You are on page 1of 7

EDITORIAL

Program DOTS Di Rumah Sakit


Pada setiap tanggal 24 Maret, seluruh dunia memperingati World TB
Day atau Hari TB Sedunia sebagai penghormatan kepada ilmuwan Jerman, Robert Koch
yang pada 24 Maret1882, mempresentasikan penemuan Mycobacterium
Tuberculosis (M.tb), penyebab penyakit tuberkulosis (TB). Tahun ini tema peringatan hari T
B sedunia oleh WHO adalah TB Anywhereis TB
Everywhere. Mengingat penyakit TB merupakan masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh j
ajaran kesehatan sendiri, tetapi bersama seluruh komponen masyarakat makaIndonesia menet
apkan tema Siapa dan Dimana Saja Peduli TB. Maksud dipilihnya tema tersebut adalah seb
agai momentum untuk mengingatkan sekaligus mengajak kita bersama-
sama melakukan aksi atau tindakan nyata dalam penanggulangan TB di Indonesia.
Penyakit TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman M.tb Seb
agian besar kuman M.tb menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.Me
nurut WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB dengan angka kematian mencapai 3 ju
ta orang per tahun. Di negara berkembang, kematian ini merupakan 25% dari kematianpenya
kit yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara-
negara berkembang. Dengan munculnya epidemi HIV/AIDS, jumlah penderita TB akanmeni
ngkat. Kematian perempuan karena TB lebih banyak daripada kematian karena kehamilan,
persalinan serta nifas. WHO mencanangkan keadaan darurat global (global emergency) untuk
penyakit TB pada tahun 1993 karena diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi
oleh kuman TB.
Di Indonesia, TB merupakan penyebab kematian utama setelah penyakit jantung dan
saluran napas. Penyakit TB paru masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hasil survei
kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan
penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran napas pada
semua golongan usia dan nomor 1 dari golongan penyakit infeksi. Antara tahun 1979-1982
telah dilakukan survei prevalensi di 15 propinsi dengan hasil 200-400 penderita setiap
100.000 penduduk. Diperkirakan setiap tahun ada 450.000 kasus baru TB, sekitar 1/3
penderita berobat di puskesmas, 1/3 di pelayanan rumah sakit/klinik pemerintah atau swasta,
praktek swasta dan sisanya belum terjangkau unit pelayanan kesehatan.
Risiko Penularan

Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di
Indonesia dianggap cukup tinggi bervariasi antara 1-2 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar
1%, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi.
Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya 10% dari
yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB (TB klinis). Dari keterangan tersebut di atas,
dapat diperkirakan bahwa di daerah dengan ARTI 1 %, maka diantara 100.000 penduduk
rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberkulosis setiap tahun, dan 50 % penderita adalah
BTA positif.
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB adalah daya
tahan tubuh yang rendah; diantaranya karena keadaan yang gizi buruk, diabetes melitus atau
menderita infeksi virus HIV/AIDS. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya
tahan tubuh seluler (Cellular Immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik seperti
tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan
kematian. Bila jumlah orang yang terinfeksi HIV meningkat, maka angka jumlah penderita
dan penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
Tantangan TB di Indonesia
TB ditularkan melalui percikan dahak penderita ketika batuk, bersin, berbicara atau m
eludah. Seorang penderita TB dengan status
BTA positif dapat menularkan kepada 10-
15 orangsetiap tahunnya. Beban TB di Indonesia masih sangat tinggi, khususnya men
genai angka penemuan kasus dan kesembuhan
Total pasien baru (kasus TB
BTA positif maupun negatif) di Indonesia lebih dari 600.000 orang per tahun. Terdap
at perbedaan besar angka penyakit TB di wilayah Sumatera, Jawa-
Bali, dan kawasan Timur Indonesia
Insidens kasus BTA positif (menular) tahun 2005 diperkirakan 107 kasus baru/100.00
0 penduduk (246.000 kasus baru setiap tahun)
TB adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan peringkat
ketiga dalam daftar sepuluh penyakit tertinggi di Indonesia
yang menyebabkan sekitar100.000 kematian setiap tahunnya atau dalam sehari terjadi
300 kematian karena TB
Sebagian besar penderita TB usia produktif (15-55 tahun)
Kolaborasi intervensi TB-HIV : HIV meningkatkan kejadian TB dan angka kematian
di wilayah dengan prevalensi HIV tinggi (11-50 % pasien HIV/AIDS meninggal
karena TB).
Indonesia mempunyai epidemi HIV yang terkonsentrasi. Prevalensi pada orang
dewasa (15-49 tahun) diperkirakan <0,2% dengan kejadian terbesar di Prov. Bali,
Jawa Timur, Papua, Riau, Jakarta dan Jawa Barat. Wilayah dengan risiko tinggi HIV
perlu mendapat prioritas pelaksanaan program TB.
Surveilans kekebalan obat TB belum dilaksanakan di Indonesia. Survei-survei
terbatas yang dilakukan di Jakarta menemukan ada kasus kekebalan obat TB pada
lebih dari 4% kasus-kasus yang tidak diobati sebelumnya. Suatu survei
yang representative diperlukan untuk mengetahui situasi di Indonesia (perkiraan
Nasional dari WHO adalah 1,6%).
Terdapat kelompok populasi khusus yang rentan terhadap TB yaitu perempuan, anak,
manula dan orang-orang dengan risiko penularan tinggi seperti para narapidana dan
kaum pengungsi.
Pemberantasan TB Dengan Strategi DOTS
Pemberantasan TB sebenarnya telah dimulai sejak lama tetapi hasilnya belum
menggembirakan. Sebelum ada strategi DOTS (Directly Observe Treatment
Shortcourse) cakupan program sebesar 56% dengan angka kesembuhan yang dapat dicapai
hanya 40-60%. Karena pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak cukup di
masa lalu, kemungkinan telah timbul kekebalan kuman TB atau multi drug resistance (MDR)
terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara meluas.
TB merupakan penyakit yang dapat disembuhkan. Penderita TB dapat sembuh bila
melakukan pengobatan dengan OAT secara lengkap dan teratur selama 6-8 bulan. Di
Indonesia, Program Pengendalian TB disesuaikan dengan Strategi Stop TB Global, diarahkan
dalam upaya mencapai Target Global TB 2005 dan Tujuan Pembangunan Milenium 2015.
Strategi Pengendalian TB mencakup penerapan Strategi DOTS, pengelolaan kasus TB yang
kebal terhadap obat anti TB (MDR/multi drug resistance), koinfeksi TB - HIV, memperkuat
sistem pelayanan kesehatan, keterlibatan semua penyedia layanan kesehatan serta
meningkatkan kegiatan penelitian.
Selama lebih dari satu dekade Strategi DOTS merupakan elemen yang sangat penting
untuk pengendalian TB. Strategi ini terdiri dari 5 komponen :
1. Peningkatan Komitmen Politis dengan ada Rencana Jangka Panjang
Penanggulangan TB yang didukung oleh penganggaran yang tetap dan memadai sesuai
dengan target World Health Assembly 2005 dan Millenium Development Goals
2015.
2. Penegakkan diagnosis dengan mikroskopis dahak dan serta penguatan
jejaring laboratorium mikroskopis TB
3. Pengobatan TB standar dengan PMO (Pengawas Menelan Obat) dalam upaya
mengurangi risiko terjadinya MDR dan peningkatan kesembuhan penderita.
4. Jaminan ketersediaan dan sistim pengelolaan OAT yang efektif.
5. Sistim Pencatatan dan Pelaporan baku untuk TB.
Menurut Bank Dunia strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang paling cost
effective. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan hal tersebut. Di Bangladesh dengan
strategi DOTS, angka kesembuhan pasien TB mampu mencapai sekitar 80%, di
Maldives sekitar 85 % , di Nepal mencapai 85 % sedangkan di RRC mencapai 90 %.
