You are on page 1of 42

1

REAKSI HIPERSENSITIFITAS
Imunitas atau kekebalan adalah sistem pada organisme yang bekerja melindungi tubuh
terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor,
sehingga tubuh bebas patogen dan aktivitas dapat berlangsung dengan baik.
Selain dapat menghindarkan tubuh diserang patogen, imunitas juga dapat menyebabkan
penyakit, diantaranya hipersensitivitas dan autoimun. Hipersensitivitas adalah respon imun yang merusak
jaringan tubuh sendiri.
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan imunitas
spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B,
yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang
dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan
menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana alergen
tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun.
Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau
alergi.
Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:
1. Reaksi Tipe I
2. Reaksi Tipe II
3. Reaksi Tipe III
4. Reaksi Tipe IV
MEKANISME BERBAGAI GANGGUAN YANG DIPERANTARAI SECARA IMUNOLOGIS
Tipe
I

Tipe Anafilaksis

Mekanisme Imun
Gangguan Prototipe
Alergen mengikat silang antibodi IgE Anafilaksis,
beberapa
pelepasan amino vasoaktif dan mediator lain

bentuk asma bronkial

dari basofil dan sel mast rekrutmen sel


II

radang lain
Antibodi terhadap IgG atau IgM berikatan dengan antigen pada
Antigen

lisis

sel

target

oleh

komplemen

atau

sitotosisitas yang diperantarai oleh sel yang

IV

hemolitik

Jaringan permukaan sel fagositosis sel target atau autoimun, eritroblastosis

Tertentu

III

Anemia
fetalis,

penyakit

Goodpasture,

pemfigus

Penyakit Kompleks

vulgaris
bergantung antibody
Kompleks antigen-antibodi mengaktifkan Reahsi Arthua,

Imun

komplemen menarik perhatian nenutrofil

sickness,

pelepasan enzim lisosom, radikal bebas

eritematosus

oksigen, dan lain-lain

bentuk

Limfosit T tersensitisasi pelepasan sitokin

glomerulonefritis akut
Tuberkulosis, dermatitis

Hipersensitivitas

ModuL 3 Blok 11 Thanty

serum
lupus

sistemik,
tertentu

2
Selular (Lambat)

dan sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel T

kontak,
transplan

Hipersensitivitas Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat Atau Anafilataksis)

ModuL 3 Blok 11 Thanty

penolakan

3
Tipe I : Reaksi Anafilaksis
Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang terikat pada
sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe cepat.
Patofisiologi :
Pajanan awal terhadap antigen tertentu (alergan) merangsang induksi sel T CD4+ tipe T H2. Sel CD4+
ini berperan penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I karena sitokin yang disekresikannya
(khususnya IL-4 dan IL-5) menyebabkan diproduksimya IgE oleh sel B, yang bertindak sebagai faktor
pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan mengaktivasi eosinofil. Antibodi IgE berikatan pada
reseptor Fc berafinitas tinggi yang terdapat pada sel mast dan basofil; begitu sel mast dan basofil
dipersenjatai, individu yang bersangkutan diperlengkapi untuk menimbulkan hipersensitivitas tipe I.
Pajanan yang ulang terhadap antigen yang sama mengakibatkanpertautan-silang pada IgE yang terikat sel
dan pemicu suatu kaskade sinyal intrasel sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator kuat. Mediator
primer untuk respons awal sedangkan mediator sekunder untuk fase lambat.
Respons awal, ditandai dengan vasodilatasi,kebocoran vaskular, dan spasme otot polos, yang
biasanya muncul dalam rentang waktu 5-30 menit setelah terpajan oleh suatu alergan dan menghilang setelah
60 menit;
Reaksi fase lambat, yang muncul 2-8 jam kemudian dan berlangsung selama beberapa hari. Reaksi
fase lambat ini ditandai dengan infiltrasi eosinofil serta sel peradangan akut dan kronis lainnya yang lebih
hebat pada jaringan dan juga ditandai dengan penghancuran jaringan dalam bentuk kerusakan sel epitel
mukosa.
Mediator Primer
Histamin, yang merupakan mediator primer terpenting, menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskular,
vasodilatasi, bronkokontriksi, dan meningkatnya sekresi mukus. Mediator lain yang segera dilepaskan
meliputi adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi dan menghambat agregasi trombosit) serta faktor
kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan dalam matriks granula dan meliputi
heparin serta protease netral (misalnya, triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah komponen
komplemen untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya, C3a).
Mediator Sekunder
Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal paling poten; pada dasra
molar, agenini beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular
dan alam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B 4 sangat kemotaktik untuk neutrofil,
eosinofil, dan monosit.
Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi dalam sel
mast. Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi mukus.
Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan agregasi trombosit,
pelepasan histamin dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaltik untuk neutrofil dan eosinofil.
ModuL 3 Blok 11 Thanty

4
Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan kemokin berperan penting
pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel
radang. TNF merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga
merupakan faktor pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.
Ringkasan kerja mediator sel mast pada hipersensitivitas tipe I
Kerja
Infiltrasi sel

Mediator
Sitokin (misalnya, TNF)
Leukotrien B4
Faktor kemotaksis eosinofil pada anafilaksis
Faktor kemotaksis neutrofil pada anafilaksis

Vasoaktif

Faktor pengaktivasi trombosit


(vasodilatasi, Histamin

meningkatkan permeabilitas Faktor pengaktivasi trombosit


vaskular)

Leukotrien C4, D4, E4


Protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin
Prostaglandin D2
Leukotrien C4, D4, E4

Spasme otot polos

Histamin
Prostaglandin
Faktor pengaktivasi trombosit
Karena inflamasi merupakan komponen utama reaksi lambat dalam hipersensitivitas tipe I, biasanya
pengendaliannya memerlukan obat antiinflamasi berspektrum luas, seperti kortikoid.
Manifestasi Klinis :
Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian antigen
protein atau obat (misalnya, bias lebah atau penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan anafilaksis
sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal,
urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit, diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang
disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring dapat
memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot
semua saluran pencernaan dapat terserang, dan mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa
intervensi segera, dapat terjadi vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik), dan penderita dapat mengalami
kegagalan sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.
Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur
pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal (ingesti,
menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).
Ringkasnya:
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi karena terpapar antigen
spesifik yang dikenal sebagai alergen. Dapat terpapar dengan cara ditelan, dihirup, disuntik, ataupun
ModuL 3 Blok 11 Thanty

5
kontak langsung. Perbedaan antara respon imun normal dan hipersensitivitas tipe I adalah adanya sekresi
IgE yang dihasilkan oleh sel plasma. Antibodi ini akan berikatan dengan respetor Fc pada permukaan
jaringan sel mast dan basofil. Sel mast dan basofil yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase sensitisasi).
Karena sel B memerlukan waktu untuk menghasilkan IgE, maka pada kontak pertama, tidak terjadi
apa-apa. Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-30 menit hingga 10-20 jam.
Adanya alergen pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi, yaitu IgE.
IgE kemudian masuk ke aliran darah dan berikatan dengan reseptor di sel mastosit dan basofil
sehingga sel mastosit atau basofil menjadi tersensitisasi. Pada saat kontak ulang dengan alergen,
maka alergen akan berikatan dengan IgE yang berikatan dengan antibody di sel mastosit atau
basofil

dan menyebabkan

terjadinya

granulasi.

Degranulasi

menyebakan

pelepasan

inflamasi primer dan sekunder. Mediator primer menyebabkan eosinofil dan neutrofil serta
terjadinya

urtikaria,

vasodilatasi,

sekunder

menyebakan

meningkatnya

menyebakan

permiabilitas vaskular,

peningkatan pelepasan

menstimulasi

Sedangkan

metabolit

asam

mediator
mediator
arakidonat

(prostaglandin dan leukotrien) and protein (sitokin and enzim).


- Mediator Primer :
- Histamine :Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
- Serotonin :Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
- ECF-A :Kemotaksis eosinofil
- NCF-A :Kemotaksis eosinofil
- proteases :Sekresi mucus, degradasi jaringan penghubung
Mediator Sekunder :
- Leukotrienes :Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
- Prostaglandins :Vasodilatasi pembuluh darah, aktivasi platelet, kontaksi otot polos
- Bradykinin :Meningkatnya permiabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos
Reaksi ini dapat diperkuat dengan adanya PAF (Platelet Activator Factor), yang menyebabkan
agregasi platelet dan pelepasan histamin, heparin, dan amina vasoaktif.
berbagai

enzim

hidrolitik

yang

Eosinofil

dapat

melepaskan

dapat menyebabkan kematian sel, serta mengontrol pelepasan

arylsulphatase, histaminase, phospholipase-D dan prostaglandin-E, walaupun belum diketahui peran


pasti dari eosinofil.
Karakteristik

dari

IgE

adalah

kelabilannya

bila

terpapar

panas

dan kemampuannya

untuk menempel pada sel mast dan basofil. Hal ini dapat dilihat bawha walaupun waktu paruh
IgE

adalah

2,5

hari,

sel

mast

dan

basofil

dapat tersensitisasi selama lebih dari 12 minggu

karena tersensitisasi atopic serum yang mengandung IgE.


Faktor pemicu reaksi alergi :
1. Defisiensi sel T
Penurunan jumlah sel T diasosiasikan dengan peningkatan dari jumlah serum IgE pada
ModuL 3 Blok 11 Thanty

6
penyakit Eczema. Juga ada perbedaan jumlah sel T pada bayi yang disusui dengan ASI dan dengan
susu bubuk.
2. Mediator feedback
Menurut penelitian, inhibisi reseptor H2 oleh pelepasan enzim lisosom dan aktivasi
penahan sel T oleh histamine akan meningkatkan jumlah IgE
3. Faktor lingkungan
Polutan seperti SO 2, NO, asap kendaraan dapat meningkatkan permeabilitas mukosa
sehingga meningkatkan pemasukkan antigen dan respos IgE
Dampak yang muncul akibat hipersensitivitas tipe 1 ada 2, yaitu :
1. Anafilatoksis lokal ( alergi atopik )
Terjadi karena adanya alergen yang masuk ke tubuh dan gejalanya tergantung dari tipe alergen yang
masuk, misalnya :
a.

batuk, mata berair, bersin karena alergen masuk ke saluran respirasi (alergi rhinitis) yang
mengindikasikan aksi dari sel mast. Alergen biasanya berupa : pollen, bulu binatangm debu,
spora.

b.

Terakumulasinya mucus di alveolus paru-paru dan kontraksi oto polos kontraksi

yang

mempersempit jalan udara ke paru-paru sehingga menjadi sesak, seperti pada penderita
asma. Gejala ini dapat menjadi fatal bila pengobatan tertunda terlalu lama
c.

Kulit memerah atau pucat, gatal (urticaria) karena alergi makanan. Makanan yang
biasanya membuat alergi adalah gandum, kacang tanah, kacang kedelai, susu sapi, telur,
makanan laut

2. Anafilatoksis sistemik
Dampak ini disebabkan karena pemaparan alergen yang menyebabkan respon dari sel mast yang
banyak

dan

cepat,

sehingga

mediator-mediator

inflamasi dilepaskan dalam jumlah yang banyak.

Gejalanya berupa sulit bernafas karena kontraksi otot polos yang menyebabkan tertutupnya bronkus
paru-paru, dilatasi

arteriol

sehingga

pembuluh

darah

sehingga

cairan

kematian

dengan

hitungan

menit

tekanan
tubuh

darah

keluar

ke

menurun

dan

jaringan. Gejala

meningkatnya permeabilitas
ini

dapat

menyebabkan

karena tekanan darah turun drastis dan pembuluh darah collapse

(shock anafilatoksis). Alergen dapat biasanya berupa penisilin, antisera, dan racun serangga dari lebah
Usaha penanganan dan pengobatan apabila terserang reaksi hipersensitivitas tipe I adalah sebagai
berikut :
1. anafilatoksis lokal
a.

menghindari alergen dan makanan yang dapat menyebabkan alergi

b. Bila alergen sulit dihindari (seperti pollen, debu, spora, dll) dapat
digunakan antihistamin untuk menghambat pelepasan histamine dari sel mastosit.,
seperti Chromolyn sodium menghambat degranulasi sel mast, kemungkinan dengan
ModuL 3 Blok 11 Thanty

7
menghambat influks Ca
bronkoditalor

. Bila terjadi sesak

nafas

pengobatan

dapat

berupa

(leukotriene receptor blockers,seperti Singulair, Accolate) yang dapat

merelaksasi otot bronkus dan ekspektoran yang dapat mengeluarkan mucus


c. Injeksi alergen secara berulang dapar dosis tertentu secara
pembentukan

IgG

meningkat

sehingga

subkutan dengan

harapan

mampu mengeliminasi alergen sebelum

alergen berikatan dengan IgE pada sel mast. Proses ini disebut desensitisasi atau
hiposensitisasi.
2. Anafilatoksis sistemik
Pengobatan harus dilakukan dengan cepat dengan menyuntikan epinefrin (meningkatkan
darah)

atau

antihistamin

dengan

menyuntikan

(memblok

pelepasan Pengobatan

epinefrin (meningkatkan

tekanan

harus

darah)

dilakukan

atau

tekanan

dengan

antihistamin

cepat

(memblok

pelepasan histamine) secara intravena


Syok Anafilaktik
Definisi
Anaphylaxis (Yunani, Ana = jauh dari dan phylaxis = perlindungan). Anafilaksis berarti Menghilangkan
perlindungan. Anafilaksis adalah reaksi alergi umum dengan efek pada beberapa sistem organ terutama
kardiovaskular, respirasi, kutan dan gastro intestinal yang merupakan reaksi imunologis yang didahului
dengan terpaparnya alergen yang sebelumnya sudah tersensitisasi. Syok anafilaktik(= shock anafilactic )
adalah reaksi anafilaksis yang disertai hipotensi dengan atau tanpa penurunan kesadaran. Reaksi Anafilaktoid
adalah suatu reaksi anafilaksis yang terjadi tanpa melibatkan antigen-antibodi kompleks. Karena kemiripan
gejala dan tanda biasanya diterapi sebagai anafilaksis.
Sejarah
Tahun 2641 SM, seorang Pharao meninggal mendadak Raja Menes meninggal tidak seberapa lama setelah
disengat tawon (wasp). Tahun 1902, dua ilmuwan Perancis yang bekerja di Mediterania menemukan
phenomena yang sama dengan yang terjadi pada Pharao itu. Richet dan Portier, menginjeksi anjing dengan
ekstrak anemon laut, setelah beberapa lama diinjeksi ulang dengan ekstrak yang sama . Hasilnya anjing itu
mendadak mati. Phenomena ini mereka sebut aldquo; Anaphylaxis. Atas kerjanya ini, Richet dianugerahi
Nobel pada tahun 1913.
Alergen
Terr menyebutkan beberapa golongan alergen yang dapat menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan,
obat-obatan,

bisa

atau

racun

serangga

dan

alergen

lain

yang

tidak

Allergen penyebab Anafilaksis Makanan


Krustasea: Lobster, udang dan kepiting
Moluska : kerang Ikan Kacang-kacangan dan biji-bijian Buah beri Putih telur Susu
ModuL 3 Blok 11 Thanty

bisa

di

golongkan.

