You are on page 1of 7

Gerakan Mahasiswa Kerakyatan

Saat kita mendiskusikan gerakan mahasiswa kerakyatan, kita dihadapkan pada tiga
istilah besar sekaligus. Gerakan, mahasiswa, dan kerakyatan. Gerakan bisa kita maknai sebagai
tindakan-tindakan terencana dengan program untuk mengadakan perubahan atau pembelaan.
Kita kenal ada gerakan buruh, gerakan lingkungan, gerakan seni, dan sebagainya, termasuk
gerakan mahasiswa. Apa itu mahasiswa, saya yakin kawan-kawan sudah mengerti, yaitu para
peserta didik yang mengikuti jenjang pendidikan tinggi: baik di universitas, sekolah tinggi,
institut, maupun akademi. Namun apa yang lebih penting untuk kita pahami adalah bagaimana
posisi mahasiswa di masyarakat?
Bila kita membandingkan dengan buruh dan petani, mahasiswa jelas punya akses lebih
banyak ke ilmu pengetahuan. Mahasiswa bisa bersentuhan dengan berbagai teori,
mengonsumsi bermacam-macam wacana, melibatkan diri dalam organisasi, serta mengikuti
banyak pendiskusian dan perdebatan. Setiap harinya mahasiswa dihadapkan dengan ilmu
pengetahuan, baik di dalam maupun di luar kuliah. Sementara mayoritas buruh dan tani tersita
waktu dan tenaganya untuk kerja produksi sehari-hari. Akibatnya kesempatan mereka untuk
menimba wacana dan mempelajari teori sangat kecil. Sedangkan mahasiswa Indonesia tidak
terlalu terbebani kewajiban atau desakan untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup
karena mayoritas mahasiswa Indonesia masih ditopang biaya kuliah dan biaya hidupnya oleh
keluarganya.
Memang ada perkecualian berupa mahasiswa Indonesia yang juga bekerja (paruh waktu
maupun penuh waktu) ataupun yang mendapat beasiswa namun ini tidak mengubah kenyataan
bahwa mayoritas mahasiswa Indonesia masih ditopang pihak keluarga khususnya orang tua.
Situasi ini jelas berbeda dengan mahasiswa di negara-negara Kapitalis maju, seperti Inggris,
Prancis, Jerman, Amerika Serikat, Australia, dan sebagainya, dimana pemuda sudah didorong
untuk mandiri, kerja produksi, dan tinggal di tempat terpisah dengan keluarganya.
Jadi kesimpulannya, dari sudut pandang kelas, mayoritas mahasiswa Indonesia tidak
terlibat kerja produksi, tidak menguasai alat produksi, namun menikmati sebagian kecil hasil
produksi, serta memiliki keterampilan yang berpotensi mempermudah mobilisasi sosial ke atas.
Melihat kesimpulan ini seringkali banyak organisasi mahasiswa kiri (kiri dalam artian kritis,
maju, demokratis, menentang status quo, dan menuntut serta memperjuangkan perubahan-
perubahan fundamental di masyarakat) memberikan cap bahwasanya mahasiswa Indonesia
termasuk kelas borjuasi kecil.
Apa itu borjuasi kecil? Borjuasi kecil adalah kelas yang menguasai segelintir alat
produksi namun turut bekerja produksi dan hanya menikmati sedikit produksi. Mereka yang
termasuk dalam kategori ini antara lain adalah pedagang kaki lima, pemilik warung, pemilik
toko kelontong, pedagang pasar, pengelola kantin, beberapa jenis pekerja independen seperti
tukang ojek dan petani miskin atau petani gurem (tapi bukan buruh tani). Berbeda dengan kelas
buruh, borjuasi kecil ini tidak terhisap tapi tertindas. Mereka dirugikan peraturan, sikap, dan
praktek rezim penguasa yang lebih berpihak pada borjuasi besar bahkan borjuasi internasional
atau Imperialis. Kasus-kasus seperti penggusuran, kenaikan Tarif Dasar Listrik, pasar bebas,
adalah beberapa contohnya. Dilihat dari segi aspirasinya, borjuasi kecil lebih dekat dengan
mentalitas borjuasi dan memiliki aspirasi serta hasrat untuk jadi borjuasi besar namun mereka
secara terus-menerus terancam terlempar turun kelas jadi kelas buruh.
