You are on page 1of 18

LARAN PENDAHULUAN

ILEUS PARALITIK
A. Obstruksi Usus
Obstruksi usus

dapat

didefinisikan

sebagai

gangguan

(apapun

penyebabnya) aliran normal isi usus sepanjang saluran usus.Obstruksi usus terdiri
dari akut dan kronik, partial atau total.(Price & Wilson, 2007).Obstruksi usus
biasanya mengenai kolon sebagai akibat karsinoma dan perkembangannya
lambat.Sebagian dasar dari obstruksi justru mengenai usus halus.Obstruksi total
usus halus merupakan keadaan gawat yang memerlukan diagnosis dini dan
tindakan pembedahan darurat bila penderita ingin tetap hidup. Ada dua tipe
obstruksi yaitu :
1. Mekanis (Ileus Obstruktif)
Suatu penyebab fisik menyumbat usus dan tidak dapat diatasi oleh
peristaltik.Ileus obstruktif ini dapat akut seperti pada hernia stragulata atau
kronis akibat karsinoma yang melingkari. Misalnya intusepsi, tumor
polipoid dan neoplasma stenosis, obstruksi batu empedu, striktura,
perlengketan, hernia dan abses
2. Neurogenik/fungsional (Ileus Paralitik)
Obstruksi yang terjadi karena suplai saraf otonom mengalami paralisis dan
peristaltik usus terhenti sehingga tidak mampu mendorong isi sepanjang
usus. Contohnya amiloidosis, distropi otot, gangguan endokrin seperti
diabetes mellitus, atau gangguan neurologis seperti penyakit parkinson.
B. Ileus Paralitik
Ileus Paralitik adalah istilah gawat abdomen atau gawat perut
menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya
timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan
penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada
obstruksi, perforasi, atau perdarahan massif di rongga perut maupun saluran
cerna, infeksi, obstruksi atau strangulasi saluran cerna dapat menyebabkan
perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna
sehingga terjadilah peritonitis.
Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya
obstruksi usus akut. Ileus Paralitik adalah obstruksi yang terjadi karena suplai
saraf otonom mengalami paralysis dan peristaltic usus terhenti sehingga tidak

mampu mendorong isi sepanjang usus. Contohnya amiloidosis, distropi otot,


gangguan endokrin seperti diabetes mellitus, atau gangguan neurologist seperti
penyakit Parkinson. Ileus Paralitik adalah keadaan abdomen akut berupa kembung
distensi usus karena usus tidak dapat bergerak (mengalami motilitas), pasien tidak
dapat buang air besar.
Ileus (Ileus Paralitik, Ileus Adinamik) adalah suatu keadaan dimana
pergerakan kontraksi normal dinding usus untuk sementara waktu berhenti. Ileus
adalah suatu kondisi hipomotilitas (kelumpuhan) saluran gastrointestinal tanpa
disertai adanya obstruksi mekanik pada intestinal. Pada kondisi klinik sering
disebut dengan ileus paralitik. Obstruksi Ileus adalah gangguan aliran normal isi
usus sepanjang saluran usus (Price & Willson, 2007).
C. Etiologi Ileus Paralitik
Walaupun predisposisi ileus biasanya terjadi akibat pascabedah abdomen,
tetapi ada faktor predisposisi lain yang mendukung peningkatan resiko terjadinya
ileus, diantaranya (Behm, 2003) sebagai berikut :
1. Sepsis
2. Obat-obatan (misalnya : opioid, antasid,

coumarin,

amitriptyline,

chlorpromazine)
3. Gangguan elektrolit dan metabolik (misalnya hipokalemia, hipomagnesemia,
hipernatremia, anemia, atau hiposmolalitas)
4. Infark miokard
5. Pneumonia
6. Trauma (misalnya : patah tulang iga, cedera spina)
7. Bilier dan ginjal kolik
8. Cedera kepala dan prosedur bedah saraf
9. Inflamasi intra abdomen dan peritonitis
10. Hematoma retroperitoneal.
Ileus pada pasien rawat inap ditemukan pada: (1) proses intraabdominal
seperti pembedahan perut dan saluran cerna atau iritasi dari peritoneal (peritonitis,
pankreatitis, perdarahan); (2) sakit berat seperti pneumonia, gangguan pernafasan
yang memerlukan intubasi, sepsis atau infeksi berat, uremia, dibetes ketoasidosis,
dan ketidakseimbangan elektrolit (hipokalemia, hiperkalsemia, hipomagnesemia,
hipofosfatemia); dan (3) obat-obatan yang mempengaruhi motilitas usus (opioid,
antikolinergik, fenotiazine). Setelah pembedahan, usus halus biasanya pertama

