Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Bahasa merupakan sesuatu yang paling kompleks dari perilaku yang ditunjukkan
oleh manusia, karena bahasa melibatkan memori, belajar, keterampilan penerimaan
pesan, proses, dan ekspresi. Bahasa merupakan instrument dasar bagi komunikasi pada
manusia dan merupakan dasar dan tulang punggung bagi kemampuan kognitif. Bila
terdapat defisit pada sistem berbahasa, penilaian faktor kognitif seperti memori verbal.
Interpretasi pepatah dan berhitung lisan menjadi sulit dan mungkin tidak dapat dilakukan.
Kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa sangat penting. Pemahaman
bicara dan bahasa adalah tugas yang melibatkan sebagian besar korteks serebri. Karena
alasan ini, lesi di berbagai bagian korteks dapat menyebabkan gangguan pemahaman
bicara dan bahasa. Bila terdapat gangguan hal ini akan mengakibatkan hambatan yang
berarti bagi pasien.
Permasalahan bahasa dapat tampak dalam bentuk language delay atau gangguan
dalam berbahasa. Istilah language delay digunakan berdasarkan kepada perkembangan
bahasa secara normal yang terhambat. Apabila perkembangan bahasa itu mengikuti polapola normal, maka terlihat adanya kelambatan jika dibandingkan dengan usia yang sama.
Gangguan cara berbahasa dinamakan afasia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1 Anatomi
Talamus
Korteks motorik
3
Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat timbul akibat
cedera otak atau proses patologik pada area lobus frontal, temporal atau parietal yang
mengatur kemampuan berbahasa, yaitu Area Broca, Area Wernicke, dan jalur yang
menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini biasanya terletak di hemisfer kiri otak
dan pada kebanyakan orang, bagian hemisfer kiri merupakan tempat kemampuan
berbahasa diatur.
Pada dasarnya kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh stroke,
cedera otak traumatik, perdarahan otak akut dan sebagainya. Afasia dapat muncul
perlahan-lahan seperti pada kasus tumor otak. Afasia juga terdaftar sebagai efek samping
yang langka dari fentanyl, suatu opioid untuk penanganan nyeri kronis.
II. 4 Afasia Sensorik
Afasia Sensorik terjadi karena adanya kerusakan pada lesikortikal di daerah
Wernicke pada hemisferium yang dominan.
Disebut juga afasia wernicke atau afasia perseptif. Disebabkan oleh lesi di daerah
antara bagian belakang lobus temporalis, lobus oksipitalis dan lobus parietalis dari
hemisfer kiri (dominan) yaitu area Wernicke. Pada afasia ini kemampuan untuk mengerti
bahasa verbal dan visual terganggu atau hilang sama sekali. Tetapi kemampuan untuk
secara aktif mengucapkan kata-kata dan menulis kata-kata masih ada, kendatipun apa
yang diucapkan dan ditulis tidak mempunyai arti sama sekali.
Penderita dengan afasia ini tidak mengerti lagi bahasa yang didengarnya walaupun
ia tidak tuli. Ia pun tidak mengerti lagi isi surat yang dibacanya, walaupun ia tidak buta
huruf. Penyimpanan storage berikut proses coding dari apa yang didengar dan ditulis
terjadi di daerah Wernicke. Jika daerah tersebut rusak, proses decoding tidak akan
menghasilkan apa-apa. Oleh karena kata dan tulisan yang masih dapat diucapkan dan
ditulis oleh seorang penderita tidak lagi dikenal dan diketahui, maka dia akan berbicara
dan menulis suatu bahasa yang tidak dimengerti oleh dirinya sendiri ataupun orang
lain. Adakalanya bahasa baru (neologisme) mengandung kata-kata yang menyerupai
kata-kata yang wajar, tetapi kebanyakan merupakan ocehan yang tidak mempunyai arti.
Ocehan itu dinamakan juga jargon aphasia.