Tidak tepat bila kita memasukkan mahasiswa Indonesia sebagai bagian dari kelas
borjuasi kecil. Pertama, karena mereka tidak berada dalam hubungan produksi secara langsung.
Mahasiswa hanya akan terlibat dalam hubungan produksi saat mereka melakukan kerja
sambilan (dengan demikian menjadi semi-proletar atau proletar) atau saat mereka lulus/selesai
kuliah kemudian masuk hubungan produksi (baik jadi pekerja kantoran, pedagang, wiraswasta,
manajer, majikan, atau profesi lainnya, namun dengan demikian secara otomatis ia tidak lagi
jadi mahasiswa. Kedua, posisi ekonomi mahasiswa terlalu terpecah satu sama lain sehingga
tidak cocok bila semua atau mayoritas mahasiswa masuk dalam satu kelas borjuasi kecil.
Sebagai contoh, ada mahasiswa dari keluarga guru SD yang kiriman uang saku bulanannya
sering telat. Sedangkan di sisi lain, ada mahasiswa anak juragan tambak yang setiap hari bisa
makan dan minum di kafe mahal. Contoh lainnya, ada mahasiswa anak pejabat pemerintah
yang terlibat kasus tabrak lari namun bebas dari hukuman serta bisa kuliah ke luar negeri.
Sementara di sisi lain, ada mahasiswa anak pedagang pasar yang dikriminalisasikan hanya
karena mengkritik kebijakan kampus. Jadi jelas ada kesenjangan sangat besar baik dari segi
ekonomi maupun pengaruh politik dan diskriminasi sosial antar mahasiswa. Ketiga, hal ini
menunjukkan bahwasanya latar belakang kelas seorang mahasiswa jauh lebih dipengaruhi dan
ditentukan oleh latar belakang kelas keluarganya. Latar belakang kelas seorang mahasiswa dari
keluarga pemilik pabrik mobil jelas lebih dekat dengan kelas kapitalis daripada borjuis kecil.
Begitu pula sebaliknya latar belakang kelas seorang mahasiswa dari keluarga sopir dan guru TK
lebih dekat dengan kelas buruh daripada borjuis kecil. Keempat, ini membawa kita pada
kesimpulan bahwa mahasiswa adalah kelompok non-kelas.
Sekarang kita sudah paham bagaimana posisi mahasiswa di masyarakat. Lantas apa itu
yang dimaksud dengan gerakan mahasiswa? Gerakan mahasiswa bisa dimaknai tindakan-
tindakan terencana oleh mahasiswa sebagai suatu kelompok sosial dengan program untuk
mengadakan perubahan atau pembelaan terkait persoalan di masyarakat. Dengan pengertian ini
maka tidak semua organisasi mahasiswa bisa masuk sebagai gerakan mahasiswa. Organisasi
minat dan bakat seperti unit kegiatan mahasiswa pencak silat, karate, tae kwon do, bulu tangkis,
basket, sepak bola, paduan suara, teater, palang merah, english club, dan sejenisnya tidak
termasuk gerakan mahasiswa. Karena mereka tidak bergerak untuk mengadakan perubahan
atau pembelaan terkait persoalan di masyarakat, termasuk masyarakat kampus. Walaupun
kenyataannya ini bukannya tidak mungkin diubah. Dalam medan kampus, organisasi yang bisa
masuk dalam kategori gerakan mahasiswa adalah organisasi mahasiswa berbentuk badan
pemerintahan kampus, organisasi massa mahasiswa (baik lintas kampus skala nasional maupun
lokal dan regional), serta organisasi pers mahasiswa.
Gerakan mahasiswa ini pun terbagi lagi ke dalam berbagai macam gerakan mahasiswa.
