You are on page 1of 19

LAPORAN COOPERATIVE LEARNING

NEFROTIC SYNDROME
Kelompok 1

Oleh :
Dina Mukmilah

115070201131024

Ardianta Gede Pamungkas

115070200131004

Carina Rega Utomo

115070200131005

Kadek Kusuma Wardana

115070201131015

Nadia Oktiffany Putri

115070201131017

Sugeng Trianugrah R

115070207131017

Arif Dika Mahendra

115070207131006

Isty Octavia K

115070200131008

Feby Fitri Amaly

115070200131009

Farida Laksitarini

115070207131005

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
MALANG
2013

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Ginjal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang berfungsi untuk membuang bahanbahan sampah dari tubuh hasil pencernaan atau yang diproduksi oleh metabolisme, pengaturan
keseimbangan air dan elektrolit, pengaturan konsentrasi osmolitas cairan tubuh dan konsentrasi
elektrolit, pengaturan keseimbangan asam-basa, ekskresi produk sisa metabolik dan bahan kimia
asing, dan sebagainya. Apabila ada salah satu fungsi tidak berjalan dengan baik maka akan timbul
kerusakan di salah satu organ ginjal dan dapat meyebabkan penyakit ginjal.
Kelainan ginjal merupakan salah satu jenis kelainan yang dapat menyebabkan kematian dan
cacat tubuh di banyak negara di seluruh dunia. Ada beberapa macam penyakit ginjal diantaranya
adalah Sindroma Nefrotik (SN). Sindrom nefrotik atau nefrosis bukan satu penyakit, tetapi
sekelompok gejala, termasuk albuminuria, hipoalbuminemia, edema, hiperlipidemia, dan lipuria.
Sindrom nefrotik dikaitkan dengan reaksi alergi (gigitan serangga, serbuk sari, dan glomerulonefitis
akut), infeksi (herpes zoster), penyakit sistemik (diabetes mellitus), masalah sirkulasi (gagal jantung
kongestif berat), kanker (penyakit Hodgkin, paru, kolon, dan mamma), transplantasi ginjal, dan
kehamilan. Sekitar 50-75% individu dewasa dengan sindrom nefrotik akan mengalami kegagalan
ginjal dalam lima tahun. Etiologi sindrom nefrotik pada anak-anak adalah idiopatik. Sindrom nefrotik
paling sering ditemukan pada anak-anak. Sekitar 70-80% kasus nefrosis terdiagnosis sebelum
mereka mencapai usia 16 tahun. Insiden tertinggi adalah pada usia 6-8 tahun (Baradero, Wilfrid,
Siswadi, 2009)

1.2 Tujuan
1. Kelompok mengetahui tentang definisi dari Nefrotik Sindrom
2. Kelompok mengetahui etiologi dari Nefrotik Sindrom
3. Kelompok mengetahui klasifikasi dari Nefrotik Sindrom
4. Kelompok mengetahui patofisiologi dari Nefrotik Sindrom
5. Kelompok mengetahui manifestasi klinis Nefrotik Sindrom
6. Kelompok mengetahui pemeriksaan diagnostic Nefrotik Sindrom
7. Kelompok mengetahui penatalaksanaan dari Nefrotik Sindrom

8. Kelompok mengetahui komplikasi dari Nefrotik Sindrom

1.3 Manfaat
Dengan disusunnya makalah ini diharapkan pembaca mengetahui dan memahami mengenai
gangguan pada sistem urinari yaitu Nefrotik Sindrom dan asuhan keperawatannya pada klien yang
menderita Nefrotik Sindrom

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Nefrotic Syndrom


Sindrom nefrotik atau nefrosis bukan satu penyakit, tetapi sekelompok gejala, termasuk
albuminuria, hipoalbuminemia, edema, hiperlipidemia, dan lipuria. Sindrom nefrotik dikaitkan
dengan reaksi alergi (gigitan serangga, serbuk sari, dan glomerulonefitis akut), infeksi (herpes
zoster), penyakit sistemik (diabetes mellitus), masalah sirkulasi (gagal jantung kongestif berat),
kanker (penyakit Hodgkin, paru, kolon, dan mamma), transplantasi ginjal, dan kehamilan. Sekitar 5075% individu dewasa dengan sindrom nefrotik akan mengalami kegagalan ginjal dalam lima tahun.
Etiologi sindrom nefrotik pada anak-anak adalah idiopatik. Sindrom nefrotik paling sering ditemukan
pada anak-anak. Sekitar 70-80% kasus nefrosis terdiagnosis sebelum mereka mencapai usia 16
tahun. Insiden tertinggi adalah pada usia 6-8 tahun (Baradero, Wilfrid, Siswadi, 2009).
Perubahan fisiologis awal sindrom nefrotik adalah perubahan sel pada membrane dasar
glomerular. Hal ini mengakibatkan membrane tersebut menjadi hiperpermiabel (karena berporipori) sehingga banyak protein yang terbuang dalam urine (proteinuria). Banyaknya protein yang
terbuang dalam urine mengakibatkan albumin serum menurun (hipoalbuminemia) sehingga tekanan
oncotic menurun dan terjadi edema (Baradero, Wilfrid, Siswadi, 2009).
Dan menurut Brunner&suddarth (2001) nephrotic syndrome merupakan penyakit glomerular yang
utama yang biasanya memiliki ciri:

