You are on page 1of 31

Mengenal “Informed Consent”

In Karya Ilmiah on November 1, 2007 at 1:36 pm


“Informed Consent” terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat
penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi
izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah
mendapat informasi. Dengan demikian “informed consent” dapat didefinisikan sebagai
persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.
Menurut D. Veronika Komalawati, SH , “informed consent” dirumuskan sebagai “suatu
kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya
setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk
menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsure
sebagai berikut :
Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter
Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan
Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.
Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai dengan
munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed consent” melalui SK
PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No.
585 tahun 1989 tentang “Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Hal ini tidak
berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan
“informed consent” karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif,
dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan
operasi itu dilakukan.
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada
pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan
menjadi tiga bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko
besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat
(1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang
mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya
pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko
yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan
tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan
disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda
menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
TUJUAN PELAKSANAAN INFORMED CONSENT
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka
pelaksanaan “informed consent”, bertujuan :
Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis
yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang
sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar
profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau “over
utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya;
Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan
pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif,
misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah
bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi
dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan
besar karena kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak
akan dilakukan demikian oleh teman sejawat lainnya.
Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai
beberapa fungsi sebagai berikut :
1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia
2. promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri
3. untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien
4. menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
5. mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
6. mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan
7. sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.
Pada prinsipnya iformed consent deberikan di setiap pengobatan oleh dokter. Akan tetapi,
urgensi dari penerapan prinsip informed consent sangat terasa dalam kasus-kasus sebagai berikut
:
1. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pembedahan/operasi
2. dalam kasus-kasus yang menyangkut dengan pengobatan yang memakai teknologi baru yang
sepenuhnya belum dpahami efek sampingnya.
3. dalam kasus-kasus yang memakai terapi atau obat yang kemungkinan banyak efek samping,
seperti terapi dengan sinar laser, dll.
4. dalam kasus-kasus penolakan pengobatan oleh klien
5. dalam kasus-kasus di mana di samping mengobati, dokter juga melakukan riset dan
eksperimen dengan berobjekan pasien.
ASPEK HUKUM INFORMED CONSENT
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien)
bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan
“jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi
orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya
diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping
terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat
melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum
administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan
adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan
medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara
hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa
merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”.
Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan berat”
(culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis
belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis
(dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan
pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai
pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan
harus menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive
(misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan
medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut
telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal
351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed
consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien
dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang
seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent
ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau
belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar
teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam
lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.