8
Obat Hormon : Insulin, PTH, ACTH, Vaso-presin, Relaxin
Enzim : Tripsin,Chymotripsin, Penicillinase, As-paraginase Vaksin dan Darah
Toxoid : ATS, ADS, SABU Ekstrak alergen untuk uji kulit Dextran
Antibiotika: Penicillin, Streptomisin, Cephalosporin, Tetrasiklin, Ciprofloxacin, Amphotericin B,
Nitrofurantoin.
Agent diagnostik-kontras: Vitamin B1, Asam folat Agent
anestesi: Lidocain, Procain,
Lain-lain: Barbiturat, Diazepam, Phenitoin, Protamine, Aminopyrine, Acetil cystein , Codein, Morfin, Asam
salisilat dan HCT Bisa serangga Lebah Madu, Jaket kuning, Semut api Tawon (Wasp). Lain-lain Lateks,
Karet, Glikoprotein seminal fluid
Gejala Klinis
Gejala dan tanda reaksi anafilaksis termasuk timbul rasa kecemasan, urtikaria, angiodema, nyeri
punggung, rasa tercekik, batuk, bronkospasme atau edema laryng. Pada beberapa kasus, terjadi hipotensi,
hilang kesadaran, dilatasi pupil, kejang hingga sudden death.
Syok terjadi akibat sekunder dari hipoksia yang berat, vasodilatasi perifer atau adanya hipovolemia
relative akibat adanya ektravasasi cairan dari pembuluh darah. Namun, demikian vascular kolaps dapat
terjadi tanpa didahului gejala gangguan respirasi dan dalam hal ini kematian dapat terjadi dalam beberapa
menit.
Jadi gejala syok anafilaktif adalah gabungan gejala anafilaksis dengan adanya tanda-tanda syok yang
secara sistimatis dapat dikelompokan dengan gejala prodromal, kardiovaskuler, pulmonal, gastrointestinal,
reaksi kulit, dan susunan saraf pusat.
Gejala prodromal pada umumnya : perasaan tidak enak, lemah, gatal dihidung atau di palatum, bersin
atau rasa tidak enak di dada. Gejala ini merupakan permulaan dari gejala lainnya.
Gejala pulmoner : didahului dengan rhinitis, bersin diikuti dengan spasme bronkus dengan atau tanpa
batuk lalu berlanjut dengan sesak anoksia sampai apneu.
Gejala gastrointestinal : mual, muntah, rasa kram diperut sampai diare. Sedangkan gejala pada kulit
berupa gatal-gatal, urtikaria dan angioedema. Pada gejala susunan saraf pusat berupa gelisah dan kejang.
Differential Diagnoses
Beberapa keadaan yang dapat menyerupai reaksi anafilasis yaitu reaksi vasovagal, infrak miokard akut,
reaksi hipoglikemi, reaksi histerik, atau angioedema herediter.
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan.

reaksi vasovagal
yang mana pada reaksi ini ditandai dengan hipotensi, pucat, bradikardi, lemah, mual, muntah, serta
diaforesis.
ModuL 3 Blok 11 Thanty

9
Pada reaksi vasovagal tidak dijumpai urtikaria, pruritus, angioedema, takikardi dan bronkospasme.
Dekomp pernapasan akut yang terjadi pada serangan asma berat, aspirasi benda asing, dan emboli pulmoner
dapat menyerupai gejala-gejala pernapasan yang terjadi pada anafilaksis, namun tidak disertai gejala lainnya
(pruritus, urtikaria, edema, dll).
Angioedema herediter
yang dicetuskan oleh stress nonspesifik atau psiko-emosional bisa menimbulkan pembengkakan bibir, lidah,
saluran napas atas, dan permukaan mukosa lainnya mungkin dengan disertai keluhan gastro intestinal seperti
diare dan kram; namun bedanya tidak disertai pruritus dan urtikaria. Kondisi ini terjadi pada garis keturunan
tertentu dengan keadaan otosomal dominan .
Infark miokard Akut
gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa
sesak, tetapi tidak ada tanda-tanda obstruksi saluran napas, maupun kelainan kulit. Pemeriksaan elektrografi
dan enzimatik akan membantu diagnose infark miokard.
Reaksi hipoglikemik
dapat disebabkan oleh pemakaian obat anti diabetes atau oleh sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat
berkeringat sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang turun, tapi tidak disertai tanda-tanda obstruksi saluran
napas, atau kelainan kulit. Pemeriksaaan kadar gula darah dan pemberian terapi glukosa menyongkong
diagnosis reaksi hipoglikemik.
Histerik
tidak dijumpai adanya tanda gagal napas, hipotensi atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun
hanya sementara. Penilaian tanda-tanda vital sign dan status neurogenik dengan cepat membedakan keadaan
ini dengan reaksi anafilaksis. Sering pasien mengeluh parastesia
Sindrom karsinoid
Sindrom karsinoid menyerupai anafilaksis idiopatik. Sindrom ini ditandai dengan adanya gejala
gastrointestinal, spasme bronkus, dan panas sekitar kulit. Tetapi tidak dijumpai adanya urtikaria atau
angioedema. Pemeriksaan laboratorium menunjukan serotonin darah meninggi serta kadar histamine dan 5
hidroksi indol asam asetat dalam urin meninggi.
Meskipun diagnosis anafilaksis tidak sulit, tetapi mencari allergen penyebab maupun pencetusnya
tidak mudah dan bahkan kadang-kadang tidak ditemukan. Dalam hal ini anamnesis yang teliti merupakan
cara yang paling penting. Dengan demikian diagnosis anafilaksis yang timbul segera setelah terpajan oleh
allergen atau factor pencetus serangan dan menimbulkan gejala klinik pada organ-organ sasaran seperti yang
telah disebut tadi. Akan halnya pemeriksaan penunjang seperti uj kulit hanya bermanfaat bila mekanisme
anafilaksis tersebut melalui IgE (Imunoglobulin E) dan obat-obat yang akan di uji pun terbatas pada

ModuL 3 Blok 11 Thanty

10
penisilin. Hormone dan enzim sangat jarang dilakukan karena prosedur tersebut juga bisa menimbulkan
reaksi anafilaktik.
Meskipun anafilaksis biasanya muncul dalam waktu beberapa menit setelah terpajan oleh allergen,
tetapi adakalanya muncul beberapa jam kemudian. Obsevasi yang dilakukan oleh Stark dkk menyatakan
bahwa bentuk anafilaksis bisa unifasik seperti yang biasa kita temukan, bifasik yang gejalanya muncul 1-8
jam kemudian dan protrated yaitu suatu bentuk anafilaksis berat yang dapat berlangsung 5-32 jam meskipun
dengan pengobatan yang intensif.
Pemeriksaan Penunjang
-

Diperlukan EKG dan analisis gas darah untuk penegakan diagnosis.


Peningkatan hematokrit umum ditemukan sebagai hasil hemokonsentrasi dari permeabilitas

pembuluh darah, fitemukan juga peningkatan dari eosinophilia


Serum mast cell tryptase biasanya meningkat.

Tatalaksana
Hentikan obat/identifikasi obat yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis.
Torniquet, pasang torniquet di bagian proksimal daerah masuknya obat atau sengatan hewan.
Posisi, tidurkan dengan posisi Trandelenberg, kaki lebih tinggi dari kepala (posisi shock)
dengan alas keras.

Bebaskan airway, bila obstruksi intubasi-cricotyrotomi-tracheostomi.

Berikan oksigen, melalui hidung atau mulut 5-10 liter /menit bila tidak membaik persiapkan dari
mulut ke mulut.

Pasang cathether intra vena (infus) dengan cairan elektrolit seimbang atau Nacl fisiologis, 0,5-1 liter
dalam 30 menit (dosis dewasa) monitoring dengan Tensi dan produksi urine.

Pertahankan tekanan darah sistole >100mmHg diberikan 2-3L/m2 luas tubuh /24 jam
Bila 100 mmHg 500 cc/ 1 Jam

Bila perlu pasang CVP

Medikamentosa I.
Adrenalin 1:1000, 0,3 0,5 ml SC/IM lengan atas , paha, sekitar lesi pada venom, Dapat diulang 2-3 x
dengan selang waktu 15-30 menit. Pemberian IV pada stadium terminal /pemberian dengan dosis1 ml gagal ,
1:1000 dilarutkan dalam 9 ml garam faali diberikan 1-2 ml selama 5-20 menit (anak 0,1 cc/kg BB)
Medikamentosa II.
Diphenhidramin IV pelan (+ 20 detik ) ,IM atau PO (1-2 mg/kg BB) sampai 50 mg dosis tunggal, PO dapat
dilanjutkan tiap 6 jam selama 48 jam, bila tetap sesak + hipotensi segera rujuk, (anak :1-2 mg /kgBB/ IV)
maximal 200mg IV
Medikamentosa III.
ModuL 3 Blok 11 Thanty

11
Aminophilin, bila ada spasme bronchus beri 4-6 mg/ kg BB dilarutkan dalam 10 ml garam faali atau D5, IV
selama 20 menit dilanjutkan 0,2 1,2 mg/kg/jam IV. Corticosteroid 5-20 mg/kg BB dilanjutkan 2-5 mg/kg
selama 4-6 jam, pemberian selama 72 jam .Hidrocortison IV, beri cimetidin 300mg setelah 3-5 menit
Monitoring
Observasi ketat selama 24 jam, 6jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik :
- Klinis : keadaan umum, kesadaran, vital sign, produksi urine dan keluhan
- Darah : Gas darah
- EKG Komplikasi (Penyulit) Kematian karena edema laring , gagal nafas, syok dan cardiac arrest.
Kerusakan

otak

permanen

karena

syok

dan

gangguan

cardiovaskuler.

Urtikaria

dan

angoioedema menetap sampai beberapa bulan, Myocard infark, aborsi dan gagal ginjal juga
pernah dilaporkan.
Pencegahan
- Mencegah reaksi ulang
- Anamnesa penyakit alergi pasien sebelum terapi diberikan (obat,makanan,atopik)
- Lakukan skin test bila perlu
- Encerkan obat bila pemberian dengan SC/ID/IM/IV dan observasi selama pemberian
- Catat obat pasien pada status yang menyebabkan alergi
- Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik.
- Desensitisasi alergen spesifik
- Edukasi pasien supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi
- Bersiaga selalu bila melakukan injeksi dengan emergency kit
Prognosis
Bila penanganan cepat, klinis masih ringan dapat membaik dan tertolong.

