You are on page 1of 26

REFERAT

KARSINOMA NASOFARING

Disusun oleh :
Hanna Anggitya (2010730138)
DOKTER PEMBIMBING:
Dr. Hj. Fitriah Shebubakar, Sp.THT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT


RS.ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2015

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillah dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT karena dengan
rahmat dan karunia-Nya penyusun dapat menyelesaikan tugas referat ini dengan judul
Karsinoma Nasofaring.
Dimana referat ini merupakan prasyarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian THT.
Penyusun sangat menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna, baik mengenai materi
maupun teknik penyusunannya. Karena itu penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak sebagai perbaikan dari referat ini.
Pada kesempatan ini, penyusun ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
atas bimbingan, bantuan serta dukungan kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
pembuatan tugas ini.
Akhir kata, penyusun mengharapkan pembuatan tugas referat berjudul Karsinoma
Nasofaring ini dapat diterima dan bermanfaat bagi para pembaca.
Wassalamu alaikum Wr. Wb

Jakarta,

Juli 2015

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
Di Indonesia, karsinoma nasofaring ( KNF ) merupakan penyakit keganasan yang paling
sering ditemukan di bidang penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Dalam urutan 5 besar tumor
ganas dengan frekuensi tertinggi, ia menduduki tempat ke empat setelah kanker mulut rahim,
payudara dan kulit.
Namun penanggulangannya sampai saat ini masih merupakan masalah. Yang menjadi
masalah adalah keterlambatan pasien untuk datang berobat. Sebagian besar pasien datang berobat
ketika sudah dalam stadium yang lanjut, dimana tumor sudah meluas kejaringan sekitarnya. Hal
ini merupakan penyulit terbesar untuk mendapatkan hasil pengobatan yang sempurna.
Letak Nasofaring yang tersembunyi serta gejala dini yang tidak khas, inilah yang
mengakibatkan diagnosis sering terlambat yang menyebabkan tingginya angka kematian. Seperti
keganasan yang lain, penyebab penyakit ini belum dapat dipastikan, sehingga pencegahannya
sulit. Yang perlu ditekankan adalah usaha kearah diagnosis dini, yaitu dengan meningkatkan
kewaspadaan para dokter serta memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai penyakit
ini, supaya masyarakat mengetahui tanda-tanda stadium awal penyakit dan kemana mereka harus
pergi untuk mendapatkan pertolongan yang tepat dan cepat.
Gangguan pendengaran merupakan salah satu gejal dini dari penyakit ini, disamping
gejala dini lain yang berupa hidung buntu atau hidung keluar darah, tetapi gejala tersebut sering
tidak terpikirkan oleh dokter pemeriksa bahwa penyebanya adalah tumor ganas di Nasofaring,
sehingga baru di ketahui bila penyakit sudah dalam keadaan lanjut. Gangguan pengdengaran
kadang-kadang disertai juga keluhan rasa penuh di telinga , telinga berbunyi atau rasa nyeri di
telinga.
Banyak penulis mengatakan, bahwa lokalokasi permulaan tumbuh TGN, tersering di fosa
Rosemuller, sebab daerah tersebut merupakan daerah peralihan epitel. Dalam penyebarannya,
tumor dapat mendesak Tuba Eustachius serta mengganggu pergerakan otot Levator Palatini.,
yang berfungsi menbuka tuba, sehingga fungsi tuba tergangu dan mengakibatkan gangguan
pendengaran berupa menurunnya pendengaran tipe Konduksi yang bersifat Reversibel. Pada
stadium awal penyakit, pengobatan dengan penyinaran saja sudah dapat memberikan angka

penyembuhan yang cukup tinggi. Sedangkan pada stadium lanjut, diperlukan pengobatan
tambahan yang memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Pada beberapa tempat terbapat timbunan jaringan Limfosid. Timbunan jaringan/ Limfosid
yang terletak di bagian belakang atas Nasofaring, Disebut Tonsalia Faringea dari Luschka atau
lebih dikenal dengan Adenoid. Di sekitar tuba Eustachius timbunan jaringan Limfosid ini disebut
Tonsila Tubalis dari Gerlach.
Foramen Laserum terletak 1-2 senti meter tepat kranial dari fosa rosemullar, sehingga dengan
mudah tumor dapat meluas melalui foramen ini kedalam intrakanial

BAB II
ISI
ANATOMI NASOFARING
NASOFARING disebut juga Epifaring, Rinofaring. merupakan yang terletak dibelakang
rongga hidung, diatas Palatum Molle dan di bawah dasar tengkorak. Bentuknya sebagai kotak
yang tidak rata dan berdinding enam, dengan ukuran melintang 4 sentimeter, tinggi 4 sentimeter
dan ukuran depan belakang 2-3 sentimeter. Batas-batasnya :
-

Dinding depan : Koane

Dinding belakang : Merupakan dinding melengkung setinggi Vertebra Sevikalis I dan II.

Dinding atas : Merupakan dasar tengkorak.

Dinding bawah : Permukaan atas palatum molle.

Dinding samping : di bentuk oleh tulang maksila dan sfenoid.