Lesi yang menyebabkan afasia jenis Wernicke terletak di daerah bahasa bagian
posterior. Semakin berat defek dalam komprehensi auditif, semakin besar kemungkinan
lesi mencakup bagian posterior dari girus temporal superior. Bila pemahaman kata
5
tunggal terpelihara, namun kata kompleks terganggu, lesi cenderung mengenai daerah
lobus parietal, ketimbang lobus temporal superior. Afasia jenis Wernicke dapat juga
dijumpai pada lesi subkortikal yang merusak isthmus temporal memblokir signal aferen
inferior ke korteks temporal.
Semacam afasia sensorik yang ringan, yang dikenal sebagai tuli kata-kata
(word-deafness), bisa dijumpai. Dalam hal itu, penderita sama sekali tidak mengerti
bahasa verbal yang didengarnya, tetapi ia masih bisa mengerti bahasa tertulis dengan
baik. Juga afasia sensorik yang dinamakan buta kata-kata (word-blindness) pada
mana bahasa verbal masih bisa dimengerti, tetapi bahasa visual tidak mempunyai arti
baginya, jarang dijumpai. Tuli kata-kata dan buta kata-kata timbul akibat lesi kecil di
sekitar daerah Wernicke, yang terletak baik di lobus temporalis ataupun parietalis bahkan
lobus oksipitalis. Sebagai suatu varian dari buta kata-kata ialah agrafia, akalkulia dan
aleksia reseptif.
Dalam hal agrafia ekspresif (akibat lesi di sekitar daerah broca), ekspresi melalui
berbahasa ikut terganggu. Jika kemampuan untuk mengerti bahasa verbal masih utuh
tetapi daya untuk mengerti bahasa tertulis hilang, maka dinamakan gejala tersebut agrafia
reseptif. Demikian juga arti istilah akalkulia reseptif, dimana penderita masih bisa
mengerti bahasa verbal tetapi ia tidak dapat mengerti soal-soal yang menyangkut hitung
berhitung. Pada aleksia reseptif, hanya kemampuan untuk mengerti apa yang dibaca
terganggu, sedangkan ia masih mengerti bahasa verbal. Lesi-lesi yang relevan bagi afasia
reseptif fraksional itu terbatas pada girus angularis dan supramarginalis. Girus yang
tersebut pertama terletak di ujung sulkus temporalis superior dan girus yang tersebut
terakhir terletak di ujung fisura serebri lateralis Sylvii.
Afasia reseptif lesinya terletak di temporo-parietal pasien justru bicara terlalu
banyak, cara mengucapkan baik dan irama kalimat juga baik, namun didapat gangguan
berat pada memformulasi dan menamai sehingga kalimat yang diucapkan tidak
mempunyai arti. Bahasa lisan dan tulisan tidak atau kurang dipahami, dan menulis secara
motorik terpelihara, namun isi tulisan tidak menentu. Pasien tidak begitu sadar akan
kekurangannya.
II. 5 Gambaran klinik afasia Wernicke:
a
b
c
d
e
f
g
h
i
Artikulasi baik
Prosodi baik
Anomia (tidak dapat menamai)
Parafasia fonemik dan semantik
Komprehensi auditif dan membaca buruk
Repetisi terganggu
Menulis lancar tapi isinya "kosong"
II. 8 Patofisiologi
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak. Pada manusia,
fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak pada 96-99% orang
yang dominan tangan kanan (kinan) dan 60% orang yang dominan tangan kiri (kidal).
Pada pasien yang menderita afasia, sebagian besar lesi terletak pada hemisfer kiri.
Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau penyakit
degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang mengatur kemampuan
berbahasa, yaitu area Broca dan area Wernicke.
Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan area sensorik penerima
untuk impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan mengakibatkan penurunan hebat
kemampuan memahami serta mengerti suatu bahasa.
Secara umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan bahasa di atas.