1. Persetujuan Dokter dan


Pasien
Persetujuan antara dokter dan pasien untuk membentuk suatu ikatan merupakan
kunci untuk membuka pintu berlanjutnya hubungan dokter pasien. Tidak ada
saling setuju, maka tidak ada hubungan dokter pasien.
Ada tidaknya persetujuan merupakan dasar untuk mengatakan apakah
hubungan itu muncul atas dasar kesadaran atau paksaan dari masing-masing
pihak. Adanya persetujuan merupakan landasan kalau hubungan itu terbentuk
dengan adanya kesadaran dari para pihak dan keterbukaan dari para pihak, juga
kesadaran para pihak yang bersetuju untuk menerima kelemahan dan kelebihan
masing-masing.
Adanya unsur paksaan dan penipuan jelas akan mengotori kemurnian asas
keterbukaan atau kejujuran, hal mana jelas perbuatan itu merupakan perbuatan
immoral dan akan membuat hubungan antara dokter pasien manjadi batal.
Persetujuan antara dokter dan pasien dalam HDP tidak hanya terjadi sekali saja.
Saling setuju yang pertama kali merupakan bentuk persetujuan untuk memulai
adanya kontrak terapetik.
1.1 - Aspek Waktu dalam
Saling-setuju-
Tidak ada suatu perjanjian yang tidak menyebutkan waktu sebagai bagian dari
hubungannya. Waktu yang mungkin dapat diperjanjikan oleh seseorang kepada
pihak lain yang paling panjang adalah sepanjang dirinya masih hidup. Jadi
umumnya faktor waktu ini akan dipertegas berapa lama. Demikian juga tentunya
dalam kontrak terapetik.
Saling setuju dalam kontrak terapetik pada awalnya adalah untuk hanya untuk
menegaskan bahwa antara dokter dan pasien sudah 'deal' untuk melakukan
hubungan atau ikatan yang disebut kontrak terapetik. Adanya saling setuju dari
para pihak (dokter dan pasien) maka dokter akan melakukan tindakan selanjutnya.
Tindakan dokter dalam HDP, diawali dengan anamnesa, kemudian pemeriksaan
fisik, jika dokter merasa perlu penegasan dengan pemeriksaan penunjang
(laboratorium klinik, foto diagnostik, dll), maka dokter akan menyampaikan
maksudnya tersebut kepada pasien.
Saling setuju pada awal pertemuan dokter pasien merupakan awal waktu
dimulainya ikatan / hubungan dokter pasien dan merupakan persetujuan atau
saling setuju untuk yang pertama kali. Untuk selanjutnya, proses pelayanan
kesehatan diberikan oleh dokter berjalan terus seiring dengan waktu sampai
hubungan dokter pasien tersebut putus atau selesai.
Selama proses pelayanan diberikan oleh dokter maka dokter mungkin akan
minta persetujuan dari pasien jika akan melakukan tindakan dalam rangka
pengobatan ataupun diagnostik. Misalnya dokter akan melakukan pemeriksaan
foto thorak, maka disampaikan kepada pasien maksud dan tujuan dari tindakan
diagnostik foto thorak tersebut. Dalam hal ini, maka saling setuju muncul lagi tapi
tidak untuk membentuk ikatan dokter pasien, saling setuju dibentuk ditujukan
untuk melakukan tindakan foto thorak. Jika pasien setuju maka dokter memberikan
surat pengantar untuk dilakukan foto thorak tersebut. Dengan demikian pada
proses perjalanan hubungan dokter pasien terjadi saling setuju lagi. Hanya saja
dalam hal ini dokter mulai mendapat beban untuk menerangkan maksud dari
tindakan yang akan dilakukannya kepada pasien. Oleh karena kehendak untuk
dilakukan foto ronsen tersebut datang dari dokter maka otomatis dalam hal ini
posisi dokter sudah ada di 'setuju', sementara pasien belum ada di posisi setuju.
Pasien akan memberikan persetujuan jika dokter sudah menerangakan maksud,
manfaat dari tindakan foto ronsen thorax itu. Setelah pasien faham, maka pasien
baru membuat pertimbangan untuk memberi persetujuan atau tidak. Maka, jika
pasien menyetujui untuk difoto terbentuklah 'saling setuju'. Demikian saling setuju
dapat terbentuk berulang kali sesuai dengan kebutuhan.
1.2 - Berapa kali saling setuju itu akan
terbentuk-
Sampai berapa kali akan terbentuk saling setuju antara dokter pasien itu? Secara
pasti jelas tidak dapat ditetapkan. Tapi dapat saja dicoba untuk dihitung berapa
kali sebenarnya saling setuju itu akan terbentuk dalam suatu hubungan dokter
pasien untuk kegiatan yang paling sederhana sekali misalnya.
Jika pasien tidak dilakukan pemeriksaan penunjang misalnya. Jadi, hubungan
antara dokter dengan pasien hanya berjalan sederhana, yaitu pasien datang ke
praktik dokter, maka terjadi saling setuju yang pertama kali (1), kemudian dokter
memeriksa pasien dengan mengukur tekanan darah pasien. Dokter menyuruh
pasien untuk membuka lengan atasnya, pasien membuka lengan atasnya, maka
terjadi saling setuju yang ke-dua (2), memeriksa perut, dada, jantung, mata,
hidung, telinga, dan fisik lainnya, naggap saja itu saling setuju yang ke-tiga (3),
dokter kemudian membuat resep dan menanyakan sediaan apa yang disukai
pasien dan kemudian pasien minta diberi kapsul saja,maka terjadi salling setuju
yang ke-empat (4), kemudian pasien pulang. Mudahnya saja, disini di dalam
hubungan dokter pasien tersebut hanya terjadi empat kegiatan yang mereka
lakukan dengan saling setuju.
Boleh jadi peristiwa saling setuju itu terjadi berkali-kali dan sulit dihitung karena
sifat saling setuju yang tersirat itu (implied consent). Jika saling setuju tampak
(express consent) maka akan mudah untuk dihitung.
Terpenting untuk diketahui oleh dokter adalah bahwa tindakan dalam bentuk
apapun yang dilakukan dokter kepada pasien harus disertai adanya persetujuan
pasien. Hal ini merupakan perwujudan dari hak asasi manusia yaitu hak atas
informasi (righ to information) dan hak untuk menentukan nasibnya sendiri (right
to self determination), ynag merupak dasar yang sering terjadi dalam peristiwa
hubungan dokter pasien.
Dokter kemudian juga tidak perlu terlalu takut, karena bentuk persetujuan yang
terbentuk dalam hubungan dokter pasien tidaklah selalu express consent,
sebagian besar bentuk persetujuan tersebut dalam bentuk implied consent yaitu
bentuk persetujuan yang tidak nyata adanya 'kata setuju' atau 'adanya tanda
tanganpada lembar blangko informed consent' tetapi persetujuan yang tampak
dengan adanya kelangsungan pelayanan kesehatan yang dilakukan dokter kepada
pasien, sampai hubungan dokter pasien itu berhenti.
1.3 - Mungkinkah 'tidak ada' saling setuju
pada HDP?-
Pada prinsipnya tidak mungkin. Saling setuju antara dokter dengan pasien harus
terbentuk terlebih dahulu untuk dapat melanjutkan ke jenjang kontrak terapetik
selanjutnya yaitu pelayanan kesehatan.
Pada pasien yang tidak sadar jika ada keluarganya atau walinya atau
penolongnya, maka persetujuan dilakukan dengan pihak keluarganya atau walinya
atau penolongnya. Atau jika tidak siapapun dan ditemukan korban sendirian maka
saling setuju otomatis terjadi antara dokter dengan pasien melalui konsep 'ius
delicto', pada kasus demikian itu maka pasien dianggap sudah menyetujui
tindakan dokter, dan dokter tetap harus bekerja dengan profesional. Jadi, tidak
mungkin lahir suatu hubungan dokter pasien jika belum ada saling setuju antara
dokter dengan pasien.
1.4 - Persetujuan yang
pertama kali-
Persetujuan yang pertama kali terjadi antara dokter dengan pasien bukanlah
informed consent. Persetujuan yang pertama kali terjadi lebih banyak karena
adanya kehendak dari pasien. Pada awal akan ada hubungan dokter pasien,
peranan pasien untuk membuat hubungan adalah aktif. Pasienlah yang
berkehendak untuk mengadakan ikatan. Juga, pada saling setuju yang pertama ini
dokter belum pernah melakukan transfer informasi kepada pasien.
Pasien akan memilih dokter mana yang akan dikunjungi dengan berbagai
pertimbangan yang sudah disusun sebelumnya oleh pasein dan keluarganya.
Boleh jadi pasien akan memilih dokter yang dekat dengan lokasi rumahnya. Pasien
memilih dokter yang sama sejenis. Pasein memilih dokter yang ahli di bidang
sakitnya. Atau pasien memilih dokter karena dokter itu terkenal murah, atau
terkenal cepat sembuh kalau berobat kesana, dan lain sebagainya.
Jadi, posisi pasien pada awal akan melakukan kontrak terapetik memiliki posisi
tawar yang lebih tinggi dari dokter. Sementara dokter dalam hal ini adalah pasif.
Dokter menunggu adanya pasien datang. Miskipun tidak semua dokter demikian
tetapi posisi pasien pada awal hubungan adalah memilih dokter.
Setelah pasien mendapatkan dokter yang dirasa cocok, maka pasien akan
mendatangi dokter tersebut, kemudian pasien akan menyampaikan
permasalahannya. Sampai pada tingkat ini boleh jadi, posisi pasien masih
dominan. Tetapi, setelah dokter mendengar keluhan pasien dan dengan berbagai
pertimbangan maka dokkter akan menentukan, apakah dokter merasa cocok
dengan pasien ini atau tidak dan jika dokter cocok maka dokter akan 'deal' dengan
pasien ini untuk melakukan HDP atau tidak.
Jika dokter setuju, maka terlahirlah hubungan dokter pasien. Persetujuan tersebut
dapat berbentuk implied consent atau dapat juga berbentuk express consent.
Setelah itu dokter akan menanyai pasien atau anamnesa, memeriksa pasien (fisik
diagnostik), memberi pengantar untuk periksa darah, dan lain sebagainya. Hal
mana itu semua menunjukan kalau sudah ada 'deal awal' atau saling setuju antara
pasien dengan dokter.
2. Informed
Consent
Informed artinya sudah mendapat informasi, sudah memperoleh informasi, sudah
diberi informasi. Consent artinya persetujuan. Sehingga arti informed consent
adalah persetujuan yang sudah didasari adanya informasi, sudah didasari
pengertian dan pemahaman akan tindakan yang akan disetujui.
Jadi,.. jika pasien menandatangani blanko informed consent akan sebuat tindakan
yang akan dilakukan pada dirinya, berarti pasien memberikan persetujuan
terhadap tindakan yang akan dilakukan pada dirinya, dan sudah mendapat
informasi tentang tindakan yang akan dilakukan oleh dokter pada dirinya tersebut,
untung ruginya dilakukannya tindakan itu, resikonya, biaya dan lain sebagainya.
Masalah informasi dalam HDP merupakan hal yang sangat penting. Untuk itu
penanganan perihal informasi medis perlu pertimbangan untuk dibentuk suatu
badan khusus.
2.1 -
Definisi
Definisi informed consent adalah
○ Persetujuan yang sudah didasari adanya informasi, sudah didasari
pengertian dan pemahaman akan tindakan yang akan disetujui.
○ Pernyataan setuju terhadap tindakan diagnostik / terapetik, setelah
mendapat penjelasan tentang tujuan, resiko, alternatif tindakan yang
akan dilakukan, serta prognosis penyakit jika tindakan itu dilakukan /
tidak dilakukan.
○ Pada Bab I butir Id. Pedoman Persetujuan Tindakan Medik, disebutkan
bahwa : Informed Consent terdiri dari kata informed yang berarti
telah mendapat informasi dan Consent berarti persetujuan (ijin).
Ada perbedaan penekanan antara informed consent ini dengan persetujuan dalam
kontrak terapetik (sesuai pasal 1320 KUH perdata).
Informed Consent dalam profesi kedokteran (juga tenaga kesehatanan lainnya)
adalah pernyataan setuju (consent) atau ijin dari pasien yang diberikan dengan
bebas, rasional, tanpa paksaan (voluntary) tentang tindakan kedokteran yang akan
dilakukan terhadapnya sesudah mendapatkan informasi cukup tentang tindakan
kedokteran yang dimaksud.
2.2 - Dasar hukum informed
consent -
○ Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585 / MENKES 1 PER / IX /
1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik, yang pedoman
pelaksanaannya diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan
Medik Nomor: HK.00.063.5.1866 Tentang Pedoman Persetujuan
Tindakan Medik ( Informed Consent ) tanggal 21 April 1999.
○ SK. Dirjen YANMED. No. YM 00.03.2.6.956 Tentang Hak dan Kewajiban
Pasien Dan Perawat.
○ Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen
Kesehatan RI. Nomor : YM.02.04.3.5.2504 tanggal 10 Juni 1997
Tentang Pedoman Hak Dan Kewajiban Pasien, Dokter Dan Rumah
Sakit.
○ Pasal 45 (1) UUPRADOK.
2.3 - Persetujuan tindakan
medik-
Persetujuan tindakan medik (PERTINDIK) wujud formalnya merupakan lembaran,
disitu pasien bertanda- tangan sebagai bukti persetujuan.(SK dirjen pelayanan
medik no HK 00.06.3.5.1866, tentang Persetujuan Tindakan Medik).
Pertindik sebagai pengganti istilah informed consent, sebenarnya kurang lengkap
karena tidak tuntas mencerminkan isi informasi yang harus diberikan oleh dokter.
2.4 - Persetujuan tindakan
kedokteran-
Konsil Kedokteran Indonesia tahun 2006 menerbitkan istilah persetujuan tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi. Hanya saja istilah tersebut hanya merupakan