Hipersensitivitas Tipe II

ModuL 3 Blok 11 Thanty

12
Tipe II : Reaksi Sitotoksik
Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibodi yang diarahkan untuk melawan antigen target pada
permukaan sel atau komponen jaringan lainnya. Respon hipersensitivitas disebabkan oleh pengikatan
antibodi yangdiikuti salah satu dari tiga mekanisme bergantung antibodi, yaitu:
1. Respon yang bergantung komplemen

Komplemen dapat memerantarai hipersensitivitas tipe II melalui dua mekanisme: lisis langsung dan
opsonisasi. Pada sitotoksisitas yang diperantarai komplemen, antibodi yang terikat pada antigen
permukaan sel menyebabkan fiksasi komplemen pada permukaan sel yang selanjutnya diikuti lisis
melalui kompleks penyerangan membran. Sel yang diselubungi oleh antibodi dan fragmen komplemen
C3b (teropsonisasi) rentan pula terhadap fagositosis. Sel darah dalam sirkulasi adalah yang paling sering
dirusak melalui mekanisme ini, meskipun antibodi yang terikat pada jaringan yang tidak dapat difagosit
dapat menyebabkan fagositosis gagal dan jejas. Secara klinis, reaksi yang diperantarai oleh antibodi
terjadi pada keadaan sebagai berikut:
Reaksi transfusi, sel darah merah dari seorang donor yang tidak suai dirusak setelah diikat oleh
antibodi resipien yang diarahkan untuk melawan antigen darah donor.
Eritroblastosis fetalis karena inkompaktibnilitas antigen rhesus; antigen materal yang melawan Rh
pada seorang ibu Rh-negatif yang telah tersensitisasi akan melewati plasenta dan menyebabkan
kerusakan sel darah merahnya sendiri.
Anemia hemolitik autoimun, agranulositosis, atau trombositopenia yang disebabkan oleh antibodi
yang dihasilkan oleh seorang individu yang menghasilkan antibodi terhadap sel darah merahnya
sendiri.
Reaksi obat, antibodi diarahkan untuk melawan obat tertentu (atau metabolitnya) yang secara
nonspesifik diadsorpsi pada permukaan sel (contohnya adalah hemolisis yang dapat terjadi setelah
pemberian penisilin).
Pemfigus vulgaris disebabkan oleh antibody terhadap protein desmosom yang menyebabkan
terlepasnya taut antarsel epidermis.
2. Sitotoksisitas Selular Bergantung Antibodi
ModuL 3 Blok 11 Thanty

13
Bentuk jejas yang diperantarai antibodi ini meliputi pembunuhan melalui jenis sel yang membawa
reseptor untuk bagian Fc IgG; sasaran yang diselubungi oleh
antibodi

dilisis

tanpa

difagositosis

ataupun

fiksasi

komplemen. ADCC dapat diperantarai oleh berbagai macam


leukosit, termasuk neutrofil, eosinofil, makrofag, dan sel NK.
Meskipn secara khusus ADCC diperantarai oleh antibodi
IgG, dalm kasus tertentu (misalnya, pembunuhan parasit
yang diperantarai oleh eosinofil) yang digunakaan adalah
IgE.
3. Disfungsi sel yang diperantarai oleh antibody
Pada beberapa kasus, antibodi yang diarahkan untuk melawan reseptor permukaan sel merusak atau
mengacaukan fungsi tanpa menyebabkan jejas sel atau inflamasi. Oleh karena itu, pada miastenia gravis,
antibodi terhadap reseptor asetilkolin dalm motor end-plate otot-otot rangka mengganggu transmisi
neuromuskular disertai kelemahan otot. Sebaliknya, antibodi dapat merangsang fungsi otot. Pada penyakit
Graves, antibodi terhadap reseptor hormon perangsang tiroid (TSH) merangsang epitel tiroid dan
menyebabkan hipertiroidisme.
(Reaksi Sitotoksik Yang Memerlukan Bantuan Antibodi)
Penggolongan

reaksi

hipersensitivitas

semula

didasarkan

atas

perbedaan mekanisme

kerusakan jaringan yang diakibatkannya. Baik reaksi tipe II maupun reaksi tipe III melibatkan IgG dan
IgM. Perbedaannya adalah bahwa pada reaksi tipe II antibodi ditujukan kepada antigen yang terdapat pada
permukaan sel atau jaringan tertentu, sedangkan pada reaksi tipe III antibodi ditujukan kepada antigen
yang terlarut dalam serum. Jadi pada reaksi tipe II, antibodi dalam serum bereaksi dengan antigen yang
berada pada permukaan suatu sel atau yang merupakan komponen membran sel tertentu yang
menampilkan antigen bersangkutan.
Seringkali suatu substansi berupa mikroba dan molekul-molekul kecil lain atau hapten, melekat
pada permukaan sel dan bersifat sebagai antigen. Pada umumnya antibodi yang ditujukan kepada antigen
permukaan sel bersifat patogenik, karena kompleks antigen-antibodi pada permukaan sel sasaran akan
dihancurkan oleh sel efektor, misalnya oleh makrofag maupun oleh neutrofil dan monosit, atau limfosit Tsitotoksik dan sel NK sehingga ada kemungkinan menyebabkan kerusakan sel itu sendiri. Pada
keadaan ini sulit membedakan antara reaksi imun yang normal dengan reaksi hipersensitivitas.

Mekanisme hipersensitifitas tipe 2


ModuL 3 Blok 11 Thanty

14

Antibodi yang ditujukan kepada antigen permukaan sel atau jaringan berinteraksi dengan
komplemen dan berbagai jenis sel efektor untuk merusak sel sasaran. Setelah antibodi melekat pada
permukaan sel, antibodi akan mengikat dan mengaktivasi komponen C1 komplemen. Konsekuensinya
adalah:
a.

Fragmen komplemen (C3a dan C5a) yang dihasilkan oleh aktivasi komplemen akan menarik

makrofag dan PMN ke tempat tersebut, sekaligus menstimulasi sel mastosit dan basofil untuk memproduksi
molekul yang menarik dan mengaktivasi sel efektor lain. Fagositosis terjadi dengan cara merusak
patogen

dalam fagolisosom oleh kombinasi metabolit radikal, ion, enzim dan perubahan pH. Jika target

terlalu besar maka lisosom dieksositosis.


b. Aktivasi jalur klasik komplemen mengakibatkan deposisi C3b, C3bi, dan C3d pada membran sel
sasaran. Sensitisasi sel target untuk interaksi dengan sel efektor (makrofag, neutrofil) yang membawa
reseptor untuk aktivasi komplemen. C3b berikatan dengan sel target membentuk ikatan kovalen
setelah putusnya ikatan tiolester internal oleh C3 konvertase. C3b diinaktivasi oleh faktor I dan
enzim serum, C3d berikatan dengan sel target secara kovalen. C3b dan C3d dapat beraksi sebagai struktur
pengenalan untuk sel yang memiliki reseptor komplemen. Antibodi dapat juga bereaksi dengan sel
yang memiliki reseptor Fc (makrofag, eosinofil, neutrofil, sel K)
c.

Aktivasi jalur klasik dan jalur litik menghasilkan C5b-9 yang merupakan Membrane Attack

Complex (MAC) yang kemudian menancap pada membran sel.


Sel-sel efektor, yaitu makrofag, neutrofil, eosinofil dan sel NK, berikatan pada kompleks antibodi
melalui reseptor Fc atau berikatan dengan komponen komplemen yang melekat pada permukaan sel
tersebut. Pengikatan antibodi pada reseptor Fc merangsang fagosit untuk memproduksi lebih banyak
leukotrien dan prostaglandin yang

merupakan

molekul-molekul

yang

berperan

pada

respon

inflamasi. Sel-sel efektor yang telah terikat kuat pada membran sel sasaran menjadi teraktivasi dan
akhirnya dapat menghancurkan sel sasaran.
Isotip

antibodi

yang

berbeda-beda

mempunyai

kemampuan

yang

tidak

sama dalam

menginduksi reaksi ini, bergantung pada kemampuan masing-masing untuk mengikat C1q atau
kemampuan berinteraksi dengan reseptor Fc pada permukaan sel sasaran. Fragmen-fragmen komplemen
atau IgG dapat bertindak sebagai opsonin yang melapisi permukaan sel pejamu atau mikroorganisme, dan
fagosit akan menelan partikel-partikel yang diopsonisasi. Dengan meningkatkan aktivitas lisosom
ModuL 3 Blok 11 Thanty

15
dan kemampuan makrofag untuk memproduksi ROI (reactive oxygen intermediates)
misalnya superoksida, opsonin tersebut bukan saja meningkatkan kemampuan fagosit untuk menghancurkan
pathogen, tetapi juga meningkatkan kemampuannya untuk merusak sel atau jaringan sasaran. Mekanisme
pengrusakan jaringan sel sasaran oleh sel-sel efektor pada reaksi hiprsensitivitas tipe II, merefleksikan
cara sel-sel itu menyingkirkan patogen dalam keadaan normal.
Antibodi juga memperantarai hipersensitivitas dengan cara cross linking sel K pada
sasaran.

Sel

terutama

terdapat

dalam

populasi

limfosit

jaringan

besar bergranula ( large granular

lymphocytes ). Sel ini mengikat antibodi pada reseptor Fc berafinitas tinggi yang terdapat pada permukaan
selnya. Dari uraian tersebut jelas bahwa reseptor Fc berfungsi sebagai jembatan antara sel efektor dengan
sel sasaran.
Mekanisme sitolisis oleh sel efektor sebenarnya menggambarkan fungsi sel efektor dalam
keadaan normal bila menghadapi kuman patogen. Sebagian besar kuman patogen di fagositosis dan
dibunuh intralisosom, tetapi hal ini tidak mungkin dilakukan terhadap sel sasaran yang berukuran besar.
Karena itu pada keadaan ini, fagosit atau sel efektor lain melepaskan mediator-mediator tertentu ke
sekitarnya, misalnya protease dan kolagenase yan mampu merusak sel sasaran. Mekanisme sitolisis
dengan bantuan antibodi yang dikenal sebagai ADCC bermanfaat untuk membantu sel sitotoksik
menghancurkan sel sasaran yang berukuran terlalu besar untuk difagositosis. Selai itu mekanisme
sitolisis dengan bantun anti bodi bermanfaat untuk menghancurkan sel patologis, misalnya sel tumor,
terutama apabila antibodi yang terbentuk justru melindungi permukaan sel sasaran dari serangan sel T
sitotoksik secara langsung. Tetapi apabila immunoglobulin itu melapisi sel tubuh ( self) kemudian
menyebabkan reaksi ADCC, maka sitolisis dalam hal ini merugikan. Kepekaan berbagai jenis sel
sasaran terhadap aksi pengrusakan oleh sel efektor maupun oleh aktivasi komplemen berbeda-beda
tergantung pada jumlah antigen pada
permukan sel sasaran, dan daya tahan sel sasaran terhadap pengrusakan. Sebagai contoh: eritrosit
mungkin dapat dihancurkan hanya oleh reaksi C5 pada satu tempat di permukaan sel, tetapi untuk merusak
sel berinti diperlukan interaksi pada banyak tempat.
Contoh reaksi hipersensitivitas tipe II adalah kerusakan pada eritrosit seperti yang terlihat
pada reaksi transfusi, hemolytic disease of the newborn (HDN) akibat ketidaksesuaian faktor resus
(Rhesus incompatibility), dan anemia hemolitik akibat obat serta kerusakan jaringan pada penolakan
jaringan transplantasi hiperakut akibat interaksi dengan antibodi yang telah ada sebelunya pada
resipien. Reaksi terhadap trombosit dapat menyebabkan trombositopenia sedangkan reaksi terhadap
neutrofil dan limfosit dihubungkan dengan lupus eritematosus sistemik (SLE).
a.

Kerusakan pada eritrosit

Transfusi eritrosit kepada resipien yang mengandung antibodi terhadap eritrosit yang ditransfusikan
dapat menimbulkan reaksi transfusi. Jenis reaksi tergantung pada kelas dan jumlah antibodi yang
terlibat. Antibodi terhadap eritrosit

sistem

ABO

biasanya

terdiri

atas

antibodi

kelas

IgM.

Antibodi golongan ini menimbulkan aglutinasi, aktivasi komplemen dan hemolisis intravaskular.
Sistem golongan darah yang lain menimbulkan pembentukan antibody kelas IgG dan pada umumnya IgG
akan melapisi eritrosit kemudian menimbulkan
ModuL 3 Blok 11 Thanty

reaksi

tipe

II.

Mekanisme

reaksi

transfusi

16
adalah menghancurkan

sel

darah

merah

asing

oleh

sistem

komplemen yang distimulasi oleh IgG. Hal ini dapat menyebabkan


hemoglobinuria.
Hal serupa terjadi pada HDN (Hemolytic Disease oh the
Newborn) dimana immunoglobulin

anti-D-IgG yang berasal dari

ibu menembus plasenta masuk ke adalam sirkulasi darah janin


dan melapisi permukaan eritrosit janin kemudian mencetuskan
reaksi hipersensitivitask antibodi tipe II. HDN terjadi
apabila

seorang

ibu

Rh

(-)

mengandung

janin

Rh

(+).

Sensitisasi pada ibu umumnya terjadi saat persalinan pertama, karena itu HDN umumnya tidak timbul
pada bayi pertama. Baru pada kehamilan berikutnya limfosit ibu akan membentuk anti-D-IgG yang dapat
menembus

plasenta

dan

mengadakan interaksi dengan faktor Rh pada permukaan eritrosit janin.

Penanganannya adalah dengan anti-Rh antibodi (Rhogam).

Anemia Hemolitik Autoimun juga dapat dianggap reaksi hipersensitivitas tipe II karena eritrosit
yang dilapisi autoantibody lebih cepat dihancurkan oleh fagosit. Hal yang sama terjadi pada anemia
hemolitik, agranulositosis atau purpura trombositopenia akibat obat. Pada kasus-kasus ini obat melekat
pada permukaan sel bersangkutan menyusun kompleks antigen yang dapat memicu pembentukkan antibodi.
Kompleks antigen-antibodi selanjutnya merangsang reaksi hipersensitivitas tipe II.
b. Reaksi karena Obat
Reaksi hipersensitivitas terhadap obat dapat timbul dalam berbagai bentuk:
1. Obat melekat pada eritrosit kemudian dibentuk antibodi terhadap obat. Dalam hal ini
baik obat maupun antibodi harus ada untuk menyebabkan reaksi.
2. Kompleks imun yang terdiri atas obat dan antibodimelekat pada permukaan
Kerusakan

sel

terjadi

akibat

lisis

oleh komplemen

yang

diaktivasi

oleh

kompleks

eritrosit.
antigen-

antibodi tersebut.
3. Obat menyebabkan reaksi alergi dan autoantibodi ditujukan kepada antigen eritrosit sendiri.
Obat tampaknya membentuk suatu kompleks antigenik dengan permukaan suatu elemen yang ada pada
darah, dan merangsang pembentukan antibodi yang bersifat sitotoksik bagi kompleks obat-sel itu. Bila
ModuL 3 Blok 11 Thanty

17
obat

dihentikan kepekaan itu akan hilang tidak lama kemudian. Sebagai contoh mekanisme ini telah

ditentukan pada anemia hemolitik yang kadang-kadang dihubungkan dengan


menerus

klorpromazin

pemakaian

atau

amidopirin

fenasetin,

pada agranulositosis

yang

pemakaian

dihubungkan

terusdengan

atau quinidine dan pada keadaan klasik purpura trombositopenia yang

mungkin disebabkan oleh sedormid, serum segar yang diambil dari penderita dapat melisiskan
trombosit, sedang tanpa sedormid hal ini tidak akan terjadi; pemanasan sebelumnya pada suhu
56 C selama 30 menit akan menjadikan komplemen tidak aktif dan menghilangkan efek tersebut. Selain
reaksi tipe II, reaksi hipersensitivitas terhadap obat dapat timbul sebagai reaksi anafilaktik apabila
melibatkan IgE, reaksi tipe III bila obat berinteraksi dengan protein, atau reaksi tipe IV pada obat
yang digunakan topikal.
c.

