You are on page 1of 6

Anarkisme abad 21

Pengantar
Athena, ibukota negara Yunani, tenggelam dalam hiruk-pikuk. Suara tembakan gas air mata
dari polisi menyibak kebisingan di kota itu. Di sudut lain, warga yang marah membalas dengan
melemparkan batu, bom molotov, ke arah polisi. Tembok-tembok bangunan slogan-slogan anti-
pemerintah tercetak jelas dengan warna hitam pekat.
Bahkan, monumen Plato, sang singa pikiran dari Yunani yang mencetuskan perihal
pemerintahan modern dalam bentuk republik, bernoda kelam. Pemerintah buatanmu telah
menghabisi nyawa warganya, tulisan itu menggantung di monumen Plato[1]
Kerusuhan di Yunani bukanlah sekedar huru-hara biasa. Peristiwa ini berlangsung berhari-hari
hingga menyebabkan kota Athena lumpuh. Akar masalahnya adalah tewasnya seorang remaja
berusia 15 tahun, bernama Alexandros Grigoropoulos karena tembakan peluru panas dari
Epamimondas Korkoneas, seorang opsir polisi di wilayah Exarchia, Athena, 6 Desember 2008.
Gelombang protes dan kemarahan tiba-tiba merangsek dan menyebar ke seluruh lapisan
masyarakat, tidak hanya para pemuda atau mahasiswa, para remaja ABG, ibu rumah tangga,
bapak-bapak, juga kaum minoritas muslim turut serta turun ke jalan menentang
pemerintahan[2].
Nah, ada kelompok yang mengklaim apa yang telah mereka lakukan sebagai kelompok anarkis.
Kelompok ini melawan negara, pemerintah, politikus, birokrasi beserta segenap perangkat
kekuasaan yang melekat pada negara. Polisi, sebagai instrumen negara jelas menjadi musuh
kaum anarkis di Yunani. Tidak sekedar bertarung di jalanan secara fisik dengan polisi, kaum
anarkis juga menyerang dan menghancurkan simbol-simbol fisik kekuasaan negara, seperti
kantor pemerintahan, bank-bank yang hanya menguntungkan orang-orang kaya, pusat-pusat
perbelanjaan yang mengabadikan kejayaan kelas kapitalis, perusahaan-perusahaan
multinasional yang menghisap tenaga rakyat di negara berkembang yang terus berkubang
dalam kemiskinan.
Makassar, 9 Desember 2009, sekelompok pemuda berpakaian hitam-hitam bergerak cepat
memisahkan dari rombongan massa aksi demonstrasi yang tengah memperingati hari
antikorupsi se-dunia. Di bawah terik matahari, serta pekikan orasi dari mahasiswa yang
menuntut pembebasan dua anggota komisi pemberantasan korupsi (KPK), khalayak terkejut
saat gerai KFC di Makassar Trade Center diserang oleh orang-orang tak dikenal. Para penyerang
yang berpakaian hitam-hitam serta menutupi wajahnya tadi langsung melarikan diri dan
menghilang di tengah-tengah keramaian sebelum sempat ditangkap oleh polisi[3].
Perusakan properti, penghancuran bangunan, penghinaan terhadap simbol-simbol negara dan
kuasa modal dengan corat-coret, juga mencipta kerusuhan dengan beradu fisik dengan polisi
langsung lekat dengan identitas kaum anarkis. Namun, benarkah kaum anarkis adalah gerakan
politik yang berorientasi kekerasan? Lantas apa bedanya dengan terorisme? Sebenarnya, apa
yang mereka lawan? Apa juga bedanya dengan marxisme jika sama-sama menentang supremasi
digdaya kapital? Yang terpenting, apakah gerakan ini benar bercorak transnasionalis?
Pertanyaan-pertanyaan tadi akan dijawab perlahan-lahan melalui studi kepustakaan dari
beberapa literatur yang reliabel dan valid.
Deskripsi
Anarkisme adalah bentuk paling murni dari demokrasi. Tentu, banyak yang akan mengerutkan
dahi dan berteriak tidak setuju, bagaimana mungkin mereka yang gemar menghancurkan plus
merusuh di jalanan menegakkan demokrasi, dari aspek apa bisa diklaim mereka tengah
mempraktekkan demokrasi. Baradat bahkan menegaskan, selain sebagai bentuk sesungguhnya
dari demokrasi, anarkisme sesungguhnya ialah manifestasi terdalam dari realisasi kebebasan
individu manakala berpolitik. Karena anarkisme percaya bahwa individu yang bebas dari
represi negara sesungguhnya akan mencipta harmoni sosial atau keteraturan organik secara
alami[4].
