You are on page 1of 8

Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Prespektif Hukum Positif di

Indonesia
(Studi analisis putusan MK tentang uji materiil UU Perkawinan)

A. Pendahuluan
Kehadiran seorang anak dalam suatu keluarga merupakan anugerah tersendiri bagi
kedua orang tua, anak menjadi suatu peran penting dalam terbentuknya suatu
keluarga. Karena tujuan dari suatu pernikahan sendiri bukan hanya untuk
menciptakan suatu tatanan rumah tangga yang bahagia, namun juga untuk
meneruskan kelangsungan suatu keturunan dari keluarga tersebut.
Sejalan dengan itu Soetojo Prawirohamidjojo menyatakan bahwa tujuan utama
dari sebuah perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan, memenuhi nalurinya
sebagai manusia, membentuk dan mengatur rumah tangga atas dasar cinta dan kasih
sayang, memelihara manusia dari kejahatan dan menumbuhkan kesungguhan mencari
rezeki yang halal dan memperbesar tanggung jawab.i Sungguh besar arti dari sebuah
ikatan pernikahan, sehingga darinya menciptakan berbagai kemaslahatan untuk
kelangsungan hidup manusia sendiri.
Maka dari itu banyak dari pasangan suami istri yang baru melangsungkan akad
nikah sangat mendambakan akan adanya seorang anak. Karena selain menjadi
penerus suatu keturunan, anak juga berfungsi sebagai pengikat cinta kasih dan
kedamaian suatu mereka. Pada umumnya, orang tua berharap kepada anaknya untuk
mewujudkan cita-cita mereka yang belum tercapai, selain itu anak juga merupakan
pewaris yang utama terhadap harta kekayaan yang dimiliki oleh orang tua mereka
kelak ketika mereka telah meninggal.
Dalam perkawinan yang ideal, kehadiran anak merupakan idaman bagi setiap
orang tua, namun pada kenyataannya tidaklah demikian, banyak fakta yang
membuktikan bahwa masih ada orang tua yang rela membuang bahkan membunuh
darah dagingnya sendiri demi menutupi aib keluarganya. Kelahiran bayi tersebut
membuat malu seluruh keluarga, karena anak tersebut dihasilkan dari hubungan di
luar nikah, yang notabenenya perbuatan tersebut tidak dibenarkan oleh ajaran agama
dan etika yang berlaku di masyarakat pada umumnya.

Dalam pandangan hukum sendiri, kelahiran merupakan sebuah peristiwa hukum


yang menimbulkan banyak akibat hukum. Karena dari proses kelahiran tersebut akan
menimbulkan hubungan keluarga, hubungan perwalian, hubungan waris dan
hubungan-hubungan lainnya yang masih berkaitan dengan lahirnya subjek hukum
yang baru di dunia ini, dengan segala status dan kedudukannya di mata hukum.
Dalam hukum keluarga sendiri akan menimbulkan hubungan antara hak dan
kewajiban alimentasi orang tua terhadap anaknya, sedangkan dalam hukum perwalian
akan timbul pada saat orang tua si anak tidak sanggup memikul tanggung jawab
terhadap anaknya, dan adapun dalam hukum waris anak akan menduduki peringkat
tertinggi dalam perwarisan.
Dalam Undang-undang telah jelas menyatakan bahwa seorang anak yang masih di
dalam kandungan akan dijamin haknya. Dan adapun jika anak tersebut lahir dalam
keadaan meninggal, maka hak-hak tersebut dianggap tidak ada, hal tersebut
menunjukkan bahwasannya Undang-undang disini telah memandang bayi di dalam
kandungan sebagai subjek hukum yang telah memiliki hak-hak keperdataannya.
Seorang anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan biologis yang dilakukan
oleh seorang laki-laki ndan perempuan akan menyandang status dan kedudukan di
mata hukum berdasarkan perkawinan orang tuanya. Suatu perkawinan yang sah akan
melahirkan seorang anak yang memilki status dan kedudukan yang sah dimata
hukum, sedangkan seorang anak yang lahir dari suatu hubungan yang tidak sah tanpa
adanya perkawinan yang sah, maka anak tersebut akan menyandang status sebagai
anak luar kawin (biasa disebut dengan anak zina) ketika kelak ia terlahir ke dunia.
Sejak keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VII/2010, pada
tanggal 13 Februari 2012 tentang judicial riview terhadap Pasal 2 ayat (2) dan Pasal
43 ayat (1) UU Perkawinan, timbul banyak polemik dikalangan ulama, akademisi,
praktisis, aktivis keagamaan dan LSM pemerhati anak tentang dampak dari lahirnya
putusan tersebut yang dianggap akan berbenturan dengan kaidah hukum islam.
Putusan tersebut mengandung kontroversi karena telah menyatakan Pasal 43 ayat (1)
UU perkawinan yang menyebutkan bahwa Anak luar kawin hanya memilki
hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya bertentangan dengan
konstitusi. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi sendiri ayat tersebut harus dibaca
Anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat

dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Dengan lahirnya putusan tersebut, penulis menaruh harapan yang besar bahwa
suatu saat stigma negatif yang saat ini disandang oleh anak-anak luar kawin baik di
mata hukum maupun dimata masyarakat bisa sedikit mereda, karena semua perlakuan
yang tidak manusiawi terhadap anak-naak yang lahir di luar perkawinan telah menjadi
fenomena sepanjang jaman yang tidak kunjung ada solusinya. Padahal jika kita
sejenak berfikir dari posisi mereka, sesungguhnya mereka tidak pernah meminta
untuk dilahirkan dan tidak pula diberikan kesempatan untuk memilih akan terlahir
dari rahim milik siapa, maka terlalu naif jika kita menjatuhkan hukuman terhadap
mereka dengan berbagai status dan kedudukan yang membuat mereka terbelenggu
dalam dunia tanpa pengakuan.

B. Pengaturan Tentang Kedudukan Anak dalam Undang-undang


Perkawinan
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan bahwa Anak yang dilahirkan
diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya bunyi pasal di atas juga sebenarnya menimbulkan banyak penafsiran kaeran
kalimat dilahirkan diluar perkawinan itu sebenarnya mengandung makna seperti
apa? Apakah yang dimaksud diluar perkawinan itu adalah suatu kelahiran yang sama
sekali tanpa adanya proses perkawinan, misalnya anak yang lahir dari adanya proses
perzinahan, atau juga termasuk dalam pengertian perkawinan yang tidak sah
berdasarkan hukum agama senagimana disyaratkan oleh ketentuan Pasal 2 ayat (1)
UU Perkawinan, atau sebenarnya menunjuk pada proses perkawinan yang tidak
didaftarkan sesuai dengan Pasal 2 ayat (2)? Tiga keadaan yang disebutkan di atas
masing-masing memiliki persoalan hukum yang berbeda, karena jika maksudnya
menunjuk pada keadaan yang sama sekali tidak pernah ada perkawinan, maka anak
yang lahir dari perkawinan siri tidak boleh digolongkan anak luar kawin, karena
kelahiran anak tersebut dilahirkan dalam atau sebagai akaibat dari perkawinan yang
sah. Jika maksudnya adalah perkawinan yang tidak dicatatkan maka rumusan kalimat
Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tersebut menjadi tidak cocok, karena antara
perkawinan dengan pencatatan merupakan dua hal yang berbeda walupun yang satu
memberikan pengaruh bagi yang lain.

Jika kita terjemahkan secara parsial bunyi Pasal 43 ayat (1) UU perkawinan
tanpa memperhatikan ketentuan Pasal 42, maka anak dibenihkan dalam suatu
perkawinan yang sah namun ketika anak tersebut lahir namun perkawinan orang
tuanya telah putus, maka abnak tersebut hanya akan memilki hubungan perdata
dengan ibunya karena anak tersebut lahir diluar perkawinan.ii
Contoh:
Seorang suami istri menikah secara sah pada tanggal 1 januari 2013 dan tidak
selang lama kemudian si isteri mengandung, ketika isterinya sedang
mengandung tujuh bulan tiba-tiba suaminya meninggal, sehingga otomatis
perkawinannya menjadi putus (cerai mati), dan lahirlah seorang anak setelah
suaminya meninggal.
Coba kita hubungkan kasus di atas dengan bunyi kalimat Anak yang
dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya bukankah si anak dalam kasus di atas lahir di luar perkawinan
karena perkawinannya telah terputus sebelum anak tersebut lahir? Jadi jika kasusu di
atas hanya diartikan dengan bunyi Pasal 43 ayat (1) UU perkawinan, maka anak
tersebut tidak akan memiliki hubungan perdata dengan ayahnya. Jika pengertiannya di
hubungkan dengan Pasal 42 UU Perkawinan, barulah anak tersebut akan mendapatkan
statusnya sebagai anak sah karena bunyi Pasal 42 jelas menyebutukan bahwa anak
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai sebab dari perkawinan yang
sah sehingga antara Pasal 42 dengan Pasal 43 ayat (1) sesungguhnya mengandung
pertautan yang kurang harmonis. Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan

tidak

menyebutkan kata sah atau didaftarkan/dicatatkan sehingga jika ditafsirkan


secara kaku, maka rumusan Pasal 43 ayat (1) tersebut dapat diartikan bahwa yang
penting antara orang tua si anak pernah melangsungkan perkawinan maka setiap anak
yang dilahirkan akan menjadi anak yang sah terlepas dari perkawinan yang
dilakukannya itu sah atau tidak, didaftarkan atau tidak karena Pasal 43 ayat (1) tidak
menentukan harus dah atau harus didaftarkan.
Entah merupakan suatu kaelalaian dari pembentuk undang-undang atau
sebenarnya pembentuk undang-undang menganggap bahwa rumusan Pasal 43 ayat (1)
tersebut pengertianya tidak boleh dipisahkan dari rumusan Pasal 2 ayat (1) dan pasal
42 UU Perkawinan sehningga kata perkawinan dalam rumusan Pasal 43 ayat (1)
mengandungpengertian bahwa perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan

menurut dua ketentuan pasal di atas. Agar kedua pasal tersebut memiliki harmonisasi,
maka lebih tepat jika rumusan Pasal 43 ayat (1) itu berbunyi Anak yang tidak
dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah hanya memiliki
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sehingga tidak
menimbulkan penafsiran-penafsiran yang melenceng dari kehendak undang-undang
itu sendiri.
Pasal 43 ayat (2) UU Perkawinan menyebutkan bahwa kedudukan anak dalam
ayat (1) selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri, namun sampai
dengan saat ini pemerintah belum juga mengeluarkan peraturan pemerintah tentang
kedudukan anak luar kawin sedangkan PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU
No. 1 Taun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur tentang kedudukan anak luar
kawin, sehingga sampai sekarang persoalan tentang kedudukan anak luar kawin
pengaturannya masih terkatung-katung karena Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan
hanya menyebutkan tentang hubungan keperdataannya saja sedangkan terhadap hakhaknya yang harus dilindungi sebagai seorang manusia tidak mendapat pengaturan
yang jelas dan terperinci.
Sebagai akibat dari hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, anak
tersebut hanya akan mendapatkan hak waris dari ibu dan keluarga ibunya saja,
termasuk segala bentuk pemeliharaan sampai anak itu dewasa hanya menjadi
tanggung jawab ibunya. Sekilas saja ketentuan tersebut mengandung ketidakadilan
bagi si ibu dan anaknya, karena untuk membenihkan anak tersebut dalam rahim
ibunya pasti ada peran dari pihak laki-laki sebagai ayah biologisnya. Lalu karena si
ayah tidak mengakui atau atau tidak kawin dengan si perempuan itu, maka hubungan
keperdataannya menjadi terputus dengan si ayahnya, padahal hubungan hukum
tersebut sangat diperlukan oleh si anak untuk bisa menuntut hak pemeliharaan yang
wajar seperti halnya anak-anak yang yang lain pada umumnya.

C. Perdebatan Seputar Dampak Hukum atas Keluarnya Putusan


Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 46/PUU-VII/2010 diucapkan pada hari
Senin, tanggal 13 Februari tahun 2012. Banyak bermunculan opini, komentar dan
kritikan dari masyarakat, baik di media massa, jejaring sosial maupun kolom-kolom
pembaca di pelbagai blog dan website internet, pada umumnya komentar tersebut

terbagi menjadi dua kubu. Kubu yang pertama membela Putusan Mahkamah
Konstitusi, dan kubu yang lain menentang putusan tersebut.
Majelis Mujahidin menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Kostitusi
menyangkut UU NO. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 43 ayat (1) telah
menodai keyakinan umat beragama di Indonesia, karena tidak satupun agama yang
menyatakan bahwa anak hasil hubungan di luar pernikahan seperti zina, kumpul kebo
atau samen leven mempunyai kependudukan keperdataan yang sama dengan anak
hasil pernikahan, hal tersebut disampaikan oleh Amir Majelis Mujahidin Indonesia
Muhammad Thalib dalam siaran pers dengan detik.com pada hari Rabu 7 Maret 2012.
Selanjutnya dinyatakan bahwa dampak buruk dari keputusan tersebut akan
memfasilitasi kebejatan moral, prostitusi, wanita simpanan, pasangan selingkuh. Jika
hamil dan melahirkan anak, mereka tidak perlu khawatir karena hak perdata mereka
dilindungi oleh Keputusan Mahkamah Kostitusi tersebut, sementara ahli waris pihak
laki-laki pelaku hubungan seks diluar nikah akan terdzalimi karena hak-haknya
terampas disebabkan perbuatan yang tidak mereka lakukan.iii
Sedangkan dilain pihak Eka N.A.M Sihombing memiliki pendapat yang
berbeda, bahwa kekhawatiran pihak yang kontra terhadap Putusan Mahkamah
Kostitusi sebenarnya tidak beralasan karena putusan tersebut justru memberikan
pesan moral kepada laki-laki untuk tidak sembarangan melakukan hubungan seks
diluar pernikahan karena ada implikasi yang akan dipertanggung jawabkan akibat
perbuatannya tersebut. Mahakamah Konstitusi bermaksud agar anak yang dilahirkan
diluar pernikahan mendapatkan perlindungan hukum yang memadai karena pada
prinsipnya anak tersebut tidak berdosa dan kelahiran itu diluar kehendaknya. Anak
yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan
perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus
memberi perlindungan dan kepastian yang adil terhaadap status seorang anak yang
dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan.iv
Dalam sisi yang berbeda Nurul Irfan yang juga sebagai ahli dalam persidangan
Mahkamah Kostitusi yang diajukan oleh Pemohon Aisyah Mochtar menyatakan
bahwa jika dilihat dari kaca mata islam, maka putusan tersebut merupakan bentuk
ijtihad dari Mahkamah Kostitusi, putusan tidak menganut aliran madzhab fiqh
manapun dalam islam, namun kalau mau dipaksakan denga salah satu madzhab yang
ada maka putusan tersebut lebih mendekati dengan Madzhab Abu Hanifah yang
menyatakan bahwa selama ayahnya mengakui, maka hak anak diberikan.v