Dinding samping ini berhubungan dengan ruang telinga tengah melalui tuba Eustachius.
Bagian tulang rawan dari tuba Eustachius menonjol diatas ostium tuba yang disebut Torus
Tubarius. Tepat di belakang Ostium Tuba. Terdapat cekungan kecil disebut Resesus Faringeus
atau lebih di kenal dengan fosa Rosenmuller; yang merupakan banyak penulis merupakan
lokalisasi permulaan tumbuhnya tumor ganas nasofaring. Tepi atas dari torus tubarius adalah
tempat meletaknya oto levator veli velatini; bila otot ini berkontraksi, maka setium tuba
meluasnya tumor, sehingga fungsinya untuk membuka ostium tuba juga terganggu. Dengan
radiasi, diharapkan tumor primer dinasofaring dapat kecil atau menghilang. Dengan demikian
pendengaran dapat menjadi lebih baik. Sebaliknya dengan radiasi dosis tinggi dan jangka waktu
lama, kemungkinan akan memperburuk pendengaran oleh karena dapat terjadi proses degenerasi
dan atropi dari koklea yang bersifat menetap, sehingga secara subjektif penderita masih mengeluh
pendengaran tetap menurun.
DEFINISI
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan
predileksi di fossa Rossenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana
epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa (Efiaty, 2001).
Tumor ganas nasofaring (karsinoma nasofaring) adalah sejenis kanker yang dapat
menyerang dan membahayakan jaringan yang sehat dan bagian-bagian organ di tubuh kita.
Nasofaring mengandung beberapa tipe jaringan, dan setiap jaringan mengandung beberapa tipe
sel. Dan kanker ini dapat berkembang pada tipe sel yang berbeda. Dengan mengetahui tipe yang
sel yang berbeda merupakan hal yang penting karena hal tersebut dapat menentukan tingkat
seriusnya jenis kanker dan tipe terapi yang akan digunakan (American Cancer Society dalam
Cancer.Net, 2008).
EPIDEMIOLOGI
Urutan tertinggi penderita karsinoma nasofaring adalah suku mongoloid yaitu 2500 kasus
baru pertahun. Diduga disebabkan karena mereka memakan makanan yang diawetkan dalam

musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamin. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal
146). Insidens karsinoma nasofaring yang tinggi ini dihubungkan dengan kebiasaan
makan, lingkungan dan virus Epstein-Barr (Sjamsuhidajat, 1997 hal 460).
Bila kita merujuk pada data statistik yang dikeluarkan oleh American Cancer Society
dalam Cancer.Net (2008) teercatat bahwa Kasus Karsinoma Nasofaring termasuk jarang
ditemukan di Amerika Serikat, yaitu sekitar 2000 orang yang terdiagnosa setiap tahunnya. Dalam
beberapa tahun terakhir, dan angka ini telah mengalami penurunan. Karsinoma nasofaring lebih
banyak ditemukan di belahan dunia lain seperti Asia dan Afirika Utara, misalnya saja China
bagian Selatan banyak kasus ditemukan untuk penyakit ini.
Ditemukan pula cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian Utara seperti Aljazair dan
Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska dan Tanah Hijau yang diduga penyebabnya adalah karena
mereka memakan makanan yang diawetkan dalam musim dingin dengan menggunakan bahan
pengawet nitrosamin.
Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya kanker nasofaring, sehingga
kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian Selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand,
Malaysia, Singapura dan Indonesia.
Sementara itu, Indonesia sebagai bagian dari Asia mencatat bahwa tumor ganas yang
paling banyak dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia adalah Karsinoma nasofaring,
dimana jenis tumor yang satu ini termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekwensi
tertinggi, sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama (Lutan & Soetjipto
dalam Asroel, 2002). Dan dalam Roezin dan Adham (2007) disebutkan bahwa hampir 60 %
tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring.
Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN Dr.Cipto
Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin
Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, 15 kasus setahun di
Denpasar dan 11 kasus di Padang dan Bukittinggi. Demikian pula angka-angka yang didapatkan
di Medan, Semarang, Surabaya dan lain-lain menunjukkan bahwa tumor ganas ini terdapat
merata di Indonesia. Dalam pengamatan dari pengujung poliklinik tumor THT RSCM, pasien
karsinoma nasofaring dari ras Cina relatif sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainnya.

