You are on page 1of 90

SKRIPSI

SISTEM PEMBAYARAN DALAM TRANSAKSI


PERDAGANGAN INTERNASIONAL DENGAN MENGGUNAKAN
LETTER OF CREDIT (L/C)




OLEH:

ANDI DIAN FIQHY PRATIWI
B 111 10 104


UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS HUKUM
2014
v

ABSTRAK


Sistem Pembayaran dalam Transaksi Perdagangan Internasional
dengan Menggunakan Letter of Credit (L/C) (dibimbing oleh Juajir
Sumardi dan Laode Abd. Gani).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan hukum yang
mengatur tentang penggunaan Letter of Credit (L/C) dalam transaksi
perdagangan internasional, termasuk dasar hukum penggunaannya di
Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui
mekanisme penerbitan dan pencairan Letter of Credit serta bagaimana
perlindungan hukum yang diberikan baik kepada eksportir maupun importir
dalam pemanfaatan sistem pembayaran melalui Letter of Credit (L/C).

Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan tetap dilengkapi dengan
data lapangan berupa hasil wawancara dengan pihak perbankan. Penelitian ini
dilakukan di Makassar, khususnya pada Perpustakaan Universitas Hasanuddin
dan Fakultas Hukum serta penelitian lapangan dilakukan di PT. Bank Mandiri
Tbk. Cabang Makassar.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (i) pengaturan hukum Letter of
Credit ditemukan pada Uniform Custom and Practice for Documentary Credits
(UCP-DC 600)serta peraturan hukum Indonesia, khususnya Peraturan
Pemerintah yang mengatur mengenai kegiatan ekspor-impor dan Surat Edaran
Bank Indonesia;(ii) mekanisme penerbitan dan pencairan L/C diatur di dalam
UCP-600 dengan tetap melibatkan Issuing bank dan Coordinating Bank; (iii)
perlindungan hukum terhadap importer dan eksportir pada penggunaan L/C
sangat optimal karena terjadi kepastian pembayaran dan kepastian produk
yang disepakati.

Keyword: Ekspor-Impor, Letter of Credit (L/C), dan Transaksi Perdagangan
Internasional.










vi

ABSTRACT


Payment System in International Trade Transactions Using the
Letter of Credit ( L / C ) ( guided by Juajir Sumardi and Laode Abd . Gani)
.

This study aims to determine the legal arrangements governing the use
of Letters of Credit ( L / C ) in the international trade transaction , including the
legal basis for its use in Indonesia . In addition , this study also aims to
determine the mechanism and the issuance of letters of credit disbursement
and how the legal protection given to both exporters and importers in the use
of the payment system through Letter of Credit ( L / C)

This research is normative to remain equipped with field data in the
form of interviews with the banks . The research was conducted in Makassar ,
especially in Hasanuddin University Library and the Faculty of Law as well as
field research conducted in PT . Bank Mandiri Tbk . Makassar branch .

The results of this study indicate that : ( i ) Letter of Credit law setting
found in the Uniform Custom and Practice for Documentary Credits ( UCP -
DC 600 ) and Indonesian law , particularly government regulations that govern
the export - import activities and Circular Letter of Bank Indonesia ; ( ii ) the
issuance and disbursement mechanisms of L / C is set at the UCP - 600 to
remain involved Issuing bank and Coordinating Bank , (iii ) the legal protection
of importers and exporters on the use of the L / C is optimal due to the
certainty of payment and product assurance agreed .

Title: Export - Import Letter of Credit ( L / C ) , and the International Trade
Transactions .














ix

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................ iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ................................ iv
ABSTRAK ......................................................................................... v
ABSTRACT ....................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .......................................................................... vii
DAFTAR ISI ...................................................................................... vi
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. Latar Belakang .............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ........................................................... 7
D. Manfaat Penelitian ......................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 9
A. Perkembangan Perdagangan Internasional ................... 9
B. Sumber Hukum dalam Kegiatan Ekspor-Impor .............. 12
1. Kontrak Jual Beli Barang .......................................... 13
2. Hukum Kontrak Umum (General Contract Law) ....... 14
3. Hukum Kontrak Khusus (Specific Contract Law) ...... 15
4. Kebiasan dalam Perdagangan Internasional ............ 16
x

5. Yurisprundensi ......................................................... 16
6. Kaidah Hukum Perdata Internasional ....................... 17
7. Kovensi Internasional (International Convention) ..... 19
8. Ketentuan-ketentuan yang Diundangkan oleh Negara
tertentu ..................................................................... 20
C. Subjek Hukum Dalam Hukum Perdagangan Internasional 21
1. Negara ..................................................................... 22
2. Organisasi Perdagangan Internasional .................... 28
3. Individu..................................................................... 32
4. Perusahaan Transnasional....................................... 34
D. Kontrak Jual Beli Barang Internasional .......................... 44
E. Kebijaksanaan Perdagangan Internasional.................... 47
F. Sistem Pembayaran Dalam Transaksi Perdagangan
Internasional .................................................................. 51
1. Pembayaran dengan Open Account ......................... 51
2. Bill of Exchange ....................................................... 52
3. Documentary Credits................................................ 53
4. Letter of Credit (L/C)................................................. 53
BAB III METODE PENELITIAN ....................................................... 57
A. Lokasi Penelitian ........................................................... 57
B. Jenis Data ..................................................................... 57
C. Teknik Pengumpulan Data ............................................ 58
D. Analisis Data ................................................................. 58

xi

BAB IV HASIL DAN PENELITIAN ............................................. 59
A. Pengaturan Hukum tentang Letter of Credit sebagai sistem
pembayaran dalam transaksi perdagangan internasional 59
B. Mekanisme dan proses pembayaran dengan menggunakan
Letter of Credit ............................................................... 65
1. Tinjauan Umum tentang Letter of Credit ................... 65
2. Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Transaksi L/C ....... 68
3. Tahapan Penerbitan L / C ........................................ 69
4. Jenis-Jenis L/C ......................................................... 71
C. Perlindungan hukum terhadap Para Pihak dalam
Penggunaan Instrumen Pembayaran Letter of Credit .... 78
BAB V PENUTUP .......................................................................... 86
A. Kesimpulan.................................................................... 86
B. Saran ............................................................................. 90
DAFTAR PUSTAKA








xii

DAFTAR SINGKATAN


WTO = World Trade Organization
ICC = International Chambers Of Commerce
PBB = Persikatan Bangsa-Bangsa
CERDS = Charter Of Economic Right And Pratice For Documentary
Credit
CPO = Crude Plam Oil
GSP = General Syste Of Preferency
UCP = Uniform Customs And Pratice For Documentary Credit
TOT = Term Of Trade
ISBP = International Standart Bankng Pratice
URR = Urea Reduction Ratio
NGO = Non Govermental Oragnization
SKBDN = Surat Kredit Berdokumen Dalam Negri
1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam
perekonomian setiap negara di dunia. Melalui kegiatan perdagangan
internasional, perekonomian suatu negara akan saling terjalin dan tercipta
hubungan ekonomi yang saling mempengaruhi antara satu negara dengan
negara lain, yang pada akhirnya juga akan menciptakan lalu lintas barang dan
jasa antar negara.
Perdagangan internasional pada dasarnya merupakan kegiatan yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat suatu negara.
1

Perdagangan internasional dapat diartikan sebagai transaksi dagang antara
subjek ekonomi yang berada dalam suatu negara dengan subjek ekonomi yang
berada di negara lain. Secara umum perdagangan internasional dapat
dibedakan berdasarkan jenis transaksinya, yaitu transaksi ekspor dan transaksi
impor. Transaksi ekspor adalah penjualan barang dan jasa yang dihasilkan
suatu negara ke negara lainnya. Sementara transaksi impor adalah arus
kebalikan dari ekspor, yaitu barang dan jasa dari luar suatu negara yang
mengalir masuk ke negara tersebut.
Perdagangan internasional sangat mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi suatu negara, karena dengan terjadinya perdagangan internasional
maka akan mendorong dinamisasi ekonomi di dalam negara tersebut. Selain


1
Perdagangan internasional yang dilakukan antar bangsa dapat memberikan peluang bagi
masyarakat suatu bangsa untuk mendapatkan keuntungan yang pada akhirnya hubungan
perdagangan yang terjalin dapat meningkatkan pendapatan masyarakat yang berpengaruh
bagi kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
2

itu, perdagangan internasional juga telah mendorong suatu negara untuk
berspesialisasi dalam menghasilkan barang dan jasa secara murah, baik dari
segi bahan maupun cara memproduksinya. Akan tetapi manfaat nyata dari
perdagangan internasional dapat berupa kenaikan pendapatan, cadangan
devisa, transfer modal dan luasnya kesempatan kerja.
Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi sumberdaya alam telah
banyak melakukan transaksi perdagangan internasional dengan negara-negara
lainnya. Pada tahun 2013 nilai ekspor Indonesia totalnya sebesar USD
$ 13,083,707,09,- hal ini menunjukkan bahwa nilai perdagangan ekspor
Indonesia cukup besar. Untuk memberikan gambaran secara umum tentang
nilai perdagangan ekspor Indonesia tersebut maka dapat dikemukan table
ekspor menurut bulan hingga September 2013 sebagai berikut:
Tabel 1
Ekspor Indonesia Januari s/d September 2013


Bulan/Month Nilai/Value (US $) Berat/Weight (KG)
Januari-Februari 15 375 487 902 55 661 972 692
February-Maret 15 015 627 735 53 861 770 156
Maret-April 15 024 577 683 59 776 509 210
April-Mei 14 760 892 129 58 887 635 554
Mei-Juni 16 133 358 194 61 440 502 451
Juni-Juli 14 758 819 151 54 121 878 206
Juli-Agustus 15 087 863 565 56 083 727 696
Agustus-September 13 083 707 039 53 046 541 725
T O T A L 119 240 333 398 452 880 537 690
Sumber: Kementerian Perdagangan dan Perindustrian RI, 2013 (data diolah)
Walaupun kegiatan ekspor merupakan kegiatan yang sangat penting
dan strategis bagi suatu negara, khususnya dalam mendatangkan devisa yang
diperoleh dari pembayaran produksi yang diekspor, namun tidak dapat
dipungkiri bahwa berdasarkan teori ekonomi internasional, persoalan impor
3

juga merupakan hal yang sangat penting bagi suatu negara. Kenyataan
menunjukkan bahwa seluruh kebutuhan dalam negeri sebuah negara tidak
dapat dipenuhi hanya dari negaranya sendiri tetapi terkadang membutuhkan
bantuan dari negara lain sehingga dibutuhkan transaksi impor pada negara
tersebut. Namun demikian, negara tersebut harus menghasilkan devisa untuk
membayar impornya, dimana salah satu fungsi dari ekspor adalah untuk
membiayai impor.
Kebijakan impor dilakukan oleh Indonesia dikarenakan Indonesia belum
dapat memproduksi seluruh kebutuhan masyarakatnya. Dengan adanya
tuntutan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, maka Indonesia harus
melakukan hubungan dengan luar negeri melalui perdagangan internasional.
Walaupun ekspor dapat memberikan kontribusi yang sangat besar bagi
kemajuan perekonomian suatu negara namun impor juga memegang peranan
yang penting bagi pembangunan ekonomi suatu negara.
Nilai impor Indonesia tidak terlepas dari pengaruh permintaan dalam
negeri atas barang-barang konsumsi dan impor atas bahan baku dan
penolong, serta barang modal yang pasokannya belum dapat dipenuhi
seluruhnya oleh industri-industri dalam negeri. Sebagian produk yang diimpor
tersebut digunakan untuk proses industri dalam negeri dan industri yang
berorientasi ekspor.
Analisis tentang sektor perdagangan luar negeri Indonesia selama ini
terlalu didominasi oleh analisis tentang ekspor. Di satu sisi hal ini dapat
dipahami karena ekspor merupakan satu-satunya andalan penghasil devisa
yang berasal dari kekuatan sendiri, sehingga negara berkembang
4

berkepentingan untuk menguasai pengetahuan tentang penghasil devisanya
ini. Peran devisa ini sangat penting, terutama untuk negara berkembang
seperti Indonesia. Devisa dibutuhkan untuk: (i) membayar impor; (ii) membayar
utang luar negeri dan bunganya, dan (iii) mendukung stabilitas nilai Rupiah.
Analisis impor selayaknya mendapat porsi yang seimbang dengan
analisis ekspor, karena impor adalah cerminan kedaulatan ekonomi suatu
negara, apakah barang dan jasa buatan dalam negeri masih menjadi tuan di
negeri sendiri. Suatu negara melakukan impor karena mengalami
kekurangan/kegagalan dalam menyelenggarakan produksi barang dan jasa
bagi kebutuhan konsumsi penduduknya.
Impor dapat mempunyai peranan yang positif terhadap perkembangan
industri di dalam negeri khususnya dan terhadap perkembangan ekonomi pada
umumnya. Peranan positif impor dapat dilihat dari fungsi impor tersebut dalam
perekonomian suatu negara. Fungsi impor adalah untuk pengadaan bahan
kebutuhan pokok (barang konsumsi), pengadaan bahan baku bagi industri di
dalam negeri, dan untuk pengadaan barang modal yang belum bisa dihasilkan
sendiri di dalam negeri. Fungsi lainnya adalah untuk merintis pasaran di dalam
negeri, merangsang pertumbuhan industri baru, dan perluasan industri yang
sudah ada. Salah satu cara untuk mengetahui ada/tidaknya pasaran bagi
komoditas tertentu di dalam negeri adalah dengan melihat impor. Impor
merupakan indikator bahwa pasarannya ada karena dari angka impor akan
dapat diketahui barang-barang mana yang pasarannya sedang berkembang di
dalam negeri.
5

Berdasarkan uraian tentang pentingnya kegiatan impor dan ekspor bagi
suatu negara dalam rangka pengadaan devisa dan pemenuhan kebutuhan
dalam negeri, maka salah satu hal yang sangat penting dalam transaksi
perdagangan impor dan ekspor tersebut adalah sistem pembayaran yang
dilakukan atau disepakati oleh pihak eksportir dan importir. Hal ini semakin
tampak penting jika dikaitkan dengan bentuk pembayaran transaksi
internasional yang dapat memberikan rasa aman baik kepada importir maupun
kepada eksportir. Untuk itu, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
berkaitan dengan sistem pembayaran dalam transaksi perdagangan
internasional, khususnya yang berkembang dalam praktik kebiasaan
perdagangan internasional saat ini.
Dalam sistem perdagangan didunia saat ini memungkinkan segala
sesuatunya bersifat praktis, cepat dan aman. Hal yang sedemikian ini semakin
memudahkan para pelaku bisnis melakukan kegiatan perdagangan. Hal ini
menyangkut juga pada aspek globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Peningkatan
bisnis internasional pasti pula akan meningkatkan intensitas lalu lintas
pembayaran ekspor impor antar negara didunia pada saat ini. Sistem
pembayaran yang paling aman dipandang dari sudut kepentingan eksportir dan
importir adalah sistem pembayaran yang menggunakan Letter of Credit. Oleh
karena itu, penelitian ini akan memfokuskan pada sistem pembayaran dalam
transaksi perdagangan internasional yang menggunakan Letter of Credit (L/C).



6

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang sebagaimana dikemukakan di atas,
maka rumusan masalah yang di teliti adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan hukum internasional yang mengatur tentang
Letter of Credit sebagai sistem pembayaran dalam transaksi perdagangan
internasional?
2. Bagaimanakah mekanisme dan proses pembayaran yang berlaku dalam
pratik transaksi perdagangan internasional dengan menggunakan Letter of
Credit?
3. Sejauh mana perlindungan hukum terhadap eksportir dan importer pada
sistem pembayaran melalui Letter of Credit?

C.Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang akan dicapai dari penelitian ini dapat
dikemukakan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perkembangan pengaturan hukum yang mengatur
tentang sistem pembayaran dengan menggunakan Letter of Credit pada
transaksi Perdagangan Internasional.
2. Untuk memahami mekanisme dan proses pembayaran melalui Letter of
Credit pada transaksi perdagangan internasional.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum bagi eksportir dan
importir dalam menggunakan Letter of Credit sebagai instrument
pembayaran dalam pada transaksi perdagangan internasional.

7

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
sumbangan pemikiran dalam ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu
hukum internasional di bidang transaksi perdagangan internasional pada
khususnya.
2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan oleh berbagai pihak
yang akan melakukan penelitian lebih lanjut berkaitan dengan masalah
yang masih memiliki kaitan dengan hasil penelitian ini.
3. Bagi masyarakat, khususnya bagi para pelaku perdagangan internasional,
maka hasil penelitian ini di harapkan dapat menjadi sumber informasi yang
bermanfaat untuk meminimalkan risiko kerugian akibat pemilihan bentuk
sistem pembayaran dalam transaksi perdagangan internasional.










