You are on page 1of 14

BAB I

PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Bahasa merupakan sesuatu yang paling kompleks dari perilaku yang ditunjukkan
oleh manusia, karena bahasa melibatkan memori, belajar, keterampilan penerimaan
pesan, proses, dan ekspresi. Bahasa merupakan instrument dasar bagi komunikasi pada
manusia dan merupakan dasar dan tulang punggung bagi kemampuan kognitif. Bila
terdapat defisit pada sistem berbahasa, penilaian faktor kognitif seperti memori verbal.
Interpretasi pepatah dan berhitung lisan menjadi sulit dan mungkin tidak dapat dilakukan.
Kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa sangat penting. Pemahaman
bicara dan bahasa adalah tugas yang melibatkan sebagian besar korteks serebri. Karena
alasan ini, lesi di berbagai bagian korteks dapat menyebabkan gangguan pemahaman
bicara da bahsa. Bila terdapat gangguan hal ini akan mengakibatkan hambatan yang
berarti bagi pasien.
Permasalahan bahasa dapat tampak dalam bentuk language delay atau gangguan
dalam berbahasa. Istilah language delay digunakan berdasarkan kepada perkembangan
bahasa secara normal yang terhambat. Apabila perkembangan bahasa itu mengikuti polapola normal, mereka terlihat adanya kelambatan jika dibandingkan dengan usia yang
sama. Gangguan cara berbahasa dinamakan afasia.
Afasia dapat timbul akibat cedera otak atau proses patologik pada area lobus
frontal, temporal atau parietal yang mengatur kemampuan berbahasa, yaitu Area Broca,
Area Wernicke, dan jalur yang menghubungkan antara keduanya. Pada dasarnya
1

kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh stroke, cedera otak traumatik,
perdarahan otak akut dan sebagainya.
Afasia Sensorik terjadi karena adanya kerusakan pada lesikortikal di daerah
Wernicke pada hemisferium yang dominan. Disebabkan oleh lesi di daerah antara bagian
belakang lobus temporalis, lobus oksipitalis dan lobus parietalis dari hemisfer kiri
(dominan) yaitu area Wernicke. Pada afasia ini kemampuan untuk mengerti bahasa verbal
dan visual terganggu atau hilang sama sekali. Tetapi kemampuan untuk secara aktif
mengucapkan kata-kata dan menulis kata-kata masih ada.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 Anatomi

Manusia memahami suatu kata dari pengalamannya atau imajinasinya. Manusia


mendapatkan kosakata dari apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Area cerebrum
yang mengintegrasi semua stimulus ini menjadi kemampuan berbahasa adalah area
Wernicke. Area wernicke terletak pada ujung posterosuperior girus temporalis superior.
Area wernicke berdekatan dengan area pendengaran primer dan sekunder. Hubungan
antara area pendengaran dengan area Wernicke memungkinkan adanya interpretasi
bahasa terhadap apa yang didengar. Selain berhubungan dengan area pendengaran, area
wernicke juga berhubungan dengan area asosiasi penglihatan. Oleh karena itu
pemahaman bahasa juga dapat terjadi melalui membaca.

Kata yang didengar

Kata yang dibaca

Korteks auditoriks primer

Korteks visual primer

Gambar . Area Wernicke


Korteks auditoriks sekunder (area Wernicke) Korteks auditoriks sekunder
Semua impuls auditorik disampaikan kepada korteks auditorik primer kedua sisi.
Pada hemisferium yang dominan data auditorik itu dikirim ke pusat wernicke. Pengiriman
data dari hemisferium yang tidak dominan ke pusat wernicke dilaksanakan melalui
Area 39
serabut korpus kalosum. Di pusat wernicke suara dikenal sebagai simbol bahasa.
Kemudian data itu dikirim
pusat pengertian
Di situ simbol bahasa lisan
Lobuskefrontalis
superiorbahasa.
anterior
(auditorik) diintegrasikan dengan simbol bahasa visual dan sifat-sifat lain dari bahasa.
Bahasa lisan dihasilkan oleh kegiatan di pusat pengertian bahasa yang menggalakkan
Korteks premotorik (Area Broca)
pusat pengenalan kata (wernicke), yang pada gilirannya mengirimkan pesan kepada pusat
broca (yang menyelenggarakan produksi kata-kata) melalui daerah motorik primer dan
Ganglia
serebelum
melalui lobus frontalis (area
motorikbasalis,
suplementer),
yang ikut mengatur produksi aktivitas
motorik yang tangkas dalam bentuk kata-kata yang jelas. Bahasa visual dikembangkan
melalui persepsi visual bilateral.