CAUSA
Meskipun penyelidikan untuk mengetahui penyebab penyakit ini telah dilakukan di
berbagai negara dan telah memakan biaya yang tidak sedikit, namun sampai sekarang belum
berhasil. Dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan sehingga akhirnya disimpulkan
bahwa penyebab penyakit ini adalah multifaktor.
Faktor Penyebab
Kaitan antara suatu kuman yang di sebut sebagai virus Epstein-Barr. Virus Epstein-Barr
(EBV), juga disebut Human herpes virus 4 (HHV-4), adalah suatu virus dari keluarga herpes
(yang termasuk Virus herpes simpleks dan Cytomegalovirus),yang merupakan salah satu virusvirus paling umum di dalam manusia. Banyak orang yang terkena infeksi EBV, yang sering
asymptomatic tetapi biasanya penyakit akibat radang yang cepat menyebar. EBV dinamai
menurut Mikhael Epstein dan Yvonne Barr, yang bersama-sama dengan Bert Achong, memukan
virus tahun 1964.
EBV adalah suatu virus herpes yang replikat-replikat utamanya ada di beta-lymphocytes
tetapi juga ada di dalam sel epitelium kerongkongan dan saluran parotid. Penyebaran infeksi ini
biasanya melalui air liur, dan masa inkubasinya adalah empat-delapan minggu. Untuk infeksi
akut, antibodi heterophile yaitu dengan melekatkan eritrosit domba yang dihasilkan. Proses ini
merupakan dasar pembentukan perpaduan getah Monospot cepat Antibodi kepada antigen kapsid
viral (yaitu., VCA-IGG dan VCA-IgM) dihasilkan sedikit lebih cepat dari antobodi heterophile
dan lebih spesifik untuk infeksi EBV. Viral VCA-IgG sebelumnya ada untuk infeksi akut dan
penkembangan imunitas.
Epstein Barr Virus ditularkan secara per oral, umumnya ditularkan melalui saliva,
menginfeksi epitel nasofaring dan limfosit B. (16,17). Kegagalan imunitas spesifik EBV dapat
memberikan peran pada patogenesis tumor yang berkaitan dengan EBV dan juga pada penderita
immunodeficiencies tanpa manifestasi klinik.
Faktor Pencetus
Kaitan antara suatu kuman yang di sebut sebagai virus Epstein-Barr dan
1.

Zat Nitrosamin. Konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya
penyakit ini.. Didalam ikan asin terdapat nitrosamin yang ternyata merupakan

mediator penting. Nitrosamin juga ditemukan dalam ikan / makanan yang


diawetkan di Greenland . juga pada Quadid yaitu daging kambing yang
dikeringkan di tunisia, dan sayuran yang difermentasi ( asinan ) serta taoco di Cina
2.

Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat Karsinogen. Yaitu yang dapat
menyebabkan kanker, antara lain Benzopyrene, Benzoathracene ( sejenis
Hidrokarbon dalam arang batubara ), gas kimia, asap industri, asap kayu dan
beberapa Ekstrak tumbuhan- tumbuhan

Faktor Predisposisi
Virus tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan
suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama.
Untuk mengaktifkan virus ini di butuhkan suatu mediator. Sebagai contoh, kebiasaan
untuk mengkomsumsi ikan asin secara terus-menerus mulai dari masa kanak-kanak, merupakan
mediator utama yang mendiator yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga menimbulkan
Karsinoma Nasofaring.
Mediator yang dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring ialah :
1.

2. Keadaan sosial ekonomi yang rendah. Lingkungan dan kebiasaan hidup. Dikatakan bahwa
udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik ventilasinya di Cina, Indonesia
dan Kenya, meningkatnya jumlah kasus KNF. Di Hongkong, pembakaran dupa rumahrumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan KNF.

3.

Ras dan keturunan. Ras kulit putih jarang terkena penyakit ini.Di Asia terbanyak adalah
bangsa Cina, baik yang negara asalnya maupun yang perantauan. Ras melayu yaitu Malaysia
dan Indonesia termasuk yang agak banyak kena.

5.

Radang Kronis di daerah nasofaring. Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa


nasofaring menjadi lebih rentan terhadapa karsinogen lingkungan.

PATOFISIOLOGI
Terbukti juga infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal
ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita
karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein
tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di
dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa
karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan
dengan ditemukannya pada 50% serum penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan
EBNA-1 dijumpai di dalam serum semua pasien karsinoma nasofaring. Selain itu, dibuktikan
oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) dalam Rusdiana (2006) terhadap suku Indian asli bahwa
EBV DNA di dalam serum penderita karsinoma nasofaring dapat dipakai sebagai biomarker pada
karsinoma nasofaring primer. Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus EpsteinBarr juga dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini . Pada pasien
karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum
plasma. EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom virus.
Huang dalam penelitiannya, mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di dalam sel
penderita karsinoma nasofaring.
Implikasi kelainan siklus sel terhadap keganasan
Keganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu, pertama
pemendekan waktu siklus sel sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel yang diproduksi
dalam satuan waktu. Kedua, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan pada proses
apoptosis. Gangguan pada berbagai protoonkogen yang merangsang sel menjalani dan gen
penekan tumor (TSGs) yang menghambat penghentian proses siklus sel.
Ciri khas Anak remaja yang terjangkit penyakit radang Virus Epstein-Barr adalah sakit
tenggorokan, pelebaran buku limfa, demam, dan pelebaran tonsillar. Radang pada rongga
tenggorokan dan petechiae palatal temporer juga ada. Virus dapat melaksanakan banyak program
yang terpisah secara jelas dan ekspresi gen yang dapat tersebar luas yang digolongkan menjadi
siklus lisis atau siklus tersembunyi. Siklus tersembunyi atau infeksi produktif mengakibatkan
ekspresi yang sudah dijadwalkan sebelumnya akan terjadi sejumlah besar protein-protein viral