namalain dari informed consent, hal ini dapat dilihat di Buku Kemitraan yang juga
telah diterbitkan oleh KKI. Disebutkan di dalam Manual Persetujuan Tiindakan
Kedokteran:
Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi:
a. Adalah persetujuan pasien atau yang sah mewakilinya atas rencana tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang diajukan oleh dokter atau dokter gigi,
setelah menerima informasi yang cukup untuk dapat membuat persetujuan.
b. Persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi adalah pernyataan
sepihak dari pasien dan bukan perjanjian antara pasien dengan dokter atau dokter
gigi, sehingga dapat ditarik kembali setiap saat.
c. Persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi merupakan proses
sekaligus hasil dari suatu komunikasi yang efektif antara pasien dengan dokter
atau dokter gigi, dan bukan sekedar penandatanganan formulir persetujuan.
Sebagai tambahan juga di dalam Buku Kemitraan KKI menyebutkan,
persetujuan tindakan kedokteran (Informed consent) adalah proses komunikasi
antara pasien dan dokter, dimulai dari pemberian informasi kepada pasien tentang
segala sesuatu mengenai penyakit dan tindakan medis yang akan dilakukan,
pasien memahaminya, dan kemudian memutuskan persetujuannya.
Disebutkan dalam manual persetujuan tindakan kedokteran tersebut bahwa
persetujuan tindakan kedokteran adalah pernyataan sepihak pasien atau yang sah
mewakilinya yang isinya berupa persetujuan atas rencana tindakan kedokteran
atau kedokteran gigi yang diajukan oleh dokter atau dokter gigi, setelah menerima
informasi yang cukup untuk dapat membuat persetujuan atau penolakan.
2.5 - Penatalaksanaan informed
consent-
2.6 - Isi informed
consent-
Menurut Bab II butir 4 Pedoman di atas informasi dan penjelasan dianggap cukup
(adekuat) jika paling sedikit enam hal pokok di bawah ini disampaikan dalam
memberikan informasi dan penjelasan, yaitu :
 Informasi dan penjelasan tentang tujuan dan prospek
keberhasilan tindakan medik yang akan dilakukan (purpose of
medical procedures).
 lnformasi dan penjelasan tentang tata cara tindakan medis
yang akan dilakukan (contemplated medical prosedures).
 Informasi dan penjelasan tentang tentang risiko (risk inherent
in such medical prosedures) dan komplikasi yang mungkin
terjadi.
 Informasi dan penjelasan tentang alternatif tindakan medis lain
yang tersedia dan serta risikonya masing-masing (alternative
medical prosedure and risk),
 Informasi dan penjelasan tentang prognosis penyakit apabila
tindakan medis tersebut dilakukan (prognosis with and without
medical procedure).
 Diagnosis.
2.7 - Kapan informed consent
dilakukan? -
Informed consent akan dilakukan pasien setelah pasien melakukan saling setuju
untuk yang pertama kali dengan dokter.
Persetujuan pasien di dalam 'saling setuju yang kedua dan seterusnya' terhadap
tindakan dokter yang akan dilakukan pada pasien, itulah yang nantinya disebut
informed consent. Sehingga, terjadinya informed consent adalah setelah ada deal
antar pasien dan dokter untuk melakukan hubungan.
Informed consent itu adalah persetujuannya pasien terhadap tindakan medik yang
akan dilakukan dokter pada tubuhnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa informed
consent itu adalah persetujuan sepihak, yaitu persetujuan yang dibuat pasien.
Memperhatikan hal tersebut maka, informed consent dapat dilakukan berkali-kali
dan dilakukan setiap akan ada tindakan dokter pada pasiennya.
2.8 - Sampai Berapa Lama Persetujuan
Berlaku?
Perlu ditegaskan lagi bahwa persetujuan pada waktu pertama kali bukanlah
informed consent, melainkan persetujuan untuk melakukan kontrak terapetik.
Pada peristiwa ini maka persetujuan akan ditutup bersamaan dengan ditutupnya
kontrak terapetik, hal mana ditandai dengan adanya pelunasan dari biaya
pemeriksaan dokter oleh pasien (dilihat dari konsep kontrak jual beli jasa).
Bilamana pasien datang lagi, misalnya waktu kontrol maka tetap akan dikenai
biaya jasa pemeriksaan lagi oleh dokter, karena merupakan bentuk kontrak baru
lagi.
Kemudian bagaimana dengan persetujuan tindakan kedokteran? Jelas disebutkan
disini adalah persetujuan untuk tindakan kedokteran, bukan persetujuan untuk
kontrak terapetik. Pada peristiwa kedua ini maka adanya persetujuan didasarkan
adanya peristiwa informasi sehingga disebut dengan informed consent.
Pada buku Pedoman Persetujuan Tindakan Kedokteran / Gigi, KKI menyebutkan:
"Tidak ada satu ketentuan pun yang mengatur tentang lama keberlakuan suatu
persetujuan tindakan kedokteran'. Teori menyatakan bahwa suatu persetujuan
akan tetap sah sampai dicabut kembali oleh pemberi persetujuan atau pasien.
Namun demikian, bila informasi baru muncul, misalnya tentang adanya efek
samping atau alternatif tindakan yang baru, maka pasien harus diberitahu dan
persetujuannya dikonfirmasikan lagi. Apabila terdapat jedah waktu antara saat
pemberian persetujuan hingga dilakukannya tindakan, maka alangkah lebih baik
apabila ditanyakan kembali apakah persetujuan tersebut masih berlaku. Hal-hal
tersebut pasti juga akan membantu pasien, terutama bagi mereka yang sejak awal
memang masih ragu-ragu atau masih memiliki pertanyaan."
Untuk keterangan KKI tersebut, penulis setuju, karena yang dimaksud adalah
persetujuan dalam rangka "tindakan medik". Untuk hal seperti ini istilah informed
consent lebih penulis sukai, mengingat aspek informasi memegang peranan pokok
untuk munculnya saling setuju dalam hubungan dokter pasien.
2.9 - Bentuk informed
consent-
Bentuk informed consent dapat tersembunyi (implied conset) dan yang terwujud
(express consent).
Bentuk dari infoermed consent yang tersembunyi, merupakan bentuk yang paling
sering terjadi, karena di dalam hubungan dokter pasien proses pelayanan dokter
kepada pasien berupa anamnesa, pemeriksaan, dan tindakan-tindakan medis yang
sering terjadi sudah dianggap sebagai kebiasaan oleh pasien dan dokter sehingga
perwujudan informed consent merupakan hal yang tidak umum.
Bentuk informed consent yang tersembunyi tersebut tidak menghilangkan hakekat
dari adanya saling setuju antara dokter dengan pasien. Bahkan dengan
tersembunyinya bentuk informed consent tersebut menunjukkan adanya
kedalaman dari masing-masing pihak akan pemahaman dari tugas dan
tanggungjawab masing-masing pihak.
Hanya saja, pada perkembangannya seiring dengan semakin berkembangnya ilmu
dan teknolgi kedokteran mengakibatkan beberapa kondisi yang menuntut semakin
seringnya mewujudkan informed consent tersebut. Hal tersebut misalnya adalah:
○ semakin jauhnya masyarakat dari iptek kedokteran. Hal ini terjadi
karena perkembangan iptek kedokteran yang cepat.
○ semakin banyaknya alternatif pilihan terapi dan diagnostik.
○ semakin tingginya kesadaran masyarakat akan hak-hak pasien.
○ perkembangan ilmu hukum yang mendorong masyarakat untuk sadar
akan posisinya dalam hubungan dokter pasien.
○ kesadaran dokter akan aspek hukum dari tindakan medis.
Informed consent yang terwujud dapat berupa oral consent (terucap) dan writen
consent (tertulis). Bentuk oral consent ini terwujud dengan kata-kata persetujuan
dari pasien terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh dokter. Bentuk oral
consent ini lebih sering terdapat jika dibanding dengan yang writen consent.
Bentuk yang tertulis ini banyak dipakai untuk tidakan yang bersifat infasiv, seperti
tindakan operasi, tindakan diagnostik (foto dengan kontras), dan tindakan dengan
biaya mahal dan lain sebagainya.
Untuk kepentingan rekam medik ada baiknya untuk selalu mencatat persetujuan
dari pasien yang berupa kata 'setuju' ke dalam lembaran rekam medik saat dokter
visite.
Demikian juga misalnya tindakan keperawatan yang akan dilakukan perawat
dalam rangka pelayanan keperawatannya harus menyertakan adanya informed
consent dalam setiap tindakan keperawatannya. Baik dalam bentuk yang
tersembunyi ataupun bentuk yang terwujud.
2.10 - Kewajiban memberi
penjelasan-
Bab II butir 5 Kep Dirjen Yanmed Pedoman Pertindik menyebutkan bahwa : Dokter
yang akan melakukan tindakan medik mempunyai tanggung jawab utama
memberikan informasi dan penjelasan yang diperlukan. Apabila berhalangan,
informasi dan penjelasan yang harus diberikan dapat diwakilkan kepada dokter
lain dengan sepengetahuan dokter yang bersangkutan.
Pasal 6 PERMENKES TENTANG PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK menyebutkan:
(1) Dalam hal tindakan bedah (operasi) atau tindakan invasif lainnya, informasi
harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan operasi itu sendiri
(2) Datam keadaan tertentu dimana tidak ada dokter sebagaimana dimaksud ayat
informasi harus diberikan oleh dokter lain dengan sepengetahuan atau petunjuk
dokter yang bertanggung jawab.
(3) Dalam hal tindakan yang bukan bedah (operasi) dan tindakan yang tidak
invasif lainnya, informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat dengan
sepengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
2.11 - Sahnya suatu informed
consent-
Suatu persetujuan dianggap sah apabila:
a. Pasien telah diberi penjelasan/ informasi
b. Pasien atau yang sah mewakilinya dalam keadaan cakap (kompeten) untuk
memberikan keputusan/persetujuan.
c. Persetujuan harus diberikan secara sukarela (tidak ada unsur paksaan)
d. Tidak boleh ada unsur penipuan.
Seperti pada syarat sahnya suatu kontrak, hal mana di dalamnya disebutkan
salah satu unsur untuk sahnya suatu kontrak yaitu adanya saling setuju. maka
untuk sahnya informed consent itu juga mengacu pada ketentuan yang sama
dengan konsep saling setuju seperti yang terdapat dalam kontrak terapetik.
Menekankan hanya pada adanya tanda-tangan persetujuan tindakan
kedokteran akan menjebak dokter hanya bekerja secara formal tanpa ada beban
moral dari pekerjaannya. Bahkan dokter dapat saja terbawa oleh susana formalitas
dari pekerjaannya itu. Padahal yang terpenting adalah munculnya kesadaran dari
pasien tindakan dokter itu tidak menjanjikan hasil, dokter hanya berusaha dengan
iptek yang saat ini ada.
Memang bukti formal berupa selembar kertas yang ditanda-tangi itu sangat
penting, terlebih jika dikaitkan dengan aspek hukum perdata, tetapi dilihat dari
aspek pidana, yang melihat kebenaran tidak hanya dari aspek formal, tapi
kebenaran adalah kebenaran material, maka bukti formal saja tidak mencukupi.
Maka, perhatian dokter terhadap masalah informed consent ini harus proporsional.
Kemudian juga harus disampaikan resiko-resiko yang mungkin dapat terjadi
dari tindakan yang akan dilakukan dokter. Untuk itu sangat penting diupayakan
agar persetujuan juga mencakup apa yang harus dilakukan jika terjadi peristiwa
yang tidak diharapkan dalam pelaksanaan tindakan kedokteran tersebut.
Persetujuan harus diberikan secara bebas, tanpa adanya tekanan dari manapun,
termasuk dari staf medis, saudara, teman, polisi, petugas rumah tahanan/Lembaga
Pemasyarakatan, pemberi kerja, dan perusahaan asuransi. Bila persetujuan
diberikan atas dasar tekanan maka persetujuan tersebut tidak sah. Pasien yang
berada dalam status tahanan polisi, imigrasi, LP atau berada di bawah peraturan
perundangundangan di bidang kesehatan jiwa/mental dapat berada pada posisi
yang rentan. Pada situasi demikian, dokter harus memastikan bahwa mereka
mengetahui bahwa mereka dapat menolak tindakan bila mereka mau.
2.12 - Cara memberi
informasi-
Bab II butir 6 Pedoman Persetujuan Tindakan Medik menyebutkan : Informasi dan
penjelasan disampaikan secara lisan. Informasi dan penjelasan secara tulisan
dilakukan hanya sebagai pelengkap penjelasan yang telah disampaikan secara
lisan.
Pada pasal 4 dan 5 PERMENKES TENTANG PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK
disebutkan dalam pasal 4 dan 5 bahwa :
Pasal 4.
(1) Informasi tentang tindakan medik harus diberikan kepada pasien, baik diminta
maupun tidak diminta.
(2) Dokter harus memberikan informasi seiengkap- tengkapnya, kecuali biIa dokter
menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kesehatan pasien atau pasien
menolak diberi informasi.
(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud aya (2) dokter dengan persetujuan pasien
dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh
perawat sebagai saksi.