Ada gerakan moral dan ada gerakan politik. Ada gerakan mahasiswa elitis eksklusif dan ada
gerakan mahasiswa kerakyatan. Gerakan moral merupakan gerakan yang mengambil perspektif
mahasiswa sebagai kekuatan moral (moral force). Gagasan ini muncul di sekitar gerakan
mahasiswa angkatan 66 yang menentang rezim Demokrasi Terpimpin dan mendukung Orde
Baru. Tokoh-tokoh utamanya antara lain Soe Hok Gie, Arief Budiman, Rahman Toleng, Cosmas
Batubara, dan sebagainya. Mereka menyatakan bahwa gerakan mahasiswa bukanlah gerakan
politik. Mahasiswa hanya bergerak saat bangsa berada dalam krisis, setelah selesai peran
mahasiswa adalah kembali ke kampus dan belajar. Soe Hok Gie malah mengibaratkan gerakan
mahasiswa layaknya koboi yang turun tangan memberantas bandit dan pergi meninggalkan
kota saat bandit sudah ditumpas tanpa mau menerima jabatan sheriff. Gerakan mahasiswa yang
menganut pandangan gerakan moral juga membagi peran-peran mahasiswa ke dalam peran-
peran yang utopis idealis: mahasiswa sebagaiagent of change (agen perubahan), agent of social
control (agen kontrol sosial), agent of iron stock (agen aset pembangunan), dan sebagainya.
Pandangan dan peran-peran demikian menempatkan gerakan mahasiswa sebagai gerakan yang
bersifat elitis. Tidak mau menyatu dengan rakyat, tidak mau berjuang bersama gerakan buruh,
tani, kaum miskin kota, dan sebagainya. Mereka menganggap bahwa kalau rakyat bergerak
maka keadaan bisa kacau atau chaos menjadi kerusuhan. Pandangan semacam ini juga
menganggap bahwasanya mahasiswa sebagai intelektual yang paling pintar sendiri dan rakyat
jelata tidak tahu apa-apa sehingga tidak perlu beraliansi dengan elemen multi sektoral di luar
mahasiswa. Penolakan gerakan mahasiswa angkatan 66 masuk akal (walaupun tidak bisa kita
benarkan atau terima) kalau kita melihat konteks sejarah saat itu dimana terjadi penghancuran
gerakan buruh, gerakan tani, gerakan pemuda mahasiswa anti Imperialis, dan gerakan
perempuan. Alih-alih beraliansi dengan rakyat, gerakan mahasiswa angkatan 45 justru
beraliansi dengan kelompok reaksioner dalam kalangan ABRI yang didukung penuh CIA dan
Imperialis AS beserta sekutu-sekutunya. Apalagi inkonsistensi gerakan mahasiswa angkatan 66
juga tampak dengan banyaknya bekas aktivisnya yang masuk berpartisipasi dalam rezim
penguasa/pemerintah Orde Baru. Nama-nama seperti Akbar Tanjung, Cosmas Batubara,
Rahman Tolleng, dan sebagainya, semuanya merupakan bekas aktivis yang masuk jadi politisi
Golkar. Bahkan Sofjan Wanadi, bos Apindo, yang kini menindas buruh juga dulunya aktivis
mahasiswa angkatan 66.
Berdiri berhadap-hadapan dengan gerakan mahasiswa yang berspektif gerakan moral
dan elitis adalah gerakan mahasiswa politik dan kerakyatan. Gerakan mahasiswa yang memiliki
ideologi politik mengembangkan analisis menyeluruh mengenai bagaimana keadaan rakyat hari
ini, apa sistem yang menjadi biang penindasannya, serta bagaimana berjuang melawan dan
mengubah sistem serta tatanan yang menindas jadi menyejahterakan.
Gerakan mahasiswa kerakyatan sadar bahwasanya mereka adalah kelompok sosial
minoritas di tengah masyarakat sehingga tidak bisa sendirian dalam melawan penindasan.
Gerakan mahasiswa kerakyatan menyadari harus berjuang bersama-sama dengan sektor rakyat
tertindas lainnya seperti gerakan buruh, gerakan tani, gerakan kaum miskin kota, dan
perempuan anti penindasan. Karena perubahan adalah karya berjuta-juta massa rakyat dan tak
ada siapapun yang bisa membebaskan rakyat dari penindasan selain rakyat itu sendiri.