Peningkatan jumlah protein di urine (proteinuria)


Pengurangan jumlah albumin di darah (hypoalbuminemia)
Edema
Peningkatan serum kolesterol dan LDL (hyperlipidemia)

Gejala ini tampak pada banyak kondisi yang membahayakan membrane kapiler glomerular dan
terjadi peningkatan permeabilitas glomerular.

2. Etiologi inkontinensia urin


Menurut Ngastiyah (2005) penyebab penyakit sindrom nefrotik yg pasti belum diketahui, akhirakhir ini dianggap sbg suatu penyakit autoimun yaitu merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Di
antaranya dibagi menjadi 3 :

a. SN bawaan

Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal.


Gejalanya : edema pd masa neonatus.
SN jenis ini resisten terhadap semua pengobatan.
Salah satu cara yg bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pd masa neonatus namun tdk
berhasil. Prognosis buruk & biasanya penderita meninggal dlm bulan-bulan pertama kehidupannya.

b. SN sekunder

Muncul sbg akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang
nyata seperti misalnya efek samping obat.

Penyebab yg sering dijumpai adalah:

Malaria kuartana atau parasit lain.


Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
Glumeronefritis akut /glumeronefritis kronis, trombisis vena renalis.
Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, racun oak,
air raksa, logam berat(Hg)
Amiloidosis,

penyakit

sel

sabit,

hiperprolinemia,

nefritis

membranoproliferatif

hipokomplementemik.

c. SN Primer/ Idiopatik
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom ini secara primer terjadi akibat kelainan pd
glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pd anak (wirya,
2002).
Sindroma nefrotik juga dapat disebabkan oleh GN primer dan GN sekunder akibat infeksi,
keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease). Klasifikasi dan penyebab
sindrom nefrotik didasarkan pada penyebab primer ( gangguan glomerular karena umur), dan
sekunder (penyebab sindrome nefrotik).
a.Penyebab Primer

Umumnya tidak diketahui kausnya dan terdiri atas sindrome nefrotik idiopatik (SNI) atau yang
sering disebut juga SN primer yang bila berdasarkan gambaran dari histopatologinya, dapat
terbagi menjadi ;
1. Sindroma nefrotik kelainan minimal
2. Glomerulonephritis membranosa
3. Glomerulonephritis proliferative membranosa
4. Glomerulonephritis stadium lanjut
b. Penyebab Sekunder
a. Infeksi : malaria, hepatitis B dan C, GNA pasc infeksi, HIV, sifilis, TB, lepra, skistosoma1
b.Keganasan : leukemia, Hodgkins disease, adenokarsinoma :paru, payudara, colon, myeloma
multiple, karsinoma ginjal
c. Jaringan penghubung : SLE, artritis rheumatoid, MCTD (mixed connective tissue disease)1
d.Metabolik : Diabetes militus, amylodosis
e. Efek obat dan toksin : OAINS, preparat emas, penisilinami, probenesid, kaptopril, heroin1
f. Berdasarkan respon steroid, dibedakan respon terhadap steroid (sindrom nefrotik yang sensitive
terhadap steroid (SNSS) yang lazimnya berupa kelainan minimal, tidak perlu biopsy), dan
resisten steroid atau SNRS yang lazimnya bukan kelainan minimal dan memerlukan biopsy.
g.

Obat-obatan/allergen: Trimethadion, paramethadion, probenecid, tepung sari, gigitan

ular/serangga, vaksin polio, obat pereda nyeri yang menyerupai aspirin, senyawa emas, heroin
intravena, penisilamin, racun pohon ivy, racun pohon EK, dan cahaya matahari.
Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam
kelompok GN primer, terbagi atas: (a) GN lesi minimal (GNLM) sering pada anak anak, (b)
Glomerulosklerosis fokal (GSF), (c) GN membranosa (GNMN) sering pada orang dewasa dan (d) GN
membranoproliferatif (GNMP). Glomerulonefritis sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai

misalnya pada GN pasca infeksi Streptokokus atau infeksi virus hepatitis virus B, akibat obat
misalnya obat anti inflamasi non steroid atau preparat emas organic, dan akibat penyakit sistemik
misalnya pada lupus eritematosus sistemik dan diabetes mellitus (Prodjosujadi, 2006).

