You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam pelaksanaannya penegakan hukum tidak selalu sesuai dengan apa yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan. Dengan perkembangan jaman yang semakin pesat
membuat banyak pergeseran dalam sistem sosial dalam masyarakat. Salah satunya perubahan
ekonomi yang semakin memburuk akibat dampak dari krisis global yang melanda hampir di
seluruh bagian dunia, tidak terkecuali di Negara Indonesia. Dengan tingginya tekanan
ekonomi yang menuntut setiap orang untuk memenuhi setiap kebutuhannya. Individu dalam
melaksanakan usaha guna memenuhi kebutuhannya, individu harus melakukan interaksi
diantara anggota masyarakat lainnya. Dalam berkehidupan di dalam masyarakat, setiap orang
tidak akan lepas dari adanya interaksi antara individu yang satu dengan individu yang lain.
Sebagai mahluk sosial, manusia tidak akan dapat hidup apabila tidak berinteraksi dengan
manusia yang lain. Dengan seringnya manusia melakukan interaksi satu sama lain, sehingga
dapat menimbulkan hubungan antara dua individu atau lebih yang bersifat negatif dapat
menimbulkan kerugian di salah satu pihak. Hal tersebut pada saat ini sering disebut dengan
tindak pidana.
Terjadinya suatu tindak pidana terdapat 2 (dua) pihak yang terlibat didalamnya, yaitu
Pelaku dan Korban. Bentuk atau macam dari suatu tindak pidana sangatlah banyak, misalnya
pembunuhan, perampokan, pencemaran nama baik, pencabulan, pemerkosaan, penggelapan,
pencurian serta masih banyak yang lainnya lagi. Tindak pidana pencurian sering terjadi dalam
masyarakat didorong oleh berbagai faktor. Menurut Kepala Polisi Daerah (Kapolda) Metro
Jaya pada Tahun 2008 kasus kejahatan tertinggi yang terjadi di Indonesia adalah kasus
Pencurian, baik pencurian kendaraan bermotor yang menduduki peringkat pertama dan
pencurian dengan kekerasan yang menempati urutan kedua. Kasus tindak pidana yang paling
sering muncul dalam masyarakat adalah pencurian. Menurut data Polda Metro Jaya bahwa
kejahatan yang terjadi dalam masyarakat setiap Tahunnya selalu tumbuh dan berkembang,

apalagi menurut KAPOLDA Metro Jaya, Wahyono bahwa dalam Tahun 2009 kemungkinan
angka kejahatan akan semakin tinggi dikarenakan dinamika dalam masyarakat semakin tinggi
dan angka pengangguran dalam masyarakat semakin banyak. Dengan kata lain semua
fenomena baik maupun buruk yang dapat menimbulkan kriminilitas diperhatikan dalam
meninjau dan menganalisa terjadinya suatu kejahatan. Namun tidak dapat dipungkiri selama
ini dalam menangani suatu peristiwa kejahatan perhatian tercurah pada pelaku kejahatan saja.
Perhatian yang tercurah lebih banyak menyoroti kepada pelaku, karena dalam ilmu tindak
pidana perhatian pelaku merupakan pihak yang harus dibuktikan tindakannya untuk
menjatuhkan sanksi pidana. Sedikit sekali perhatian diberikan pada korban kejahatan yang
sebenarnya merupakan elemen (partisipan) dalam peristiwa pidana. Korban tidaklah hanya
merupakan sebab dan dasar proses terjadinya kriminilitas tetapi memainkan peranan penting
dalam usaha mencari kebenaran materil yang dikehendaki hukum pidana materiil.
Korban dapat mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu tindak
pidana, baik dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar, secara langsung ataupun tidak
langsung. Dari fakta yang disebut di atas, maka perhatian terhadap korban harus diutamakan.
Salah satunya dengan cara mengembangkan viktimologi dan penerapannya dalam sistem
hukum pidana di Indonesia. Salah satu latar belakang pemikiran viktimologis ini adalah
pengamatan meluas terpadu, segala sesuatu harus diamati secara meluas terpadu (makrointegral) di samping diamati secara mikro-klinis, apabila kita ingin mendapatkan gambaran
kenyataan menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, mengenai sesuatu,
terutama mengenai relevansi sesuatu. Oleh karena itulah suatu usaha pengembangan
viktimologi sebagai suatu sub-kriminologi yang merupakan studi ilmiah tentang korban
kejahatan sangat dibutuhkan terutama dalam usaha mencari kebenaran materil dan
perlindungan hak asasi manusia dalam negara Pancasila ini.
Usaha mencari kebenaran materiil dengan cara menganalisa korban kejahatan ini juga
merupakan harapan baru sebagai suatu alternatif lain ataupun suatu instrumen segar dalam
keseluruhan usaha untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi. Walaupun sebenarnya
masalah korban ini bukan masalah baru, karena hal-hal tertentu kurang diperhatikan bahkan
terabaikan. Setidak-tidaknya dapat ditegaskan bahwa apabila kita hendak mengamati masalah
kejahatan menurut proporsi yang sebenarnya dari berbagai dimensi (secara dimensional)
maka mau tidak mau kita harus memperhitungkan peranan korban (victim) dalam timbulnya
suatu kejahatan.