dimana sasaran terakhirnya akan menghasilkan virion-virion yang cepat menyebar. Secara
formal, tahap infeksi/peradangan ini tidak tak terelakkan dari terjadinya lisis dari sel tuan rumah
(host) ketika virion-virion EBV dihasilkan oleh pertunasan dari siklus sel. Siklus tersembunyi
yang terinfeksi (lysogenic) dimana program-program mereka tidak mengakibatkan produksi
virion-virion. Sangat dibatasi, himpunan terpisah dari protein-protein viral dihasilkan selama
infeksi siklus yang tersembunyi. Ini termasuk Epstein-Barr antigen nuklir (EBNA)-1, EBNA-2,
EBNA-3A, EBNA-3B, EBNA-3C, EBNA-LEADER protein (EBNA-LP) dan protein-protein
selaput tersembunyi (LMP)-1, LMP-2A dan LMP-2B dan Epstein-Barr menyandi RNAs
(EBERS). Sebagai tambahan, EBV mengkode untuk sedikitnya dua puluh microRNAs yang
dinyatakan di dalam studi-studi tentang sel. Dari studi ekspresi gen EBV yang terinfeksi secara
tersembunyi di dalam lini sel limfoma yang dibiakkan Burkitt, sedikitnya terdapat tiga program:
Hanya EBNA1 (group I)
EBNA1 + EBNA2 (group II)
Siklus protein-protein tersembunyi (group III).
Hal ini juga mendalilkan bahwa suatu program di mana semua ekspresi protein karena
virus ditutup. Saat EBV terinfeksi B-lymphocytes in vitro, lini sel limfoblastoid pada akhirnya
muncul yang membuat pertumbuhan yang tak tentu. Perubahan bentuk pertumbuhan lini sel ini
sebagai konsekuensi dari ekspresi protein viral. EBNA-2, EBNA-3C dan LMP-1 adalah penting
bagi perubahan bentuk selama EBNA-LP dan EBERs itu bukan. protein EBNA-1 adalah penting
bagi pemeliharaan virus genome. Didalilkan bahwa dalam hal untuk mengikuti infeksi alami
EBV, virus melaksanakan sebagian besar atau semua repertoire ekspresi program gen untuk
menetapkan suatu infeksi yang sebenarnya. Absennya imunitas host/tuan rumah, daur lisis
menghasilkan sejumlah virus untuk menginfeksi yang lain (kiranya) B-lymphocytes di dalam
program-program host. Program tersembunyi muncul lagi dan mematikan B-lymphocytes yang
terinfeksi untuk berkembang biak serta membawa sel-sel yang terinfeksi di lokasi-lokasi di mana
virus terdapat. Pada akhirnya, ketika imunitas host berkembang, virus tetap pada tuntutannya
untuk mematikan hampir semua (atau mungkin semua) gen, hanya adakalanya virus aktif untuk
menghasilkan virion-virion segar. Suatu keseimbangan pada akhirnya diserang antara pengaktifan
kembali virus dan virus host karena keseimbangan pada akhirnya diserang antara sel-sel yang
dilepaskan dan sel host aktif yang kebal viral mengaktifkan kembali ekspresi gen. Tempat-tempat
keberadaan EBV ada di sumsum tulang. Pasien-pasien yang positif EBV pasti mempunyai

sumsum tulang mereka sendiri yang digantikan dengan sumsum tulang penderita EBV-negative
dipastikan bahwa EBV-akan negative setelah pencangkokan EBV antigen tersembunyi
Semua protein-protein EBV nuklir dihasilkan oleh penyambung alternatif yang memulai
pencatatan oleh penyelenggara Cp atau Wp di yang ditinggalkan diakhir genom (di dalam
tatanama yang konvensional). Gen-gen itu dipesan oleh EBNA-LP/EBNA-2/EBNA-3A/EBNA3B/EBNA-3C/EBNA-1 dengan genome. Daerah Sandi inisiasi kodon dari EBNA-LP diciptakan
oleh sambungan catatan protein nuklir yang satu dengan yang lain. Kehadiran kodon inisiasi,
EBNA-2/EBNA-3A/EBNA-3B/EBNA-3C/EBNA-1 akan diekspresikan tetapi tergantung pada
gen-gen yang mana yang dipilih sebagai alternatif yang akan disambung ke dalam transcript.
EBNA-1 EBNA-1 mengikat protein untuk asal-muasal replikasi (oriP) di dalam genom yang
menengahi replikasi dan penyekatan episom selama divisi sel host. Ini berlaku hanya untuk
menyatakan kelompok I dari protein viral yang tersembunyi. EBNA-1 memproses alanina glisina
secara berulang-ulang yaitu untuk merusak pengolahan antigen dan MHC kelas I- yang
membatasi keberadaan antigen yang akan menghambat sel-T sitotoksik CD8-yang dibatasi untuk
melawan sel-sel virus yang sudah terinfeksi.
EBNA-1 pada awalnya dikenali sebagai target antigen sera dari pasien-pasien radang
sendi rheumatoid (rheumatoid radang sendi yang dihubungkan dengan antigen nuklir; RANA).
EBNA-2,