kali yang kembali normal (beberapa jam), diikuti lambung (24-48 jam) dan kolon
(48-72 jam)
Ileus terjadi karena hipomotilitas dari saluran pencernaan tanpa adanya
obstruksi usus mekanik. Diduga, otot dinding usus terganggu dan gagal untuk
mengangkut isi usus. Kurangnya tindakan pendorong terkoordinasi menyebabkan
akumulasi gas dan cairan dalam usus. Meskipun ileus disebabkan banyak faktor,
keadaan pascaoperasi adalah keadaan yang paling umum untuk terjadinya ileus.
Memang, ileus merupakan konsekuensi yang diharapkan dari pembedahan perut.
Fisiologisnya ileus kembali normal spontan dalam 2-3 hari, setelah motilitas
sigmoid kembali normal. Ileus yang berlangsung selama lebih dari 3 hari setelah
operasi dapat disebut ileus adynamic atau ileus paralitik pascaoperasi.
Sering, ileus terjadi setelah operasi intraperitoneal, tetapi mungkin juga
terjadi setelah pembedahan retroperitoneal dan extra-abdominal. Durasi
terpanjang dari ileus tercatat terjadi setelah pembedahan kolon. Laparoskopi
reseksi usus dikaitkan dengan jangka waktu yang lebih singkat daripada reseksi
kolon ileus terbuka.
Konsekuensi klinis ileus pasca operasi dapat mendalam. Pasien dengan
ileus merasa tidak nyaman dan sakit, dan akan meningkatkan risiko komplikasi
paru. Ileus juga meningkatkan katabolisme karena gizi buruk. Secara keseluruhan,
ileus meningkatkan biaya perawatan medis karena memperpanjang rawat inap di
rumah sakit. Penyakit/keadaan yang menimbulkan ileus paralitik dapat
diklasifikasikan seperti yang tercantum dibawah ini:
1. Neurogenik. Pasca operasi, kerusakan medulla spinalis, keracunan ureter,
iritasi persarafan splanknikus, pankreatitis.
2. Metabolik. Gangguan keseimbangan elektrolit (terutama hipokalemia),
uremia, komplikasi DM, penyakit sistemik seperti SLE, sklerosis multiple
3. Obat-obatan.

Narkotik,

antikolinergik,

katekolamin,

fenotiazin,

antihistamin.
4. Infeksi/ inflamasi. Pneumonia, empiema, peritonitis, infeksi sistemik berat
lainnya.
5. Iskemia Usus
D. Patofisiologi Ileus Paralitik

Patofisiologi

dari

ileus

paralitik

merupakan

manifestasi

dari

terangsangnya sistem saraf simpatis dimana dapat menghambat aktivitas dalam


traktus gastrointestinal, menimbulkan banyak efek yang berlawanan dengan yang
ditimbulkan oleh sistem parasimpatis. Sistem simpatis menghasilkan pengaruhnya
melalui dua cara : pada tahap yang kecil melalui pengaruh langsung norepineprin
pada otot polos (kecuali muskularis mukosa, dimana ia merangsangnya), dan pada
tahap yang besar melalui pengaruh inhibitorik dari noreepineprin pada neuronneuron sistem saraf enterik. Jadi, perangsangan yang kuat pada sistem simpatis
dapat menghambat pergerakan makanan melalui traktus gastrointestinal.
Hambatan pada sistem saraf parasimpatis di dalam sistem saraf enterik
akan