Kembali ke pernyataan awal, anarkisme ialah salah satu ideologi dalam politik yang meyakini
bahwa manusia secara asali dapat hidup teratur dan bahagia manakala pemerintah atau otoritas
serupa negara yang mengklaim kekuasaan, lenyap. Dengan kata lain, kaum anarkis
beranggapan bahwa negara sejatinya merampas kebebasan yang tadinya melekat pada diri
manusia, lantas negara menetapkan aturan-aturan melalui birokrasi yang justru malah
mengingkari kebebasan manusia[5].
Meski demikian, anarkisme sesungguhnya terjebak dalam dua karakter yang saling
bertentangan, yakni ultraliberalisme ataupun ultrasosialisme. Hal ini disebabkan akibat
anarkisme mengasalkan doktrin utamanya berasal dari hak asali (human nature) manusia,
namun untuk mencapai tujuannya, maka tidak bisa tidak, kaum anarkis juga perlu
mengumpulkan orang-orang yang percaya dengan kekuatan dan pentingnya pesan agar menjadi
bagian dari anarkis dengan menolak otoritas negara. Dalam bahasa yang sedikit rumit, lantaran
akar filosofis anarkisme berasal dari tradisi libertarian-individual namun di sisi lain juga
menimba inspirasi dari komunitarian-sosialis, maka anarkisme dapat disebut sebagai titik
persinggungan dimana dua kredo politik ini bermuara pada satu konklusi, mewujudkan
masyarakat tanpa negara[6].
Beberapa karakter utama dari anarkisme ialah, yang paling utama, adalah menolak hadirnya
negara, dalam segala bentuk. Memakai bahasa yang agak puitis, kaum anarkis berkehendak
agar semua individu mampu menjadi negara itu sendiri. Kedua, dengan tiadanya negara, maka
ketertiban sosial akan terbentuk secara alamiah. Mereka berdialog dengan teori kontrak sosial
yang masyhur, dimana menurut kaum anarkis, tanpa perlu membentuk negara secara formal,
manusia sejatinya sudah mampu mengatur dirinya sendiri (kaum konservatif menganggap
gagasan kaum anarkis perihal ini sebagai mimpi utopia belaka).
Ketiga, meski tidak semua anarkis adalah atheis, para proponen anarkis adalah atheis. Mereka
tepatnya membenci struktur hierarkis dalam agama, khususnya katolik, yang menempatkan
adanya seorang pemimpin agama yang harus dipatuhi oleh semua pemeluk agama tersebut.
Gagasan manusia dengan otoritas kuasa berlebih tidak lain seperti versi lain dari negara dengan
kekuasaan politik yang digenggam oleh pemerintah, baik yang terpilih secara legal-demokratik
ataupun tidak.
Terakhir, kaum anarkis mendukung ekonomi-bebas, sebuah konsep ambigu yang nampaknya
perlu dijabarkan dengan lebih seksama. Anarkis jelas membenci ekonomi kapitalis, lantaran
karakter penindasan yang melekat pada sistem ini karena adanya stratifikasi kelas ekonomi
marxian.
Anarkis memang dekat dengan sosialisme, namun tidak semuanya jatuh pada fatalisme dengan
menolak hak milik (Proudhon jelas mengutuk adanya hak milik), dan bahkan mendukung
kapitalisme kompetitif.
Perbedaan ini lagi-lagi dipicu oleh karena perbedaan dua tradisi dalam anarkisme, yakni
anarkisme kolektif, dan anarkisme individualis. Anarkisme kolektif memandang bahwa
intervensi negara dalam ekonomi hanya mendukung eksploitasi kelas tertindas, sedang anarki
individualis malah melihat bahwasanya intervensi negara yang menghambat pasar yang
kompetitif lantaran pasar malah sesak oleh kehadiran perusahaan negara dan swasta[7].
Anarkisme Kolektif dan Individualis
Kaum anarkis yang memang sejak awal menyimpang kontradiksi internal tadi, dapat dikata
terpisah ke dalam dua tradisi, yakni anarkisme kolektivis, dan anarkisme individualis. Menurut
hemat pribadi, pemisahan ini berdasarkan perihal spektrum kontinum ideologi yang dianut,
dimana anarkisme kolektif condong ke arah kiri, sedang anarkisme individual sangat bercorak
kanan-baru. Bisa juga kita menyebut dua tradisi anarkisme ini lahir karena latar geografis yang
spesifik. Anarkisme kolektif berakar di Eropa semenjak abad ke-19, dengan tokoh-tokoh utama
seperti Pierre Joseph-Proudhon, bapak anarkisme modern asal Perancis, Mikhail Bakunin,
revolusioner Rusia yang mengusulkan agar kelas bawah dipersenjatai hingga ia dan Proudhon
berselisih paham dengan Karl Marx saat Pertemuan Sosialis Internasional Pertama di London
tahun 1864.