EBNA-2 adalah transactivator viral utama, transkripsi alihan dari Wp

digunakan di awal-awal setelah menginfeksi Cp. Bersama-sama dengan EBNA-3C, itu juga
mengaktifkan LMP-1. Itu dikenal untuk mengikat protein host RBP-Jk dimana kunci dalam jalan
kecil Notch. EBNA-2 penting bagi perubahan bentuk pertumbuhan EBV-penengah.
EBNA-3A/EBNA-3B/EBNA-3C Gen-gen ini juga mengikat protein host RBP-Jk EBNA3C EBNA-3C adalah juga suatu ligase ubikuitin dan sudah ditunjukkan kepada siklus regulator
target sel seperti pRb LMP-1
LMP-1 adalah enam jengkal protein transmembran yang juga penting bagi perubahan
bentuk pertumbuhan EBV. LMP-1 berfungsi sebagai pemberian isyarat yang melalui jalan kecil
untuk nekrosis Tumor factor-alpha/CD40 LMP-2A/LMP-2B
LMP-2A/LMP-2B adalah protein transmembrane yang berlaku untuk menghalangi
pemberian isyarat kinase tirosina. Dipercaya bahwa mereka bertindak untuk menghalangi
pengaktifan siklus lisis viral. Tidak dikenali bilamana LMP-2B diperlukan untuk perubahan

bentuk pertumbuhan EBV, sementara kelompok-kelompok yang berbeda sudah melaporkan


bahwa LMP-2A sebagai alternatif tidak diperlukan untuk perubahan bentuk. EBER-1/EBER-2
EBER-1/EBER-2 adalah nuklir kecil RNAs dari suatu peran yang tak dikenal. Mereka
tidak diperlukan untuk perubahan bentuk pertumbuhan EBV miRNAs
EBV microRNAs disandikan oleh dua catatan, satu yang ditetapkan dalam gen BART dan
satu himpunan dekat cluster BHRF1.
Ketiga BHRF1 miRNAS dinyatakan selama jenis III yang tersembunyi secluster dengan
BART miRNAs (sampai dengan 20 miRNAs) dinyatakan selama jenis II yang tersembunyi
Fungsi-fungsi miRNAs ini sekarang ini tidak dikenal. Sel EBV yang peka rangsangan
Permukaan virus Epstein-Barr H glikoprotein (gH) adalah penting bagi penetrasi sel-sel B
tetapi juga berperan dalam pemasangan dari virus kepada sel epitelium. Di dalam percobaanpercobaan terhadap binatang di laboratorium tahun 2000, menunjukkan bahwa antara larangan
pertumbuhan RA-mediated dan promosi perkembang biakan LCL secara efisien dibalikkan oleh
sel yang peka rangsangan glukokortikoid (GR) musuh/anti RU486.
Virus Epstein-Barr dapat menyebabkan penyakit radang yang cepat menyebar, juga yang
dikenal sebagai 'demam hal kelenjar', 'Mono' dan 'penyakit Pfeiffer'. Penyakit akibat radang yang
cepat menyebar disebabkan bila seseorang pertama diunjukkan ke virus selama atau setelah masa
remaja. Meskipun demikian ketika dianggap "mencium penyakit," riset terbaru sudah
menunjukkan transmisi Mono tidak hanya terjadi dari pertukaran air liur saja, tetapi juga dari
kontak dengan virus yang sudah ada di udara. Sebagian besar ditemukan dalam perkembangan
dunia, dan ditemukan bahwa kebanyakan anak-anak di dunia yang sedang berkembang ini telah
terinfeksi ketika berusia 18 bulan. EBV antibody menguji pengerasan dimana hampir semua
positif. Di Amerika Serikat, perkiraan kasarnya mencapai hampir separuh dari orang yang berusia
5 tahun telah terinfeksi, dan hingga 95% dari orang dewasa yang berusia antara 35 dan 40 tahun.
Penyakit berbahaya EBV-yang dihubungkan Sebagai bukti kuat EBV dan formasi kanker
ditemukan di dalam limfoma Burkitt dan nasopharyngeal karsinoma. Ini sudah didalilkan sebagia
pemicu suatu subset dari sindrom kelelahan pasien yang kronis seperti juga sklerosis ganda dan
penyakit autoimmune lain.
Limfoma Burkitt adalah suatu jenis dari limfoma Nonhodgkin dan umumnya ada di
katulistiwa Afrika hal dan hidup sewaktu terjadinya malaria. Infeksi/peradangan malaria
menyebabkan pengawasan kebal dari sel-sel B EBV immortalized, yang membiarkan

perkembang biakan mereka. Perkembang biakan ini meningkatkan kesempatan mutasi terjadi.
Mutasi-mutasi diulangi dan dapat menjurus ke sel-sel B melepaskan kendali perkembangbiakan
sel tubuh, maka membiarkan sel-sel itu berkembang biak secara tidak terkendali, menghasilkan
pembentukan limfoma Burkitt. Limfoma. Burkitt biasanya mempengaruhi tulang rahang,
membentuk suatu tumor yang sangat besar yang menumpuk. Itu akan merespon dengan cepat
terhadap perawatan chemotherapi, yakni cyclophosphamide, tetapi umumnya kambuh.
Nasopharyngeal karsinoma adalah suatu kanker yang ditemukan di yang berhubung
pernapasan bagian atas, paling umumnya di dalam nasofaring, dan terhubung dengan virus EBV.
Itu ditemukan sebagian besar di selatan China dan Afrika, karena kedua-duanya adalah faktor
genetik dan faktor lingkungan. Umumnya terdapat pada orang-orang keturunan Cina (genetik),
tetapi adalah juga terdapat pada pola diet orang Cina dari yang mengkonsumsi ikan salad dalam
jumlah besar, yang mengandung nitrosamina-nitrosamina, yang merupakan penyebab kanker
terkenal
Pada keadaan fisiologis proses pertumbuhan, pembelahan, dan diferensiasi sel diatur oleh
gen yang disebut protoonkogen yang dapat berubah menjadi onkogen bila mengalami mutasi.
Onkogen dapat menyebabkan kanker karena memicu pertumbuhan dan pembelahan sel secara
patologis.
Implikasi kelainan siklus sel terhadap keganasan
Keganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu, pertama
pemendekan waktu siklus sel sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel yang diproduksi
dalam satuan waktu. Kedua, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan pada proses
apoptosis. Gangguan pada berbagai protoonkogen yang merangsang sel menjalani dan gen
penekan tumor (TSGs) yang menghambat penghentian proses siklus sel.

