You are on page 1of 81

Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

JURNALISAFIS

Contributors:
ISAFIS President 2012

Lukman Oesman

Universitas IndonesiaISAFIS Member

Gineng Pratidina Permana Sakti

Gregorius Rinaldo Perdana


Universitas Airlangga Universitas Brawijaya Universitas Parahyangan Universitas Indonesia Universitas Bina Nusantara

Kanyadibya C.P Kevin Tan

Monica Agnes

Towards ASEAN Community 2015


ASEAN Political Security Community ASEAN Economic Community ASEAN Socio Cultural Community

Mufalia Nurfitriani

Steven Y Polhaupessy
Universitas Moestopo (Beragama)

About ISAFIS
ISAFIS is a Non-profit student organization, which consists of students from various universities in Indonesia, particularly in JABODETABEK (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) such as University of Indonesia, Pelita Harapan University, Bina Nusantara University, etc. ISAFIS was established in February 14, 1984. At that time, the name of the association was International Student Association (ISA) of Indonesia. The development from time to time insisted ISA of Indonesia to assert its existence. On March 26, 1986, was added into ISA of Indonesia and therefore adjusted its name into Indonesian Student Association for International Studies (ISAFIS). The mission of ISAFIS itself is to promote mutual understanding among nations particularly between Indonesia and other countries and developing International studies among students and youth in Indonesia. The objective is to enhance interest and knowledge of Indonesian students and youth in international studies. ISAFIS believed that mutual understanding is one of the corner stone to create better and more peaceful world. ISAFIS has received recognition for its contribution in promoting mutual understanding among nations from Javier Perez De Acquellar, Secretary General for United Nations, who endowed ISAFIS with Peace Messenger Award in 1987. Until now ISAFIS is a non-governmental organization associated with the United Nations Department of Public Information (DPI).

ii

Susunan Redaksi

JURNALISAFIS

Pemimpin Umum Penanggung Jawab Ketua Editor Editor Pelaksana Layout Administrasi Publikasi Launching

: Rizki Amelia Fitriyani : Maya Susanti : Egalita Irfan : Colley Windya : Arya Satya Nugraha : Malinda Damayanti : Elda Claudia : Chaula Rininta

: Alifia Firliani : Radiv Annaba : Ilman Dzikri

iii

Remarks
Greetings! Indonesian Students Association for International Studies (ISAFIS) is a student non-profit organization that concerns in international studies. ISAFIS has stood for more than 29 years as a student organization in Indonesia, with members coming from various universities in Jakarta and around. Carrying its name, ISAFIS missions are to develop understanding on international issues among youth in Indonesia and to eventually promote mutual understanding among nations. As a consequence of our consistent missions, ISAFIS believes one of the steps to achieve that mission is to empower youth and to take a part of the process. Therefore, ISAFIS is extracting its missions to some programs consisted of discussions on international issues held with the government, embassies and NGOs and also some other program to develop its member skill and interest in international issues. Throughout the programs, ISAFIS progressively develop the interest of its member on international issues. In line with that, this year, ISAFIS tries to extend the result of its discussions into an academic writing. We finally decided to compile it in form of a journal along with some essays from students coming from all over Indonesia. By launching this program, we hope Indonesian student will be more brave in delivering and in elaborating their thoughts in order to be heard by all the stakeholders. This is our first journal, but we aim to make it continue with improvement in the future. Finally, I would like to congratulate all the member of ISAFIS, JURNALISAFIS team and contributors for all the hardworks and cooperation during the process of producing this journal. Thank you for finally send this journal to you. I also would like to extend my appreciation to all parties that support us. We do believe, a good cooperation must be the key to develop international studies in Indonesia, and finally reach the noble vision to promote mutual understanding among nations.