3. Klasifikasi Lower Urinary Tract Infection


Dibagi berdasarkan etiologi, gambaran patologi anatomi, dan respons terhadap steroid.
Berdasarkan etiologi:
SN secara garis besar dapat dibagi 3,
1. Kongenital
Sindrom nefrotik pada tahun pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia kurang dari 6
bulan, merupakan kelainan kongenital (umumnya herediter) dan mempunyai prognosis buruk.
2. Glomerulonefritis primer/idiopatik, Penyebab tidak diketahui
3. Sekunder, mengikuti penyakit sistemik seperti:
Penyakit infeksi sistemik ( malaria, Hepatitis B, GNA pasca infeksi,AIDS)
Penyakit multi sistemik ( SLE )
Penyakit Vaskultis Henoch-Schonlein nephritis, Poliarteritis nodosa
Keganasan : Leukemia
Keracunan logam berat seperti timah hitam, air raksa

Berdasarkan gambaran histopatologi ginjal,

Sindroma nefrotik kelainan minimal


Sebagian besar (90%) SN idiopatik pada anak merupakan sindrom nefrotik kelainan minimal
(SNKM), umumnya terjadi antara usia 1-6 tahun, dengan median umur awitan 3 tahun.
Fokal sklerosis glomerulo nefritis

Nefropati membranosa
Glomerulonefritis proliferative membranosa
Glomerulonefritis stadium lanjut

Berdasarkan respon terhadap steroid

Steroid responsive: sindroma nefrotik yang sensitive terhadap steroid (SNSS)lazimnya berupa
kelainan minimal) (biasnya biopsy ginjal tidak perlu)
Steroid non responsive ( steroid resisten )(SNRS) lazimnya bukan kelainan minimal perlu biop-si
ginjal

Mekanisme proteinuria pada sindrom nefrotik

Proteinuria pada SN umumnya merupakan proteinuria glomerular,terutama pada SNKM,


sedang- kan pada SN dengan penurunan fungsi ginjal progresif, misalnya pada glomerulosklerosis fokal segmental, selain proteinuria glomerular juga terjadi proteinuria tubular. Proteinuria
glomerular terjadi sebagai akibat perubahan permeabilitas glomerulus dan perubahan muatan
ion membran filrasi, sehingga mengakibatkan proteinuria selektif (albuminuria).

4. Patofisologi (terlampir)
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang menyertai Sindroma Nefrotik menurut Ngastiyah, 2005 antara lain :
1. Proteinuria.
2. Edema
Biasanya edema dapat bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema biasanya
lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital)dan
berlanjut ke abdomen daerah genitalia dan ekstermitas bawah.
3. Penurunan jumlah urine, urine gelap, dan berbusa.
4. Hematuria.
5. Anoreksia
6. Diare.

7. Pucat.
8. Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang).

6. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan Laboratorium
a)

Urinalisa :

warna : normal kekuning-kuningan, abnormal merah menunjukkan hematuri (kemungkinan


obstruksi urine, kalkulus renalis, tumor,kegagalan ginjal).
pH : normal 4,6 6,8 (rata-rata 6,0), asam (meningkatkan sistin dan batu asam urat), alkali
(meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat),
Urine 24 jam : Kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat, atau sistin mungkin meningkat),
kultur urine menunjukkan Infeksi Saluran Kencing ,
BUN hasil normal 5 20 mg/dl tujuan untuk memperlihatkan kemampuan ginjal untuk
mengekskresi sisa yang bemitrogen. BUN menjelaskan secara kasar perkiraan Glomerular
Filtration Rate. BUN dapat dipengaruhi oleh diet tinggi protein, darah dalam saluran
pencernaan status katabolik (cedera, infeksi).
Kreatinin serum hasil normal laki-laki 0,85 sampai 15mg/dl perempuan 0,70 sampai 1,25
mg/dl tujuannya untuk memperlihatkan kemampuan ginjal untuk mengekskresi sisa yang
bemitrogen. Abnormal (tinggi pada serum/rendah pada urine) sekunder terhadap tingginya
batu obstruktif pada ginjal menyebabkan iskemia/nekrosis.
b)

Darah lengkap : Hb, Ht, abnormal bila pasien dehidrasi berat atau polisitemia.