Kerusakan pada Leukosit dan Platelet


Hal ini terjadi karena adanya autoantibodi untuk neutrofil dan limfosit, contohnya pada Lupus

(SLE). Autoantibodi pada platelet terjadi 70% dari kasus purpura trombositopenia idiopatik yaitu
kelainan dimana terjadi peningkatan pembuangan platelet dari sirkulasi. Autoantibodi pada fosfolipid
dapat mencegah penutupan luka. Trombositopenia juga dapat diinduksi oleh obat.
d. Kerusakan jaringan transplantasi
Reaksi penolakan jaringan transplantasi secara hiperakut mungkin terjadi apabila
sebelumnya

pernah

terpapar

pada

sensitisasi sebelumnya dan resipien telah

antigen

resipien

jaringan transplantasi tersebut sehingga sudah ada

mengandung

antibodi

terhadap

antigen

jaringan

transplantasi bersangkutan. Reaksi hiperakut dapat terjadi dalam waktu singkat, yaitu beberapa
menit hingga 48 jam setelah tindakan transplantasi selesai. Antibodi yang terdapat dalam darah resipien
dapat segera bereaksi dengan antigen yang terdapat pada permukaan jaringan transplantasi. Reaksi yang
paling

hebat disebabkan antibodi sistem ABO karena banyak jaringan mengandung antigen ABO.

Kerusakan

terjadi

karena

antibodi

dan

aktivasi

komplemen

dalam pembuluh darah yang

menyebabkan rekruitmen dan aktivasi neutrofil dan trombosit. Mungkin juga antibodi yang terlibat
adalah

antibodi

terhadap antigen MHC kelas I, bila sebelumnya resipien pernah terpapar pada jaringan

transplantasi yang tidak sesuai (inkompatibel).


Reaksi

ini

terjadi

pada

transplantasi

yang

mengalami

revaskularisasi segera setelah

transplantasi, misalnya transplantasi ginjal. Dalam waktu 1 jam setelah revaskularisasi tampak infiltrasi
neutrofil secara ekstensif dan disusul oleh kerusakan pembuluh darah glomerulus dan pendarahan. Deposit
trombus terdapat dalam arteriol dan jaringan transplantasi mengalami kerusakan irreversibel. Faktor
utama yang berperan dalam kerusakan jaringan adalah neutrofil dan trombosit yang berinteraksi
dengan sel-sel melalui reseptor Fc, C3b
misalnya superoksida,

enzim

dan

dan

vasoactive

C3d.

Sel-sel

amine,

itu

sehingga

melepaskan
terjadi

berbagai

mediator,

peningkatan permeabilitas

kapiler dan kerusakan jaringan setempat.


Untuk penyakit akibat hipersensitivitas tipe II ini tidak ada obatnya, karena patogenesisnya
adalah

antibodi

tubuhnya

sendiri.

Usaha

penanganan

yang

dilakukan untuk penderita reaksi

hipersensitivitas tipe II hanya bertujuan mengendalikan gejala saja.


Hipersensitivitas Tipe III ( Reaksi Kompleks Imun )
ModuL 3 Blok 11 Thanty

18

Tipe III : Reaksi Imun Kompleks


Hipersensitivitas

tipe

III

diperantarai oleh pengendapan kompleks


antigen-antibodi (imun), diikuti dengan
aktivitas

komplemen

dan

akumulasi

leukosit polimorfonuklear. Kompleks imun


dapat melibatkan antigen eksogen seperti
bakteri dan virus, atau antigen endogen
seperti DNA. Kompleks imun patogen
terbentuk dalam sirkulasi dan kemudian
mengendap

dalam

jaringan

ataupun

terbentuk di daerah ekstravaskular tempat


antigen tersebut tertanam (kompleks imun
in situ).
Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat
sistemik jika kompleks tersebut terbentuk
dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai
organ , atau terlokalisasi pada organ tertentu (misalnya, ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut
terbentuk dan mengendap pada tempat khusus. Tanpa memperhatikan pola distribusi, mekanisme terjadinya
jejas jarungan adalah sama, namun, urutan kejadian dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya kompleks
imun berbeda.
Penyakit Komplek Imun Sistemik
Patogenesis penyakit kompleks imun sistemik dapat dibagi menjadi tiga tahapan: (1) pembentukan kompleks
antigen-antibodi dalam sirkulasi dan (2) pengendapan kompleks imun di berbagai jaringan, sehingga
mengawali (3) reaksi radang di berbagai tempat di seluruh tubuh.
Patofisiologi:
Kira-kira 5 menit setelah protein asing (misalnya, serum antitetanus kuda) diinjeksikan, antibodi spesifik
akan dihasilkan; antibodi ini bereaksi dengan antigen yang masih ada dalam sirkulasi untuk membentuk
kompleks antigen-antibodi (tahap pertama). Pada tahap kedua, kompleks antigen-antibodi yang terbentuk
dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai jaringan. Dua faktor penting yang menentukan apakah
pembentukan kompleks imun menyebabkan penyakit dan pengendapan jaringan:
Ukuran kompleks imun. Kompleks yang sangat besar yang terbentuk pada keadaan jumlah antibodi yang
berlebihan segera disingkirkan dari sirkulasi oleh sel fagosit mononuklear sehingga relatif tidak
membahayakan. Kompleks paling patogen yang terbentuk selama antigen berlebih dan berukuran kecil
atau sedang, disingkirkan secara lebih lambat oleh sel fagosit sehingga lebih lama berada dalam sirkulasi.

ModuL 3 Blok 11 Thanty

19
Status sistem fagosit mononuklear. Karena normalnya menyaring keluar kompleks imun, makrofag yang
berlebih atau disfungsional menyebabkan bertahannya kompleks imun dalam sirkulasi dan meningkatkan
kemungkinan pengendapan jaringan.
Faktor lain yang mempengaruhi pengendapan kompleks imun yaitu muatan kompleks (anionic vs kationik),
valensi antigen, aviditas antibodi, afinitas antigen terhadap berbagai jaringan, arsitektur tiga dimensi
kompleks tersebut, dan hemodinamika pembuluh darah yang ada.tempat pengendapan kompleks imun yang
disukai adalah ginjal, sendi, kulit, jantung, permukaan serosa, dan pembulah darah kecil. Lokasinya pada
ginjal dapat dijelaskan sebagian melalui fungsi filtrasi glomerulus, yaitu terperangkapnya kompleks dalam
sirkulasi pada glomerulus. Belum ada penjelasan yang sama memuaskan untuk lokalisasi kompleks imun
pada tempat predileksi lainnya.
Untuk kompleks yang meninggalkan sirkulasi dan mengendap di dalam atau di luar dinding pembuluh darah,
harus terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini mungkin terjadi pada saat kompleks imun
berkaitan dengan sel radang melalui reseptor Fc dan C3b dan memicu pelepasan mediator vasoaktif dan/ atau
sitokin yang meningkatkan permeabilitas. Saat kompleks tersebut mengendap dalam jaringan, terjadi tahap
ketiga, yaitu reaksi radang. Selama tahap ini (kira-kira 10 hari setelah pemberian antigen), muncul gambaran
klinis, seperti demam, utikaria, artralgia, pembesaran kelenjar getah bening, dan proteinuria.
Di mana pun kompleks imun mengendap, kerusakan jaringannya serupa. Aktivitas komplemen oleh
kompleks imun merupakan inti patogenesis jejas, melepaskan fragmen yang aktif secara biologis seperti
anafilatoksin (C3a dan C5a), yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan bersifat kemotaksis
untuk leukosit polimorfonuklear. Fagositosis kompleks imun oleh neutrofil yang terakumulasi menimbulkan
pelepasan atau produksi sejumlah substansi proinflamasi tambahan, termasuk proataglandin, peptida
vasodilator, dan substansi kemotaksis, serta enzim lisosom yang mampu mencerna membran basalis,
kolagen, elastin, dan kartilago. Kerusakan jaringan juga diperantarai oleh radikal bebas oksigen yang
dihasilkan oleh neutrofil teraktivasi. Kompleks imun dapat pula menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivasi faktor Hageman; kedua reaksi ini meningkatkan proses peradangan dan mengawali
pembentukan mikrotrombus yang berperan pada jejas jaringan melalui iskemia lokal. Lesi patologis yang
dihasilkan disebut dengan vasokulitis jika terjadi pada pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi di
glomerulus ginjal, arthritis jika terjadi di sendi, dan seterusnya.
Jelasnya hanya antibodi pengikat komplemen (yaitu IgG dan IgM) yang dapat menginduksi lesi semacam
itu. Karena IgA dapat pula mengaktivasi komplemen melalui jalur alternatif, kompleks yang mengandung
IgA dapat pula menginduksi jejas jaringan. Peran penting komplemen dalam patogenesis jejas jaringan
didukung oleh adanya pengamatan bahwa pengurangan kadar komplemen serum secara eksperimental akan
sangat menurunkan keparahan lesi, demikian pula yang terjadi pada neutrofil. Selama fase aktif penyakit,
konsumsi komplemen menurunkan kadar serum.

ModuL 3 Blok 11 Thanty

20

Kompleks imun terbentuk setiap kali antibody bertemu dengan antigen, tetapi dalam keadaan
normal pada umumnya kompleks ini segera disingkirkan secara efektif oleh

jaringan

retikuloendotel,

tetapi ada kalanya pembentukan kompleks imun menyebabkan reaksi hipersensitivitas.


Keadaan imunopatologik akibat pembentukan kompleks imun dalam garis besar dapat digolongkan
menjadi 3 golongan, yaitu :
1)

Dampak kombinasi infeksi kronis yang ringan dengan respons antibody yang lemah,

menimbulakn pembentukan kompleks imun kronis yang dapat mengendap di berbagai jaringan.
2)

Komplikasi

dari

penyakit

autoimun

dengan

pembentukan

autoantibodi secara terus

menerus yang berikatan dengan jaringan self.


3)

Kompleks imun terbentuk pada permukaan tubuh, misalnya dalam paru - paru, akibat

terhirupnya antigen secara berulang kali.


Pemaparan

pada

antigen

dalam

jangka

panjang

dapat

merangsang pembentukan

antibody yang umumnya tergolong IgG dan bukan IgE seperti halnya pada reaksi hipersensitivitas
tipe I. Pada reaksi hipersensitivitas tpe III, antibodi bereaksi dengan antigen bersangkutan membentuk
kompleks antigen antibodi yang akan menimbulkan reaksi inflamasi. Aktivasi sistem komplemen,
menyebabkan pelepasan

berbagai

mediator

oleh

mastosit.

Selanjutnya

terjadi

vasodilatasi

dan

akumulasi PMN yang menghancurkan kompleks. Dilain pihak proses itu juga merangsang PMN
sehingga sel-sel tersebut melepaskan isi granula berupa enzim proteolitik diantaranya proteinase,
kolegenase, dan enzim pembentuk kinin. Apabila kompleks antigen-antibodi itu mengendap dijaringan,
proses diatas bersama-sama dengan aktivasi komplemen dapat

sekaligus merusak jaringan sekitar

kompleks. Reaksi ini dapat terjadi saat terdapat banyak kapiler twisty (glomeruli ginjal, kapiler persendian).
Manifestasi klinik akibat pembentukan kompleks imun in vivo bukan saja bergantung pada jumlah
absolute antigen dan antibody, tetapi juga bergantung pada perbandingan relatif antara kadar antigen
dengan antibodi. Dalam suasana antibodi berlebihan atau bila kadar antigen hanya relatif sedikit lebih
tinggi dari antibodi,kompleks imun yang terbentuk cepat mengendap sehingga reaksi yang ditimbulkannya
adalah kelainan setempat infiltrasi hebat dari sel - sel PMN, agregasi trombosit dan vasodilatasi yang
ModuL 3 Blok 11 Thanty

21
kemudian menimbulkan eritema dan edema. Reaksi ini disebut Reaksi
Arthus.
Agregasi trombosit dapat meningkatkan penglepasan vasoactive-amine
atau mungkin
iskemia

juga

local.

menimbulkan

mikrotumbus

yang

berakibat

Dalam suasana antigen yang berlebih, kompleks yang

terbentuk adalah kompleks yang larut dan beredar dalam sirkulasi serum
sickness atau terperangkap di berbagai jaringan diseluruh tubuh dan
menimbulkan reaksi inflamasi setempat seperti pada glomerulo- nefritis dan
arthritis.