Pemahaman tentang korban kejahatan sebagai penderita sekaligus sebagai faktor


dalam suatu peristiwa pidana akan sangat bermanfaat dalam upaya-upaya pencegahan
terjadinya tindak pidana itu sendiri (preventif). Oleh karena itu seorang korban dapat dilihat
dari dimensi korban kejahatan ataupun sebagai salah satu faktor kriminogen. Selain itu
korban juga dapat dilihat sebagai komponen penegakan hukum dengan fungsinya sebagai
saksi korban atau pelapor. Korban seharusnya dipandang sebagai pihak yang paling banyak
merasakan kerugian dan harus dilindungi segala hak-haknya. Dan hal inilah yang akan coba
dicapai oleh Viktimilogi. Harapan yang ingin dicapai dari timbulnya ilmu victimologi adalah
bahwa ilmu ini dapat memberikan perhatian yang lebih besar lagi terhadap korban dari suatu
kejahatan. Jangan sampai seorang korban hanya dijadikan sebagai alat pembuktian dalam
peradilan guna menjatuhkan sanksi kepada pelaku. Karena apabila seseorang telah menjadi
korban maka orang tersebut merasakan kerugian, baik kerugian materill maupun kerugian
secara imaterill.
Tetapi sebagai korban, orang tersebut harusnya juga dapat diberikan perlindungan
baik berupa Restitusi, Rehabilitasi, dan Kompensasi. Timbul suatu pemikiran yang baru
dimana para aparat penegak hukum baik itu Polisi, Jaksa, dan Hakim dapat mempunyai
pemikiran baru bahwa pemidanaan terhadap pelaku kejahatan tidak hanya menitik beratkan
pada kepentingan untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga dapat
melindungi kepentingan korban sebagai pihak yang merasa paling dirugikan akibat tindakan
pelaku. Salah satu dari berbagai jenis kejahatan yang banyak terjadi di masyarakat adalah
pencurian. Pencurian terjadi karena berbagai faktor, dari berbagai faktor penyebab terjadinya
tindak pidana pencurian maka kesempatan merupakan faktor penentu. Korban juga menjadi
salah satu penyebab timbulnya atau terjadinya tindak pidana pencurian.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka ada beberapa masalah yang perlu di bahas,
sebagaimana tersebut di bawah ini :
1.

Apakah faktor faktor yang menjadi penyebab terjadinya Tindak Pidana Pencurian?

2.