Talamus

Korteks motorik
4

Kata yang diucapkan

Gambar 3. Mekanisme Pengucapan Kata


II. 2 Definisi Afasia
Menurut wood (1971) Afasia adalah Kehilangan kemampuan untuk bicara atau
untuk memahami sebagaian atau keseluruhan dari yang diucapkan oleh orang lain, yang
diakibatkan karena adanya gangguan pada otak.
Wiig dan Semel (1984) adalah Mereka yang memiliki gangguan pada perolehan
bahasa yang disebabkan karena kerusakan otak yang mengakibatkan ketidakmampuan
dalam memformulasikan pemahaman bahasa dan pengguanaan bahasa.
Penyakit afasia biasanya berkembang cepat sebagai akibat dari luka pada kepala
atau stroke, tetapi juga dapat berkembang secara lambat karena tumor otak, infeksi, atau
dementia.
II. 3 Etiologi
Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat timbul akibat
cedera otak atau proses patologik pada area lobus frontal, temporal atau parietal yang

mengatur kemampuan berbahasa, yaitu Area Broca, Area Wernicke, dan jalur yang
menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini biasanya terletak di hemisfer kiri otak
dan pada kebanyakan orang, bagian hemisfer kiri merupakan tempat kemampuan
berbahasa diatur.
Pada dasarnya kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh stroke,
cedera otak traumatik, perdarahan otak akut dan sebagainya. Afasia dapat muncul
perlahan-lahan seperti pada kasus tumor otak. Afasia juga terdaftar sebagai efek samping
yang langka dari fentanyl, suatu opioid untuk penanganan nyeri kronis.

II. 4 Afasia Sensorik


Afasia Sensorik terjadi karena adanya kerusakan pada lesikortikal di daerah
Wernicke pada hemisferium yang dominan.
Disebut juga afasia wernicke atau afasia perseptif. Disebabkan oleh lesi di daerah
antara bagian belakang lobus temporalis, lobus oksipitalis dan lobus parietalis dari
hemisfer kiri (dominan) yaitu area Wernicke. Pada afasia ini kemampuan untuk mengerti
bahasa verbal dan visual terganggu atau hilang sama sekali. Tetapi kemampuan untuk
secara aktif mengucapkan kata-kata dan menulis kata-kata masih ada, kendatipun apa
yang diucapkan dan ditulis tidak mempunyai arti sama sekali.
Penderita dengan afasia ini tidak mengerti lagi bahasa yang didengarnya walaupun
ia tidak tuli. Ia pun tidak mengerti lagi isi surat yang dibacanya, walaupun ia tidak buta
huruf. Penyimpanan storage berikut proses coding dari apa yang didengar dan ditulis
terjadi di daerah Wernicke. Jika daerah tersebut rusak, proses decoding tidak akan
menghasilkan apa-apa. Hilangnya Pengertian berarti juga hilangnya gnosis dan kognisio.
Oleh karena kata dan tulisan yang masih dapat diucapkan dan ditulis oleh seorang

