You are on page 1of 9

LIBERALISASI JASA PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA DALAM

GATS-WTO
(Farida Puspitasari,SH,M.Hum)

I. Latar belakang: Trend Globalisasi dan masalah pendidikan tinggi


Indonesia
Berbagai peristiwa penting telah mewarnai dan membentuk arah
ekonomi global, diantaranya: krisis sistem moneter internasional, krisis utang
luar negeri, krisis minyak dan komoditas primer lainnya, munculnya negara-
negara industri baru, bubarnya negara Uni Soviet yang diikuti dengan
kecenderungan menuju free market socialism, integrasi Eropa menuju Uni
Moneter Eropa, dan disepakatinya pembentukan WTO. Semua secara
terpisah maupun simultan menunjukkan bahwa kita hidup dalam dunia yang
semakin terintegrasi. Gejala globalisasi menjadi suatu keniscayaan. Suatu
hal yang tidak dapat dihindari, bahkan kecenderungan ini menimpa negara-
negara yang tadinya mengisiolasi diri terhadap dunia luar. Disadari atau
tidak, telah terjadi transformasi dari nasionalisasi, ke regionalisasi, dan
akhirnya globalisasi.
Gelombang globalisasi yang menghantam aktivitas ekonomi
1
setidaknya memiliki tiga dimensi. Pertama, globalisasi telah menyebabkan
pergerakan dan mobilitas modal semakin tidak memiliki “bendera” dan lebih
berdasarkan perhitungan rasional ekonomis. Bisa dipahami apabila
kemudian banyak negara berkembang berlomba-lomba merebut modal
asing. Modal asing dapat berujud investasi asing, investasi portofolio,
offshore-loan, licensing, maupun franchising.
Kedua, globalisasi investasi mendorong tumbuh dan menyebarnya
perusaahan transnasional (Trans National Company) ke seluruh penjuru
dunia. Didorong oleh motif mengejar keuntungan global, memperoleh
pasokan bahan mentah, melayani pasar secara langsung, meminimumkan
biaya, dan mengikuti tahap evolusi dalam internasionalisasi bisnis, serta
didukung oleh kemampuan memindah uang dan keuntungan diantara
1
Mudrajad Kuncoro, Ekonomi Pembangunan, Teori, Masalah, dan Kebijakan, UUP AMP YKPN,
Yogyakarta, 1997, hal.284.

1
perusahaan afiliasinya secara internal, tak pelak lagi TNC merupakan
fenomena yang telah mewarnai dan membentuk konfigurasi perekonomian
global.
Ketiga, terjadinya pergeseran kekuatan ekonomi global, yang
memunculkan tiga megamarkets ekonomi dunia, yaitu:
1. Uni Eropa;
2. Amerika Utara;
3. Asia Timur dan Tenggara (dengan Jepang sebagai motor utama).
Tiga kawasan ini mendominasi produksi dan perdagangan global,
menghasilkan 70% ekspor dunia dan 62% produk manufaktur dunia,
sekaligus juga sebagai sumber utama dan penerima investasi internasional.
Konstelasi ekonomi global berimplikasi pada kegiatan perdagangan
bebas dan terbuka. Semua pihak menyadari akan keuntungan yang
diperoleh dari perdagangan bebas dan terbuka tersebut dan akhirnya
berlomba-lomba untuk meningkatkan daya saingnya. Dunia memasuki masa
dimana pertumbuhan ekonomi tidak lagi bergantung pada penguasaan dan
pendayagunaan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan menjadi faktor utama
dalam pertumbuhan ekonomi dan sangat menentukan daya saing suatu
bangsa. Daya saing ilmu pengetahuan suatu bangsa bergantung pada
kemampuan untuk berinovasi secara terus menerus. Negara maju telah
dapat memanfaatkan keunggulan tersebut untuk meningkatkan
perekonomian dan kesejahteraannya, sementara negara berkembang belum
memiliki kapasitas untuk itu. Di negara maju investasi untuk menghasilkan
ilmu pengetahuan dan pendidikan tinggi tercermin dalam investasi untuk
riset dan pengembangan, paten, pendidikan tinggi, serta teknologi
komunikasi dan informasi sangat tinggi, bahkan melampaui investasi fisik.
Sementara negara berkembang masih jauh tertinggal di belakang.
Kesejahteraan masyarakat dengan ekonomi berbasis pengetahuan
akan sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Maka dari itu
tingkat pendidikan masyarakat serta kualitas pendidikan menjadi kunci
penting bagi terciptanya masyarakat tersebut. Pergeseran ekonomi menuju
basis pengetahuan serta kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang

2
melahirkan globalisasi dan liberalisasi di segala bidang merupakan
tantangan dan peluang bagi perguruan tinggi di seluruh dunia.
Perguruan tinggi di Indonesia masih bergulat dengan permasalahan-
permasalahan yang merupakan PR (Pekerjaan Rumah) lama perguruan
tinggi di negara berkembang, seperti: ekspansi pendidikan tinggi yang
suistanable, peningkatan kualitas dan relevansi, pengurangan
ketidaksetaraan akses, pengurangan kesenjangan, pengelolaan yang efektif
dan efisisen, serta akuntabilitas. Pendidikan tinggi di Indonesia mengalami
ekspansi yang pesat dalam 3 dasawarsa ini. Ekspansi tersebut tidak
dibarengi dengan pendanaan dan pengembangan mutu yang memadai
sehingga melahirkan permasalahan kualitas dalam perguruan tinggi. Pada
tahun 2001 tidak kurang dari 561.000 sarjana dan diploma menganggur,
sementara daya saing bangsa berada pada posisi ke 28 dari 30 negara
dengan penduduk diatas 20 juta jiwa.2 Selain angka partisipasi yang masih
rendah, jika dilihat dari strata sosial atau ekonomi, maka baru 3% dari 20%
kelompok masyarakat termiskin mampu mengenyam pendidikan tinggi
dibanding 31 % dari 20% masyarakat terkaya.3
Masyarakat menyadari bahwa pendidikan tinggi merupakan salah satu
kunci untuk meraih mobilitas vertikal dalam strata sosial-ekonomi, sehingga
gelar atau ijazah perguruan tinggi seakan merupakan tiket untuk
mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang tinggi. Disisi lain kesadaran akan
mutu pendidikan dan pentingnya pengetahuan belum membudaya.
Perguruan tinggi diharapkan memegang peran penting dalam
mengembangkan daya saing bangsa melalui penciptaan lulusan, penciptaan
dan adaptasi ilmu pengetahuan, teknologi dan seni budaya untuk
menghadapi persaingan global dengan berbagai dampak positif dan
negatifnya. Keunggulan dan daya saing bangsa hanya bisa dicapai apabila
fondasi integrasi, kesatuan dan persatuan bangsa kuat. Karena pentingnya
peningkatan pendidikan tinggi bagi peningkatan mobilitas ekonomi setiap

2
Country Competitiveness, 2002.
3
N. Triaswati & F. Roeslan, Senior Secondary Education and Access to Higher Educatioan, Chapter-
5, Higher Education Sector Study, JBIE-DGHE, Jakarta.