Disinilah pentingnya mengingat hasil analisis kelas bahwasanya posisi mahasiswa adalah
kelompok sosial non-kelas. Dari inilah kita paham bahwasanya dalam tiap tahapan atau
babakan sejarah, mahasiswa, termasuk mahasiswa Indonesia, selalu terbelah ke dalam dua
kutub yang berlawanan: kutub revolusioner dan kutub reaksioner. Mahasiswa angkatan 20an
banyak yang memainkan peran revolusioner dalam memajukan perjuangan nasional. Namun
saat fasisme Jepang datang dan menguasai Indonesia mahasiswa terpecah ke dalam posisi anti
kolaborasi dan anti kooptasi dengan posisi kolaborasi dan kooptasi. Mahasiswa angkatan 45
banyak yang memainkan peran revolusioner dalam revolusi nasional. Mereka mempertahankan
Indonesia dari imperialisme Belanda yang ingin kembali berkuasa. Namun sekali lagi posisi
mereka terbelah ke dalam posisi pro-diplomasi-kapitulasi dengan posisi perjuangan. Pasca
pengakuan kemerdekaan gerakan pemuda-mahasiswa kembali terbelah menjadi mendukung
dan menentang revolusi yang dipuncaki kemenangan kontra-revolusi angkatan 66, angkatan
mahasiswa pendukung Orde Baru. Contoh-contoh serupa bahkan merentang hingga ke gerakan
mahasiswa angkatan 98 yang sebagian masih konsisten terus berjuang, sebagian
terdemoralisasi (patah semangat), dan sebagian lainnya berkhianat, menyeberang ke kubu
borjuasi.
Sekian contoh sejarah ini membuktikan bahwa pemuda-mahasiswa merupakan golongan non-
kelas yang memang punya watak berani, cerdas, dan militan namun terombang-ambing
diantara kekuatan revolusioner dan kekuatan reaksioner. Berani, karena mereka yang memiliki
masa muda memiliki kesegaran yang belum dirusak oleh demoralisasi maupun oportunisme
akibat kekalahan dan kemunduran. Cerdas, karena mereka punya waktu dan kesempatan lebih
banyak untuk bersentuhan dan mendalami teori-teori maupun wacana-wacana perjuangan
massa. Militan, semangat tinggi yang mereka miliki ketika menggabungkan keberanian dan
kecerdasan dalam praktek perjuangan. Namun watak-watak ini akan sia-sia saja bahkan
merusak kalau jatuh ke tangan pimpinan reaksioner sebagaimana yang ditunjukkan dalam
wujud angkatan 66. Karena itu kekuatan potensial gerakan pemuda-mahasiswa harus dipimpin
oleh perjuangan kelas buruh yang revolusioner untuk melawan sistem penindasan.
Namun bagaimana sistem penindasan yang berjalan di Indonesia? Demi memahami ini kita
harus menggunakan analisis ekonomi politik atau analisis kelas. Indonesia adalah negara
kapitalisme terbelakang dengan ciri setengah jajahan dan setengah feodal. Industrinya adalah
industri terbelakang. Tidak ada industri nasional yang mengolah bahan mentah sampai menjadi
bahan jadi. Mayoritas adalah industri perakitan. Itupun didominasi oleh kapital asing dan
perusahaan Imperialis. Dominasi ini tidak hanya berjalan di ekonomi saja tapi juga menyeluruh
ke politik dimana pemerintahan dikuasai oleh Kapitalisme Birokrasi yang menjadi agen-agen
Imperialis. Inilah yang menjelaskan bahwa Indonesia masih setengah jajahan walaupun secara
formal proklamasi sudah dinyatakan pada 17 Agustus 1945 silam. Selain itu berbeda dengan
Singapura dan Korea Selatan apalagi negara-negara dunia pertama, dominasi feodalisme
berupa kekuasaan tuan tanah juga masih berlangsung di Indonesia meskipun sudah tidak
murni. Karena dominasi tuan tanah tradisional juga dibagi dengan keberadaan kapitalisme
agraria berupa monopoli tanah dan kekuasaan perusahaan-perusahaan perkebunan, Perhutani,
PTPN, dan sebagainya. Ini yang menegaskan bahwa Indonesia juga setengah feodal. Sehingga
secara keseluruhan ketertindasan rakyat diakibatkan oleh sistem kekuasaan bersama antara
Imperialisme, Kapitalisme dan Kapitalisme Birokrasi, serta Feodalisme yang menindas dan
menghisap rakyat.