Bagaimanakah peran korban terhadap terjadinya pencurian ditinjau menurut


Viktimologi?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Viktimologi
1. Pengertian Viktimologi
Dalam Buku Bunga Rampai Viktimisasi karangan J.E. Sahetapy dan kawan-kawan
menjelaskan bahwa Viktimologi merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin Victima
yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu, merupakan suatu bidang ilmu yang
mengkaji permasalahan korban beserta segala aspeknya. Pengertian lain dari Viktimologi
adalah suatu study atau pengetahuan ilmiah yang mempelajari masalah korban kriminal
sebagai suatu masalah manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial.
2. Ruang Lingkup Viktimologi
Menurut J.E. sahetapy ruang lingkup viktimologi meliputi bagaimana seseorang dapat
menjadi korban yang ditentukan oleh victim yang tidak selalu berhubungan dengan masalah
kejahatan, termasuk pula korban kecelakaan, dan bencana alam selain dari korban kejahatan
dan penyalahgunaan kekuasaan.
B. Pengertian Pencurian
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, arti dari kata curi adalah mengambil milik orang
lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan sembunyi-sembunyi. Sedangkan arti
pencurian proses, cara, perbuatan. Pengertian pencurian menurut hukum beserta unsurunsurnya dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP, adalah berupa rumusan pencurian dalam
bentuk pokoknya yang berbunyi :

Barangsiapa mengambil suatu benda yang seluruhnya

atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,
diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 Tahun atau denda paling
banyak Rp.900,00

Faktor-Faktor Yang Menjadi Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencurian

Terjadinya suatu tindak pidana pencurian banyak sekali faktor-faktor yang melatar
belakanginya. Selain faktor dari diri pelaku sebagai pihak yang melakukan suatu tindak
pidana pencurian, banyak faktor lain yang mendorong dapat terjadinya suatu tindak pidana
pencurian.yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat dua faktor utama yang menyebabkan
dapat terjadinya suatu tindak pidana pencurian. Yaitu faktor internal dan faktor external.
1.

Faktor Internal

a.

Niat Pelaku

Niat merupakan awal dari suatu perbuatan, dalam melakukan tindak pidana pencurian niat
dari pelaku juga penting dalam faktor terjadinya perbuatan tersebut. Pelaku sebelum
melakukan tindak pidana pencurian biasanya sudah berniat dan merencanakan bagaimana
akan melakukan perbuatannya. Yang sering terjadi adalah pelaku merasa ingin memiliki
barang yang dipunyai oleh korban, maka pelaku memiliki barang milik korban dengan cara
yang dilarang oleh hukum,yaitu dengan mencurinya. Pelaku biasanya merasa iri terhadap
barang yang dimiliki oleh korban, sehingga pelaku ingin memilikinya.
b.

Keadaan Ekonomi

Ekonomi merupakan salah satu hal yang penting di dalam kehidupan manusia. Maka keadaan
ekonomi dari pelaku tindak pidana pencurian kerap kali muncul yang melatarbelakangi
seseorang melakukan tindak pidana pencurian. Para pelaku sering kali tidak mempunyai
pekerjaan yang tetap, atau bahkan tidak punya pekerjaan sama sekali atau seorang
penganguran. Karena desakan ekonomi yang menghimpit, yaitu harus memenuhi kebutuhan
keluarga, membeli sandang maupun papan, atau ada sanak keluarganya yang sedang sakit,
maka sesorang dapat berbuat nekad dengan melakukan tindak pidana pencurian.

c.

Moral dan Pendidikan

Moral disini berarti tingkat kesadaran akan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat.
Semakin tinggi rasa moral yang dimiliki oleh seseorang, maka kemungkinan orang tersebut
akan melanggar norma-norma yang berlaku akan semakin rendah. Kesadaran hukum
seseorang merupakan salah satu faktor internal yang dapat menentukan apakah pelaku dapat
melakukan perbuatan yang melanggar norma-norma di masyarakat. Apabila seseorang sadar
akan perbuatan yang dapat melanggar norma maka ia tidak akan melakukan perbuatan
tersebut karena takut akan adanya sanksi yang dapat diterimanya, baik sanksi dari pemerintah
maupun sanksi dari masyarakat sekitar. Tingkatan pendidikan seseorang juga menentukan
seseorang dapat melakukan tindak pidana pencurian. Karena dari kebanyakan pelaku tindak
pidana pencurian hanya memiliki tingkat pendidikan yang tidak begitu tinggi. Tingkat
pendidikan juga berpengaruh dalam kepemilikan pengahasilan dari pelaku tersebut. Karena
tidak memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, maka seseorang sulit mencari pekerjaaan.
Karena tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan yang pasti tadi, maka seseorang melakukan
tindak pidana pencurian karena terdesak kebutuhan ekonomi yang harus segera dipenuhi.