Ada nama seperti Kropotkin, seorang pengikut Bakunin yang menelurkan teori tentang
Darwinisme sosial, dimana ia yakin bahwa dengan bekerjasama antar manusia, manusia akan
jauh lebih mudah menggapai sukses.
Sedang tokoh-tokoh anarkisme individualis memang kebanyakan tinggal dan menyebarluaskan
gagasan-gagasan anarkisnya di Amerika Serikat, seperti Henry David Thoreau, sampai Ayn
Rand yang merupakan tokoh kontemporer anarkis dalam bidang ekonomi. Meski Max Stirner
merupakan orang Jerman, namun kultur masyarakat Amerika yang mendukung liberalisme
pada unit individu, menyuburkan gagasan anarkisme individualis cukup diterima di Amerika
Serikat.
Sekarang, kedua konsep barusan perlu didefinisikan agar didapatkan deskripsi yang memadai.
Kolektivisme, sesuai namanya, meyakini bahwa manusia adalah makhluk sosial yang cocok
untuk bekerjasama ketimbang berusaha mengejar kepentingan pribadinya sendiri. Karenanya,
anarkisme kolektif meyakini bahwa kapasitas manusia dapat dioptimalkan melalui solidaritas
sosial, lantaran manusia itu ramah, bersahabat, dan kooperatif. Relasi antar manusia menurut
kelompok ini sejatinya ialah simpati, kasih sayang, dan harmoni. Manakala manusia telah
terikat melalui kemanusiaan kebersamaan, maka tidak perlu lagi ada aturan. Bakunin menulis,
solidaritas sosial adalah hukum pertama perihal manusia, kebebasan adalah hukum nomor
dua[8].
Sebaliknya, anarkisme individualis cenderung berlawanan dengan kelompok kolektivis terkait
beberapa hal. Kultur Amerika Serikat yang mendukung mengenai ide-ide kebebasan,
memperkuat atau bahkan mampu menstimulasi lahirnya anarkisme individual. Bisa dikatakan,
bahwa anarkisme individual sejatinya hanya mendorong liberalisme hingga mencapai titik logis
yang ekstrem, karena liberalisme menancapkan doktrin awalnya pada keyakinan akan
keutamaan individu yang ditopang oleh kebebasan individu.
Kaum anarkis memandang bahwa individu semata sudah lebih dari cukup untuk dapat
menjamin manusia mampu berperilaku jujur dan sanggup hidup harmonis tanpa perlunya
pemerintah untuk mengawasi dan menghukum masyarakat. Manusia mampu bekerjasama
lantaran mereka adalah makhluk rasional yang bermoral. Rasio manusia sanggup mengatur
emosi manakala terjadi konflik, dimana penyelesaian dapat dicapai melalui peradilan atau
perdebatan, bukannya dengan konflik kekerasan[9].
Metode Perjuangan
Sekarang sampailah kita pada bagian epistemologis, atau bisa juga kita sebut aspek metodologis
untuk menggapai cita-cita menuju masyarakat anarkis, masyarakat tanpa otoritas negara,
dimana salah satu gerakan transnasional Islam dengan bangga menyebutnya uslub. Secara
garis besar, metode kekerasan memang diakui oleh kaum anarkis untuk mencapai tujuannya.
Namun, kekerasan bukanlah satu-satunya metode perjuangan yang diakui dan dipakai oleh
kaum anarkis untuk mewujudkan mimpi perjuangannya. Ada beberapa metode lain yang perlu
dipaparkan agar didapatkan gambaran utuh perihal anarkisme.
Metode pertama menuju anarki ialah dengan kekerasan revolusioner, yakni perjuangan
bersenjata melalui gabungan antara terorisme dan kekerasan. Kekerasan klandestin atau
perjuangan bawah tanah, menjadi salah satu ciri khas dari metode gerakan ini. Pembunuhan
tokoh-tokoh politik seperti Tsar Alexander II, Raja Humbert dari Italia, Kaisar Elizabeth dari
Austria, Presiden Carnot dari Perancis, serta Presiden MacKinley dari Amerika Serikat. Metode
ini mencakup gerakan bersenjata secara individu maupun kelompok, seperti yang dicontohkan
oleh kelompok Baader-Meinhof di Jerman, Red Brigade dari Italia, dan Angry Brigade dari
Inggris. Namun kaum anarkis menganggap bahwa kekerasan bukanlah tujuan itu sendiri,
kekerasan hanya berperan untuk menciptakan jalan menuju masyarakat anarkis. Kaum anarkis
berpikiran bahwa kekerasan yang mereka lakukan hanyalah sebentuk retribusi atas kekerasan
yang dilakukan oleh para politisi, pengusaha, dan hakim yang menindas kaum tertindas.
Karenanya, kekerasan anarkis hanyalah sekedar cermin dari masyarakat dan ditujukan kepada
mereka yang benar-benar bersalah[10].