3
orang, pendidikan tinggi telah menjadi semacam komoditas di negara maju.
Negara maju telah menjadi penyedia jasa pendidikan utama di dunia.
Karena jasa termasuk dalam salah satu bidang-bidang negoisasi WTO,
dan pendidikan merupakan salah satu kesepakatan antar bangsa yang
mencakup perdagangan jasa di WTO yang diatur dalam GATS (General
Agreement on Trade in Service), maka tulisan ini dimaksudkan untuk
membahas tentang liberalisasi jasa pendidikan tinggi di Indonesia dalam
GATS-WTO.
II. Kerangka Perundingan Sektor Jasa GATS-WTO Khususnya Jasa
Pendidikan
General Agreement on Trade in Services (GATS) merupakan
kesepakatan antar bangsa anggota WTO yang mencakup perdagangan jasa.
Meskipun kesepakatan perdagangan jasa mencakup 12 macam jasa, tetapi
dapat dikatakan bahwa semua jasa masuk di dalam kesepakatan tersebut
karena meliputi jasa-jasa berikut:
1. Jasa bisnis;
2. Jasa komunikasi;
3. Jasa konstruksi dan teknik;
4. Jasa distribusi;
5. Jasa pendidikan;
6. Jasa lingkungan;
7. Jasa keuangan (termasuk keuangan dan perbankan);
8. Jasa kesehatan dan sosial;
9. Jasa pariwisata dan travel;
10. Jasa rekreasi, budaya dan olahraga;
11. Jasa transportasi
12. Jasa lain-lain.
Perundingan Putaran Doha
Pada Konferensi Tingkat Menteri di Doha, Qatar, tanggal 9-14
Nopember 2001 telah diluncurkan Putaran Perundingan Baru yang
mencakup isu-isu antara lain: built in agenda (pertanian dan jasa-jasa), tarif
industri, lingkungan hidup, TRIPS dan kesehatan masyarakat. Disamping itu,

4
para Menteri juga menyepakati dimulainya pembahasan yang mengarah ke
suatu perundingan untuk isu-isu baru (Singapore Issues), yaitu: keterikatan
antara perdagangan dan investasi, transparansi dalam pembelian
pemerintah, kebijakan persaingan usaha, dan fasilitas perdagangan.
Kesepakatan tersebut tertuang dalam Deklarasi Menteri Doha yang
memberi mandat untuk menyelesaikan perundingan sebelum akhir tahun
2004. Namun demikian, meskipun perundingan telah berjalan dengan sangat
intensif dalam 2 tahun terakhir, deadline perundingan terutama dalam bentuk
modalitas perundingan untuk isi pertanian dan non pertanian tidak dapat
dipenuhi. Selain itu, terdapat perbedaan pandangan mengenai perlunya
peluncuran perundingan isu-isu baru.
Perundingan Paket Juli 2004 di Jenewa
Menindaklanjuti kesepaktan yang dicapai pada Pertemuan Dewan
Umum pada bulan Desember 2003 untuk menghidupkan kembali
perundingan implementasi Mandat Doha, pada tanggal 16 Juli 2004 dimulai
perundingan lanjutan pasca Cancun (yang gagal) untuk membahas Program
Kerja Doha. Pada tanggal 1 Agustus 2004 berhasil disahkan Keputusan
Dewan Umum WTO tentang Program Kerja Doha yang kemudian dikenal
dengan Paket Juli. Keputusan tersebut menyepakati kerangka perundingan
lebih lanjut untuk Doha Development Agenda bagi lima isu utama yaitu
perundingan pertanian, akses pasar produk non-pertanian, isu-isu
pembangunan dan impelementasi serta diluncurkannya perundingan fasiltas
perdagangan.
Kesepakatan ini telah mengembalikan momentum perundingan Doha
Development Agenda yang mengalami kemacetan sejak gagalnya
Konferensi Tingkat Menteri di Cancun, Meksiko pada Sepetember 2003,
serta memunculkan harapan dan kepercayaan kembali bagi tahap-tahap
perundingan berikutnya. Perundingan pasca Paket Juli dari segi substansi
akan lebih sulit, baik dari segi teknis maupun detail. Untuk itu Indonesia
harus mempersiapkan substansi dan posisi terhadap isu-isu yang menjadi
kepentingan nasional sesuai dengan parameter yang telah disetujui dalam
Kesepakatan Paket Juli 2004.

