You are on page 1of 26

PENDAHULUAN

Prevalensi penyakit kardiovaskular di Indonesia semakin hari semakin meningkat dari


tahun ketahun. Survey Kesehatan Runah Tangga Departemen Kesehatan RI tahun 1992
menunjukkan bahwa penyakit tersebut telah menempati urutan pertama dalam penyebab
kematian di Indonesia. Di Amerika Serikat,karena upaya masyarakat, pelayanan kesehatan
yang baik dan peranan dari pemerintah dalam menanggulangi penyakit kardiovaskular angka
kejadian penyakit tersebut menurun , namun masih merupakan penyebab utama kematian.
Dilaporkan bahwa setiap tahun terdapat 1,5 juta penderita infark miokard dan terjadi
kematian sejumlah 500.000 pasien pertahun. Ternyata 50 persen dari kematian tersebut justru
terjadi sebelum penderita sampai di rumah sakit,yang terjadi pada jam-jam pertama serangan
akibat komplikasi IMA terutama vibrilasi ventrikel (VF).
Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan suatu spektrum pasien- pasien yang
mengalami nyeri dada angina atau keluhan lain akibat ischemic miokard. Terdiri dari Angina
Pektoris Tidak Stabil (APTS), Infark Miokard ( Non Q atau Q wave Miokard Infark). Ketiga
keadaan tersebut merupakan keadaan kegawatan dalam kardiovaskuler yang memerlukan
tatalaksana yang baik untuk menghindari tejadinya suddent death.
Sebelum era fibrinolitik, infark miokardium dibagi menjadi Q-wave dan non Q-wave.
Pembagian ini berdasarkan evolusi gambaran EKG yang terjadi pada beberapa hari setelah
serangan. Infark miokardium tipe Q-wave menggambarkan adanya infark transmural,
sedangkan infark non Q-wave menggambarkan infark yang terjadi hanya pada lapisan
subendokardium. Pada saat ini, istilah yang dipakai adalah STEMI ( ST Elevation Myocard
Infarction ), NSTEMi ( Non ST Elevation Myocard Infarction ), dan angina pektoris tidak
stabil. Ketiganya mempunyai dasar patofisiologi yang sama, hanya berbeda derajat
keparahannya.

PEMBAHASAN

I. Definisi
Sindrom koroner akut adalah gabungan gejala klinik yang menandakan iskemia
miokard akut, yang terdiri dari infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST segment
elevation myocardial infarction = STEMI), infark miokard akut tanpa elevasi segmen
ST (non ST segment elevation myocardial infarction = NSTEMI), dan angina pectoris tidak
stabil (unstable angina pectoris = UAP). Ketiga kondisi tersebut berkaitan erat, hanya
berbeda dalam derajat beratnya iskemia dan luasnya jaringan miokardiaum yang mengalami
nekrosis. UAP dan

NSTEMI merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan

patofisiologi dan gambaran klinis. Perbedaan antara angina pectoris tidak stabil
(UAP) dengan infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) adalah apakah
iskemi

yang ditimbulkan cukup

berat

sehingga

dapat

menimbulkan

kerusakan

miokardium, sehingga adanya marker kerusakan miokardium dapat diperiksa.

II. Epidemiologi
Penelitian menunjukkan bahwa penderita yang simtomatis prognosisnya lebih
baik daripada yang penderita yang asimtomatis. Data saat ini menunjukkan bahwa bila
penderita asimtomatis atau dengan simtom ringan, kematian tahunan pada penderita dengan
pada satu dan dua pembuluh darah koroner adalah 1,5 % dan kira-kira 6 % untuk
lesi pada tiga pembuluh darah koroner. Jika pada golongan terakhir ini kemampuan
latihan (exercise capacity) penderita baik, kematian tahunan adalah 4 % dan bila ini
tidak baik kematian tahunannya kira-kira 9 %, karena itu penderita harus dipertimbangkan
untuk revaskularisasi.

III. Faktor Resiko


Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
1. Usia
Kerentanan yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Tetapi hubungan
antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan lama paparan yang
lebih panjang terhadap faktor-faktor aterogenik.

2. Jenis kelamin
Kejadian penyakit koroner relatif lebih rendah pada wanita sampai menopause,
setelah menopause kerentanannya menjadi sama dengan pria. Efek perlindungan
estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita sebelum menopause.

3. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner


Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (yaitu saudara atau
orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan
kemungkinan timbulnya aterosklerosis prematur. Komponen genetik dapat dikaitkan
pada beberapa bentuk aterosklerosis yang nyata, atau yang cepat perkembangannya,
seperti pada gangguan lipid familial. Tetapi riwayat keluarga dapat pula
mencerminkan komponen lingkungan yang kuat, seperti gaya hidup yang
menimbulkan stres atau obesitas.

Faktor resiko yang dapat dimodifikasi


1. Merokok
Merokok

dapat

merangsang

proses

aterosklerosis

karena

efek

langsung

terhadap dinding arteri. Karbon monoksida (CO) dapat menyebabkan hipoksia


jaringan arteri, nikotin

menyebabkan

mobilisasi

katekolamin

yang

dapat

menambahkan reaksi trombosit dan menyebabkan kerusakan pada dinding arteri,


sedangkan glikoprotein tembakau dapat mengakibatkan reaksi hipersensitif dinding
arteri.

2. Hiperlipidemia
Lipid plasma (kolesterol, trigliserida, fosfolipida, dan asam lemak bebas) berasal
dari makanan (eksogen) dan sintesis lemak endogen. Kolesterol dan trigliserida
adalah dua jenis lipd yang relatif mempunyai makna klinis yang penting
sehubungan dengan aterogenesis. Lipid terikat pada protein, karena lipid tidak larut
dalam plasma. Ikatan ini menghasilkan empat kelas utama lipoprotein, yaitu;
kilomikron, VLDL, LDL dan HDL. LDL paling tinggi kadar kolesterolnya,
sedangkan kilomikron dan VLDL kaya akan trigliserida. Kadar protein tertinggi
terdapat pada HDL. Peningkatan

kolesterol

LDL

dihubungkan

dengan

meningkatnya resiko penyakit jantung koroner, sementara kadar HDL yang tinggi

berperan sebagai faktor pelindung penyakit jantung koroner, sebaliknya kadar


HDL yang rendah ternyata bersifat aterogenik.

3. Hipertensi
Peningkatan

tekanan

darah

sistemik

meningkatkan

resistensi

terhadap

pemompaan darah dari ventrikel kiri, akibatnya beban kerja jantung bertambah.
Sebagai akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel untuk menguatkan kontraksi. Akan
tetapi

kemampuan ventrikel

hipertropi

untuk

mempertahankan

curah

jantung

dengan

kompensasi akhirnya terlampaui , tejadi dilatasi dan payah jantung.

Jantung jadi semakin terancam dengan adanya aterosklerosis koroner. Kebutuhan


oksigen

miokardium

meningkat sedangkan suplai oksigen tidak mencukupi,

akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa menjadi infark.


Disamping itu, hipertensi dapat meningkatkan kerusakan endotel pembuluh
darah akibat tekanan tinggi yang lama (endothelial injury).

4. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus menyebabkan gangguan lipoprotein. LDL dari sirkulasi akan
di bawa ke hepar. Pada penderita diabetes mellitus, degradasi LDL di hepar menurun,
dan gikolasi kolagen meningkat. Hal ini mengakibatkan meningkatnya LDL
yang berikatan dengan dinding vaskuler.

5. Obesitas
Kegemukan mungkin bukan faktor resiko yang berdiri sendiri, karena pada
umumnya selalu diikuti oleh faktor resiko lainnya.

Faktor Predisposisi
1. Hipertensi
Hipertensi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya rupturnya plak pada
pembuluh darah.
2. Anemia
Adanya anemia mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke jaringan, termasuk ke
jaringan jantung. Untuk memenuhi kebutuhan oksigen, jantung dipacu untuk

meningkatkan cardiac ouput. Hal ini mengakibatkan kebutuhan oksigen di


jantung meningkat.

Ketidakseimbangan

kebutuhan

dan

suplai

oksigen

mengakibatkan gangguan pada jantung.


3. Kerja fisik / olahraga
Pada aktivitas fisik yang meningkat, kebutuhan oksigen terhadap jaringan dan
miokardium meningkat. Adanya aterosklerosis mengakibatkan suplai oksigen
tidak mencukupi, akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa
terjadi infark.

IV.

Patogenesis
Mekanisme umum terjadinya SKA adalah ruptur atau erosi lapisan fibrotik dari plak
arteri koronaria. Hal ini mengawali terjadinya agregasi dan adhesi platelet,
trombosis terlokalisir, vasokonstriksi, dan embolisasi trombus distal.