8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Perkembangan Perdagangan Internasional
Hubungan-hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat mencakup
banyak jenisnya, dari bentuknya yang sederhana, yaitu dari barter, jual beli
barang atau komoditi (produk-produk pertanian, perkebunan, dan sejenisnya),
hingga hubungan atau transaksi dagang yang kompleks.
2

Kompleksnya hubungan atau transaksi dagang internasional ini paling
tidak disebabkan oleh adanya jasa teknologi (khususnya teknologi informasi)
sehingga transaksi-transaksi dagang semakin berlangsung dengan cepat.
Batas-batas negara bukan lagi halangan dalam bertransaksi. Bahkan dengan
pesatnya teknologi, dewasa ini para pelaku dagang tidak perlu mengetahui
atau mengenal siapa rekanan dagangnya yang berada jauh di belahan bumi
lain. Hal ini tampak dengan lahirnya transaksi-transaksi yang disebut dengan e-
commerce.
Dalam abad 21 ini, kita di hadapkan dengan era yang dikenal dengan
era globalisasi ekonomi, dimana sistem perdagangan dunia memasuki
perdagangan bebas. Dalam prakteknya perdagangan bebas ternyata tidak
aman karena tidak menguntungkan semua pihak. Banyak negara ketakutan
dengan munculnya keuntungan yang diperoleh pengusaha kecil semakin
berkurang karena muncul perusahan mata rantai yang menguasasi sistem
perdagangan, selain itu pengaruh ketentuan hukum paten yang membuat


2
Huala Adolf, 2006, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, hal. 1
9

pelaku bisnis yang menjual produk tertentu makin bimbang. Globalisasi
ekonomi dianggap terlalu menguntungkan negara maju dan merugikan negara
sedang berkembang.
3

Ketegangan akibat perdagangan bebas diwarnai dengan munculnya
berbagai proteksi yang dilakukan oleh negara-negara maju. Di Eropa, Amerika,
dan Jepang tetap melakukan proteksi di bidang pertanian. Hal ini terasa
terutama setelah terbentuknya Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade
Organization WTO).
4
Negara maju seperti tidak peduli keluhan ataupun
tuntutan negara miskin, sehingga di awal abad 21 ini terlihat perdagangan
bebas yang terancam oleh sejumlah ketentuan dan perkembangan yang
berkaitan dengan ketentuan intelektual, ekonomi dan politik, yang
pengaturannya diarahkan agar menguntungkan negara maju. Setiap negara
tidak bebas lagi menjual produknya karena harus memperhatikan ketentuan
Intellectual Rights argument Property, dan negara-negara yang kurang maju di


3
Baca lebih lanjut Victor Purba, 2003, Analisis Ekonomi Dari Hukum Sebagai Dasar
Pembuatan Kebijakan Perdagangan Internasional Untuk Meningkatkan Perekonomian
Indonesia, (Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia), Jakarta: Fakultas Hukum UI, hal. 6-7.

4
WTO (World Trade Organization) terbentuk pada tanggal 1 januari 1995, merupaka
kesepakatan dari negara-negara yang ikut perundingan GATT (General Agreement and Tariffs
and Trade ) Kronologi perundingan dimulai 1948 pada waktu ini draft piagam International
Trade Organization (ITO) disusun. Namun pada tahun 1950 Piagam ITO gagal. Lalu pada tahun
1955 Amerika serikat menjalankan kebijakan pertanian tertentu yag tidak dimasukkan ke
dalam GATT. Sebenarnya dari tahun 1947-1961 putaran-putaran awal perundingan
pemotongan tarif perdagangan hingga 73%. Lalu pada tahun 1963-1967 diadakan putaran
Kennedy perundingan GATT. Kemudian pada tahun 1973-1979 diadakan putaran Tokyo
perundingan GATT. Pada tahun 1974 pengaturan multifiber yang membatasi import tekstil.
Lalu pada tahun 1986 peluncuran putaran Uruguay di Panta del Este. Kemudian pada tahun
1994 di Marrakesh, para menteri GATT menyetujui Perjanjian Final Putaran Uruguay dan
setuju untuk membentuk World Trade Organizatin (WTO). Pada tahun 1 Januari 1995 WTO
berdiri. Sehingga dengan terbentuknya WTO sering diartikan juga dengan terbentuknya GATT
diharapkan semua persoalan dari negara-negara yang berkaitan dengan tariff dan
perdagangan internasional akan dapat diselesaikan dengan suatu aturan yang telah diterima
sebagai aturan penyelesaian bersama.
10

pastikan tidak mampu bersaing terutama dari segi kualitas barang dan
kuantitas barang yang secara teoritis memunculkan keengganan (hesitate) dan
ketakutan (barrier) untuk mengikuti perdagangan bebas.
5

Dengan demikian perdagangan dunia yang mengarah kepada
perdagangan bebas, menghadapi tantangan baru berupa tantangan dalam
bentuk perdagangan terkendali, perdagangan dengan regionalisme ekonomi,
serta yang lebih menarik lagi, muncul tantangan akibat rasa takut terhadap
globalisasi ekonomi dari berbagai kelompok masyarakat di negara maju,
maupun negara sedang berkembang. Slogan yang tidak menginginkan dan
menentang perdagangan bebas semakin meluas akibat proteksi yang justru
muncul dari negara maju sendiri sebagai sponsor utama free trade, sehingga
negara-negara yang ingin memasuki perdagangan bebas perlu melakukan
pengamatan dengan cermat, bagaimana dapat mengambil manfaat dari
perdagangan bebas pada abad ini.
6

Dengan kecenderungan pasar bebas dalam tatanan perdagangan
internasional yang berkembang saat ini, maka arus barang dan jasa bergerak
dengan mudah dan cepat. Transaksi antara pelaku perdagangan pada
akhirnya memanfaatkan instrument pembayaran internasional dalam transaksi
perdagangan internasional. Letter of Credit sebagai salah satu instrumen
pembayaran dalam transaksi perdagangan internasional juga mengalami
perkembangan melalui suatu ketentuan kebiasaan yang berlaku dan disatukan


5
Victor Purba, Ibid. hal.7

6
Ibid.
11

atau dilembagakan dalam bentuk Uniform Custom oleh International Chamber
of Commerce.
7


B. Sumber Hukum dalam Kegiatan Ekspor-Impor
Para pihak yang terlibat langsung atau tidak langsung terhadap Hukum
Dagang Internasional (kontrak jual beli) perlu sekali mengetahui apa yang
menjadi sumber hukum terhadap berlakunya kontrak ekspor-impor. Sumber
hukum tersebut yang mengatur dan mengendalikan beroperasinya kontrak
tersebut. Mulai dari saat pembentukan kontrak sampai dengan saat
eksekusinya jika ada pihak yang melakukan wanprestasi. Adapun sumber
hukum dalam kegiatan ekspor-impor dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Kontrak Jual Beli Barang
Perlu di pahami bahwa yang menjadi sumber hukum utama bagi suatu
jual beli internasional adalah contract provisions yang diatur di dalam Sales
Contract, yakni segala sesuatu yang telah diatur dalam kontrak yang telah
ditandatanagani oleh ke dua belah pihak. Hukum memandang kontrak sebagai
your own business. Artinya terserah pada para pihak mau mengatur bisnisnya
secara bagaimana dalam kontrak tersebut, sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan Hukum Nasional dari para pihak yang membuat kontrak.


7
Dalam perkuliahan Hukum Ekonomi dan Perdagangan Internasional pada
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Juajir Sumardi menjelaskan bahwa Letter of
Credit yang saat ini digunakan oleh para pelaku dagang internasional mengalami
perkembangan dan perkembangan itu dituangkan kedalam suatu model yang
dikembangkan oleh International Chamber of Commerce (ICC), khusus untul Letter of
Credit tersebut perkembangan terakhirnya tertuang di dalam UCP-600 (Uniform
Custom for Documentary Credit).
12

Pemberian keleluasaan kepada para pihak dalam melakukan kontrak
tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Freedom of Contract, dimana asas
freedom of contract ini juga diberlakukan oleh hukum Indonesia, yang dalam
hal ini terdapat di dalam KUH Perdata Buku III dan juga di dalam KUHD.
Dengan berlakunya asas freedom of contract tersebut maka sangat
diperlukan kehati-hatian para pihak dalam menandatangani suatu kontrak,
sebab yang di tandatangani tersebut itulah yang kelak akan menjadi hukum
yang mengikat dirinya. Perlu untuk diperhatikan bahwa di dalam hukum dikenal
adanya asas Pelepasan Kebebasan, yang berarti seseoranng bebas untuk
mengatur bisnisnya dalam suatu kontrak, namum setelah suatu kontrak
ditandatangani, kebebasan tersebut telah dilepaskan untuk kepentingan
bisnisnya itu, sehingga setelah ditandatanganinya suatu kontrak, freedom
(kebebasan)-nya sudah berakhir pula, dengan konsekuensi berganti pada
keterikatan yang timbul karena kontrak. Dengan demikian di satu pihak ada
kebebasan berkontrak, tetapi di lain pihak, ada pula ketidakbebasan atau
ketertarikan untuk tunduk pada ketentuan yang tercantum dalam kontrak.
8






8
Dalam pratek freedom of contract ini sudah mulai jarang ditemui, mengingat telah
adanya formulir-formulir baku atau standar yang merupakan persetujuan multilateral yang
harus ditaati oleh para pesertanya, seperti oleh KADIN Internasional (INCOTERM 1990) dan
ketentuan-ketentuan WTO. Tuntutan kecepatan dan keseragaman dalam lintas niaga
internasional sangat membatasi freedom of contract.





13

2. Hukum Kontrak Umum (General Contract Law)
KUH Perdata, yang juga merupakan salah satu dasar dan sumber
hukum bagi suatu kontrak, meyediakan aturan, antara lain yang bersifat
General Contract Law. Artinya banyak ketentuan dalam Buku Ketiga KUH
Perdata yang mengatur secara umum saja, seperti yang berlaku bagi seluruh
macam kontrak, apakah dalam bentuk jual beli, sewa-menyewa, tukar-
menukar, dan sebagainya. Apabila terhadap suatu jual beli internasional
berlaku hukum Indonesia, maka ketentuan umum dalam Buku Ketiga KUH
Perdata tersebut juga harus diterapkan.

3. Hukum Kontrak Khusus (Specific Contract Law)
Selain ketentuan-ketentuan umum tentang kontrak yang terdapat dalam
KUH Perdata, maka KUH Perdata juga mengatur tentang ketentuan-ketentuan
khusus yang berkenaan dengan kontrak-kontrak tertentu. Ada ketentuan
tentang jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, dan sebagainya. Terhadap
perjanjian jual beli internasional, jika yang berlaku hukum Indonesia, maka
berlaku juga ketentuan tentang perjanjian jual beli dalam KUHPerdata. Hal ini
ditemukan dalam pasal 1457 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1540
KUHPdt, yang pada prinsipnya mengatur tentang:
1) Ketentuan-ketentuan Umum ;
2) Kewajiban-kewajiban Penjual;
3) Kewajiban Pembeli;
4) Hak Membeli Kembali ; dan
14

5) Ketentuan-ketentuan khusus Mengenai Jual Beli Piutang dan Hak-hak atas
benda tidak berwujud lainnya.
Ketentuan ini pun akan mendapatkan penyelarasan dengan undang-
undang negara tertentu yang kerapkali berbeda dengan kaidah hukum
Indonesia. Untuk itu perjanjian multilateral akan banyak mewarnainya, serta
akan menjadi suatu petunjuk bagi negara-negara dalam penerapan hukum
kontraknya terhadap transaksi internasional yang dijalankan oleh warga
negaranya.

4. Kebiasan dalam Perdagangan Internasional
Dalam ilmu hukum diajarkan bahwa kebiasaan merupakan salah satu
sumber hukum dagang dan merupakan salah satu pedoman dalam
menginterpretasi kontrak bisnis termasuk Hukum Dagang Internasional.
Misalnya jika ada pemesanan pembelian letterhands sebanyak 1000 unit oleh
pihak pembeli dari pihak percetakan. Maka jika yang dikirim kemudian hanya
berjumlah 960 saja, tidaklah berarti pihak penjual atau pencetak telah ingkar
janji. Sebab, telah menjadi kebiasan dalam bisnis yang telah diterima secara
meluas dalam pratek bisnis sejenis bahwa terhadap pemesanan yang
demikian, kekurangan atau kelebihan tidak lebih dari 5% dapat ditoleransi.
Kecuali jika pihak pembeli telah memberitahukan bahwa keakuratan jumlah
menjadi faktor esensial, seperti misalnya pembeli akan membagikan kepada
persis 1000 orang, maka dalam hal demikian, sering ditafsirkan bahwa trade
usuge tersebut tidak mengikat kontrak bersangkutan. Artinya kalau kurang dari
1000 lembar maka penjual harus menambahnya.
15

5. Yurisprundensi
Adakalanya yang terdapat dalam praktek dagang sehari-hari kemudian
dikukuhkan dalam suatu yurisprundensi, yakni diputuskan oleh pengadilan
yang kemudian keputusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap.
Memang dalam sistem hukum Indonesia, seperti juga dalam negara-negara
dengan sistem hukum eropa kontinental lainnya, bahwa kekuatan dari
yurisprundensi tidak sekuat dari negara -negara yang menganut sistem hukum
anglo saxon, dengan teori precedent-nya.
Namun demikian yurisprudensi di negara-negara dengan sistem hukum
eropa kontinental tersebut tetap saja menjadi dasar hukumnya, terutama
terhadap hal-hal yang belum di atur dalam undang-undang, atau yang
memerlukan penafsiran-penafsiran terhadap suatu undang-undang. Dalam
bidang hukum dagang internasional, peranan yurisprudensi sebagai sumber
hukum kurang banyak digunakan dikarenakan banyak kasus yang diputus oleh
pengadilan atau oleh badan non-pengadilan, seperti arbitrase misalnya, tidak
terbuka untuk publik, sehingga tidak di ketahui oleh orang banyak. Karenanya
putusan pengadilan dan lembaga non-judisial seperti arbitrase tersebut banyak
tidak digunakan oleh para pihak sebagai sumber hukum yurisprudensi.
Untuk Indonesia dan negara-negara penganut civil-law lainnya
yurisprudensinya disebut yurisprudensi persuasive, sedang di Inggris dan
penganut common-law lainnya adalah yurisprudensi mutlak. Oleh karena itu
jarang yurisprudensi berperan dalam praktek perdagangan internasional.


16

6. Kaidah Hukum Perdata Internasional
Banyak juga kaidah hukum perdata internasional yang digunakan
terhadap suatu kontrak jual beli internasional. Hal ini terjadi karena transaksi
dalam transaksi perdagangan internasional melibatkan para pihak dari
berbagai negara, kemungkinan untuk timbul suatu konflik antara hukum di
negara yang satu dengan hukum negara lainnya tentunya besar. Apalagi
terhadap kontrak dagang rutin yang hanya memakai kontrak yang sangat
sederhana, sehingga pengaturan dalam kontrak sama sekali tidak jelas.
Sebagai contoh pentingnya masalah hukum perdata internasional dalam
transaksi perdagangan internasional adalah masalah hukum mana yang
seharusnya berlaku bila ada perselisihan jika dalam kontrak tidak dengan tegas
ditentukan untuk itu. Untuk hukum yang seharusnya berlaku ini, dalam hukum
perdata internasional di bidang bisnis telah berkembang beberapa teori. Tetapi
teori yang sangat dominan dan telah diterima secara meluas adalah apa yang
di kenal dengan the most characteristic connection rule. Menurut teori ini,
hukum yang berlaku adalah hukum para pihak yang mempunyai prestasi yang
sangat karakteristik. Dalam bidang jual beli internasional, maka hukum pihak
penjual yang berlaku karena mengandung paling karakteristik tersebut, dimana
secara logis nyata bahwa penjual menghadapi banyak pembeli sehingga harus
ada ketentuan yang lebih umum, apabila tidak, akan banyak klaim dari
pembeli-pembeli tertentu.

7. Kovensi Internasional (International Convention)
17

Internasional convention adalah kesepakatan-kesepakatan internasional
yang telah, sedang atau akan diratifikasi oleh banyak negara di dunia ini. Tentu
saja, ketentuan yang terdapat dalam konvensi-konvensi internasional tersebut
berlaku juga dalam perjanjian jual beli internasional bagi negara kedua belah
pihak tersebut, dimana negara dari kedua belah pihak yang melakukan
transaksi tersebut merupakan peserta konvensi sehingga menjadi bagian dari
hukum nasionalnya.
Konvensi-konvensi internasional yang khusus mengatur mengenai
perdagangan internasional diantaranya adalah:

(1) United nations convention on contract for the international sale of
Goods
Konvensi ini mengatur ketentuan yang seragam tentang perdagangan
internasional. Konvensi ini adalah hasil kreasi dari the United Nations
Commission on Trade Law (UNCITRAL) dari Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), yang kemudian diadopsi oleh konferensi diplomatik tanggal 11 april
1980.
Sungguhpun begitu, sebenarnya persiapan terhadap uniform law
mengenai perdagangan internasional ini sudah dilakukan sejak tahun 1930 di
international institute law for the unification of private law (UNIDROIT) di Roma.
Secara garis besar, konvensi ini berisikan hal-hal:
(a) Ruang lingkup aplikasi dan ketentuan umum.
(b) Formasi dari kontrak.
(c) Penjualan barang.
18

(d) Ketentuan penutup.