2. Faktor External
a.

Lingkungan Tempat Tinggal

Lingkungan yang dimaksud disini merupakan daerah dimana penjahat berdomisili atau
daerah-daerah di mana penjahat malakukan aksinya. Selain itu lingkungan disini juga bisa
diartikan sebagai lingkungan dimana si korban tinggal. Pertama mengenai lingkungan tempat
tinggal pelaku kejahatan. Lingkungan tempat tinggal pelaku kejahatan biasanya merupakan
lingkungan atau daerah-daerah yang pergaulan sosialnya rendah, rendahnya moral penduduk,
dan sering kali di lingkungan tersebut norma-norma sosial sudah sering dilanggar dan tidak
ditaati lagi. Selain itu standar pendidikan dan lingkungan tempat tinggal yang sering
melakukan tindak pidana juga menjadi salah satu faktor yang dapat membentuk sesorang atau
individu untuk menjadi seorang pelaku kejahatan. Lingkungan tempat tinggal dari pelaku
juga ikut mempengaruhi dalam terjadinya suatu tindak pidana. Karena keamanan dari
lingkungan korban tinggal juga turut menjadi salah satu faktor utama dari terjadinya tindak
pidana.

Lingkungan yang sepi dan tidak terdapatnya sistem keamanan lingkungan (Siskamling) juga
dapat membuat tindak pidana pencurian semakin marak terjadi di lingkungan tempat tinggal
korban.
b.

Penegak Hukum

Sebagai petugas Negara yang mempunyai tugas menjaga ketertiban dan keamanan
masyarakat, peran penegak hukum disini juga memiliki andil yang cukup besar dalam
terjadinya tindak pidana pencurian. Penegak hukum disini bukan hanya polisi saja, melainkan
Jaksa selaku Penuntut Umum dan Hakim selaku pemberi keputusan dalam persidangan.
Peran serta penegak hukum yang memiliki peran strategis adalah polisi. Polisi selaku petugas
Negara harus senantiasa mampu menciptakan kesan aman dan tentram di dalam kehidupan
bermasyarakat. Apabila dalam masyarakat masih sering timbul tindak pidana, khususnya
tindak pidana pencurian berarti Polisi belum mampu menciptakan rasa aman di dalam
masyarakat. Polisi mempunyai tugas tidak hanya untuk menangkap setiap pelaku tindak
pidana pencurian, tetapi harus mampu memberikan penyuluhan-penyuluhan dan informasi
kepada masyarakat luas agar senantiasa mampu berhati-hati agar tidak terjadi tindak pidana
pencurian di lingkungan mereka masing-masing. Penyuluhan-penyuluhan tersebut dapat
dilakukan dengan melalui media elektronik dan penyuluhan secara langsung kepada
masyarakat. Selain itu polisi juga dapat melakukan patroli untuk senantiasa menjaga
keamanan di lingkungan masyarakat.
c.

Korban

Kelengahan korban juga menjadi salah satu faktor pendorong pelaku untuk melakukan tindak
pidana pencurian. Pada keadaan masyarakat saat ini dimana tingkat kesenjangan di dalam
masyarakat semakin tinngi. Di satu sisi banyak orang yang kaya raya tetapi orang yang
miskin sekali pun juga semakin banyak. Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial yang
dirasakan oleh pelaku. Tindakan korban yang memamerkan harta kekayaan juga menjadi
godaan kepada pelaku untuk melancarkan aksinya. Rasa waspada dari korban juga harus
ditingkatkan agar tindak pidana pencurian tidak dialami oleh korban. Misalkan A mempunyai
motor, dan diparkir di depan rumahnya. Untuk menjamin keamanannya A harus mengkunci
motornya dan harus diparkir di tempat yang aman agar tidak dicuri oleh seseorang. Tindakan
ini disebut tindakan preventif yang dapat dilakukan oleh individu agar ia tidak menjadi
korban dari tindak pidana pencurian.

Seperti halnya pencurian uang yang paling sering terjadi di masyarakat saat ini. Anggota
masyarakat harus senantiasa meningkatakan kewaspadaan diri serta harus dapat memberikan
keamanan kepada setiap hartanya, khusunya uang. Kelengahan pemilik uang juga dapat
menciptakan kesempatan kepada pelaku untuk melakukan tindak pidana pencurian.