Darah
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:
Protein total menurun (N : 6,2-8,1 mg/100ml)
Albumin menurun (N : 4-5,8 mg/100ml). hal ini disebut sebagai hipoalbuminemia (nilai
kadar albumin dalam darah < 2,5 gram/100 ml). SN kelainan ini dapat disebabkan
oleh:Proteinuria, katabolisme protein yang berlebihan dan nutricional deficiency
Pada SN ternyata katabolisme protein meningkat akibat katabolisme protein yang
terjadi di tubuh ginjal. Peningkatan katabolisme ini merupakan faktor tambahan terjadinya
hipoalbuminemia selain dari proteinuria (albuminuria). Pada SN sering pula dijumpai anoreksia

akibat edema mukosa usus sehingga intake berkurang yang pada gilirannya dapat menimbulkan
hipoproteinemia. Pada umumnya edema anasarka terjadi bila kadar albumin darah < 2
gram/100ml, dan syok hipovolemia terjadi biasanya pada kadar < 1 garam/100ml.
1 globulin normal (N : 0,1-0,3 gm/100ml)
2 globulin meninggi (N : 0,4-1 gm/100ml)
globulin normal (N : 0,5-0,9 gm/100ml)
globulin normal (N : 0,3-1 gm/100ml)
Rasio albumin/globulin < 1 (N : 3/2)
Komplemen c3 normal/rendah (N : 80-120mg/100ml)
Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin normal
Hiperkolestrolemia bila kadar kolestrol > 250mg/100ml. akhir-akhir ini disebut juga
sebagai hiperlipidemia oleh karena bukan hanya kolestrol saja yang meninggi dalam
darah, konsituen lemak itu adalah:
Kolestrol
Low density lipoprotein (LDL)
Very low density lipoprotein (VLDL)
Trigliserida baru meningkat bila plasma albumin < 1 gram/100ml
Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu unutk membuat albumin sebanyakbanyaknya. Bersamaan dengan sintetis albumin ini, sel-sel hepar juga akan membuat VLDL.
Dalam keadaan normal VLDL diubah menjadi LDL oleh lipoprotein lipase. Tetapi pada SN,
aktivitas enzim ini terhambat dengan adanya hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak
bebas. Disamping itu menurunnya aktivitas lipoprotein lipase ini disebabkan oleh rendahnya
kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarganya protein dalam urin. Jadi
hiperkolestrolemia ini tidak hanya disebabkan oleh produksi yang berlebihan, tetapi juga akibat
gangguan katabolisme fosfolipid.
c)

Hormon Paratyroid mungkin meningkat bila ada gagal ginjal (PTH merangsang
reabsorbsi kalsium dari tulang, meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urine.

7.Penatalaksanaan Medis
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal. Menjaga pasien dalam
keadaan tirah baring selama beberapa hari mungkin diperlukan untuk meningkatkan diuresis guna
mengurangi edema. Masukan protein ditingkatkan untuk menggantikan protein yang hilang dalam
urin dan untuk membentuk cadangan protein dalam tubuh. Jika edema berat, pasien diberikan
diet rendah natrium. Diuretic diresepkan untuk pasien dengan edema berat, dan
adrenokortikosteroid (prednisone) digunakan untuk mengurangi proteinuria. Medikasi lain yang
digunakan dalam penanganan sindrom nefrotik mencakup agens antineoplastik (cytoxan) atau
agens imunosupresif (imuran, leukeran, atau siklosporin). Jika terjadi kambuh, penanganan
kortikosteroid ulang diperlukan (Brunner & Suddarth, 2002).
Biopsi ginjal sering direkomendasikan pada orang dengan Sindrom nefrotik untuk mendirikan
subtipe patologis penyakit, untuk menilai aktivitas penyakit, atau untuk mengkonfirmasi diagnosis
penyakit, seperti Amiloidosis atau lupus eritematosus sistemik. Bagaimanapun, tidak ada
pedoman yang jelas kapan ginjal biopsi diindikasikan atau apakah itu diperlukan di semua orang
dengan Sindrom nefrotik. Sebagai contoh, dalam nefropati diabetes, penyebab Sindrom nefrotik
sekunder, biopsi ginjal tidak mungkin diperlukan jika pasien telah diperbesar ginjal, sedimen
kemih hambar tanpa gips selular atau bukti lain mikrovaskuler penyakit, seperti retinopati
proliferatif atau neuropati perifer. Meskipun biopsi ginjal sering dianjurkan untuk menilai
kemungkinan Sindrom nefrotik akan merespon pengobatan kortikosteroid, ada tidak ada temuan
biopsi yang akurat memprediksi kortikosteroid responsif. Tidak ada penelitian telah menguraikan
keuntungan biopsi ginjal dalam memandu manajemen, bukti terbaik yang tersedia dari sebuah
penelitian prospektif yang di mana hasil pengelolaan biopsi ginjal yang berubah di 24 dari 28
orang dengan Sindrom nefrotik, terutama melalui penambahan pengobatan kortikosteroid,
meskipun menguntungkan pasien sebenarnya adalah tidak diketahui. Dalam kebanyakan kasus,
dokter keluarga harus berkonsultasi dengan spesialis dalam ginjal obat tentang perlunya untuk
biopsi ginjal pada pasien individu.
Cairan dan Nutrisi
Menciptakan keseimbangan natrium negatif akan membantu mengurangi edema, mungkin
sebagai penyakit yang mendasari diobati atau peradangan ginjal perlahan terselesaikan. Pasien