(2) Convention on the limitation period in the international sale of Goods
(New York, 1974)
Konvensi ini juga lahir dari hasil kerja pihak UNCITRAL dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa, yang kemudian diterima oleh General Assembly di New York
pada tanggal 14 juni 1974. Kemudian konvensi ini diamendemen pada tahun
1980, sehingga menjadi lebih aplikabel.
Konvensi ini berisikan keseragaman tentang ketentuan-ketentuan
mengenai daluwarsanya suatu gugatan yang berhubungan dengan jual beli,
sehingga di harapkan dapat memecahkan persoalan mengenai hal tersebut
yang sebelumnya sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya.
8. Ketentuan-ketentuan yang Diundangkan oleh Negara tertentu
Selain ketentuan-ketentuan seperti tersebut di atas, masih terdapat lagi
ketentuan-ketentuan lain yang juga berlaku dan harus diperhatikan oleh
mereka yang akan melakukan dan terlibat dalam suatu transaksi perdagangan
internasional, misalnya undang-undang dan aturan-aturan yang dikeluarkan
oleh pemerintah setempat yang berkenan dengan ekspor-impor, Letter of
Credit, Asuransi, Bill of Lading, Bill of Exchange, dan lain sebagainya.
Ketentuan-ketentuan Nasional yang diundangkan oleh baik negara dari
pihak eksportir maupun negara dari pihak importir secara yuridis mutlak
mengikat kedua belah pihak yang melakukan transaksi perdagangan
19

internasional. Oleh karena itu, prinsip supremasi hukum nasional sebagaimana
yang berlaku pada hukum kontrak internasional menjadi hal yang tidak dapat
diabaikan.
C. Subjek Hukum Dalam Hukum Perdagangan Internasional
Dalam aktivitas perdagangan internasional terdapat beberapa subjek
hukum yang berperan penting di dalam perkembangan hukum perdagangan
internasional. Maksud subjek hukum di sini menurut Huala Adolf,
9
adalah:
1. Para pelaku (stakeholders) dalam perdagangan internasional yang mampu
mempertahankan hak dan kewajibannya di hadapan badan peradilan; dan
2. Para pelaku (stakeholders) dalam perdagangan internasional yang mampu
dan berwenang untuk merumuskan aturan-aturan hukum di bidang hukum
perdagangan internasional.
Selanjutnya Huala Adolf,
10
mengemukakan bahwa batasan tersebut
sebagai tolok ukur, dimana subjek hukum yang dapat tergolong ke dalam
lingkup hukum perdagangan internasional adalah negara, organisasi
internasional, individu, dan bank. Uraian berikut akan menganalisis lebih lanjut
mengenai subjek hukum sebagaimana yang dideskripsikan oleh Huala Adolf
dalam bukunya yang berjudul Hukum Perdagangan Internasional.





9
Huala Adolf, Opcit. Hal.57

10
Ibid
20

1. Negara
a. Peran Negara
Negara merupakan subjek hukum terpenting di dalam hukum
perdagangan internasional. Sudah dikenal umum bahwa negara adalah subjek
hukum yang paling sempurna. Pertama, ia satu-satunya subjek hukum yang
memiliki kedaulatan.
Berdasarkan kedaulatan ini, negara memiliki wewenang untuk
menentukan dan mengatur segala sesuatu yang masuk dan keluar dari
wilayahnya Booysen sebagaimana dikutip oleh Huala Adolf
11
menggambarkan
kedaulatan negara ini sebagai berikut.
a state can absolutely determine whether anything from outside the
state. The state would also have the power to determine the conditions
on wich the goods may be imported into the state or exported to another
country. Every state would have the power to regulate arbitrarily the
conditions of trade.

Dengan atribut kedaulatannya ini, negara antara lain berwenang membuat
hukum (regulator) yang mengikat segala subjek hukum lainnya (yaitu individu,
perusahaan), mengikat benda dan peristiwa hukum yang terjadi dalam
wilayahnya termasuk perdagangan, di wilayahnya.
12

Kedua, negara juga berperan baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam pembentukan organisasi-organisasi (perdagangan)
internasional di dunia, misalnya WTO, UNCTAD, UNCITRAL, dan lain-lain.
13

Organisasi-organisasi internasional di bidang perdagangan internasional inilah


11
Huala Adolf, Opcit. hal.58.

12
Ibid.

13
Ibid.
21

yang kemudian berperan dalam membentuk aturan-aturan hukum
perdagangan internasional.
Ketiga, peran penting negara lainnya adalah negara juga bersama-sama
dengan negara lain mengadakan perjanjian internasional guna mengatur
transaksi perdagangan di antara meraka. Contoh perjanjian seperti ini adalah
perjanjian Friendship, Commerce and Navigation, perjanjian penanaman modal
bilateral, perjanjian penghindaran pajak berganda ,dan lain-lain
14
.
Keempat, negara berperan juga sebagai subjek hukum dalam posisinya
sebagai pedagang. Dalam posisinya ini, negara adalah salah satu pelaku
utama dalam perdagangan internasional. Menurut Huala Adolf, negara dengan
perusahaan negaranya mengadakan transaksi dagang dengan negara lainnya.
Negara memiliki sumber daya alam, perkebunan, pertambangan dan lain-lain.
Bahan-bahan alam ini di samping dikelola untuk kebutuhan di dalam negeri
juga perdagangkan (dijual) ke subjek hukum lainnya yang memerlukan.
Dalam melaksanakan fungsinya ini, tidak jarang negara membuat
badan-badan hukum milik negara. Di tanah air misalnya, untuk mengeksploitasi
dan memasarkan hasil pertambangan minyak, negara mendirikan Pertamina.
Untuk mengelola sumber daya air untuk kepentingan rakyat, negara
mendirikan perusahan air minum, dan seterusnya.
Sebagai suatu institusi yang besar, negara membutuhkan teknologi,
infrastruktur, kendaraan, pesawat kenegaraan, sumber-sumber kebutuhan
yang dibutuhkan rakyatnya (pengadaan barang dan jasa atau procurement).
Untuk memenuhi semua ini, negara membelinya dari para pihak yang


14
Hans Van Houtte, dalam Huala adolf, Ibid, hal.59.
22

menyediakannya (penjual atau supplier). Dengan demikian, negara dapat
bertindak sebagai pelaku dalam transaksi perdagangan.
15

Semua transaksi perdagangan tersebut tunduk pada aturan-aturan
hukum yang bentuk dan muatan pengaturannya bergantung pada jenis
transaksi. Ketika negara bertransaksi dagang dengan negara lain,
kemungkinan hukum yang akan mengaturnya adalah hukum internasional.
Ketika negara bertransaksi dengan subjek hukum lainnya, hukum yang
mengatur adalah hukum nasional (dari salah satu pihak).

b. Imunitas Negara
Salah satu masalah yang kerap timbul dalam kaitannya dengan negara
adalah atribut kedaulatan negara itu sendiri. Prinsip umum yang diakui adalah
bahwa dengan atribut kedaulatan, negara memiliki imunitas pengadilan negara
lain.
Arti imunitas di sini adalah bahwa negara tersebut memiliki hak untuk
mengklaim kekebalannya terhadap tuntutan (klaim) terhadap dirinya. Sheldrick
dengan tepat menggambarkan imunitas negara ini sebagai berikut:
Soverign immunity is a long-establihed precept of public international
law which requires that a foreign government or head of state cannot be
sued without its consent. In its traditional form,this rule applied to all
types suit, criminal and civil, including those arising out of purely
commercial transaction undertaken by the foreign sovereign,

Dalam perkembangannya, konsep imunitas ini mengalami pembatasan.
Minimal ada empat pembatasan terhadap muatan imunitas suatu negara ini.


15
Hercules Booysen, dalam Huala Adolf, Ibid, hal.60.
23

Pertama, pembatasan oleh hukum internasional. Dalam bertransaksi
dagang, hukum internasional, meskipun mengakui imunitas negara ini, tetapi
juga sekaligus membatasinya. Hukum internasional regional Eropa misalnya
memiliki di European convention on state immunity (16 Mei 1972). Konvensi
beranggotakan Austria, Belgia, Beland, Siprus, Jerman, Inggris, Luksemburg,
dan Swiss.
Hukum internasional juga mensyaratkan negara-negara untuk bekerja
sama dengan negara lain untuk memajukan ekonomi. Deklarasi mengenai
prinsip-prinsip hukum internasional antara lain menyatakan bahwa: States
have the duty to co-operate with one another, irrespective of the difference in
their political, economic and social system,.
Kedua, pembatasan oleh hukum nasional. Dewasa ini beberapa negara
memiliki undang-undang mengenai imunitas yang sifatnya membatasi imunitas
negara-negara (asing) yang melakukan transaksi dagang di dalam wilayahnya
atau dengan warga negaranya. Negara-negara yang memiliki undang-undang
seperti ini misalnya : Kanada (State Immunity Act 1982); Australia (Foreign
States Immunity Act 1985), Amerika Serikat (Foreign Sovereign Immunities Act
1976), dan Inggris (State Immunity Act 1978).
UU Inggris tahun 1978 menyatakan bahwa suatu negara tidak dapat lagi
mengklaim imunitasnya dalam persidangan yang berkaitan dengan:
16

a. Sengketa-sengketa mengenai transaksi komersial (dengan yang dilakukan
oleh suatu negara);


16
Ibid. hal.62
24

b. Sengketa-sengketa yang lahir dari adanya kontrak yang dilaksanakan
sebagian atau seluruhnya di Inggris;
c. Kontrak-kontrak ketenagakerjaan yang dibuat di Inggris atau yang berkaitan
dengan jasa-jasa yang dilaksanakan sebagaian atau seluruhnya di Inggris;
d. Tindakan-tindakan mengenai tort (dalam sistem hukum kita semacam
perbuatan melawan hukum) untuk menuntut ganti rugi karena meninggal,
luka-luka, atau kerugian terhadap harta benda, di mana tindakan tersebut
terjadi di inggris;
e. Sengketa-sengketa yang berkaitan dengan keanggotaan dalam suatu
perusahaan baik yang terdaftar atau yang memiliki kegiatan usaha
utamanya di Inggris;
f. Sengketa-sengketa yang berkait dengan klaim-klaim pengangkutan di laut
terhadap kapal atau muatan-muatan yang digunakan untuk tujuan-tujuan
komersial; dan
g. Sengketa-sengketa yang berkai dengan perpajakan atau cukai.
Ketiga, pembatasan secara diam-diam dan sukarela. Pembatasan ini
dianggap terjadi ketika suatu negara secara sukarela menundukkan dirinya ke
hadapan suatu badan peradilan yeng mengadili sengketanya. Apabila
pengadilan memanggil negara tersebut untuk menghadiri persidangan dan
negara tersebut mematuhinya, negara tersebut dianggap telah dengan
sukarela menanggalkan imunitasnya.
17


17
Ibid.
25

Keempat, kemungkinan lain yang menjadi indikasi pembatasan imunitas
ini adalah apabila negara memasukkan klausul arbitrase ke dalam kontrak
dagangnya. Dengan demikian dapat dianggap bahwa negara tersebut telah
meninggalkan imunitasnya untuk menghadap ke badan arbitrase yang
dipilihnya untuk menyelesaikan sengketa dagangnya.
Dengan adanya pembatasan-pembatasan tersebut, kekebalan suatu
negara untuk hadir di hadapan badan peradilan (nasional asing, internasional
atau arbitrase) tidak lagi berlaku.
Berdasarkan hukum internasional, suatu badan peradilan tidak dapat
menyita harta milik negara lain yang digunakan atau yang memiliki fungsi
pelayangan public (public services). Hukum internasional melarang suatu
negara menahan kapal perang asing yang sedang bersandar di pelabuhan
suatu negara asing atau menyita bangunan kedutaan negara asing.
18

2. Organisasi Perdagangan Internasional
a. Organisasi Internasional Antarpemerintah (Publik)
Organisasi internasional yang bergerak di bidang perdagangan
internasional memainkan peran yang signifikan. Organisasi internasional
dibentuk oleh dua atau lebih negara guna mencapai tujuan bersama.
Untuk mendirikan suatu organisasi internasional, perlu di bentuk suatu
dasar hukum yang biasanya adalah perjanjian internasional. Dalam perjanjian

18
Ibid. hal. 63
26

inilah termuat tujuan, fungsi dan struktur organisasi perdagangan internasional
yang bersangkutan.
Biasanya peran organisasi internasional dalam perdagangan
internasional kurang begitu signifikan. Memang oraganisasi internasional
membeli kebutuhan-kebutuhannya dari penjual (procurement), misalnya
computer, peralatan kantor/ administrasi telekomunikasi, transportasi, dan lain-
lain. Namun, procurement organisasi internasional tidak terlalu besar
kuantitasnya. Dari segi hukum perdagangan internasional pun organisasi
seperti ini lebih banyak bergerak sebagai regulator. Dalam kapasitasnya ini,
organisasi internasional lebih banyak mengeluarkan peraturan-peraturan yang
bersifat rekomendasi dan guideline.
19
Biasanya pun aturan-aturan seperti
rekomendasi atau guidelines tersebut lebih banyak ditujukan kepada negara.
Aturan-aturan tersebut jarang dimaksudkan untuk mengatur individu.
Di antara berbagai organisasi internasional yang ada dewasa ini,
organisasi perdagangan internasional di bawah PBB,
20
seperti UNCITRAL,
atau UNCTAD adalah organisasi internasioanl yang berperan cukup penting
dalam perkembangan hukum perdagangan internasional. UNCITRAL didirikan
Pada tahun 1966 berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2205 (XXI),
12 Desember 1966. Tujuan atau mandat utama badan ini adalah mendorong
harmonisasi dan unifikasi hukum perdagangan internasional secara progresif.


19
Pembuatan peraturan yang dilakukan oleh organisasi internasional tersebut pada
dasarnya merupakan fungsi dari organisasi internasional publik. Fungsi lainnya adalah fungsi
administrative, fungsi penyebarluasan informasi, fungsi penelitian, fungsi dukungan hukum.

20
Selama ini PBB lebih dikenal sebagai organisasi internasional yang bersifat politis. Bab
IX Piagam PBB sebenarnya memuat aturan-aturan khusus untuk pengembangan dan
kemajuan ekonomi dan social yang bertujuan, antara lain, meningkatkan standar hidup dan
pembangunan ekonomi dan social.
27

Dalam upayanya tersebut, UNCITRAL, disyaratkan juga untuk
mempertimbangkan kepentingan semua negara, khususnya negara sedang
berkembang dalam mengembangkan perdagangan internasional secara
ekstensif. Dalam teks aslinya mandat dalam Resolusi tahun 1966 tersebut
tertulis sebagai berikut:
21

Wish a mandate to further the progressive development of the law of
international trade and in that respect to bear in mind the interest of all
people, in particular those of developing countries, in the extensive
development of international trade.

UNCITRAL misalnya, telah melahirkan Vienna Convention on the
international Sale of Goods (1980); Convention the International Multi-moda
Transport (1980); UNCITRAL Arbitration Rules (1976); UNCITRAL Model Law
on Arbitration (1985), dan lain-lain.
Selain aturan-aturan yang mengatur masalah yang berkaitan dengan
perdagangan internasional, maka UNCTAD juga telah melahirkan berbagai
ketentuan internasional di bidang perdagangan yang juga cukup penting antara
lain: UN Convention on a Code of Conduct for liner Conference (1974); GSP
(1968); UN Convention on Carriage of Goods by sea (1978).
Organisasi perdagangan internasional yang dewasa ini berpengaruh
luas adalah GATT (1947) dengan ke-38 pasalnya yang semula hanya
mengatur perdagangan, namun pada tahun 1994 perannya digantikan oleh
World Trade Organization (WTO).


21
Huala Adolf, op.cit. hal.66.
28

Dengan lahirnya WTO, bidang pengaturannya menjadi sangat luas.
Hampir semua sektor perdagangan, jasa, penanaman modal, hingga hak atas
kekayaan intelektual, menjadi bidang cakupan pengaturan (perjanjian) WTO.

b. Organisasi Internasional Non-pemerintah
Di samping organisasi internasional antarpemerintah sebagaimana
dikemukakan di atas, terdapat subjek hukum lainnya yang juga cukup penting
yaitu NGO (Non-Governmental Organization) atau yang kerap kali disebut pula
dengan LSM internasional.
NGO internasional dibentuk oleh pihak (pengusaha) atau asosiasi
dagang, dimana peran penting NGO salah satunya adalah dalam
mengembangkan aturan-aturan hukum perdagangan internasional, dan peran
tersebut tidak dapat dipandang sebelah mata. Misalnya, ICC (International
Chamber of Commerce atau Kamar Dagang Internasional), telah berhasil
merancang dan melahirkan berbagai bidang hukum perdagangan dan
keuangan internasional, misalnya: INCOTERMS, Arbitration Rules dan Court of
Arbitration, serta Uniform Customs and Practices for Documentary Credits
(UCP).
Khusus untuk UCP, misalnya, aturan-aturannya sekarang sudah
menjadi acuan hukum sangat penting bagi pengusaha dalam melaksanakan
transaksi perdagangan internasional. Aturan-aturan UCP yang berkait dengan
sistem pembayaran melalui perbankan telah ditaati dan dihormati oleh
sebagian besar pengusaha-pengusaha besar di dunia.
29

Gambaran lainnya adalah ICC Arbitration Rules. Banyak pengusaha
besar di dunia telah memanfaatkan aturan arbitrase ICC untuk menyelesaikan
sengketa-sengketa dagang mereka. Dalam klausul-klasul kontrak dagang
internasional, para pengusaha telah cukup banyak mencantumkan klausul
arbitrase dengan mengacu kepada ICC Aribtration Rules untuk hukum
acaranya.