penderita tidak lagi dikenal dan diketahui, maka dia akan berbicara dan menulis
suatu bahasa yang tidak dimengerti oleh dirinya sendiri ataupun orang lain. Adakalanya
bahasa baru (neologisme) mengandung kata-kata yang menyerupai kata-kata yang
wajar, tetapi kebanyakan merupakan ocehan yang tidak mempunyai arti. Ocehan itu
dinamakan juga jargon aphasia.
Lesi yang menyebabkan afasia jenis Wernicke terletak di daerah bahasa bagian
posterior. Semakin berat defek dalam komprehensi auditif, semakin besar kemungkinan
lesi mencakup bagian posterior dari girus temporal superior. Bila pemahaman kata
tunggal terpelihara, namun kata kompleks terganggu, lesi cenderung mengenai daerah
lobus parietal, ketimbang lobus temporal superior. Afasia jenis Wernicke dapat juga
dijumpai pada lesi subkortikal yang merusak isthmus temporal memblokir signal aferen
inferior ke korteks temporal.
Semacam afasia sensorik yang ringan, yang dikenal sebagai tuli kata-kata
(word-deafness), bisa dijumpai. Dalam hal itu, penderita sama sekali tidak mengerti
bahasa verbal yang didengarnya, tetapi ia masih bisa mengerti bahasa tertulis dengan
baik. Juga afasia sensorik yang dinamakan buta kata-kata (word-blindness) pada
mana bahasa verbal masih bisa dimengerti, tetapi bahasa visual tidak mempunyai arti
baginya, jarang dijumpai. Tuli kata-kata dan buta kata-kata timbul akibat lesi kecil di
sekitar daerah Wernicke, yang terletak baik di lobus temporalis ataupun parietalis bahkan
lobus oksipitalis. Sebagai suatu varian dari buta kata-kata ialah agrafia, akalkulia dan
aleksia reseptif.
Dalam hal agrafia ekspresif (akibat lesi di sekitar daerah broca), ekspresi melalui
berbahasa ikut terganggu. Jika kemampuan untuk mengerti bahasa verbal masih utuh
tetapi daya untuk mengerti bahasa tertulis hilang, maka dinamakan gejala tersebut agrafia
reseptif. Demikian juga arti istilah akalkulia reseptif, dimana penderita masih bisa
7

mengerti mengerti bahasa verbal tetapi ia tidak dapat mengerti soal-soal yang
menyangkut hitung berhitung. Pada aleksia reseptif, hanya kemampuan untuk mengerti
apa yang dibaca terganggu, sedangkan ia masih mengerti bahasa verbal. Lesi-lesi yang
relevan bagi afasia reseptif fraksional itu terbatas pada girus angularis dan
supramarginalis. Girus yang tersebut pertama terletak di ujung sulkus temporalis superior
dan girus yang tersebut terakhir terletak di ujung fisura serebri lateralis Sylvii.
Afasia reseptif lesinya terletak di temporo-parietal pasien justru bicara terlalu
banyak, cara mengucapkan baik dan irama kalimat juga baik, namun didapat gangguan
berat pada memformulasi dan menamai sehingga kalimat yang diucapkan tidak
mempunyai arti. Bahasa lisan dan tulisan tidak atau kurang dipahami, dan menulis secara
motorik terpelihara, namun isi tulisan tidak menentu. Pasien tidak begitu sadar akan
kekurangannya.
II. 5 Gambaran klinik afasia Wernicke:
a
b
c
d
e
f
g
h
i

Keluaran afasik yang lancar


Panjang kalimat normal
Artikulasi baik
Prosodi baik
Anomia (tidak dapat menamai)
Parafasia fonemik dan semantik
Komprehensi auditif dan membaca buruk
Repetisi terganggu
Menulis lancar tapi isinya "kosong"

II. 6 Patofisiologi
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak. Pada manusia,
fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak pada 96-99% orang
yang dominan tangan kanan (kinan) dan 60% orang yang dominan tangan kiri (kidal).
Pada pasien yang menderita afasia, sebagian besar lesi terletak pada hemisfer kiri.
8

Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau penyakit
degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang mengatur kemampuan
berbahasa, yaitu area Broca dan area Wernicke.
Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan area sensorik penerima
untuk impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan mengakibatkan penurunan hebat
kemampuan memahami serta mengerti suatu bahasa.
Secara umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan bahasa di atas.
Selain itu lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan afasia transkortikal. Afasia
juga dapat muncul akibat lesi pada fasikulus arkuatus, yaitu penghubung antara area
Broca dan area Wernicke.
II. 7 Pemeriksaan tambahan
Pemeriksaan laboratorium, hanya diperlukan tergantung dari penyebab kerusakan
otaknya. Diagnosis afasia terutama berasal dari pemeriksaan klinik dan kejiwaan karena
afasia merupakan tanda klinis.
Pemeriksaan radiologi, biasanya dilakukan dalam hal untuk melokalisasi lesi dan
mendiagnosa penyebab kerusakan otak. CT (Computed Tomography) Scan efektif untuk
mengetahui adanya perdarahan otak atau stroke iskemik yang sudah lebih dari 48 jam.
MRI (Magnetic Resonance Imaging) mampu mendeteksi stroke sesegera mungkin sampai
1 jam setelah onset. Penggunaan kontras mungkin perlu untuk mendeteksi tumor.

