Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.2.Tujuan Percobaan
1.3.Hipotesis
Setelah satu jam penyuntikan, konsentrasi asam salisilat mengalami
penurunan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada
sel suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan
perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat
tersebut. Untuk mencapai reseptor, dari tempat pemberiannya obat harus dapat
diabsopsi. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional
yang mencakup dua fungsi penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah
kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu
fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada.
Efek terapeutik obat dan efek toksik obat adalah hasil dari interaksi
obat tersebut dengan molekul di dalam tubuh pasien. Sebagian besar obat
bekerja melalui penggabungan dengan makromolekul khusus dengan cara
mengubah aktivitas biokimia dan biofisika makromolekul, hal ini dikenal
dengan istilah reseptor.
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke
dalam darah bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat
adalah saluran cerna (mulut sampai dengan rectum), kulit, paru,otot, dan lain
lain. Yang terpenting adalah cara pemberian obat per oral dengan cara ini
tempat absorbs utama adalah usus halus karena memiliki permukaan absorbsi
yang sangat luas, yakni 200m2.(Anonim,2007). Kecepatan banyaknya obat
yang diabsorpsi untuk kemudian mencapai reseptor memberikan pengaruh
yang sangat besar terhadap onset obat, sedangkan lamanya obat berada di
reseptor menentukan durasi atau lamanya kerja obat.
Absorpsi obat melalui saluran cerna pada umumnya terjadi secara
difusi pasif, karena itu absorpsi mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion
dan mudah larut dalam lemak. Absorpsi secara transpor aktif terjadi teutama
di dalam usus halus untuk zat-zat makanan : glokusa dan gula lain, asam
amino, basa purin, dan pirimidin, mineral, dan beberapa vitamin. Cara ini juga
terjadi untuk obat-obat yang struktur kimianya mirip struktur zat makanan
tersebut. Misalnya levodopa, metildopa, 6-merkaptopurin, dan 5-flourourasil.
(Katzug, B.G, 1989).
Kebanyakan obat merupakan elektrolit lemah, yakni asam lemah atau
basa lemah. Dalam air, elektrolit lemah ini akan terionisasi menjadi bentuk
ionnya. Untuk asam lemah, pH yang tinggi (suasana basa ) akan
meningkatkan ionisasinya dan mengurangi bentuk nonionnya. Sebaliknya
untuk basa lemah, pH yang rendah (suasana asam ) yang akan meningkatkan
ionisasinya dan mengurangi nonionnya. Hanya bentuk nonion yang
mempunyai kelarutan lemak, sehingga hanya bentuk nonion dan bentuk ion
berada dalam kesetimbangan, maka setelah bentuk nonion diabsopsi,
kesetimbangan akan bergeser kearah bentuk nonion sehingga absorpsi akan
berjalan terus sampai habis.Zat-zat makanan dan oabt0obat yanng strukturnya
mirip makanan, yang tidak dapat / sukar berdifusi pasif memerlikan membran
agar dapat dapat diabsorpsi dari saluran cerna maupun direabsopsi dari lumen
tubulus ginjal.(2)
Lambung merupakan tempat penyerapan yang penting, terutama untuk
asam lemah yang berada dalam bentuk non ion yang larut lipid dan mudah
berdifusi. Sebaliknya basa lemah akan mengion dalam getah lambung yang
bersifat asam karena sifatnya yang tidak mudah diserap. Perbedaan hal
absorbsi juga dipengaruhi oleh adanya plasma yang beredar. Asam lemah
dalam bentuk ion terlarut dalam plasma dan dapat ditransport, namun basa
lemah dalam bentuk ion akan berdifusi kembali ke dalam lambung.
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi, yaitu :
1. Derajat Ionisasi
2. Dosis dan waktu pemberian obat
3. pH dan pK
4. Pelarut obat dan bentuk obat
5. Luas permukaan absorpsi
6. Aliran darah
7. Kondisi usus dan kecepatan pengosongan lambung
8. Interaksi dengan obat lain
Selain mengalami absorpsi dan distribusi, sebagian obat mengalami
metabolisme yang kemudian dieksresikan ke luar tubuh, kecepatan
metabolisme dan ekskresi dapat mempengaruhi lama kerja obat atau durasi
obat. Setiap manipulasi yang berakibat pada perubahan kecepatan dan jumlah
obat yang diabsorpsi, didistribusi, mencapai reseptor, dimetabolisme dan
dieksresi akan mempengaruhi efek obat yang timbul.
Asam salisilat dapat ditemukan pada banyak tanaman dalam bentuk
metal salisilat dan dapat disintesa dari fenol. Asam salisilat memiliki sifatsifat: berasa manis, membentuk kristal berwarna putih, sedikit larut dalam air,
meleleh pada 158,5C 161C. Asam salisilat biasanya digunakan untuk
memproduksi ester dan garam yang cukup penting.