Selain itu lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan afasia transkortikal. Afasia
juga dapat muncul akibat lesi pada fasikulus arkuatus, yaitu penghubung antara area
Broca dan area Wernicke.
II. 9 Pemeriksaan
Pemeriksaan Kelancaran Bahasa
Kelancaran berbicara verbal merupakan refleksi efisiensi menemukan kata. Bila
kemampuan ini diperiksa secara khusus dapat dideteksi masalah berbahasa yang ringan
pada lesi otak yang ringan atau pada dimensia dini. Defek yang ringan dapat dideteksi
dengan tes kelancaran, menemukan kata yaitu jumlah kata-kata tertentu yang dapat
diucapkan selama jangka waktu terbatas. Misalnya menyebutkan sebanyak-banyaknya
nama jenis hewan selama jangka waktu 1 menit, atau menyebutkan kata-kata yang mulai
dengan huruf tertentu misalnya huruf s atay huruf b dalam satu menit.
Menyebutkan nama hewan : pasien disuruh untuk menyebutkan sebanyakbanyaknya nama hewan dalam waktu 60 detik. Kita catat jumlahnya serta kesalahan yang
8
ada, misalnya parafasia. Seorang yang normal umumnya menyebutkan 18-20 nama
hewan selama 60 detik dengan variasi 5-7.
mengulang kalimat yang mengandung 19 suku kata. Banyak pasien afasia yang
mengalami kesulitan dalam mengulang namun ada juga yang menunjukan kemampuan
yang baik dalam hal mengulang, dan sering lebih baik dari pada berbicara spontan.
Umumnya dapat dikatakan bahwa pasien afasia dengan gangguan kemampuan
mengulang mempunyai patologis yang melibatkan daerah peri-sylvian. Bila kemampuan
mengulang terpelihara maka daerah peri-sylvian bebas dari kelainan patologis.
Umumnya daerah ekstra sylvian yang terlibat dalam kasus afasia tanpa defek
repetisi terletak didaerah perbatasan vaskuler (area water-shed).
Pemeriksaan menamai dan menemukan kata
Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi berbahasa. Hal ini
sedikit banyak terganggu pada semua penderita afasia. Dengan demikian semua tes yang
digunakan untuk menilai afasia mencakup penilaian terhadap kemampuan ini. Kesulitan
menemukan kata erat kaitannya dengan kemampuan menyebut nama dan hal ini disebut
anomia.
Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek, bagian
dari objek, bagian tubuh, warna, dan bila perlu gambar geometric, symbol matematika
atau nama suatu tindakan. Dalam hal ini harus digunakan barang yang sering digunakan
dan barang yang jarang ditemui. Karena pada sebagian besar kasus pasien masih bisa
menamai barang yang sering dilihat namun lamban dalam mendeskripsikan kegunaan
atau parafasia pada objek yang jarang dijumpainya.
Bila pasien kesulitan ia dapat dibantu dengan memberikan suku kata pertama atau
dengan menggunakan kalimat penuntun.
kegunaan dari sebuah
diposterior adalah area kortikal yang terutama bertugas memahami bahasa lisan. Area ini
biasa disebut area Wernicke. Area bahasa pada bagian frontal berfungsi untuk
memproduksi bahasa.Area brodman 44 merupakan area broca.
Pemeriksaan system bahasa
Evaluasi system bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu diperhatikan
bagaimana pasien berbicara spontan, komperhensi, repetisi, dan menamai.
Membaca dan menulis harus dinilai pula setelah evaluasi bahasa. Selain itu perlu
pula diperiksa sisi otak mana yang dominan dengan melihat penggunaan tangan. Dengan
melakukan penilaian yang sistematis biasanya dalam waktu yang singkat dapat
diidentifikasi adanya afasia serta jenisnya. Pasien yang afasia biasanya selalu agrafia dan
sering aleksia.
10
yang menggantikan satu kata dengan kata lain sedang fonemik/literal menggantikan suatu
bunyi dengan yang lain.