Peran Korban dan Pelaku Dalam Terjadinya Tindak Pidana Pencurian Menurut
Viktimologi
1. Peran Pelaku
Secara umum, faktor ini dikaitkan dengan pendidikan, keagamaan, rasa moral, lingkungan,
dan lain sebagainya. Hal ini bahwa seseorang yang berpendidikan rendah, kemungkinan akan
mudah untuk melakukan suatu tindak pidana, termasuk pencurian dengan dibandingkan
dengan mereka yang berpendidikan tinggi atau yang lebih tinggi. Secara khusus, faktor
internal penyebab terjadinya kejahatan atau pencurian adalah rasa ingin memiliki, tingkat
pendidikan, moral dan penyebab-penyebab lain yang sejenis.
2. Peran Korban
Peran korban dalam terjadinya tindak pidana pencurian juga patut diperhatikan dan menjadi
salah satu faktor yang penting dalam terjadinya tindak pidana pencurian. Peran korban di sini
diartikan sebagai keadaan korban yang memberikan peluang atau kesempatan agar pelaku
dapat melaksanakan niatnya untuk melakukan tindak pencurian. Peran korban disini dapat
berupa sifat korban yang gemar memamerkan harta kekayaanya, sering memakai perhiasan
yang berlebihan walaupun hanya keluar di sekitar rumah. Menceritakan uangnya ia simpan di
rumah dengan jumlah yang banyak, padahal orang yang diceritakan mungkin orang yang
tidak dapat dipercaya. Dengan informasi yang diceritakan oleh korban, maka dengan mudah
pelaku dapat masuk ke rumah korban dan mengambil barang yang sesuai seperti diceritakan
oleh korban. Selain itu, korban juga turut serta memberikan kesempatan kepada pelaku
untuk melakukan tindak pidana pencurian. Contoh dari korban yang memberikan kesempatan
pada korban adalah seperti rumah korban yang tidak diberi pagar yang tinggi, tidak
menyimpan uangnya di bank tetapi hanya di simpan di lemari, memakai perhiasan yang
berlebihan padahal hanya pergi ke pasar.

Viktimologi mempelajari tidak hanya perlindungan yang harus diberikan oleh


pemerintah terhadap masyarakat yang telah menjadi korban dari tindak pidana, tetapi disini
Viktimilogi juga mempelajari peranan korban terhadap terjadinya tindak pidana, khususnya
tindak pidana pencurian. Peranan korban antara lain berhubungan dengan apa yang dilakukan
oleh korban, dan dalam tindakan yang dilakukan oleh korban tersebut terdapat hubungan
yang penting, dan beberapa kasus terjadinya kejahatan pihak korban dikatakan ikut
bertanggung jawab. Pihak korban dapat berperan dan ikut bertanggung jawab dalam keadaan
sadar atau secara langsung atau tidak langsung, aktif maupun pasif. Semuanya bergantung
pada saat kejahatan tersebut berlangsung. Pihak korban sebagai partisipan utama atau pihak
yang paling menentukan dalam terjadinya tindak pidana pencurian bergantung pada situasi
kondisi dimana korban itu berada.
Pihak korban dalam situasi dan kondisi tertentu dapat pula mengundang pihak pelaku
untuk melakukan kejahatan pada dirinya akibat sikap dan tindakannya. Dalam hal ini antara
pihak korban dan pelaku tidak ada hubungan sebelumnya. Misalnya, pihak korban bersikap
dan bertindak lalai terhadap harta miliknya (meletakkan atau membawa barang barharga,
tanpa adanya pengamanan) sehingga memberikan kesempatan pada orang lain untuk
mengambilnya tanpa izin. Dapat pula karena korban berada di daerah rawan, yang
menjadikan dirinya rentan menjadi sasaran perbuatan jahat. Viktimologi mempunyai fungsi
untuk mempelajari sejauh mana peran dari seorang korban dalam terjadinya tindak pidana,
serta bagaimana perlindungan yang harus diberikan oleh pemeritah terhadap seseorang yang
telah menjadi korban kejahatan. Pada kenyataanya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin
timbul suatu kejahatan kalau tidak ada si korban kejahatan, yang merupakan peserta utama
dan si penjahat atau pelaku dalam hal terjadinya suatu kejahatan dan hal pemenuhan
kepentingan si pelaku yang berakibat pada penderitaan si korban. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa korban mempunyai tanggung jawab fungsional dalam terjadinya kejahatan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Perhatian hukum terhadap korban tindak pidana dalam KUHAP belum mendapat perhatian
optimal tetapi sebaliknya perhatian pengaturan hukum atas dasar penghormatan terhadap
HAM dari pelaku tindak pidana cukup banyak;
2. Pandangan KUHAP terhadap hak-hak korban tindak pidana masih sangat terbatas dan
tidak sebanding dengan hak-hak yang diperoleh pelaku tindak pidana.