Keberadaan

kandungan lipid yang banyak dan tipisnya lapisan fibrotik, menyebabkan tingginya
resiko

ruptur

plak

arteri koronaria.

Pembentukan

trombus

dan

terjadinya

vasokonstriksi yang disebabkan pelepasan serotonin dan tromboxan A2 oleh platelet


mengakibatkan iskemik miokardium yang disebabkan oleh penurunan aliran darah
koroner. Aterosklerosis adalah bentuk arteriosklerosis dimana terjadi penebalan dan
pengerasan dari dinding pembuluh darah yang disebabkan oleh akumulasi makrofag
yang berisi lemak sehingga menyebabkan terbentuknya lesi yang disebut plak.
Aterosklerosis bukan merupakan kelainan tunggal namun merupakan proses patologi
yang

dapat mempengaruhi

system

vaskuler

seluruh

tubuh

sehingga

dapat

menyebabkan sindroma iskemik yang bervariasi dalam manifestasi klinis dari tingkat
keparahan. Hal tersebut merupakan penyebab utama penyakit arteri koroner.

Oksidasi LDL merupakan langkah terpenting pada atherogenesis. Inflamasi


dengan stress oksidatif dan aktivasi makrofag adalah mekanisme primer. Diabetes
mellitus, merokok, dan hipertensi dihubungkan dengan peningkatan oksidasi LDL
yang dipengaruhi oleh peningkatan kadar angiotensin II melalui stimulasi reseptor AT-I.
Penyebab lain dapat berupapeningkatan C-reactive protein, peningkatan fibrinogen
serum,

resistensi

insulin,

stress oksidatif, infeksi dan penyakit periodontal. LDL

teroksidasi bersifat toksik terhadap sel endotel dan menyebabkan proliferasi sel otot
polos, aktivasi respon imun dan inflamasi. LDL teroksidasi masuk ke dalam tunika

intima dinding arteri kemudian difagosit oleh makrofag. Makrofag yang mengandung
oksi LDL disebut foam cell berakumulasi dalam jumlah yang signifikan maka akan
membentuk jejas fatty streak. Pembentukan lesi tersebut dapat ditemukan pada dinding
pembuluh darah sebagian orang termasuk anak-anak. Ketika terbentuk, fatty streak
memproduksi

radikal oksigen

toksik

yang

lebih

banyak

dan

mengakibatkan

perubahan inflamasi dan imunologis sehingga terjadi kerusakan yang lebih progresif.
Kemudian terjadi proliferasi sel otot polos, pembentukan kolagen dan pembentukan plak
fibrosa di atas sel otot polos tersebut. Proses tersebut diperantarai berbagai macam
sitokin inflamasi termasuk growth factor (TGF beta).

Plak fibrosa akan menonjol ke lumen pembuluh darah dan menyumbataliran darah
ysng lebih distal, terutama pada saat olahraga, sehingga timbul gejala klinis (angina atau
claudication intermitten).Banyak plak yang unstable (cenderung menjadi ruptur) tidak
menimbulkan gejala klinis sampai plak tersebut mengalami ruptur. Ruptur plak
terjadi akibat aktivasi reaksi inflamasi dari proteinase seperti metalloproteinase
matriks dan cathepsin sehingga menyebabkan perdarahan pada lesi. Plak atherosklerosis
dapat diklasifikasikan berdasarkan strukturnya yang memperlihatkan stabilitas dan
kerentanan terhadap ruptur. Plak yang menjadi ruptur merupakan plak kompleks. Plak
yang unstable dan cenderung menjadi rupture adalah plak yang intinya banyak
mengandung deposit LDL teroksidasi dan yang diliputi oleh fibrous caps yang tipis. Plak
yang robek (ulserasi atau rupture) terjadi karena

shear forces, inflamasi

dengan

pelepasan mediator inflamasi yang multiple, sekresi macrophage-derived degradative


enzyme dan apotosis sel pada tepi lesi. Ketika rupture, terjadi adhesi platelet
terhadap

jaringan

yang

terpajan,

inisiasi

kaskade

pembekuan

darah,

dan

pembentukan thrombus yang sangat cepat. Thrombus tersebut dapat langsung menyumbat
pembuluh darah sehingga terjadi iskemia dan infark.

gambar 1. proses pembentukan plaque dan trombus pada pembuluh darah koroner

V.