menyebabkan

terhambatnya

pergerakan

makanan

pada

traktus

gastrointestinal, namun tidak semua pleksus mienterikus yang dipersarafi serat


saraf parasimpatis bersifat eksitatorik, beberapa neuron bersifat inhibitorik, ujung
seratnya mensekresikan suatu transmitter inhibitor, kemungkinan peptide
intestinal vasoaktif dan beberapa peptide lainnya.
Peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama,
tanpa memandang apakah obstruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab mekanik
atau fungsional. Perbedaan utama adalah obstruksi paralitik dimana peristaltic
dihambat dari permulaan, sedangkan pada obstruksi mekanik peristaltik mulamula diperkuat, kemudian intermitten, dan akhirnya hilang. Perubahan
patofisiologi utama pada obstruksi usus adalah lumen usus yang tersumbat secara
progresif akan tergang oleh cairan dan gas (70% dari gas yang ditelan) akibat
peningkatan tekanan intralumen, yang menurunkan pengaliran air dan natrium
dari lumen ke darah. Oleh karena sekitar 8 liter cairan diekskresikan ke dalam
saluran cerna setiap hari ke sepuluh. Tidak adanya absorbs dapat mengakibatkan
penimbunan intralumen dengan cepat. Muntah dan penyedotan usus setelah
pengobatan dimulai merupakan sumber kehilangan utama cairan dan elektrolik.
Pengaruh atas kehilangan ini adalah penyempitan ruang cairan ekstrasel
yang mengakibatkan syok-hipotensi, pengurangan curah jantung, penurunan
perfusi jaringan dan asidosis metabolik. Peregangan usus yang terus menerus
mengakibatkan lingkaran setan penurunan absorbs cairan dan peningkatan sekresi
cairan ke dalam usus. Efek local peregangan usus adalah iskemia akibat distensi
dan peningkatan permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorbsi toksin-toksin

bakteri kedalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik untuk menyebabkan


bakteriemia.
Pada obstruksi mekanik simple, hambatan pasase muncul tanpa disertai
gangguan vaskuler dan neurologic. Makanan dan cairan yang ditelan, sekresi
usus, dan udara terkumpul dalam jumlah yang banyak jika obstruksinya komplit.
Bagian usus proksimal distensi, dan bagian distal kolaps. Fungsi sekresi dan
absorbs membrane mukosa usus menurun, dan dinding usus menjadi edema dan
kongesti. Distensi intestinal yang berat, dengan sendirinya secara terus menerus
dan progresif akan mengacaukan peristaltic dan fungsi sekresi mukosa dan
meningkatkan resiko dehidrasi, iskemia, nekrosis, perforasi, peritonitis, dan
kematian.

Pathway

Illeus
paralitik

E. Manifestasi Klinis Ileus Paralitik


Pasien ileus paralitik akan mengeluh perutnya kembung (abdominal
distention), anoreksia, mual dan obstipasi. Muntah mungkin ada, mungkin pula
tidak ada. Keluhan perut kembung pada ileus paralitik ini perlu dibedakan dengan
keluhan perut kembung pada ileus obstruksi.
Pasien ileus paralitik mempunyai keluhan perut kembung, tidak disertai
nyeri kolik abdomen yang paroksismal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya
distensi abdomen, perkusi timpani dengan bising usus yang lemah dan jarang
bahkan dapat tidak terdengar sama sekali. Pada palpasi, pasien hanya menyatakan
perasaan tidak enak pada perutnya. Tidak ditemukan adanya reaksi peritoneal
(nyeri tekan dan nyeri lepas negatif). Apabila penyakit primernya peritonitis,
manifestasi klinis yang ditemukan adalah gambaran peritonitis. Gejala klinis :
1. Distensi yang hebat tanpa rasa nyeri (kolik)
2. Mual dan mutah
3. Tak dapat defekasi dan flatus, sedikitnya 24 48 jam

4. Pada palpasi ringan perut, ada nyeri ringan, tanpa defans muskuler
5. Bising usus menghilang
6. Gambaran radiologis : semua usus menggembung berisi udara
F. Komplikasi Ileus Paralitik
1. Nekrosis usus.
2. Perforasi usus dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi terlalu lama pada
organ intra abdomen.
3. Peritonitis karena absorbsi toksin dalam rongga peritonium sehingga terjadi
peradangan atau infeksi yang hebat pada intra abdomen.
4. Sepsis infeksi akibat dari peritonitis, yang tidak tertangani dengan baik dan
5.
6.
7.
8.

cepat.
Syok dehidrasi terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma.
Abses sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi.
Pneumonia aspirasi dari proses muntah.
Gangguan elektrolit, refluk muntah dapat terjadi akibat distensi abdomen.
Muntah mengakibatkan kehilangan ion hidrogen dan kalium dari lambung,
serta menimbulkan penurunan klorida dan kalium dalam darah (Dermawan,
2010).