Pemuda mahasiswa juga merasakan dampak penindasan akibat sistem pendiidkan nasional
yang tidak ilmiah, demokratis, dan mengabdi pada rakyat serta tidak adanya jaminan kerja
layak ketika lulus. Inilah komersialisasi pendidikan yang menindas pemuda mahasiswa
Indonesia.
Komersialisasi pendidikan merupakan bentuk dari merosotnya pendidikan di negara kapitalis
terbelakang dengan corak Setengah Jajahan dan Setengah Feodal karena di satu sisi ongkos
pendidikan dibuat melambung tinggi namun kualitas merosot sangat rendah sehingga tidak
mampu menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat. Pendidikan yang sangat mahal
dan tidak berkualitas tersebut dikarenakan tidak ada kepentingan dari imperialisme dan
feodalisme untuk memajukan tenaga produktif rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia
diorientasikan sebatas menjadi tenaga kerja murah dan pasar bagi hasil produksi industri
imperialisme.
Banyak sekali peraturan yang dikeluarkan rezim penguasa/pemerintah untuk melegalkan
komersialisasi pendidikan dan jelas-jelas memuat agenda Imperialis. Dikeluarkannya PP No. 60
dan PP No. 61 akibatkan pendidikan bukan lagi menjadi perhatian sosial namun menjadi salah
satu komoditi perdagangan. Pada tahun 2003, rezim Megawati melahirkan UU Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) no. 20 tahun 2003. Beberapa hal kontroversial di dalamnya
termasuk kewajiban rakyat untuk mengongkosi biaya pendidikan (Pasal 9),
Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan. Pasal ini membingungkan karena membuat rancu mengenai ada di tangan siapa
tanggungjawab penyediaan sumber daya pendidikan? Apakah bukan lagi tanggungjawab
pemerintah, sehingga dilempar ke rakyat? Mengapa kini jadi rakyat yang wajib mengongkosi
pendidikan mereka sendiri? Dukungan sumber daya ini juga bisa ditafsirkan sangat luas, mulai
dari pendanaan, penyediaan fasilitas, sampai guru yang harus digaji.
Di sisi lain, WTO di tahun 2005 menelurkan General Agreement of Trade and Services (GATS)
alias kesepakatan umum tentang tarif dan perdagangan. Disana secara lebih eksplisit,
pendidikan dimasukkan sebagai salah satu lingkup usaha atau industri. Sehingga pendidikan
bukan lagi bidang sosial kemanusiaan tanggungjawab pemerintah melainkan ajang jual beli di
pasar. GATS ini langsung ditandatangani Indonesia pada tahun yang sama, 2005. Rezim Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) yang meneruskan rezim Soeharto itu, melahirkan regulasi
pengaman bagi invasi kapitalisme ke pendidikan di Indonesia, Peraturan Presiden (Perpres) no.
76 dan no. 77 tahun 2007. Kedua Perpres yang dikeluarkan mantan ajudan Soeharto itu
menyatakan bahwa pendidikan (di Indonesia) termasuk sektor terbuka bagi penanaman modal
asing, maksimal 49%. Tiga tahun kemudian, dikeluarkanlah pula Peraturan Pemerintah (PP)
No. 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan. PP ini mengesahkan keterlibatan pihak
asing dan juga membolehkan penarikan pungutan ke orang tua peserta didik.
Selain itu dibatalkannya UU BHP ternyata diganti dengan UU PT dimana hakekat regulasi itu
tetaplah sama yaitu komersialisasi pendidikan yang menyebabkan biaya pendidikan kian
melambung tinggi dan mengakibatkan rakyat semakin kehilangan haknya atas pendidikan.
Akibatnya 9,7 juta rakyat Indonesia yang masih terbelenggu buta huruf. Disatu sisi, tidak
jaminan yang diberikan pemerintah bagi lulusan pendidikan untuk mendapatkan lapangan
pekerjaan yang layak sehingga berdampak pada semakin meningkatnya angka pengangguran
terbuka yang telah mencapai 8,1 % atau 9,25 Juta dari angkatan kerja dengan distribusi pekerja
60,5 % adalah pekerja Informal seperti tukang ojek, asongan, buruh lepas dan pedagang kecil.