B. Saran
Kepentingan korban yang tidak seimbang dengan kepentingan pelaku tindak pidana dalam
sistem peradilan pidana yang tertuang di dalam KUHAP, maka sudah saatnya KUHAP
tersebut direvisi dan aspek-aspek viktimologi agar diakomodir dalam prinsip-prinsip
pengaturannya. Agar hak-hak kepentingan korban tindak pidana lebih berimbang dengan hakhak kepentingan tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana. Sehingga dengan demikian dalam
Hukum Acara Pidana yang akan datang akan ada pergeseran perspektif dari Retributive
Justice yang bersifat Offender Oriented ke sistem Restorative Justice atau keadilan yang
berisfat Victim Oriented, sesuai dengan filsafat hukum Pancasila yang menganut prinsip
Pengayoman Dan Keseimbangan untuk semua pihak anggota masyarakat pencari keadilan
yang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pengadilan.

Contoh Kasus (Putusan Nomor 179/Pid.B/2012/PN.Kgn)


Sumber : putusan.mahkamahagung.go.id

Bahwa mulanya saksi Basrani bersama terdakwa berangkat dari Banjarmasin menuju
rumah dari orang tua sdr. TOHA (DPO) yang bernama saksi HAMRI bin H. TUHACIL yang
beralamat di Desa Muning Tengah Rt.02, Rk. I, Kec. Daha Selatan, Kab. Hulu Sungai Selatan
dengan menggunakan sepeda motor Jupiter Z warna merah silver

No. Pol.

DA 3705 SU milik terdakwa dan tiba di rumah orang tua TOHA pada hari Selasa tanggal 08
Mei 2012 sekitar jam 22.00 wita. Kemudian setelah saksi Basrani, terdakwa, sdr. TOHA, sdr.
AHIM, dan sdr. ENCEK berkumpul, sdr. TOHA dan sdr. AHIM berperan mencari rumah
yang akan dijadikan sasaran pencurian karena sdr. TOHA dan sdr. AHIM berperan mencari
rumah yang
akan dijadikan sasaran pencurian karena sdr. TOHA dan sdr. AHIM lebih mengenal wilayah;
- Kemudian pada hari Jumat tanggal 11 Mei 2012 sekitar jam 01.00 wita, sdr.TOHA, sdr.
AHIM dan sdr. ENCEK berangkat menuju lokasi dengan menggunakan sepeda motor Mio
Soul milik sdr. TOHA dan sudah membawa linggis, Bor, Tang Kecil sedangkan saksi
BASRANI als IBAS bersama terdakwa dengan menggunakan sepeda motor Jupiter Z warna
merah silver No.Pol. DA 3705 SU milik terdakwa membuntuti di belakangnya karena
yang tahu jalan adalah sdr. TOHA dimana saksi BASRANI als IBAS sudah membawa senjata
api rakitan (disita dalam perkara lain). Lalu ketika hampir dekat dengan sasaran, sepeda
motor Jupiter Z warna silver No. Pol. DA 3705 SU milik terdakwa dan sepeda motor Mio
Soul milik sdr. TOHA disembunyikan di tempat gelap sekitar 300 meter dari sasaran,
lalu mereka berjalan kaki menuju sasaran;
- Sesampainya di rumah tersebut, saksi BASRANI als IBAS dan sdr. TOHA menuju pintu
samping dan sdr. IBAS mencongkel pintu samping rumah saksi korban JANAINAH dengan
menggunakan kayu ulin yang berada di samping rumah terdakwa, sdr. ENCEK dan sdr.
AHIM menunggu. Setelah pintu dapat terbuka kemudian mereka masuk ke dalam rumah
yang beralamat Desa Pakan Dalam, Kec. Daha Utara, Kab. Hulu Sungai Selatan, saksi
BASRANI als IBAS mengkode dengan menggunakan tangan kanan nya menunjuk
sdr.TOHA, sdr. AHIM dan sdr. ENCEK untuk masuk ke dalam kamar belakangsedangkan
saksi BASRANI als IBAS mengajak terdakwa masuk ke kamar depan;

