You are on page 1of 11

STAPHYLOCOCCAL SCALDED SKIN SYNDROME

PENDAHULUAN Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) merupakan kelainan kulit ditandai dengan eksantem generalisata, lepuh luas disertai erosi dan deskuamasi superfisial. Kelainan ini disebabkan oleh toksin eksfoliatif (ETs) yaitu toksin eksfoliatif A (ETA) dan B (ETB) yang dihasilkan strain Staphylococcus aureus (biasanya faga grup 2).1,2 Pada tahun 1878, Von Rittershan pertama kali menguraikan SSSS pada anak. Levine and Nordon, tahun 1972, menemukan kasus pertama pada dewasa. Hingga tahun 2000, diperkirakan 40 kasus SSSS pada dewasa telah dilaporkan dalam penelitian.3 Staphylococcal scalded skin syndrome umumnya terjadi pada bayi dan anak-anak usia di bawah lima tahun tetapi jarang ditemukan pada dewasa. Diantara kasus yang pernah dilaporkan, lelaki cenderung lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 2:1, dimana 50% kasus terjadi sebelum usia 5 tahun.2,3 Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan temuan kultur mikroorganisme yang dikombinasikan dengan identifikasi pewarnaan gram, dan hasil biopsi, namun pada fasilitas kesehatan terbatas penegakan diagnosis seringkali hanya didasarkan pada temuan klinis dengan pemeriksaan penunjang yang sederhana. Penyakit ini seringkali menyerupai dengan kelainan kulit lain sehingga terjadi kesalahan diagnosis sementara diagnosis yang tepat dan cepat dapat meningkatkan prognosis.3,4 Tujuan referat ini adalah untuk memperdalam pengetahuan mengenai manifestasi klinik, penegakkan diagnosis, hingga tatalaksana yang tepat dalam menangani kasus SSSS. Informasi tersebut diharapkan nantinya dapat membantu dokter layanan primer untuk bertindak secara cepat dan tepat dalam menghadapi kasus SSSS.

DEFINISI Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan bengkak kemerahan pada kulit yang tampak seperti terbakar (scald), sehingga penyakit ini dinamakan staphylococcal scalded skin syndrome. SSSS juga dikenali sebagai Penyakit Ritters atau Penyakit Lyells apabila ia muncul pada bayi atau anak-anak.1

ETIOLOGI

Staphylococcal scalded skin syndrome disebabkan oleh toksin eksfoliatif (ETs) yaitu toksin eksfoliatif A (ETA) dan B (ETB) yang dihasilkan dari strain toksigenik bakteri staphylococcus aureus (faga grup 2).5 Desmosom merupakan sebagian dari sel kulit yang bertanggungjawab sebagai perekat kepada sel-sel kulit. Toksin yang mengikat pada molekul di antara desmosom dikenali sebagai desmoglein dan kemudiannya memisah sehingga kulit menjadi tidak utuh.4,5Toksin eksfoliatif memiliki target kerja pada desmoglein 1 merupakan desmosom glikoprotein transmembran yang mempertahankan adhesi antar sel pada epidermis.6,7

EPIDEMIOLOGI SSSS lebih sering muncul pada anak-anak dibawah 5 tahun, biasanya pada neonatus. Antibody pelindung terhadap eksotoksin staphylococcal biasanya didapat ketika usia anakanak yang menjadikan SSSS lebih jarang terjadi pada remaja dan dewasa.1 Kurangnya imunitas spesifik terhadap toksin dan sistem klirens ginjal yang belum sempurna (toksin biasanya dikeluarkan dari tubuh lewat ginjal) menyebabkan neonatus sebagai usia paling berisiko. Individu dengan gangguan sistem mun dan individu dengan gagal ginjal, tanpa memandang usia, bisa juga berisiko menndapat SSSS.1,2