Tempat

pengendapan

kompleks

yang

berbeda

dapat

memunculkan manifestasi klinis yang berbeda pula. Meskipun demikian,


pengendapan setempat juga dapat menimbulkan reaksi inflamasi sistemik
seperti:
1. Demam, nyeri, malaise
2. Gatal, edema
3. Pengurangan komplemen di dalam darah
4. Glomerulonephritis (ginjal)
5. Arthritis (persendian)
6. Rheumatik penyakit jantung
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :
A. Ukuran kompleks imun
Untuk menimbulkan kerusakan atau penyakit, kompleks imun harus mempunyai ukuran yang
sesuai. Kompleks imun berukuran besar biasanya dapat disingkirkan oleh hepar dalam waktu beberapa
menit, tetapi kompleks imun berukuran kecil dapat beredar dalam sirkulasi untuk beberapa waktu.
Ada dugaan bahwa efek genetic yang memudahkan produksi antibody dengan afinitas rendah
dapat menyebabkan pembentukan kompleks imun berukuran kecil, sehingga individu bersangkutan
mudah menerima penyakit kompleks imun.
B. Kelas imunoglobulin
Pembersihan

(clearance)

kompleks

imun

juga

dipengaruhi

oleh

kelas immunoglobulin

yang membentuk kompleks. Kompleks IgG mudah melekat pada eritrosit dan dikeluarkan secara perlahanlahan dari sirkulasi, tetapi tidak demkian halnya

dengan

IgA

yang

tidak

mudah

melekat

pada

eritrosit dan dapat disingkirkan cepat dari sirkulasi, dengan kemungkinan pengendapan dalam
berbagai jaringan misalnya ginjal, paru-paru, dan otak.
C. Aktivasi Komplemen
Salah satu factor penting lain yang turut menentukan manifestasi klinik adalah berfungsinya aktivasi
komplemen

melalui

jalur

klasik.

Aktivasi

komplemen melalui jalur klasik dapat mencegah

penegendapan kompleks imun karena C3b yang terbentuk dapat menghambat pembentukan kompleks
yang besar. Kompleks yang terikat pada C3b akan melekat pada eritrosit melalui reseptor C3b, lalu
dibawa ke hepar mana kompleks itu dihancurkan oleh makrofag. Bila system ini terganggu, misalnya pada
ModuL 3 Blok 11 Thanty

22
defisiensi komplemen, maka kompleks diatas akan membentuk kompleks yang berukuran besar dan
memungkinkan ia terperangkap diberbagai jaringan atau organ. Telah diketahui bahwa kompleks imun
yang paling merusak apabila ia mengendap atau terperangkap dalam jaringan.
D. Permeabilitas pembuluh darah
Yang paling penting dalam kompleks imun adalah peningkatan permeabilitas vaskular. Peningkatan
permeabilitas vascular dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya oleh peningkatan pelepasan
vasoactive amine. Semua hal yang berkaitan
dipertimbangkan,

misalnya komplemen,

dengan

mastosit,

penglepasan

basofil,

dan

substansi
trombosit

ini

harus

yang

dapat

memberikan kontribusinya pada peningkatan permeabilitas vascular.


E. Proses hemodinamik
Pengendapan kompleks imun paling mudah terjadi di tempat-tempat dengan tekanan darah tinggi
dan ada turbulensi. Banyak kompleks imun mengnedap dalam glomerulus dimana tekanan darah
meningkat hingga 4 kali dan dalam dinding percabangan arteri dan ditempat-tempat terjadinya filtrasi,
seperti pada pleksus choroids dimana tempat turbelensi.
F. Afinitas antigen pada jaringan
Ada beberapa jenis kompleks imun yang memilih mengendap di tempat - tempat tertentu, misalnya untuk
SLE, sasaran pengendapan kompleks imun adalah ginjal. Pada arthritis rheumatoid kompleks imun lebih
suka mengendap dalam sendi dan walaupun selalu ada kompleks imun dalam sirkulasi, ia tidak mengendap
di ginjal. Hal ini ditentukan oleh afinitas antigen terhadap organ tetentu.
Pengobatan dan penanganan penderita reaksi hipersensitivitas tipe III antara lain :
1. Obat anti-inflamasi\antihistamin
2. Menghindari sejumlah besar antigen dan berhati-hati terhadap immunisasi dan antitoksin.

ModuL 3 Blok 11 Thanty

23
Hipersensitivitas tipe IV (Delayed hypersensitivity)
Reaksi tipe ini tidak seperti 3 tipe lainnya, dimana reaksi ini dimediasi oleh antibodi, tetapi
dimediasi oleh efektor sel T yang spesifik terhadap antigen. Memerlukan waktu sekitar 2-3 hari
untuk berkembang.

Sel T sitotoksik CD8+ dan sel T helper CD4+ mengenali antigen yang membentuk kompleks
dengan MHC tipe 1 ataupun tipe 2. sel penyaji antigen dalam reaksi ini adalah makrofag, yang mensekresi
IL-12 (bekerja menstimulasi proliferasi dari sel T CD4+). Sel T CD4+ ini akan mensekresi IL-2 dan
interferon , untuk menginduksi pelepasan sitokin tipe 1. Sitokin ini akan memediasi respon imun. Sel T
CD8+ yang aktif akan menghancurkan sel target, sedangkan makrofag memproduksi enzim hidrolitik,
sehingga dengan adanya pathogen intraselular, akan membentuk sel
raksasa multinukleus.
Reaksi ini dapat terjadi karena :
-

rusaknya sel atau jaringan akibat penyakit tertentu, seperti TBC, lepra, cacar
air, candidiasis, histoplasmosis

reaksi akibat pengujian pada kulit


kontak dengan tanaman penyebab dermatitis, contohnya poison ivy
diabetes tipe 1 dimana CTL menghancurkan sel penghasil insulin
sklerosis ganda dimana simfosit T dan makrofag mensekresikan sitokin untuk menghancurkan

lapisan myelin pada serabut saraf neuron


adanya reaksi penolakan pada proses transplantasi organ sebagai akibat dari kerusakan
CTL dari sel pendonor atau sel penerima

Pengobatan menggunakan imunosupresan seperti syklosporin A atau FK-506 (Tacrolimus)


dilakukan untuk menahan reaksi penolakan pada proses transplantasi organ. Kedua obat ini
menghalangi proliferasi dan diferensiasi limfosit T dengan menghambat
pengobatan dapat

pula menggunakan kortikosteroid.

ModuL 3 Blok 11 Thanty

proses

transkripsi

IL-2.

24

ModuL 3 Blok 11 Thanty

25
ALERGI OBAT
DIAGNOSIS ALERGI OBAT
A. ANAMNESIS
Anamnesis merupakan cara yang paling pentinguntuk diagnosis alergi obat, karena cara-cara
pemeriksaan yang ada sekarang masi rumit dan hasilnya juga belum memuaskan. Kesulitan yang
sering timbul yaitu apakah gejala yang dicurigai timbul sebagai manifestasi alergi obat atau karena
penyakit dasarnya. Masalah tersebut lebih sulit lagi bila pada saat yang sama pasien mendapat lebih
dari satu macam obat.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis pasian alergi obat adalah :
1. Catat semua obat ynag dipakai pasien termasuk vitamin, tonikum, dan juga obat yang
sebelumnya telah sering dipakai tetapi tidak menimbulka gejala alergi obat
2. Riwayat pemakaian obat masa lampau dan catat bila ada reaksi
3. Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat sampai timbulnya gejala. Pada
reaksi anafilaksis gejala timbul segera, tetapi kadang-kadang gejala alergi obat baru timbul
7-10 hari setelah pemakaian pertama.
4. Catat lama pemakaian serta riwayat pemakaian obat sebelumnya. Alergi obat sering timbul
bila obat diberikan secara berselang-seling, berulang-ulang, serta dosis tinggi secara
parenteral
5. Manifestasi klinik alergi obat sering dihubungkan dengan jenis obat tertentu
6. Diagnosis alergi obat sangat mungkin bila gejala menghilang setelah dihentikan dan
timbul kembali pasien diberikan obat yang sama
7. Pemakaian obat topical (salep) antibiotic jangka lama merupakan salah satu jalan
terjadinya sensitisasi obat yang harus diperhatikan.
B. UJI KULIT
Uji kulit ynag ada pada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat (penisilin, insulin, sediaan
serum), sedangkan untuk obat-obat yang lain masih diragukan nilainya. Hal ini karena beberapa hal,
antara lain :
1. Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismnya dan bukan oleh obat aslinya,
sehingga bila kita melakukan uji kulit dengan obat aslinya, hasilnya kurang dapat
dipertanggungjawabkan kecuali penisilin yang telah diketahui hasil metabolismenya serta obatobat yang mempunyai berat molekul besar (Insulin, ACTH, serum serta vaksin yang
mengandung protein telur).
2. Beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya histamine (kodein, tiamin), sehingga
uji positif yang terjadi adalah semu (false positive).
3. Konsentrasi obat terlalu tinggi, juga menimbulka hasil positif semu. Sebagian besar obat
mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya merupakan hapten, oleh sebab itu sukar untuk
menentukan antigennya.
Uji kulit diatas adalah uji kulit yang lazim dipakai untuk reaksi alergi tipe I (anafilaksis). Uji kulit
untuk tujuan lain seperti untuk melihat reaksi lambat belum diketahui sebagai prosedur yang
berguna, demikian pula peran uji temple (patch test) untuk menilai reaksi alergi tipe I. uji temple
bermanfaat hanya untuk obat-obat yang diberikan secara topical (tipe IV)
C. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
ModuL 3 Blok 11 Thanty

26
Seperti telah dibicarakan sebelumnya, reaksi alergi obat tipe I terutama ditunjang dengan pemeriksan
uji kulit, sayangnya uji tersebut hanya terbatas pada beberapa macam obat. Dikenal pemeriksaan
RAST (Radio Alergo Sorbent Test) yaitu pemeriksaan untuk menentukan adanya IgE spesifik
terhadap berbagai antigen. Tetapi untuk obat, jenis antigennya juga terbatas. Pemeriksaan ini berguna
pada kasus-kasus dengan risiko tinggi seperti pada pasien yang mungkin timbul bila dilakukan uji
kulit atau bila tidak dapat dilakukan uji kulit (Karena seluruh kulit rusak, minum antihistamin, dan
kulit tidak sensitive lagi).
Pemeriksaan untuk diagnosis reaksi sitolitik (Tipe II), seperti pada anemia hemolitik dan dapat
ditunjang dengan pemeriksaan Coombs indirek, sedangkan trombositopenia dengan pemeriksaan
fiksasi komplemen atau reaksi aglutinasi.
Pemeriksaan hemaglutinasi dan komplemen dapat menunjang reaksi obat Tipe III. Dibuktikan
dengan adanya antibody IgG atau IgM terhadap obat. Sedangkan pemeriksaan laboratorium untuk
reaksi alergi tipe IV selain sangat rumit, hasilnyapun sering tidak memuaskan.
PATOGENESIS ALERGI OBAT
Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini. Pertama adalah mekanisme imunologis dan kedua adalah
mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan
mekanisme imunologis. Obat dan metabolit obat berfungsi sebagai hapten, yang menginduksi antibodi
humoral. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas
obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolisme.
1. Mekanisme Imunologis Tipe I(Reaksi anafilaksis)
Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah Ig E yang mempunyai afinitas yang
tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi. Tetapi
bila dilakukan pemberian kembali obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai
antigen yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin,
bradikinin, heparin dan SRSA. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam
efek, misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulnya syok.
2. Tipe II (Reaksi Autotoksis)
Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi sistem
komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.
3. Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)
Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen antibodi. Kompleks
antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh mengakibatkan reaksi
radang. Aktivasi sistem komplemen merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai
akibatnya, akan terjadi kerusakan jaringan.
4. Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen.
Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen.

ModuL 3 Blok 11 Thanty

27
2. Mekanisme Non Imunologis
Reaksi Pseudo-allergic menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody-dependent. Salah satu obat yang
dapat menimbulkannya adalah aspirin dan kontras media. Teori yang ada menyatakan bahwa ada satu atau
lebih mekanisme yang terlibat; pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari
sistem komplemen, atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim asam arachidonat sel.
Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh yang dapat menimbulkan gangguan seperti
alopesia yang timbul karena penggunaan kemoterapi anti kanker. Penggunaan obat-obatan tertentu secara
progresif ditimbun di bawah kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain seperti
hiperpigmentasi generalisata diffuse.
3. Unknown Mechanisms
Selain dua mekanisme diatas, masih terdapat mekanisme lain yang belum dapat dijelaskan.

TATALAKSANA
Dasar utama penanganan alergi obat adalah penghentian obat yang dicurigai kemudian mengatasi gejala
klinis yang timbul. Di samping itu perlu pula dipikirkan upaya pencegahan alergi obat.
Penghentian obat
Penentuan obat yang harus dihentikan seringkali sulit karena biasanya, terutama pada anak,
penderita mendapat berbagai jenis obat dalam waktu yang sama. Bila mungkin semua obat dihentikan dulu,
kecuali obat yang memang perlu dan tidak dicurigai sebagai penyebab reaksi alergi, atau menggantikannya
dengan obat lain. Bila obat tersebut dianggap sangat penting dan tak tergantikan, bila tidak ada alternatif lain
dan reaksi alerginya relatif ringan, dapat terus diberikan dengan persetujuan penderita dan keluarga. Pada
beberapa keadaan dapat dilakukan desensitasi obat atau prosedur provakasi bertahap. Desentisasi biasa
dilakukan pada jenis obat penisilin, antibiotik non-beta laktam dan insulin. Sedangkan provokasi bertahap
biasa dilakukan asam aminosalisilat, isoniazid, trimetoprim-sulfametoksazol, dapson, alopurinol, sulfasalazin
dan difenilhidantoin.
Kalau mungkin semua obat dihentikan dulu,kecuali obat yang memang perlu dan tidak dicurigai
sebagai penyebab reaksi alergi atau menggantikan dengan obat lain. Bila obat tersebut dianggap sangat
penting dan tak dapat digantikan, dapat terus diberikan atas persetujuan keluarga, dan dengan cara
desensitisasi.