Patofisiologi
Proses progresifitas dari plak atherosklerotik dapat terjadi perlahan-lahan.
Namun, apabila terjadi obstruksi koroner tiba-tiba karena pembentukan thrombus
akibat plak aterosklerotik yang rupture atau mengalami ulserasi, maka terjadi sindrom
koroner akut.
1. Unstable angina : adalah akibat dari iskemi miokard reversibel dan dapat
mencetuskan terjadinya infark.
2. Infark miokard : terjadi apabila iskemia yang berkepanjangan menyebabkan
kerusakan ireversibel dari otot jantung

VI.

Diagnosis
Diagnosis angina pectoris tidak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemi
sedangkan tidak ada kenaikan troponin maupun CK-MB dengan ataupun tanpa
perubahan EKG untuk iskemi, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi
yang sebentar atau adanya gelombang T yang negatif. Karena kenaikan enzim
biasanya dalam waktu 12 jam, maka pada tahap awal serangan angina pectoris tidak
stabil seringkali tak bisa dibedakan dari NSTEMI.

1. Diagnosis dan Gambaran Klinis Angina Pektoris Tidak Stabil


Anamnesis merupakan hal yang sangat penting. Penderita yang datang
dengan keluhan utama nyeri dada atau nyeri ulu hati yang hebat, bukan disebabkan
oleh trauma, yangmengarah pada iskemia miokardium, pada laki-laki terutama

berusia > 35 tahun atau wanita terutama berusia > 40tahun, memerlukan perhatian
khusus dan evaluasi lebih lanjut tentang sifat, onset, lamanya, perubahan dengan
posisi, penekanan, pengaruh makanan, reaksi terhadap obat-obatan, dan adanya
faktor resiko. Wanita sering mengeluh nyeri dada atipik dan gejala tidak khas,
penderita diabetes mungkin tidak menunjukkan gejala khas karena gangguan
saraf otonom. Nyeri pada SKA bersifat seperti dihimpit benda berat, tercekik,
ditekan, diremas, ditikam, ditinju, dan rasa terbakar. Nyeri biasanya berlokasi di
blakang sternum, dibagian tengah atau dada kiri dan dapat menyebar keseluruh dada,
tidak dapat ditunjuk dengan satu jari. Nyeri dapat menjalar ke tengkuk, rahang,
bahu, punggung, lengan kiri atau kedua lengan. Lama nyeri > 20menit, tidak
hilang setelah 5 menit istirahat atau pemberian nitrat.
Keluhan pasien umumnya berupa :
a. Resting angina

: terjadi saat istirahat berlangsung > 20 menit

b. New onset angina : baru pertama kali timbul, saat aktivitas fisik sehari-hari,
aktifitas ringan/ istirahat
c. Increasing angina : sebelumnya usah terjadi, menjadi lebih lama, sering,
nyeri atau dicetuskan aktivitas lebih ringan.

Keluhan SKA dapat berupa rasa tidak enak atau nyeri di daerah epigastrium
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya dan dapat disertai gejala otonom sesak napas,
mual sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan
jasmani seringkali tidak ada yang khas.

Elektrokardiografi (ECG)
Pemeriksaan

ECG

sangat

penting

baik

untuk

diagnosis

maupun

stratifikasi risiko pasien angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang baru
menunjukan kemungkinan adanya iskemi atau NSTEMI. Perubahan gelombang
ST dan T yang nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang dari 0.5mm dan
gelombang T negatif kurang dari 2 mm, tidak spesifik untuk iskemi, dan dapat
disebabkan karena hal lain. Pada angina tak stabil 4% mempunyai EKG normal,
dan pada NSTEMI 1-6% ECG juga normal.

Exercise test
Pemeriksaan EKG tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak
stabil secara lansung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya
mitral insuffisiensi dan abnormalitas gerakan dinding reginal jantung, menandakan
prognosis kurang baik. Stress ekokardiografi juga dapat membantu menegakkan
adanya iskemi miokardium.

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima
sebagai petanda paling penting dalam diagnosis SKA. Menurut European
Society of Cardiology (ESC) dan ACC dianggap adanya mionekrosis bila troponin T
atau I positif dalam 24 jam. Troponin tetap positif sampai 2 minggu. Risiko kematian
bertambah dengan tingkat kenaikan troponin. CKMB kurang spesifik karena juga
ditemukan di otot skeletal, tapi berguna untuk diagnosis infark akut dan akan
meningkat dalam beberapa jam dan kembali normal dalam 48 jam.