Pasal 5.
(1) Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan
medik yang akan dilakukan, balk diagnostik maupun terapeutik.
(2) Informasi diberikan secara lisan_
(3) Informasi harus diberikan secara jujur dan benar kecuali bila dokter menilai
bahwa hal itu dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien.
(4) Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud ayat (3) dokter dengan persetujuan
pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat pasien.

CATATAN
Istilah kedokteran tidak boleh dipakai dalam memberikan informasi dan penjelasan
karena mungkin tidak dimengerti oleh orang awam agar supaya tidak terjadi salah
pengertian sehingga mengakibatkan masalah yang serius.
Informasi harus diberikan sesuai dengan tingkat pendidikan, kondisi dan situasi
pasien.
2.13 - Pihak yang memberikan
informasi.
Pihak yang wajib memberikan informasi adalah dokter atau tenaga kesehatan lain
yang akan langsung memberikan tindakan tersebut kepada pasien.
Adalah tanggung jawab dokter pemberi perawatan atau pelaku
pemeriksaan/tindakan untuk memastikan bahwa persetujuan tersebut diperoleh
secara benar dan layak. Dokter memang dapat mendelegasikan proses pemberian
informasi dan penerimaan persetujuan, namun tanggung jawab tetap berada pada
dokter pemberi delegasi untuk memastikan bahwa persetujuan diperoleh secara
benar dan layak.
Jika seseorang dokter akan memberikan informasi dan menerima persetujuan
pasien atas nama dokter lain, maka dokter tersebut harus yakin bahwa dirinya
mampu menjawab secara penuh pertanyaan apapun yang diajukan pasien
berkenaan dengan tindakan yang akan dilakukan terhadapnya untuk memastikan
bahwa persetujuan tersebut dibuat secara benar dan layak.
2.14 - Pihak Yang Berhak Menyatakan
Persetujuan.
Dalam Pedoman Persetujuan Tindakan medik hal ini diatur dalam pasal 7. yaitu :
a. Pasien sendiri, yaitu apabila pasien telah berumur 21 tahun atau telah menikah.
b. Bagi pasien dibawah umur 21 tahun, Persetujuan (informed consent) atau
Penolakan Tindakan Medik diberikan oleh mereka menurut hak sebagai berikut:
(1) Ayah / ibu kandung.
(2) Saudara-saudara kandung.
c. Bagi yang dibawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai orang tua atau orang
tuanya berhalangan hadir, Persetujuan (informed consent) atau Penolakan
Tindakan Medis diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai berikut :
(l) Ayah/ibu adopsi.
(2) Saudara-saudara kandung.
(3) Induk semang.
d. Bagi pasien dewasa dengan gangguan mental, Persetujuan (informed consent)
atau Penolakan Tindakan Medis diberikan oleh mereka menurut urutan hak
sebagai berikut :
( 1 ) Ayah/ibu kandung.
(2) Wali yang sah.
(3) Saudara-saudara kandung.
e. Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan (curatelle), Persetujuan
atau Penolakan Tindakan Medik di berikan menurut urutan hak sebagai berikut:
(1) Wali.
(2) Curator.
f. Bagi pasien dewasa yang telah menikah / orang tua, persetujuan atau
penolakan tindakan medis diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai
berikut :
a. Suami/istri.
b. Ayah/ibu kandung.
c. Anak-anak kandung.
d. Saudara-saudara kandung.

CATATAN.
Yang dimaksud dengan beberapa pengertian dibawah ini berdasarkan Bab I butir 4
Pedoman Persetujuan Tindakan Medik :
l. Ayah : -Ayah kandung.
Termasuk "Ayah" adalah ayah angkat yang ditetapkan berdasarkan penetapan
pengadilan atau berdasarkan Hukum Adat.
2. Ibu :-Ibu kandung.
Termasuk " lbu " adalah ibu angkat yang ditetapkan berdasarkan Hukum Adat.
3. Suami :- Seorang laki-laki yang dalam ikatan perkawinan dengan seorang
perempuan berdasarkan peraturan perundang - undangan yang berlaku.
4.lsteri :- Seorang perempuan yang dalam ikatan perkawinan dengan seorang
lakilaki berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila yang bersangkutan mempunyai lebih dari l (satu) isteri, persetujuan
/penolakan dapat dilakukan oleh salah satu dari mereka.
5. Wali: - Adalah yang menurut hukum menggantikan orang lain yang belum
dewasa untuk mewakilinya dalam melakukan perbuatan hukum atau yang
menurut hukum menggantikan kedudukan orang tua.
6. Induk semang : adalah orang yang berkewajiban untuk mengawasi serta ikut
bertanggung jawab terhadap pribadi orang lain seperti pimpinan asrama dari anak
perantauan atau kepala rumah tangga dari seorang pembantu rumah tangga yang
belum dewasa.

Berdasarkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka setiap orang


yang berusia 18 tahun atau lebih dianggap sebagai orang yang sudah bukan anak-
anak. Dengan demikian mereka dapat diperlakukan sebagaimana orang dewasa
yang kompeten, dan oleh karenanya dapat memberikan persetujuan.
Miskipun demikian untuk anak yang berumur dibawah 18 tahun, jika memerlukan
tindakan darurat maka pertolongan tetap harus diberikan dalam rangka mencegah
timbulnya kecacatan, atau kerusakan lebih lanjut jika tidak diberi tindakan segera.
Kemudian jika usianya dibawah 18 tahun, tapi memungkinkan untuk dapat
mengerti dan memahami sifat dari persetujuan itu (dalam rangka untuk memenuhi
hak asasi manusia) maka dibolehkan untuk melakukan persetujuan asal dilakukan
pada tindakan yang tidak beresiko tinggi.
2.15 - Kompetensi pasien dalam
persetujuan
Berkaitan dengan masalah kompetensi dalam memberikan persetujuan, maka
pengertian kompeten dari pasien itu perlu diurai, sampai sejauh mana sehingga
dapat disebut kompeten, perlu ditetapkan pedoman garis besarnya demi untuk
kepastian hukum.
Di dalam pedoman persetujuan tindakan kedokteran KKI menyebutkan ada 3
kriteria, yaitu seseorang (pasien) dianggap kompeten untuk memberikan
persetujuan, apabila:
○ Mampu memahami informasi yang telah diberikan kepadanya dengan
cara yang jelas, menggunakan bahasa yang sederhana dan tanpa
istilah yang terlalu teknis.
○ Mampu mempertahankan pemahaman informasi tersebut untuk
waktu yang cukup lama dan mampu menganalisisnya dan
menggunakannya untuk membuat keputusan secara bebas.
○ Mampu mempercayai informasi yang telah diberikan.
Miskipun pada pasien sudah disampikan informasi, ada baiknya untuk tetap
dilakukan cek silang dengan keluarganya akan sikap dari pasien tersebut. Hal ini
untuk memberikan kepastian juga pada keluarga bahwa apa yang disampaikan
pasien itu benar, sudah disadari dan dimaklumi juga oleh keluarga. Karena,
penuntutan tidak selalu muncul dari pasien, tapi dapat juga termotivasi oleh sikap
keluarga yang merasa tidak puas terhadap pelayanan kesehatan yang diterima
oleh pasien.
Sehingga tetap diperlukan kehadiran daripihak keluarga untuk menjadi saksi atas
persetujuan tindakan yang akan dilakukan dokter kepada pasien..
2.16 - Cara Memberikan
Persetujuan.
Bab II butir 8 Pedoman Persetu,juan Tindakan Medik menyebutkan bahwa cara
pasien menyatakan persetujuan dapat secara :
1. tertulis (express) maupun,
2. lisan (implied).
Persetujuan tertulis mutlak diperlukan pada tindakan medis yang mengandung
risiko tinggi, sedangkan persetujuan secara lisan diperlukan pada tindakan medis
yang tidak mengandung risiko tinggi.
Lebih lanjut KKI dalam buku petunjuknya menjelaskan memberikan petunjuk
bahwa persetujuan tertulis diperlukan pada keadaan-keadaan sbb:
- Bila tindakan terapetik bersifat kompleks atau menyangkut risiko atau efek
samping yang bermakna.
- Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.
- Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi
kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien
- Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.
Pasal 45 UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ayat (5) menyatakan
bahwa " Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko
tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang
berhak memberikan persetujuan."
2.17 - Penolakan Tindakan Kedokteran
(Informed Refusal)
Persetujuan akan tindakan yang sedang direncanakan mutlak ada ditangan pasien.
Jadi setelahpasien menerima informasi dari dokter atau yang bertugas untuk
memberikan keterangan, maka selanjutnya psien akan bersikap, menerima atau
menolak.
Penolakan (refusal) pasien tersebut dapat disebut juga dengan istilah penolakan
tindakan kedokteran atau penolakan tindakan medik atau informed refusal.
Pada pasien yang kompeten (dia memahami informasi, menahannya dan
mempercayainya dan mampu membuat keputusan) berhak untuk menolak suatu
pemeriksaan atau tindakan kedokteran.
Penolakan itu boleh logis boleh juga tidak, sebab penolakan yang terjadi
merupakan resiko pasien, hal mana resiko akibat dari penolakan itu diterangakan
sebelumnya oleh dokter kepada pasien atau keluarganya..
Kalau hal seperti ini terjadi dan bila konsekuensi penolakan tersebut berakibat
serius maka keputusan tersebut harus didiskusikan dengan pasien, tidak dengan
maksud untuk mengubah pendapatnya tetapi untuk mengklarifikasi situasinya.
Untuk itu perlu dicek kembali apakah pasien telah mengerti informasi tentang
keadaan pasien, tindakan atau pengobatan, serta semua kemungkinan efek
sampingnya.
Kenyataan adanya penolakan pasien terhadap rencana pengobatan yang terkesan
tidak rasional bukan merupakan alasan untuk mempertanyakan kompetensi
pasien. Meskipun demikian, suatu penolakan dapat mengakibatkan dokter meneliti
kembali kapasitasnya, apabila terdapat keganjilan keputusan tersebut
dibandingkan dengan keputusan-keputusan sebelumnya. Dalam setiap masalah
seperti ini rincian setiap diskusi harus secara jelas didokumentasikan dengan baik.
2.18 - Penundaan dan Pembatalan
Persetujuan
Berhubungan dengan perihal penolakan tindakan kedokteran, pasien juga memiliki
hak untuk menunda bahkan membatalkan persetujuan yang telah dibuatnya. Hal
ini semata-mata menghormati hak pasien yang berdiri atas dasar hak untuk
menentukan nasbnya sendiri (right to self determination).
Pedoman tentang yang dikeluarkan KKI juga menyebutkan, persetujuan suatu
tindakan kedokteran dapat saja ditunda pelaksanaannya oleh pasien atau yang
memberikan persetujuan dengan berbagai alasan, misalnya terdapat anggota
keluarga yang masih belum setuju, masalah keuangan, atau masalah waktu
pelaksanaan. Dalam hal penundaan tersebut cukup lama, maka perlu di cek
kembali apakah persetujuan tersebut masih berlaku atau tidak.
Pengecekan diperlukan untuk menilai lagi adakah tindakan medik yang dilakukan
itu masih layak mengingat perjalanan waktu sakit, sehingga dimungkinkan adanya
perubahan kondisi dari pasien. Juga, juga diperlukan apakah pasien masih ingat
akan resiko dari tindakan yang akan dilakukan. Memperhatikan hal ini, jika
ditemukan hal- hal yan gkurang pas karena adanya perubahan, maka ada baiknya
dibuat bentuk persetujuan baru sesuai dengan kondisi yang ada sekarang.
Selain penundaan juga dimungkin pasien melakukan pembatalan terhadap
tindakan medik yang sudah disetujuinya.
Pada dasarnya, setiap saat pasien dapat membatalkan persetujuan mereka
dengan membuat surat atau pernyataan tertulis pembatalan persetujuan tindakan
kedokteran. Pembatalan tersebut dapat dilakukan selama pasien memiliki
kesadaran penuh. Jika pasien sudah dalam keadaan tidak sadar karena pengaruh
pembiusan tentunya pembatalan tidak akan dapat dilakukan.
Pasien harus diberitahu bahwa pasien bertanggungjawab atas akibat dari
pembatalan persetujuan tindakan. Oleh karena itu, pasien harus kompeten untuk
dapat membatalkan persetujuan.
Menentukan kompetensi pasien pada beberapa situasi seperti pasien menderita
nyeri, syok atau pengaruh obat-obatan dapat mempengaruhi kompetensi pasien
dan kemampuan dokter dalam menilai kompetensi pasien. Dokter dalam hal
situasi sulit seperti ini dituntut untuk memiliki ketrampilan dalam membangun
landasan etik yang tepat.
Bila pasien dipastikan kompeten dan memutuskan untuk membatalkan
persetujuannya, maka dokter harus menghormatinya dan membatalkan tindakan
atau pengobatannya.
Kadang-kadang pembatalan tersebut terjadi pada saat tindakan sedang
berlangsung. Bila suatu tindakan menimbulkan teriakan atau tangis karena nyeri,
tidak perlu diartikan bahwa persetujuannya dibatalkan.
Rekonfirmasi persetujuan secara lisan yang didokumentasikan di rekam medis
sudah cukup untuk melanjutkan tindakan. Tetapi apabila pasien menolak
dilanjutkannya tindakan, apabila memungkinkan, dokter harus menghentikan
tindakannya, mencari tahu masalah yang dihadapi pasien dan menjelaskan
akibatnya apabila tindakan tidak dilanjutkan.
Dalam hal tindakan sudah berlangsung sebagaimana di atas, maka penghentian
tindakan hanya bisa dilakukan apabila tidak akan mengakibatkan hal yang
membahayakan pasien.
2.19 - Pembukaan
Informasi
Berdasar Undang-undang Praktik Kedokteran Paragraf 4: Rahasia Kedokteran,
pasal 48 ayat (2) disebutkan: " Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk
kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum
dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan
ketentuan perundang-undangan"
Oleh karena segala hal yang berkaitan dengan pasien adalah termasuk dalam
pengertian "segala hal yang harus dirahasikan oleh dokter atau yang disebut
rahasia medik", maka ketentuan untuk membuka rahasia ini harus memenuhi
aturan yang ada.
Informasi tentang pasien yang diperoleh dokter dalam proses hubungan dokter
psien menjadi rahasia kedokteran.
Pada umumnya pembukaan informasi pasien kepada pihak lain memerlukan
persetujuan pasien. Persetujuan tersebut harus diperoleh dengan cara yang layak
sebagaimana diuraikan di atas, yaitu melalui pemberian informasi tentang baik-
buruknya pemberian informasi tersebut bagi kepentingan pasien.
UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengatur bahwa pembukaan
informasi tidak memerlukan persetujuan pasien pada keadaan-keadaan:
a. untuk kepentingan kesehatan pasien
b. memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum, misalnya dalam bentuk visum et repertum
c. atas permintaan pasien sendiri
d. berdasarkan ketentuan undang-undang, misalnya UU Wabah dan UU Karantina
Setelah memperoleh persetujuan pasien maka dokter tetap diharapkan memenuhi
prinsip "need to know", yaitu prinsip untuk memberikan informasi kepada pihak
ketiga tersebut hanya secukupnya, yaitu sebanyak yang dibutuhkan oleh peminta
informasi.
2.20 - Kesehatan
Reproduksi
Kesehatan reproduksi tidak hanya melibatkan individu tetapi melibatkan pasangan
dan janin yang dikandungnya terutama bagi wanita. Oleh karena itu, persetujuan
tindakan di bidang kesehatan reproduksi memiliki dimensi yang agak berbeda
dengan kondisi tindakan medis terhadap organ lainnya.
Permasalahan utama pada pemberian persetujuan dalam lingkup kesehatan
reproduksi adalah kapan dan bagaimana persetujuan cukup diberikan oleh pasien
wanita saja, orang tua, suami saja dan suami isteri.
2.21 - Format Isian Informed
Consent.
Formad isian Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent) atau Penolakan
Tindakan Medik, digunakan seperti contoh formulir terlampir, dengan ketentuan
sebagai berikut :
○ Diketahui dan ditanda tangani oleh dua orang saksi. Perawat
bertindak sebagai salah satu saksi ;
○ Materai tidak diperlukan ;
○ Formulir asli harus disimpan dalam berkas rekam medis pasien ;
○ Formulir harus sudah diisi dan ditandatangani 24 jam sebelum
tindakan medis dilakukan.
○ Dokter harus ikut membubuhkan tanda tangan sebagai bukti bahwa
telah diberikan informasi dan penjelasan secukupnya.
○ Sebagai ganti tanda tangan, pasien atau keluarganya yang buta huruf
harus membubuhkan cap jempol ibu jari tangan kanan.
CATATAN
• Ibu jari pasien atau keluarganya yang berhak membubuhkan cap ibu jari tersebut
tidak boleh dipegang oleh tenaga kesehatan yang mendampingi (untuk
menghindari tuduhan adanya paksaan dari pihak rumah sakit dan atau tenaga
kesehatan)
• Apabila pasien atau keluarganya yang berhak membubuhkan cap ibu tersebut
buta aksara dan tuna netra (tidak dapat melihat sama sekali) petugas yang
mendapingi boleh memegang ibu jarinya, tetapi harus disertai berita acara dan
ditandatangani oleh dua orang saksi seperti berita acara dan ditanda tangani oleh
dua orang saksi seperti pada formulir persetujuan atau penolakan tindakan medik.
2.22 - Sanksi
Hukum.
Sarana kesehatan dan tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan yang
telah ditetapkan berdasarkan peraturan-peraturan tersebut diatas dapat dijatuhi
sanksi hukum maupun sanksi administratif apabila pasien dirugikan oleh kelalaian
tersebut.
Di dalam pedoman persetujuan tindakan kedokteran disebutkan juga sanksi yang
akan dapat menimpa dokter jika tidak melakukan informed consent dalam
praktiknya.
Jika seorang dokter tidak memperoleh persetujuan tindakan kedokteran yang sah,
maka dampaknya adalah bahwa dokter tersebut akan dapat mengalami masalah :
1. Hukum Pidana
Menyentuh atau melakukan tindakan terhadap pasien tanpa persetujuan dapat
dikategorikan sebagai "penyerangan" (assault). Hal tersebut dapat menjadi alasan
pasien untuk mengadukan dokter ke penyidik polisi, meskipun kasus semacam ini
sangat jarang terjadi.
2. Hukum Perdata
Untuk mengajukan tuntutan atau klaim ganti rugi terhadap dokter, maka pasien
harus dapat menunjukkan bahwa dia tidak diperingatkan sebelumnya mengenai
hasil akhir tertentu dari tindakan dimaksud - padahal apabila dia telah
diperingatkan sebelumnya maka dia tentu tidak akan mau menjalaninya, atau
menunjukkan bahwa dokter telah melakukan tindakan tanpa persetujuan
(perbuatan melanggar hukum).
3. Pendisiplinan oleh MKDKI
Bila MKDKI menerima pengaduan tentang seorang dokter atau dokter gigi yang
melakukan hal tersebut, maka MKDKI akan menyidangkannya dan dapat
memberikan sanksi disiplin kedokteran, yang dapat berupa teguran hingga
rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi.
2.23 - Sanksi
Pidana.
Seorang tenaga kesehatan yang melakukan tindakan medik terhadap pasien tanpa
persetujuan pasien atau keluarganya, dapat dianggap melakukan penganiayaan
yang sanksinya diatur dalam pasal 351 KUHP. Yang berbunyi :
1. Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah
2. Jika penganiayaan itu berakibat luka berat, yang bersalah dipidana dengan
pidana penjara paling lama lima tahun
3. Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, maka yang bersalah dipidana
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun
4. Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja
5 Percobaan melakukan kejahatan itu tidak dipidana.
2.24 - Kewajiban Mengganti
Kerugian.
2.24.1 A. Kewajiban Tenaga Kesehatan untuk
mengganti kerugian.
Disebutkan pada pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan menyebutkan: " (1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat
kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. (2) Ganti rugi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
PENJELASAN ayat (1).
Pemberian hak atas ganti rugi merupakan suatu upaya untuk memberikan
perlindungan bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun
nonfisik karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan.
Perlindungan ini sangat penting karena akibat kelalaian atau kesalahan itu
mungkin dapat menyebabkan kematian atau menimbulkan cacat permanen.
Yang dimaksud dengan kerugian fisik adalah hilangnya atau tidak berfungsinya
seluruh atau sebagian organ tubuh, sedangkan kerugian nonfisik berkaitan dengan
martabat seseorang.
- Pasal 1366 KUHP Perdata berbunyi :
Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya
atau kurang hatihatinya.
CATATAN
Gugatan terhadap dokter secara pribadi dapat dilakukan apabila : Dokter tersebut
melakukan kelalaian di tempat praktek pribadi atau sebagai dokter tamu di sebuah
rumah sakit yang tidak menggaji dia.
2.24.2 B. Kewajiban Sarana
Kesehatan.
Apabila pasien dirugikan oleh tenaga kesehatan yang bekerja di sebuah sarana
kesehatan misalnya sebuah rumah sakit, yang digugat untuk mengganti rugi
adalah rumah sakit tersebut, berdasarkan azas respondeat superior dan azas
tanggung renteng yang diatur dalam pasal 1367 KUHP Perdata.
Sedangkan tenaga kesehatan yang kurang hati-hati tersebut dapat dijatuhi sanksi
administratif.
2.25 - Sanksi Administratif Bagi
Dokter.
Pasal 13 PERMENKES Tentang INFORMED CONSENT, mengatur tentang Sanksi
Administratif yang berbunyi :
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa persetujuan pasien atau
keluarganya, dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan ijin praktek.
2.26 - Hal Dimana Persetujuan Medik Tidak
Diperlukan.
Meskipun persetujuan dari pasien mutlak diperlukan sebelum dilakukan dan ada
sanksinya bila melakukan tindakan medik tanpa seijin pasien, ada tiga hal dimana
persetujuan medik tidak sama sekali tidak diperlukan.
Hal ini diatur dalam 7, pasal 11 dan pasal 14 PERMENKES Tentang Informed
Consent.
Pasal 7.
(1) Informasi juga harus diberikan jika ada kemungkinan perluasan operasi.
(2) Perluasan operasi yang tidak diduga sebelumnya, dapat dilakukan untuk
menyelamatkan jiwa pasien.
(3) Setelah perluasan operasi sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan,
dokter harus memberikan informasi kepada pasien atau keluarganya.