II. 8 Terapi

Penatalaksanaan

gangguan

bahasa

terlebih

dahulu

didasarkan

mengatasi

penyebabnya seperti stroke, perdarahan akut, tumor otak dan sebagainya. Penanganan
yang paling efektif adalah dengan rehabilitasi berupa terapi bicara.
Tujuan dari rehabilitasi ini adalah untuk melatih sel-sel yang tidak rusak
menggantikan sel-sel yang telah rusak. Salah satu rehabilitasi untuk mengatasi gangguan
berbicara dan berbahasa adalah dengan speech therapy merupakan penyediaan pelayanan
yang diberikan oleh health care profesional untuk membantu seseorang dalam
memperbaiki komunikasi. Didalamnya meliputi bagaimana membuat suara dan bahasa,
termasuk pengertian dan pemilihan kata yang digunakan.
Menurut hsdc (2006), terapi ini dimulai dari 24 jam pasien stroke masuk rumah
sakit (bila kondisi fisiknya telah memungkinkan), dan kemudian dilakukan secara
berkelanjutan sampai 1 2 tahun post stroke. Rehabilitasi secara dini akan mempercepat
proses penyembuhan, rehabilitasi ini harus rutin sehingga otak mampu untuk
mengingatnya. Rehabilitasi pasien dengan gangguan bahasa umumnya perlu :
1. menimbulkan motivasi agar pasien mau belajar berbicara lagi
2. memberikan banyak stimulasi verbal dan tulisan
3. melakukan repetisi secara kontinu
Sedangkan, latihan pada pasien afasia berupa bina wicara dapat diberikan oleh
seorang yang profesional dan oleh keluarga yang telah mendapat petunjuk-petunjuk
mengenai terapi di rumah, karena pasien membutuhkan latihan terus menerus. Prinsip
bina wicara ialah motivasi, stimulasi dan repetisi. Pasien perlu mendapat motivasi untuk
melatih bicaranya. Jangan dibiarkan menggunakan bahasa isyarat dalam percakapan
sehari-hari, juga di rumahnya. Keluarga diberi tahukan untuk tidak membiarkan pasien
memakai bahasa isyarat. Pasien harus dipaksakan mengucapkan kata disamping isyarat
yang dipakainya. Terapis akan membuat program latihan bagi pasien yang disesuaikan
dengan latar belakang pendidikan dan berat-ringan afasianya. Program ini ditujukan
10

untuk memberikan stimulasi yang kontinu secara auditif atau tertulis. Pengulangan atau
repetisi perlu dilakukan secara teratur. Stimulasi taktil juga dapat dipakai bila diperlukan.
Bina wicara (speech therapy) pada afasia didasarkan pada:
1. Dimulai seawal mungkin. Segera diberikan bila keadaan umum pasien sudah
memungkinkan pada fase akut penyakitnya.
2. Dikatakan bahwa bina wicara yang diberikan pada bulan pertama sejak mula sakit
3.
4.

mempunyai hasil yang paling baik.


Hindarkan penggunaan komunikasi non-linguistik (seperti isyarat).
Program terapi yang dibuat oleh terapis sangat individual dan tergantung dari latar

5.

belakang pendidikan, status sosial dan kebiasaan pasien.


Program terapi berlandaskan pada penumbuhan motivasi pasien untuk mau belajar
(re-learning) bahasanya yang hilang. Memberikan stimulasi supaya pasien
memberikan tanggapan verbal. Stimuli dapat berupa verbal, tulisan ataupun taktil.

Materi yang telah dikuasai pasien perlu diulangulang (repetisi).


6. Terapi dapat diberikan secara pribadi dan diseling dengan terapi kelompok dengan
pasien afasi yang lain.
7. Penyertaan keluarga dalam terapi sangat mutlak.