Pengobatan
Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus. Untuk pruritus, urtikaria
atau edema angionerotik dapat diberikan antihistamin misalnya, diphenhidramin, loratadin atau cetirizine dan
kalau kelainan cukup luas diberikan pula adrenalin subkutan dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis maksimum 0,3
mg/dosis. Difenhidramin diberikan dengan dosis 0,5 mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam. CTM diberikan dengan
dosis 0,09 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam.
ModuL 3 Blok 11 Thanty

28
Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis, 1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10
mg/dosis, 1 kali/hari.
Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 10
mg/dosis, 1 kali/hari.
Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun : 30 mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60
mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4kali/hari. Bila gejala klinis sangat berat misalnya dermatitois
eksfoliatif, ekrosis epidermal toksik, sindroma Steven Johnson, vaskulitis, kelainan paru, kelainan
hematologi harus diberikan kortikosteroid serta pengobatan suportif dengan menjaga kebutuhan cairan dan
elektrolit, tranfusi, antibiotik profilaksis dan perawatan kulit sebagaimana pada luka bakar untuk kelainankelainan dermatitis eksfoliatif, nekrosis epidermal toksik dan Sindroma Steven Johnson.
Prednison diberikan sebagai dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal pagi hari sampai
keadaan stabil kira-kira 4 hari kemudian diturunkan sampai 0,5 mg/kg/hari, dibagi 3-4 kali/hari dalam 4-10
hari. Steroid parenteral yang digunakan adalah metil prednisolon atau hidrokortison dengan dosis 4-10
mg/kg/dosis tiap 4-6 jam sampai kegawatan dilewati disusul rumatan prednison oral. Cairan dan elektrolit
dipenuhi dengan pemberian Dekstrosa 5% dalam 0,225% NaCl atau Dekstrosa 5% dalam 0,45% NaCl
dengan jumlah rumatan dan dehidrasi yang ada.
Perawatan lokal segera dilakukan untuk mencegah perlekatan, parut atau kontraktur. Reaksi
anafilaksis harus mendapat penatalaksanaan adekwat secepatnya. Kortikosteroid topikal diberikan untuk
erupsi kulit dengan dasar reaksi tipe IV dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditentukan.
Pemilihan sediaan dan macam obat tergantung luasnya lesi dan tempat. Prinsip umum adalah : dimulai
dengan kortikosteroid potensi rendah. Krim mempunyai kelebihan lebih mudah dioles, baik untuk lesi basah
tetapi kurang melindungi kehilangan kelembaban kulit. Salep lebih melindungi kehilangan kelembaban kulit,
tetapi sering menyebabkan gatal dan folikulitis. Sediaan semprotan digunakan pada daerah kepala dan
daerah berambut lain. Pada umumnya steroid topikal diberikan setelah mandi, tidak diberikan lebih dari 2
kali sehari. Tidak boleh memakai potensi medium sampai tinggi untuk daerah kulit yang tipis misalnya
muka, leher, ketiak dan selangkangan..
Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus. Untuk pruritus, urtikaria,
atau edema angioneurotik dapat diberikan antihistamin dan bila kelainan tersebut cukup luas diberikan pula
adrenalin. Reaksi anafilaktik akut membutuhkan epinefrin, patensi jalan nafas, oksigen, cairan intravena,
antihistamin dan kortikosteroid. Reaksi kompleks imun biasanya sembuh spontan setelah antigen hilang,
namun sebagai terapi simtomatik dapat diberikan antihistamin dan antiinflamasi non-steroid. Antihistamin
generasi kedua dapat pula digunakan, seperti loratadin. Steroid topikal dengan potensi sedang (hidrokortison
atau desonid) dan pelembab dapat digunakan pada tahap deskumasasi.
Bila gejala klinis berat (dermatitis eksfoliatif, nekrolisis epidermal toksik, sindrom Stevens-Johnson,
vaskulitis, kelainan paru, kelainan hematologik) harus diberikan kortikosteroid serta pengobatan suportif
dengan menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit, transfusi, antibiotik profilaksis). Perawatan lokal segera
dilakukan untuk mencegah perlekatan, sikatriks, atau kontraktur melalui konsultasi dan kerjasama
interdisiplin dengan bagian terkait (mata, kulit, bedah).

ModuL 3 Blok 11 Thanty

29
Pada reaksi pseudoalergi seperti pewarnaan radiokontras dapat diberikan terlebih dahulu obat
sebelum prosedur pemeriksaan, seperti kortikosteroid, antihistamin dan atau efedrin. Pencegahan reaksi
alergi obat merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan. Penggunaan obat yang sering memberikan
reaksi alergi, seperti antibiotik, harus diberikan sesuai indikasi. Pemberian obat secara oral lebih sedikit
memberikan reaksi alergi dibandingkan parenteral atau topikal. Pemberian obat parenteral harus ditunjang
dengan ketersediaan epinefrin atau sarana gawat darurat lain.

Pencegahan
Anamnesis riwayat kemungkinan alergi obat sebelumnya penting untuk selalu dilakukan walaupun
harus dinilai dengan kritis untuk menghindari tindakan berlebihan. Misalnya ruam kulit setelah pemberian
ampisilin pada seorang anak belum tentu karena alergi obat. Bila dokter telah mengetahui atau sangat curiga
bahwa pasiennya alergi terhadap obat tertentu maka hendaknya ia membuatkan surat keterangan tentang hal
tersebut yang akan sangat berguna untuk upaya pencegahan pada semua keadaan.
Semakin sering seseorang memakai obat maka akan semakin besar pula kemungkinan untuk
timbulnya alergi obat. Jadi pemakaian obat hendaknya dengan indikasi kuat dan bila mungkin hindari obat
yang dikenal sering memberikan sensitisasi pada kondisi tertentu (misalnya aspirin pada asma bronkial).
Cara pembuatan obat harus diperbaiki dengan mengurangi dan menghilangkan bahan yang potensial dapat
menjadi penyebab alergi, atau bahan yang dapat menyebabkan reaksi silang imunogenik. Contohnya adalah
pembuatan vaksin bebas protein hewani, atau antibodi dari darah manusia.
Uji kulit dapat memperkirakan kemungkinan terjadinya alergi obat, tetapi prosedur ini hanya
bermanfaat untuk alergen makromolekul, sedangkan untuk obat dengan berat molekul rendah sejauh ini
hanya terhadap penisilin (dengan uji alergen benzilpenisiloil polilisin).
Bila seseorang telah diketahui atau diduga alergi terhadap obat tertentu maka harus dipertimbangkan
pemberian obat lain. Obat alternatif tersebut hendaknya bukan obat yang telah dikenal mempunyai reaksi
silang dengan obat yang dicurigai. Misalnya memberikan aminoglikosida sebagai alternatif untuk penisilin.
Bila obat tersebut sangat dibutuhkan sedangkan obat alternatif tidak ada, dapat dilakukan desensitisasi secara
oral maupun parenteral. Misalnya desensitisasi penisilin untuk penderita penyakit jantung reumatik atau
desensitisasi serum antidifteri. Desensitisasi merupakan prosedur yang berisiko sehingga harus dipersiapkan
perlengkapan penanganan kedaruratan terutama untuk reaksi anafilaksis.

Syok Anafilaktik
Definisi
Syok Anafilaktik adalah salah satu manifestasi klinik dari anafilaksis yang ditandai dengan adanya
hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi darah. Istilah syok anafilaktik menunjukkan derajat kegawatan,
ModuL 3 Blok 11 Thanty

30
tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat
dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, dimana obstruksi saluran nafas merupakan gejala utamanya.
Ciri khas syok anafilaktik:
1. Gejala yang timbul beberapa detik sampai beberapa menit setelah pasien terpajan oleh alergen atau
faktor pencetus non-alergen seperti zat kimia, obat, atau kegiatan jasmani.
2. Anafilaktik merupakan gejala sistemik, sehingga melibatkan banyak organ yang gejalanya timbul
serentak atau hampir serentak.
Faktor pencetus

Anafilaksis (melalui IgE)


1.

Antibiotik (penisilin, sefalosporin)

2.

Ekstrak allergen (tawon, pollen)

3.

Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)

4.

Enzim (kemopapain, tripsin)

5.

Serum heterolog (antitoksin tetanus, globulin antilimfosit)

6.

Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)

7.

Penderita mempunyai riwayat hipersensitivitas tipe I (cepat)

8.

Penderita dengan anafilaksis idiopatik

9.

Penderita yang mempunyai riwayat/menderita penyakit asma dan kelainan jantung

Anafilaktoid (tidak melalui IgE)

1. Zat pelepas histamin secara langsung :


A. Obat (opiat, vankomisin, kurare)
B. Cairan hipertonik (media radiokontras, manitol)
C. Obat lain (dekstran, fluoresens)
2. Aktivasi komplemen;
A. Protein manusia (imunoglobulin, dan produk darah lainnya)
B. Bahan dialisis
3. Modulasi metabolisme asam arakhidonat
A. Asam asetilsalisilat

B. Anti inflamasi nonsteroid

Etiologi
Banyak penyebab terjadinya syok anafilaktik, penyebab yang paling sering di temukan adalah obat tetapi ada
juga penyebab anafilaksis yang lain seperti makanan, kegiatan jasmani,
sengatan tawon, faktor fisis seperti udara yang panas, air yang dingin pada
kolam renang dan sebagian anafilaksis penyebabnya tidak diketahui.
ModuL 3 Blok 11 Thanty

31
Alergen penyebab anafilaksis adalah :
Krustasea

: lobster, udang dan kepiting

Obat hormone

: Insulin, PTH, ACTH, Vaso-presin, Relaxin

Enzim

: Tripsin, Chymotripsin, Penicilinase, As-paraginase Vaksin dan Darah

Toxoid

: ATS, ADS, SABU, Ekstrak alergen untuk uji kulit dextran

Antibiotika

:penisilin,

Streptomisin,

Cephalosporin,

Tetrasiklin,

Ciprofloxacin,

Amphotericin B, Nitrofurantoin.
Agen diagnostik-kontras

: Vitamin B1, Asam olat Agent anestesi (lidocaine, procain)

Lain-lain

:Barbiturat, Diazepam, Phenitoine, Aminopyrine, Acetil cystein,codein,


Morfin, Asam salisilat dan HCT bisa serangga lebah madu, jaket kulit,
Semut api tawon (Wasp) dan lain-lain seperti lateks, karet, glikoprotein
seminal fluid.

Gejala Klinis
Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran.

Umum
Prodormal : Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar dilukiskan, rasa tak enak didada dan perut, rasa gatal
di hidung dan palatum.

Pernapasan
Hidung

: gatal, bersin dan tersumbat.

Laring

: rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor

Lidah

: edema

Bronkus

: Batuk, sesak, mengi, spasme

Kardiovaskular
Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardia, hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan

EKG:

gelombang

T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark miokard.

Gastrointestinal
Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang kadang-kadang disertai darah,

peristaltik usus meninggi.

Kulit
Urtikaria, angioedema di bibir, muka atau ekstremitas

Mata
Gatal, lakrimasi

Susunan saraf pusat = gelisah, kejang

Patogenesis
Patogenesis syok anafilaktik sangat erat kaitannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe I (cepat). Pada
hipersensitivitas tipe cepat, antibodi yang berperan dan proses-proses yang timbul kemudian setelah pajanan
ke alergen berbeda dengan respons tipikal antibodi terhadap bakteri. Alergen yang paling sering merangsang
ModuL 3 Blok 11 Thanty