PATOFISIOLOGI Toksin eksfoliatif (ETs) merupakan serin protease yang dapat menimbulkan celah pada ikatan adhesi antar sel molekul desmoglein 1, yang tampak pada bagian atas epidermis yaitu antara stratum spinosum dan granulosum sehingga menimbulkan bula berdinding tipis yang mudah pecah, memperlihatkan Nikolsky sign positif. Pada SSSS toksin berdifusi dari fokus infeksi, dan tidak adanya antibodi antitoksin spesifik dapat menyebabkan penyebaran toksin secara hematogen. Meskipun strain toksigenik S. aureus yang terbanyak adalah faga grup II (subtype 3A, 3B, 3C, 55 dan 71), selain itu juga terdapat strain faga grup I dan III.2 Adanya keterlibatan desmoglein 1 pada SSSS menyerupai penyakit autoimun pemfigus foliaseus.7 Salah satu fungsi fisiologi utama kulit adalah barier terhadap infeksi, yang terletak pada stratum korneum. Adanya toksin eksfoliatif yang dimiliki S.aureus memungkinkan proliferasi dan penyebarannya di bawah barier tersebut. Sekali kulit dapat mengenali toksin eksfoliatif tersebut, S. aureus dapat menyebar sehingga menimbulkan celah di bawah stratum korneum.8 Toksin staphylococcus terdiri atas toksin eksfoliatif A dan B (ETA dan ETB) yang menyebabkan lepuhnya kulit pada SSSS. ETA terdiri atas 242 dengan berat molekul 26.950

kDa, bersifat stabil terhadap panas dan gennya terletak pada kromosom sementara ETB terdiri atas 246 asam amino dengan berat molekul 27.274 kDa, bersifat labil terhadap pemanasan dan gennya berlokasi pada plasmid.8,9 Toksin ini dihasilkan pada fase pertumbuhan bakteri dan diekskresikan dari kolonisasi staphylococcus sebelum diabsorpsi melalui sirkulasi sistemik. Toksin mencapai stratum granulosum epidermis melalui difusi pada kapiler dermal.2 Studi histologis menunjukkan bahwa ikatan ETs pada keratinosit kultur isolasi kulit menyebabkan terbentuknya vesikel yang mengisi ruang antarsel, diikuti cairan interseluler yang mengisi ruang antara stratum granulosum dan spinosum. Pemeriksaan laboratorium mendukung bahwa ETB lebih pirogenik dibandingkan ETA, sementara studi klinis menunjukkan meskipun ETA dan ETB dapat menyebabkan SSSS lokal, tetapi ETB lebih sering diisolasi dari anak yang menderita SSSS generalisata dan juga dapat menyebabkan eksfoliasi generalisata pada orang dewasa yang sehat.1,2 Desmosom merupakan target toksin eksfoliatif pada SSSS. Desmosom adalah intercelluler adhesive junction yang secara struktural berhubungan dengan filamen intermediet intraseluler. Desmosom ini diekspresikan oleh sel epitel dan beberapa sel lainnya yang banyak terdapat pada jaringan yang mengalami stress mekanik, seperti kulit, mukosa gastrointestinal, jantung, dan kandung kemih.7,9 Desmoglein (Dsg) merupakan komponen transmembran mayor pada desmosom yang berperan tidak hanya pada adhesi antar sel epitel tetapi juga pada morfogenesis sel epitel.9 Terdapat 3 isoform desmoglein yaitu Dsg1, Dsg2, dan Dsg3. Dsg 2 terdapat pada semua jaringan yang memiliki desmosom termasuk epitel dan miokard, sedangkan Dsg1 dan Dsg3 terbatas pada epitel skuamos bertingkat.9,10 ETA dan ETB menyebabkan bula dan pengelupasan kulit dengan cara menghambat desmosom pada lapisan sel granular epidermal sehingga terjadi pemisahan intradesmosomal.1 Lebih dari satu dekade diduga bahwa toksin tersebut terikat secara langsung pada cadherin desmosomal, yaitu desmosglein1 (Dsg1).10 Meskipun pemisahan sel epidermal ditunjukkan oleh toksin eksfoliatif (ETs), gejala klinis SSSS tidak dapat diterangkan oleh aksi toksin tersebut. Ets juga bisa bertindak sebagai lipase sekaligus mengaktifkan protease lain yang pada gilirannya menyebabkan pengaruh patogenik.9,10 Toksin epidermolitik difiltrasi di glomerulus dan direabsorbsi pada tubulus proksimal dimana kemudian dikatabolisme oleh sel-sel tubulus proksimal. Kecepatan filtrasi glomerulus (GFR) bayi kurang dari 50% GFR orang dewasa normal, dan hal ini terbanyak ditemukan pada dua tahun pertama kehidupan. Hal ini menjelaskan mengapa bayi-bayi, pasien dengan gagal ginjal kronik, danpasien yang menjalani hemodialisa merupakan faktor predisposisi terjadinya SSSS.1 Berikut patofisiologi SSSS secara umum