3. Individu
Individu adalah pelaku utama dalam perdagangan internasional, dimana
individulah yang pada akhirnya terikat oleh aturan-aturan hukum perdagangan
internasional. Selain itu, aturan-aturan hukum yang dibentuk oleh negara
memiliki tujuan untuk memfasilitasi perdagangan international yang dilakukan
individu.
22

Dibanding dengan negara atau organisasi internasional status individu
dalam hukum perdagangan internasional tidak terlalu penting. Biasanya
individu dipandang sebagai subjek hukum dengan sifat hukum perdata (legal
persons of a private law nature).
23

Individuitu sendiri hanya (akan) terikat oleh ketentuan-ketentuan hukum
nasional yang dibuat oleh negaranya. Oleh karena itu, individu tunduk pada
hukum nasionalnya (tidak pada aturan hukum perdagangan internasional). Dia
pun hanya dapat mempertahankan hak dan kewajibannya yang berasal dan
hukum nasionalnya tersebut di hadapan badan-badam peradilan nasional.


22
Ibid, hal. 68.

23
Ibid.
30

Apabila individu merasa bahwa hak-hak dalam bidang perdagangannya
terganggu atau dirugikan, yang dapat ia lakukan adalah meminta bantuan
negaranya untuk memajukan klaim terhadap negara yang merugikanya ke
hadapan badan-badan peradilan internasional. Mekanisme seperti ini misalnya
tampak pada GATT/WTO dan mahkamah Internasional. Hanya dalam
keadaan-keadaan tertentu saja suatu individu dapat mempertahankan hak-
haknya berdasarkan suatu perjanjian internasioanal. Individu misalnya
diperkenankan untuk mengajukan tuntutan kepada negara berdasarkan
Konvensi ICSID.
Konvensi ICSID mengakui hak-hak individu untuk menjadi pihak di
hadapan badan arbitrase ICSID. Namun demikian, hak ini bersifat terbatas.
Pertama, sengketanya hanya dibatasi untuk sengketa-sengketa di bidang
penanaman modal yang sebelumnya tertuang dalam kontrak. Kedua, negara
dari individu yang bersangkutan harus juga disyaratkan untuk telah menjadi
anggota Konvensi ICSID (Konvensi Washington 1965). Persyaratan ini sifatnya
mutlak, dimana Indonesia telah meratifikasi dan mengikatkan diri terhadap
Konvensi ICSID melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968.
Status individu sebagai subjek hukum perdagangan internasional
tetaplah tidak boleh dipandang kecil. Aturan-aturan di bidang perdagangan
yang mereka buat sendiri kadang-kadang memiliki kekuatan mengikat seperti
halnya hukum nasional.
Contoh nyata adalah aturan-aturan yang tergolong ke dalam Lex
Mercatoria atau hukum para pedagang. Salah satu wujudnya adalah seperti
yang telah diutarakan di atas, adalah the Uniform Customs and Pratice for
31

Documentay Credit (UCP). Meskipun UCP tidak diundangkan sebagaimana
layaknya hukum nasional, namun para pengusaha sangat menghormati dan
menaati ketentuan-ketentuan dalam UCP.

4. Perusahaan Transnasional
Perusahaan transnasional adalah istilah yang diberikan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal ini dapat terlihat dalam draft yang
dibuat oleh PBB dengan judul Draft United Nations Code of Conduct on
Transnational Corporations, yang dengan jelas menggunakan istilah
transnational Corporation atau perusahaan transnasional.
Para pakar ekonomi lebih sering menggunakan istilah Multi
National Enterprise atau perusahaan multi nasional, sebagaimana
pernyataannya dalam meeting OECD sebagai berikut:
Multinational Enterprise usually corporise of companies or other entities
whose ownership is private, state, or mixed, established in different
countries and so linked that one or more of them may be able to
exercise a significant influence over the activities of others and in
particular, to share knowledge and resources with the others.
24

Dengan memperhatikan draft yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) dan hasil meeting OECD, tampaknya terdapat dua istilah
terhadap objek yang sama, yaitu perusahaan transnasional dan perusahaan
multinasional.
25



24
Baca lebih lanjut Sumantoro, Kegiatan Perusahaan Transnasional, (Jakarta:
Gramedia, 1987), hal. 35.

25
Juajir Sumardi menggunakan istilah perusahaan transnasional, oleh karena
menurutnya lebih tepat untuk menunjukkan adanya perusahaan induk di suatu
32

Menurut Robert L. Hulbroner,
26
yang dimaksud dengan perusahaan
multinasional adalah perusahaan yang mempunyai cabang dan anak
perusahaan yang terletak di berbagai negara. Demikian J. Panglaykim,
27

menyatakan bahwa perusahaan transnasional adalah suatu jenis perusahaan
yang terdiri dari bermacam-macam kelompok perusahaan yang bekerja dan
didirikan di berbagai negara, tetapi semuanya diawasi oleh satu pusat
perusahaan.
Menurut Sumantoro,
28
perusahaan transnasional pada dasarnya
mengacu pada sifat melampaui batas-batas negara, baik dalam pemilikan,
maupun dalam kegiatan usahanya. Sedangkan Helga Hernes,
29
menyatakan
dalam salah satu tulisannya tentang perusahaan transnasional ini sebagai
berikut:
Multinational corporations are powerful organizations by virtue of their
integrated management, their control over large resources, their
influence...the market, their role as employer, their role in the transfer of
technology and their role as agents of development.

negara tertentu yang mempunyai cabang di negara lain, sehingga terlihat adanya
dominasi satu negara terhadap perusahaan yang ada di negara lainnya. Di samping
itu, PBB sebagai organisasi internasional yang utama telah menggunakan istilah
perusahaan transnasional. Dari istilah perusahaan transnasional inilah muncul
istilah "home country" dan "host country". Home country merupakan istilah untuk
menunjukkan negara di mana perusahaan berpusat, sedang host country adalah
istilah untuk menunjukkan negara lain yang merupakan tempat perusahaan tersebut
melakukan operasinya atau kegiatannya. Baca lebih lanjut Juajir Sumardi, 2012,
Hukum Perusahaan Transnasional dan Franchise, Makassar: Arus Timur.

26
K. Saran, Perusahaan Multinasional Dalam Tata Ekonomi Internasional Baru,
(Ujung Pandang: FH Unhas, 1990), hal. 47.

27
Panglaykim, "Perusahaan Multinasional dalam Bisnis Internasional", Analisa
CSIS, (Jakarta: CSIS, 1983), hal. 14. Dari pengertian Panglaykim tersebut, menurut
hemat penulis terlihat adanya satu dominasi dari suatu perusahaan terhadap
perusahaan lainnya yang ada di negara-negara lain.

28
Baca Sumantoro, Op.cit., hal. 38.

29
Baca Mappangaja, Op.cit, hal.33.
33

Apa yang dipaparkan Helga Hernes tersebut jelas melukiskan bahwa
perusahaan multinasional merupakan suatu organisasi yang mempunyai
kekuatan, di mana manajemennya menyatu, di bawah satu kontrol, dapat
mempengaruhi pasar dan dapat mentransfer teknologi dari negara maju ke
negara yang ditempati beroperasinya perusahaan transnasional, serta alat
untuk membangun suatu negara.
Dengan memperhatikan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa
penulis seperti tersebut di atas, penulis menyimpulkan, bahwa yang dimaksud
dengan perusahaan transnasional adalah perusahaan yang dalam kegiatan
operasionalnya melintasi batas-batas kedaulatan suatu negara di mana
perusahaan tersebut pertama didirikan untuk membentuk anak perusahaan di
negara lain yang dalam operasionalnya dikendalikan oleh perusahaan
induknya.
Dengan banyaknya peraturan tentang perusahaan transnasional
diberbagai negara,
30
serta adanya perbedaan satu sama lain, maka mulailah
dirintis oleh PBB suatu prinsip umum yang bersifat universal melalui salah satu
badannya yang disebut ECOSOC,
31
yaitu apa yang diberi nama dengan "Code
of Conduct on Transnational Corporation".


30
Peraturan perusahaan transnasional di Indonesia dapat ditemukan dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penanaman modal asing,
yaitu UU No. 1 Tahun 1967, beserta berbagai peraturan pelaksanaannya. Saat ini UU
No. 1 Tahun 1967 tidak berlaku lagi dan digantikan dengan keberlakuan Undang-
Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

31
ECOSOC adalah singkatan dari United Nations Economic and Social Council,
yaitu suatu organ khusus PBB yang menangani masalah-masalah ekonomi dan sosial.
34

Menurut Mochtar Kusumaatmadja,
32
Code of Conduct on Transnational
Corporations yang merupakan hasil dari ECOSOC tersebut hanya merupakan
sumber hukum tambahan,
33
yang akan mengikat sebagai hukum (legally
binding) apabila digunakan oleh hakim sebagai dasar hukum untuk
memecahkan suatu sengketa internasional mengenai perusahaan
transnasional. Dengan perkataan lain, tidak mempunyai kekuatan mengikat
yang langsung, namun mempunyai kekuatan tidak langsung dalam perannya
membentuk unsur psikologis dalam hukum kebiasaan internasional.
Pengaturan tentang perusahaan transnasional juga terdapat dalam
Deklarasi Tata Ekonomi Internasional Baru,
34
yang dicanangkan sejak tahun
1974, di mana butir ke-4 menyatakan suatu ketegasan sikapnya tentang
pengaturan kegiatan perusahaan transnasional sebagai berikut:


32
Baca Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional Bagian I Umum,
(Bandung: Binacipta, 1982).

33
Secara yuridis sumber hukum internasional dalam arti formal ditemukan pada
Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, yaitu: Perjanjian internasional,
Kebiasaan-kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum yang diakui oleh bangsa-
bangsa beradab, keputusan Pengadilan dan ajaran para sarjana yang terkemuka dari
berbagai bangsa. Sumber keempat merupakan sumber tambahan yang di antaranya
berupa keputusan badan perlengkapan dari lembaga internasional seperti ECOSOC
dan lain-lain.

34
Berdasarkan tuntutan negara-negara berkembang untuk menciptakan tata
hubungan ekonomi internasional yang lebih adil, maka Majelis Umum PBB
mengeluarkan Resolusi 3201 tahun 1974 tentang "Tata Ekonomi Internasional Baru".
Resolusi yang berisi tuntutan dan anjuran (rekomendasi) tersebut kemudian
diteguhkan dalam Resolusi 3201 Tahun 1974 tentang "Programme of Action on the
Establishment of a New International Economic Order". Akhirnya pada tahun yang
sama dalam bulan Desember telah ditetapkan pula "Charter of Economic Rights and
Duties of States" yang mengatur dan menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
ekonomi setiap negara.

35

To regulate and supervise transnational corporation by taking measure
in the interest of the national economics of the countries where such
corporation operate on the basis of full sovereignty of those countries.
Selanjutnya dalam Bab II Pasal 2 (b) CERDS,
35
diatur mengenai hak
negara terhadap perusahaan transnasional, yaitu:
To regulate and supervise the activities for transnational corporation
within its national jurisdiction and take measures to ensure that such
activities comply with its laws, rule and regulations and conform with its
economic and social policies. Transnational corporation shall not
intervene in the internal affairs of a host state.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam dokumen Tata Ekonomi
Dunia Baru seperti dikemukakan di atas, terlihat bahwa terjadi pendelegasian
hukum dari masyarakat internasional kepada tiap-tiap negara untuk memiliki
wewenang mengatur kegiatan perusahaan transnasional di wilayah yang
menjadi yurisdiksinya. Dengan demikian, status hukum perusahaan
transnasional diakui oleh hukum internasional juga sebagai subjek hukum
nasional di mana perusahaan tersebut menjalankan operasinya.
Ketegasan status hukum perusahaan transnasional sebagai subjek
hukum di negara di mana perusahaan tersebut beroperasi (host country),
selanjutnya dapat dilihat pada Pasal 55 dari Code of Conduct on Transnational
Corporations sebagai berikut:
Entities of transnational corporations are subject to the jurisdiction of the
countries in which they operate. An entity of transnational corporation
operating in a given country in respect of its operations in that country to
be delayed.


35
CERDS adalah singkatan dari "Charter of Economic Right and Duties of States',
yaitu suatu charter yang dihasilkan dari Resolusi Sidang Umum PBB 3281 (XXIX)
pada tanggal 12 Desember 1974.
36


Hukum nasional Indonesia ternyata juga memberikan kepada
perusahaan transnasional status sebagai subjek hukum nasional dengan
mendudukkannya sebagai badan hukum. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
yang mengatur sebagai berikut:
(1) Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk
badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum
atau usaha perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas
berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah
negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-
undang.
(3) Penanam modal dalam negeri dan asing yang melakukan
penanaman modal dalam bentuk perseoran terbatas dilakukan
dengan:
a. mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan
terbatas;
b. membeli saham; dan
c. melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sebagaimana
dikemukakan di atas, maka perusahaan transnasional yang akan melakukan
kegiatan di Indonesia wajib membentuk badan hukum Indonesia, khususnya
dalam bentuk perseroan terbatas. Dengan demikian, keberadaan perusahaan
transnasional di Indonesia harus tunduk pada hukum Nasional Indonesia. Oleh
karena itu, perusahaan transnasional yang beroperasi di Indonesia dengan
membentuk badan hukum perseroan terbatas berdasarkan hukum Nasional
Indonesia jelas menjadi subjek hukum Nasional Indonesia. Walaupun
37

demikian, berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, kekuasaan tertinggi dalam suatu perseroan terbatas tetap
berada pada Rapat Umum Pemegang Saham, di mana perseroan terbatas
yang dibentuk oleh perusahaan transnasional umumnya saham terbesarnya
dimiliki oleh perusahaan transnasional yang berkedudukan di negara asal mula
dibentuknya perusahaan transnasional tersebut (home country).
Dalam rangka melakukan kegiatan usaha di Indonesia, perusahaan
transnasional melalui anak perusahaan atau perseroan terbatas yang didirikan
menurut hukum Indonesia yang sahamnya dimiliki oleh perusahaan
transnasional berdasarkan hukum Indonesia mendappat perlindungan hukum
dan perlakuan yang sama dengan perusahaan-perusahan nasional. Hal ini
diatur secara tegas dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
sebagai berikut:
(1) Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua
penanam modal yang berasal dari negara mana pun yang
melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
penanam modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa
berdasarkan perjanjian dengan Indonesia.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa kepentingan perusahaan
transnasional yang melakukan aktivitasnya dalam rangka menanamkan
modalnya di Indonesia menurut hukum Indonesia mendapat pengakuan dan
perlindungan yang seimbang dengan perusahaan-perusahaan nasional.
Perusahaan transnasional adalah suatu bentuk perusahaan yang
memiliki pengetahuan luas serta bersifat universal tentang teknik-teknik
38

produksi dan penjualan. Dengan kelebihan-kelebihan ini, maka perusahaan
transnasional tumbuh dan berkembang ke seluruh dunia. Pertumbuhan ini
terjadi karena perusahaan transnasional beroperasi dalam lingkungan yang
baru, suatu lingkungan yang justru banyak kekurangan unsur-unsur yang
sesungguhnya diperlukan dalam tata dunia yang tersusun baik.
Perusahaan transnasional jauh lebih kecil dimotivasi oleh dorongan
kedaulatan nasional, sehingga mereka dapat mengadakan ikatan yang jauh
lebih erat antar manusia dan perusahaan dari pelbagai kebangsaan. Ikatan
yang lebih erat itu pasti berguna untuk memperkokoh kerja sama, dan kita
dapat pula berharap ikatan itu akan menjurus kepada hubungan yang lebih
manguntungkan satu sama lain.
Sebagai konsekuensi logis dari kecilnya dorongan kedaulatan nasional,
maka dewasa ini telah banyak terbentuk perusahaan transnasional. Hal ini
semakin memperlihatkan bahwa dalam kondisi kekinian, perusahaan
transnasional telah menjadi aktor-aktor baru dan utama dalam panggung
ekonomi internasional.
Kemampuan perusahaan transnasional dalam memindahkan modal,
teknologi dan enterpreneurship melampaui batas-batas negara dalam dunia
yang semakin mengglobal dewasa ini telah memungkinkan perusahaan
transnasional menjelma menjadi alat utama dalam internasionalisasi di bidang
produksi. Internasionalisasi produksi merupakan salah satu aspek yang penting
dalam hubungan internasional saat ini.
Peranan perusahaan transnasional di negara-negara industri dapat
dilihat sebagai menyatunya berbagai ekonomi serta menambah
39

kebergantungan antara negara,
36
sedangkan bagi negara sedang berkembang
terdapat suatu laporan bahwa jumlah modal yang berasal dari perusahaan
transnasional sudah lebih besar dibandingkan dengan modal yang datang dari
negara-negara industri dan modal domestik.
37

Dengan mengandalkan berbagai keunggulan yang dimilikinya,
perusahaan transnasional dapat berperan membantu pembangunan ekonomi
suatu negara, khususnya negara-negara sedang berkembang. Oleh karena itu,
menurut hemat penulis, minimal terdapat empat fungsi dari perusahaan
transnasional, yaitu:
1. Selaku penanam modal asing bagi negara-negara yang sedang
membutuhkannya.
2. Merupakan pemasok teknologi ke negara tempat beroperasinya
perusahaan transnasional tersebut.
3. Dapat berfungsi sebagai penyalur bantuan dari negara-negara maju
maupun dari lembaga-lembaga internasional kepada negara-negara
berkembang atau yang membutuhkannya.
4. Sebagai suatu tempat untuk mendapatkan keterampilan dalam bekerja,
melalui suatu pengkaderan tenaga kerja dari negara di mana perusahaan
tersebut beroperasi.
Walaupun terdapat fungsi yang positif yang dimungkinkan oleh
kehadiran perusahaan transnasional seperti yang penulis kemukakan di atas,
namun perlu disadari oleh negara-negara host country untuk benar-benar


36
Baca Panglaykim, Perusahaan Multinasional Dalam Bisnis Internasional,
(Jakarta: Analisa CSIS, 1983), hal. 33.

37
Perhatikan Mappangaja, Op.cit, hal. 66.
40

mempertimbangkan tentang keuntungan-keuntungan tersebut dalam
prakteknya. Betapa tidak, dibalik keuntungan tersebut sering didapati berbagai
tindakan yang tidak adil, sebab motif utama untuk mendapatkan keuntungan
sebesarnya sering menimbulkan praktek pembagian keuntungan yang tidak
adil.

