You are on page 1of 20

1

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Aset merupakan elemen neraca yang akan membentuk informasi semantik berupa
posisi keuangan bila dihubungkan dengan elemen yang lain yaitu kewajiban dan ekuitas.
Aset merepresentasikan potensi jasa fisis dan nonfisis yang memampukan badan usaha
untuk menyediakan barang dan jasa.
Terdapat beberapa sumber dari definisi aset, diantaranya adalah menurut FASB.
FASB mendefinisi aset dalam kerangka konseptualnya (SFAC No. 6, prg. 25) sebagai
manfaat ekonomik masa datang yang cukup pasti yang diperoleh atau
dikuasai/dikendalikan oleh suatu entitas sebagai akibat transaksi atau kejadian masa
lalu. Hampir sama dengan itu IASC juga mendefinisi aset sebagai suatu sumber daya
yang dikendalikan oleh perusahaan sebagai hasil kejadian masa lalu yang mana manfaat
ekonomis masa depan diharapakan didapatkan oleh perusahaan. Sumber lain, yaitu
AASB, mendefinisi aset sebagai potensial jasa atau manfaat ekonomis yang
dikendalikan oleh pelaporan entitas sebagai hasil transaksi masa lalu atau kejadian masa
lalu lainnya. APB No. 4 membedakan aset menjadi sumber ekonomik dan nonsumber
ekonomik. APB No. 4 merinci aset yang digolongkan sebagai sumber ekonomik yaitu:
sumber produktif, produk yang merupakan keluaran kesatuan usaha, uang Klaim untuk
menerima uang, hak kepemilikan atau investasi pada perusahaan lain.
Untuk dapat disebut sebagai aset, suatu objek harus memiliki manfaat ekonomik di
masa datang yang cukup pasti. Manfaat ekonomik ini ditunjukkan oleh potensi jasa atau
utilitas yang melekat padanya sebagai yaitu suatu daya atau kapasitas langka yang dapat
dimanfaatkan kesatuan usaha dalam upayanya untuk mendapatkan pendapatan melalui
kegiatan ekonomik. Disamping manfaat ekonomik, suatu objek bisa dikatakan sebagai
aset, objek tersebut tidak harus dimiliki oleh entitas tetapi cukup dikuasai oleh entitas.
Artinya, untuk memiliki aset harus terdapat proses yang disebut dengan transfer
kepemilikan. Kriteria lain yang merupakan penyempurnaan dalam pendefinisian objek
sebagai aset adalah aset merupakan akibat transaksi atau kejadian masa lalu.
Selain beberapa karakteristik yang telah disebutkan, FASB menyebutkan beberapa
karakteristik pendukung yaitu melibatkan kos, berwujud, tertukarkan, terpisahkan, dan
berkekuatan hukum. Karakteristik pendukung tersebut lebih menguatkan atau
2

meyakinkan adanya aset tetapi adanya karakteristik pendukung tidak menghalangi suatu
objek untuk memenuhi syarat sebagai aset.
I.2 Rumusan Masalah
1. Apadefinisi dari aset?
2. Bagaimana dasar pengakuan aset?
3. Bagaimana dasar pengukuran aset?
4. Bagaimana tantangan bagi penyusun standar?
5. Bagaimana issue bagi auditor?
I.3 Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa dapat memahami tentang pengertian aset
2. Mahasiswa dapat mengetahui tentang pengakuan aset
3. Mahasiswa dapat mengetahui tentang dasar pengukuran aset
4. Mahasiswa dapat mengetahui tantangan bagi penyusun standar
5. Mahasiswa dapat mengetahui issue bagi auditor
I.4 Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini, secara sistematika kami membaginya menjadi 3 BAB
yang berhubungan dengan makalah diuraikan sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan terdiri dari: Latar Belakang, Rumusan Masalah, Sistematika
Penulisan, dan Tujuan Penulisan.
Bab II Pembahasan terdiri dari Definisi Aset, Pengakuan Aset, Pengukuran Aset,
Tantangan bagi Penyusun Standar, dan Issue bagi Auditor.
Bab III Penutup terdiri dari: Kesimpulan
Daftar Pustaka









3

BAB II
PEMBAHASAN


II.1 Definisi Aset
Aset merupakan sumber daya yang dikendalikan oleh suatu entitas sebagai hasil dari
transaksi yang lalu dan diharapkan memberikan manfaat ekonomis dimasa yang akan
datang yang mengalir ke entitas.
Contoh: Kendaraan, merupakan aset bukan barang fisik, tetapi dapat memberikan
konstribusi lain (transportasi). Sedangkan persediaan dapat memberikan jasa lain saat
penjualan, penjualan mendapatkan pendapatan karena pendapat unsur laba.

Definisi Aset Menurut beberap ahli, yaitu :
Paton : Kekayaan adalah sesuatu dalam bentuk barang atau lainnya yang dimiliki
perusahaan tertentu yang mempunyai nilai bagi perusahaan.
Sprague : Aset merupakan sekumpulan jasa yang akan diterima, berkaitan untuk
memperoleh laba.
Canning : Aset merupakan sejumlah jasa yang terpisah (dapat berdiri sendiri) yang
merupakan milik perusahaan.
Paton & Littleton : Aset merupakan sejumlah potensi jasa yang dapat dipertukarkan
yang memberikan potensi jasa yang lain bagi perusahaan.
Valter : Aset merupakan sejumlah potensi jasa yang dapat diubah, dipertukarkan dan
disimpan untuk dimasa yang akan datang.
Peirsen : Dapat disimpan sehingga mempunyai manfaat yang akan datang.