Maya Susanti ISAFIS President 2013

iv

Remarks
Menyongsong 46 tahun terbentuknya ASEAN, begitu banyak hal yang telah dilakukan dan berdampak baik bagi keberlangsungan Asia Tenggara. Beragam bentuk keputusan dan tindakan yang dilakukan secara nyata memberikan benang merah antara segi politik, keamanan, ekonomi, sosial dan budaya. Tindakan nyata tersebut merupakan cara yang dilakukan untuk menghadapi beragam tantangan yang ada. Berkaca dari cetak biru yang telah ada, maka keberadaan komunitas ASEAN menjadi sebuah pijakan yang jelas, jawaban atas permasalahan yang ada. Dari sinilah, maka realisasi komunitas ASEAN 2015 adalah sebuah hal yang tidak dapat terelakkan. Berlandaskan atas Piagam ASEAN yang berlaku pada 15 Desember 2008, maka terdapat instrumen hukum dan kerangka kerja yang legal dan berorientasi pada rakyat. Melalui Piagam ASEAN tersebut, kerjasama ASEAN diharapkan dapat lebih kuat, integratif, mudah beradaptasi dengan beragam tantangan dan perubahan, serta berwawasan progresif dan futuristik dengan terbentuknya Komunitas ASEAN 2015. Selain Piagam ASEAN, seperti yang telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya, terdapat cetak biru yang merupakan road map pembentukan komunitas ASEAN 2015. Terdapat tiga pilar Cetak Biru yang digunakan dalam pembentukan Komunitas ASEAN 2015, yaitu Cetak Biru Komunitas Politik Keamanan ASEAN (ASEAN Political- Security Community Blueprint), Cetak Biru Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Socio- Cultural Community Blueprint), dan Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community Blueprint). Keterlibatan seluruh komponen di Asia Tenggara yang tergabung dalam upaya realisasi Komunitas ASEAN 2015 adalah sebuah keharusan. Mulai dari kesiapan masyarakat dari masing- masing negara hingga peningkatan solidaritas maupun efektivitas dari kerjasama antar negara. Hal ini pada akhirnya guna menciptakan keseimbangan dalam perkembangan ekonomi, politik, keamanan, sosial, pengetahuan, teknologi maupun budaya. Dari upaya- upaya dalam keterlibatan tersebut, maka di Indonesia sendiri sebagai salah satu bagian dari anggota ASEAN, telah mengupayakan beberapa hal demi sosialisasi kebijakan Komunitas ASEAN 2015 dengan memberikan berbagai bentuk informasi ASEAN kepada masyarakat. Hal ini dilakukan melalui berbagai macam bentuk kegiatan, yaitu adanya ceramah, diskusi maupun seminar. Beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan seperti pembanguan ASEAN Study Center di beberapa perguruan tinggi, pemilihan duta muda ASEAN- Indonesia, penyuluhan kepada siswa sekolah dengan kegiatan ASEAN Goes to School. Dari berbagai bentuk kegiatan ini, beberapa sasaran yang dituju oleh ASEAN terlihat jelas, yaitu kalangan akademis. Namun, belum keseluruhan mendapatkan penyuluhan maupun informasi mengenai kerjasama ASEAN, Komunitas ASEAN 2015, bahkan mengenai ASEAN itu sendiri. Jurnal ini berusaha untuk menyajikan beberapa tulisan yang memberikan perhatian terhadap kesiapan dan persiapan Indonesia dalam menyongsong Komunitas ASEAN 2015 yang tinggal setahun lagi. Semoga tulisan- tulisan dalam JURNALISAFIS ini bermanfaat bagi insan di Indonesia dalam proses pembentukan Komunitas ASEAN 2015.

Rizki Amelia F Manager of Journal Research Research and Development Division

APSC

CO

T N

N E

S T

Ideological Rifts and Democracy Prospects in ASEAN Community 2015 Indonesia, ASEAN & Pemberantasan Illegal Fishing

Lukman Oesman................................................................2

Kanyadibya C.P.........................................................................11

Indonesias Geopolitics toward the Malacca Straits: Regional SecurityComplex


Steven Y Polhaupessy............................................................22

Kepingan Bernilai yang Mampu Mengakselerasi Terwujudnya APSC 2015


Mufalia Nurfitriani.....................................................................33

vi

AEC
Path of Regionalism in ASEAN towards the Economic Community 2015: The Implementation of Initiative ASEAN Integration Work Plan I & II in Narrowing The Development Gap
Monica Agnes.................................................................................................39

Peran Keterbukaan Media dan Informasi Indonesia terhadap Pembentukan AEC 2015

Kevin Tan............................................................................................................45

Refleksi Menuju Era Baru Ekonomi Transregional: Menilik Kesiapan AEC di Masa Depan
Gineng Pratidina Permana Sakti..............................................................53

ASCC
The Transformation of Private Sector Towards Gold Indonesia : The Establishment of CSR Supervisory Board In 2015 Free Market ASEAN, Is it Essentially Needed?
Gregorius Rinaldo Perdana.............................................63

vii

Source: http://cdn.asiancorrespondent.com/

ASEAN POLITICAL SECURITY COMMUNITY


1

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

Ideological Rifts and Democracy Prospects in ASEAN Community 2015


Lukman Oesman
ISAFIS President 2012 Abstract This journal discusses the potential influence of the ASEAN Charter signing in 2007 towards the political dynamics in its member countries. This study uses qualitative methods to explain the behaviour of political actors in the process of signing and entry into force of the ASEAN Charter in the context of the democracy practice in ASEAN. ASEAN Charter which was signed in 2007 included the values of democracy and human rights as the identity and responsibility of each member state, while on the other hand not all member countries, particularly Myanmar, has a unified view of the two values . This study has found that the Charter has to face with divided views on democracy and human rights among the member countries. This division occurs even though, through the ASEAN Charter, ASEAN wish to extend its international legitimacy as a resilient democratic region.

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

Forty years since its foundation, November 2007 marks for the first time ASEAN has its own charter as the organizations constitution. The so called ASEAN Charter has been ratified by all ten member countries of ASEAN and has been put into force since December 2008. It works as a legal constitution, and is binding to all the member countries. It is a document that based on its functions and level of attachment, for the first time being held by ASEAN. As a constitution, the ASEAN Charter also marks the first time that ASEAN has a legal identity. Such a move has been essential in bringing ASEAN closer to its main goal towards one community of Southeast Asian countries, an ambition that has been declared since 2002. The charter includes what has been a long avoided issue in ASEAN: democracy and human rights. It shows an effort from ASEAN to create a democratic environment within the organization. Such environment is no longer seen as an international environment, but more as an integrated community of nations. As these values came into force within the ASEAN Charter, it also works as a basic legal rule for the ASEAN Political Community. As what being mentioned in the charter as the purposes of ASEAN is to ensure that the peoples and Member States of ASEAN live in peace with the world at large in a just, democratic and harmonious environment.1 As a consequence of the entry of these values in the charter, the pressure on ASEAN to ensure the implementation of these values became stronger. Specifically on the issue of democracy and human rights, ASEAN has a lot of problems inviting pressure from the international community. One of most pressing issues for ASEAN is Myanmars military junta autocratic governments with poor records on human rights protection of its citizens. This issue is often used as an excuse to marginalize the efforts of ASEAN in the international world. Pressure is emerging when U.S. Secretary of State Condoleezza Rice, called the country, Burma, as a tyrant along with countries such as Iran , Cuba , and North Korea.2 The position of ASEAN as a regional organization in which Myanmar is a member, made ASEAN cannot escape from international pressure. Rices successor, Hillary Clinton even called for ASEAN to think to expel Myanmar from the membership of the organization.3 Furthermore, the United States and EU imposed economic sanctions on Myanmar. The economic sanctions greatly inhibit the ambition behind the formationof ASEAN economic community.
1 to ensure that countries in the region live at peace with one another and with the world at large in a just, democratic and harmonious environment.. See 2003 Declaration of ASEAN Concord II,http:// cil.nus.edu.sg/2003/2003-declaration-of-asean-concord-ii-signed-on-7-october-2003-in-bali-indonesiaby-the-heads-of-stategovernment/. 2 Rice targets 6 outposts of tyranny, The Washington Post, January 19th, 2005, http://www. washingtontimes.com/news/2005/jan/19/20050119-120236-9054r/?page=all, 3 Clinton says ASEAN should consider Myanmars expulsion, ChannelNewsasia.com, 22 Juli 2009, http://www.channelnewsasia.com/stories/afp_asiapacific/view/444045/1/.html,

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

Thus, in order to strive for the achievement of the ASEAN community ambitions, ASEANs credibility needed it to be able to be revived as a democratic political community by encouraging its member countries to abide by the values of democracy and human rights. ASEAN needs to show its face as a democratic regional organization with political stability through the implementation of democratic value s. The state of affairs in a number of ASEAN countries has shown an opposite reality. This turn to be fact especially with Myanmars conditions that can be said is the worst compared to other ASEAN countries in terms of stability and democratic practice. Myanmar since 1962 continues alternately ruled by a military junta regime. Starting with the results of the coup government of General Ne Win called as Burma Socialist Program Party. Based on this background, this study tries to focus on how the ASEAN Charter effects the political interaction in its member countries. Author tries to assess on how ASEAN Charter as an international law that binds ASEAN member countries, can create conditions that greatly affect the member states. This is especially due to the signing of the ASEAN Charter that indicate a stronger commitment to make ASEAN as an organization that is based on its own legal identity. This means a process of integration into one community of people has been the core process of the programme. With the strengthening of the integration process, the alignments of policies that reinforced the norms and shared values become very important. With democracy and protection of human rights written in the Charter as norms and values, then the alignment of the political system among the member states will determine the success of the 2015 communitys formation. This alignment is vital, especially in order to achieve a democratic face of the ASEAN organization itself. The fact that currently the democracy and human rights outlook is still very heterogeneous in ASEAN countries has become the obstacles for ASEAN to be dealt with. ASEANs inability to find a consensus on the value of democracy and human rights itself, makes alignment has the potential to be the source of division and political instability and security. Based on that condition, the presence of international law has a direct contact with the political life of a country, especially on the sustainability of the political system and the posture of the power relations in a country. Legal position has the potential to be a moral force that can push political change in a country. International law such as the Charter thus has the ability to become one of the pressing forces for political power in its member countries. This of course, has to be relied on the commitment of each country in implementing this law. Political compromises and differing views on various issues will be very dominant on this 4