G. Pemeriksaan Penunjang Ileus Paralitik


1. Pemeriksaan radiologi
a. Foto polos abdomen 3 posisi
Dengan posisi terlentang dan tegak (lateral dekubitus) memperlihatkan
dilatasi lengkung usus halus disertai adanya batas antara air dan udara
atau gas (air-fluid level) yang membentuk pola bagaikan tangga, posisi
setengah duduk untuk melihat Gambaran udara cairan dalam usus atau di
luar usus, misalnya pada abses, Gambaran udara bebas di bawah
diafragma, Gambaran cairan di rongga pelvis atau abdomen bawah.
b. Pemeriksaan radiologi dengan Barium Enema
Mempunyai suatu peran terbatas pada pasien dengan obstruksi usus
halus. Pengujian Enema Barium terutama sekali bermanfaat jika suatu
obstruksi letak rendah yang tidak dapat pada pemeriksaan foto polos
abdomen. Pada anak-anak dengan intussuscepsi, pemeriksaan enema
barium tidak hanya sebagai diagnostik tetapi juga mungkin sebagai
terapi.
c. CTScan.

Pemeriksaan ini dikerjakan jika secara klinis dan foto polos abdomen
dicurigai adanya strangulasi. CTScan akan mempertunjukkan secara
lebih teliti adanya kelainan-kelainan dinding usus, mesenterikus, dan
peritoneum. CTScan harus dilakukan dengan memasukkan zat kontras
kedalam pembuluh darah. Pada pemeriksaan ini dapat diketahui derajat
dan lokasi dari obstruksi.
d. USG
Pemeriksaan ini akan mempertunjukkan gambaran dan penyebab dari
obstruksi

e. MRI
Walaupun pemeriksaan ini dapat digunakan, tetapi tehnik dan kontras
yang ada sekarang ini belum secara penuh mapan. Teknik ini
digunakan untuk mengevaluasi iskemia mesenterik kronis.
f. Angiografi
Angiografi mesenterik superior telah digunakan untuk mendiagnosis
adanya herniasi internal, intussuscepsi, volvulus, malrotation, dan
adhesi.
2. Pemeriksaan laboratorium
Leukositosis mungkin menunjukkan adanya strangulasi, pada
urinalisa mungkin menunjukkan dehidrasi. Analisa gas darah dapat
mengindikasikan asidosis atau alkalosis metabolic. (Brunner and
Suddarth, 2002)

Asuhan Keperawatan Ileus Paralitik


A. Pengkajian
Merupakan tahap awal dari pendekatan proses keperawatan dan
dilakukan secara sistematika mencakup aspek bio, psiko, sosio, dan spiritual.
Langkah awal dari pengkajian ini adalah pengumpulan data yang diperoleh dari
hasil wawancara dengan klien dan keluarga, observasi pemeriksaan fisik,
konsultasi dengan anggota tim kesehatan lainnya dan meninjau kembali catatan
medis ataupun catatan keperawatan. Pengkajian fisik dilakukan dengan cara
inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
Adapun lingkup pengkajian yang dilakukan pada klien ileus paralitik
adalah sebagai berikut, :
a. Identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama,
alamat, status perkawinan, dan suku bangsa.
b. Riwayat keperawatan.
1)
Riwayat kesehatan sekarang meliputi apa yang dirasakan klien saat
pengkajian.
2)
Riwayat kesehatan masa lalu meliputi penyakit yang pernah
diderita, apakah sebelumnya pernah mengalami peenyakit yang sama.
3)
Riwayat kesehatan keluarga meliputi apakah dari keluarga ada
yang menderita penyakit yang sama.
c. Riwayat Psikososial dan spiritual meliputi pola interaksi, pola pertahanan
diri, pola kognitif, pola emosi dan nilai kepercayaan klien.
d. Kondisi lingkungan meliputi bagaimana kondisi lingkungan yang
mendukung kesehatan klien.
e. Pola aktivitas sebelum dan di rumah sakit meliputi pola nutrisi, pola
eliminasi, personal hygiene, pola aktivitas sehari hari dan pola aktivitas
tidur.
f. Pengkajian fisik dilakukan secara inspeksi, palpasi, auskultasi, dan
perkusi, yaitu:
1)
Inspeksi
Inspeksi perut distensi, dapat ditemukan kontur dan steifung. Benjolan
pada region inguinal, femoral dan skrotum menunjukkan suatu hernia
inkarserata. Pada Intussuspsi dapat terlihat massa abdomen berbentuk
sosis. Adanya adhesi dapat dicurigai bila ada bekas luka operasi
sebelumnya. Kadang teraba massa seperti pada tumor, invaginasi, hernia,