Terdapat 5 stadium pada karsinoma nasofaring yaitu:


1.

Stadium 0: sel-sel kanker masih berada dalam batas nasopharing, biasa disebut nasopharynx
in situ

2.

Stadium 1: Sel kanker menyebar di bagian nasopharing

3.

Stadium 2: Sel kanker sudah menyebar pada lebih dari nasopharing ke rongga hidung. Atau
dapat pula sudah menyebar di kelenjar getah bening pada salah satu sisi leher.

4.

Stadium 3: Kanker ini sudah menyerang pada kelenjar getah bening di semua sisi leher

5.

Stadium 4: kanker ini sudah menyebar di saraf dan tulang sekitar wajah.
Konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen dapat mengaktifkan

Virus Epstein Barr ( EBV). Ini akan menyebabkan terjadinya stimulasi pembelahan sel abnormal
yang tidak terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten (EBNA-1). Hal
inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada fossa
Rossenmuller.

GEJALA dan KOMPLIKASI


Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan yang
sedini mungkin memegang peranan penting untuk mengetahui gejala dini KNF dimana tumor
masih terbatas di rongga nasofaring.
Gejala telinga :
1. Kataralis/sumbatan tuba eutachius
Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan
pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini.
2. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga.
Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana
rongga teliga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak,
sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran.
Gejala nasofaring
1. Mimisan
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan
hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan
seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu. Harus diperiksa dengan
cermat karena sering tanpa gejala atau bahkan tumor tidak tampak pada creeping tumor.
2. Sumbatan hidung
Sumbutan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan
menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan
penciuman dan adanya ingus kental.
Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga
dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga
sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang.

GEJALA LANJUT
1. Pembesaran kelenjar limfe leher
Tidak semua benjolan leher menandakan pemyakit ini. Yang khas jika timbulnya di daerah
samping leher, 3-5 sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan
pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum sek tumor ke bagian tubuh yang
lebih jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, karenanya sering diabaikan oleh pasien.
Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di
bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan
gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang
mendorong pasien datang ke dokter.
2. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar.
Tumor dapat meluas ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah rongga tengkorak dan
kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan menyebabkan gejala akibat
kelumpuhan otak syaraf yang sering ditemukan ialah penglihatan dobel (diplopia), rasa baal (mati
rasa) didaerah wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, nahu, leher dan gangguan
pendengaran serta gangguan penciuman.
3. Gangguan mata dan syaraf
Karena dekat dengan rongga tengkorak maka terjadi penjalaran melalui foramen laserum yang
akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI sehingga dijumpai diplopia, juling, eksoftalmus dan saraf
ke V berupa gangguan motorik dan sensorik. Karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke
IX, X, XI dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare yang sering disebut sindrom Jackson.
Jika seluruh saraf otak terkena disebut sindrom unialteral. Prognosis jelek bila sudah disertai
destruksi tulang tengkorak.
4. Metastasis ke kelenjar leher

Gejala akibat metastasis


Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang
letaknya jauh dari nasotoring, hal ini yang disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang,
hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk.
STADIUM
Stadium T = Tumor
Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC (1992).
T

= Tumor primer

T0 - Tidak tampak tumor.


T1 - Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dan lain-lain).
T2 - Tumor terdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas di dalam rongga
nasofaring .
T3 - Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring dsb).
T4 - Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau mengenai
saraf-saraf otak.
TX

Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.

= Nodule

Pembesaran kelenjar getah bening regional .

N0 - Tidak ada pembesaran.


N1 - Terdapat penbesaran tetapi homolateral dan masih dapat di gerakkan .
N2 - Terdapat pembesaran kontralateral/bilateral dan masih dapat di gerakkan .
N3 - Terdapat pembesaran , baik homolateral ,kontralateral ,maupun bilateral yang sudah
melekat pada jaringan sekitar .
M

= Metastasis

= Metastesis jauh

M0 - Tidak ada metastesis jauh.


M1 Terdapat Metastesis jauh .