Definisi aset berhubungan dengan tiga karakteristik penting,yaitu :

a) Future Economic Benefits ( Manfaat Ekonomik Dimasa Yang Akan Datang)
IASB mendefinisikan aset sebagai sumber daya yang dapat memberikan manfaat
ekonomi di masa yang akan datang. Manfaat bagi badan usaha yang berkaitan
dengan kegiatan menghasilkan keuntungan. Namun, definisi ini sulit diterapkan
untuk organisasi nirlaba.
4


Paragraf 53 adalah penting dalam pengakuan bahwa manfaat ekonomi masa depan
aset potensi untuk memberikan kontribusi, baik secara langsung maupun tidak
langsung, terhadap aliran kas dan setara kas entitas. Ini bisa melalui kegiatan operasi
menghasilkan pendapatan dari entitas atau dari kemampuan untuk mengurangi arus
kas keluar.
Untuk dapat disebut sebagai aset, suatu objek harus mengandung manfaat
ekonomik di masa datang yang cukup pasti, antara lain :
- Aktivitas yang menghasilkan laba.
- Mempunyai potensi dalam memberikan konstribusi baik secara langsung
maupun tidak langsung, dalam memberikan arus kas atau yang ekuivalen
dengan kas pada badan usaha. Melalui peningkatan pendapatan maupun
penghematan biaya.
- Sumber daya ekonomik tersebut harus mempunyai utilitas dan mempunyai
keterbatasan (Scarcity).
- Manfaat ekonomik dimasa yang akan datang, menunjukkan kemampuan
memberikan jasa bagi badan usaha.

b) Control by an Entity (Dikendalikan Suatu Entitas)
Untuk dapat disebut sebagai aset, suatu objek atau pos tidak harus dimiliki oleh
entitas tetapi cukup dikuasai oleh entitas. Oleh, karena itu, konsep penguasaan atau
kendali lebih penting daripada konsep kepemilikan. Penguasaan disini berarti
kemampuan entitas untuk mendapatkan, memelihara/menahan, menukarkan,
menggunakan manfaat ekonomik dan mencegah akses pihak lain terhadap manfaat
tersebut. Hal ini dilandasi oleh konsep dasar substansi mengungguli bentuk yuridis
(substance over form). Pemilikan (ownership) hanya mempunyai makna yuridis atau
legal.
c) Past Events (Timbul Akibat Kejadian/Transaksi Dimasa Lalu)
Suatu unit usaha dapat menguasai suatu asset apaila telah terjadi transaksi atau
peristiwa lain yang menyebabkan suatu entitas memiliki pengendalian terhadap
5

manfaatdari asset tersebut. Jadi asset tersebut muncul karena transaksi masa lalu.
Dengan kata lain, asset tersebut dapat diakui apabila terdapat transaksi yang benar-
benar terjadi bukan berasal dari transaksi yang berupa hipotesis. Yang termasuk
bagian dari kejadian masa lalu adalah sebagai berikut :
- Pengendalian manfaat ekonomi dimasa yang akan datang harus sudah terjadi.
Contohnya: 2 bulan beli barang, sudah bisa diakui (meski baru DP) pihak
pembeli sudah bisa memanfaatkan asset tersebut.
- Rencana kepemilkan asset tidak dapat diakui sebagai aset. Apabila pembelian
asset masih dalam rencana.
Komponen Keempat ( Tambahan dari Ketiga karakteristik )
Terdapat komponen keempat yang masih dipertebatkan yaitu aset dapat
dipertukarkan, Beberapa peneliti berpendapat bahwa definisi aset sebaiknya mencakup
kondisi aset yang dapat dipertukarkan. Dipertukarkan berarti bahwa item dipisahkan dari
suatu entitas, dan bahwa nilai residu adalah terpisah dari nilai entitas.
Dapat Dipertukarkan
- Elemen tersebut dapat dipisahkan dari badan usaha sehingga dapat diperjual
belikan. Mac Neal menyatakan bahwa barang yang tidak dapat dipertukarkan
berarti tidak mempunyai nilai ekonomik, karena tidak ada pasarnya.
- Goodwill (Nilai lebih dari perusahaan) Asalnya dari pengakuan perusahaan
lain berkaitan dengan proses akuisisi atau merger. Goodwill tidak bisa ditukar
sehingga perlu di pertanyakan.

II.2 Pengakuan Aset (Assets Recognition)
Mengakui aset untuk neraca melibatkan kondisi yang bisa disebut aturan
pengakuan. Aturan telah dirumuskan karena Akuntan memerlukan bukti untuk
mendukung catatan mereka dalam lingkungan ketidakpastian. Akuntan ingin
memastikan bahwa aset tertentu ada dan bahwa penyertaan mereka dalam neraca
memberikan informasi yang berguna yang baik tersebut secara handal.