Sebanyak 52,65 persen tenaga kerja yang ada di Indonesia berpendidikan SD ke bawah, karena
dunia kerja banyak yang hanya membutuhkan skill kerja yang rendah. Pengangguran terdidik di
Indonesia berjumlah 961.000 hingga Agustus 2008 yang terbagi atas 598.000 penganggur
Sarjana dan 362.000 penganggur Diploma. Februari 2008 lalu bahkan mencapai 1.146 juta
jiwa. Selain itu dengan kondisi BOS yang tidak terserap sesuai ketentuan, gedung sekolah yang
menjadi tempat belajar sebagian besar rusak, terutama di daerah-daerah terpencil. Dari total
ruang kelas di SD hampir 50% dari 891.594 ruang kelas masuk kategori rusak ringan dan berat.
Situasi ini juga tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai. Pada 2008,
menurut Depdiknas, baru 32% SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di SMP baru 63,3%.
Penindasan yang sama tidak sebatas dialami peserta didik, tetapi juga oleh para tenaga pengajar
dan pendidik (guru dan dosen). Kualitas guru yang tidak layak mengajar, dilihat dari segi
kualifikasi pendidikan maupun profesionalisme, sebagian besar terjadi pada guru di tingkat TK-
SD. Tahun lalu tercatat sekitar 88% guru TK tak layak dan di tingkat SD sekitar 77, 85%. Dari
2,7 juta guru yang ada di Indonesia, baru 350.000 yang mendapatkan tunjangan dan sertifikasi.
Budaya riset dan menulis penelitian bagi guru yang sudah disertifikasi selesai begitu saja setelah
sertifikasi didapatkan dan tidak menjadi bagian dari kegiatan hariannya untuk memajukan ilmu
pengetahuan. Sedangkan di tingkat perguruan tinggi, total dosen yang ada di Indonesia adalah
240.000 orang. 120.000 orang merupakan dosen tetap di Indonesia, 50,65 % atau sekitar
60.000 di antaranya belum berpendidikan S2.
Pola umum akibat komersialisasi pendidikan tampak dimana-mana. Kampus-kampus papan
bawah terancam bangkrut sedangkan kampus-kampus papan atas berlomba-lomba
mendongkrak kuota penerimaan mahasiswa sebanyak-banyaknya tanpa didahului dengan
penyediaan atau peningkatan fasilitas, sarana, prasarana, dan tenaga pendidikan (pengajar dan
pekerja kampus). Akibatnya jumlah mahasiswa dalam satu kelas semakin membludak, kuliah
jadi tidak kondusif, beban kerja pekerja kampus semakin berat padahal tidak ada peningkatan
upah sesuai dengan beban kerja yang semakin berat dan kebutuhan hidup layak. Apalagi kaum
mayoritas di kampus, pemuda mahasiswa dan pekerja pendidikan tidak dilibatkan secara
demokratis, genuine, dalam setiap pengambilan keputusan.
Kenyataan ini merupakan panggilan terhadap perjuangan pemuda mahasiswa bersama-sama
menuntut hak ekonomi sosial (hak-hak demokratis dan hak-hak di bidang pendidikan)
khususnya memperjuangkan terwujudnya sistem pendidikan yang ilmiah, profesional,
demokratis, dan mengabdi kepada rakyat. Tentu saja sistem pendidikan demikian tidak bisa
terwujud kalau sistem penindasan yang melanggengkan kekuasaan Imperialisme, Feodalisme,
Kapitalisme, dan Kapitalisme Birokrasi masih berkuasa. Karena itulah perjuangan gerakan
mahasiswa kerakyatan harus bergandengan tangan dengan sektor rakyat lainnya khususnya
aliansi pokok buruh dan tani dibawah kepemimpinan kelas buruh.
Ada baiknya saya menutup tulisan ini dengan seruan:
Pemuda Mahasiswa, BERJUANG BERSAMA RAKYAT!!!

You might also like