Pasal 11.
Dalam hal pasien tidak sadar/pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga
terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat dan atau darurat yang
memerlukan tindakan medik segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan
persetujuan dari siapapun.

Pasal 14.
Dalam hal tindakan medik yang harus dilaksanakan sesuai dengan program
pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat
banyak, maka persetujuan tindakan medik tidak diperlukan.

CATATAN.
Meskipun pasien atau keluarganya telah menyetujui tindakan medik yang akan
dilakukan terhadap dirinya atau keluarganya, apabila terjadi kematian, luka berat
atau sakit untuk sementara akibat kelalaian tenaga kesehatan, tenaga kesehatan
tetap dapat dituntut atau digugat karena kelalaian tersebut.
2.27 - Mengapa masih ada
permasalahan?
Permasalahan dalam hubungan dokter pasien, tetap masih dapat terjadi.
Khususnya terkait tindakan medis yang dilakukan oleh dokter. Permasalah
tersebut tetap masih ada karena adanya "misinformasi". Kemungkinan karena
kurangnya fasilitas komunikasi (dokter / RS dengan pasien).
Masalah informasi ini penting untuk dijadikan obyek kajian mengngat tenaga
kesehatan dengan pola pelayanan paternalisitiknya, mungkin akan melakukan
tindakan yang tidak benar seperti :
○ Tidak memberi informasi
○ Informasi tidak benar
○ Informasi lewah
○ Informasi tidak lengkap
2.28 - kapan informed consent
diperlukan-
Informed consent diperlukan tidak hanya untuk kasus tindakan kedokteran yang
akan dilakukan dokter pada pasien saja. Beberapa tindakan selain tindakan
kedokteran juga memerlukan informed consent yaitu:
• Kerahasiaan dan pengungkapan informasi
Dokter membutuhkan persetujuan pasien untuk dapat membuka informasi pasien,
misalnya kepada kolega dokter, pemberi kerja atau perusahaan asuransi.
Prinsipnya tetap sama, yaitu pasien harus jelas terlebih dahulu tentang informasi
apa yang akan diberikan dan siapa saja yang akan terlibat.
• Pemeriksaan skrining
Memeriksa individu yang sehat, misalnya untuk mendeteksi tanda awal dari
kondisi yang potensial mengancam nyawa individu tersebut, harus dilakukan
dengan perhatian khusus.
• Pendidikan
Pasien dibutuhkan persetujuannya bila mereka dilibatkan dalam proses belajar-
mengajar. Jika seorang dokter melibatkan mahasiswa (co-ass) ketika sedang
menerima konsultasi pasien, maka pasien perlu diminta persetujuannya. Demikian
pula apabila dokter ingin merekam, membuat foto ataupun membuat film video
untuk kepentingan pendidikan.
• Penelitian
Melibatkan pasien dalam sebuah penelitian merupakan proses yang lebih
memerlukan persetujuan dibandingkan pasien yang akan menjalani perawatan.
Sebelum dokter memulai penelitian dokter tersebut harus mendapat persetujuan
dari Panitia etika penelitian. Dalam hal ini Departemen Kesehatan telah
menerbitkan beberapa panduan yang berguna.
2.29 - Bagaimana cara pasien memperoleh
informasi-
Pada dasarnya pasien bebas untuk memperoleh informasi apa saja terkait dengan
penyakitnya. Di dalam informed consent pasien mendapat informasi dari dokter
yang akan melakukan tindakan medik tersebut. Padahal boleh jadi dokter tidak
akan melakukan tindakan itu sendiri.
Pada kasus dokter berkehendak untuk dilakukan foto ronsen guna mengetahui
adakah fraktur pada sebuah tulang, maka dokter yang memberi pengantar foto
akan menerangkan seperlunya terkait penyakitnya tujuan penggunaan foto ronsen
untuk kasus pasiennya tersebut, kemudian perihal masalah teknis praktis foto
ronsen menjadi tanggung jawab bagian ronsent untuk memberikan keterangan.
Di dalam manual KKI disebutkan cara memberi informasi kepada pasien dapat
melalui berbagai cara, seperti: langsung diberikan oleh dokter yang akan
melakukan tindakan, melaluiorang yang ditugaskan untuk memberikan keterangan
atas pelimpahan wewengang dokter, melalui leaflet atau lat publikasi lain.
2.30 - Pertimbangan dalam memberi
informasi
Konsil Kedokteran Indoensia di dalam "Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran"
memberikan saran pertimbangan untuk membantu pasien terkait dengan informed
consent.
Untuk membantu pasien membuat keputusan diharapkan mempertimbangkan hal-
hal di bawah ini:
a. Informasi diberikan dalam konteks nilai, budaya dan latar belakang mereka.
Sehingga menghadirkan seorang interpreter mungkin merupakan suatu sikap yang
penting, baik dia seorang profesional ataukah salah seorang anggota keluarga.
Ingat bahwa dibutuhkan persetujuan pasien terlebih dahulu dalam
mengikutsertakan interpreter bila hal yang akan didiskusikan merupakan hal yang
bersifat pribadi.
b. Dapat menggunakan alat bantu, seperti leaflet atau bentuk publikasi lain
apabila hal itu dapat membantu memberikan informasi yang bersifat rinci. Pastikan
bahwa alat bantu tersebut sudah berdasarkan informasi yang terakhir. Misalnya,
sebuah leaflet yang menjelaskan tentang prosedur yang umum. Leaflet tersebut
akan membuat jelas kepada pasien karena dapat ia bawa pulang dan digunakan
untuk berpikir lebih lanjut, tetapi jangan sampai mengakibatkan tidak ada diskusi.
c. Apabila dapat membantu, tawarkan kepada pasien untuk membawa keluarga
atau teman dalam diskusi atau membuat rekaman dengan tape recorder
d. Memastikan bahwa informasi yang membuat pasien tertekan (distress ) agar
diberikan dengan cara yang sensitif dan empati. Rujuk mereka untuk konseling bila
diperlukan
e. Mengikutsertakan salah satu anggota tim pelayanan kesehatan dalam diskusi,
misalnya perawat, baik untuk memberikan dukungan kepada pasien maupun
untuk turut membantu memberikan penjelasan
f. Menjawab semua pertanyaan pasien dengan benar dan jelas.
g. Memberikan cukup waktu bagi pasien untuk memahami informasi yang
diberikan, dan kesempatan bertanya tentang hal-hal yang bersifat klarifikasi,
sebelum kemudian diminta membuat keputusan.
2.31 - Informasi yang disampaikan
kepada pasien-
Di dalam Undang-undang Praktik Kedoteran, memberikan gambaran informasi apa
saja yang minimal diberikan kepada pasien dalam upaya untuk membentuk
informed consent.
Pasal 45 ayat (3) Undang Undang Praktik Kedokteran memberikan batasan
minimal informasi yang selayaknya diberikan kepada pasien, yaitu:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
Dengan mengacu kepada KKI melalui buku Manual Persetujuan Tindakan
Kedokteran, memberikan 12 kunci informasi yang sebaiknya diberikan kepada
pasien :
a. Diagnosis dan prognosis secara rinci dan juga prognosis apabila tidak diobati
b. Ketidakpastian tentang diagnosis (diagnosis kerja dan diagnosis banding)
termasuk pilihan pemeriksaan lanjutan sebelum dilakukan pengobatan
c. Pilihan pengobatan atau penatalaksanaan terhadap kondisi kesehatannya,
termasuk pilihan untuk tidak diobati
d. Tujuan dari rencana pemeriksaan atau pengobatan; rincian dari prosedur atau
pengobatan yang dilaksanakan, termasuk tindakan subsider seperti penanganan
nyeri, bagaimana pasien seharusnya mempersiapkan diri, rincian apa yang akan
dialami pasien selama dan sesudah tindakan, termasuk efek samping yang biasa
terjadi dan yang serius
e. Untuk setiap pilihan tindakan, diperlukan keterangan tentang
kelebihan/keuntungan dan tingkat kemungkinan keberhasilannya, dan diskusi
tentang kemungkinan risiko yang serius atau sering terjadi, dan perubahan gaya
hidup sebagai akibat dari tindakan tersebut
f. Nyatakan bila rencana pengobatan tersebut adalah upaya yang masih
eksperimental
g. Bagaimana dan kapan kondisi pasien dan akibat sampingannya akan dimonitor
atau dinilai kembali
h. Nama dokter yang bertanggungjawab secara keseluruhan untuk pengobatan
tersebut, serta bila mungkin nama-nama anggota tim lainnya
i. Bila melibatkan dokter yang sedang mengikuti pelatihan atau pendidikan,
maka sebaiknya dijelaskan peranannya di dalam rangkaian tindakan yang akan
dilakukan
j. Mengingatkan kembali bahwa pasien dapat mengubah pendapatnya setiap
waktu. Bila hal itu dilakukan maka pasien bertanggungjawab penuh atas
konsekuensi pembatalan tersebut.
k. Mengingatkan bahwa pasien berhak memperoleh pendapat kedua dari dokter
lain
l. Bila memungkinkan, juga diberitahu tentang perincian biaya.
2.32 - Perlunya ada informed
consent-
Dengan mengingat bahwa ilmu kedokteran atau kedokteran gigi bukanlah ilmu
pasti, maka keberhasilan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi bukan pula
suatu kepastian, melainkan dipengaruhi oleh banyak faktor yang dapat
berbedabeda dari satu kasus ke kasus lainnya. Sebagai masyarakat yang
beragama, perlu juga disadari bahwa keberhasilan tersebut ditentukan oleh izin
Tuhan Yang Maha Esa.
Adanya 'asas bahwa ilmu kedokteran adalah bukan ilmu pasti' maka, dasar
penerapan dari ilmu kedokteran bukanlah menjanjikan hasil, tetapi menjajikan
usaha yang sebaik-baiknya. Usaha sebaik-baiknya ini, kemudian didasarkan pada
pertimbangan ilmiah dan diwujudkan dengan adanya standart pelayanan.
2.33 - Informed Consent Untuk
Penelitian
Segala bentuk kegiatan apapun yang menggunakan manusia sebagai subyek
penelitian dan melakukan interfensi pada subyeknya baik berbentuk fisik
(pemberian material: obat-obatan, pakaian, makanan, dan lain sebagainya),
mental (pemberian pertanyaan, kuesner yg dibagikan, dan lain sebagainya), dan