- Di kamar belakang saat saksi korban JANAINAH sedang tidur, tiba-tiba badannya ditindih
lalu 1 (satu) buah kalung emas 99 jenis I Love You dengan berat 50 gram yang ada di leher
saksi korban JANAINAH ditarik dengan paksa dan di saat bersama kaki saksi korban
JANAINAH diikat dengan menggunakan selendang sehingga saksi korban JANAINAH tidak
bisa langsung bangkit berdiri dari tidurnya;
- Kemudian di kamar depan terdakwa dan saksi BASRANI als IBAS mendengar dari arah
kamar belakang maling.....rampok sehingga saksi BASRANI als IBAS bersama terdakwa
terdakwa naik ke atas ranjang dan saksi BASRANI als IBAS memegang tangan saksi korban
MASPAH sedangkan terdakwa menutup mulut dari saksi MASPAH namun saksi korban
MASPAH sempat berteriak maling...rampok dan saksi korban MASPAH sempat menendang
saksi BASRANI als IBAS sehingga sempat terlepas pengangan dari saksi BASRANI als
IBAS lalu segera memegang kembali tangan saksi korban MASPAH dan saksi BASRANI als
IBAS langsung menggunting gelang dari tangan saksi korban MASPAH berupa gelang Amor
emas 99 karat seberat 50 gram. Setelah gelang tersebut terlepas oleh saksi BASRANI als
IBAS dimasukan ke dalam tas kecil yang bergantung di badannya. Lalu sdr. TOHA, sdr.
AHIM dan sdr. ENCEK sempat menghampiri ke kamar depan dan berkata sudah-sudah
- Lalu saksi BASRANI als IBAS bersama terdakwa sdr. TOHA, sdr. AHIM dan sdr. ENCEK
keluar melalui pintu depan dan sebelum keluar melalui pintu depan saksi BASRANI als
IBAS mengambil 1 (satu) buah senjata api rakitan laras pendek warna hitam gagang terbuat
dari kayu dan saat didepan pintu, saksi ARBANI bin HANANG melihat saksi BASRANI als
IBAS membawa senjata api, saksi ARBANI bin HANANG juga melihat salah satu pelaku
yakni sdr IBAS menggunakan jaket berwarna cokelat;
- Bahwa karena takut dikejar oleh warga, atau untuk mengamankan hasil kejahatan dan untuk
melindungi diri maupun untuk melindungi terdakwa, sdr.TOHA, sdr. AHIM dan sdr. ENCEK
akhirnya saat di jalan menuju ke tempat sepeda motor, saksi BASRANI als IBAS
menembakan senjata api yang dipengangnya ke arah atas sehingga warga menjauhi terdakwa
dan teman-temannya. Lalu terdakwa bersama saksi BASRANI als IBAS sdr. TOHA, sdr.
AHIM dan sdr. ENCEK pulang ke rumah orang tua sdr. TOHA;
- Sesampainya di rumah orang tua sdr. TOHA, sdr. TOHA menyerahkan barang hasil
rampokan kepada saksi BASRANI als IBAS berupa 1 (satu) buah kalung. Dan kemudian 1
(satu) buah dan 1 (satu) buah kalung emas 99 jenis I Love You dengan berat 50 gram dijual di
Banjarmasin dan baik terdakwa, saksi BASRANI als IBAS maupun sdr. TOHA, sdr. AHIM
dan sdr.ENCEK memperoleh uang sebesar kurang lebih Rp. 4.500.000,- (empat juta
lima ratus ribu rupiah) dan telah habis dipergunakan terdakwa;