rectal toucher. Selain itu, dapat juga melakukan pemeriksaan inspeksi pada
:
a) Sistem penglihatan posisi mata simetris atau asimetris, kelopak
mata normal atau tidak, pergerakan bola mata normal atau tidak,
konjungtiva anemis atau tidak, kornea normal atau tidak, sclera
ikterik atau anikterik, pupil isokor atau anisokor, reaksi terhadap otot
cahaya baik atau tidak.
b) Sistem pendengaran Daun telinga, serumen, cairan dalam telinga.
c) Sistem pernafasan ke dalam pernafasan dalam atau dangkal, ada
atau tidak batuk, dan pernafasan sesak atau tidak.
d) Sistem hematologi ada atau tidak pendarahan, warna kulit.
e) Sistem pencernaan keadaan mulut, gigi, stomatitis, lidah bersih,
saliva, warna dan konsistensi feses.
f) Sistem urogenital warna BAK.
g) Sistem integument turgor kulit, ptechiae, warna kulit, keadaan
kulit, keadaan rambut.
2)
Palpasi
a) Sistem pencernaan abdomen, hepar, nyeri tekan di epigastrium.
b) Sistem kardiovaskuler pengisian kapiler.
c) Sistem integumen ptechiae.
3)
Auskultasi
Hiperperistaltik, bising usus bernada tinggi, borbor hygmi. Pada fase lanjut
bising usus dan peristaltic melemah dan sampai hilang.
4)
Perkusi
Hipertimpani
5)
Rectal Toucher
a) Isi rectum menyemprot : Hirschprung disease.
b) Adanya darah dapat menokong adanya stragulasi, neoplasma.
c) Feces yang mengeras : skibala.
d) Feces negative : Obstruksi usus letak tinggi
e) Ampula rekti kolap : curiga obstruksi.
f) Nyeri tekan : local atau general peritonitis.
B. Diagnosis Keperawatan
a. Konstipasi berhubungan dengan hipomotilitas/kelumpuhan intestinal.
b. Risiko ketidakseimbangan cairan tubuh berhubungan dengan pengeluaran
c.

cairan tubuh (muntah), ketidakmampuan absorbsi air oleh intestinal.


Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

d.

dengan mual, muntah dan anoreksia.


Gangguan rasa nyaman nyeri epigastrium berhubungan dengan proses
patologis penyakitnya.

e.

Gangguan pola tidur berhubungan dengan sakit kepala dan pegal-pegal

f.

seluruh tubuh.
Ansietas ringan-sedang berhubungan dengan kondisi pasien yang

memburuk dan perdarahan yang dialami pasien.