32
hipersensitivitas tipe cepat adalah butir-butir serbuk sari, sengatan lebah, penisilin, makanan tertentu, debu ,
bulu unggas, dll. Untuk alasan yang tidak diketahui, alergen-alergen tersebut berkaitan dengan dan
mencetuskan sintesis antibodi IgE dan bukan antibodi yang berkaitan dengan antigen bakteri. Sewaktu
individu dengan kecenderungan alergi terpajan pertama kali ke alergen tertentu, sel-sel B kompatibel
mensintesis antibodi IgE yang spesifik untuk alergen tersebut. Yang paling penting, juga dibentuk sel-sel
pengingat yang bersiap untuk melancarkan respons yang lebih kuat pada pajanan ulang ke alergen yang
sama. Pengikatan alergen yang sesuai dengan antibodi IgE yang melekat tersebut mencetuskan pengeluaran
beberapa zat-zat perantara kimiawi dari sel mast dan basofil yang bersangkutan. Sebuah sel mast yang
dilapisi oleh sejumlah antibodi IgE yang berbeda, yang masing-masing mampu berikatan dengan alergen
yang berbeda.
Gejala-gejala bervariasi bergantung reaksi setempat, alergen, dan mediator yang terlibat. Paling
sering, reaksi terlokalisasi di bagian tubuh tempat sel-sel pembawa IgE bertemu untuk per tama kalinya
dengan alergen. Jika reaksi terbatas di saluran nafas atas setelah seseorang menghirup suatu alergen,
misalnya serbuk sari, zat kimia yang dilepaskan akan menimbulkan gejala-gejala khas untuk hay fever
sebagai contoh penyumbatan hidung yang disebabkan edema lokal yang diinduksi oleh histamin dan bersin
serta pilek akibat peningkatan sekresi mukosa sebagai respons terhadap iritan lokal. Jika reaksi
terkonsentrasi di bronkhiolus, maka akan timbul asma. Kontraksi otot polos di dinding bronkhiolus
mempersempit atau menyebabkan konstriksi saluran nafas tersebut sehingga orang sulit bernafas.
Pembengkakan lokal di kulit akibat pelepasan histamin yang diinduksi alergi menimbulkan biduran.
Reaksi sistemik yang mengancam jiwa dapat terjadi jika alergen masuk ke dalam darah atau jika
terjadi pengeluaran zat-zat kimia dalam jumlah sangat besar dari tempat yamg terlokalisasi ke dalam
sirkulasi. Jika sejumlah besar mediator kimiawi ini memperoleh akses ke darah, maka akan timbul reaksi
sistemik yang sangat serius yang melibatkan seluruh tubuh) yang dikenal dengan syok anafilaktik. Terjadi
vasodilatasi luas pergeseran masif cairan plasma ke dalam ruang interstisial akibat peningkatan menyeluruh
permeabilitas kapiler yang menyebabkan hipotensi berat yang dapat mengakibatkan kegagalan sirkulasi.
Secara bersamaan terjadi konstriksi bronkhiolus yang dapat menimbulkan kegagalan bernafas. Penderita
tercekik karena tidak mampu melewatkan udara melalui jalan nafas yang sempit. Reaksi ini merupakan
penyebab mengapa bahkan sebuah sengatan lebah atau satu dosis penisilin dapat sangat berbahaya bagi
individu yang tersensitisasi terhadap allergen tersebut.
Diagnosis
Diagnosis anafilaktik ditegakkan berdasarkan adanya gejala klinik sistematik yang muncul beberapa detik
atau menit setelah pasien terpajan oleh alergen atau faktor pencetusnya. Gejala yang timbul dapat ringan
seperti pruritus atau urtikaria sampai kepada gagal nafas atau syok anafilaktik yang mematikan. Karena itu
mengenal tanda-tanda dini sangat diperlukan agar pengobatan dapat segera dilakukan. Tetapi kadang-kadang
gejala anafilaktik berat seperti syok anafilaktik atau gagal nafas dapat muncul tanpa tanda-tanda awal.
Gejala-gejala pada syok anafilaktik dapat timbul pada satu organ saja, tetapi pula muncul gejala
pada beberapa organ secara serentak atau hampir serentak. Kombinasi gejala yang sering adalah urtikaria
atau angiodema yang disertai gangguan pernafasan baik karena edema larings atau spasme bronkus.
ModuL 3 Blok 11 Thanty

33
Terkadang dapat dijumpai kombinasi urtikaria dengan gangguan kardiovaskular seperti syok yang berat
sampai terjadi penurunan kesadaran. Setiap manifestasi sistem kardiovaskular, pernafasan, atau kulit juga
bisa disertai gejala mual, muntah, kolik, usus, diare berdarah, kejang uterus atau perdarahan vagina.
Diagnosis Banding
Beberapa keadaan yang dapat menyerupai reaksi anafilaksis yaitu reaksi vasovagal, infark miokard
akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histerik, atau angiodema herediter.
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan. Pasien tampak mau pingsan,
pucat dan beringat. Dibandingkan dengan reaksi anafilaksis, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak
terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun, tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu
rendah seperti pada anafilaksis.
Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran.
Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak, tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran nafas, maupun
kelainan kulit. Pemeriksaan elektrokardiograf dan enzimatik akan membantu diagnosis infark miokard akut.
Reaksi hipoglikemik dapat disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau oleh sebab lain. Pasien
tampak lemah, pucat, berkeringat bahkan sampai tak sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun, tetapi
tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas atau kelainan kulit. Pemeriksaan kadar gula darah dan
pemberian terapi glukosa menyokong diagnosis reaksi hipoglikemia.
Pada reaksi histerik tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi atau sianosis. Pasien
kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Penilaian tanda-tanda vital dan status neurologik dengan
cepat membedakan keadaan ini dengan reaksi anafilaktik. Sering pasien mengeluh parestesia.
Sindrom angioderma neurotic herediter merupakan salah satu keadaan yang menyerupai anafilaktik.
Sindrom ini di tandai dengan angiodema saluran napas bagian atas dan sering disertai kolik abdomen. Tidak
dijumpai kelaian kulit atau kolaps vascular. Adanya riwayat keluarga yang mempunyai sindroma ini disertai
penurunan kadar inhibitor C1 esterase mendukung adanya sindrom angiodema neurotikherediter.
Sindrom karsinoid menyerupai anafilaksis idiopatik. Sindrom ini di tandai dengan adanya gejala
gastrointestinal, spasme bronkus, dan rasa panas sekitar kulit. Tetapi tidak di jumpai adanya urtikaria atau
angiodema. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan serotonin darah meninggi serta kadar histamine dan 5
hidroksi indol asam asetat dalam urin meninggi.
Meskipun diagnosis anafilaksis tidak sulit, tetapi mencari allergen penyebab maupun pencetusnya
tidak mudah dan bahkan kadang-kadang tidak ditemukan. Dalam hal ini anamnesis yang teliti merupakan
cara yang paling penting. Dengan demikian diagnosis anafilaksis terutama berdasarkan reaksi anafilaksis
yang timbul segera setelah terpejan oleh allergen atau factor pencetus serangan dan menimbulkan gejala
klinik pada organ-organ sasaran seperti yang telah disebutkan tadi. Akan halnya pemeriksaan penunjang
seperti uji kulit hanya bermanfaat bila mekanisme anafilaksis tersebut melalui igE (immunoglobulin E) dan
obat-obatan yang dapat diuji pun terbatas pada penisilin. Hormon dan enzim sangat jarang dilakukan karena
prosedur tersebut juga bisa menimbulkan reaksi anafilaksis.
Meskipun anafilaksis biasanya muncul dalam waktu beberapa menit setelah terpejan oleh alergen,
tetapi adakalanya muncul beberapa jam kemudian. Observasi yang dilakukan oleh Stark dkk menyatakan
ModuL 3 Blok 11 Thanty

34
bahwa bentuk anafilaksis bisa unifasik seperti yang biasa kita temukan, bifasik yang gejalanya muncul 1-8
jam kemudian dan protrated yaitu suatu bentuk anafilaksis berat yang dapat berlangsung 5-32 jam meskipun
dengan pengobatan yang intensif.
Penatalaksanaan
Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali diagnosis sudah ditegakkan pemberian
epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal ini karena cepatnya mula penyakit dan lamanya gejala anafilaksis
berhubungan erat dengan kematian. Dengan demikian sangat masuk akal bila epinefrin 1 : 1000 yang
diberikan adalah 0,01 ml/kgBB sampai mencapai maksimal 0,3 ml subkutan (SC) dan dapat diberikan setiap
15-20 menit sampai 3-4 kali seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau dari awal kondisi penyakit
sudah berat, suntikan dapat diberikan secara intramuskular (IM) dan bahkan kadang-kadang dosis epineprin
dapat dinaikan sampai 0,5 ml sepanjang pasien tidak mengidap kelainan jantung.
Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi, penisilin atau sengatan serangga,
segera diberikan suntikan infiltrasi epinefrin 1: 1000 atau 0,1-0,3 ml di bekas tempat suntikan untuk
mengurangi absorpsi alergen tadi. Bila mungkin di pasang torniquet proksimal dari tempat suntikan dan
kendurkan setiap 10 menit. Torniquet tersebut dapat dilepas bila keadaan sudah terkendali. Selanjutnya dua
hal penting yang harus segera diperhatikan dalam memberikan terapi pada pasien anafilaksis yaitu
mengusahakan : 1) sistem pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan baik, 2) sistem
kardiovaskular yang juga harus berfungsi baik sehingga perfusi jaringan memadai.
Meskipun prioritas pengobatan ditunjukan kepada sistem pernapasan dan kardiovaskular, tidak
berarti pada organ lain tidak perlu diperhatikan atau diobati. Prioritas ini berdasarkan kenyataan bahwa
kematian pada anafilaksis terutama disebabkan oleh tersumbatnya saluran nafas atau syok anafilaksis.
Sistem pernapasan :
Memelihara saluran nafas yang memadai, pemberian oksigen 4-6 l/menit penting baik pada gangguan
pernapasan dan kardiovaskular, dan bronkodilator diperlukan bila terjadi obstruksi saluran napas bagian
bawah seperti pada gejala asma atau status asmatikus. Dalam hal ini dapat di berikan larutan salbutamol atau
agonis beta-2 lainnya 0,25 cc- 0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,9% di berikan melalui nebulisasi atau aminofilin
5-6 mg/kgBB yang diencerkan dalam 20 cc dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan
sekitar 15 menit.
Sistem kardiovaskular :
Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian epinefrin menandakan bahwa telah terjadi
kekurangan cairan intravaskular. Pasien ini membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan
kristaloid (NaCl 0,9 %) atau koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk memberikan cairan koloid 0,5-1 l
dan sisanya dalam bentuk cairan kristaloid, oksigen mutlak harus diberikan di samping pemantauan sistem
kardiovaskular dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik, kadang-kadang diperlukan
CVP (Central venous pressure) dan bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para
ahli sependapat untuk memberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Dengan cara melarutkan 1 ml
epineprin 1: 1000 dalam 250 ml dextrosa (konsentrasi 4 mg/ml) di berikan dengan infus 1-4 mg/menit atau

ModuL 3 Blok 11 Thanty

35
15-60 mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai mksimum 10
mg/ml.
Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaan anafilaksis yang berat, American Heart
Association, menganjurkan pemberian epineprin secara endotrakeal dengan dosis 10 ml epineprin 1 : 10000
di berikan melalui jarum panjang atau kateter melalui pipa endotrakeal (dosis anak 5 ml epineprin 1 : 10000).
Tindakan di atas kemudian diikuti pernapasan hiperventilasi untuk menjamin absorpsi obat yang cepat.
Pencegahan
Mencegah syok lebih mudah daripada mencoba mengobatinya. Pengobatan yang tepat terhadap
penyebabnya bisa mengurangi resiko terjadinya syok.
Langkah pertama untuk bisa menanggulangi syok adalah harus bisa mengenal gejala syok. Tidak
ada tes laboratorium yang bisa mendiagnosa syok dengan segera. Diagnosis di buat berdasarkan pemahaman
klinik tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan.
Langkah kedua dalam menanggulangi syok adalah berusaha mengetahui kemungkinan penyebab
syok. Pada pasien trauma, pengenalan syok berhubungan langsung dengan mekanisme terjadinya trauma.
Semua jenis syok dapat terjadi pada semua pasien trauma dan yang tersering adalah syok hipovolemik akibat
perdarahan.
Pencegahan :
Mencegah reaksi ulang, anamnesis penyakit alergi yang pasien punya sebelum terapi diberikan, lakukan skin
test bila perlu, hindari obat-obatan yang sering menyebabkan syok anafilaktik, desensitisasi alergen spesifik,
edukasi supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi dan bersiaga selalu jika
melakukan injeksi.

Urtikaria
Definisi

ModuL 3 Blok 11 Thanty

36
Urtikaria adalah reaksi dari pembuluh darah berupa erupsi pada kulit yang berbatas tegas dan
menimbul (bentol), berwarna merah, memutih bila ditekan, dan disertai rasa gatal. Urtikaria dapat
berlangsung secara akut, kronik, atau berulang. Urtikaria akut umumnya berlangsung 20 menit sampai 3 jam,
menghilang dan mungkin muncul di bagian kulit lain. Satu episode akut umumnya berlangsung 24-48 jam.
Angioedema dapat mucul berupa pembengkakan jaringan dengan batas yang tidak jelas seperti
daerah sekitar kelopak mata dan bibir. Bengkak juga dapat ditemukan pada wajah, badan, genitalia dan
ekstremitas.
Urtikaria merupakan bagian reaksi anafilaksis. Biasanya disebabkan oleh makanan atau obat-obatan
tertentu, infeksi dan stress emosional.
Patogenesis: aktivasi sel mast yang dapat diperantarai IgE (imunologik) maupun non-IgE(non-imunologik).
Epidemiologi
Urtikaria sering dijumpai pada semua umur, orang dewasa lebih banyak mengalami urtikaria dibandingkan
dengan usia muda. Tidak ada perbedaan frekuensi jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan
Penyebab
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga penyebab urtikaria bermacammacam, diantaranya:

Obat. Contohnya adalah antibiotik golongan penisilin, aspirin, obat-obatan hormonal, vaksinasi, pil
kontrasepsi, dan lain-lain.

Makanan. Contohnya adalah susu, keju, telur, gandum, ikan, ayam, dan lain-lain. Zat pewarna,
penyedap rasa atau bahan pengawet juga dapat menimbulkan urtikaria.

Lingkungan. Terpapar dengan debu rumah, jamur, perubahan temperatur, serbuk sari bunga dan lainlain.

Stress. Pada urtikaria yang berulang, faktor emosional perlu diperhatikan. Stress emosional dapat
secara langsung dan tidak langsung menyebabkan seseorang meningkat kemungkinan terjadi
urtikaria.

Penyakit sistemik. Beberapa penyakit dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria. Beberapa
penyakit sistemik yang sering disertai urtikaria antara lain limfoma, hipertiroid, Lupus Eritematosus
Sistemik, dan lain-lain.