2. Diagnosis dan Gambaran Klinis Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST


(NSTEMI)
Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala epigastrium
dengan ciri khas seperti diperas, diikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh,
berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada
NSTEMI. Analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan mereka memiliki
gejala dengan onset baru angina berat / terakselerasi memiliki prognosis lebih
baik berbanding dengan memiliki nyeri pada waktu istirahat. Gejala tidak khas
seperti dispneu, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri lengan, epigastrium, bahu
atas, atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar terutama pasien
lebih dari 65 tahun.

Elektrokardiogram (ECG)
Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan
hal penting yang menentukan risiko pada pasien. Pada Thrombolysis in
Myocardial Ischemia Trial (TIMI) III Registry, adanya depresi segmen ST baru
sebanyak 0.05mV merupakan predictor outcome yang buruk. Outocme yang buruk
meningkat secara progresif dengan memberatnya depresi segmen ST dan baik

depresi segmen ST maupun perubahan troponin T keduanya memberikan


tambahan informasi prognosis pasien-pasien dengan NSTEMI.

Biomarker Kerusakan Miokard


Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih
disukai, karena lebih spesifik berbanding enzim jantung seperti CK dan CKMB. Pada
pasien dengan IMA, peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam
dan dapat menetap sampai 3-4 minggu.

3. Diagnosis dan Gambaran Klinis Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST


(STEMI)
Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesa nyeri
dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST > 2mm, minimal pada dua
sadapan prekordial yang berdampingan atau > 1mm pada dua sadapan ektremitas.
Pmeriksaan

enzim

jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat

diagnosis, namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu


hasil

pemeriksaan

enzim, dalam mengingat tatalaksana IMA, prinsip utama

penatalaksanaan adalah time is muscle.

Anamnesis
Anamnesis yang cermat perlu dilakukan apakah nyeri dadanya berasal
dari jantung atau diluar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari
jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu
dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor
resiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta
riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.Pada hampir setengah kasus, terdapat
faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress emosi
atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari
atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah
bangun tidur.
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA.
Harus mampu mengenal nyeri dada angina dan mamapu membedakan dengan
nyeri dada lainnya, karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan
pasien IMA.

Sifat nyeri dada angina sebagai berikut :


a. Lokasi: substernal , retrosternal, dan prekordial.
b. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
sperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
c. Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,
gigi, punggung interskapular, perut dan dapat juga ke lengan kanan.
d. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat.
e. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan.
f. Gejala yang menyertai: mual muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas

dan lemas.
Gambar 2. pola nyeri pada pasien infark miokard akut

Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru,
diseksi aorta akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak
selalu ditemukan pada STEMI. STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada
diabetes melitus dan usia lanjut

Gambar 3. Diagnosis banding nyeri pada dada

Pemeriksaan Fisik
Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas
pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak
keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior
mempunyaimanifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipotensi) dan
hampir setengah pasien

infark

posterior

menunjukkan

hiperaktivitas

parasimpatis

(bradikardia dan/atau hipotensi). Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4
dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi
jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang
bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub.
Peningkatan suhu sampai 380 C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI .

Elektrokardiogram
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada
atau keluhan yang dicurigai STEMI dan harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak
kedatangan di UGD. PemEriksaan EKG menentukan keputusan terapi karena bukti
kuat menunjukkan

gambaran

elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien

yang

bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik
untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI,
EKG serial dengan interval 5-10menit atau pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinu
harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST.
Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi
kemungkinan infark pada ventrikel kanan.Sebagian besar pasien dengan presentasi awal
elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya
didiagnosa infark miokard gelombang Q, sebagian kecil menetap menjadi infark
miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat
sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen
ST dan biasanya megalami UA atau NSTEMI.
Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q
disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG
menunjukkan gelombang Q atau menghilangnya gelombang R dan infark miokard
nontransmural

jika

EKG

hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST atau

gelombang T. Namun tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi
infark (mural atau transmural) sehingga terminologi IMA gelombang Q atau non Q
menggantikan infark mural atau nontransmural

Gambar 4. ST-elevasi pada leads II, III dan aVF; ST depresi pada V1 - V4 gambaran
pada infak miokard akut inferior atau inferior AMI.

