterior terpasang di tengah-tengah nasofaring. Sebagai pengganti
tampon Bellocq, dapat digunakan kateter Folley dengan balon. Akhir-akhir ini
juga banyak tersedia tampon buatan pabrik dengan balon yang khusus untuk
hidung atau tampon dari bahan gel hemostatik. Dengan semakin meningkatnya
pemakaian endoskop, akhir-akhir ini juga dikembangkan teknik kauterisasi atau
ligasi a. sfenopalatina dengan panduan endoskop.
perlu dilakukan ligase arteri spesifik. Arteri tersebut antara lain arteri karotis
eksterna, arteri maksilaris interna dengan cabang terminusnya, arteri sfenopalatina
dan arteri etmoidalis posterior anterior.
III.2.7.Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau
sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis.
Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran
napas bagian bawah, nekrosis septum, aspirasim sinusitis, eksaserbasi dari sleep
obstructive apnea, hipoksia, syok, anemia, hipotensi, iskemia serebri, insufisiensi
18
koroner, sampai infark miokard dan hingga kematian. Dalam hal ini pemberian
infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya.
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu
diberikan antibiotik.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media,
septikemia atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan
antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon
harus dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru. Selain itu
dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba
Eustachius, dan air mata berdarah (bloody tears), akibat mengalirnya darah secara
retrograd melalui duktus nasolakrimalis. Pemasangan tampon posterior (tampon
Belloq) dapat menyebabkan laserasi palatum mole atau sudut bibir, jika benang
yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau
tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan
nekrosis mukosa hidung dan septum.
19
BAB III
STATUS PASIEN
II.1.
IDENTITAS PASIEN
Nama
Usia
Jenis Kelamin
Alamat
Pekerjaan
Agama
Status
: An.C
: 11 tahun
: Perempuan
: Mertoyudan
: Pelajar
: Islam
: Belum Menikah
II.2.
ANAMNESIS
Keluhan Utama
: mimisan
Pasien datang ke poli RST dr.Soedjono pada hari tanggal 25 Maret 2014 .
Pasien mengeluh mimisan yang keluar dari kedua lubang hidung sejak satu
hari yang lalu. Untuk mengelap darahnya kurang lebih 10 lembar tisu.
perdarahan tidak berlangsung terus menerus dan berhenti sendirinya
dengan memencet hidung. Pasien tidak merasa darah tertelan ke
tenggorokan.
Pasien memiliki kebiasaan mengorek ngorek hidung . Pasien
menyangkal mengeluarkan ingus dengan keras sebelum keluhan tersebut
muncul ataupun kemasukan benda asing ke dalam hidung. Pasien juga
tidak mengeluhkan adanya nyeri, demam, batuk , pilek, hidung sering
tersumbat sebelum keluhan tersebut muncul. Riwayat perdarahan pada
gusi atau perdarahan pada bagian tubuh lainnya disangkal oleh pasien.
Riwayat Pengobatan
20
Tanda Vital :
TD
110/70 mmHg
80 x/min
36.5oC
RR
22 x/min
Kepala : mesocephal
Wajah : simetris
21
TELINGA
Bagian Auricula
Dextra
Bentuk normal,
Sinistra
Bentuk normal
Auricula
fistula (-)
Bengkak (-)
fistula (-)
Bengkak (-)
hiperemis (-)
hiperemis (-)
Sekret (-)
Intak
Sekret (-)
Intak
putih mengkilat
putih mengkilat
Pre auricular
Retro auricular
Mastoid
CAE
Membran
timpani
Kanan
Normal
Nyeri tekan (-)
(-)
Rhinoskopi Anterior
Sekret
Mukosa
Kiri
Normal
Nyeri tekan (-)
(-)
Kanan
(-)
Kiri
(-)
hiperemis (+)
hiperemis (+)
edema (-)
edema (-)
basah (-)
basah (-)
Konka Media
pucat (-)
hipertrofi (-)
pucat (-)
hipertrofi (-)
Konka Inferior
hiperemis (-)
hipertrofi (-)
hiperemis (-)
hipertrofi (-)
Tumor
hiperemis (-)
(-)
hiperemis (-)
(-)
22
Septum
darah
Bekuan darah
Massa
Deviasi (-)
(-)
(+)
(-)
(-)
(-)
(-)
TENGGOROKAN
Lidah
Uvula
Tonsil
Ukuran
Permukaan
Warna
Kripte
Detritus
Faring
II.4. RINGKASAN
o Anamnesis
o Anamnesis
o Epistaksis (+), pada kedua lubang hidung, dapat berhenti sendiri
o
o
o
o
o
o
o
o
Darah Lengkap
CT/BT
23
Epistaksis anterior
Epistaksis posterior
Nonmedikamentosa
o Penekanan pada hidung selama 10-15 menit
o Membuang gumpalan darah dari hidung lalu tentukan lokasi
perdarahannya.
Medikamentosa
o Salep antibiotik : mopirocin 2% (0,5 g pada setiap lubang hidung
selama 5 hari)
II.9. EDUKASI
II.10. PROGNOSA:
Quo ad vitam
: dubia ad bonam
Quo ad sanam
: dubia ad bonam
Quo ad fungsionales
: dubia ad bonam
24
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang ke poli RST dr.Soedjono pada hari tanggal 25 Maret 2014 .
Pasien mengeluh mimisan yang keluar dari kedua lubang hidung sejak satu hari
yang lalu. Untuk mengelap darahnya kurang lebih 10 lembar tisu. perdarahan
tidak berlangsung terus menerus dan berhenti sendirinya dengan memencet
hidung. Pasien tidak merasa darah tertelan ke tenggorokan. Pasien memiliki
kebiasaan mengorek ngorek hidung . Pasien menyangkal mengeluarkan ingus
dengan keras sebelum keluhan tersebut muncul ataupun kemasukan benda asing
ke dalam hidung. Pasien juga tidak mengeluhkan adanya nyeri, demam, batuk ,
pilek, hidung sering tersumbat sebelum keluhan tersebut muncul. Riwayat
perdarahan pada gusi atau perdarahan pada bagian tubuh lainnya disangkal oleh
pasien.
Sebelumnya belum pernah seperti ini Hipertensi (+)penyakit kelainan
darah (-), riwayat trauma pada wajah/hidung (-), alergi (-). Tidak sedang
25
DAFTAR PUSTAKA
Efiaty A.S. dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Ed 6. Jakarta. 2007
Higler, B.A. Buku Ajar Penyakit THT Boies Ed.6. Jakarta
Moore,K.L.dkk. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta.2000
FKUI. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. FKUI. Jakarta.2007
ISO Indonesia Volume 43. Jakarta. 2008
26