Stadium I :

T1 dan N0 dan N0

Stadium II :

T2 dan N0 dan M0

Stadium III : T1/T2/T3 dan N1 dan M0 atau


T3 dan N0 dan M0
Stadium IV : T4 dan N0/N1 dan M0 atau
T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan M0 atau
T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1
PENATALAKSANAAN
Edukasi
Hindari makan ikan asin, penerangan tentang cara kebiasaan hidup yang salah, mengubah
cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang
berbahaya
Medika mentosa
Pemberian ajuvan kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil sedang
dikembangkan di Departemen THT FKUI dengan hasil sementara yang cukup
memuaskan. Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi
dengan epirubicin dan cis-patinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi
memberikan harapan kesembuhan lebih baik.
Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari
sebelum diberikan radiasi yang bersifat "radio- sensitizer" memperlihatkan hasil yang
memberi harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring.
Radikal
Sampai saaat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah radiasi,
karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang Bersifat radiosensitif. Radioterapi
dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau
dengan akselerator linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi ini ditujukan pada kanker

primer didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening
leher atas, bawah seerta klavikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan
sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar. Metode terapi,
dengan memasukkan sumber radiasi kedalam rongga nasofaring saat ini banyak
digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak
menimbulkan cidera yang serius pada jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini
diberikan pada kasus-kasus yang telah memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum
tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal.
Metode yang disebut sebagai IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy ) telah
digunakan dibeberapa negara maju. Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel
terdiri dari (1) RNA Ribose Nucleic Acid dan (2) DNA Desoxy Ribose Nucleic Acid
. DNA terutama terdapat paa khromosom ionizing radiation menghambat
metabolisme DNA dan menghentikan aktifitas enzim nukleus. Akibatnya pada inti sel
terjadi khromatolisis dan plasma sel menjadi granuar serta timbul vakuola-vakuola yang
akhirnya berakibat sel akan mati dan menghilang.
Pada suatu keganasan ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium profase mitosis
merupakan stadium yang paling rentan terhadap radiasi. Daerah nasofaring

dan

sekitarnya yang meliputi fosa serebri media, koane dan daerah parafaring sepertiga leher
bagian atas. Daerah-daerah lainnya yang dilindungi dengan blok timah. Arah penyinaran
dri lateral kanan dan kiri, kecuali bila ada penyerangan kerongga hidung dan sinus
paranasal maka perlu penambahan lapangan radiasi dari depan.
Pada penderita dengan stadium yang masih terbataas (T1,T2), maka luas lapangan radiasi
harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai 4000 rad , terutama dari atas dan belakang
untuk menghindari bagian susunan saraf pusat. Dengan lapangan radiasi yang terbatas ini,
radiasi dilanjutkan sampai mencapai dosis seluruh antara 6000- 7000 rad . pada penderita
dengan stadium T3 dan T4, luas lapangan radiasi tetap dipertahankan sampai dosis 6000
rad. Lapangan diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi sampai sekitar 7000 rad.

Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila tidak ada
metastasis kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik dengan dosis
4000 rad, sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan dosis daerah
tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih.
Untuk menghindari gangguan penyinaran terhadap medullaspinalis, laring dan esofagus,
maka radiasi daerah leher dan supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah depan
dengan memakai blok timah didaerah leher tengah.
Syarat-sarat bagi penderita yang akan di radio terapi :
-

Keadaan umum baik

Hb> 10 g%

Leukosit > 3000/mm3

Trombosit > 90.000 mm3

Indikasi Radioterapi
-

Radikal : Tumor satadium permulaan yang belum infiltrasi ke jaringan sekitarnya dan
belum terdapat penyebaran

Paliatif : Tumor stadium lanjut : Mengurangi rasa nyeri dan keluhan

Post Operatif :
o Pada tumor brd/lymphatic field of drainage
o Untuk menghancurkan sel-sel ganas

Tujuan pre operatif terapi


-

Mencegah metastasis ke perifer

Mengecilkan volume tumor sehingga menjadi operable

Perdarahan berkurang karena vaskularisasi tumor berkurang

Tujuan post operasi


-

mengatasi sisa sel Ca

Efek radiasi terhadap beberapa jaringan


1. sistem pendengaran
Telah disebutkan terdahulu, bahwa tumor ganas nasofaring dapat menyebabkan
penurunan pendengaran tipe konduksi yang refersibel. Hal ini terjadi akibat pendesakan
tumor primer terhadap tuba Eustachius dan gangguan terhadap pergerakan otot levator
pelatini yang berfungsi untuk membuka tuba. Kedua hal diatas akan menyebabkan
terganggunya fungsi tuba.
Infiltrasi tumor melalui liang tuba Eustachius dan masuk kerongga telinga tengah
jarang sekali terjadi .Dengan radiasi, tumor akan mengecil atau menghilang dan
gangguan-gangguan diatas dapat pula berkurang atau menghilang, sehingga pendengaran
akan membaik kembali. Terlepas dari hal-hal diatas, radiasi sendiri dapat juga
menurunkan pendengaran, baik bertipe konduksi maupun persepsi.
Radiasi dapat menyebabkan penurunan pendengaran tipe konduksi, karena :
a. Terjadi dilatasi pembuluh darah mukosa disertai edema pada tuba Eustachius
yang mengakibatkan penutupan tuba.
b. Terjadi nekrosis tulang-tulang pendengaran (radionecrosis).
Perubahan konduksi setelah radiasi ini disebabkan 3 hal :
a. menempelnya sekret kental pada dinding lateral nasofaring.
b. Atresia dari muara tuba.
c. Fibrosis pada ruang fasia sekitar otot levator palatini.
Radiasi dengan cobalt-60 pada penderita tumor ganas nasofaring, dosis yang
digunakan sebesar 4.000-6.000 rad.didapatnya bahwa perubahan ambang pendengaran
tidak begitu besar. Peningkatan pendengaran rata-rata 10 desibel dan penurunan
pendengaran rata 14 desibel. Penurunan pendengaran yang bersifat konduksi yasng
disebabkan terjadinya radiation otitis media dan radionecrosis
Radiation otitis media ini terjadi karena ada gangguan dari fungsi tuba yang akan
menimbulkan efusi cairan pada rongga telinga tengah. Sedangkan Radionecrosis
ossiclesa disebabkan terjadinya perubahan veskuler berupa degenerasi dan
pembengkakan jaringan kolagen dan otot polos dinding pembuluh darah kecil yang
berakibat dinding pembuluh darah tersebut menyempit atau menutup lumen sehingga