Gambar 5. ST-Elevasi pada gambaran anterior acute myocard infark

Petanda Kerusakan Jantung (Biomarkers)


Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase (CKMB) dan Cardiac Specific
Troponin (cTn)T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai
petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena

pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan
gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada
pemeriksaan biomarker.
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan
adanya nekrosis jantung (infark miokard)
a. CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. CKMB turut meningkat pada operasi
jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik.
b. cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark
miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi
setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu:
a. Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam.
b. Creatinine Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai punak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
c. Lactic Dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard,
mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.

Komplikasi STEMI
a. Disfungsi ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk, ukuran dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut
remodelling ventricular dan umumnya mendahului berkembangnya gagal jantung
secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark,
ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara akut hasil ini berasal dari ekspansi infark.
Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen non infark, mengakibatan penipisan yang
disproporsional dan elongasi zona

infark.

Pembesaran

ruang

jantung

secara

keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark dengan dilatasi
pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik
yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dengan prognosis yang buruk.

b. Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit karena
STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat
gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya.
Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi
jantung S3 dan S4 gallop. Pada roentgen sering dijumpai kongesti paru.

c. Syok kardiogenik
Hanya 10% pasien syok kardiogenik ditemukan saat masuk, sedangkan 90%
ditemukan selama perawatan. Biasanya pasien

yang berkembang menjadi syok

kardiogenik mempunayi penyakit arteri koroner multivessel.

d. Infark ventrikel kanan


Sekitar

sepertiga

pasien

dengan

infark

posteroposterior

menunjukkan

sekurangkurangnya nekrosis ventrikel kanan derajat ringan. Jarang pasien dengan


infark

terbatas primer pada ventrikel kanan. Infark ventrikel kanan secara klinis

menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat (distensi vena jugularis, tanda
Kussmauls, hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi. Elevasi segmen ST pada
sadapan EKG sisi kanan, terutama sadapan V4R sering dijumpai pada 24 jam pertama
pasien infark ventrikel kanan. Terapi terdiri dariekspansi
mempertahankan

preload

ventrikel

kanan

yang

adekuat

volume
dan

untuk

upaya untuk

meningkatkan tampilan dengan reduksi takanan arteri pulmonalis.

e. Aritmia pasien pasca STEMI


Insidens aritmia pasca infark lebih tinggi pada pasien segera setelah onset
gejala. Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf
autonom, gangguan elektrolit, iskemia dan penghambatan konduksi di zona iskemia
miokard.

f. Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadik yang tidak sering terjadi pada hampir semua
pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Penyekat beta efektif dalam mencegah
aktifitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI dan pencegahan fibrilasi ventrikel, dan
harus diberikan rutin
hipomagnesemia

kecuali

merupakan

konsentrasi kalium serum

terdapat

kontraindikasi.

Hipokalemia

dan

faktor risiko fibrilasi ventrikel pada pasien STEMI,


diupayan mencapai 4,5 mmol/liter dan magnesium 2

mmol/liter.

g. Takikardi dan fibrilasi ventrikel.


Dalam 24 jam pertama STEMI, takikardidan fibrilasi ventrikular dapat terjadi tanpa
tanda bahaya aritmia sebelumnya.

h. Komplikasi mekanik
Ruptur muskularpapilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding ventikel.
Penatalaksaan dengan operasi.

Prognosis STEMI
Terdapat beberapa sistem yang ada dalam menentukan pronosis pasien pasca IMA

VII.

Penatalaksanaan

1. Angina Pektoris Tidak Stabil (Unstable Angina)


Tindakan umum
Pasien perlu perawatan rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner,
dan diistirahatkan (bed rest), diberi obat penenang dan oksigen. Pemberian
morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada
walaupun sudah mendapat nitrogliserin.
Terapi Medikamentosa
a. Nitrat
Nitrat dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol
perifer, dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi
wall stress dan kebutuhan oksigen. Nitrat juga menambah oksigen suplai
dengan vasodilatasi pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral.
Yang ada di Indonesia terutama Isosorbit dinitrat, yang dapat diberikan secara
intravena dengan dosis 1-4mg/jam. Bila keluhan sudah terkendali infus dapat
diganti isosorbid dinitrat per oral.

b. Beta-blocker
Beta-blocker menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek
penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Meta-analisis dari 4700
pasien dengan UA menunjukkan penyekat beta dapat menurunkan resiko infark
sebesar 13% (p<0.04). Semua pasien UA harus diberi penyekat beta kecuali ada
kontraindikasi seperti asam bronkiale dan pasien dengan bradiaritmia. Beta-bloker
seperti propanolol, metoprolol, atenolol, telah diteliti pada pasien UA, yang
menunjukkan effektivitas yang serupa.