sosial (mengisolasi subyek dari tempat tinggalnya), maka wajib memberi tahu
dahulu kepada sampel subyek penelitian dari maksud dan tujuan dari penelitian
itu. Dari informasi yang telah diberikan tersebut maka subyek penelitian itu akan
memutuskan bersedia atau tidak menjadi sampel penelitian.
Juga subyek tidak boleh di-intervensi keputusannya dengan pemberian imbalan
atau janji, hal mana dapat dikatakan subyek calon sampel penelitian akan terarah
memberi persetujuannya.
Pada prinsipnya dokter dan dokter gigi dalam melakukan penelitian dengan
menggunakan manusia sebagai subjek harus memperoleh persetujuan dari
mereka yang menjadi subjek dalam penelitian tersebut secara bebas dan sukarela.
Persetujuan harus diperoleh dengan suatu proses, yaitu proses komunikasi antara
pihak peneliti dan calon subjek penelitian (informed). Komunikasi dalam hal ini
adalah berupa pemberian informasi tentang segala sesuatu mengenai tindakan
dan berisi hal-hal yang sesuai dengan keperluan maupun penapisan yang akan
dilakukan, juga informasi tentang kompensasi yang akan diterima pasien jika
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, dalam proses penelitian. Sedang informasi
yang diberikan, kecuali lisan sebaiknya juga tertulis agar bukti yang ada dapat
didokumentasikan
Code of Nuremberg serta Declaration of Helsinki yang sejak 1964, diperbaiki dalam
World Medical Assembly dan terakhir di Afrika Selatan tahun 1996, telah
menyatakan hal tersebut.
Kaidah dasar moral yang mendasari keharusan adanya informed consent pada
penelitian adalah otonomi, maka jika akan memberikan perlakuan pada subyek
penelitian diharuskan adanya persetujuan. Baik itu tindakan medik, maupun
tindakan yang hanya mencari data dengan suatu kuesioner, serta tindakan
penapisan (skrining) untuk memilih subjek yang akan digunakan dalam penelitian.
Semua penelitian yang menggunakan manusia sebagai subyek penelitiannya maka
diharuskan untuk lolos uji dari Tim Etika Penelitian. Pastikan bahwa penelitian
tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan terbaik pasien, dan bahwa
subyek penelitian tahu bahwa ia sedang mengikuti penelitian, dan keterlibatan
subyek penelitian adalah secara sukarela.
Konsil Kedokteran Indoneia dalam Buku Pedoman Persetujuan Tindakan
Kedokteran merinci hal- hal yang seharusnya diinformasikan pada subyek
penelitian, yaitu, informasi seharusnya berisi:
1. tujuan penelitian atau penapisan
2. manfaat penelitian dan penapisan
3. protokol penelitian dan penapisan, serta tindakan medis
4. keuntungan penelitian dan penapisan
5. kemungkinan ketidaknyamanan yang akan dijumpai, termasuk risiko yang
mungkin terjadi
6. hasil yang diharapkan untuk masyarakat umum dan bidang kesehatan
7. bahwa persetujuan tidak mengikat dan subyek dapat sewaktu-waktu
mengundurkan diri.
8. bahwa penelitian tersebut telah disetujui oleh Panitia Etika Penelitian.
Tidak jauh berbeda dengan kegiatan penelitian, kegiatan skrining atau penapisan
dapat merupakan upaya yang penting untuk dapat memberikan informasi tindakan
yang efektif. Sehingga persetujuan dari subyek tetap diperlukan.
Terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan:
a. Terdapat kemungkinan bahwa uji skrining tersebut memiliki ketidakpastian,
misalnya false positive dan false negative
b. Beberapa uji skrining tertentu berpotensi mengakibatkan hal yang serius bagi
pasien dan keluarganya, tidak hanya dari segi kesehatan, melainkan juga segi
sosial dan ekonomi.
Oleh karena itu persetujuan dilakukannya uji skrining harus didahului dengan
penjelasan yang tepat dan layak, serta pada keadaan tertentu memerlukan tindak
lanjut, misalnya dengan konseling dan support group.
2.34 - Mitos informed
consent-
Persetujuan pasien akan diberikan jika psien sudah faham akan manfaat, resiko
dan segala hal yang terkait dengan tindakan yang akan dilakukan dokter.
Benarkan jika pasien kemudian sudah faham akan memberikan persetujuannya?
Pertanyaan ini akan membawa impliksi lebih lanjut, bahwa benarkah informed
consent itu hanya mitos?
Tidak menutup kemungkinan karena pasien dan kelurganya aham akan
tindakan tersebut, maka mereka akan tidak jadi memberikan ijin. Misalnya saja
tindakan itu memerlukan biaya yang ternyata cukup besar untuk kemampuan
keuangan mereka. Hanya karena aspek finansial maka boleh jadi mereka tidak
akan melakukan atau tidak jadi memberi persetujuan. Otomatis tindkan medik
tidak akan dilakukan. Padahal tindakan medik tadi perlu untuk kesehatan pasein.
Kemudian bagaimana kebenaran akan perlunya keeradaan informed consent
itu? Sejauh mana arti batas memberi penjelasan ini sehingga pasein menjadi tidak
akan menarik keputusan untuk tidak menyetujui tindakan medis. Ataukah tetap
sebaiknya pasien diberi penjelasan yang lengkap dan soal resiko tetap ada pada
pasiennya (seperti takut karena mendapat informasi akan efek samping yang
terjadi jika tindakan itu dilakukan)?
Atau yang terbaik pasien diberi penjelasan seperlunya, dengan mana
penjelasan tersebut akan membawa pasien pada sikap setuju, sehingga tujuan dari
tindakan medik yang akan dilakukan itu dapat terlaksana, yang pada pokoknya
usaha terbaik sudah dilakukan dokter. Kalau yang terjadi demikiian .., maka tidak
lain informed consent itu adalah mitos.
Mengapa demikian ... , karena adanya informed consent itu sebenarnya tidak ada.
Dokter membatas informasi dengan bijak pada hal-hal yang positif saja, dan sedikit
pada hal yang negatif, denganmana harapan akhir dari penjelasan itu adalah
persetujuan dari pasien.
Bahkan .. kemudian jika pasien menolak, maka pasien juga diminta untuk
menandatangini adanya refusal consent yaitu pernyataan untuk tidak mau
(menolak) melakukan tindakan yang sudah disarankan. Maka, dapat dikatakan
disini ... pasien ada pada posisi tersulit. Mundur kena maju kena.
Inilah mitos informed consent.
3.
HAM
Sehat bukan segalanya, tapi tanpa sehat segalanya menjadi tidak berarti. Untaian
kata tersebut menggambarkan bawa sehat adalah sebuah hal yang sangat utama
untuk manusia. Sewajarnya jika kemudian setiap orang berhak untuk sehat dalam
hidupnya. Seperti yang telah disebut di bab pertama sehat tidak dapat dilihat
hanya dari aspek fisik saja, tapi juga mencakup fisik, mental dan sosialnya.
Hak untuk sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia. Sudah seharusnya jika
ada pelarangan terhadap siapa saja yang yang dengan sengaja akan mengganggu
kesehatan orang lain.
Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Setiap orang berhak atas taraf hidup
yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan diri dankeluarganya
sebagaimana Pasal 25 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Negara mengakui hak setiap orang, untuk memperoleh standar tertinggi
yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental.
3.1 - Gambaran
umum-
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah
diamandemen, Bab X-A tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28H ayat (1)
menyatakan bahwa :"Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal,dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan".
Pencanangan Indonesia Sehat 2010, pada bagian Dasar Pembangunan Kesehatan
Indonesia terdapat empat hal, yaitu A) Dasar Perikemanusiaan, B) Dasar
Pemberdayaandan Kemandirian, C) Dasar Adil dan Merata, D) Dasar Pengutamaan
Dan Manfaat.
Secara rinci dasar pembangunan kesehatan Indonesia tersebut adalah:
A. Dasar Perikemanusiaan
Setiap upaya kesehatan harus berlandaskan peri- kemanusiaan yang dijiwai,
digerakkan dan dikendalikan oleh keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa. Tenaga kesehatan perlu berbudi luhur dan memegang teguh etika
profesi.
B.Dasar Pemberdayaan dan Kemandirian
Setiap orang dan masyarakat bersama dengan pemerintah berperan, berkewajiban
dan bertanggung jawab untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
perorangan, keluarga dan lingkungannya. Setiap upaya kesehatan harus mampu
membangkitkan dan mendorong peran serta masyarakat. Pembangunan
kesehatan dilaksanakan dengan berlandaskan pada kepercayaaan atas
kemampuan dan kekuatan sendiri serta bersendikan kepribadian bangsa.
C. Dasar Adil dan Merata
Dalam pembangunan kesehatan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, tanpa memandang suku,
golongan, agama, dan status sosial ekonominya.
D. Dasar Pengutamaan dan Manfaat
Penyelenggaraan upaya kesehatan bermutu yang mengikuti perkembangan IPTEK,
lebih mengutamakan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan dan
pencegahan penyakit, serta dilaksanakan secara profesional, mempertimbangkan
kebutuhan dan kondisi daerah, berhasil guna dan berdaya guna. Upaya kesehatan
diarahkan agar memberikan manfaat yang sebesar- besarnya bagi peningkatan
derajat kesehatan masyarakat, serta dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab
sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak sehat merupakan hak dasar yang ada pada setiap orang. Sehat sebagai
modal pertama bagi manusia untuk melakukan aktifitasnya. Sehingga dikenal ada
peribahasa 'kesehatan bukan segalanya, tapi tanpa kesehatan segalanya tidak
berarti.
Di dalam Undang-undang HAM no 39 tahun 1999, pada pasal 9 ayat (3); pasal
29 ayat (1)