Terlepas dari semua pendapat diatas, maka terhadap persoalan status anak luar
kawin dari pandangan hukum harus dilihat dari dua aspek, antar lain:
1. Dari aspek perkawinan orang tuanya,
2. Dari aspek kepentingan si anak.
Jika kita menggunakan aspek yang pertama dalam melihat kandungan isi
Putusan Mahkamah Kostitusi, maka jelas akan menghasilkan kesimpulan bahwa
Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan denagn nilai-nilai luhur dalam sebuah
perkawianan apalagi jika argumen tersebut kemudian dijadikan ukuran untuk
menjustifikasikan persoalan anak luar kawin, karena tidak dapat dipungkiri bahwa
kelahiran seorang anak merupakan akibat dari adanya hubungan antara seorang lakilaki denag seotrang permpuan yang seharusnya menurut hukum terikat dalam suatu
hubungan perkawinan. Suatu perbuatan zina akan melahirkan seorang anak dari hasil
perzinahan sehingga jika melegalkan status hukum anak yang dihasilkan dari
perbuatan zina, maka akan pula berdampak pada upaya melegalkan perbuatan zina.
Namun jika kita menggunakan aspek yang kedua, dimana kita mencoba
melepaskan sejenak tentang persoalan keabsahan perkawinan yang dilakukan oleh
kedua orang tua si anak atau mungkin yang sama sekali tidak pernah ada perkawinan,
maka kita akan dapat melihat beberapa hal, antara lain:
1. Terjadinya kelahiran bukanlah kehendak si anak,
2. Si anak tidak pernah diberikan hak untuk memilih dia akan dilahirkan dari
rahim milik siapa,
3. Setiap anak yang lahir diluar perkawinan memiliki kepentingan dan
kebutuhan yang sama dengan anak-anak pada umumnya, sehingga tidak
adil jika si anak dibatasi hak keperdataanya hanya karena kesalahan yang
bukan dilakukan olehnya.
4. Konstitusi melindungi hak asasi setiap anak untuk bisa mendapatkan status
yang layak dihadapan hukum,
5. Melepaskan tanggung jawab si ayah terhadap anaknya hanya semata-mata
karena tidak terjadi perkawinan atau perkawinannya tidak sah merupakan
bentuk ketidakadilan karena ia memiliki peran yang besar atas kelahiran
anak tersebut.
Secara prinsip kita tidak boleh mengubah pandangan bahwa setiap hubungan
seksual harus didahului oleh sebuah perkawinan yang sah menurut agama dan
memenuhi perintah hukum negara, namun terhadap kasus-kasus yang terlanjur lahir

anak-anak yang tidak sah, maka hukum juga tidak boleh menutup mata terhadap
kenyataan tersebut. Bukanlah sebuah solusi yang tepat jika anak-anak itu mejadi
objek penelantaran denagn adanya nir status dan pengakuan secara hukum. Emberian
hak-hak keperdataan bagi si anak tidak akan menjadikan hubungan yang dilakukan
oleh orang tuanya menjadi sah dimata hukum.

Soetojo Prawirohamidjojo, pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga


University Press. Jakarta. 1986. Hlm: 28-29.
ii
D.Y. Witanto, SH. Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin, Pasca Keluarnya Putusan MK
tentang Uji Materiil UU Perkawinan, Prestasi Putakakarya, Jakarta, 2012. Hlm: 142-143.
iii
http://news.detik.com/read/2012/03/07/145234/1860343/10/majelis-mujahidin-putusan-mk-tentang-anakluar-nikah-dorong-perzinahan?99220032
iv
Eka N.A.M. Sihombing. Kedudukan Anak Luar Nikah Pasca-Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010. Dikutip
dari: http://sumut.kemenkumham.go.id/berita-utama/399-kedudukan-anak-luar-nikah-pasca-putusan-mknomor-46puu-vii2010.
v
http://klik-galamedia.com/index.php?id=201202181138046

You might also like