Bahwa saksi korban membeli gelang Amor emas 99 karat seberat 50 gram seharga Rp.
20.200.000,- (dua puluh juta dua ratus ribu rupiah) dan kalung emas 99 jenis I Love You
dengan berar 50 gram yang ibu saksi korban pakai juga milik saksi korban yang dibeli
seharga Rp. 20.200.000,- (dua puluh juta dua ratus ribu rupiah) sebagaimana lampiran
kuitansi pada berkas.

M E N G AD I LI
1. Menyatakan bahwa Terdakwa KAMARUDDIN Als. KAMAR bin
ABDANSYAH (Alm) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana PENCURIAN DENGAN KEKERASAN DALAM
KEADAAN MEMBERATKAN;
2. Menghukum terdakwa KAMARUDDIN Als. KAMAR bin ABDANSYAH
(Alm) oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) Tahun dan 6
(enam) bulan;
3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh
terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam tahanan;
5. Menetapkan barang bukti berupa:
1 (satu) lembar jaket warna coklat ;
1 (satu) bilah besi linggis;
1 (satu) lembar kain selendang warna putih;
1 (satu) lembar jaket warna hitam;
1 (satu) unit sepeda motor Jupiter Z warna merah silver No.Pol. DA 3705
SU;
Dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam perkara
lain an. Basrani als. Ibas bin Kaspul Anwar, dkk;
6. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.2.000,- (dua
ribu rupiah).

Dari kasus yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam hal telah
terbuktinya pelaku (terdakwa) melakukan suatu tindak pidana, ternyata putusan yang
dijatuhkan oleh hakim lebih banyak terfokus pada pemberian sanksi pidana kepada terdakwa,
baik berupa hukuman penjara maupun denda, sedangkan perlindungan kepada korban tidak
memperoleh perhatian sama sekali. Untuk kasus di atas, hakim sama sekali tidak
menjatuhkan hukuman tambahan berupa pemberian ganti kerugian oleh pelaku kepada
korban, atau perlunya diberikan pelayanan/konseling kepada korban. Padahal, secara jelas
terlihat korban menderita kerugian, baik secara ekonomis, fisik maupun psikis. Dalam
putusan ini hakim tidak ada menyentuh apa yang menjadi hak-hak korban dalam terjadinya
suatu tindak pidana.
Hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada terdakwa jauh dari apa yang telah
ditentukan oleh undang-undang dimana dalam pasal 365 ayat 2 KUHP telah mengatur :
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun :
1. Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau
Pekarangan tertutup, yang ada rumahnya, di jalan umum;
2. Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
3. Jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan merusak atau;
memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau memakai
pakaian jabatan palsu;
4. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
Dalam kasus ini unsur di atas telah dipenuhi tetapi hakim menjatuhkan hukuman hanya
2 tahun 6 bulan, itu sangat jauh dari apa yang telah diatur oleh undang-undang walaupun
hakim mempunyai hak dalam memberikan suatu putusan tidak selalu melihat dengan apa
yang telah diatur dalam undang-undang namun dari hati nuraninya juga, tetapi dalam kasus
ini jelas terdakwa mendapat suatu pemberat pidana dengan apa yang telah dilakukannya
terhadap korban dimana terdakwa memenuhi unsur-unsur pada pasal 365 ayat 2 KUHP.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada.
2.

Arif Gosita. 2004. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta : PT.Buana Ilmu Populer.

3.

Dikdik M.Arief dan Elisatris Gultom. 2006. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan,

Antara Norma dan Realita. Jakarta: PT Raja Grafindo Utama.


4.

Lilik Mulyadi. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Victimologi.

Denpasar: Djambatan.
5.

Martiman Prodjomidjojo. 1995. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia I.

Jakarta: Pradnya Pramita.


6.

Moeljatno. 1983. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara.

7.

Wirjono Prodjodikoro. 2002. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Bandung;

PT.Refika Aditama.
8.

Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

9.

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap

Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.

You might also like