5
Perkembangan Perundingan Bidang Jasa
Dalam perundingan Council for Trade in Services, Special Session
pada tanggal 21 Februari 2005, Indonesia telah men-table initial offers-nya
pada Sekretariat WTO. Initial offers Indonesia terdiri dari sektor/sub sektor
bisnis (terkait dengan jasa hukum), jasa konstruksi, jasa maritim, jasa
keuangan, jasa energi, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan. Indonesia juga
telah menyampaikan initial request-nya ke beberapa negara mitra dagang
anggota WTO yaitu Uni Eropa, Korea, RRC, Australia, Bahrain, Kuwait,
Jepang, selandia Baru, Kanada, Oman, Amerika Serikat, Uni Emirat Arab,
Hong Kong China, Papua New Gunea, Qatar, dan Separate of Taiwan,
Penghu, Kinmen, dan Matsu. Adapun sektor-sektor yang di-requst antara lain
adalah sektor jasa pendidikan, pariwisata, dan energi.
Dalam kaitan akses pasar perdagangan jasa, 62 negara telah
menyampaikan initial offers (termasuk Indonesia). Dalam konteks akses
pasar tersebut, Indonesia telah mengajukan initial request kepada 15 negara
WTO untuk sektor-sektor pendidikan, pariwisata, dan energi. Sementara itu,
19 negara anggota WTO telah menyampaikan initial request kepada
Indonesia.
III. Liberalisasi Jasa Pendidikan Tinggi di Indonesia dalam GATS-WTO
Beberapa usulan GATS yang terkait dengan jasa pendidikan antara
lain pemberlakuan standar pendidikan universal, penyetaraan gelar, dan
liberalisasi akreditasi profesional. Sejauh ini dukungan negara-negara
anggota WTO terhadap perdagangan jasa pendidikan paling kurang
dibandingkan sektor lainnya, baru 42 dari 144 negara membuat komitmen
liberalisasi pendidikan. Dalam GATS dikenal adanya 4 mode perdagangan
jasa (pendidikan) lintas negara yakni:
• Mode 1, pasokan lintas batas (cross-border supply) yaitu penjualan
jasa lintas batas negara tanpa secara fisik penjual dan pembeli
meninggalkan negaranya. Dalam bidang pendidikan contohnya adalah
pendidikan jarak jauh dan e-learning.

6
• Mode 2, konsumsi luar negeri (consumption abroad), yaitu pembeli
jasa pergi ke negara penjual jasa. Contohnya adalah kuliah di luar
negeri baik secara sebagian maupun penuh.
• Mode 3, kehadiran komersial (commercial presence), yaitu penyedia
jasa membuka fasilitas komersial di negara tujuan. Contohnya adalah
pembukaan kampus cabang, wara laba pendidikan dan pelatihan.
• Mode 4, kehadiran tenaga asing (presence of natural persons), yaitu
orang asing tinggal dan memberi layanan di suatu negara dalam waktu
tertentu (tidak permanen).
Sedangkan tahapan negoisasi liberalisasi pendidikan tinggi meliputi 5 tahap,
yaitu:
• Tahap 1 : Request / Offer
• Tahap 2 : Pertukaran Domestik Regulation
• Tahap 3 : Negoisasi bilateral
• Tahap 4 : Penadatanganan hasil negoisasi
• Tahap 5 : Implementasi
Offers Indonesia dalam GATS-WTO untuk liberalisasi pendidikan tinggi
meliputi lima hal, yaitu:
1. Perguruan Tinggi asing harus bekerjasama dengan Perguruan
Tinggi domestik;
2. Kota yang dibuka terbatas (Jakarta, Bogor, Bandung,
Jogjakarta, dan Medan);
3. Harus ada MRA (kurikulum, sks, dan sertifikasi);
4. Tidak bertentangan dengan Undang-undang yang berlaku (UU
Pendidikan, UU Tenaga Kerja, UU Imigrasi, dan sebagainya).
Memasukkan sektor jasa pendidikan sebagai bagian dari conditional
initial offers Indonesia, yang telah disampaikan ke WTO pada bulan Maret
lalu, tidaklah berarti bahwa kita akan melakukan liberalisasi sektor jasa
pendidikan seluas-luasnya. Kemajuan perundingan initial offers ini akan
banyak tergantung pada kualitas substansi dan cakupan offers negara lain,
terutama negara maju. Kita perlu menyikapi liberalisasi dalam kerangka
globalisasi perdagangan internasional sebagai suatu proses. Oleh karena itu