ETA dan ETB disekresikan Staphylococcus Aureus phage II Toksin menyebar lewat sirkulasi Epidermolisis (Pemecahan stratum granulosum dan stratum spinosum pada protein desmoglein)

Gambar 1. Desmosom merupakan target pada SSSS Dikutip dari: Amagai dkk9

MANIFESTASI KLINIS Infeksi S. aureus berawal dari lokasi-lokasi tertentu seperti kulit, tenggorokan, hidung, mulut, atau saluran pencernaan. SSSS timbul berupa bercak kemerahan yang diikuti pengelupasan epidermis menyeluruh.8

Staphylococcal scalded skin syndrome biasanya dimulai dengan demam, malaise, gelisah, dan nyeri. Selanjutnya diikuti kemerahan meluas pada kulit yang biasa terjadi pada daerah lipatan, seperti leher, axilla, selangkangan dan muka. Dalam waktu 24-48 jam terbentuk benjolan-benjolan berisi cairan, benjolanbenjolan ini mudah pecah, dan meninggalkan kesan yang tampak seperti terbakar. Dua sampai tiga hari lapisan atas kulit akan mengeriput dan terjadi pengelupasan lembaran kulit, meninggalkan luka terbuka yang lembab, merah dan nyeri. Luka terbuka selanjutnya akan mengering dan terjadi deskuamasi, kondisi ini biasanya dapat sembuh dalam 714 hari. Gejala lainnya dapat berupa nyeri di area sekitar tempat infeksi, kelemahan dan dehidrasi.1,12

Gambar 2.(A) bercak kemerahan yang menyebar pada lengan, muka dan badan bayi penderita SSSS, (B) bula berdinding tipis yang pecah dan meninggalkan kesan terbakar Dikutip dari: Hanakawa dkk8

Gambar.3 Luka yang telah mengering dan mulai terjadi deskuamasi Dikutip dari: Hanakawa dkk8

DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis, kultur mikroorganisme, identifikasi ET, dan hasil biopsi.3 Pada umumnya penyakit ini diawali dengan demam, karena infeksi saluran nafas atas, kelainan kulit yang timbul diawali oleh eritema yang timbul mendadak pada lipat paha, muka, leher, dan ketiak yang kemudian meluas ke seluruh tubuh tapi tidak melibatkan membran mukosa dengan Nikolskys sign positif (Gambar.4) dan nyeri tekan.1,13 Dalam waktu 24-48 jam akan timbul bula-bula besar berdinding kendur, yang selanjutnya akan terjadi pengeriputan spontan disertai pengelupasan lembaran-lembaran kulit sehingga tampak daerah erosif yang mirip dengan kombustio dalam beberapa hari akan mengering dan terjadi deskuamasi. Penyembuhan akan terjadi pada 10-14 hari tanpa disertai sikatriks.1,13

Gambar 4. Nikolskys sign positif pada penderita SSSS Dikutip dari: Amagai11

Pemeriksaan kultur bula yang intak pada SSSS biasanya steril (tidak ditemukan staphylococcus), hal ini sesuai dengan patogenesis penyebaran toksin secara hematogen berasal dari fokus infeksi yang jauh.6 Sedangkan pada impetigo bulosa pemeriksaan kultur dan pewarnaan gram menunjukkan adanya staphylococcus.7 Pada gambaran histopatologi didapatkan pemisahan pada epidermis antara stratum granulosum dan stratum spinosum. Akantolisis pada stratum granulosum dan pembentukan belahan subkorneal ditemukan pada lesi awal, pada tahap deskuamasi tampak epidermis yang utuh dengan celah pada stratum korneum (Gambar.5). Beberapa limfosit mengelilingi pembuluh darah superficial. Dua ET (ETA dan ETB) dapat dilihat pada imunofluoresensi, dimana ET berikatan dengan granulagranula keratohialin.1,11

Gambar.5 Histopatologi SSSS, dimana hilangnya adhesi sel pada epidermis superfisial Dikutip dari Amagai11