Dua contoh pengakuan aturan konvensional:
a. Sebuah piutang dicatat sebagai aktiva ketika penjualan kredit dilakukan
b. Peralatan dicatat sebagai asset tetap jika dibeli
6

Satu contoh dari suatu pedoman pengakuan yang resmi ditetapkan adalah pedoman
yang diadopsi untuk pengakuan sewa sebagai aset. Untuk lessee, sebagaimana dimaksud
pada ayat 10 dari IAS 17/AASB 117, memenuhi salah satu kriteria berikut ini
menunjukkan sewa yang akan dianggap operating lease:
a. Adanya transfer kepemilikan asset kepada lesse pada akhir masa sewa
b. lessee memiliki hak opsi untuk membeli asset dengan harga yang diharapkan
cukup rendah dari nilai wajar pada tanggal pemberian opsi, sehingga pada awal
sewa dapat dipastikan bahwa opsi memang akan dilaksanakan
c. jangka waktu sewa adalah untuk sebagian besar umur ekonomis aset, meskipun
hak milik tidak dialihkan
d. pada awal masa sewa, nilai saat ini dari jumlah pembayaran sewa minimum,
setidaknya secara substansial mendekati nilai wajar aktiva sewa guna usaha
e. asset sewaan bersifat khusus dan dimana hanya lesse yang dapat menggunakannya
tanpa perlu modifikasi besar secara material.
Dalam survei praktek akuntansi yang ada, tampak bahwa peraturan pengakuan yang
digunakan untuk mengidentifikasi aset tertentu dapat digeneralisir ke dalam beberapa
kriteria. Perhatikan bahwa ada perbedaan antara aturan pengakuan, yang merupakan
aturan spesifik untuk mengidentifikasi suatu aset tertentu, dan kriteria pengakuan, yang
merupakan guidline umum yang digunakan untuk merumuskan aturan-aturan pengakuan
dan pedoman pengakuan bahwa memberikan bantuan daripada prespection. Tujuan dari
akuntansi menyediakan dasar untuk kriteria pengakuan. Secara khusus, kriteria
pengakuan yang terkandung dalam Kerangka adalah perpanjangan dari tujuan anak
perusahaan (karakteristik kualitatif) relevansi dan keandalan informasi akuntansi.
Bisnis dan kegiatan ekonomi lain terjadi di lingkungan ditandai dengan uncertanity.
Beberapa hasil yang pasti, termasuk penerimaan manfaat ekonomi masa depan yang
timbul sebagai akibat dari transaksi masa lalu atau peristiwa. Oleh karena itu, tidak
mengherankan bahwa Kerangka menggabungkan kriteria pengakuan
mempertimbangkan kemungkinan manfaat ekonomi yang akan datang dan bahwa untuk
memenuhi syarat untuk pengakuan dalam rekening, aset harus mampu diukur dengan
andal.
Banyak kriteria pengakuan telah diterapkan di masa lalu untuk membantu akuntan
untuk memutuskan kapan harus mencatat aktiva. Tidak semua kriteria ini sekarang
diformalkan dalam Kerangka, dan beberapa memiliki landasan teoritis sedikit atau tidak
7

ada. Daftar berikut tidak dimaksudkan untuk melengkapi dan kriteria ini tidak saling
eksklusif yaitu :
Ketergantungan pada hukum
Apakah kita memiliki hak hukum untuk manfaat masa depan? Pengakuan aset
banyak bergantung pada konsep hukum dari aset. Pencatatan piutang usaha karena
penjualan persediaan dan pembelian aktiva tetap memberikan hak hukum untuk
menggunakannya adalah contoh. Kriteria ini berkaitan dengan baik relevansi dan
keandalan informasi akuntansi. Kontrol, daripada kepemilikan secara hukum,
digunakan untuk menentukan keberadaan aset. Meskipun demikian, melalui hak
hukum umum menunjukkan berlalunya kontrol, dan dapat digunakan dalam
menentukan kapan harus mengakui exsistence aset itu. Meskipun hak-hak hukum
kepemilikan atau kontrol manfaat dari penggunaan aset sering digunakan sebagai
kriteria pengakuan, kriteria pengakuan utama adalah bahwa dari substansi ekonomi
daripada bentuk hukum. Menurut, Kerangka 35 jika informasi adalah untuk
mewakili setia transaksi dan peristiwa lain yang memiliki tujuan untuk mewakili,
maka necesarry bahwa mereka dicatat dan disajikan sesuai dengan sustance mereka
sebuah realitas ekonomi dan bukan hanya bentuk hukumnya. Keberadaan hak-hak
hukum adalah indikator, tetapi bukan kriteria untuk pengakuan aset.
Tentukan substansi ekonomi dari transaksi tersebut
Yaitu berhubungan dengan tujuan pelaporan informasi yang relevan dan dapat
diandalkan. Materialitas juga faktor: jika acara ini ekonomis yang signifikan, maka
cukup penting untuk mencatat dan melaporkan. Memang, materialitas didefinisikan
dalam Rangka 30 sebagai berikut Informasi merupakan bahan jika kelalaian atau
salah saji dapat mempengaruhi keputusan ekonomi pengguna yang diambil atas dasar
laporan keuangan.

Ada sisi berbeda dengan substansi ekonomi dan kriteria materialitas dan oleh
karena itu sulit untuk menggeneralisasi. Namun, banyak peraturan didasarkan pada
mereka. Kadang-kadang kriteria substansi ekonomi diterapkan bertentangan dengan
hukum. Salah satu contoh adalah kontrak sepenuhnya pelaksana dibahas sebelumnya.
Aturan nilai sekarang adalah bahwa tidak ada substansi ekonomi untuk pertukaran
janji sampai ada kinerja dengan setidaknya satu dari pihak. sewa pembiayaan diakui
terutama berdasarkan apakah ada transfer manfaat kepemilikan lessee. Artinya, aset
8

sewaan diakui oleh lessee saat lessee telah diperoleh, pada dasarnya, hak dan
kewajiban kepemilikan dan memiliki kontrol atas aset sewaan.
Meskipun kedua keuangan dan sewa operasi melibatkan manfaat masa depan
kemungkinan, substansi dari manfaat, menurut aturan, berbeda. Sewa guna usaha
pembiayaan menyampaikan kepemilikan di-sustance (gaya hak dan kewajiban),
sedangkan sewa operasi dalam sifat menyewa jangka pendek, dan tidak memiliki
hak-hak tersebut dan kewajiban yang melekat. Oleh karena itu, mantan
menumbuhkan aset, tetapi yang terakhir tidak. Sementara Kerangka tidak
memperlakukan sewa operasi dan keuangan yang berbeda untuk tujuan definisi aset,
standar memperlakukan sewa berbeda untuk tujuan pengakuan aset. Alasan untuk
perbedaan tersebut mencerminkan preferensi pembuat laporan keuangan yang telah
mempengaruhi pembuat standar.
Gunakan konservatisme (prinsip kehati-hatian)
Yaitu mengantisipasi kerugian, tetapi tidak keuntungan. Berdasarkan Kerangka
37:
Kehati-hatian adalah dimasukkannya gelar hati-hati dalam pelaksanaan
penghakiman yang diperlukan dalam membuat perkiraan yang diperlukan dalam
kondisi ketidakpastian, sehingga aktiva atau pendapatan tidak berlebihan dan
kewajiban atau beban tidak bersahaja.Pendekatan ini tampaknya incosistent dengan
konsep netralitas, yang menganjurkan dalam Framework. Netralitas terjadi ketika
informasi bebas dari bias dan tidak dipilih atau disajikan dengan cara yang akan
mempengaruhi penilaian untuk mencapai hasil yang ditetapkan atau hasil.
Diperdebatkan, kehati-hatian bias keputusan terhadap keengganan risiko daripada
sama pembobotan risiko dan manfaat. Konservatisme menyiratkan bahwa kewajiban
yang dapat direkam awal, tetapi bukan aset.Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan
kalah dalam gugatan, bahkan jika itu menarik, conservarism menyiratkan bahwa
mereka akan merekam kewajiban. Namun, jika perusahaan adalah penggugat dalam
gugatan terhadap perusahaan lain dan itu bbut banding terdakwa, tidak ada aset yang
dicatat.
Contoh lain konservatisme berhubungan dengan akuntansi proyek konstruksi
jangka panjang. Dalam menggunakan metode kontrak selesai, jika dalam asupan
membangun proyek jangka panjang kerugian diantisipasi, tercatat bahkan sebelum
proyek selesai, tetapi jika keuntungan yang diharapkan, tidak ada keuntungan dicatat
9

sampai penyelesaian proyek. Asimetrik perlakuan pengakuan keuntungan dan
kerugian secara luas dipraktekkan.

Standar juga dapat membatasi pengakuan aset. Sebagai contoh, IAS 38/AASB
138 Aktiva tidak berwujud 48 melarang pengakuan goodwill internal. Menyatakan
standar yang internal goodwill tidak sumber daya yang dapat diidentifikasi (tidak
terlepas atau tidak muncul dari hak kontraktual atau otrhe) yang dikontrol oleh
entitas yang bisa diukur dengan biaya 49. Pengakuan ini tidak diizinkan karena ada
kesulitan dalam mengidentifikasi apakah dan saat aset tidak berwujud akan
menghasilkan manfaat ekonomis di masa depan. Selain itu, biaya menghasilkan aset
(yaitu mengalir keluar yang menimbulkan goodwill tersebut) tidak dapat ditentukan
secara andal.
Demikian pula, IAS 38 membatasi pengakuan aktiva internal generayed timbul
dari pengeluaran penelitian. Semua pengeluaran penelitian dibebankan atas terkena
karena, dalam pandangan pembuat standar, suatu entitas tidak dapat menunjukkan
bahwa manfaat ekonomi masa depan akan dihasilkan..Perlakuan yang tidak konsisten
dari berbagai jenis aktiva tidak berwujud telah diakui oleh pembuat standar. Sebagai
contoh, merek internal yang dihasilkan tidak dapat diakui tetapi merek diakuisisi
sebagai bagian dari penggabungan usaha dicatat sebesar nilai wajarnya. Sebuah
makalah diskusi yang berfokus pada awal akuntansi untuk aset tidak berwujud
internal dirilis oleh AASB pada tahun 2008 dan memberikan kesempatan untuk
diskusi tentang isu-isu ini.
Aset tidak berwujud yang timbul dari pengembangan (atau dari tahap
pengembangan proyek internal) diakui jika, dan hanya, suatu entitas akan dapat
menunjukkan sebagai berikut:
- Kelayakan teknis penyelesaian aset tidak berwujud sehingga akan tersedia untuk
digunakan atau dijual
- Niat untuk menyelesaikan aset tidak berwujud dan menggunakan atau
menjualnya
- Kemampuannya untuk menggunakan atau menjual asset tidak berwujud
- Bagaimana aset tidak berwujud akan menghasilkan kemungkinan manfaat
ekonomis masa depan. Antara lain, entitas tersebut dapat menunjukkan adanya
10

pasar bagi keluaran asset tidak berwujud atau asset tidak berwujud itu sendiri
atau, jika akan digunakan secara internal, kegunaan dari asset tidak berwujud.
- Ketersediaan sumber daya teknis, keuangan dan lainnya untuk menyelesaikan
pembangunan dan untuk menggunakan atau menjualaset tidak berwujud
- Kemampuannya untuk mengukur secara andal pengeluaran yang terkait dengan
aset tidak berwujud dalam perkembangannya.
II.3 Pengukuran Aset
Pengukuran adalah Kegiatan untuk mengelompokkan setiap transaksi pada elemen
akuntansi. Elemen-elemen akuntansi:
1) Aset
2) Utang
3) Ekuitas (Modal disetor, Distribusi laba, Laba ditahan)
4) Investasi Pemilik
5) Distribusi Pada Pemilik Laba
6) Laba Komprehensif
7) Pendapatan
8) Biaya
9) Keuntungan (Gain)
10) Kerugian (Loss)
a. Pengukuran Aset Berwujud
Pendekatan tradisional telah untuk mengukur aset sebesar harga perolehan. HC telah
kuat tertanam dalam US GAAP melalui posisi SEC. Zeff menggambarkan komitmen
SEC kepada HC sebagai berikut dari paparan qustionable kapitalisasi perusahaan
adalah sebuah praktek revaluasi sebelum jatuhnya pasar saham AS 1929. Dia
berkomentar bahwa:Dari pendiriannya, SEC menolak setiap penyimpangan dari
akuntansi HC dalam tubuh laporan keuangan
SEC menjabat sampai 1978, ketika itu mengusulkan agar cadangan minyak dan gas
secara berkala dinilai kembali, dengan perubahan nilai dibawa ke laporan laba rugi.
Seperti US GAAP, standar IASB yang bulit pada asumsi bahwa pendekatan
pengukuran utama dalam akuntansi adalah model biaya. Contoh, IAS 16 dan IAS 40
11

membutuhkan aktiva tetap, dan properti investasi (masing-masing) yang akan diukur
awalnya sebesar biaya perolehan, termasuk biaya transaksi.
Model biaya mencerminkan pendekatan konservatif untuk pengukuran aset.
Beberapa mendukung GAAP nasional penggunaan HC, misalnya, GAAP nasional di
Prancis Jerman, dan Uni Eropa Petunjuk sebelum tahun 2005. Setelah pengukuran
berdasarkan HC berarti aset yang maesured sebesar biaya perolehan dikurangi
akumulasi penyusutan dan perubahan penurunan nilai. Pendukung model biaya
berpendapat bahwa biaya perolehan penyusutan dan penurunan memastikan bahwa
nilai saat ini tercermin dalam neraca. Consistanst dengan pendekatan konservatif untuk
pengukuran, kerugian nilai kembali aktiva diakui dalam laporan keuangan tetapi
keuntungan tidak. Maka dapat disimpulkan bahwa pengukuran aset berwujud sebagai
berikut :
US GAAP Historical Cost, merefleksikan conservatism, objective dan bukti
yang dapat diverifikasi.
Standar IASB , memungkinkan dilakukan penilaian kembali aset berwujud.
Standar ini memungkinkan tetapi tidak mengharuskan menggunakan pengukuran
current value.
o Revaluation yang didasarkan pada nilai pasar yang diberikan.
o Diestimasi berdasarkan income atau depreciated replacement cost.
o Manajer dapat menentukan untuk menggunakan cost atau nilai wajar (nilai
saat ini dinilai kembali).
o Dasar pengukuran Historical cost sesuai harga sebenarnya (harga
perolehan), bukti fisik, sesuai transaksi.
b. Pengukuran Aset Tak Berwujud
Kita telah melihat bahwa praktik akuntansi yang saat ini memanfaatkan baik biaya
dan nilai wajar (atau revaluasi) model untuk aset berwujud. Haruskah kita mengambil
pendekatan yang sama untuk mengukur aset tidak berwujud? Aset, seikat manfaat
ekonomi masa depan akan direalisasikan oleh suatu entitas, mungkin berhubungan
dengan barang-barang berwujud atau tidak berwujud.. Memang, beberapa aset yang
paling berharga yang dimiliki oleh perusahaan saat ini adalah tidak berwujud.
Pertimbangkan merek Coca Cola, LV atau Billabong atau kekayaan intelektual diri
12

yang dikembangkan dari Microsoft Apple atau paten atas inovasi farmasi sedang
dikembangkan dimiliki oleh GlaxoSmithKline atau Bayer.
Praktek akuntansi dalam kaitannya dengan pengukuran aktiva tidak berwujud telah
secara umum, telah konservatif. Sedangkan untuk aset berwujud, standar akuntansi
mengharuskan mengukur aset berwujud awalnya sebesar harga perolehan (IAS 38,
para.24). penggunaan model nilai saat ini untuk aset tidak berwujud jarang. IAS 38
paragraf 75 memperbolehkan model revaluasi, tapi tidak seperti IAS 16,
mengharuskan nilai wajar ditentukan dengan referensi pasar aktif. Karena aset tidak
berwujud yang paling oleh sifatnya tidak memiliki pasar aktif, biaya (kurang
akumulasi amortisasi dan penurunan nilai) adalah metode pengukuran banyak
digunakan.
Selain itu, IAS 38 melarang pengakuan aset tidak berwujud internal. Meskipun
pengeluaran dapat menimbulkan manfaat masa depan, itu dihapuskan atas dasar
bahwa ia tidak produse aset secara terpisah dapat diidentifikasi. Salah satu cara
internal aset tidak berwujud dapat muncul dalam neraca adalah melalui kapitalisasi
biaya pembangunan, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Penilaian aset tidak
berwujud adalah kontroversial, melibatkan seperti halnya estimasi subjektif dari nilai
wajar dari aset. Sehingga dapat disimpulkan sebaga berikut :
- IAS 38 paragraf 24 : Cost pada saat terjadi kepemilikan.
- IAS 38 paragraf 75 : memungkinkan adanya penilaian kembali aset tak
berwujud.
- IAS 16 : fair value ditentukan oleh pasar yang aktiva.
Harga perolehan, aktiva tidak berwujud tidak mempunyai harga pasar.Aset tetap
tidak berwujud yang dibentuk sendiri tidak diakui, meskipun mempunyai manfaat
dimasa yang akan datang. Contohnya: Hak paten, Goodwill.

c. Pengukuran Aset Financial
Sebuah kategori ketiga yang sekarang kita akan mempertimbangkan adalah aset
keuangan. IAS 39 menciptakan sebuah kategori separate aset keuangan dan kewajiban
dan memperkenalkan aturan pengukuran terkait. Bagaimana seharusnya aset dan
kewajiban ini diukur? Apakah aturan pengakuan dan pengukuran diterapkan untuk aset
berwujud dan tidak berwujud yang tepat? Kita tahu bahwa model pengukuran dominan
13

adalah HC. Namun, beberapa telah berpendapat bahwa prinsip-prinsip HC tidak sesuai
untuk mengukur beberapa instrumen keuangan. Contohya, pertimbangkan derivatif,
yang tanpa biaya. Seiring waktu, nilai mereka dapat berubah secara dramatis, tetapi di
bawah model biaya perubahan nilai tidak akan dicatat dalam laporan keuangan. Jika
perubahan nilai derivatif dimasukkan dalam neraca, untuk mencerminkan nilai entitas?
Jika keuntungan atau kerugian atas memegang derivatif dimasukkan dalam pendapatan
periode? Bagaimana investor memadai menilai risiko jika derivatif dan kontrak
keuangan lainnya tidak recognised?
FASB dan IASB telah menyimpulkan bahwa turunan harus diukur pada nilai wajar
dan bukan biaya. Dalam IAS 39 nilai wajar didefinisikan sebagai:
Jumlah yang aset dapat dipertukarkan atau suatu kewajiban diselesaikan, antara pihak
bersedia luas dalam transaksi arms length.
Standar setter berpendapat bahwa dengan mengukur aset keuangan pada nilai pasar,
pengguna informasi yang diberikan dengan informasi yang relevan tentang nilai
mereka. Standar setter seperti FASB dan IASB, mengingat tujuan kegunaan
keputusan, didirikan pengukuran nilai wajar dalam beberapa pernyataan. Sejak tahun
1980 FASB telah diperlukan pengukuran nilai wajar (baik secara langsung dalam
laporan keuangan atau dalam pengungkapan catatan) dalam standar seperti PSAK
107,115,119,123-144. 107 yang dikeluarkan pada tahun 1991, nilai wajar didefinisikan
sebagai jumlah di mana instrumen tersebut dapat ditukar dalam transaksi berjalan
antara pihak bersedia, selain dalam penjualan likuidasi paksa atau. Standar ini
dijelaskan lebih lanjut bagaimana nilai wajar dapat ditentukan. Dikutip pasar lebih
disukai tetapi manajemen perkiraan (berdasarkan harga pasar keamanan yang sama atau
estimasi nilai kini CF masa depan didiskontokan pada tingkat yang disesuaikan resiko)
bisa digunakan. Standar-standar instrumen keuangan telah meningkatkan relevansi
informasi yang diberikan, namun beberapa pihak berpendapat bahwa keandalannya
berkurang karena metode pengukuran tidak tepat digunakan untuk menentukan nilai
wajar.
Pernyataan-pernyataan FASB telah berpengaruh dalam pengembangan standar
instrumen keuangan yang diumumkan oleh IASB. Bahkan, IASB telah mengikuti jejak
FASB dalam penetapan standar untuk instrumen keuangan. Dalam rangka menyediakan
seperangkat standar pokok ke IOSCO pada tahun 2000, asli IAS 39 FI pada PSAK 133.
IASB telah berkomitmen untuk penggunaan pengukuran nilai wajar untuk instrumen
keuangan dalam rangka memberikan informasi yang relevan bagi pengguna laporan
14

keuangan. Standard setter berpendapat bahwa keuntungan dan kerugian dari instrumen
harus diakui pada saat terjadi dalam rangka untuk melaporkan risiko yang terkait
mereka, untuk membuat laporan keuangan yang lebih transparan dan untuk
menghindari kompleksitas yang ada perlakuan akuntansi (seperti akuntansi lindung
nilai). Di sisi lain, beberapa pembuat menentang aspek pernyataan IASB, mengklaim
bahwa pengukuran nilai wajar tidak akan mempromosikan pelaporan yang relevan,
andal, dapat dimengerti dan dapat diperbandingkan.
Pengukuran instrumen keuangan mencerminkan kompleksitas mereka. Sebuah model
pengukuran tunggal belum disahkan oleh pembuat standar dalam IAS 39.
Maka dapat disimpulkan bahwa:
Derivative harus diukur berdasarkan fair value.
Fair value adalah nilai pertukaran aset yang diperpleh dari kedua pihak yang
melakukan transaksi tanpa adanya batasan apapun (arms length transaction).
Jenis Asset Finansial Metode Pengukuran
Utang Dan piutang Kos yang diamortisasi
Investasi yang dimiliki sampai jatuh
tempo
Kos yang diamortisasi
Sekuritas yang tersedia untuk dijual Fair value, gain & loss diakui pada elemen ekuitas
Sekuritas yang diperdagangkan Fair value, Gain & loss diakui pada laporan laba
komprehensif

Aset Financial adalah Aset yang mempunyai claim dalam bentuk uang ( utang, piutang,
investasi padasaham, obligasi, derivate, dll).
Rill aset aset persediaan, aktiva tetap.
- Sesuai dengan IAS 39. Penyajian aset dan liabilitas financial dilakukan secara terpisah
- Nilai wajar adalah jumlah aset yang dapat dipertukarkan atau pelunasan kewajiban,
diantara dua pihak tanpa adanya batasan apapun.


15

II.4 Tantangan bagi Penyusun Standar

- Disarankan penyusun standar untuk mempertimbangkan beberapa model pengukuran.
- IASB memperkenalkan penggunaan pengukuran fair value, meskipun Cairns tidak
mengakuinya.
- IFRS memperkenalkan pengukuran fair value untuk derivative dan beberapa aset dan
liabilitas keuangan.

Bagaimana Menghitung Pengukuran Fair Value?
Mengingat pengukuran nilai pakai wajar, pembuat standar telah menyediakan
panduan tentang bagaimana mengukur nilai wajar. FASB PSAK 157 Pengukuran Nilai
Wajar menyediakan contoh-contoh teknik penilaian yang akan digunakan untuk
memperkirakan nilai wajar. Mereka termasuk:
1. Market Approach/ Pendekatan Pasar
Menggunakan harga dan informasi dari transaksi yang sesungguhnya untuk aset
dan liabilitas yang sejenis dan diperbandingkan.
2. Income Approach/ Pendekatan Penghasilan
Konversi dari diskonto uang yang diterima dimasa yang akan datang(seperti arus
kas dan pendapatan).
3. Cost Approach / Pendekatan Biaya
Yaitu sejumlah uang yang digunakan untuk memperoleh kapasitas yang sama
(current replacement cost).

FASB telah mengindikasikan bahwa, terlepas dari pendekatan yang digunakan,
penilaian harus menekankan input pasar, yaitu asumsi dan data yang pelaku pasar
akan menggunakan estimasi mereka nilai wajar..
Pernyataan FASB juga menyediakan sebuah hierarki nilai wajar. Artinya,
mencalonkan tiga kategori atau tingkatan atas masukan yang akan digunakan
estimasi nilai wajar (FASB, 2004, p.5, ayat 14). Tingkat adalah sebagai berikut:


16


- Level 1
Menggunakan harga pasar, jika harga pasar yang bisa dipastikan, tidak ada
penyesuain sehingga bisa langsung menggunakan harga pasar. Missal mobil
baru, saham, obligasi, persediaan.
- Level 2
Apabila harga pasar tidak tersedia, maka diestimasi dengan harga aset dan
liabilitas yang sejenis. Kalau tidak ada harga pasar, kita perlu melakukan taksiran,
berapa kalau beli atau berapa kalau jual, misal mobil lama (sudah banyak lecet +
biaya service).
- Level 3
Apabila harga tidak dapat diperoleh dari level 1 dan level 2, maka nilai wajar
diestimasi dengan beberapa penilaian, untuk penilaiannya menggunakan
kombinasi dari penghematan dan uang yang dikeluarkan seandainya belum
memiliki aset saat ini, contoh: penilaian gedung. Atau kombinasi dari berapa
uang yang dikeluarkan untuk membeli gedung yang sama dengan yang kita
gunakan. Dengan uang untuk menyewa gedung saat kita belum punya sendiri.

II.5 Issue Bagi Auditor
- Auditor perlu memahami berbagai model penilaian dan proses manajemen untuk
menentukan input yang digunakan untuk pengukuran yang digunakan.
- Untuk mengembangkan pendekatan audit yang efektif, auditor perlu memahami
proses dan pengendalian penentuan fair value, dan melakukan judgment apakah
metode pengukuran yang digunakan klien sudah memadai untuk menghasilkan
pengukuran fair value yang reasonable.
Dari referensi yang didapat mengenai apa-apa saja yang menjadi isu dalam
perkembangan pemeriksaan akuntansi bahwasannya terdapat 5 macam yang menjadi
isu di dalam perkembangan pemeriksaan akuntansi, yaitu:
Isu Auditor dan Proses Audit
Tujuan menyeluruh dari suatu laporan audit adalah untuk menyatakan
pendapat apakah laporan keuangan perusahaan telah menyajikan secara wajar,
dalam semua hal yang material sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang
17