BAB III
METODE KERJA
3.1. Alat dan Bahan
Alat bedah
Papan fiksasi
Pipet tetes
Tabuh reaksi
Bahan
-
Urethane
Perhitungan Dosis :
Dosis Z.A
x=
= 156,06 mg
=
= 0,62424 ml 0,6 ml
2.
3.
4.
Tabung
Konsentrasi (mg)
10
15
20
25
30
35
40
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan
Normal
86,7
196
88
Refleks
+++
Tonus Otot
+++
Kesadaran
+++
Rasa Nyeri
+++
Salivasi
Urinasi
Defekasi
Konvulsi
mg
Ct1 = warna yang terbentuk setelah 1 jam berada pada deret tabung 2 dengan
konsentrasi sebesar 10 mg.
4.2.
Perhitungan
% Absorpsi =
x 100%
=
= 69,2%
Tabel 3. Perbandingan presentase absorpsi antara suasana asam dengan
suasana basa
Asam salisilat
Asam salisilat
(Asam)
(Basa)
85,71%
71,42%
33,33%
51,42%
83,33%
85,71%
50%
69,2%
80%
10
40%
66,47%
63,55%
Kelompok
4.3.
Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari praktikum kali ini, presentase
absorpsi asam salisilat dalam suasana basa (NaHCO3 0,3 M) yang diperoleh
cenderung lebih kecil dibandingkan absorpsi asam salisilat dalam suasana
basa (HCl 0,1 N). Presentase rata-rata absorpsi dalam suasana asam yang
didapatkan sebesar 66,47% . Sedangkan presentase rata-rata absorpsi dalam
suasana basa sebesar 63,55%. Hal ini dikarenakan asam salisilat mengalami
absorpsi yang baik didalam lambung dalam suasana asam. Obat atau senyawa
kimia yang bersifat asam akan berdisosiasi dalam suasana basa menjadi
bentuk ion dan anion dan sebaliknya, pH pelarut akan menentukan kecepatan
dan banyaknya obat yang diabsorbsi. Dalam percobaan kali ini, asam salisilat
dilarutkan dalam larutan dengan suasana asam (HCl) dan dengan suasana basa
(NaHCO3). Pengaruh pH yang semakin rendah (asam) dalam pelarut ditambah
lagi dengan pH asam dari lambung meningkatkan absorpsi dari asam salisilat.
Sehingga asam salisilat tidak terionisasi (non ion) didalam lambung dan
mudah larut dalam lemak serta memudahkan proses absorpsi. Asam salisilat
diabsorbsi dengan mekanisme difusi pasif dalam bentuk molekul tak terionkan
melewati membran gastrointestinal dan dipengaruhi oleh pH larutan. Jika pH
meningkat (basa), asam salisilat lebih banyak terionisasikan dan kecepatan
absorbsi cenderung turun. Sehingga presentase absorpsi yang didapat pun
kecil. Berbanding terbalik jika pH larutan rendah (asam), maka asam salisilat
akan dengan cepat diabsorbsi di lambung. Sehingga presentase absorpsi yang
diperoleh cukup besar. Meskipun demikian, absorbsi di usus halus lebih besar
daripada di lambung. Pengosongan lambung sebelum dilakukan percobaan
juga dimaksudkan untuk membantu mempercepat absorpsi asam salisilat
sebab dalam kondisi kosong ini lambung akan memproduksi asam yang lebih
banyak.
Untuk mengetahui kemurnian asam salisilat, dapat dilakukan uji
dengan menggunakan besi(III) klorida (FeCl3) dalam HNO3. Besi(III) klorida
bereaksi dengan gugus fenol membentuk kompleks ungu. Asam salisilat akan
berubah menjadi ungu jika FeCl3 ditambahkan, karena asam salisilat
mempunyai gugus fenol. Pengujian konsentrasi awal (Ct0) dengan konsentrasi
akhir (Ct1) menunjukkan derajat kepekatan warna yang menurun ketika
dibandingkan dengan standar. Warna ungu yang terbentuk akan semakin
memudar hingga warna ungu tidak nampak lagi. Hal ini berarti konsentrasi
awal lebih tinggi dari konsentrasi akhir yang mengindikasikan pula akan
adanya mekanisme absorbsi. Semakin pudar warna ungu yang terbentuk maka
semakin banyak asam salisilat yang telah diabsorpsi. Ini menunjukkan gugus
fenol sudah semakin berkurang.
Bila konsentrasi asam salisilat terlalu tinggi memasuki sel mukosa,
maka obat tersebut dapat merusak barier mukosa dan menyebabkan iritasi.
Agar tidak terjadi iritasi pada lambung, sebaiknya pH lambung ditingkatkan
dengan larutan buffer yang cocok.
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
S.G.,
Setiabudi,
R.,
Suyatna,
F.D.,
Purwantyastuti,
Nafrialdi
Pengajar
Farmakologi.
1995.
Absorpsi
dan
Eksresi.
Banjarbaru: