You are on page 1of 23

STAGING TUMOR Stadium tumor padat berdasarkan letak topografi, ekstensi dan metastasenya dalam organ Stadium lokal

l : pertumbuhanya masihterbatas pada organ tempatnya tumbuh.

Karsinoma in situ : pertumbuhnya masih terbatas intra epitelial, intraduktal, intralobuler. Istilah ini hanya dikenal pada tumor ganas epitelial. Infiltrasi loka atau invasif : Tumor padat telah tumbuh melewati jaringan epitel,duktus, atau lobulus,tetapi masih dalam organ yang bersangkutan(telah melewati stratum papilare atau membrana basalis) atau telah menginfiltrasi jaringan sekitarnya (sudah ada perlekatan dengan organ sekitarnya). Stadium metastase regional : tumor padat telah metastase ke kelenjar limfe yang berdekatan. Stadium metastase jauh : tumor padat telah metastase pada organ yang letaknya jauh dari tumor primer.

Pada kenyataanya sering ditemukan stadium lokal dan regional secara bersamaan yaitu stadium lokoregional.

Sistem TNM
Sistem TNM didasarkan atas 3 kategori ,yaitu : T (tumor primer),N (Nodul Primer, metastase ke kelenjar limfe regional) dan M (metastase jauh). Masing-masing kategori tersebut dibagi lagi menjadi subkategori untuk melukiskan keadaan masing-masing kategori dengan cara memberi indeks angka dan huruf di belakang T, N dan M. Tiap indeks angka dan huruf mempunyaiartiklinis sendiri-sendiri untuk setiap jenis atau tipe tumor padat. Jadi arti indeks untuk karsinoma payudara tidak sama dengan karsinoma nasofaring, dsb. Pada umumnya arti sistem TNM tersebut adalah sebagai berikut: Kategori T = tumor primer Tx = syaratminimal menentukan indeks T tidak terpenuhi Tis = tumor in situ T0 = tidak ditemukan adanya tumor T1 = tumor dengan f maksimal < 2 cm T2 = tumor dengan f maksimal 2-5 cm T3 = tumor dengan f maksimal >5 cm T4 = tumor invasi keluar organ

Kategori N = Nodul,metastase ke kelenjar regiona N0 = Nodul regional negatif N1 = Noul regional positif,mobil(belum ada perlekatan) N2 = Nodul regional positif, sudah ada perlekatan N3 = Nodul jukstaregional atau bilateral Kategori M = Metastase organ jauh M0 = Tidak ada metastase organ jauh M1 = ada metastase organ jauh Mx = syarat menentukan indeks M tidak terpenuhi

A. Bagian-bagian sel, pertumbuhan sel normal, serta keterkaitannya dengan stimulus dan injuri pada sel 1. Sel merupakan unit struktural dan fungsional terkecil tubuh manusia. Bagian-bagian sel (dari luar ke dalam) tersusun atas: a. Membran sel : merupakan struktur elastik terdiri dari protein, fosfolipid, kolesterol, lipid lain, dan karbohidrat. Sawar lipid

membran sel mencegah masuknya air karena mempunyai lapisan lipid ganda (bersifat hidrofobik dan hidrofilik) sehingga impermeabel terhadap bahan yang tidak larut lemak (ion, glukosa, urea), dan permeabel terhadap bahan yang larut lemak (O2, CO2, alkohol). Fungsi membran sel adalah : Mengakibatkan permukaan sel bermuatan negatif yang mendorong benda-benda bermuatan negatif yang lain Melekatkan sel satu dengan yang lain karena ikatan pada glikokaliks Substansi reseptor untuk mengikat hormon seperti insulin Berperan dalam reaksi kekebalan tubuh (Margono. 2011) b. Sitoplasma berisi organela sel Retikulum endoplasma : jaringan berbentuk tubulus dan vesikel gepeng dalam sitoplasma. Ada 2 macam RE, yang kasar pada permukaannya terdapat ribosom untuk sintesis protein, sedangkan RE yang halus untuk sintesis lipid dan proses enzimatik dalam sel.

Aparatus golgi : biasanya terdiri atas 4 atau lebih lapisan vesikel yang tertutup, gepeng, dan tipis yang tersusun menumpuk serta terletak dekat dengan salah satu dinding nukleus, fungsinya yakni : Memproses bahan-bahan yang terbentuk dalam RE. Mensintesa karbohidrat sendiri. Mensintesa asam hialuronat dan kondroitin yang merupakan komponen utama proteoglikan, bahan dasar ruang interstial, dan matrik organik tulang. Menghasilkan lisosom, vesikel sekretoris, dan komponen sitoplasma. Lisosom : organel yang berbentuk vesikel yang terbentuk dari beberapa bagian aparatus golgi yang lepas kemudian menyebar ke seluruh sitoplasma. Mengandung enzim hidrolitik yang mampu memecahkan seyawa organik untuk sistem pencernaan intraseluler. Mitokondria : merupakan tempat penghasil energi melalui metabolisme makanan, berupa zat yang dapat bereaksi dengan oksigen, seperti karbohidrat, lemak, dan protein. Energi yang dihasilkan berupa senyawa berenergi tinggi ATP, karena hanya dalam bentuk inilah energi bisa langsung digunakan oleh sel untuk beraktivitas. (Margono. 2011) c. Nukleus : mengandung sejumla besar DNA dan mengatur reproduksi dan aktivitas sitoplasma. Pada nukleus taerdapat membran nukleus, nukleoplasma, dan nukleolus yang mudah menyerap zat warna. (Margono. 2011) 2. Pertumbuhan sel normal Secara umum, jumlah sel yang ada pada suatu jaringan merupakan fungsi kumulatif antara masuknya sel baru dan keluarnya sel yang ada pada populasi. Masuknya sel baru ke dalam populasi jaringan sebagian besar ditentukan oleh kecepatan proliferasinya, sementara sel dapat

meninggalkan populasinya karena kematian sel ataupun karena berdiferensiasi menjadi jenis sel lain (Margono. 2011). Sel yang sedang berproliferasi berkembang melalui serangkaian tempat dan fase yang sudah ditentukan yang disebut siklus sel. Siklus tersebut terdiri atas (secara berurutan) fase pertumbuhan prasintesis 1, atau G1; fase sintesis DNA, atau S; fase pertumbuhan pramitosis 2, atau G2; dan fase mitosis, atau M. Sel istirahat berada dalam keadaan fisiologis yang disebut G0. Masuk dan berkembangnya sel melaluim siklus sel dikendalikan melalui perubahan pada kadar dan aktivitas suatu kelompok protein yang disebut siklin Siklin menjalankan fungsi regulasinya melalui pembentukan kompleks dengan (sehinga akan mengativasi) proten yang disintesis secara konstitutif yang disebut kinase yang bergantung siklin (CDK, cyclin-dependent kinases) untuk setiap transisi penting pada siklus sel (Margono. 2011). Kemudian pada pengaturan ukuran sel ditentukan hampir seluruhnya oleh jumlah DNA yang berfungsi di dalam nukleus. Bila replikasi DNA tidak terjadi, sel tumbuh sampai ukuran tertentu dan selanjutnya bertahan pada ukuran tersebut. Karakteristik khusus pertumbuhan dan pembelahan sel adalah diferensiasi sel, yang merujuk pada perubahan sifat fisik dan fungsi sel sewaktu sel berproliferasi dari embrio untuk membentuk struktur dan organ tubuh yang berbeda-beda. Inilah mengapa yang menyebabkan pertumbuhan sel normal dan teratur (Guyton and Hall. 2007). 3. Keterkaitan dengan stimulus dan injuri Namun keberadaan stimulus dan injuri sel dapat merubah susunan genetik di dalam nukleus, maka sel akan mengalami adaptasi untuk membuat keadaan didalam sel homeostasis, yang bisa bertahan maka tidak lethal sedangkan yang tidak bisa bertahan dan rusak maka akan lethal.

B. Perubahan sel akibat adanya stimulus atau injuri yang non lethal maupun lethal serta patofisiologinya. Perubahan sel terjadi atas timbulnya respon selular terhadap stimulus atau injuri. Penggolongan stimulus dan injuri dalam kelompok lethal maupun non lethal didasarkan pada respons selular yang ditimbulkannya dan akibatnya pada sel. Respons selular itu sendiri tergantung pada tipe cedera, durasi, dan keparahannya. Sedangkan akibat stimulus pada sel tergantung pada tipe, status, kemampuan adaptasi, dan susunan genetik sel yang mengalami jejas (Robbins dkk, 2007). Mekanisme pasti mengenai perubahan sel belum sepenuhnya dipahami. Meskipun demikian, terdapat beberapa prinsip biokimia dasar yang menjadi mekanisme timbulnya cedera, yaitu: a. Deplesi ATP. ATP penting bagi setiap proses yang terjadi dalam sel, termasuk mempertahankan osmolaritas selular, proses transport, sistesis protein, dan jalur metabolik dasar. Hilangnya sintesis ATP dapat menyebabkan penutupan segera jalur homeostasis yang paling kritis (Robbins dkk, 2007). b. Deprivasi oksigen atau pembentukan spesies oksigen reaktif. Spesies radikal bebas dari oksigen teraktivasi dapat menyebabkan peroksidasi lipid dan efek delesi lainnya pada struktur sel (Robbins dkk, 2007). c. Hilangnya homeostasis kalsium. Iskemia atau toksin menyebabkan masuknya kalsium ekstrasel melintasi membran plasma, diikuti pelepasan kalsium dari deposit intraselular. Peningkatan kalsium sitosol inilah yang akan mengaktivasi bermacam fosfolipase (mencetuskan kerusakan

membran), protease (mengatabolisasi protein membran dan struktural), ATPase (mempercepat deplesi ATP), dan endonuklease (memecah material genetik) (Robbins dkk, 2007).

d. Defek pada permeabilitas membran plasma. Kerusakan ini dapat diakibatkan oleh toksin bakteri, protein virus, maupun aktivasi fosfolipase yang dimediasi oleh kalsium. Hilangnya barrier membran menimbulkan kerusakan gradien konsentrasi metabolit yang diperlukan untuk

mempertahankan aktivitas metabolik normal (Robbins dkk, 2007). e. Kerusakan mitokondria. Peningkatan kalsium sitosol, stres oksidatif intrasel, dan produk pemecahan lipid akan menyebabkan terjadinya kulminasi semua bahan dalam pembentukan saluran membran mitokondria interna. Hal ini tentu saja dapat menggangu aktivitas sel yang sangat bergantung pada metabolisme oksidatif di mitokondria (Robbins dkk, 2007). Berdasarkan mekanisme dasar diatas, penggolongan lethal dan non lethal suatu injuri atau stimulus terhadap sel dapat dilihat dari du faktor, yaitu; keutuhan membran sel dan juga keutuhan mitokondria. Ketika suatu injuri atau stimulus mengakibatkan jejas pada sel namun sel tersebut tetap memiliki mitokondria dan membrane sel dalam keadaan normal, maka jejas tersebut bersifat reversible, yang menandakan bahwa injuri atau stimulus merupakan golongan non lethal. Akan tetapi, bila kondisi sel setelah terkena jejas mengalami gangguan ataupun kelainan baik itu pada mitokondria, membran sel, atau keduanya. Maka jejas tersebut bersifat irreversible yang juga menandakan bahwa stimulus atau injuri tersebut tergolong lethal.

C. Macam-macam proses adaptasi sel serta patofisiologinya Respons adaptasi utama sel adalah atrofi, hipertrofi, hiperplasia, dan metaplasia a. Atrofi Atrofi adalah pengerutan ukuran sel karena hilangnya substansi sel yang dapat mengakibatkan penurunan fungsi tanpa disertai kematian sel. Atrofi dapat terjadi baik secara fisiologis maupun patologis. Berikut ini adalah beberapa penyebab dari atrofi sel: i. Penurunan beban kerja

ii. iii. iv. v. vi. vii.

Hilangnya persarafan Berkurangnya suplai darah Nutrisi yang tidak adekuat Hilangnya rangsangan endokrin Penuaan Tekanan (Robbins dkk, 2007)

Atrofi dapat terjadi melalui dasar proses biokimia yang sangat bervariasi, yang pada akhirnya akan mempengaruhi keseimbangan antara sintesis dan degradasi. Baik itu penurunan sintesis, peningkatan degradasi, ataupun gabungan dari keduanya. Ketidakseimbangan antara sintesis dan degradasi akan menyebabkan penurunan ukuran atau jumlah dari substansi sel itu sendiri, seperti retikulum endoplasma, mitokondria, dan substansi lainnya guna menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungannya. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan ukuran dari sel yang disebut atrofi (Robbins dkk, 2007). b. Hipertrofi Hipertrofi adalah penambahan ukuran sel yang akan menimbulkan pertambahan dari ukuran organ. Hipertrofi dapat juga terjadi secara bersamaan dengan hiperplasia (penambahan jumlah sel). Akan tetapi, pada hipertrofi murni tidak ada sel baru yang terbentuk, perbesaran dari sel diakibatkan oleh peningkatan sintesis organela dan protein struktural. Hipertrofi dapat terjadi baik secara fisiologis maupun patologis (Robbins dkk, 2007). Patofisiologi dari hipertrofi adalah diawali dengan peningkatan kebutuhan fungsional atau rangsangan hormonal spesifik. Contoh mekanisme fisiologi yang dapat memicu terjadinya hipertrofi adalah penebalan otot-otot polos pada dinding uterus selama masa kehamilan. Hal ini merupakan akibat dari rangsangan estrogen yang terjadi selama masa kehamilan. Sedangkan contoh patologis dari hipertrofi antara lain

terjadinya pembesaran jantung akibat hipertensi atau kelainan katup aorta. Hipertrofi terjadi sebagai mekanisme sel otot jantung dalam

menyesuaikan diri terhadap kebutuhan peningkatan kinerja dalam tugas memompa darah ke seluruh tubuh (Robbins dkk, 2007). c. Hiperplasia Hiperplasia adalah peningkatan jumlah sel dalam organ atau jaringan. Hiperplasia dan hipertrofi terkait erat dan seringkali terjadi secara bersamaan dalam suatu jaringan, sehingga keduanya memiliki peran terhadap pertambahan ukuran organ secara menyeluruh.

Mekanisme hiperplasia bisa dipengaruhi oleh peningkatan pada faktorfaktor yang memicu proliferasi ataupun peningkatan hormonal (Robbins dkk, 2007). Hiperplasia dapat terjadi baik secara fisiologis maupun patologis. Hiperplasia fisiologis terbagi menjadi dua jenis, yaitu hiperplasia hormonal yang terjadi karena pengaruh hormone dan hiperplasia kompensatoris yang terjadi karena adanya jaringan yang dibuat atau sakit seperti pada kasus hepatektomi (Robbins dkk, 2007). d. Metaplasia Metaplasia adalah perubahan satu jenis sel dewasa oleh sel dewasa lain yang bersifat reversible. Perubahan ini dilakukan sebagai adaptasi sel agar mampu bertahan pada kondisi lingkungan yang berubah. Metaplasia diperkirakan berasal dari pemrograman kembali genetik sel stem epitelial atau sel mesenkimal jaringan ikat yang tidak berdiferensiasi (Robbins dkk, 2007). Metaplasia epitel ditunjukkan dengan perubahan epitel gepeng yang terjadi pada saluran napas perokok kretek. Sel epitel silindris bersilia mengalami pergantian dengan sel epitel gepeng bertingkat yang memiliki kemampuan bertahan hidup lebih baik (Robbins dkk, 2007).

Selain empat mekanisme respons adaptasi utama, terdapat dua respons adaptasi yang bersifat subseluler yaitu akumulasi intrasel dan kalsifikasi patologik. i. Akumulasi intrasel Pada beberapa kondisi, sel dapat mengakumulasikan sejumlah zat abnormal. Akumulasi tersebut dapat membahayakan atau menyebabkan cedera. terdapat tiga macam proses terjadinya akumulasi intrasel, yaitu: 1. Zat normal diproduksi dengan kecepatan yang normal atau lebih tinggi, tetapi kecepatan metabolik tidak adekuat untuk

menyingkirkannya. 2. Zat endogen normal atau abnormal menumpuk karena adanya gangguan pada metabolismee, pengemasan, transport, atau sekresinya. Gangguan ini dapat disebabkan oleh defek genetik ataupun oleh faktor lingkungan. 3. Zat eksogen abnormal disimpan dan menumpuk dikarenakan sel tidak memiliki mekanisme untuk mendegradasi maupun memindahkan zat tersebut ketempat lain (Robbins dkk, 2007). ii. Kalsifikasi patologik Kalsifikasi patologik merupakan deposisi abnormal garam kalsium pada suatu jaringan. Kalsifikasi patologik digolongkan menjadi dua jenis yaitu kalsifikasi distrofik dan kalsifikasi metastatik. Kalsifikasi distrofik adalah terjadinya deposisi di jaringan yang telah mati atau akan mati, sedangkan kalsifikasi metastatik merupakan terjadinya deposisi pada jaringan yang normal (Robbins dkk, 2007).

D. Macam-macam kematian sel beserta patofisiologi dan perbedaannya Terdapat dua pola dasar dalam kematian sel, yaitu: a. Nekrosis Nekrosis adalah hasil akhir perubahan-perubahan morfologis yang mengindikasikan kematian sel (Dorland, 2010). Perubahan morfologis yang sering terjadi adalah nekrosis koagulatif yang ditandai dengan pembengkakan sel, denaturasi protein sitoplasma, dan pemecahan organela sel. Perubahan morfologis yang terjadi pada sel disebabkan oleh dua proses penting yang terjadi secara bersamaan, yaitu digesti enzimatik sel dan denaturasi protein (Robbins dkk, 2007). Nekrosis berdasarkan pola morfologiknya, dikategorikan kedalam 5 golongan, yaitu: i. Nekrosis koagulatif adalah nekrosis dengan perubahan jaringan menjadi sebuah massa eosinofilik kering dengan kerangka struktur dasar sel yang tetap, namun tanpa inti. Pada nekrosis koagulatif, jejas dan peningkatan asidosis tidak hanya mendenaturasi protein struktural saja, namun juga mendenaturasi protein enzim yang menghambat proteolisis selular (Robbins dkk, 2007). ii. Nekrosis liquefaktif adalah nekrosis yang materi nekrosisnya menjadi lunak dan mencair. Nekrosis ini diakibatkan oleh infeksi bacterial fokal atau kadang fungal (Robbins dkk, 2007). iii. Nekrosis gangrenosa adalah nekrosis yang disebabkan oleh perpaduan iskemia dengan infeksi bakterial. Nekrosis ini menggabungkan gambaran koagulatif dan nekrosus kolikuativa (Robbins dkk, 2007). iv. Nekrosis kaseosa adalah bentuk tersendiri nekrosis yang paling sering ditemukan pada focus infeksi tuberculosis. Tidak seperti nekrosis koagulatif, arsitektur jaringan seluruhnya teroblterasi (tertutup) (Robbins dkk, 2007). v. Nekrosis lemak adalah keadaan lemak netral dalam sel jaringan lemak akibat kerja enzim menjadi asam lemak dan gliserol. Kemudian asam

lemak yang dilepaskan akan bereaksi dengan kalsium, magnesium, dan ion natrium membentuk sabun. Keadaan ini biasa terjadi pada kondisi pankreatitits hemoragik akut (Robbins dkk, 2007). b. Apoptosis Apoptosis adalah jalur bunuh diri sel yang menyebabkan kematian sel terprogram. Mekanisme yang mendasari apoptosis dapat dibagi dalam empat komponen terpisah, yaitu: i. Signaling. Apoptosis dapat dipicu dengan berbagai sinyal yang berkisar dari kejadian terprogram intrinsic, kekurangan faktor tumbuh, interaksi ligan-reseptor spesifik, pelepasan granzim dari sel T sitotoksik, atau agen jejas tertentu (misalnya radiasi) (Robbins dkk, 2007). ii. Kontrol dan integrasi. Kontrol dan integrasi dilengkapi oleh protein spesifik yang menghubungkan sinyal kematian asli dengan program eksekusi akhir. Protein tersebut penting karena kerjanya dapat menimbulkan komitmen atau pembatalan sinyal yang berpotensi letal (Robbins dkk, 2007). iii. Eksekusi. Jalur akhir apoptosis ini ditandai dengan konstelasi kejadian biokimiawi khas yang dihasilkan dari sintesis dan/atau aktivasi sejumlah enzim katabolic sitosolik (Robbins dkk, 2007). iv. Pengangkatan sel mati. Proses ini merupakan tahapan akhir dari

apoptosis, dimana sel apoptotic dan fragmennya diambil dan dibuang oleh sel yang berdekatan atau fagosit. Hal ini dilakukan dengan menggunakan molekul penanda pada sel apoptotic dan fragmennya yang kemudian dibaca oleh sel lain atau fagosit (Robbins dkk, 2007).

Perbedaan antara nekrosis koagulasi (nekrosis yang paling sering terjadi) dan apoptosis antara lain: Nekrosis Koagulasi Rangsang Hipoksia, toksin Apoptosis Faktor patologik Gambaran histologik Pembengkakan sel Nekrosis Sel tunggal koagulasi Gangguan organela Pemecahan DNA Mekanisme Acak, difus Deplesi ATP Jejas membran Kerusakan radikal bebas Reaksi jaringan Inflamasi Tidak ada inflamasi Fagositosis badan apoptotic (Robbins dkk, 2007) Kondensasi kromatin Badan apoptotic Internukleosomal Aktivasi gen Endonuklease Protease fisiologik dan

E. Macam-macam pertumbuhan non neoplastik serta patofisiologinya a. Regenerasi Regenerasi adalah pembaharuan suatu struktur secara alamiah, misalnya pada kehilangan jaringan atau sebagian jaringan (Robbins dkk, 2007). b. Hipertrofi Hipertrofi adalah penambahan ukuran sel yang akan menimbulkan pertambahan dari ukuran organ. Hipertrofi dapat juga terjadi secara bersamaan dengan hiperplasia (penambahan jumlah sel). Akan tetapi, pada hipertrofi murni tidak ada sel baru yang terbentuk, perbesaran dari sel diakibatkan oleh peningkatan sintesis organela dan protein struktural.

Hipertrofi dapat terjadi baik secara fisiologis maupun patologis (Robbins dkk, 2007). Patofisiologi dari hipertrofi adalah diawali dengan peningkatan kebutuhan fungsional atau rangsangan hormonal spesifik. Contoh mekanisme fisiologi yang dapat memicu terjadinya hipertrofi adalah penebalan otot-otot polos pada dinding uterus selama masa kehamilan. Hal ini merupakan akibat dari rangsangan estrogen yang terjadi selama masa kehamilan. Sedangkan contoh patologis dari hipertrofi antara lain terjadinya pembesaran jantung akibat hipertensi atau kelainan katup aorta. Hipertrofi terjadi sebagai mekanisme sel otot jantung dalam

menyesuaikan diri terhadap kebutuhan peningkatan kinerja dalam tugas memompa darah ke seluruh tubuh (Robbins dkk, 2007). c. Hiperplasia Hiperplasia adalah peningkatan jumlah sel dalam organ atau jaringan. Hiperplasia dan hipertrofi terkait erat dan seringkali terjadi secara bersamaan dalam suatu jaringan, sehingga keduanya memiliki peran terhadap pertambahan ukuran organ secara menyeluruh.

Mekanisme hiperplasia bisa dipengaruhi oleh peningkatan pada faktorfaktor yang memicu proliferasi ataupun peningkatan hormonal (Robbins dkk, 2007). Hiperplasia dapat terjadi baik secara fisiologis maupun patologis. Hiperplasia fisiologis terbagi menjadi dua jenis, yaitu hiperplasia hormonal yang terjadi karena pengaruh hormone dan hiperplasia kompensatoris yang terjadi karena adanya jaringan yang dibuat atau sakit seperti pada kasus hepatektomi (Robbins dkk, 2007). d. Metaplasia Metaplasia adalah perubahan satu jenis sel dewasa oleh sel dewasa lain yang bersifat reversible.perubahan ini dilakukan sebagai adaptasi sel agar mampu bertahan pada kondisi lingkungan yang berubah. Metaplasia diperkirakan berasal dari pemrograman kembali genetik sel stem

epithelial atau sel mesenkimal jaringan ikat yang tidak berdiferensiasi (Robbins dkk, 2007). Metaplasia epitel ditunjukkan dengan perubahan epitel gepeng yang terjadi pada saluran napas perokok kretek. Sel epitel silindris bersilia mengalami pergantian dengan sel epitel gepeng bertingkat yang memiliki kemampuan bertahan hidup lebih baik (Robbins dkk, 2007). e. Displasia Displasia adalah gangguan pertumbuhan seluler yang

mengakibatkan perubahan ukuran, bentuk, dan organisasi sel-sel matur. Gangguan pertumbuhan ini ditandai dengan terjadinya dispolarisasi, pleomorfi, dan peningkatan mitosis sel. Setiap sel akan kehilangan keseragaman (uniformitas) dan orientasi arsitektural sel itu sendiri (Robbins dkk, 2007). f. Hamartoma Hamartoma adalah nodul jinak menyerupai tumor yang terdiri dari sel-sel dan jaringan matur yang tumbuh berlebih, normal terdapat pada bagian yang terkena, tetapi tidak beraturan dan sering didominasi oleh salah satu elemen. Hamartoma merupakan pertumbuhan abnormal yang sudah dimulai saat lahir dan tumbuh sesuai perkembangan fisiologis (Robbins dkk, 2007).

F. Mekanisme terjadinya neoplasma, faktor risiko, serta nomenklaturnya 1. Mekanisme terjadinya neoplasma Sel normal (mengalami inisiasi) Transform cell (mengalami promosi) Pre malignant cell (mengalami transformasi) Malignant cell (mengalami progresi) Metastase. Karsinogenesis merupakan proses perubahan menjadi kanker, proses ini melalui tahapan yang disebut sebagai multistep carsinogenesis. Proses karsinogenesis secara bertahap diawali dengan proses inisiasi,

dilanjutkan dengan promosi dan berlanjut dengan progresi dari sel normal menjadi sel kanker atau malignant cell (Andriyono. 2003). 2. Faktor risiko a. Jenis kelamin : jenis kelamin adalah salah satu faktor risiko yang menentukan potensi munculnya neoplasma, misal ca. mammae terjadi hanya pada wanita. b. Umur : semakin tua, kemunculan neoplasma maligna semakin banyak terjadi karena untuk menjadi neoplasma maligna membutuhkan waktu yang relatif lama serta melalui beberapa tahapan, meskipun ada juga ditemukan neoplasma pada usia muda tapi itu merupakan neoplasma embrional. c. Ras (suku bangsa) : suku Bantu di Afrika diet kaya serat & rendah lemak hewan terbukti ca. colorectal rendah. d. Lingkungan : polusi udara, perokok, dan pekerja industri

meningkatkan kecenderungan terjadinya kanker. e. Geografik : dalam suatu penelitian besar terbukti bahwa wilayah geografik menentukan tingkat kejadian kanker. Sebagai contoh, angka kematian akibat kanker payudara di Amerika 4-5 kali lebih tinggi dibanding Jepang, sebaliknya angka kematian akibat karsinoma lambung di Jepang 7 kali lebih tinggi dibanding Amerika. f. Herediter : Retinoblastoma anak merupakan contoh paling nyata

kategori ini, sekitar 40% kasus retinoblastoma bersifat familial


(Suwandono, A. 2010).

3. Nomenklatur Semua tumor, jinak dan ganas, memiliki 2 komponen dasar : (1) parenkim, yang terdiri atas sel yang telah mengalami transformasi atau neoplastik, dan (2) stroma penunjang nonneoplastik yang berasal dari pejamu dan terdiri atas jaringan ikat dan pembuluh darah. Parenkim neoplasma menentukan perilaku biologisnya, dan komponen ini yang menentukan nama tumor bersangkutan (Chrestella, J. 2009).

Tumor jinak secara umum diberi tambahan nama dengan akhiran oma ke jenis sel asal tumor tersebut. Tumor ganas pada dasarnya mengikuti tata nama tumor jinak, dengan penambahan dan pengecualian tertentu. Neoplasma ganas yang berasal dari sel epitel disebut karsinoma sedangkan neoplasma ganas yang berasal dari sel mesenkim atau turunannya disebut sarkoma (Chrestella, J. 2009). JARINGAN ASAL TUMOR JINAK TUMOR GANAS

I.Simpel (terdiri atas satu jenis sel neoplasma) Epitel 1. Epitel permukaan skuamosa 2. Epitel kelenjar 3. Epitel villus chorialis (placenta) Mesoderm 1. Jaringan ikat (fibroblast) 2. Jaringan miksomatosa 3. Jaringan lemak 4. Tulang rawan 5. Tulang 6. Otot polos 7. Otot serat lintang 8. Pembuluh darah 9. Pembuluh limfe 10.Jaringan hemapoetik - fibroma - myxoma - lipoma - chondroma - osteoma - leiomyoma - rhabdomyoma - hemangioma - lymphangioma - fibrosarcoma - myxosarcoma - liposarcoma - chondrosarcoma - osteogenic sarcoma - leiomyosarcoma - rhabdomyosarcoma - hemangiosarcoma - lymphangiosarcoma -Papilloma -Adenoma -Mola hidatidosa -Karsinoma -Adenokarsinoma -Choriokarsinoma

a.Sumsum tulang

- leukemia - myeloma multiple

b.Jaringan limfoid

- tidak dikenal

- lymphoma malignum - lymphosarcoma - Sarcoma sel reticulum - Penyakit Hodgkin

Jaringan saraf 1. Neuroglia Pigmented epithelium 1. Melanoblas - nevus pigmentosus - melanoma malignum - glioma( jarang ) - glioma

II . Compound ( >1 jenis sel neoplasma berasal dari l > 1 lapis benih) Jaringan embrional - Sel totipoten -kista dermoid (Teratoma kistik) -Teratoma solidum Teratokarsinoma/sarcoma (Chrestella, J. 2009)

G. Tanda dan gejala neoplasma, baik gejala lokal, sistemik maupun metastasisnya, dan cara mengevaluasinya Pada tahap awal perkembangan, neoplasma benigna dan maligna adalah asimtomatik. Massa sel secara sederhana tidak cukup besar untuk mempengaruhi fungsi tubuh manapun. Sesuai dengan peningkatan ukuran tumor, terjadi perubahan lokal pada fungsi. Saat neoplasma maligna bertumbuh dan bermetastasis, neoplasma ini mempengaruhi fungsi tempat yang jauh dan mengganggu keseimbangan biokimia dan nutrisi tubuh.

1. Gejala lokal Sifat dan perkembangan simtomatologi lokal bergantung pada lokasi neoplasma dan ukuran serta kemampuannya memenuhi ruangan yang dikenainya. Misalnya neoplasma dalam rongga abdomen dapat tumbuh cukup besar tanpa memberi gejala. Tetapi neoplasma di atap tngkorak, biar pun baru sebesar kacang, sudah dapat memberi gejalanyata. Massa tumor primer atau metastasis membesar dan menekan jaringan sekitar maupun pendarahannya. Gejala yang tmbul bisa akibat gangguan fungsi, gangguan pendarahan atau akibat respons imun (Tambayong, J. 2000). Gangguan fungsi berantung pada organ yang terkait. Karsinoma paru yang menyumbat bronkus dapat berakibat atelektasis,

pembentukanabses, bronkiektasis, atau pneumonitis bagian distal. Dan individu yang mengalami ini akan batuk, dengan tanda-tanda infeksi. Karsinoma kolon dapat menghambat defekasi. Jika sumbatan tidak sempurna, maka dapat timbul konstipasi, dan kolik. Gangguan pendarahan menghambat oksigenasi dan pasokan nutrien, berakibat iskemia dan nekrosis. Produk limbah tidak dikeluarkan, dan asam laktat tertimbun. Gejala lokal yang paling umum ada beberapa, yakni: pembesaran atau pembengkakan yang tidak biasa tumor, pendarahan (hemorrhage), rasa sakit dan/atau tukak lambung/ulceration. Kompresi jaringan sekitar bisa menyebabkan gejala jaundis (kulit dan mata yang menguning) (Tambayong, J. 2000). 2. Gejala sistemik Neoplasma mempunyai efek sistemik seperti juga lokal. Gejala sistemik mungkin indikasi pertama bahwa seseorang menderita neoplasma atau dapat menyertai penyakit metastasis yang lebih lanjut. Gejala ini (sindrom praneoplastik) meliputi: berat badan turun, nafsu makan berkurang secara signifikan, kelelahan dan kakeksia(kurus kering), keringat berlebihan pada saat tidur/keringat malam, anemia, fenomena

paraneoplastik tertentu yaitu kondisi spesifik yang disebabkan kanker aktif seperti trombosis dan perubahan hormonal. Setiap gejala dalam daftar di atas bisa disebabkan oleh berbagai kondisi (daftar berbagai kondisi itu disebut dengan diagnosis banding). Kanker mungkin adalah penyebab utama atau bukan penyebab utama dari setiap gejala. Selain itu ada beberapa gejala yang dapat menunjang, seperti yang akan dijelaskan selanjutnya di bawah ini (Tambayong, J. 2000). 3. Gejala angiogenesis Gejala ini merupakan interaksi antara sel tumor, sel stromal, sel endotelial, fibroblas dan matriks ekstraselular (Andr T. dkk). Pada kanker, terjadi penurunan konsentrasi senyawa penghambat pertumbuhan pembuluh darah baru, seperti trombospondin, angiostatin dan gliomaderived angiogenesis inhibitory factor, dan ekspresi berlebih faktor proangiogenik, seperti vascular endothelial growth factor (Folkman J), yang memungkinkan sel kanker melakukan metastasis (Folkman J). Terapi terhadap tumor pada umumnya selalu melibatkan 2 peran penting, yaitu penggunaan anti-vascular endothelial growth factor monoclonal antibodies untuk mengimbangi overekspresi faktor proangiogenik, dan pemberian senyawa penghambat angiogenesis, seperti endostatin dan angiostatin (Folkman J). 4. Gejala migrasi sel tumor Gejala ini ditandai dengan degradasi matriks ekstraselular (ECM), jaringan ikat yang menyangga struktur sel, oleh enzim MMP. Hingga saat ini telah diketahui 26 berkas gen MMP yang berperan dalam kanker (Roeb E. dkk), dengan pengecualian yang terjadi antara lain pada hepatocellular carcinoma (Matsunaga Y. dkk).