terbentuk trombus yang akan mengganggu suplai darah melalui end arteri ke tulangtulang pendengaran.
Bila pada penderita dengan tuli persepsi dan ketulian ini bertambah berat, ini
disebabkan adanya penambahan komponen-komponen konduksi akibat dari terjadinya
problem ditelinga tengah karena radiasi. Pada umumnya gangguan persepsi baru terjadi
bila dosis radiasi yang tingi dan dalam waktu yang lama. Hal ini akibat terjadinya
perubahan-perubahan pada koklea. Sedangkan pada dosis yang rendah dikatakan bahwa
koklea relatif radioresisten.
2. Kulit
- Dermatitis akut : Terkelupasnya selaput lendir fibrinous, kulit hitam merah dan
edema. Epilasi permanen dengan dekstruksi epidermis, ulserasi, nyeri.
- Dermatitis Kronis : Kulit kering, hipertrofi/keratosis, veruka vulgaris. Ca Kulit.
- Late Dermatitis Accute effect : pigmintasi , atrofi, talengiektasi, ulserasi dan
epitelioma.
3. Sistem Hemopoetik dan darah
- Efek langsung pada sel darah / pada jaringan hemopoitik
- Urutan sensitifikasi : Limfosit ? granulosit ? trombosit ? eritrosit
4. Alat pencernaan
- Reaksi eritematus pada selaput lendir yang nyeri
- Disfagia
- Reaksi fibrinous pada selaput lendir dengan nyeri yang lebih hebat
- Nausea, muntah, diare, ulserasi dan perforasi (Dosis di tingkatkan)
5. Alat Kelamin
-

Sterilitas

Kelainan kelamin

Mutasi gen

6. Mata
-

Konjungtivitis dan keratitis

Katarak

7. Paru paru
-

Batuk dan nyeri dada

Sesak nafas, fibrosis paru

8. Tulang
-

Gangguan pembentukan tulang

Osteoporosis

Patah Tulang (dosis ditambah)

9. Syaraf
-

Urat saraf menjadi kurang sensitive terhadap stimulus

Mielitis

Degenerasi jaringan otak

10. Penyakit radiasi


-

Demam, Rasa lemah, Muntah dan diare, Nausea, Nyeri kepala, Gatal, Nafsu
makan menurun

PROGNOSIS
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk
oleh beberapa faktor, seperti :
- Stadium yang lebih lanjut.
- Usia lebih dari 40 tahun
- Laki-laki dari pada perempuan
- Ras Cina dari pada ras kulit putih
- Adanya pembesaran kelenjar leher
- Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
- Adanya metastasis jauh

PENUTUP
Karsinoma nasofaring banyak ditemukan di Indonesia. Diagnosis dini perlu
diperhatikan pada pasien dewasa yang sering mimisan, hidung tersumbat, keluhan kurang
dengar, salit kepala dan penglihatan dobel. Sebagai gejala lanjut ialah pembesaran kelenjar
limfe leher dan kelumpuhan saraf otak.
Pada stadium dini pengobatan yang diberikan ialah penyinaran, dan hasilnya baik.
Oleh karena itu diharapkan kesadaran masyarakat untuk segera berobat. Jika terdapat gejala
yang mencurigakan segeralah memeriksaan diri ke dokter.
Diagnosis dini harus secepatnya ditegakkan dengan biopsi serta pemeriksaan
patologi, supaya pengobatan tidak terlambat.
Diharapkan dengan meningkatkan penemuan kasus dini penangulangan terhadap
penyakit ini dapat diperbaiki. Sehingga angka kematian dapat ditekan.

DAFTAR PUSTAKA

Iskandar N, Munir M, Soetjiepto D. Tumor Ganas THT : Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 1989
Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Dalam : Bahaya Radiasi dan Pencegahan. Radiologi.
medlinux. bolgspot.com
Susworo. Dalam : Kanker Nasofaring Epidemologi dan Pengobatan Mutakhir. Cermin Dunia
Kedokteran. 2004 : 16-20
Adams L George, boies L, dkk. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6. Penerbit buku
kedokteran EGC. Jakarta 1997
Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung dan Tenggorokan
Roezin, Averdi ,dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi
keenam . Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta 2007.

You might also like