D. Kontrak Jual Beli Barang Internasional
Perkembangan globalisasi perdagangan internasional, baik
perdagangan barang dan jasa, menuntut penyesuaian aturan hukum, termasuk
dalam bidang hukum kontrak. Kesesuaian antara hukum kontrak nasional yang
mengatur kegiatan perdagangan internasional dengan instrumen internasional
yang relevan, dalam hal ini CISG beserta aturan-aturan yang melengkapinya
harus terus dicermati dalam konteks pengembangan aturan hukum
nasionalnya.
38

Konvensi mengenai hukum yang berlaku terhadap jual beli barang
internasional (Convention on the Law Applicable to International Sale of
Goods) tahun 1955 adalah konvensi yang memuat aturan-aturan yang
seragam. Konvensi ini dapat dipandang sebagai salah satu upaya awal
masyarakat internasional untuk menciptakan harmonisasi hukum di bidang
hukum kontrak internasional.
39

Dari mukadimah (Preamble) Konvensi, tampak tujuan dari konvensi ini
adalah berupaya menghasilkan common provisions atau aturan-aturan yang


38
http://www.bphn.go.id/data/documents/pk-2012-2.pdf

39
Huala Adolf,2011,instrumen-instrumen hukum tentang kontrak internasional,
Bandung: CV. Keni Media, hlm.67
41

seragam mengenai hukum yang berlaku terhadap jual beli barang
internasional.
Tujuan ini penting untuk praktek perdagangan internasional Negara di
dunia dengan sistem hukum (kontrak) yang satu sama lain berbeda, sedikit
banyak akan menjadi rintangan atau hambatan bagi kelancaran perdagangan
internasional. Dengan kehadiran konvensi ini, diharapkan rintangan dapat
ditangani.
Konvensi memuat satu prinsip penting, yaitu prinsip kesepakatan para
pihak (consensus) atau the consent of the parties, dalam hal ini konvensi
mensyaratkan adanya konsesus tersebut dari dua keadaan berikut:
1) Pernyataan tegas dari para pihak; atau
2) Konsensus yang dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam kontrak (consensus secara implicit atau diam-diam).
Dari ke-12 pasal yang diatur dalam konvensi tersebut, dapat dibagi ke
dalam 5 bagian, yaitu:
1) Ruang lingkup berlakunya konvensi, yaitu konvensi ini hanya berlaku
untuk jual beli barang yang sifatnya internasional (Pasal 1). Konvensi tidak
berlaku untuk jual beli surat berharga, perahu atau pesawat udara atau jual
beli barang karena adanya putusan pengadilan. Konvensi hanya berlaku
untuk jual beli yang dituangkan ke dalam dokumen (tertulis atau kontrak
tertulis). Konvensi tidak pula berlaku untuk penentuan kemampuan
seseorang mensyaratkan bentuk kontrak; peralihan kepemilikan ;akibat-
akibat dari perjanjian terhadap pihak lainnya (pihak ke-3) (Pasal 5);
42

2) Prinsip pemilihan hukum yang berlaku terhadap kontrak jual beli barang
internasional (Pasal 2);
3) Ketentuan hukum yang berlaku (Pasal 3)
4) Pengecualian terhadap kesepakatan para pihak untuk memilih hukum yang
berlaku. Pasal 6 Konvensi menyatakan bahwa kesepakatan para pihak
tidak akan berlaku apabila penerapan hukum yang dipilih oleh para pihak
ternyata bertentangan dengan kepentingan umum (public policy);
5) Pemberlakuan aturan-aturan konvensi ke dalam hukum nasional suatu
negara (bagi negara yang meratifikasi Konvensi); dan
6) Aturan-aturan penutup (Closing Provisions), yang memuat pasal-pasal
mengenai ratifikasi, pengakhiran keanggotan; dan deposit instrumen
ratifikasi.
Konvensi-konvensi internasional selanjutnya yang merupakan
pengembangan dari konvensi jual beli barang internasional yang dibentuk pada
tahun 1955 dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Konvensi mengenai Hukum yang Seragam tentang Jual Beli Barang
Internasional tahun 1964 (Convention relating to a Uniform Law on the
International Sale of Goods 1964);
2. Konvensi mengenai Hukum yang Seragam tentang Pembentukan
Kontrak untuk Jual Beli Barang Internasional, 1964 (Convention relating
to a Uniform Law on the Formation of Contracts for the International
Sale of Goods, 1964);
43

3. Konvensi PBB mengenai Jual Beli Barang Internasional, 1980 (United
Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods,
1980).

E. Kebijaksanaan Perdagangan Internasional
Kebijaksanaan perdagangan internasional dapat dibedakan atas
kebijaksanaan perdagangan di bidang ekspor dan kebijaksanaan perdagangan
di bidang impor. Kebijaksanaan di bidang ekspor diartikan sebagai tindakan
dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang akan mempengaruhi
struktur, komposisi dan arah transaksi serta kelancaran usaha untuk
peningkatan devisa ekspor suatu negara. Pada umumnya kebijaksanaan
perdagangan di bidang ekspor dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu
kebijaksanaan ekspor di dalam negeri dan kebijaksanaan ekspor di luar negeri
negeri.
Kebijaksanaan ekspor di dalam negeri diantaranya adalah adalah: (1)
kebijaksanaan perpajakan dalam bentuk keringanan, pengembalian pajak atau
pengenaan pejak ekspor untuk barang-barang tertentu, misalnya pajak ekspor
atas CPO (crude palm oil); (2) fasilitas kredit perbankan untuk mendorong
peningkatan ekspor barang-barang tertentu; (3) pelaksanaan tata lakasana
ekspor yang relatif mudah atau tidak berbelit-belit; (3) pemberian subsidi
ekspor, seperti pemberian sertifikat ekspor; (4) pembentukan asosiasi ekspor;
(5) pembentukan kelembagaan seperti bounded warehause (Kawasan Berikat
Nusantara), export procesing zone, pelabuhan bebas dan lain-lain; dan (7)
larangan /pembatasan ekspor, misalnya larangan ekspor CPO oleh
44

pemerintah, karena CPO merupakan bahan mentah untuk industri minyak
goreng yang sangat dibutuhkan di dalam negeri.
40

Sedangkan kebijaksanaan ekspor di luar negeri diantaranya adalah
berupa: (1) pembentukan International Trade Promotion Centre di berbagai
negara, seperti di Jepang, Eropa dan Amerika Serikat ; (2) pemanfaatan
fasilitas GSP (General System of Preferency), yaitu fasilitas keringanan bea
masuk yang diberikan negara-negara industri untuk barang manufakturing
yang berasal dari negara berkembang seperti Indonesia; (3) menjadi anggota
asosiasi produser seperti OPEC, dan lain-lain.
41

Pada intinya Kebijaksanaan di bidang ekspor bertujuan untuk
mengontrol arus ekspor, baik dalam bentuk mendorong atau menghambat
ekspor. Pada umumnya negara-negara melakukan kebijaksanaan dibidang
ekspor adalah untuk mendorong peningkatan ekspor, karena dengan makin
besar ekspor akan berpengaruh terhadap pendapatan nasional.
Kebijaksanaan yang mendorong ekspor akan meningkatkan pendapatan
nasional dan memperluas kesempatan kerja, peningkatan penerimaan devisa
dan pengembangan teknologi.
Dalam Keseimbangan makro perekonomian terbuka, yang dirumuskan
dengan: Y = C + I + G + (X - M), apabila terjadi perubahan dalam arus
perdagangan internasional (X-M) akan berpengaruh terhadap pendapatan
nasional (Y). Jika ekspor (X) meningkat maka pendapatan (Y) juga akan
meningkat, karena itu kebijakan yang bertujuan untuk mendorong ekspor


40
https://www.google.co.id/search?q=kebijakan+ekspor+impor&hl=id, diakses
pada tanggal 21 Nopember 2013.

41
Ibid.
45

adalah kegiatan yang logis, karena secara langsung berpengaruh terhadap
pendapatan nasional (Y). Disamping itu kenaikan ekspor akan berpengaruh
positif terhadap penciptaan kesempatan kerja.
42

Pemberian subsidi ekspor tentu tidak disukai oleh negara-negara yang
menjual produk yang sama di pasar internasional karena pemberian subsidi
jelas menyebabkan persaingan tidak jujur (unfair trade). Contohnya adalah
protes dari Amerika Serikat terhadap produk tekstil Indonesia yang disebabkan
pemberian subsidi ekspor yang berupa sertifikat ekspor. Ketentuan GATT
jelas-jelas melarang pemberian subsidi ekspor, khususnya produk-produk
industri dan secara parsial untuk produk pertanian.
43

Disamping kebijakan untuk mendorong peningkatan ekspor, sering juga
dijumpai kebijaksanaan yang bertujuan untuk menghambat ekspor. Beberapa
alasan mengapa kebijakan ini diambil adalah:
44

a. barang yang diekspor sangat diperlukan oleh konsumen DN, sehingga
apabila barang ini diekspor dalam jumlah yang besar maka harga produk
tersebut akan naik dan sulit diperoleh. Jika barang tersebut merupakan
barang kebutuhan pokok atau sebagai input bagi industri di dalam negeri
sehingga akan menggangu jalannya perekonomian. Misalnya yang pernah
dilakukan adalah pajak ekspor atas CPO, karena CPO merupakan bahan
baku utama dalam pembuatan minyak goreng yang sangat dibutuhkan di
dalam negeri;

42
Ibid.
43
Ibid.
44
Ibid.
46

b. mengurangi pengaruh inflasi dari LN, sehingga pengurangan ekspor dapat
menekan turunnya harga;
c. dapat memperbaiki nilai tukar perdagangan (term of trade, TOT) apabila
pangsa pasar dari ekspor negara tersebut cukup besar. Pengendalian
ekspor akan dapat meninggkatkan harga produk tersebut. Contoh yang jelas
adalah pengendalian produksi minyak dunia yang dilakukan oleh negara-
negara OPEC;
d. sebagai senjata ekonomi untuk kepentingan politik luar negeri-nya, yaitu
melakukan embargo produk-produk tertentu tertentu ke negara-negera
tertentu. Misalnya embargo ekonomi oleh negara Amerika Serikat dan
sekutunya terhadap Iran, embargo peralatan militer oleh Amerika Serikat
terhadap Indonesia, dan lain-lain.

F. Sistem Pembayaran Dalam Transaksi Perdagangan Internasional
Terdapat beberapa macam pembayaran atas sales contract di dalam
perdagangan internasional, yaitu sebagai berikut :
1. Pembayaran dengan Open Account
Pembayaran jenis ini merupakan sight payment, yang dalam hal ini
exportir mengenal status financial dari pemberli dan tidak terdapat keraguan
tentang kempuan membayar dari pembeli. Eksportir mengirimkan dokumen
kepada pembeli dan kemudian pembeli melakukan remittance harga yang
disetujui dengan T/I atau M/T. Remittance dilakukan melalui Bank pembeli.
Sight payment juga dapat dilakukan oleh eksportir yang menjual kepada
cabang luar negeri dari perusahaan pembeli atau subsidiary-nya.
47

Dalam hal eksportir tidak mengenal status financial dari pembelian maka
pembayaran dapat dilakukan berupa cash against document atau cash on
delivery.
Sedangkan untuk contrak F.O.B dan C.I.F pembayaran dilakukan melalui
documentary credit oleh bank ditempat penjual.

2. Bill of Exchange
Biasanya pembeli membayar hatga barang melalui meminta exportir
menarik Bill of Exchange. Dalam hal ini keuntungannya ialah bagi penjual
memperoleh negotiable instrument dan bagi pembeli kepadanya diberikan
waktu untuk menyiapkan pembayaran. Terdapat 3 pihak dalam Bill of
Exchange yaitu:
1. Export Ltd. (drawer, penarik);
2. Import Inc. (drawer, tertarik);
3. Bank (payee, pembayaran).
Ketiga pihak tersebut masing-masing bertanggung jawab menghormati Bill of
Exchange:
a. Penarik yang menarik
b. Drawee, menerima bill of exchange dan menjadi akseptor.
c. Payee dengan melakukan indorsing dari bill of exchange adalah indorser.
Bill of Exchange adalah negotiable instrument (dapat diperdagangkan) yaitu
dapat ditransfers melalui indorsement. Cheque adalah bill of exchange yang
dialamatkan kepada Bank yang bersifat payable (dapat diuangkan) atas
permintaan (on demand). Bill of Exchange diterbitkan untuk seseorang yang
48

payable (dapat diuangkan) misalnya 3 bukan setelah tanggal yang ditentukan
atau 10 hari setelah ditunjukkan.

3. Documentary Credits
Kadang-kadang documentary credit disebut Bankers Commercial
Credits. Pembayaran melalui documentary credit adalah metode yang aman
bagi penjual untuk memperoleh harga dari penjualan barangnya, dimana
prosesnya mengikuti urut-urutan sebagai berikut :
1. Pembeli memberikan instruksi kepada banknya yang disebut The Issuing
Bank untuk membuka kredit bagi penjual.
2. Melalui bank di negara penjual ditunjuklah bank tersebut The
Correspondent Bank.
3. Bank memberitahu penjual tentang pembukaan kredit.
4. Penjual memperoleh pembayaran dengan menunjukkan dokumen-
dokumen yang benar kepada bank.

4. Letter of Credit (L/C)
L/C adalah cara pembayaran untuk barang dan jasa yang disupplai
penjual untuk pembeli dan merupakan fasilitas yang digunakan untuk
pedagang-pedagang di negara yang berbeda-beda. Pedagang yang
membutuhkan pembayaran transaksi tersebut minta kepada banknya
mengeluarkan documentary credit.
Pembayaran dengan L/C harus tercantum di dalam sales contract.
Prosesnya ialah bahwa penjual menyerahkan dokumen transaksi pada
49

correspondent bank untuk memperoleh reimbursement dari the issuing bank.
Pembayaran dengan L/C ini menunjukkan bahwa Bank bekerja atas dasar
anatomi Letter of Credit dan bank akan membayar atas penyerahan correct
documents (dokumen-dokumen yang benar) .
Adapun tahapan Documentary Credit yang dilakukan sebagai instrument
pembayaran dalam transaksi perdagangan internasional dapat dikemukakan
sebagai berikut:
45

a. Penjual dan pembeli di luar negeri setuju di dalam sales contract bahwa
payment dilakukan menurut documentary credit.
b. Pembeli memberikan instruksi kepada bank dikediamannya (The Issuing
Bank) untuk membuka documentary credit untuk penjual.
c. The Issuing Bank mengatur dengan bank domisili penjual (Correspondent
Bank) untuk melakukan negosiasi, menerima atau membayar exporter draft
atas penyerahan dari dokumen pengelapan.
d. Correspondent Bank memberitahu kepada penjual untuk menegosiasi,
menerima atau membayar exporter draft atas penyerahan dokumen
pengapalan. Di dalam menyiapkan shipping document penjual harus teliti.
Correspondent Bank dapat menolak dokumen yang ditenderkan kalau tidak
sesuai dengan instruksi dari The Issuing Bank. Dalam kaitan ini terdapat apa
yang disebut doctrine of strict compliance. Sebuah kasus yang terjadi di
Jakarta (Batavia) tahun 1927 antara Equitable Trust Co. N.Y versus Dawson
Partners Ltd mengenai komoditi vanilla beans. Ditentukan bahwa Certificate
of Quality akan dikeluarkan oleh ahli-ahli (2 ahli), akan tetapi penjual gagal

45
Roselyne Hutabarat, 1994, Transaksi Ekspor Impor, Edisi Kedua, Jakarta: Erlangga, hal. 18.
50

meyediakan certificate of quality dari 2 orang exper karena yang ada
hanyalah certificate dari seorang expert .Penjual mengirimkan barang yang
rusak. Kasus lainnya ialah JH Rayner & Co versus hambors Bank Ltd
tentang penjualan coromandel groundnuts. Di dalam Bill of Lading disebut
machine shelled groundnuts kernels, sedangkan di dalam pratek
perdagangan kedua istilah tersebut adalah identik. Dipengadilan pertama
ditetapkan bahwa bank harus menerima dokumen akan tetapi pengadilan
banding menolak. Adalah hak bank untuk menolak dokumen penjual yang
tidak sesuai dengan persyaratan kredit. Bank tidak wajib membayar
dokumen yang tidak benar.
e. Waktu Opening of Credit
Hal ini harus dilihat pada contract of sales, yaitu dapat tanggal tertentu atau
segera mungkin (immediately). Apabila tidak disebutkan maka akan
dilakukan di dalam waktu yang layak dihitung dari tanggal pengapalan.
Diperkirakan bahwa pada hari pertama dari shipment pembeli akan
membuka L/C.
f. Berakhirnya Tanggal Kredit
Documentery Credit memuat tanggal berakhirnya kredit tersebut. Sesuai
dengan penetapan tanggal tersebut Correspondent Bank dapat menolak
menerima dokumen dari penjual.