Metode kedua, ialah aksi langsung, yakni sebuah metode melancarkan aksi yang melawan
hukum ataupun konvensi legal-formal lainnya. Bisa berupa perlawanan pasif sampai terorisme
terencana. Menurut kaum anarkis, aksi langsung punya dua keuntungan, yakni mereka sanggup
menjaga jarak dari pemerintah serta birokrasi negara. Mereka juga tidak dapat begitu saja
diklaim oleh para politisi yang genit dan gemar mencari perhatian media. Alasan kedua ialah
aksi langsung dapat menjadi bentuk aktivisme politik secara populer yang dapat diorganisir
secara partisipatif dan tanpa hierarki. Sebagaimana keyakinan kaum anarkis yang menolak
membentuk partai atau lembaga politik formal lainnya, aksi langsung secara tidak langsung
mendorong lahirnya beragam fenomena gerakan sosial baru[11].
Metode terakhir ialah pasifisme, metode yang akrab bagi aktivis perdamaian, namun mungkin
juga agak menyengat bagi kaum anarkis yang cenderung pro-konfrontasi fisik. Dua tokoh
terkenal yang dicintai dunia, Leo Tolstoy dan Mahatma Gandhi, dapat digolongkan sebagai
penganjur pasifisme. Metode ini secara spesifik menolak penggunaan kekerasan, dimana
sebagai gantinya mereka menggunakan metode-metode non-kekerasan namun tetap
membangkang kepada otoritas negara. Tolstoy menggunakan doktrin Kristen dan hidup dalam
kepapaan agar manusia sanggup melepaskan diri dari cengkeraman kuasa negara. Gandhi
dengan gerakan satyagraha juga mirip, yakni menolak bekerja untuk pemerintah kolonial
Inggris. Ia berkampanye agar orang India hidup sederhana dan mencukupi kebutuhannya
sendiri. Metode pasifisme memang jauh dari hingar-bingar kerusuhan di jalanan yang seringkali
disorot media secara berlebihan, lantaran berfokus pada penciptaan model komunitas yang
berlandaskan kerjasama dan saling menghormati. Diharapkan, ide-ide anarkis akan menyebar
bukan lewat kampanye politik dan demonstrasi, namun dengan memperlihatkan perbedaan
antara kedamaian dalam masyarakat anarkis[12].
Penutup
Dengan berbagai karakteristik yang melekat padanya, dapatkan anarkisme kita masukkan
sebagai salah satu fenomena transnasionalisme dalam studi Hubungan Internasional? Jika
menilik pada periode historisnya, jawabannya mungkin tidak, lantaran anarkisme bisa
dikatakan telah hidup semenjak abad ke-19 di Eropa. Juga anarkisme telah kehilangan masa
kejayaan dan pengaruhnya lantaran bangkitnya fasisme pada awal abad ke-20 di Eropa.
Namun, seiring dengan tingginya interdependensi negara bangsa, yang diikuti oleh makin
merosotnya kedaulatan negara-bangsa, anarkisme perlu diperhatikan kembali dengan cermat
sebagai salah satu fenomena kontemporer (tapi lama) dalam studi HI.
Secara khusus, anarkisme memang menolak negara-bangsa secara eksplisit, dan mereka
menganut solidaritas global, sebuah manifesto yang nampak sangat sesuai dengan tema
kampanye global saat kerusuhan anti-WTO di Seattle terjadi pada awal abad ke-21. Kebetulan
juga, semenjak peristiwa itu, kaum anarkis nampak mulai bergairah melancarkan aksi-aksinya
lagi setelah sekian lama tiarap. Yang mutakhir tentu saja kerusuhan di Yunani akhir Desember
2008. Ditunjang oleh karakter gerakan kaum anarkis yang anti-hierarkis, nir-identitas, dan
terjadi tanpa koordinasi otoriter seperti gerakan-gerakan sosial lama, anarkisme dapat menjadi
objek studi yang menarik dalam kerangka fenomena transnasionalisme dalam HI.
Sumber tulisan : Signifikansi Prasaja Oleh Hafid Rahardjo


Catatan Kaki
Anarchy in Greece- An Editorial, diakses
dari www.indybay.org/newsitems/2008/12/09/18554129.php pada 27 September 2010, pukul
14.05 [^]
Ibid. [^]
Demo Antikorupsi Rusuh, Pertokoan di Makassar Sempat Tutup, diakses dari
detik.com/read/2009/12/172748/1257304/10, pada 27 September 2010 pukul 14.10 [^]
Leon P. Baradat, 1997, Political Ideologis, 6th edition, New Jersey: Prentice Hall. Hal 151 [^]
Baradat, hal. 153 [^]
Andrew Heywood, 1998, Political Ideologies, 2nd edition, London: Macmillan Press. Hal. 188-
191 [^]
Heywood, hal. 195 [^]

You might also like