g. Defisit pengetahuan tentang proses penyakit, diet, dan perawatan pasien
ileus paralitik berhubungan dengan kurangnya informasi.
C. Perencanaan Keperawatan
1. Konstipasi berhubungan dengan hipomotilitas/kelumpuhan intestinal.
Tujuan : Dalam waktu x24 jam terjadi perbaikan konstipasi.
Kriteria evaluasi :
a. Laporan pasien sudah mampu flatus dan keinginan untuk melakukan
BAB.
b. Bising usus terdengar normal, frekuensi 5-25 x / menit.
c. Gambaran foto polos abdomen tidak terdapat adanya akumulasi gas di
dalam intestinal.
Intervensi :
a)
Kaji faktor predisposisi terjadinya ileus.
R : menentukan intervensi medis, misalnya adanya sepsis harus diatasi,
kondisi gangguan elektrolit harus dikoreksi
b)
Monitoring status cairan.
R : Penurunan volume cairan akan meningkatkan resiko ileus semakin parah
karena terjadi gangguan elektrolit.
c)
Evaluasi secara berkala laporan pasien tentang flatus dan periksa
kondisi bising usus.
R : memberikan data dasar pada perawat atau sebagai pera untuk kolaborasi
dengan medis tentang kondisi perbaikan ileus.
d)
Pasang selang nasogastrik.
R : menurunkan keluhan kembung dan distensi abdomen.
e)
Lakukan teknik ambulasi.
R : mencegah pembentukan atelektasis, obstruksi vena profunda, dan
pneumonia.
f)
Kolaborasi : Opioid antagonis selektif.
R : Alvimopan ini ditunjukkan untuk membantu mencegah ileus post
operatif reseksi usus
a. Risiko ketidakseimbangan cairan tubuh berhubungan dengan pengeluaran
cairan tubuh (muntah), ketidakmampuan absorbsi air oleh intestinal.
Tujuan : dalam waktu x24 jam tidak terjadi ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit.

Kriteria evaluasi :
a)

Pasien tidak mengeluh pusing, membrane mukosa lembap, turgor

kulit normal.
b)

TTV dalam batas normal.

c)

CRT < 2 detik, urin > 600 ml/hari.

d)

Laboratorium : Nilai elektrolit normal.

Intervensi :
a)

Monitoring status cairan (turgor kulit, membran mukosa, urine

output).
R : monitoring yang ketat pada produksi urin < 600 ml/hari merupakan
tanda-tanda terjadinya syok hipovolemik
b)
Kaji sumber kehilangan cairan.
R : kehilangan cairan dari muntah dapat disertai dengan keluarnya natrium
via oral yang juga akan meningkatkan resiko gangguan elektrolit.
c)
Dokumentasikan intake dan output cairan.
R : data dasar dalam pemberian terapi cairan dan pemenuhan hidrasi tubuh
secara umum
d)
Monitor TTV secara berkala.
R : hipotensi dapat terjadi pada hipovolemi yang memberikan manifestasi
sudah terlibatnya system kardiovaskular untuk melakukan kompensasi
mempertahankan tekanan darah
e)
Kaji warna kulit, suhu, sianosis, nadi perifer dan diaphoresis secara
teratur.
R : mengetahui adanya pengaruh adanya peningkatan tahanan perifer
f)

Kolaborasi : Pertahankan pemberian cairan secara intravena dan

evaluasi kadar elektrolit.


R : jalur yang paten penting untuk pemberian cairan cepat dan memudahkan
perawat dalam melakukan control intake dan output cairan. Sebagai deteksi
awal menghindari gangguan elektrolit sekunder dari muntah pada pasien
peritonitis
b. Risiko ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kurangnya intake makanan yang adekuat.
Tujuan : Setelah x24 jam asupan nutrisi dapat optimal dilaksanakan.
Kriteria evaluasi :

a)

Bising usus kembali normal dengan frekuensi 5-25x/menit.

b)

Pasien dapat menunjukkan metode menelan makanan yang tepat.

c)

Terjadi penurunan gejala kembung dan distensi abdomen.