51

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah suatu tempat atau wilayah dimana penelitian
tersebut akan dilaksanakan. Adapun tempat atau lokasi penelitian dilakukan di
Kota Makassar sesuai dengan instansi yang memiliki sumber bacaan yang
berkaitan dengan masalah yang dibahas oleh peneliti serta pihak bank yang
selama ini menangani transaksi pembayaran ekspor-impor. Adapun secara
khusus, penulis menetapkan lokasi penelitian di beberapa tempat yaitu:
1. Perpustakaan Universitas Hasanuddin Makassar.
2. Perpustakan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.
3. PT. Bank Mandiri Tbk. Cabang Makassar.

B. Jenis Data
Jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder. Data primer, yaitu data yang diperoleh dan hasil
wawancara langsung, dalam hal ini berupa data yang terhimpun dari sampel
yang dipilih, sedangkan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari hasil
kajian pustaka, berupa buku-buku, bahan-bahan laporan, majalah-majalah,
artikel serta bahan literatur lainnya.

C. Teknik Pengumpulan Data
52

Data primer dikumpulkan dengan cara melakukan wawancara langsung
dengan pihak yang menjadi sumber informan dari setiap sampel yang dipilih,
sedangkan untuk data sekunder dikumpulkan melalui penelitian pustaka
(library research), dimana penelitian dilaksanakan dengan pengumpulan data
dan landasan teoritis dengan mempelajari buku, karya ilmiah, hasil penelitian
terdahulu, artikel-artikel, serta sumber-sumber bacaan lain yang ada
revelansinya dengan permasalahan yang diteliti.

D. Analisis Data
Data yang diperoleh atau dikumpulkan dalam penelitian ini baik data
primer maupun data sekunder akan dianalisis dengan menggunakan teknik
analisis kualitatif. Kemudian data tersebut dituliskan secara deskriptif-analitis
guna memberikan pemahaman yang jelas dan terarah dari hasil penelitian
nantinya.











53

BAB IV
HASIL DAN PENELITIAN

A. Pengaturan Hukum tentang Letter of Credit sebagai sistem
pembayaran dalam transaksi perdagangan internasional


Uniform Customs and Practice for Documentary Credit (UCP) adalah
pedoman yang menjadi peraturan internasional dalam jual beli antar negara,
mengenai cara pembayaran yang harus dilakukan oleh pernbeli melalui Bank.
Peraturan UCP ini telah diterima oleh banyak negara dan telah digunakan
secara internasional. Demikian juga dengan Indonesia yang menggunakan
UCP ini sebagai pedoman pembayaran perdagangan luar negeri termuat di
dalam Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1982, yang merupakan dasar hukum
Letter of Credit (L/C) di Indonesia. Ketentuan pelaksanaan Peraturan
Pemerintah No. 1 Tahun 1982 yang secara rinci mengatur L/C hingga saat
sekarang belum ada. Menurut Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 1982 dalam
Pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa cara pembayaran ekspor impor adalah
dengan tunai atau dengan kredit. Kemudian dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1)
tersebut, dijelaskan bahwa cara pembayaran ekspor impor dapat dilakukan
dengan:
1. Pembayaran di muka ( Advance Payment )
2. Wesel Inkaso dengan kondisi Document Against Payment (D/P) dan
Document Against Acceptance (D/A)
3. Perhitungan kemudian (Open Account)
4. Konsinyasi (Consignment)
5. Letter of Credits (L/C)
6. Cara pembayaran lain yang lazim dalam perdagangan luar negeri
sesuai kesepakatan antara penjual dan pembeli.
54

Sesuai dengan kenyataan bahwa dalam praktek perbankan Indonesia
telah digunakan UCP sebagai ketentuan L/C sejak tahun 1970-an.
46
Bank
Indonesia dalam Surat Edaran No. 26/34/ULN tanggal 17 Desember 1993
mengatur L/C yang diterbitkan oleh Bank Devisa (bank umum), yang
menegaskan boleh tunduk atau tidak tunduk pada UCP. Bank Indonesia
secara yuridis formal memberikan kebebasan kepada Bank Devisa di
Indonesia untuk menentukan sikap. Dalam hal L/C tunduk pada UCP, maka
agar UCP mempunyai kekuatan hukum mengikat atas L/C, bank penerbit harus
melakukan suatu tindakan yaitu mencantumkan suatu klausul dalam L/C yang
menyatakan bahwa L/C tunduk pada UCP sesuai dengan ketentuan dalam
Artikel 1 UCP No. 500 tahun 1993 yang mengatakan:
Uniform Customs and Practice for Documentary Credit (UCP) Revisi 1993
No.500, akan berlaku untuk semua "documentary credit" (termasuk
standby letter of credit sejauh mana UCP ini dapat diberlakukan) bilamana
di dalam teks kredit tersebut menyebutkan secara tegas bahwa kredit
tersebut tunduk kepada Uniform Customs and Practice for Documentary
Credit, 1993 Revision, ICC Publication No. 500. (UCP) mengikat semua
pihak yang bersangkutan, kecuali dengan tegas ditentukan lain dalam
kredit tersebut.


Pada bulan Mei 2003, International Chamber of Commerce, khususnya
Komisi ICC tentang Perbankan, Teknik, dan Praktek (Komisi Perbankan) telah
memulai revisi terhadap Uniform Customs and Practice for Documentary
Credits , ICC Publication 500. Tujuan umum dilakukan revisi tersebut adalah
untuk mengatasi perkembangan praktik perbankan, transportasi, dan industri
asuransi. Selain itu, terdapat kebutuhan untuk merubah bahasa dan bentuk
yang digunakan dalam UCP dengan jalan menghapus kata-kata yang dapat


46
Ramlan Ginting, 2000, Letter of Credit: Tinjauan Aspek Hukum dan Bisnis,
Jakarta: Salemba empat. Hal.18.
55

menyebabkan penerapan yang tidak konsisten dan menimbulkan interpretasi
yang berbeda.
Dasar pengaturan transaksi perdagangan internasional dengan
menggunakan L/C adalah Uniform Custom and Practice for Documentary
Credits (UCP-DC 600). UCP-DC 600 adalah dasar hukum pengaturan
pembayaran menggunakan L/C. Sebelumnya bank-bank umum di Indonesia,
dalam praktik mengikuti pengaturan L/C menurut UCP-DC 500. Hal ini
dikarenakan dalam masa berlakunya Peraturan Pemerintah No.16 tahun 1970
tentang Penyempurnaan Pelasanaan Ekspor Impor dan Lalu Lintas Devisa,
Bank Indonesia mengeluarkan Himpunan Ketentuan-ketentuan Prosedur Lalu
Lintas Devisa (HKPLLD) sebagai ketentuan pelaksanaan yang mengharuskan
L/C yang diterima dari luar negeri maupun yang diterbitkan dari Indonesia ke
Luar Negeri tunduk pada UCP yang berlaku yaitu UCP-290 yang mulai berlaku
1 oktober 1975.
Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 1970 tersebut beserta dengan
Peraturan Pemerintah No.11 tahun 1976 tentang perubahan atas Peraturan
Pemerintah No.16 Tahun 1970, kemudian dicabut oleh Peraturan Pemerintah
No.1 tahun 1982. Sebagai ketentuan pelaksanaannya, Bank Indonesia
mengeluarkan Surat Edaran Bank Indonesia No.17/14/ULN tanggal 29
September 1984 yang mewajibkan L/C yang diterbitkan bank devisa di
Indonesia tunduk pada UCP yang berlaku yaitu UCP-400 menggantikan UCP-
290. Kemudian Surat Edaran Bank Indonesia NO.17/14/ULN tersebut dicabut
dengan Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/34/ULN tanggal 17 Desember
1993 yang mengatur mengenai penundukan L/C pada UCP yang berlaku yaitu
56

UCP-DC 500 yang mulai berlaku 1 Januari 1994 dan kemudian ICC Banking
Commissin menyetujui perubahan aturan untuk documentary credit maka
secara efektif pada tanggal 1 Juli 2007 berlaku UCP- 600 sampai sekarang.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan bapak Ferdy Tunarso
bagian penanganan L/C pada PT. Bank Mandiri Tbk. Cabang Makassar pada
tanggal 6 Januari 2014, beliau mengemukakan bahwa bagi Bank Mandiri saat
ini yang menjadi dasar hukum dalam penerbitan dan pencairan L/C adalah ICC
Uniform Custom, UCP, ISBP, UCPD, URR, dan URC.
Mengenai penerapan UCP 600 dalam transaksi pembayaran ekspor-
impor maka Pasal 1 menegaskan bahwa:

The Uniform Customs and Practice for Documentary Credits, 2007
Revision, ICC Publication no. 600 ("UCP") are rules that apply to any
documentary credit ("credit") (including, to the extent to which they may be
applicable, any standby letter of credit) when the text of the credit
expressly indicates that it is subject to
these rules. They are binding on all parties thereto unless expressly
modified or excluded by the credit.

Dengan memperhatikan ketentuan yang tercantum pada Pasal 1 dari
UCP DC-600 sebagaimana dikemukakan di atas, maka jelaslah bahwa The
Uniform Customs and Practice for Documentary Credits , 2007 Revision , ICC
Publication no . 600 ( " UCP " ) merupakan aturan yang berlaku untuk setiap
documentary credit ( " credit " ) ( termasuk berlaku terhadap setiap standby
letter of credit ) ketika format teks L/C secara tegas menyatakan bahwa L/C
yang diterbitkan adalah tunduk aturan UCP DC-600, sehingga hal tersebut
mengikat semua pihak, kecuali hal tersebut secara tegas dimodifikasi atau
dikecualikan.
57

Peraturan-peraturan L/C yang berlaku secara internasional mengacu
pada kongres International Chamber of Commerce (ICC) sejak 1933 yang
kemudian direvisi pada tahun 1951, 1962,1974, 1983, 1993, dan terakhir tahun
2007. Hasil yang diperoleh dari kongres tersebut tertuang dalam Uniform
Customs and Practice for Documentary Credit (UCPDC), revisi terakhir (2007)
dikenal dengan UCPDC 600.
Pengertian-pengertian tentang apa yang disebut Letter of Credit
(Documentary Credit) dan faktor terpenting dari suatu L/C serta hal-hal yang
memungkingkan timbulnya masalah-masalah diuraikan dalam UCPDC
tersebut, namun masih banyak hal-hal yang belum dapat dicakup oleh L/C
tersebut akan ditangani berdasarkan kebiasaan-kebiasaan dan praktek
pelaksanaan transaksi.
Ada beberapa prinsip pokok dalam L/C yang perlu diperhatikan
khususnya Bank sesuai yang tertera dalam UCPDC, diantaranya :
1. Bahwa hanya redaksi kalimat-kalimat dalam L/C yang mengikat bank.
47
L/C
merupakan transaksi yang terpisah dari kontrak-kontrak penjualan atau
kontrak-kontrak lain atas mana L/C tersebut didasarkan. Sepanjang
hubungan dengan ekportir importir maka tanggung jawab dan tugas bank
hanya terikat pada bunyi kalimat L/C itu sendiri dan karena itu bank tidak
dapat mempertimbangkan ketetapan-ketetapan yang berlawanan dan
berbeda dengan kalimat-kalimat L/C tersebut. Hal yang sama juga berlaku
dalam hal adanya perubahan dalam L/C. Bank akan bertindak semata-mata

47
Baca lebih lanjut dalam Pasal 3 UCPDC-600.
58

berdasarkan dan sesuai dengan kalimat-kalimat L/C yang berlaku baik
dalam saat penerimaan atau pemeriksaaan dokumen-dokumen.
2. Bank berurusan hanya dalam dokumen-dokumen.
48
Dalam penyeleng-
garaan-penyelenggaraan/ operasi L/C maka semua pihak yang
bersangkutan akan berurusan dengan dokumen-dokumen dan tidak
Workshop: Transaksi Ekspor-Impor dengan Letter of Credit dengan barang-
barang. Bank melakukan pemeriksaan semata-mata atas dasar dokumen-
dokumen yang diajukan kepadanya dan meneliti apakah syarat-syarat L/C
tersebut telah dipenuhi. Bank tidak berwenang untuk memeriksa apakah
barang-barang yang disampaikan betul-betul sesuai dengan apa yang
dinyatakan dalam L/C. Bank tidak dapat dinyatakan bertanggung jawab
untuk perbedaan-perbedaan misalanya antara barang-barang yang diberi
harga dengan barang-barang yang benar-benar dikirimkan. Selain itu bank
juga tidak diharuskan melayani keluhan-keluhan/tagihan-tagihan pembeli
(importir).
3. Bank hanya bertanggung jawab atas kebenaran pemeriksaan dokumen
sebagaimana tampak pada permukaannya.
49
Dokumen-dokumen telah
dianggap memenuhi syarat L/C apabila pada permukaannya tampak telah
sesuai dengan syarata dan ketentuan L/C. Bilamana antara dokumen yang
satu denga yang lain pada permukaannya tampak tidak sesuai, maka bank
berhak menolak kewajiban untuk melakukan pembayaran karena dokumen
tersebut dianggap tidak sesuia dengan syarat L/C.


48
Baca lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 UCPDC 600.
49
Baca lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 15 UCPDC 600.
59


B. Mekanisme dan proses pembayaran dengan menggunakan Letter of
Credit

1. Tinjauan Umum tentang Letter of Credit
Sebelum Letter of Credit dikenal dalam dunia perdagangan, para
pedagang telah melakukan bisnis berdasarkan dokumen yang telah ditetapkan
yang memenuhi syarat dan ketentuan yang diminta. Dokumen-dokumen
tersebut dikenal dengan istilah merchants credit . Merchants credit tidak
dibuka oleh bank melainkan oleh pedagang-pedagang tersebut, dari merchants
credit ini kemudian berkembang kearah dikenalnya bankers credit. Merchants
credit mengandung suatu pengertian bahwa bank sama sekali tidak mengikat
dirinya terhadap beneficiary dalam pembukaan kredit. Pembeli langsung
mengikatkan diri pada penjual untuk membayar dengan melalui banknya. Bank
akan membayar apabila penjual menerbitkan sepucuk wesel atas pembeli
dengan menyerahkan beberapa dokumen. Sistem inilah yang kemudian
berkembang menjadi Letter of Credit atau disingkat L/C.
L/C adalah suatu instrumen perbankan yang sangat penting, khususnya
dalam perdagangan ekspor-impor (transaksi perdagangan luar negeri, yang
digunakan sebagai sarana untuk memudahkan penyelesaian utang piutang).
Ada beberapa pengertian L / C yang dapat kita temui yaitu:
L/C adalah suatu surat yang dikeluarkan oleh bank devisa atas permintaan
importir nasabah bank devisa bersangkutan dan ditujukan kepada eksportir
diluar negeri yang menjadi relasi dari importir tersebut. Isi surat itu
menyatakan bahwa eksportir penerima L/C diberi hak oleh importer untuk
menarik wesel (surat perintah untuk melunasi utang) atas importer
bersangkutan untuk sejumlah uang yang disebut dalam surat itu. Bank
60

yang bersangkutan menjamin untuk mengakseptir atau menghonorir wesel
yang ditarik tersebut asal sesuai dan memenuhi semua syarat yang
tercantum didalam surat itu.
50



Emmy Panggaribuan Simanjuntak,
51
berpendapat bahwa L/C tidak
terlepas dari kontrak penjualan sebab kontrak penjualan menjadi kuasa
diterbitkannya L/C. Namun beliau mengemukakan lebih lanjut bahwa
pelaksanaan L/C tidak lagi berurusan dengan barang-barang tersebut. L/C
merupakan salah satu bentuk jasa bank yang diberikan kepada masyarakat
untuk memperlancar arus pengadaan barang dari satu tempat ketempat lain.
Kegunaan dan peranan L/C dalam perdagangan internasional adalah
memudahkan pelunasan pembayaran transaksi ekspor, mengamankan dana
yang disediakan importir untuk membayar barang impor, dan menjamin
kelengkapan dokumen pengapalan, dengan kata lain kegunaan L/C adalah
untuk menampung kesulitan yang memberatkan pihak pembeli maupun penjual
dalam transaksi dagangnya di dalam negeri maupun diluar negeri. Kesulitan-
kesulitan tersebut antara lain adalah: (i) bagi pembeli, dalam memenuhi syarat-
syarat yang dikehendaki pihak penjual; (ii) bagi penjual, dalam memenuhi
pembayaran yang terjamin, jika syarat-syarat yang dikemukakan dapat
dipenuhi oleh pembeli.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada PT. Bank Mandiri Tbk.
Cabang Makassar, dalam wawancara peneliti dengan Bapak Ferdy Tunarso
pada tanggal 6 Januari 2014, dikemukakan bahwa PT. Bank Mandiri Cabang


50
Emirzon, Joni, 2000, Hukum Surat Berharga dan Perkembangannya di Indonesia,
PT Prehalindo, Jakarta, hlm 189.

51
Emmy Panggaribuanimanjuntak, 1979, Pembukaan Kredit Berdokumen, Seksi
Hukum Dagang FH-UGM, Yogyakarta, hal. 51.
61

Makassar telah cukup banyak menangani pembayaran dalam transaksi ekspor
Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa Bank Mandiri sebagai Bank Devisa
telah secara nyata mendukung pelaksanaan kegiatan ekspor-impor. Namun
demikian, menurut Bapak Ferdy Tunarso, volume ekspor pada tahun 2013
mengalami penurunan sebesar 40% dibandingkan dengan tahun 2012, dimana
menurutnya hal ini sebagian besar dipengaruhi oleh volume ekspor yang
menurun yang menurutnya turut dipengaruhi oleh adanya Peraturan Menteri
ESDM tahun 2012 yang melarang ekspor tambang dalam bentuk Ore (bahan
baku).
52


2. Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Transaksi L/C
Di dalam kegatan ekspor-impor yang memanfaatkan sistem
pembayaran melalui L/C, terdapat pihak-pihak yang terlibat di dalam
pelaksanaannya, yaitu:
a. Opener atau Applicant, yaitu importir yang meminta bantuan bank devisanya
untuk membuka L/C guna keperluan penjual atau eksportir.
b. Opening bank atau Issuing bank, yaitu bank devisa yang dimintai bantuan
oleh importer untuk membuka suatu L/C untuk keperluan eksportir. Bank
Devisa inilah yang memberikan jaminan kepada eksportir. Oleh karena itu
nilai L/C sangat tergantung pada nama bank dan reputasi dari bank devisa
yang membuka L/C tersebut.