DIAGNOSIS BANDING Staphylococcal scalded skin syndrome dan impetigo bulosa merupakan penyakit kulit melepuh yang disebabkan ET, akan tetapi pada impetigo bulosa, ET hanya terdapat pada area infeksi sehingga kultur bakteri dapat diperoleh dari isi lepuh. Pada SSSS, ET tersebar secara hematogen dan akan berpotensi menyebabkan kerusakan epidermal pada bagian tempat terjauh.1,14 Staphylococcal scalded skin syndrome dibedakan dari toxic epidermal necrolysis (TEN) berdasarkan bagian yang mengalami kerusakan, dimana SSSS terjadi pada intraepidermal sedangkan TEN menyebabkan nekrosis pada seluruh lapisan epidermal (pada batas membran dasar). Staphylococcal scalded skin syndrome memiliki tingkat keparahan yang lebih rendah dan tidak melibatkan erosi membrane mukosa (mulut, konjungtiva, trachea, esofagus, anus, vagina) jika dibandingkan dengan TEN. Pada SSSS, hasil pemeriksaan preparat Tzanck dari area lepuh yang dipecahkan akan didapatkan sejumlah sel epitel dengan inti sel besar dan sel-sel akantolitik tetapi tidak ditemukan sel-sel inflamasi sedangkan TEN hanya memiliki sel epitel yang sedikit dan tidak memiliki sel akantolitik tetapi banyak terdapat sel-sel inflamasi.1

TERAPI Fokus utama dari perawatan SSSS harus mendiagnosa secara dini keadaan ini, menstabilkan kondisi pasien dan mengeradikasi bakteri stafilokokus. Setelah SSSS didiagnosis, pengobatan terdiri dari perawatan suportif dan pemberantasan infeksi primer .1 Pasien perlu rehidrasi cairan , perawatan luka topikal mirip dengan perawatan untuk luka bakar termal , dan antibiotik parenteral untuk menutupi S aureus. Pemilihan antibiotik harus mempertimbangkan tingginya angka infeksi akibat community acquired S.aureus ( CA - MRSA ) . Pengobatan yang tepat dengan antibiotik anti - staphylococcal parenteral sangat penting. Staphylococcal memiliki penicillinases dan tahan terhadap penisilin. Antibiotik empiris yang digunakan adalah jenis penisilin sintetik tahan-penisilinase (misalnya, nafcillin atau oxacilin atau cloxacilin). Namun, jika organisme pada hasil kultur menunjukkan hasil sensitif terhadap penisilin G, maka obat tersebut digunakan terapi utama. Sefalosporin generasi pertama dapat digunakan sebagai alternatif. Pada pasien alergi penisilin, makrolida atau aminoglikosida bisa digunakan. Pada pasien yang terbukti CA-MRSA yang gagal dengan terapi empiris serta dalam keadaan toksik maka pilihan antibiotik adalah vankomisin. Klindamisin juga dapat digunakan untuk menghambat bakteri memproduksi eksotoksin.15 Berikut ini dosis yang digunakan dalam eradikasi S.aureus pada penyakit SSSS16 Nafcillin 100 mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis atau 50 mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis peroral, 7-10 hari Kloksasilin 100-200 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis selama 7-10 hari Penicillin G procaine (300K U/hari IM untuk BB<30 kg, 600K sampai 1 million U/hari IM untuk BB>30 kg) Amoxicillin-clavulanate 45 mg/kg/hari/peroral dibagi dalam 2 dosis, 7-10 hari Cefazolin 100 mg/kg/hari IV dibagi dalam 4 dosis

Rehidrasi cairan dimulai dengan larutan Ringer laktat pada 20 mL / kg bolus awal . bolus dapat diulang sesuai keadaan klinis, diikuti dengan terapi pemeliharaan untuk mencegah keadaan dehidrasi akibat kelainan kulit yang ada.15 Perawatan luka topikal dilakukan dengan penggunaan baju yang meminimalkan gesekan juga dapat membantu mengurangi terjadinya pengelupasan kulit akibat gesekan. Kompres daerah lesi untuk membersihkan dari jaringan-jaringan epidermis yang telah nekrosis. Salep antibiotik muporicin diberikan beberapa kali dalam sehari pada area lesi termasuk pada sumber infeksi sebagai tambahan terapi antibiotik sistemik Steroid tidak

diberikan karena dapat memperburuk fungsi kekebalan tubuh .Agen anti - inflamasi nonsteroid dan agen lain yang berpotensi mengurangi fungsi ginjal juga harus dihindari.1,15

PROGNOSIS Komplikasi paling berat yang dapat terjadi pada pasien SSSS adalah gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.1 Komplikasi lain yang sering terjadi berupa dehidrasi, infeksi sekunder, dan sepsis. Kasus SSSS pada anak jarang menyebabkan sepsis sehingga angka kematiannya lebih rendah (1-5%). Angka kematian pada dewasa lebih besar (mencapai 50-60%) karena diikuti beberapa faktor penyebab kematian lainnya dan peningkatan kejadian sepsis.1,7