7
kita diminta untuk menentukan aturan main yang harus dipatuhi oleh negara
anggota yang mempunyai kepentingan.
Pembukaan akses terhadap jasa pendidikan Indonesia harus kita lihat
dari berbagai aspek dan dari berbagai sudut pandang. Liberalisasi jangan
diartikan sebagai deregulasi, justru sebaliknya, kita perlu meregulasi
ketentuan yang ada sekarang ini atau membuat ketentuan baru yang sejalan
dengan tujuan program pembangunan nasional.
Menurut penulis, dalam zaman dimana globalisasi dan pergaulan
masyarakat dunia sudah sedemikian terbuka, interaksi internasional dan
kompetisi sehat merupakan indikator bagus bagi marak dan sehatnya iklim
akademis serta munculnya kualitas dan efisiensi. Suatu perubahan pasti
mendapat reaksi pro dan kontra bagi para pihak yang berkepentingan.
Liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia jika dilakukan secara tepat dan
menyasar pasti bisa mendatangkan manfaat, diantaranya adalah:
1. Meningkatkan ketrampilan sumber daya manusia;
2. Meningkatkan akses pasar tenaga kerja ke luar negeri;
3. Mengurangi biaya pendidikan tinggi taraf internasional;
4. Meningkatkan efisiensi melalui kompetisi dalam negeri;
5. Terjadinya transfer pengetahuan dan teknologi.
Tapi ada juga pihak yang khawatir dengan pelaksanaan liberalisasi
pendidikan tinggi di Indonesia. Kekhawatiran tersebut bisa juga dimaklumi,
mengingat bahwa pendidikan sangat penting bagi pengembangan jati diri,
kepribadian, masyarakat, budaya dan pembangunan ekonomi masyarakat
sehingga tidak boleh terikat oleh aturan-aturan kesepakatan internasional
yang lebih memprioritaskan liberalisasi perdagangan daripada tujuan-tujuan
lainnya.
Keberadaan lembaga pendidikan tinggi asing (melalui joint venture
atau pembukaan cabang/commercial presence) harus diarahkan untuk
mendukung atau melengkapi konsep pendidikan nasional kita, yang antara
lain untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan
intelektualitas sumber daya manusia Indonesia. Oleh karena itu, kita harus

8
melihat kondisi saat ini dan mengamati perkembangan perundingan sektor
jasa secara komprehensif.
IV. Penutup
Sebagai penutup, kiranya perlu ditegaskan bahwa globalisasi ekonomi
yang mengarah pada liberalisasi perlu disikapi dengan kritis dan terbuka,
mengingat bahwa kompetisi hanya akan dimenangkan oleh pribadi-pribadi
yang punya kualifikasi tinggi. Hanya dengan persatuan dan kesatuan yang
kokoh, sumber daya manusia yang unggul, berintegritas moral tinggi, kerja
keras serta kesungguhan untuk maju, maka cita-cita untuk menjadi bangsa
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur bisa dicapai.
Menyadari hal tersebut, dalam kerangka pengembangan pendidikan
tinggi 2003-2010, pemerintah mengharapkan pendidikan tinggi menjadi ujung
tombak peningkatan daya saing bangsa, melalui pengembangan kualitas dan
relevansi, kemandirian, peningkatan akses dan kesetaraan, serta
penyelengaraan yang sehat dan bertanggung jawab.

You might also like