harus membatasi asupan sodium hingga 3 g per hari, dan mungkin perlu membatasi asupan cairan
(kurang dari sekitar 1,5 L per hari).
Diuretik
Diuretik adalah andalan manajemen medis, namun tidak ada bukti untuk membimbing
pemilihan obat atau dosis. Berdasarkan pendapat ahli, diuresis harus bertujuan untuk target
penurunan berat badan 1 sampai 2 lb (0,5-1 kg) per hari untuk menghindari gagal ginjal akut
atau gangguan elektrolit. Loop diuretik, seperti furosemide (Lasix) atau bumetanide, yang paling
sering digunakan. Dosis besar (misalnya, 80 sampai 120 mg furosemid) sering diperlukan, dan
obat ini biasanya harus diberikan intravena karena penyerapan yang buruk dari obat oral yang
disebabkan oleh usus edema. Rendah kadar albumin serum juga membatasi efektivitas diuretik
dan memerlukan lebih tinggi dosis. Diuretik thiazide, diuretik hemat kalium, atau metolazone
(Zaroxolyn) mungkin berguna sebagai adjunctive atau diuretik sinergis (Hull, 2008).
ACE Inhibitor
Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor telah terbukti mengurangi proteinuria dan
mengurangi risiko perkembangan penyakit ginjal pada orang dengan nefrotik syndrome
(Ruggenenti,2000). Satu studi menemukan tidak ada perbaikan dalam respon ketika pengobatan
kortikosteroid ditambahkan ke pengobatan dengan ACE inhibitor (Stiles,2001). Dosis yang
direkomendasikan adalah tidak jelas, dan enalapril (Vasotec) dosis 2,5-20 mg per hari digunakan.
Kebanyakan orang dengan sindrom nefrotik harus memulai pengobatan ACE inhibitor untuk
mengurangi proteinuria, terlepas dari tekanan darah (Korbet, 2003).
Albumin
Albumin intravena telah diusulkan untuk membantu diuresis, karena edema mungkin
disebabkan oleh hipoalbuminemia dan mengakibatkan tekanan onkotik. Namun, tidak ada
bukti yang menunjukkan manfaat dari pengobatan dengan albumin, dan efek merugikan,
seperti hipertensi atau edema paru, serta biaya tinggi, membatasi penggunaannya.
Kortikosteroid
Pengobatan dengan kortikosteroid masih kontroversial dalam pengelolaan sindrom
nefrotik pada orang dewasa. Ini tidak terbukti memiliki manfaat, tetapi dianjurkan pada

beberapa orang yang tidak menanggapi treatment konservatif (Crook , 2005). Pengobatan anakanak dengan sindrom nefrotik berbeda, dan lebih jelas menetapkan bahwa anak-anak merespon
dengan baik untuk kortikosteroid treatment klasik (Schieppati, 2004), minimal penyakit
perubahan merespon baik terhadap kortikosteroid dibandingkan FSGS, namun perbedaan ini
ditemukan terutama pada anak-anak dengan sindrom nefrotik. Satu studi dahulu menemukan
bahwa pengobatan kortikosteroid meningkatkan proteinuria dan fungsi ginjal pada orang
dengan penyakit perubahan minimal, tetapi tidak membran nefropati atau glomerulonephritis
proliferatif. Studi kecil lain yang dahulu menemukan bahwa orang-orang dengan perubahan
glomerulus kurang parah merespon dengan baik untuk corticosteroids. Satu seri kasus pada
orang hitam dengan FSGS tidak menemukan manfaat dari treatment kortikosteroid. Dua ulasan
Cochrane pada pengobatan sindrom nefrotik pada orang dewasa tidak menemukan manfaat
untuk kematian atau kebutuhan untuk dialisis dengan terapi kortikosteroid untuk nefropati
membranosa atau penyakit perubahan minimal, tapi menemukan manfaat yang lemah untuk
penyakit remisi dan proteinuria pada orang dengan membran nephropathy (Palmer, 2008).
Namun, temuan untuk penyakit perubahan minimal didasarkan pada hanya satu uji coba secara
acak, dan peran pengobatan kortikosteroid masih belum jelas. Banyak ahli merekomendasikan
penggunaan kortikosteroid, terutama untuk orang-orang dengan perubahan penyakit minimal,
namun efek samping dari kortikosteroid sering menyebabkan penghentian (Hodson, 2009).
Lipid -Penurunan Pengobatan
Sebuah tinjauan Cochrane sedang berlangsung untuk menyelidiki manfaat dan bahaya
agen penurun lipid pada nefrotik syndrome (Fan, 2009). Beberapa bukti menunjukkan
peningkatan risiko aterosklerosis atau infark miokard pada orang dengan sindrom nefrotik,
kemungkinan berhubungan dengan peningkatan lipid levels. Namun, peran pengobatan untuk
meningkatkan lipid tidak diketahui dan, saat ini, keputusan untuk memulai terapi penurun lipid
pada orang dengan sindrom nefrotik harus dibuat atas dasar yang sama seperti pada pasien
lainnya.
Antibiotik
Tidak ada data dari uji klinis prospektif tentang pengobatan dan pencegahan infeksi pada orang
dewasa dengan sindrom nefrotik. Mengingat risiko pasti infeksi pada orang dewasa dengan
sindrom nefrotik di Amerika Serikat, saat ini tidak ada indikasi untuk antibiotik atau intervensi