berlaku secara umum (GAAP). Proses diagnostic untuk membuat
pertimbangan tentang akun mungkin mengandung salah saji yang material
serta memperoleh bukti tentang penyajian yang wajar dalam laporan
keuangan.
Isu Peran Auditor
Sesuai dengan practice guide Internal Auditing and Fraudyang
dikeluarkan oleh IIA Mei 2011 lalu, peran Aktivitas Audit Internal dalam
investigasi tidaklah kaku dan tidak tunggal. Menurut IIA, Aktivitas Audit
Internal dimungkinkan untuk memikul tanggung jawab utama investigasi
kecurangan. Selain itu, Aktivitas Audit Internal dapat juga bertindak sekadar
sebagai penyedia sumber daya untuk investigasi, atau sebaliknya, dapat juga
tidak dilibatkan dalam investigasi.
Aktivitas Audit Internal dapat tidak terlibat dalam investigasi di antaranya
karena harus bertanggung jawab untuk menilai efektivitas investigasi. Sebab
lainnya adalah karena tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk
terlibat dalam investigasi. Apapun pilihannya, pertama sekali pilihan peran
tersebut perlu didefinisikan lebih dahulu di dalam piagam audit internal,
kebijakan, serta prosedur terkait dengan kecurangan yang ditetapkan di dalam
perusahaan. Peran-peran yang berbeda tersebut dapat diterima sepanjang
dampak dari pilihan-pilihan peran tersebut terhadap independensi aktivitas
audit internal disadari dan ditangani dengan tepat. Dalam hal Aktivitas Audit
Internal diberikan peran utama untuk bertanggung jawab dalam investigasi
kecurangan, maka harus dipastikan bahwa tim yang bertugas untuk itu
memiliki keahlian yang cukup mengenai skema-skema kecurangan, teknik
investigasi, ketentuan perundang-undangan dan hukum yang berlaku, serta
pengetahuan dan keahlian lain yang dibutuhkan dalam investigasi. Tenaga staf
yang diperlukan dapat diperoleh dari dalam (in-house), outsourcing, atau
kombinasi dari keduanya.
Dalam beberapa kasus, audit internal juga dapat menggunakan staf
nonaudit dari unit lain di dalam organisasi untuk membantu penugasan. Hal ini
sering terjadi bila keahlian yang diperlukan beragam dan tim harus dibentuk
dengan segera. Dalam hal organisasi membutuhkan ahli eksternal, CAE perlu
menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi lembaga penyedia sumber daya
18

eksternal terutama dalam hal kompetensi dan ketersediaan sumber daya.
Dalam hal di mana tanggung jawab utama untuk fungsi investigasi tidak
ditugaskan kepada Aktivitas Audit Internal, Aktivitas Audit Internal masih
dapat diminta untuk membantu penugasan investigasi dalam mengumpulkan
informasi dan membuat rekomendasi untuk perbaikan pengendalian internal.
Isu Kompetensi dan Independensi 5 kategori yang mempengaruhi suatu
kompetensi, yaitu:
1. Komponen pengetahuan
2. Ciri-ciri psikologis
3. Kemampuan berpikir
4. Strategi penentuan keputusan
5. Dan analisis tugas sebagai komponen yang mewakili keahlian audit
Faktor yang mempengaruhi independensi, yaitu:
1. Persaingan antar akuntan publik
2. Pemberian jasa konsultasi manajemen kepada klien
3. Ukuran KAP
4. Lamanya hubungan audit.

Isu Larangan KAP. Larangan KAP diantaranya adalah:
1. Memberikan jasa kepada klien apabila KAP tidak independen
2. Memberikan jasa audit umum untuk klien yang sama berturut-
turut selama 5 tahun
3. Memberikan jasa yang tidak berkaitan dengan akuntansi,
keuangan, dan manajemen
4. Mempekerjakan/menggunakan jasa pihak terasosiasi yang
menolak memberikan keterangan yang diperlukan dalam
rangka pemeriksaan terhadap Akuntan Publik dan KAP.






19


Isu Komunikasi Hasil Audit
Formulasi hasil kesimpulan audit membuat rekomendasi bagi manajemen
mempresentasikan hasil audit kepada manajemen. Adapun 3 pengklasifikasian
prosedur audit serta tujuan masing-masing adalah sebagai berikut:
1. Untuk memperoleh pemahaman: untuk memperoleh pemahaman
tentang bisnis dan industri klien berikut faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi resiko bawaan pada asersi laporan keuangan
2. Pengujian pengendalian: untuk memperoleh bukti audit tentang
efektifitas rancangan dan operasi kebijakan prosedur kebijakan dan
prosedur struktur pengendalian
3. Pengujian substantif: untuk memberikan bukti tentang kelayakan asersi
laporan keuangan klien
















20

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Aset merupakan sumber daya yang dikendalikan oleh suatu entitas sebagai hasil dari
transaksi yang lalu dan diharapkan memberikan manfaat ekonomis dimasa yang akan datang
yang mengalir ke entitas. Terdapat tiga karakteristik utama yang harus dipenuhi agar suatu
objek dapat disebut aset, yaitu :
- Future Economic Benefits (manfaat ekonomik dimasa yang akan datang)
- Control by an Entity (Dikendalikan suatu Entitas)
- PastEvents (Timbul akibat transaksi masa lalu)
Banyak kriteria pengakuan telah diterapkan di masa lalu untuk membantu akuntan untuk
memutuskan kapan harus mencatat aktiva. Tidak semua kriteria ini sekarang diformalkan
dalam Kerangka, dan beberapa memiliki landasan teoritis sedikit atau tidak ada. Daftar
berikut tidak dimaksudkan untuk melengkapi dan kriteria ini tidak saling eksklusif yaitu :
Sesuai dengan ketentuan legal : mempunyai manfaat dan kendalikan badan tertentu.
Dapat ditetapkan substansi ekonomiknya : memberikan manfaat ekonomik yang
substansial.
Menggunakan konsep conservatism : menyajikan asset pada nilai kemungkinan kecil,
contohnya: adanya pengakuan cadangan kerugian piutang, sedangkan persediaan
adanya penilaian harga terendah (antara Harga pokok dan Harga pasar).
Tantangan Bagi Penyusun Standar yaitu :
- Disarankan penyusun standar untuk mempertimbangkan beberapa model pengukuran.
- IASB memperkenalkan penggunaan pengukuran fair value, meskipun Cairns tidak
mengakuinya.
- IFRS memperkenalkan pengukuran fair value untuk derivative dan beberapa asset dan
liabilitas keuangan.
Untuk menghitung pengukuran Fair Value terdapat tiga pendekatan yaitu:
1) Market Approach
2) Income Approach
3) Cost Approach

You might also like