5. Metastasis Metastasis merupakan implant sekunder yang terpisah dari tumor primer. Kemampuan suatu tumor melakukan metastasi dapat dijadikan indikasi bahwa tumor terbut bersifat ganas. Neoplasma ganas menyebar melalui salah satu dari tiga jalur, yaitu: a. Penyemaian didalam rongga tubuh. Hal ini terjadi apabila neoplasma menginvasi suatu rongga alami yang terdapat di tubuh. Contoh dari metastasis ini adalah karsinoma kolon yang dapat menembus dinding usus dan mengalami reimplantasi di tempat jauh di rongga peritoneum (Robbins dkk, 2007). b. Penyebaran limfatik. Penyebaran melalui jalur limfatik lebih khas terhadapa jenis karsinoma, sedangkan jalur hematogen lebih khas terhadap jenis sarkoma. Namun, terdapat banyak hubungan antara sistem limfe dan vascular sehingga semua bentuk kanker dapat menyebar melalui salah satu atau bahkan kedua jalur. Pola persebaran pada jalur limfatik dan kelenjar getah bening yang terdapat di saluran ini sangtat tergantung pada tempat neoplasma primer dan jalur alami dari tempat tersebut (Robbins dkk, 2007). c. Penyebaran hematogen. Penyebaran tipe ini merupakan penyebaran yang paling ditakuti. Jalur ini khas untuk persebaran neoplasma jenis sarkoma. Pada jalur hematogen, penyebaran lebih sering terjadi di vena dibandingkan dengan arteri. Hal ini dikarenakan arteri yang lebih sulit ditembus dibandingkan dengan vena. Hati dan paru adalah tempat sekunder yang paling sering terkena pada penyebaran tipe hematogen ini. Sebab, semua drainase daerah portal mengalir ke hati, dan semua darah vena kava mengalir ke paru. Apabila selkanker telah menginvasi vena, maka sel kanker tersebut akan mengikuti aliran vena yang terjadi (Robbins dkk, 2007).

6. Cara Evaluasi a. Kecurigaan klinis Kecurigaan diagnosa kanker ialah badan lemah, anoreksia, berat badan turun. Menegakkan diagnosis dengan adanya riwayat penyakit. b. Diagnosis Lab Kanker Pemeriksaan Histopatologi dan Sitologi Diagnosis hispatologi adalah cara yang pasti untuk menegakkan diagnosis neoplasma. Kedua ujung sprektum jinak-ganas memang tidak ada masalah, tetapi diantara keduanya terletak daerah abu-abu daerah yang sukar dan sebaiknya kita bijaksana dan hati-hati. c. Diagnosis Dini Kanker Untuk menemukan stadium dini kanker harus dilakukan pemeriksaan rutin pada pasien yang tidak menunjukkan gejala. Beberapa usaha penemuan kanker tingkat dini : Pemeriksaan sitologi serviks (PAPTES) rutin tahunan pada wanita berusia > 35 tahun. Usia 50 tahun atau lebih diadakan pemeriksaan sigmoideskopi tiap 3-5 tahun,untuk menemukan lesi pada rectum. SADARI (memeriksa payudara sendiri) bulanan,untuk menemukan benjolan kecil pada payudara sendiri. Pemeriksaan kesehatan menyeluruh secara berkala. Agar memperhatikan tanda WASPADA akan kanker (Suwandono, A. 2010).

DAFTAR PUSTAKA Sudoyo Aru W.dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. pp: 14101411 Andr T. dkk. Tumoral angiogenesis: physiopathology, prognostic value and therapeutic perspectives. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9887458. (4 Desember 2010). Andriyono. 2003. Kanker Serviks Sinopsis Kanker Ginekologi. Jakarta. pp:14-28 Chrestella, J. 2009. Neoplasma. Medan : Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Dorland, W. A. Newman, 2010. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Folkman J. Role of angiogenesis in tumor growth and metastasis.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12516034 (4 Desember 2010) Folkman J. Angiogenesis in cancer, vascular, rheumatoid and other disease. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7584949. (4 Desember 2010) Guyton and Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC Margono. 2011. Fisiologi manusia sel, transport membrane, dan kelistrikan tubuh. Surakarta : UNS Matsunaga Y. dkk. Expression of matrix metalloproiteinases (MMPs) and tissue inhibitors of metalloproteinases (TIMPs) in hepatocellular carcinoma tissue, compared with the surrounding non-tumor tissue.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17564313. (5 Desember 2010). Robbins, Stanley L., dkk. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Roeb

E.

dkk.

Matrix

metalloproteinases

and

colorectal

cancer

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14685678. (5 Desember 2010). Suwandono, A. 2010. Neoplasma. Surakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Tambayong, J. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC

You might also like