Pasal 9
(1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan
taraf kehidupannya.
(2) Setiap orang berhak tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
(3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
(Penjelasan:
Pasal 9
Ayat (1)
Setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan
meningkatkan taraf kehidupannya.
Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau
orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu
demi kepentingan hidup ibunya dalam khasus aborsi atau berdasarkan putusan
pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati
dalam hal dan atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal
tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi)
Pasal 29
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan hak miliknya.
3.2 Aspek hak asasi pada
persetujuan
Persetujuan pasien pada informed consent, muncul dari keinginan dokter untuk
melayani pasien. Keinginan dokter tersebut muncul berdasar suatu pertimbangan
ilmiah bahwa tindakan itu perlu, atau sebaiknya dilakukan, atau lebih baik
dilakukan.
Dokter tentunya juga memberikan alternatif pilihan tindakan, kemudian pilihan
mana dari berbagai pilihan tindakan itu yang pasien merasa paling cocok, setelah
membuat segala pertimbangan.
Walaupun banyak alternatif, boleh jadi paien sama sekali tidak berminat terhadap
alternatif yang ada tersebut. Untuk itu, maka segala penetapan pilihan memang
menjadi hak pasien. Dokter tidak mampu untuk memaksakan kehendaknya kalau
memang pasien tidak menghendaki.
Sikap pasien untuk menentukan nasib dirinya sendiri tersebut disebut sebagai hak
asasi pasien (hak asasi manusia) yaitu HAK UNTUK MENENTUKAN NASIBNYA
SENDIRI.
Selain itu, pasien sebelum memutuskan untuk membuat pilihan berhak untuk
mendapat informasi tentang tindakan yang akan dia terima. Informasi itu penting
sebagai bahan pertimbangan untuk menyampaikan sikap menentukan pilihan.
Pilihan mana yang akan diambil, atau tidak mengambil berbagai pilihan yang ada
tersebut. Jadi sebelum pasien menentukan pilihan sebagai wujud dari haknyauntuk
menentukannasibnya sendiri, pasien sebelumnya berhak untuk mendapat
informasi atas tindakan yang akan diberikankepadanya.
Hak untuk mendapat informasi itu, juga menjadi haknya pasien, yang kemudian
diapdopsi sebagai HAK ASASI ATAS INFORMASI.
Berdasar dua hak utama yaitu hak atas informasi dan hak untuk menentukan nasib
sendiri, disitulah aktivitas pasien dalam HDP bergerak. Juga, berdasar dua hak
tersebut maka informed consent dibangun.

You might also like