lainnya untuk mencegah infeksi pada populasi ini. Orang yang adalah kandidat yang tepat harus
menerima vaksinasi pneumokokus.
Terapi Antikoagulasi
Saat ini tidak ada rekomendasi untuk antikoagulasi profilaksis untuk mencegah kejadian
tromboemboli pada orang dengan sindrom nefrotik yang tidak memiliki kejadian trombotik
sebelumnya, dan praktek klinis bervariasi. Sebuah tinjauan Cochrane dalam proses (Kulshrestha,
2009). Dokter harus tetap waspada terhadap tanda-tanda atau gejala yang menunjukkan
tromboemboli dan, jika didiagnosis, kejadian ini harus diperlakukan seperti pasien lain. Orang
yang dinyatakan berisiko tinggi tromboemboli (misalnya, berdasarkan peristiwa sebelumnya,
koagulopati diketahui) harus dipertimbangkan untuk antikoagulasi profilaksis sementara mereka
memiliki sindrom nefrotik aktif.

Menjaga tekanan darah pada atau di bawah 130/80 mmHg untuk menunda kerusakan
ginjal. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor atau angiotensin receptor blocker
(ARB) adalah obat paling sering digunakan. ACE inhibitors juga dapat membantu mengurangi
jumlah protein yang hilang dalam urin.

Dapat menggunakan kortikosteroid dan obat lain yang menekan atau menenangkan sistem
kekebalan tubuh.

Mengobati kolesterol tinggi untuk mengurangi risiko masalah jantung dan pembuluh darah.
Sebuah rendah lemak, diet rendah kolesterol biasanya tidak sangat membantu bagi orangorang dengan sindrom nefrotik. Obat untuk mengurangi kolesterol dan trigliserida (biasanya
statin) mungkin diperlukan.

Diet rendah garam dapat membantu dengan pembengkakan di tangan dan kaki. Pil air
(diuretik) juga dapat membantu dengan masalah ini.

Diet rendah protein dapat membantu. Dokter mungkin menyarankan diet moderat protein
(1 gram protein per kilogram berat badan per hari).

Mungkin perlu suplemen vitamin D jika sindrom nefrotik adalah jangka panjang dan tidak
menanggapi pengobatan.

Pengencer darah mungkin diperlukan untuk mengobati atau mencegah pembekuan darah
(Nachman, 2007).

8. Komplikasi
1.Infeksi
Infeksi merupakan komplikasi utama dari sindrom nefrotik, komplikasi ini akibat dari
meningkatnya kerentanan terhadap infeksi bakteri selama kambuh.Peningkatan kerentanan
terhadap infeksi disebabkan oleh:

penurunan kadar imunoglobulinkadar IgG pada anak dengan sindrom nefrotik sering sangat
menurun,dimana pada suatu penelitian didapkan rata-rata 18% dari normal.Sedangkan kadar
IgM meningkat. Hal ini menunjukan kemungkinan adakelainan pada konversi yang
diperantarai sel T pada sintesis IgG dan IgMcairan edema yang berperan sebagai media biakan.defisiensi protein
penurunan aktivitas bakterisid leukosit,imunosupresif karena pengobatan
penurunan perfusi limpa karena hipovolemia,kehilangan faktor komplemen (Faktor properdin B) dalam urin yang mengoponisasi bakteria
tertentu