c. Antagonis Kalsium
Antagonis

kalsium

dibagi

dalam

golongan

besar:

golongan

dihidropiridin seperti nifedipin dan golongan nondihidropiridin seperti diltiazem


dan verapamil. Kedua golongan ini dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan
menurunkan tekanan darah.Golongan dihidropiridin mempunyai efek vasodilatasi

lebih kuat dan penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit, dan
efek inotropik negatif juga lebih kecil. Verapamil dan diltiazem memperbaiki
survival dan mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner akut dan
fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang berkurang, pengurangan afterload
memberikan keuntungan pada golongan nondihidropiridin pada pasien SKE
dengan faal jantung normal. Pemakaian antagonis kalsium pada pasien yang
ada kontraindikasi dengan beta-bloker.

d. Aspirin
Banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi kematian
jantung dan mengurangi infark fatal pada pasien UA. Oleh karena itu aspirin
dianjurkan seumur hidup dengan dosis awal 160 mg per hari dan dosis selanjutnya
80-325 mg per hari.

e. Klopidogrel
Klopidogrel merupakan derivat tienopiridin, yang menghambat agregasi
platelet. Klopidogrel

juga

terbukti

dapat

mengurangi

strok,

infark dan

kematian kardiovaskular dan dianjurkan pada pasien yang tidak tahan aspirin.
AHA menganjurkan pemberian klopidogrel bersama aspirin paling sedikit 1 bulan
sampai 9 bulan. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg per hari dan selanjutnya 75 mg
per hari

f. Unfractionated Heparin
Heparin adalah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagai

rantai

polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagualn yang


berbeda-beda. Antitrombin III, bila

terikat

dengan

heparin,

akan

bekerja

menghambat trombin dan faktor Xa. Kelemahan heparin adalah efek terhadap
trombus yang kaya trombosit dan heparin dapat dirusak oleh platelet faktor 4.

g. Low Molekuler Weight Heparin (LMWH)


LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai polisakarida
heparin. Kebanyakan mengandung sakarida kurang dari 18 jam dan hanya
bekerja pada faktor Xa.LMWH di Indonesia adalah dalteparin, nadroparin dan
enoksaparin.

Stratifikasi Risiko
Pasien yang termasuk risiko rendah antara lain adalah :
a. pasien yang tidak pernah memiliki angina sebelumnya, dan sudah tidak ada
serangan
b. sebelumnya tidak memakai obat anti angina
c. ECG normal atau tak ada perubahan dari sebelumnya.
d. Enzim jantung tidak meningkat termasuk troponin dan biasanya usia lebih
muda.

Pasien yang termasuk dalam risiko sedang adalah :


a. Bila ada angina baru dan makin berat, didapatkan angina pada waktu istirahat
b. Laki-laki, usia >70 tahun, menderita diabetes melitus
c. Tidak ada perubahan ST segmen
d. Enzim jantung tidak meningkat.
Pasien yang termasuk dalam risiko tinggi adalah :
a. Angina berlansung lama atau angina pasca infark; sebelumnya mendapat
terapi yang intensif
b. Ditemukan hipotensi, diaforesis, edema paru atau rales pada pemeriksaan
fisik
c. Terdapat perubahan segmen ST yang baru
d. Didapatkan kenaikan troponin, keadaan hemodinamika tidak stabil.
Bila manifestasi iskemia kembali secara spontan atau pada waktu pemeriksaan,
maka pasien sebaiknya dilakukan angiografi. Bila pasien tetap stabil dan
termasuk risiko rendah maka terapi medikamentosa sudah mencukupi. Hanya
pasien dengan risiko tinggi yang membutuhkan tindakan invasif segera, dengan
kemungkinan tindakan revaskularisasi.