d)
Berat badan pada hari ke 7 pasca bedah meningkat minimal 0,5 kg.
Intervensi :
a)
Evaluasi secara berkala kondisi motilitas usus.
R : Sebagai data dasar teknik pemberian asupan nutrisi.
b)
Hindari intake apapun secara oral.
R : umumnya, menunda intake makanan oral sampai tanda klinis ileus
berakhir. Namun kondisi ileus tidak menghalangi pemberian nutrisi enteral.
c)
Berikan nutrisi parenteral.
R : pemberian enteral diberikan secara hati-hati dan lakukan secara bertahap
sesuai tingkat toleransi dari pasien
d)
Pantau intake dan output, anjurkan untuk timbang berat badan
secara periodic (sekali seminggu)
R : mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan
e)
Lakukan perawatan mulut.
R : menurunkan resiko infeksi oral
f)
Kolaborasi dengan ahli gizi mengenai jenis nitrisi yang akan
digunakan pasien.
R : penentuan komposisi dan jenis makanan yang akan diberikan sesuai
dengan kebutuhan individu
c. Gangguan rasa nyaman nyeri epigastrium berhubungan dengan proses
patologis penyakitnya.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x 24 jam
diharapkan rasa nyaman nyeri terpenuhi dengan
Kriteria hasil : nyeri hilang atau berkurang.
Intervensi tindakan :
1) Kaji tingkat nyeri
Rasional : Untuk mengetahui seberapa berat rasa nyeriyang
dirasakan dan mengetahui pemberian terapi sesuai indikasi.
2) Berikan posisi senyaman mungkin
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri dan memberikan
kenyamanan.
3) Berikan lingkungan yang nyaman
Rasional : Untuk mendukung tindakan yang telah diberikan guna
mengurangi rasa nyeri.
4) Kolaborasi dalam pemberian terapi analgetik sesuai
indikasi (Profenid 3 x 1 supp ).

Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri


d. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sakit kepala dan pegal - pegal
seluruh tubuh.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama x24 jam
diharapkan gangguan pola tidur teratasi dengan
Kriteria hasil : Pola tidur terpenuhi.
Intervensi tindakan :
1)
Kaji pola tidur atau istirahat normal pasien
Rasional : Untuk mengetahui pola tidur yang normal pada pasien
dan dapat menentukan kelainan pada pola tidur.
2)
Beri lingkungan yang nyaman
Rasional : Untuk mendukung pemenuhan kebutuhan aktivitas dan
tidur.
3)
Batasi pengunjung selama periode istirahat
Rasional : Untuk menjaga kualitas dan kuantitas tidur pasien.
4)
Pertahankan tempat tidur yang hangat, bersih dan nyaman
Rasional : Supaya pasien dapat tidur dengan nyaman
2)
Kolaborasi pemberian terapi analgetika
Rasional : Agar nengurangi rasa nyeri yang menggangu pola tidur
pasien
e. Ansietas berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan
perdarahan yang dialami pasien.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan kecemasan tidak terjadi dengan
Kriteria hasil : Kecemasan berkurang
Intervensi tindakan :
1)
Kaji rasa cemas klien
Rasional : Untuk mengetahui tingkat kecemasan pasien
2)
Bina hubungan saling percaya dengan klien dan keluarga
Rasional : Untuk terbinanya hubungan saling pecaya antara
perawat dan pasien.
3)
Berikan penjelasan tentang setiap prosedur yang dilakukan
terhadap

klien

Rasional : Agar pasien mengetahui tujuan dari tindakan yang


dilakukan pada dirinya.
f. Defisit pengetahuan tentang proses penyakitnya berhubungan dengan
kurangnya informasi.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 24 jam
diharapkan

pengetahuan

pasien

Kriteria Hasil : Tingkat pengetahuan pasien meningkat.


Intervensi Tindakan :

meningkat.

1)
Jelaskan pada pasien tentang penyakitnya
Rasional : Pasien dapat mengetahui mengenai penyakitnya dan
mendapatkan informasi yang akurat.
2)
Berikan waktu untuk mendengarkan emosi dan perasaan
pasien
Rasional : Agar pasien dapat mengungkapkan perasaannya kepada
perawat
3)
Beri penyuluhan mengenai penyakitnya
Rasional : Untuk meningkatkan pengetahuan pasien mengenai
penyakitnya.
D.
Implementasi Keperawatan (Penatalaksanaan)
Dasar pengobatan obstruksi usus adalah koreksi keseimbangan cairan dan
elektrolit, menghilangkan peregangan dan muntah dengan intubasi dan kompresi,
memperbaiki peritonitis dan syok bila ada, serta menghilangkan obstruksi untuk
memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali normal.
1. Obstruksi Usus Halus
Dekompresi pada usus melalui selang usus halus atau nasogastrik bermamfaat
dalam mayoritas kasus obstruksi usus halus.Apabila usus tersumbat secara
lengkap, maka strangulasi yang terjadi memerlukan tindakan pembedahan,
sebelum pembedahan, terapi intra vena diperlukan untuk mengganti
kehilangan cairan dan elektrolit (natrium, klorida dan kalium).
Selain beberapa perkecualian, obstruksi usus harus ditangani dengan operasi,
karena adanya risiko strangulasi.Selama masih ada obstruksi, strangulasi tidak
dapat dicegah secara meyakinkan.
2. Obstruksi Usus Besar
Apabila obstruksi relatif tinggi dalam kolon, kolonoskopi dapat dilakukan
untuk membuka lilitan dan dekompresi usus.Sekostomi, pembukaan secara
bedah yang dibuat pasa sekum, dapat dilakukan pada pasien yang berisiko
buruk terhadap pembedahan dan sangat memerlukan pengangkatan obstruksi.
Tindakan lain yang biasa dilakukan adalah reseksi bedah utntuk mengangkat
lesi penyebab obstruksi. Kolostomi sementara dan permanen mungkin
diperlukan. Persiapan-persiapan sebelum operasi :
a.
Pemasangan pipa nasogastrik. Tujuannya adalah untuk mencegah
muntah, mengurangi aspirasi dan jangan sampai usus terus menerus
meregang akibat tertelannya udara (mencegah distensi abdomen).