Afasia motoric yang berat biasanya mudah dideteksi karena bicaranya sangat
terbatas atau tidak ada. Afasia adalah kesulitan dalam memahami dan atau memproduksi
bahasa yang disebabkan oleh gangguan yang melibatkan hemisfer otak.
Pada semua pasien dengan afasia didapatkan gangguan juga gangguan membaca
dan menulis. Pada afasia semua modalitas berbahasa sedikit banyak terganggu, bicara
spontan, mengulang, menamai, pemahaman, bahasa, membaca dan menulis. Pada lesi
frontal pasien tidak bicara atau sangat sedikit bicara, mengalami kesulitan atau
memerlukan banyak upaya dalam bicara. Selain itu gramatikanya sangat sedikit dan
menyisipkan bunyi yang salah serta ada preservasi. Pasien sadar akan kekurangannya.
Pemahaman terhadap bahasa dan tulisan kurang terganggu dibandingkan dengan
kemampuan mengemukakan isi pikiran. Menulis sering tidak mungkin atau sangat
terganggu baik menulis maupun isi tulisan.
Pada lesi di temporo-parietal pasien justru bicara terlalu banyak mengucapkan baik
dan irama kalimat juga baik, namun didapatkan gangguan berat dalam memformulasikan
dan menamai sehingga kalimat yang diucapkan tidak memiliki arti. Bahasa lisan dan
11
tulisan tidak atau kurang dipahami, dan menulis secara motoric terpelihara, namun isi
tulisan tak menentu. Pasien tidak terlalu sadar akan kekurangannya.
Afasia yang pertama disebutkan adalah afasia broca atau motoric atau afasia
ekspresif.Afasia jenis kedua disebut jenis Wernicke atau sensorik atau reseptif.
Kadang dijumpai pasien dengan gangguan yang berat pada semua modalitas
bahasa. Pasien sama sekali tidak bicara atau hanya bicara sepatah kata yang selalu
diulang dengan artikulasi dan irama yang buruk dan tidak bermakna. Hal ini disebut
afasia global. Lesi biasanya melibatkan semua daerah bahasa disekitar fisura sylvi.
Kadang afasia ditandai dengan kesulitan menemukan nama sedangkan modalitas
lainnya relative utuh. Pasien mengalami kesulitan menamai suatu benda.Afasia amnestic
ini sering merupakan sisa afasia yang hampir pulih pada afasia yang tersebut dahulu
namun dapat juga dijumpai pada berbagai gangguan otak yang difus. Afasia amnestic
mempunyai nilai lokalisasi yang kecil.
Pemeriksaan tambahan
Pemeriksaan laboratorium, hanya diperlukan tergantung dari penyebab kerusakan
otaknya. Diagnosis afasia terutama berasal dari pemeriksaan klinik dan kejiwaan karena afasia
merupakan tanda klinis.
Pemeriksaan radiologi, biasanya dilakukan dalam hal untuk melokalisasi lesi dan
mendiagnosa penyebab kerusakan otak. CT (Computed Tomography) Scan efektif untuk
mengetahui adanya perdarahan otak atau stroke iskemik yang sudah lebih dari 48 jam.
MRI (Magnetic Resonance Imaging) mampu mendeteksi stroke sesegera mungkin sampai
1 jam setelah onset. Penggunaan kontras mungkin perlu untuk mendeteksi tumor.
II. 10 Terapi
Penatalaksanaan
gangguan
bahasa
terlebih
dahulu
didasarkan
mengatasi
penyebabnya seperti stroke, perdarahan akut, tumor otak dan sebagainya. Penanganan
yang paling efektif adalah dengan rehabilitasi berupa terapi bicara.
Tujuan dari rehabilitasi ini adalah untuk melatih sel-sel yang tidak rusak
menggantikan sel-sel yang telah rusak. Salah satu rehabilitasi untuk mengatasi gangguan
berbicara dan berbahasa adalah dengan speech therapy merupakan penyediaan pelayanan
yang diberikan oleh health care profesional untuk membantu seseorang dalam
memperbaiki komunikasi. Didalamnya meliputi bagaimana membuat suara dan bahasa,
termasuk pengertian dan pemilihan kata yang digunakan.