Pada Sindrom nefrotik terdapat peningkatan kerentanan terhadap bakteria tertentuseperti


-Streptococcus pneumoniae,
-Haemophilus influenzae,
-Escherichia coli,
-Dan bakteri gram negatif lain
Peritonitis spontan merupakan jenis infeksi yang paling sering, belum jelassebabnya. Jenis
infeksi lain yang dapat ditemukan antara lain; sepsis, pnemonia,selulitis dan ISK. Terapi profilaksis
yang mencakup gram positif dan gram negatif dianggap penting untuk mencegah terjadinya
peritonitis

2. Kelainan koagulasi dan thrombosis Kelainan


Kelainan koagulasi dan trombosisKelainan hemostatic ini bergantung dari etiologi nefrotik
sindrom, pada kelainanglomerulopati membranosa sering terjadi komplikasi ini, sedang pada
kelainanminimal jarang menimbulkan komplikasi tromboembolism. Pada sindromnefrotik
terdapat peningkatan faktor-faktor I, II, VII, VII, dan X yang disebabkanoleh meningkatnya sintesis
oleh hati dan dikuti dengan peningkatan sintesisalbumin serta lipoprotein. Terjadi kehilangan anti
trombin II, menurunya kadar plasminogen, fibrinogen plasma meningkat dan konsentrasi anti

koagulan proteinC dan protein S meningkat dalam plasma. Secara ringkas kelainan hemostatik
pada Sindrom nefrotik dapat timbul dari dua mekanisme yang berbeda :
peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:

meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein dalam urin sepertianti trombin III, protein S
bebas, plasminogen dan a antiplasmin
hipoalbuminuria mengakibatkan aktivasi trombosit lewat tromboksanA2, meningkatkan sintesis
protein pro koagulan karena hiporikia dantekanan fibrinolisis.Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringanmonosit dan oleh
paparan matriks subendotel pada kapiler glomerulus yang selanjutnya mengakibatkan
pembentukan fibrin dan agregasitrombosit.
3. Pertumbuhan abnormal
Pertumbuhan abnormal Pada anak dengan sindrom nefrotik dapat terjadi gangguan
pertumbuhan (failure to thrive),hal ini dapat disebabkan anoreksia hypoproteinemia,
peningkatankatabolisme protein, atau akibat komplikasi penyakit infeksi, mal absorbsi
karenaedem saluran gastrointestinal. Dengan pemberian kortikosteroid pada sindrom nefrotik
dapat pula menyebabkangangguan pertumbuhan. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi dan
dalam jangkawaktu yang lama, dapat menghambat maturasi tulang dan terhentinyapertumbuhan
linier,terutama apabila dosis melampaui 5mg/m2/hari. Walau selama pengobatan kortikosteroid
tidak terdapat pengurangan produksi atausekresi hormon pertumbuhan, tapi telah diketahui
bahwa kortikosteroidmengantagonis efek hormon pertumbuhan endogen atau eksogen pada
tingkatjaringan perifer , melalui efeknya terhadap somatomedin
4. Perubahan hormon dan mineral
Perubahan hormon dan mineral Pada pasien Sindrom nefrotik berbagai gangguan hormon
timbul karena proteinpengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid
(TBG)dalam urin pada beberapa pasien Sindrom nefrotik dan laju eksresi globulinumumnya
berkaitan dengan beratnya proteinemia. Hipo kalsemia pada sindromnefrotik berkaitan dengan
disebabkan oleh albumin serum yang rendah danberakibat menurunnya kalsium terikat, tetapi
fraksi trionisasi tetap normal danmenetap
5. Anemia
Anemia ringan hanya kadang-kadang ditemukan pada pasien sindrom nefrotik.Anemianya
hipokrom mikrositik, karena defisiensi besi yang tipikal, namun resisten terhadap prefarat besi.
Pada pasien dengan volume vaskular yangbertambah anemia nya terjadi karena pengenceran.
Pada beberapa pasien terdapattransferin serum yang sangat menurun, karena hilangnya protein
ini dalam urindalam jumlah besar.