52
Hasil wawancara peneliti dengan Bapak Ferdu Tunarso, bagian penanganan
L/C pada PT. Bank Mandiri Tbk. Cabang Makassar, yang dilakukan pada tanggal 6
Januari 2014.
62

c. Advising bank adalah bank koresponden atau bank penyampai amanat.
Opening bank membuka L/C untuk eksportir melalui bank lain dinegara
eksportir yang menjadi koresponden dari opening bank tersebut. Bank
koresponden ini berkewajiban untuk menyampaikan amanat yang
terkandung dalam L / C kepada eksportir yang berhak.
d. Beneficiary yaitu eksportir yang menerima pembukaan L/C dan menerima
hak untuk menarik uang dari dana L/C yang tersedia itu.
e. Negotiating bank. Didalam L/C biasanya disebut bahwa beneficiary boleh
menguangkan (menegosiasikan shipping document) melalui bank mana
saja yang membayar dokumen itu disebut sebagai negotiating bank

3 Tahapan Penerbitan L / C
Pada dasarnya tahapan penerbitan L/C luar negeri sama dengan
mekanisme penerbitan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN)
sebagaimana telah dijelaskan diatas, hanya ada keterlibatan bank asing,
tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut :
a. Pembeli dan penjual mengadakan kontrak jual beli. Dalam jual beli itu
ditetapkan bahwa pembeli diwajibkan membuka kredit berdokumen atau L/C
kepada penjual.
b. Pembeli lalu mengajukan kredit berdokumen kepada bank devisa
langganannya. Kalau bank devisa tersebut setuju kredit berdokumen
diterbitkan bagi kepentingan penjual. Dalam hubungan ini pembeli disebut
pembuka dan penjual sebagai penerima (beneficiary).
63

c. Bank penerbit kredit (issuing bank) mengirim surat kredit berdokumen itu
kepada beneficiary dengan melalui bank korespondennya dinegara
beneficiary. Bank koresponden tersebut disebut advising bank atau
confirming bank.
d. Advising bank memberitahu beneficiary bahwa baginya telah dikirim kredit
berdokumen dari issuing bank atas permohonan pembeli. Sebagai advising
bank tidak ada kewajiban, sedangkan sebagai confirming bank berkewajiban
berkewajiban menjamin terlaksananya kredit tersebut.
e. Setelah beneficiary menerima surat kredit, dia lalu mengirimkan barangnya
kepada pembuka kredit (pembeli). Untuk perbuatan ini beneficiary menerima
dokumen pengangkutan dan dokumen-dokumen pembantu dari instansi-
instansi yang berwenang.
f. Dokumen induk (pengangkutan) dan dokumen pembantu asli lalu diserahkan
kepada advising bank, duplikatnya dikirim langsung kepada pembeli.
g. Setelah advising bank meneliti dokumen-dokumen tersebut dan
berkesimpulan bahwa dokumen-dokumen tersebut telah memenuhi syarat-
syarat sebagaimana mestinya, maka dokumen-dokumen tersebut diterima
dan dibayar.
h. Dokumen yang sudah diterima, oleh advising bank lalu dikirim kepada
issuing bank.
i. Issuing bank yang sudah menerima dokumen-dokumen, lalu membayar
kepada advising bank.
64

j. Issuing bank memberitahu pembuka kredit bahwa dokumen telah datang,
dan pembuka kredit lalu membayar semua kewajibannya kepada issuing
bank.
k. Issuing bank setelah mendapatkan pembayaran akan mengirim dokumen
asli kepada pembuka kredit (pembeli) berdasar dokumen-dokumen mana
barang-barang dapat diminta dari pengangkut.

4. Jenis-Jenis L/C
Dalam praktik berbagai macam L/C yang sering dipergunakan oleh para
usahawan, yaitu antara lain :
a. Revocable Credit dan Irrevocable
Revocable credit adalah L/C yang sewaktu-waktu dapat dibatalkan oleh
issuing bank, irrevocable credit adalah L/C yang tidak dapat dibatalkan
kecuali ada persetujuan semua pihak, yaitu : Applicant, issuing bank,
beneficiary, dan advising bank. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam UCP-
600, bahwa setiap L/C yang bersifat revocable bisa sewaktu-waktu dapat
dibatalkan, kecuali dalam L/C dinyatakan bahwa L/C tersebut adalah
irrevocable
b. Sight Credit dan Usance Credit
Sight Credit adalah L/C yang hari bayarnya pada saat diajukan dokumen-
dokumennya. Sight L/C mensyaratkan penyerahan kwitansi atau wesel unjuk
(sight draft) dilampirkan dokumen-dokumen pengapalan. Usance atau
Usance L/C adalah L/C yang hari bayarnya beberapa waktu kemudian.
65

Usanse L/C mensyaratkan penyerahan wesel berjangka dengan dilampiri
dokumen pengapalan.
c. Red Clause Credit
Dalam transaksi L/C, bank baru akan membayar pada beneficiary setelah
beneficiary mengapalkan barang-barang dan menyerahkan pada bank
dokumen-dokumen yang membuktikan pengapalan tersebut, akan tetapi
dalam red clause L/C tidak demikian, beneficiary dapat menarik pembayaran
sebelum ada pengapalan, karena klausula dalam L/C tersebut mengizinkan.
Klausula tersebut biasanya dicetak dengan huruf merah, oleh karena itu
disebut red clause atau klausula merah
d. Confirmed Credit
Confirmed Credit adalah L/C yang pembayaran dijamin oleh advising bank.
Ini terjadi pada permintaan beneficiary yang kurang percaya pada issuing
bank. Confirmed L/C banyak terjadi dalam transaksi impor. Penjual barang
diluar negeri yang menerima L/C yang dibuka oleh bank di Indonesia dan
kurang yakin akan bonafiditas bank di Indonesia tersebut.
e. Transferable Credit
Transferable Credit adalah L/C dimana beneficiary diberi wewenang untuk
menyerahkan pengapalan barang pada pihak ketiga, tanpa melepaskan hak
dan kedudukannya sendiri selaku beneficiary dari L/C. Kadang terjadi bahwa
beneficiary dari L/C harus membeli barang itu dari pihak ketiga yang
merupakan pemasok atau produsen dari barang tersebut, akan tetapi untuk
melakukan pembelian itu dia tidak cukup dana. Sebagai jalan keluarnya dia
bisa meminta agar applicant membuka transferable L/C.
66

Dengan transferable L/C ini beneficiary meminta kepada advising bank untuk
mentransfer atau memindahkan L/C nya untuk kepentingan pihak ketiga
yang melakukan pengapalan sebenarnya. L/C tersebut ditransfer dengan
syarat-syarat yang sama seperti L/C semula hanya saja harga barang
diturunkan (untuk kepentingan beneficiary) dan jangka waktu penyerahan
dokumen oleh pihak ketiga dimajukan (untuk memberi waktu kepada
beneficiary mengganti faktur yang dibuat pihak ketiga dengan fakturnya
sendiri).
f. Revolving Credit
Revolving Credit adalah L/C yang berlaku berulang-ulang, misalnya seorang
pembeli menutup kontrak pembelian satu jenis barang dalam jumlah besar
dari penjual. Dalam kontrak jual-beli ditetapkan bahwa seluruh pembelian
bernilai Rp.1.000.000.000,- (satu milyar) yang oleh penjual akan dikirim
secara bertahap dalam waktu 4 bulan, tiap bulan seharga Rp.250.000.000,-,
dalam hal demikian maka L/C biasa dibuka dengan salah satu dari 3 cara
sebagai berikut:
1) L/C dibuka sejumlah Rp.250.000.000,- dengan syarat pengapalan barang
sebagian atau partial shipment dibolehkan.
2) L/C dibuka sejumlah Rp.250.000.000,- saja setelah penjual mengirim
barang seharga Rp.250.000.000,- maka dibuka L/C lagi sejumlah yang
sama, begitu seterusnya sebanyak 4 kali.
3) L/C dibuka sejumlah Rp.250.000.000,- bersifat revolving L/C sampai
maksimum Rp.1.000.000.000.

67

g. Stand-by Credit
Stand-by credit biasanya digunakan untuk keperluan sebagai berikut:
1) Menjamin pembayaran kembali suatu kredit kepada pemberi kredit
(kredit), apabila penerima kredit (debitur) ternyata tidak membayar
kembali sebagaimana mestinya.
2) Menjamin pembayaran harga barang kepada penjual apabila pembeli
ternyata tidak membayar sebagaimana mestinya. Misalnya saja dalam
hal transaksi jual beli dilakukan atas dasar open account atau
pembayaran kemudian.
h. Commercial Documentary L/C .
Commercial documentary L/C atau L/C berdokumen niaga adalah L/C yang
mewajibkan eksportir penerima L/C untuk menyerahkan dokumen
pengapalan yang membuktikan kepemilikan barang serta dokumen
penunjang lainnya sebagai syarat untuk memperoleh pembayaran dari dana
yang tersedia pada L/C tersebut. Dokumen pembuktian kepemilikan barang
itu seperti misalnya Bill of Lading, faktur perdagangan, wesel, surat
keterangan negara asal, daftar pengepakan, daftar kubikasi, daftar
timbangan, polis asuransi, dan lain-lain.
i. Clean L/C
Clean L/C adalah suatu L/C yang dapat dicairkan dananya dengan
penyerahan wesel atau hanya kuitansi biasa. L/C ini tidak membutuhkan
penyerahan dokumen pengapalan seperti Bill of Lading dan lain sebagainya.


68

j. Back-to-back L/C
Bila eksportir penerima L/C tidak sanggup melaksanakan pengiriman barang
karena tidak punya, maka transaksi itu masih bias diteruskan melalui 2 cara :
1) Eksportir melakukan pengoperan atas L/C itu kepada eksportir atau
produsen lain. Hal ini mungkin dilakukan kalau L/C itu bersifat
transferable.
2) Eksportir penerima L/C pertama membuka L/C nya sendiri untuk eksportir
atau produsen kedua, dengan menjamin L/C yang diterimanya. Cara ini
disebut Back-to-back L/C, dan biasanya dipakai dalam perdagangan
transito atau perdagangan segitiga.
3) Misalnya importir Indonesia membuka L/C nya untuk pengusaha di
Singapura guna mengimpor barang yang berasal dari Jepang.
Pengusaha Singapura kemudian membuka L/C dari Importir Indonesia.
Persyaratan L/C kedua ini hampir seluruhnya sama dengan persyaratan
L/C pertama kecuali mungkin mengenai harga dan nama Loading port.
k. Merchant L/C
Merchant L/C adalah L/C yang dibuka importir untuk eksportir, yang
memberikan hak kepada eksportir penerima L/C untuk menarik wesel
terhadap importir, dan importir pembuka L/C itu menjamin untuk melunasi
wesel-wesel tersebut pada saat jatuh temponya. Pembukaan L/C dilakukan
melalui bank devisa dimana importir tersebut menjadi nasabah, tetapi bank
tidak ikut bertanggung jawab untuk mengakseptir atau menghonorir wesel-
wesel yang ditarik eksportir penerima L/C. Disinilah letak perbedaan antara
Merchant L/C dengan Bankers L/C.
69

l. Irrevocable and Confirmed L/C
Irrevocable and confirmed L/C adalah L/C yang :
1) Tidak dapat dibatalkan atau diubah selama jangka waktu berlakunya,
kecuali bila mendapat persetujuan dari semua pihak yang terlibat dalam
L/C tersebut.
2) Mempunyai jaminan pelunasan berganda atas wesel dan atau
penyerahan dokumen pengapalan yang diberikan oleh opening bank
bersama advising bank.
3) Merupakan cara pembayaran yang paling aman dipandang dari sudut
kepentingan eksportir penerima L/C. L/C semacam ini disampaikan
kepada eksportir penerima L/C oleh advising bank dengan penjelasan
tambahan.
m. Irrevocable Unconfirmed L/C
L/C ini sama dengan irrevocable L/C biasa, hanya dalam penyampaian
amanat pembukaan L/C itu advising bank dengan tegas menyatakan
bahwa mereka (advising bank) tidak ikut serta memberikan konfirmasi
(jaminan) atas L/C tersebut. L/C semacam itu disampaikan oleh advising
bank kepada eksportir penerima L/C dengan pesan sebagai berikut : this
is solely an advise of an irrevocable credit and conveys no engagement
by us .
Berdasarkan wawancara peneliti dengan Bapak Ferdy Tunarso pada
tanggal 6 Januari 2014, umumnya pelaku usaha khususnya eksportir dan
importer lebih memilih jenis Irrevocable L/C, dimana menurutnya jenis L/C ini
paling sering dicairkan oleh pelaku ekspor. Volume nilai L/C yang dicairkan
70

melalui PT. Bank Mandiri Cabang Makassar pada tahun 2012 senilai USD $
74,319,512, volume ini pada tahun 2013 mengalami penurunan hingga menjadi
USD $ 24,584,054,- sehingga terjadi penurunan transaksi ekspor melalui L/C
sebesar 67%.
53


C. Perlindungan hukum terhadap Para Pihak dalam Penggunaan
Instrumen Pembayaran Letter of Credit
Dalam melakukan transaksi perdagangan ekspor-impor, sistem
pembayaran yang umum digunakan adalah Letter of Credit (L/C) atau
Documentary Credit. Walaupun transaksi yang dilakukan antara kedua belah
pihak dimungkinkan untuk tidak menggunakan L/C, namun untuk melindungi
kedua belah pihak biasanya transaksi dengan L/C lebih disenangi, dimana
bank ikut terlibat dan mengurangi risiko tertentu.
Dalam publikasi terbitan ICC dinyatakan bahwa Documentary Credit
adalah perjanjian tertulis dari sebuah bank (issuing bank) yang diberikan
kepada penjual (beneficiary, exportir) atas permintaaannya dan sesuai dengan
instruksi-instruksi dari pembeli (applicant) untuk melakukan pembayaran yakni
dengan cara membayar, mengaksep atau menegoisasi wesel sampai jumlah
tertentu dalam jangka waktu yang ditentukan dan atas dokumen-dokumen
yang ditetapkan.
Letter of Credit memiliki beberapa peran dalam perdagangan
internasional, diantaranya:


53
Hasil Wawancara peneliti dengan Bapak Ferdy Tunarso dari bagian
penanganan L/C pada PT. Bank Mandiri Tbk. Cabang Makassar yang dilakukan pada
tanggal 6 Januari 2014.
71

1. memudahkan pelunasan pembayaran transaksi ekspor;
2. mengamankan dana yang disediakan importir untuk membayar barang
impor;
3. menjamin kelengkapan dokumen pengapalan.
Karena eksportir dan importir terpisah baik secara geografis maupun
geopolitik, dan secara pribadi antara eksportir dan importir tidak saling
mengenal, bagi eksportir merupakan risiko besar mengirimkan barang bila
tidak ada jaminan pembayaran. Oleh karena itu untuk mendapatkan jaminan
tersebut eksportir meminta kepada importir agar membuka L/C untuknya. L/C
inilah yang merupakan jaminan atas pelunasan barang yang akan dikirimkan
oleh eksportir. Sebaliknya, pembukaan L/C merupakan jaiminan pula bagi
importir bersangkutan untuk memperoleh pengapalan barang secara utuh
sesuai yang diinginkannya, sedangkan dana L/C tersebut tidak akan dicairkan
tanpa penyerahan dokumen pengapalan. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa Letter of Credit merupakan suatu instrumen yang ditawarkan bank
devisa untuk memudahkan lalu lintas pembiayaan dalam transaksi
perdagangan internasional.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Bapak Ferdy Tunarso,
beliau mengatakan bahwa apabila transaksi ekspor-impor dilakukan melalui
penggunaan instrument L/C, maka baik eksportir maupun importer keduanya
terlindungi, karena bagi eksportir tidak perlu khawatir barangnya tidak terbayar,
72

sedangkan bagi importer tidak perlu khawatir barang yang dibelinya tidak
sampai atau kehilangan pembayaran.
54