Gigitan serangga. Gigitan serangga dapat menimbulkan urtikaria setempat. Nyamuk, lebah dan
serangga lainnya menimbulkan urtikaria bentuk papul di sekitar tempat gigitan, biasanya sembuh
sendiri

Gejala
Gejalanya bisa berupa:

gatal-gatal
pembengkakan diatas permukaan kulit yang berwarna kemerahan dengan batas pinggir yang jelas
(timbul secara tiba-tiba, memudar bila disentuh, jika digaruk akan timbul bilur-bilur yang baru)

ModuL 3 Blok 11 Thanty

37

bilur-bilur membesar lalu menyebar atau bergabung satu sama lain membentuk bilur yang lebih

besar
bentuknya berubah-ubah, hilang-timbul dalam beberapa menit atau jam.
Bila mengenai organ dalam, misalnya saluran cerna dan napas, disebut angioedema. Pada keadaan
ini jaringan yang lebih sering terkena ialah muka, disertai sesak napas dan serak. Sekitar 40%
penderita urtikaria kronis akan menderita angioedema.

Gejala mungkin tidak terjadi setiap saat. Untuk beberapa orang, kondisi tertentu seperti panas, dingin atau
stress akan menyebabkan perburukan gejala.

Diagnosis
Pada anamnesis, biasanya ditanyakan riwayat gatal sebelumnya, riwayat atopi dalam keluarga, faktor
lingkungan seperti debu rumah, tungau debu rumah, binatang peliharaan, tanaman, karpet, sengatan binatang
serta faktor makanan termasuk zat warna, zat pengawet dan sebagainya.
Dari pemeriksaan fisik, dapat dilihat lesi-lesi khas pada permukaan kulit.
Pemeriksaan penunjang
Diperlukan pada urtikaria kronik/berulang, tidak diperlukan pada urtikaria akut. Pemeriksaan yang
biasa dilakukan yaitu pemeriksaan urinalisis (mencari fokal infeksi di saluran kemih), feses rutin (mencari
adanya parasit cacing), pemeriksaan darah tepi (LED dapat meningkat), pemeriksaan kadar IgE total,
pemeriksaan hitung eosinofil total (eosinofilia), pemeriksaan uji kulit alergen , dermografisme, uji tempel es
atau IgE spesifik dan kadar komplemen (C3, C4) untuk mencari kelainan sistemik yang mendasari urtikaria,
pada pasien yang memiliki riwayat angioedema pada keluarga.
Pengobatan
Pengobatan yang paling ideal tentu saja mengobati penyebab atau bila mungkin menghindari
penyebab yang dicurigai. Bila tidak mungkin paling tidak mencoba mengurangi penyebab tersebut, sedikitdikitnya tidak menggunakan dan tidak berkontak dengan penyebabnya.
Gejala dapat diobati dengan efektif. Beberapa obat yang dapat dipergunakan antara lain adalah
antihistamin oral (lewat mulut). Obat ini dapat mengontrol gejala bagi sebagian besar orang, namun tidak
menghilangkan penyebabnya. Beberapa obat ini dapat dibeli langsung di apotik dan beberapa perlu resep
untuk membelinya. Kombinasi dari beberapa antihistamin dapat menghasilkan hasil yang lebih baik. Contoh
antihistamin yang tidak menyebabkan kantuk antara lain Loratadine, Cetirizine. Antihistamin yang dapat
menyebabkan kantuk antara lain CTM, difenhidramin.

ModuL 3 Blok 11 Thanty

38
Jika antihistamin saja tidak mengurani gejala, pengobatan lain yang dapat dipergunakan adalah
dengan kortikosteroid oral (lewat mulu) seperti prednison dapat mengurangi bengkak, kemerahan dan gatal,
namun hanya diminum dalam jangka waktu sebentar saja untuk urtikaria yang berat dan angioedema karena
prednison mempunyai efek samping yang cukup serius.
Pada urtikaria generalisata mula-mula diberikan injeksi larutan adrenalin 1/1000 dengan dosis 0,01
ml/kg intramuskular (maksimum 0,3 ml) dilanjutkan dengan antihistamin penghambat H1 seperti CTM 0,25
mg/kg/hari dibagi 3 dosis sehari 3 kali yang dikombinasi dengan HCL efedrin 1 mg/tahun/kali sehari 3
kali. (Lihat penanggulangan anafilaksis). Bila belum memadai ditambahkan kortikosteroid misalnya
prednison (sesuai petunjuk dokter).
Pada urtikaria yang sering kambuh terutama pada anak sekolah, untuk menghindari efek samping
obat mengantuk, dapat diberikan antihistamin penghambat H1 generasi baru misalnya setirizin 0,25
mg/kg/hari sekali sehari.
Pencegahan
o

Hindari alergen yang diketahui. Termasuk beberapa makanan dan penyedap makanan, obat-obatan dan
beberapa situasi seperti panas, dingin atau stress emosional

Membuat catatan. Mencatat kapan dan dimana urtikaria terjadi dan apa yang kita makan. Hal ini akan
membantu anda dan dokter untuk mencari penyebab urtikaria.

Hindari pengobatan yang dapat mencetuskan urtiakria seperti antibiotik golongan penisilin, aspirin dan
lainnya

Angioderma

ModuL 3 Blok 11 Thanty

39
Angiodema adalah edema local dengan batas tegas yang melibatkan lapisan kulit yang lebih dalam
(jaringan subkutan),bila dibandingkan pada urtikaria. Bisa terjadi dimana pun, tetapi paling sering pada
daerah mulut, kelopak mata dan genital.
Urtikaria dan angiodema merupakan edema non-pitting yang dapat terjadi sendiri atau bersamaan.
Selain dikulit, kelainan yang sama dapat terjadi dipermukaan mukosa gastrointestinal ataupun saluran nafas
atas. Episode urtikaria atau angiodema yang berlangsung kurang dari 6 minggu disebut urtikaria atau
angiodema akut. Dan bila proses tersebut cenderung menetap lebih dari 6 minggu disebut kronik.
Secara umum keluhan pasien urtikaria hanya merasakan gatal, tetapi pada episode serangan urtikaria
yang berat dapat mengeluh badan terasa lelah, gangguan pencernaan dan menggigil. Angiodema merupakan
sprektrum urtikaria yang terjadi pada lapisan kulit yang lebih dalam, lebih sering terasa nyeri disbanding
gatal dengan waktu penyembuhan yang relative lama.
Secara umum penyebab yang mendasari terjadinya urtikaria juga merupakan penyebab terjadinya
angiodema karena kedua penyakit ini lebih sering terjadi secara bersamaan. Namun terkadang angiodema
dapat terjadi sendiri.
Pada angiodema, perlu dilihat ada tidaknya bintul-bintul (wheals) yang menyertai. Bila disertai
adanya urtikaria, dapat dikatakan angioedema tersebut merupakan bagian dari urtikaria yang kebetulan
terjadi bersamaan. Tetapi bila angiodema yang terjadi tanpa disertai adanya urtikaria, perlu dipkirkan
kemungkinan keterkaitan dengan kadar C1 inhibitor. Angiodema dengan kadar C1 inhibitor yang normal,
umumnya

penyebabnya

tidak diketahui (idiopatik). Walaupun demikian perlu dipertimbangkan

kemungkinanya akibat penggunaan obat (aspirin,ACE inhibitor,OAINS) atau episode angiodema with
eosinophilia(EAAE). Apabila didapatkan kadar C1 inhibitor di bawah normal, mungkin bisa diakibatkan
oleh factor yang didapat (misalnya limfoma,lupus eritematosus sistemik) atau bawaaan/herediter yang
sifatnya diturunkan secara autosomal dominant.
Pada penyakit alergi, sel mast memainkan peran yang amat penting. Reaksi hipersensiviti tipe 1 dan
urtikaria atau angioedema diawali aoleh tertangkapnya antigen pada reseptor IgE yang saling berhubungan
den menempel pada sel mast atau basofil. Proses selanjutnya terjadi aktivasi sel mast/basfil dengan
mengeluarkan bermacam-macam mediator yang pada akhirnya mengundang sel-sel inflamasi. Sel-sel yang
berperan dalam reaksi fase lambat termasuk contohnya eosinofil, netrofil, limfosit, dan basofil.
Angiodema diakibatkan peningkatan aktivitas komponen dari komlemen yang mengarah pada
pembentukan bahan-bahan vasoaktif dari peptide yang menyerupai kinin dan bradikinin. Trauma mekank
ringan mengaktifkan factor Hageman (factor XII) yang mengawali pembentukan plasmin dan kalikrein.
Lasmin selanjutnya mengaktifkan C1 dengan pembentukan C2 kinin like peptide, sedangkan kalikrein
menghasilkan bradikinin yang berasal dari kininogen. C1 inhibitor menghambat fungsi katalitik dari factor
XII aktif,kalikrein dan komponen C1. Dengan demikian bisa dipahami, pada pasiens defisiensi C1 inhibitor,
selama terjadinya srangan klinik angidema, terjadi peningkatan kadar bradikinin. Dilain pihak, kadar C4
komponen akan turun. Pada kasus defisiensi C1 nhibitor yang didapat bisa dikaitkan dengan penyakit
autoimun atau limfoma. Diagnosis dan penatalaksanan angioedema secara umum sama dengan penyakit
urtikaria.
Sindrom Steven- Johnson
ModuL 3 Blok 11 Thanty

40

Definisi
Sindrom steven- Johnson (SSJ) merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium, dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat ; kelainan kulit berupa eritema, vesikel /
bula, dapat disertai dengan purpura.
Etiologi
Penyebab utama adalah alergi obat, lebih dari 50 %. Sebagian kecil karena infeksi, vaksinasi, penyakit graftversus-host, neoplasma, dan radiasi. Diduga alergi obat tersering ialah analgetik / antipiretik (45%), disusl
karbamazepin (20%), dan jamu (13,3%). Sebagian besar jamu dibubuhi obat. Kausa yang lain amoksisilin,
kotrimoksasol, dilanting, klorokuin, seftriakson, dan adiktif.
Gejala klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah karena imunitas belum begitu berkembang. Keadaan
umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, pasien dapat
soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi,
malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan.
Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orifisium, kelainan
mata.

Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga
terjadi erosi yang luas. Di samping itu dapat juga terjadi purpura.

Pada bentuk yang berat

kelainannya generalisata.

Kelainan selaput lendir pada orifisium


Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) , kemudian disusul oleh
kelainan di lubang alat genitalia (50%), sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing
8% dan 4%).
Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah dan menjadi erosi dan ekskoriasi dan
krusta kehitaman. Dimukosa mulut juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan sering
tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal.
Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring , traktus respiratorius bagian atas, dan esofagus.
Stomatitis dapat menyebabkan pasien sukar atau tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran
dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.

Kelainan mata
Kelainan mata, merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah konjungtivitis katharalis.
Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulent, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis,
dan iridosiklitis.

Disamping trias keluhan itu terdapat kelainan lain, misalnya nefritis dan onikolisis.
Komplikasi
ModuL 3 Blok 11 Thanty

41
Komplikasi tersering adalah bronkopneumonia, komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan, gangguan
keseimbangan elektrolit, syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karna gangguan lakrimasi.
Pemeriksaan laboratorium
Jika terdapat leukositosis, penyebabnya kemungkinan karena infeksi bakterial. Kalau terdapat eosinifilia
kemungkinan karena alergi. Jika kemungkinan penyebabnya karena infeksi dapat dilakukan kultur darah.
Histopatologis
Gambaran histopatologis sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari perubahan dermal yang ringan
sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh. Kelainan berupa :

Infiltrat sel MN di sekitar pembuluh darah dermis superfisial.

Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar.

Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal.

Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadan gdi adneksa

Spongiosis dan edema intrasel di epidermis.

Diagnosis banding
Diagnosis SSJ tidak sulit karena gambaran klinisnya khas yakni terdapat trias kelainan seperti yang telah
disebutkan. Karena NET dianggap sebagai bentuk parah SSJ, maka hendaknya dicari apakah terdapat
epidermolisis. Umumnya pasien berbaring, jadi diperiksa punggungnya . apabila terdapatepidermolisis, maka
diagnosisnya menjadiNET. Pada NET keadaan umumny alebih buruk daripada SSJ.
Pengobatan

Obat yang dicurigai sebagai kausanya segera dihentikan , termasuk jamu dan aditif.

Jika keadaan umum pasien SSJ baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednison 3040 mg sehari.

Kalau keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus iobati secara tepat dan cepat dan pasien
harus dirawat-inap.

Penggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan live-saving, dapat digunakan dexametason


secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.

Selain deksametason dapat pula digunakan metilprednisolon dengan dosis setara

antibiotik spektrum luas yang jaran gmenyebabkan alergi, bersifat bak;1terisida, dan tidak atau
sedikit nefrotoksik.

Diet yang rendah garamdan kaya akan protein

atur keseimbangan cairan/ elektrolit dan nutrisi

beri infus , misalnya dekstrose 5%, NaCl9% dan laktat ringer berbanding 1:1:1 dalam satu labu yang
diberikan tiap 8 jam sekali.

ModuL 3 Blok 11 Thanty

42

Jika terapi tersebut belum nampak perbaikan dalam 2 hari, maka dapat diberikan transfusi darah
sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut. Efek transfusi darah adalah sebagai imunorestorasi.

Pada kasus dengan purpura yang yang luas, dapat pula diberikan vit. C 500 mg atau 1000 mg sehari
iv.

ModuL 3 Blok 11 Thanty

You might also like