12
Menurut hsdc (2006), terapi ini dimulai dari 24 jam pasien stroke masuk rumah
sakit (bila kondisi fisiknya telah memungkinkan), dan kemudian dilakukan secara
berkelanjutan sampai 1 2 tahun post stroke. Rehabilitasi secara dini akan mempercepat
proses penyembuhan, rehabilitasi ini harus rutin sehingga otak mampu untuk
mengingatnya. Rehabilitasi pasien dengan gangguan bahasa umumnya perlu :
1. menimbulkan motivasi agar pasien mau belajar berbicara lagi
2. memberikan banyak stimulasi verbal dan tulisan
3. melakukan repetisi secara kontinu
Sedangkan, latihan pada pasien afasia berupa bina wicara dapat diberikan oleh
seorang yang profesional dan oleh keluarga yang telah mendapat petunjuk-petunjuk
mengenai terapi di rumah, karena pasien membutuhkan latihan terus menerus. Prinsip
bina wicara ialah motivasi, stimulasi dan repetisi. Pasien perlu mendapat motivasi untuk
melatih bicaranya. Jangan dibiarkan menggunakan bahasa isyarat dalam percakapan
sehari-hari, juga di rumahnya. Keluarga diberi tahukan untuk tidak membiarkan pasien
memakai bahasa isyarat. Pasien harus dipaksakan mengucapkan kata disamping isyarat
yang dipakainya. Terapis akan membuat program latihan bagi pasien yang disesuaikan
dengan latar belakang pendidikan dan berat-ringan afasianya. Program ini ditujukan
untuk memberikan stimulasi yang kontinu secara auditif atau tertulis. Pengulangan atau
repetisi perlu dilakukan secara teratur. Stimulasi taktil juga dapat dipakai bila diperlukan.
Bina wicara (speech therapy) pada afasia didasarkan pada:
1. Dimulai seawal mungkin. Segera diberikan bila keadaan umum pasien sudah
memungkinkan pada fase akut penyakitnya.
2. Dikatakan bahwa bina wicara yang diberikan pada bulan pertama sejak mula sakit
mempunyai hasil yang paling baik.
3. Hindarkan penggunaan komunikasi non-linguistik (seperti isyarat).
4. Program terapi yang dibuat oleh terapis sangat individual dan tergantung dari latar
5.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adult Aphasia. American Speech Language Hearing Association.2012 4.
2. AphasiaAssesment.
http://www.neuropsychologycentral.com/interface/content/resource/
page_material/resources_general_materials_pages/resources_document_pages/aphasia
_assessment.pdf. 2002
3. Guyton AC, Hall JE. Bab 57: Korteks Serebri; Fungsi Intelektual Otak; dan Proses
Belajar dan Mengingat. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. 1997. 10.
4. Kirshner HS, Jacobs DH. eMedicine Neurology Specialties: Aphasia. 2009. 6.
5. Lumbantobing SM, Neurologi Klinis, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Bab XI:
Berbahasa. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2008 9.
14
Available at:
http://www.hmc.psu.edu/healthinfo/a/aphasia.htm 7.
10. Price SA, Wilson LM. Bagian IX: Penyakit Neurologi, Pemeriksaan Neurologis,
Evaluasi Penderita Neurologis. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Penyakit Edisi 4.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 1995 11.
11. Sidiarto L, Kusumoputro S. Cermin Dunia Kedokteran No.34, Afasia Sebagai
Gangguan Komunikasi Pada Kelainan Otak. Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 5.
12. Stefan Silbernagl, Florian Lang. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. 2007. EGC.
Jakarta. 3.
13. Stroke and aphasia. American Stroke Association.2012 12.
15