Di Indonesia, strategi DOTS pertama kali dilakukan uji coba pada tahun 1995 dan
kemudian diimplementasikan secara luas dalam sistim pelayanan kesehatan dasar. Fokus saat
ini adalah meningkatkan cakupan DOTS ke seluruh penyedia pelayanan kesehatan di
Indonesia disertai peningkatan mutu pelayanan. Langkah awal dengan memperkuat jejaring
puskesmas, lalu strategi inovasi lainnya seperti perencanan spesifik daerah dalam upaya
menjangkau populasi yang sulit mendapatkan akses pelayanan (akibat sosial ekonomi
maupun geografis), keterlibatan RS (Hospital DOTS Lingkage), TB pada anak, TB di rumah
tahanan/lembaga pemasyarakatan, penanganan kasus resisten serta penanganan koinfeksi TB-
HIV.
Penemuan kasus TB di Indonesia (CDR=Case Detection Rate) pada tahun 2005 adalah
68%, telah mendekati target global untuk penemuan kasus pada tahun 2005 sebesar 70% dan
target 2007 menjadi 74%. Sedangkan angka keberhasilan pengobatan (Success Rate = SR)
mencapai 89,7% melebihi target WHO sebesar 85%. Hasil tersebut merupakan kerja keras
dari berbagai pihak di Indonesia dengan dukungan donor internasional yang meningkat
seperti GF ATM, USAID (TBCTA), CIDA, DFID dan lain-lain serta bantuan teknis dari para
mitra Stop TB khususnya WHO dan KNCV.
Pada kenyataannya masih dijumpai berbagai masalah di lapangan. Program DOTS
yang dulu dititik-beratkan di puskesmas harus diperluas ke rumah sakit dan dokter praktik
swasta. Hal ini disebabkan karena pasien TB bukan hanya datang ke puskesmas, melainkan
banyak juga ke rumah sakit, dokter praktik swasta serta klinik swasta.
Secara umum memang perlu dilakukan akselerasi DOTS di Indonesia agar program lebih
cepat mencapai target.
DOTS di Rumah Sakit (Hospital DOTS)
Berdasarkan hasil penelitian oleh Departemen Kesehatan, 49 % pasien TB di Jawa,
44% pasien TB di Sumatra dan 31% pasien TB di Kawasan Timur Indonesia datang berobat
pertama kali ke rumah sakit. Hal tersebut menunjukkan bahwa peluang rumah sakit sangat
penting dalam pemberantasan TB, antara lain dalam meningkatkan CDR (Case Detection
Rate) dan CR (Cure Rate). Rumah sakit mempunyai beberapa kelebihan antara lain
mempunyai cukup tenaga ahli, peralatan diagnostik dan terapeutik yang cukup lengkap,
jumlah pasien banyak, dan lain-lain, tetapi juga mempunyai kelemahan antara lain rumah
sakit tidak mempunyai tenaga cukup, sehingga bila ada pasien yang tidak kontrol pada
waktunya tidak dapat dilakukan kunjungan rumah.
Penyakit TB dapat menyerang berbagai organ tubuh manusia sehingga pasien TB di
rumah sakit dapat datang ke berbagai spesialis di rumah sakit, oleh karena itu untuk
mengkoordinasikan pelayanan TB di rumah sakit perlu dibentuk Tim DOTS Rumah Sakit.
Tim tersebut bertugas untuk mengkoordinasikan kegiatan di rumah sakit melalui jejaring
internal (internal linkage) rumah sakit maupun koordinasi kegiatan di luar rumah sakit
melalui jejaring eksternal (external loinkage). Jejaring eksternal perlu dilakukan untuk
koordinasi kegiatan dengan Dinas Kesehatan, Puskesmas, Dokter Praktek Swasta, dan lain-
lain.
Langkah-langkah untuk mulai mengimplementasikan DOTS di rumah sakit antara lain
yaitu :
Melakukan penilaian dan analisis situasi, apakah rumah sakit telah bersedia untuk
melaksanakan program DOTS
Mendapatkan komitmen yang kuat terutama dari manajemen dan dokter spesialis yang
akan melaksanakan DOTS
Penyusunan nota kesepahaman ( Memorandum of Understanding ) antara Dinas
Kesehatan setempat dengan manajemen rumah sakit
Menyiapkan tenaga pelaksana DOTS antara lain dokter, perawat, petugas laboratoium,
petugas farmasi, petugas pencatatan dan pelaporan, dan lain-lain
Membentuk tim DOTS di rumah sakit. Tim tersebut akan melakukan koordinasi
kegiatan internal linkage atau external linkage
Menyediakan tempat untuk unit DOTS di dalam rumah sakit. Tempat ini menjadi pusat
kegiatan pelayanan pasien TB di rumah sakit
Menyediakan tempat / rak penyimpanan paket-paket OAT di ruang DOTS.
Menyiapkan laboratorium untuk pemeriksaan mikrobiologis dahak sesuai standar.
Menggunakan format pencatatan sesuai dengan program tuberkulosis nasional
Contoh kegiatan jejaring eksternal antara rumah sakit dengan puskemas :
Pasien tidak datang untuk periksa ulang/mengambil obat pada tanggal yang telah
ditentukan.
Bila keadaan ini masih berlanjut hingga lewat 2 hari dari tanggal yang ditentukan,
maka petugas di unit DOTS RS harus segera melakukan tindakan di bawah ini :
1. Menghubungi pasien langsung/PMO agar segera kembali berobat
2. Petugas di Tim DOTS RS menginformasikan ke Wasor Kabupaten/Kota atau
langsung ke puskesmas tentang ada pasien yang tidak kontrol, dengan
memberitahukan identitas dan alamat lengkap untuk segera dilakukan
pelacakan.
Hasil dari pelacakan yang dilakukan oleh petugas puskesmas segera
iinformasikan kepada rumah sakit . Bila proses ini menemui hambatan, harus diberitahukan
ke Ketua Tim DOTS rumah sakit.
Kesimpulan
1. Sampai saat ini DOTS adalah strategi yang paling baik untuk memberantas TB.
2. DOTS harus diimplementasikan di semua sektor layanan kesehatan antara lain
puskesmas, klinik paru, dokter praktek swasta dan rumah sakit
3. Tim DOTS Rumah Sakit harus dibentuk untuk mengkoordinasikan kegiatan jejaring
internal (internal linkage) dan jejaring eksternal (external linkage)
4. Dengan ada program DOTS di rumah sakit, angka CDRdan CR diharapkan
meningkat.

You might also like