II. 9 Prognosis
Prognosa hidup untuk pendertia afasia tergantung pada penyebab afasia. Suatu
tumor otak dapat dihubungkan dengan angka harapan hidup yang kecil, sedangkan afasia
dengan stroke minor mungkin memiliki prognosis yang sangat baik.
Prognosis kesembuhan kemampuan berbahasa bervariasi, tergantung pada ukuran
lesi dan umur serta keadaan umum pasien. Secara umum, pasien dengan tanda klinis yang
lebih ringan memiliki kemungkinan sembuh yang lebih baik. Afasia Broca secara

11

fungsional memiliki prognosis yang lebih baik daripada afasia Wernicke. Terakhir, afasia
akibat penyakit yang tidak dapat atau sulit disembuhkan, misalnya tumor otak, memiliki
tingkat prognosis yang buruk.

BAB III
KESIMPULAN
III. Kesimpulan
Afasia Sensorik disebut juga afasia wernicke atau afasia perseptif terjadi karena
adanya kerusakan pada lesikortikal di daerah Wernicke pada hemisferium yang dominan.
Pada afasia sensorik ini kemampuan untuk mengerti bahasa verbal dan visual
terganggu atau hilang sama sekali. Tetapi kemampuan untuk secara aktif mengucapkan
kata-kata dan menulis kata-kata masih ada, kendatipun apa yang diucapkan dan ditulis
tidak mempunyai arti sama sekali.
Penderita dengan afasia ini tidak mengerti lagi bahasa yang didengarnya
walaupun ia tidak tuli. Ia pun tidak mengerti lagi isi surat yang dibacanya, walaupun ia
tidak buta huruf. Penyimpanan storage berikut proses coding dari apa yang didengar
dan ditulis terjadi di daerah Wernicke. Jika daerah tersebut rusak, proses decoding tidak
akan menghasilkan apa-apa. Hilangnya Pengertian berarti juga hilangnya gnosis dan
kognisio. Oleh karena kata dan tulisan yang masih dapat diucapkan dan ditulis oleh

12

seorang penderita tidak lagi dikenal dan diketahui, maka dia akan berbicara dan
menulis suatu bahasa yang tidak dimengerti oleh dirinya sendiri ataupun orang lain.
Adakalanya bahasa baru (neologisme) mengandung kata-kata yang menyerupai katakata yang wajar, tetapi kebanyakan merupakan ocehan yang tidak mempunyai arti.

DAFTAR PUSTAKA
1. Mahar mardjono, Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar. 2008. Dian Rakyat.
Jakarta 2.
2. Stefan Silbernagl, Florian Lang. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. 2007. EGC.
Jakarta. 3.
3. Adult Aphasia. American Speech Language Hearing Association.2012 4.
4. Sidiarto L, Kusumoputro S. Cermin Dunia Kedokteran No.34, Afasia Sebagai
Gangguan Komunikasi Pada Kelainan Otak. Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 5.
5. Kirshner HS, Jacobs DH. eMedicine Neurology Specialties: Aphasia. 2009. 6.
6. Pennstate, Health & Disease Information. Aphasia. 2010
Available at:
http://www.hmc.psu.edu/healthinfo/a/aphasia.htm 7.
7. Lumbantobing SM, Neurologi Klinis, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Bab XI:
Berbahasa. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2008 9.
8. Guyton AC, Hall JE. Bab 57: Korteks Serebri; Fungsi Intelektual Otak; dan Proses
Belajar dan Mengingat. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. 1997. 10.
9. Price SA, Wilson LM. Bagian IX: Penyakit Neurologi, Pemeriksaan Neurologis,
Evaluasi Penderita Neurologis. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Penyakit Edisi 4.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 1995 11.
10. Stroke and aphasia. American Stroke Association.2012 12.
11. AphasiaAssesment.
http://www.neuropsychologycentral.com/interface/content/resource/
page_material/resources_general_materials_pages/resources_document_pages/aphasia
_assessment.pdf. 2002
12. Ninds. 2006. Aphasia. Available from : http://www.ninds.nih.gov.
13

14

You might also like