b.

Resusitasi cairan dan elektrolit. Bertujuan untuk mengganti cairan

dan elektrolit yang hilang dan memperbaiki keadaan umum pasien.


c.
Pemberian antibiotik, terutama jika terdapat strangulasi.
3. Operasi
Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan organ-organ vital
berfungsi secara memuaskan. Kalau obstruksi disebabkan karena hernia
skrotalis, maka daerah tersebut harus disayat. Kalau tidak terpaksa harus
dilakukan penyayatan abdomen secara luas. Perincian operatif tergantung dari
penyebab obstruksi tersebut. Perlengketan dilepaskan atau bagian yang
mengalami obstruksi dibuang. Usus yang mengalami strangulasi dipotong.
4. Pasca Bedah
Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan dan
elektrolit. Harus dicegah terjadinya gagal ginjal dan harus memberikan kalori
yang cukup.Perlu diingat bahwa pasca bedah, usus pasien masih dalam
keadaan paralitik. Tindakan pembedahan terhadap obstruksi usus halus
tergantung penyebab obstruksi. Penyebab paling umum dari obstruksi seperti
hernia dan perlengketan. Tindakan pembedahannya adalah herniotomi.
Secara garis besar, penatalaksanaan medis maupun keperawatan bagi klien dengan
ileus paralitik antara lain sebagai berikut.
1. Konservatif
a.

Penderita dirawat di rumah sakit.

b.

Penderita dipuasakan

c.

Kontrol status airway, breathing and circulation.

d.

Dekompresi dengan nasogastric tube.

e.

Intravenous fluids and electrolyte

f.

Dipasang kateter urin untuk menghitung balance cairan.

2. Farmakologis
a. Antibiotik broadspectrum untuk bakteri anaerob dan aerob.
b. Analgesik apabila nyeri.
3. Operatif
a. Ileus paralitik tidak dilakukan intervensi bedah kecuali disertai
dengan peritonitis.
E.

Evaluasi Keperawatan

Evaluasi asuhan keperawatan adalah tahap akhir proses keperawatan yang


bertujuan untuk menilai hasil akhir dari keseluruhan tindakan keperawatan
yang telah dilakukan. Tahap evaluasi merupakan indikator keberhasilan
dalam penggunaan proses keperawatan. Evaluasi terdiri dari :
1. Tinjauan laporan klien harus mencakup riwayat perawatan, kartu
catatan, hasil-hasil tes dan semua laporan observasi.
2. Pengkajian kembali terhadap klien berdasarkan pada tujuan kriteria
yang diukur dan mencakup reaksi klien terhadap lingkungan yang dilakukan.
Reaksi klien secara fisiologis dapat diukur dengan

kriteria seperti

mengukur tekanan darah, suhu dan lain-lain.


3. Kriteria hasil tercapai sesuai dengan diagnosis yang dialami klien.
DAFTAR PUSTAKA
Alief. M, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FKUI.
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Alih bahasa
Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC.
Doengoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Jakarta : EGC.
Price & Wilson. 2007. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi
6, Volume1. Jakarta : EGC.

You might also like