2. Infark miokard akut tanpa elevasi ST (NSTEMI)


Pasien NSTEMI harus istirahat di tempat tidur dengan pemantauan EKG untuk
deviasi semen T dan irama jantung. Empat komponen utama terapi yang harus
dipertimbangkan pada setiap pasien NSTEMI yaitu:

Terapi antiiskemia

Terapi antiplatelet/antikoagulan

Terapi invasif (kateterisasi dini/revaskularisasi)

Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS

Terapi antiiskemia
Terapi awal mencakup nitrat dan penyekat beta dapat diberikan untuk menghilangkan
nitrogliserin sublingual dan dapat dilanjutkan dengan intravena dan penyekat beta
oral antagonis kalsium nondihidropiridin diberikan pada pasien dengan iskemia
refrakter atau yang tidak toleran dengan obat penyekat beta.
a. Nitrat
Nitrat pertama kali diberikan sublingual atau spray bukal jika pasien
mengalami nyeri dada iskemia. Jika nyeri menetap setelah diberikan nitat
sublingual 3 kali dengan interval 5 menit, direkomendasi pemberian nitrogliserin
intravena (mulai 5-10ug/menit).

b. Penyekat Beta
Penyekat beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung 5060kali/menit. Antagonis kalsium yang mengurangi frekuensi jantung

seperti

diltiazem dan verapamil pada pasien dengan nyeri dada persisten.

c. Terapi antitrombotik
Oklusi trombus subtotal pada koroner mempunyai peran utama dalam
patogenesis NSTEMI

dan

keduanya

mulai

dari

agregasi

pembentukan thrombin-activated fibrin bertanggungjawab atas klot.

d. Terapi antiplatelet
Aspirin

platelet

dan

Peran penting aspirin adalah menghambat siklooksigenase-1 yang telah


dibuktikan dari penelitian klinis multipel dan beberapa meta-analisis, sehingga
aspirin menjadi tulang punggung dalam penatalaksanaaan UN/NSTEMI.
Klopidogrel
Thienopyridine ini memblok reseptor adenosine diphosphate P2Y12 pada
permukaan platelet

dan dengan demikian menginhibisi

aktivasi

platelet.

Penggunaanya pada UA/NSTEMI.


Klopidogrel sebaiknya diberikan pada pasien UA/NSTEMI dengan kondisi:

Direncanakan untuk mendapat pendekatan non-invasif dini

Diketahui memiliki kontraindikasi untuk operasi

Kateterisasi ditunda/ditangguhkan selama > 24-36jam.

e. Terapi antikoagulan

3. Infark Miokard Dengan ST Elevasi


Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri
dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan,
pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian

obat penunjang dan

tatalaksana komplikasi IMA.

3.1 Tatalaksana di Ruang Emergensi


Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup :

Mengurangi / menghilangkan nyeri dada

Identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera,

Triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit

Menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI

3.2 Tatalaksana Umum


1. Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri
<90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen
selama 6 jm pertama.

2. Nitrogliserin (NTG)
NTG sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0.4mg dan
dapat
diberikan samapai 3 dosis dngan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada,
NTG juga dapat menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen
miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau
pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dadaterus berlansung dapat diberikan NTG
intravena (iv). NTG juga diberikan untuk mengendalikan hipertensi atau edema
paru.Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik
<90mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan. Pasien
yang menggunakan phosphodiesterase-3 inhibitor sildanefil dalam 24 jam
karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.

3. Mengurangi/ Menghilangkan Nyeri Dada


Hal ini sanagat penting, karena nyeri dikaitkan dengan aktivitas simpatis
yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.

Morfin
Merupakan pilihan dalam nyeri dada STEMI. Diberikan dengan dosis 24mg dan dapat diulangi dengan interal 5-15 menit sampai dosis total 320mg.
Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pasien yang dicurigai STEMI dan efektif
pada spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit A2
dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325mg di ruangan
EMG. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.

Beta Blocker
Diberikan jika morfin tidak efekif. Regimen yang biasa diberikan adalah
metoprolol 5 mg setiap 1-5menit sampai total 3 dosis, dengan syarat
frekuensi jantung >60x/menit, tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR
<0.24detik dan ronki tidak lebih dari 10cm dari diafragma. Lima belas menit
setelah dosis IV terakhir

dilanjutkan dengan oral dengan dosis 50mg tiap 6 jam selama 48jam, dan
dilanjutkan 100mg setiap 12 jam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hamm, W. Christian. 2011. Acute Coronary Syndromes : Pathophysiology, Diagnosis


And Risk Stratification.
2. Hakam, P. Abdil. 2013. Acute Coronary Syndrome. Bagian Ilmu Penyakit Dalam.
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Rumah Sakit Hasan Sadikin. Bandung.
3. Hamm, W. Christian, Bassand, J. Pierre et all. 2011. Guidelines For The Management Of
Acute Coronary Syndromes In Patients Presenting Without Persistent ST-Segment
Elevation. Europian Society Of Cardiology.

You might also like