Untuk menjembatani kepentingan pihak eksportir agar barang dikirim
setelah harga dibayar, sementara pihak importer punya kepentingan agar
harga dibayar setelah barang diterima, maka dipakailah sistem pembayaran
dengan documentary credit. Dalam hal ini suatu pembayaran dilakukan lewat
bank sebagai perantara, tanpa terlebih dahulu menunggu tibanya barang atau
tibanya dokumen. Kewajiban ini dilakukan dengan kewajiban dari pihak
importer untuk membuka letter of credit (L/C) pada bank di Negara importer,
untuk kemudian oleh bank tersebut diteruskan kepada bank di Negara
eksportir.
Sistem pembayaran lewat L/C ini dewasa ini sudah diterima secara
meluas di kalangan lalu lintas perdagangan internasional. Transaksi
perdagangan internasional dengan system pembayaran yang meliputi
beberapa metode akan memudahkan pelaksanaan dalam bisnis internasional
ini, karena masing-masing pihak tidak perlu lagi mengadakan pembicaraan
secara tatap muka, melainkan hanya memilih metode pembayaran yang telah
tersedia.
Berkaitan dengan persoalan perlindungan hukum terhadap eksportir
dalam penggunaan L/C sebagai instrument pembayaran dlam transaksi
perdagangan internasional dapat dilihat pada seberapa jauh keunggulan L/C


54
Hasil Wawancara dengan Bapak Ferdy Tunarso, bagian penanganan L/C pada
Bank Mandiri Cabang Makassar yang dilaksanakan pada tanggal 6 Januari 2014.
73

yang dapat dinikmati oleh pihak eksportir. Adapun keunggulan L/C bagi pihak
eksportir dapat dkemukakan sebagai berikut:
55

1. Kepastian pembayaran dan menghindari risiko.
Sekalipun eksportir tidak mengenal importir, tetapi dengan adanya L/C
sudah merupakan jaminan bagi eksportir bahwa tagihannya pasti dilunasi
bank sesuai ketentuan. Reputasi atau nama baik bank yang membuka L/C
merupakan jaminan pokok, dan jaminan pembayaran itu akan menjadi
ganda bila bank devisa yang bertindak sebagai Advising Bank juga
memberikan konfirmasinya. Jadi risiko untuk tidak terbayar menjadi sangat
minim. Di sini terlihat besarnya peranan bank dalam memperlancar
perdagangan internasional.
2. Penguangan dokumen dapat langsung dilakukan.
Bila barang sudah dikapalkan, maka dengan adanya L/C shipping
documents dapat langsung diuangkan atau dinegosiasikan dengan Advising
Bank dan tidak perlu lagi menunggu pembayaran atau kiriman uang dari
importir. Advising Bank atau Negotiating Bank tidak ragu untuk melunasi
dokumen pengapalan itu karena pembayarannya sudah dijamin oleh
Opening Bank. Sebaliknya, bila tidak ada L/C maka eksportir tidak mungkin
menegosiasikan shipping documents sehingga harus menunggu transfer
atau kiriman uang lebih dahulu dari importir, atau dokumen harus dikirimkan
dulu untuk "Collection"
3. Biaya yang dipungut bank untuk negosiasi dokumen relatif kecil bila ada L/C
4. Terhindar dari risiko pembatasan transfer valuta.

55
Amir, MS, 2002, Kontrak Dagang Ekspor, Jakarta: Penerbit PPM, hal. 5.
74

Di berbagai negara terdapat pembatasan transfer valuta asing dan
diperlukan izin impor sebelum dilakukan pembukaan L/C. Bank devisa di
negara importir sudah mengetahui ketentuan ini dan mereka baru bersedia
membuka L/C bila semua ketentuan Pemerintah sudah dipenuhi oleh
importir. Oleh karena itu, pada setiap pembukaan L/C Opening Bank sudah
menyediakan valuta asing untuk setiap tagihan yang didasarkan pada L/C
tersebut. Dengan demikian eksportir terhindar dari risiko non-payment yang
mungkin terjadi bila transaksi dilakukan tanpa L/C.
5. Kemungkinan memperoleh uang muka atau kredit tanpa bunga
Bila importir bersedia membuka L/C dengan syarat "Red Clause", maka
eksportir dapat memperoleh uang muka dari L/C yang tersedia. Ini berarti
eksportir mendapat kredit tanpa bunga atau semacam uang panjar yang
biasanya diperlukan untuk memulai produksi barang yang akan diekspor itu.
Sedangkan berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pihak
import maka dapat dilihat pada kelebihan penggunaan L/C bagi pihak importer,
yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
56


1. Pembukaan L/C dapat diartikan bahwa Opening Bank meminjamkan nama
baik dan reputasinya kepada importer sehingga dapat dipercayai oleh
eksportir. Eksportir yakin bahwa barang yang akan dikirimkan pasti akan
dibayar.
2. L/C merupakan jaminan bagi importir, bahwa dokumen atas barang yang
dipesan akan diterimanya dalam keadaan lengkap dan utuh, karena akan
diteliti oleh bank yang sudah mempunyai keahlian dalam hal itu.

56
Ibid.
75

3. Importir dapat mencantumkan syarat-syarat untuk pengamanan yang pasti
akan dipatuhi oleh eksportir agar dapat menarik uang dari L/C yang tersedia.
Sedangkan berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap bank
pembayar secara normatif telah diatur dalam suatu ketentuan mengenai
praktek dan kebiasaan suatu kredit berdokumen yang lebih dikenal sebagai
The Uniform Customs and Practice for Documentary Credit (UCP-DC 600)
dalam artikel 34, yang pada intinya menyatakan bahwa bank dapat mentolerir
terhadap adanya penyimpangan, atau ketidaksesuaian terhadadap dokumen
L/C dengan pembatasan bahwa penyimpangan tersebut bersifat non
substansial. Hal ini dikuatkan dengan dasar hukum berupa yurisprudensi atau
putusan hakim terdahulu terhadap kasus yang sama. Sedangkan perlindungan
hukum terhadap bank pembayar secara empiris yaitu bahwa bank pembayar
dapat diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan kecil dalam
dokumen-dokumen L/C tersebut agar bank pembayar dapat memperoleh
reimburs, atau pembayaran kembali dari bank penerbit (issuing bank) dan
transaksi ekspor-impor dapat terus berjalan, sepanjang proses perbaikan
tersebut tidak memerlukan waktu lama dan tidak sampai melampaui jangka
waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian L/C tersebut.
Dalam hal penerbitan L/C tidak memuat klausul pilihan hukum, maka
hukum nasional yang berlaku atas kontrak penjualan tersebut ditentukan
berdasarkan teori-teori hukum perdata internasional yang berlaku untuk
kontrak. Seperti teori tempat kontrak dibuat (lex loci contractus), teori tempat
kontrak dilaksanakan (lex loci solutionis), dan teori keterkaitan paling dekat dan
paling nyata (the closest and the most real connection). Ketiga teori tersebut,
76

teori yang paling tepat digunakan adalah teori keterkaitan yang paling dekat
dan paling nyata (the closest and the most real connection), karena dalam teori
ini hukum nasional yang berlaku untuk kontrak penjualan (dalam hal ini adalah
L/C) adalah hukum nasional tempat penjual (eksportir berada, karena ia yang
harus menyediakan bahan baku, memproduksi barang, mempersiapkan
transportasi atau pengepakan barang dan menyerahkan barang kepada
pembeli atau importir. Semua upaya ini menjadikan penjual yang paling
memiliki keterkaitan paling dekat dan paling nyata dibandingkan pembeli yang
hanya mengeluarkan uang.












77

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana yang
diuraikan pada bagian Bab IV skripsi ini, maka dapat disimpulkan beberapa
simpulan sebagai berikut:
1. Dasar pengaturan transaksi perdagangan internasional dengan
menggunakan L/C adalah Uniform Custom and Practice for Documentary
Credits (UCP-DC 600). Sebelumnya bank-bank umum di Indonesia, dalam
praktik mengikuti pengaturan L/C menurut UCP-DC 500. Namun demikian,
keberlakuan USP-DC tersebut bagi Indonesia tetap didasarkan pada
ketentuan hukum Nasionalnya. Dalam masa berlakunya Peraturan
Pemerintah No.16 tahun 1970 tentang Penyempurnaan Pelasanaan Ekspor
Impor dan Lalu Lintas Devisa, Bank Indonesia mengeluarkan Himpunan
Ketentuan-ketentuan Prosedur Lalu Lintas Devisa (HKPLLD) sebagai
ketentuan pelaksanaan yang mengharuskan L/C yang diterima dari luar
negeri maupun yang diterbitkan dari Indonesia ke Luar Negeri tunduk pada
UCP yang berlaku yaitu UCP-290 yang mulai berlaku 1 oktober 1975.
Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 1970 tersebut beserta dengan
Peraturan Pemerintah No.11 tahun 1976 tentang perubahan atas Peraturan
Pemerintah No.16 Tahun 1970, kemudian dicabut oleh Peraturan
Pemerintah No.1 tahun 1982. Sebagai ketentuan pelaksanaannya, Bank
78

Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Bank Indonesia No.17/14/ULN
tanggal 29 September 1984 yang mewajibkan L/C yang diterbitkan bank
devisa di Indonesia tunduk pada UCP yang berlaku yaitu UCP-400
menggantikan UCP-290. Kemudian Surat Edaran Bank Indonesia
NO.17/14/ULN tersebut dicabut dengan Surat Edaran Bank Indonesia No.
26/34/ULN tanggal 17 Desember 1993 yang mengatur mengenai
penundukan L/C pada UCP yang berlaku yaitu UCP-DC 500 yang mulai
berlaku 1 Januari 1994 dan kemudian ICC Banking Commissin menyetujui
perubahan aturan untuk documentary credit maka secara efektif pada
tanggal 1 Juli 2007 berlaku UCP- 600 sampai sekarang.
2. Pada dasarnya tahapan penerbitan L/C luar negeri sama dengan
mekanisme penerbitan Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN),
hanya ada keterlibatan bank asing, tahapan-tahapannya adalah sebagai
berikut:
a. Pembeli dan penjual mengadakan kontrak jual beli. Dalam jual beli itu
ditetapkan bahwa pembeli diwajibkan membuka kredit berdokumen atau
L/C kepada penjual.
b. Pembeli lalu mengajukan kredit berdokumen kepada bank devisa
langganannya. Kalau bank devisa tersebut setuju kredit berdokumen
diterbitkan bagi kepentingan penjual. Dalam hubungan ini pembeli
disebut pembuka dan penjual sebagai penerima (beneficiary).
c. Bank penerbit kredit (issuing bank) mengirim surat kredit berdokumen itu
kepada beneficiary dengan melalui bank korespondennya dinegara
79

beneficiary. Bank koresponden tersebut disebut advising bank atau
confirming bank.
d. Advising bank memberitahu beneficiary bahwa baginya telah dikirim
kredit berdokumen dari issuing bank atas permohonan pembeli. Sebagai
advising bank tidak ada kewajiban, sedangkan sebagai confirming bank
berkewajiban berkewajiban menjamin terlaksananya kredit tersebut.
e. Setelah beneficiary menerima surat kredit, dia lalu mengirimkan
barangnya kepada pembuka kredit (pembeli). Untuk perbuatan ini
beneficiary menerima dokumen pengangkutan dan dokumen-dokumen
pembantu dari instansi-instansi yang berwenang.
f. Dokumen induk (pengangkutan) dan dokumen pembantu asli lalu
diserahkan kepada advising bank, duplikatnya dikirim langsung kepada
pembeli.
g. Setelah advising bank meneliti dokumen-dokumen tersebut dan
berkesimpulan bahwa dokumen-dokumen tersebut telah memenuhi
syarat-syarat sebagaimana mestinya, maka dokumen-dokumen tersebut
diterima dan dibayar.
h. Dokumen yang sudah diterima, oleh advising bank lalu dikirim kepada
issuing bank.
i. Issuing bank yang sudah menerima dokumen-dokumen, lalu membayar
kepada advising bank.
j. Issuing bank memberitahu pembuka kredit bahwa dokumen telah datang,
dan pembuka kredit lalu membayar semua kewajibannya kepada issuing
bank.
80

k. Issuing bank setelah mendapatkan pembayaran akan mengirim dokumen
asli kepada pembuka kredit (pembeli) berdasar dokumen-dokumen mana
barang-barang dapat diminta dari pengangkut.
3. Apabila transaksi ekspor-impor dilakukan dengan penggunaan instrument
pembayaran Letter of Credit (L/C), maka baik eksportir maupun importer
keduanya mendapat perlindungan yang optimal dalam kepentingan
bisnisnya, karena bagi eksportir tidak perlu khawatir barangnya tidak
terbayar, sedangkan bagi importer tidak perlu khawatir barang yang
dibelinya tidak sampai atau kehilangan pembayaran atas barang yang
dibelinya dari luar negeri. Perlindungan hukum tersebut semakin kuat oleh
karena telah mendapat pengaturan dalam hukum bisnis internasional dan
hukum nasional.
B. Saran
Dengan memperhatikan hasil penelitian yang dilakukan pada PT. Bank
Mandiri Tbk. Cabang Makassar, khususnya berkaitan dengan penggunaan L/C
pada transaksi perdagangan internasional, maka dapat dikemukakan beberapa
saran sebagai berikut:
1. Sehubungan dengan tingkat kepastian pembayaran yang sangat tinggi
yang terdapat dalam sistem pembayaran melalui L/C, maka seyogianya
pihak pemerintah mensosialisasikan penggunaan L/C tersebut kepada
pelaku usaha kecil apabila terjadi transaksi perdagangan internasional, dan
jika transaksi perdagangannya dalam negeri maka perlu disosialisasikan
81

pemanfaatan instrument Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN)
sebagai alat pembayaran yang memiliki kepastian yang sangat tinggi.
2. Sehubungan dengan dasar hukum yang mengatur mengenai L/C adalah
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1982 sudah tidak sesuai dengan
perkembangan revisi terhadap L/C yang dilakukan oleh International
Chamber of Commerce, maka perlu dilakukan pembaruan dasar hukum
keberlakuan L/C di Indonesia.












82

DAFTAR PUSTAKA

Alice de Jonge, 2011, Transnational Corporation and International Law, UK:
Edward Elgar Publishing imited.

Amir, MS, 2002, Kontrak Dagang Ekspor, Jakarta: Penerbit PPM.

Emirzon Joni, 2000, Hukum Surat Berharga dan Perkembangannya di
Indonesia, PT Prehalindo, Jakarta.

Emmy Panggaribuan Simanjuntak, 1979, Pembukaan Kredit Berdokumen,
Seksi Hukum Dagang FH-UGM, Yogyakarta.

Huala Adolf, 2006, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

__________, 2011,instrument-instrumen hukum tentang kontrak internasional,
Bandung: CV. Keni Media.
Jeffrey L. Harrison, 1995, Law and Economics in a Nutssheell, USA: West
Publishing Co.

Juajir Sumardi, 2012, Hukum Perusahaan Transnasional dan Franchise,
Makassar: Arus Timur.

Kornelius Saran, 1990, Perusahaan Multinasional Dalam Tata Ekonomi
Internasional Baru, Ujung Pandang: FH Unhas.

Mochtar Kusumaatmadja, 1982, Pengantar Hukum Internasional Bagian I
Umum, Bandung: Binacipta.

Muhammad Sood, 2011, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: Rajawali
Press.

Panglaykim, 1983, Perusahaan Multinasional dalam Bisnis Internasional,
Analisa CSIS, Jakarta: CSIS.

Paul R. Krugman dan Maurice Obstfeld, 2003, International Economics Theory
and Policy, Sixth Edition, Boston: USA.

Ramlan Ginting, 2000, Letter of Credit: Tinjauan Aspek Hukum dan Bisnis,
Jakarta: Salemba empat.

Roselyne Hutabarat, 1994, Transaksi Ekspor Impor, Edisi Kedua, Jakarta:
Erlangga.
83





Sumantoro, 1987, Kegiatan Perusahaan Transnasional, Jakarta: Gramedia.

Victor Purba, 2003, Analisis Ekonomi Dari Hukum Sebagai Dasar Pembuatan
Kebijakan Perdagangan Internasional Untuk Meningkatkan
Perekonomian Indonesia, (Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia),
Jakarta: Fakultas Hukum UI.

Waren J. Samuels and A. Allan Schmid, 1981, Law and Economic: An
Institutional Perspective, Boston: Kluwer Nijhoff Publising.

http://www.bphn.go.id/data/documents/pk-2012-2.pdf.
https://www.google.co.id/search?q=kebijakan+ekspor+impor&hl=id, diakses
pada tanggal 21 Nopember 2013.

You might also like