SIMPULAN Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome (SSSS) merupakan suatu penyakit epidermolisis yang disebabkan oleh ET (ETA dan ETB) dari Staphylococcus aureus. Gejala berupa kemerahan meluas pada kulit diikuti terbentuknya benjolan-benjolan berisi cairan, mudah pecah, dan tampak seperti terbakar. Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis, kultur mikroorganisme, identifikasi ET, dan hasil biopsi. Terapi untuk SSSS bertujuan untuk mengeradikasi infeksi S. aureus dengan pemberian antibiotik, pemantauan cairan, dan perawatan kulit. Prognosis pada anak lebih baik dibandingkan dewasa karena jarang terjadi sepsis. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, dehidrasi, infeksi sekunder, dan sepsis merupakan komplikasi SSSS yang sering terjadi.

DAFTAR PUSTAKA 1. Hubiche T, Bes M, Roudiere L, Langlaude F, Etienne J, Del Giudice P. Mild staphylococcal scalded skin syndrome: an underdiagnosed clinical disorder. Br J Dermatol. 2012;166(1):213-5. 2. Ladhani S, Robbie S, Garratt RC, Chapple DS, Joannou CL, Evans RW. Development and Evaluation of Detection System for Staphylococcal Exfoliative Toxin a Responsible for Scalded Skin Syndrome. J Clin Microbiol. 2001;39:2050-4 3. Luk N.M. Adult Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS). Hong Kong Dermatology & Venereology Bulletin. 2002;10 (1):25.

4. Hayward A, Knott F, Petersen I, Livermore DM, Duckworth G, Islam A. Increasing hospitalizations and general practice prescriptions for community-onset

staphylococcal disease, England. Emerg Infect Dis. 2008;14(5):720-6. 5. Clark RA dan Hopkins T. The other eczemas, In: Moschella S, Hurley H, penyunting. Dermatology. Edisi ke-3. Mosby: Edinburgh. 2003. p.489-93 6. Kadam S, Tagare A, Deodhar J, Tawade Y, Pandit A. Staphylococcal scalded skin syndrome in a neonate.Indian J Pediatr. 2009;76(10):1074. 7. Morgan MB, Smoller BR, Somach SC, eds. Staphylococcal Toxin- Mediated Scalded Skin and Toxic Shock Syndromes. In: Deadly Dermatologic Diseases

Clinicopathologic Atlas and Text. Cleveland: Springer; 2007. p. 133-6. 8. Hanakawa Y, Schechter NM, Lin C, Garza N, Yamaguchi T. Molecular Mechanism of Blister Formation in Bullous Impetigo and Staphylococcal Scalded Skin Syndrome. J. Clin. Invest. 2002;110: 5360 9. Kadam S, Tagare A, Deodhar J, Tawade Y, Pandit A. Staphylococcal scalded skin syndrome in a neonate.Indian J Pediatr. 2009;76(10):1074. 10. Runswick SK, O Hare MJ, Jones L, Streuli CH, Garrod DR. Desmosomal adhesion regulates epithelial morphogenesis and cell positioning. Nat Cell Biol. 2001;3:823-30. 11. Amagai M, Matsuyoshi N, Wang ZH, Andi C, Stanley JR. Toxin in Bullous Impetigo and Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome Targets Desmoglein-1. Nat Med. 2000;6:1275-7. 12. Yamasaki O, Yamaguchi T, Sugai M, et al. Clinical manifestations of staphylococcal scalded-skin syndrome depend on serotypes of exfoliative toxins. J Clin Microbiol. 2005;43(4)1890-3. 13. Moss C, Gupta E. The Nikolsky sign in staphylococcal scalded skin syndrome. Arch Dis Child. 1998;79(3):290. 14. Payne AS, Hanakawa Y, Amagai M, Stanley JR. Desmosomes and disease: pemphigus and bullous impetigo. Curr Opin Cell Biol. 2004;16(5):536-43. 15. King RW. Staphylococcal scalded skin syndrome treatment and management. 2014 (diunduh 12 Februari 2014). Tersedia dari: http://www.emedicine.com/ 16. Veien NK. The clinician's choice of antibiotics in the treatment of bacterial skin infection. Br J Dermatol. 1998;139:30-6.

You might also like