Ringkasan
Sindrom nefrotik atau nefrosis bukan satu penyakit, tetapi sekelompok gejala, termasuk
albuminuria, hipoalbuminemia, edema, hiperlipidemia, dan lipuria. Sindrom nefrotik dikaitkan
dengan reaksi alergi (gigitan serangga, serbuk sari, dan glomerulonefitis akut), infeksi (herpes
zoster), penyakit sistemik (diabetes mellitus), masalah sirkulasi (gagal jantung kongestif berat),
kanker (penyakit Hodgkin, paru, kolon, dan mamma), transplantasi ginjal, dan kehamilan. Sekitar 5075% individu dewasa dengan sindrom nefrotik akan mengalami kegagalan ginjal dalam lima tahun.
Etiologi sindrom nefrotik pada anak-anak adalah idiopatik. Sindrom nefrotik paling sering ditemukan
pada anak-anak. Sekitar 70-80% kasus nefrosis terdiagnosis sebelum mereka mencapai usia 16
tahun. Insiden tertinggi adalah pada usia 6-8 tahun (Baradero, Wilfrid, Siswadi, 2009).
Perubahan fisiologis awal sindrom nefrotik adalah perubahan sel pada membrane dasar
glomerular. Hal ini mengakibatkan membrane tersebut menjadi hiperpermiabel (karena berporipori) sehingga banyak protein yang terbuang dalam urine (proteinuria). Banyaknya protein yang
terbuang dalam urine mengakibatkan albumin serum menurun (hipoalbuminemia) sehingga tekanan
oncotic menurun dan terjadi edema (Baradero, Wilfrid, Siswadi, 2009). Penyebab penyakit sindrom
nefrotik yg pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sbg suatu penyakit autoimun yaitu
merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Klasifikasinya dibagi berdasarkan etiologi, gambaran
patologi anatomi, dan respons terhadap steroid. Manifestasi klinis yang menyertai Sindroma
Nefrotik proteinuria, edema, Penurunan jumlah urine, urine gelap, dan berbusa, Hematuria,
Anoreksia, Diare. Pemeriksaan diagnostiknya dapat dilakukan dengan melakukan tes laboratorium,
kemudian tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal. Menjaga pasien
dalam keadaan tirah baring selama beberapa hari mungkin diperlukan untuk meningkatkan diuresis
guna mengurangi edema. Masukan protein ditingkatkan untuk menggantikan protein yang hilang
dalam urin dan untuk membentuk cadangan protein dalam tubuh. Komplikasi yang dapat terjadi
pada nefrotik sindrom adalah Infeksi, gangguan koagulasi, anemia, perubahan hormon dan
gangguan pertumbuhan.

Daftar Pustaka
1. Corwin, Elizabeth J, 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
2. Baradero, Wilfrid, Siswadi, 2009. Klien Gangguan Ginjal. Jakarta: EGC.
3. Brunner& Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
4. Wiguno Prodjosudjadi, Divisi Ginjal Hipertensi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi ke-4, Aru
W.Sudoyo, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, 2006
5. Nachman PH, Jennette JC, Falk RJ. Primary glomerular disease. In: Brenner BM, ed. Brenner and
Rector's The Kidney . 8th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2007:chap 30.
6. Hull RP, Goldsmith DJ. Nephrotic syndrome in adults. BMJ. 2008;336(7654):11851189.

7. Ruggenenti P, Mosconi L, Vendramin G, et al. ACE inhibition improves glomerular size selectivity in
patients with idiopathic membranous nephropathy and persistent nephrotic syndrome. Am J Kidney
Dis. 2000;35(3):381391.

8. Korbet SM. Angiotensin antagonists and steroids in the treatment of focal segmental
glomerulosclerosis. Semin Nephrol. 2003;23(2):219228.

9. Stiles KP, Abbott KC, Welch PG, Yuan CM. Effects of angiotensin-converting enzyme inhibitor and
steroid therapy on proteinuria in FSGS: a retrospective study in a single clinic. Clin Nephrol.
2001;56(2):8995.

10. Crook ED, Habeeb D, Gowdy O, Nimmagadda S, Salem M. Effects of steroids in focal segmental
glomerulosclerosis in a predominantly African-American population.

Am J Med Sci.

2005;330(1):1924.

11. Schieppati A, Perna A, Zamora J, Giuliano GA, Braun N, Remuzzi G. Immunosuppressive


treatment for idiopathic membranous nephropathy in adults with nephrotic syndrome. Cochrane
Database Syst Rev. 2004;(4):CD004293.

12. Hodson EM, Willis NS, Craig JC. Corticosteroid therapy for nephrotic syndrome in children.
Cochrane Database Syst Rev. 2009;(3):CD001533.

13. Palmer SC, Nand K, Strippoli GF. Interventions for minimal change disease in adults with
nephrotic syndrome. Cochrane Database Syst Rev. 2008;(1):CD001537.

14. Fan J, Li Z, Wu T, Chen H. Lipid-lowering agents for nephrotic syndrome (intervention


protocol). Cochrane Database Syst Rev. 2009;(2):CD005425.

15. Kulshrestha S, Grieff M, Navaneethan SD. Interventions for preventing thrombosis in adults
and children with nephrotic syndrome (intervention protocol). Cochrane Database Syst Rev.
2009;(2):CD006024.

You might also like