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

trip. Looking at the fact that the ASEAN Way still progressing with its swept under the carpet diplomacy, it seems like political compromises will be far from any progressive changes. Therefore, this study is based on the underlying assumptions as follows. First, the ASEAN Charter along with the idea of community is based on the primary motivation for improving the image of ASEAN in the international world. Second, diplomacy culture in ASEAN which is still focusing on promoting political stability and security with strict principle of state sovereignty has made minor transitional reforms on politics to be the only way that ASEAN desired. Third, the Charter addressed by ASEAN countries to meet both the expectations and hence makes political change in ASEAN countries must be run in accordance with the first two assumptions.

Ideological Rifts and the Making of the ASEAN Charter In what has become a confession of Tommy Koh, one of the members of the HLTF, a high level team being tasked to drafting the charter, differences of opinion in terms of democracy and human rights has led ASEAN countries divided into three groups during the charter s drafting. The first group consists of countries that were so actively and firmly pushed on the submission of the values of democracy and human rights to be applied more thoroughly, namely Indonesia and Thailand. The second group was those who opposed the use of democratic values and human rights as a whole, namely Cambodia, Vietnam, Lao PDR, and Myanmar. While the third groups, are countries that chose its position as a mediator such as the Philippines, Malaysia, Singapore, and Brunei.4 In the later progress throughout the drafting process, Cambodia, Myanmar, Lao PDR, and Vietnam always stood on the same position. All four have already been known as a sub-group within ASEAN known as CLMV, due to its similarity of economic conditions and political ideology. These four countries strictly, in discussing the issue of the protection of human rights, have always disagreed with the other six countries. They often used the terms, consensus and non-interference as their fortresses. Aung Bwa, HLTF members representing Myanmar, saying that the Charter should be an appropriate document for each member state, strengthen friendship and a sense of togetherness, oriented towards the future, bold, but not too ambitious. Aung Bwa was not even hesitate to write that he used a lot of the word of consensus and debate in group discussions confining HLTF. Bwa said the two words were used to protect the national interests of Myanmar. Bwas statements seem to
4 See Tommy Koh, The Making of The ASEAN Charter,

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

cause more benefit for the military government instead of Myanmars people. In line with his other statements, Bwa issued a statement loud enough to call countries that promote human rights should not act as a saint and pretend to be holier than a pope. Bwa even added that the human rights mechanism that is able to avoid the commission form, as his success in negotiating. So it is clear then that the attitude of Myanmar in this formulation is very hard to contain points that are considered harmful to the political interests of the military junta. This further reflects the existence of significant differences among the six ASEAN countries that are relatively more advanced, with four Indochina countries that are relatively still lagging behind both economically and socio-politically. It also represents the CLMV countries ways in defining security threats that still focusing on the external and internal threats of a military nature. A different perspective compared to the perceptions shared by the other six countries. Political stability then, were cautiously being overlooked by the CLMV countries. Therefore the protection of human rights is not listed in their top priority. Tommy Koh also added that in the formulation of the ASEAN Charter by the HLTF , high blood pressure and repeated loud debate among the group of countries such as Indonesia, Thailand , and the Philippines with the four countries of Indochina. Divergence even more tapered to both groups chose to gather in two different rooms. From all of the arguments raised in the formulation of the ASEAN Charter, political differences reinforce what is believed to be the ideological rifts among the ASEAN countries. Such a view was confirmed by Pradap Pibulsonggram, HLTF representative of Thailand in the group. Pradap recognize that ideological rift among the ASEAN countries has been around since long. Pradap even more specific by saying that the composition resulted from the joining of the new states (CLMV) had widened the rift.

The Democratic Origins in Southeast Asia However, despite the differences of opinion among the six ASEAN countries with the CLMV countries upon the idea of democracy and protection of human rights, the actual condition that occurs is not as simple as that. In a data released by Freedom House in 2012, among all of the governments in ASEAN countries, only Indonesia is categorized as free. While other ASEAN countries are still being ranked as partly free and not free. What can be describes from the Freedom House data shows that the state of democracy among the ASEAN countries are still varies. Then it becomes difficult to see how the shared values and norms of 6

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

democracy and human rights can be run in harmony. Table 2.1 World Freedom Index 2012 Brunei 5.5 Not Free Malaysia 4.0 Singapore 4.0 Philippines 3.0 Indonesia 2.5 Cambodia 5.5 Not Free Thailand 4.0 Partly Free Lao PDR 6.5 Not Free Vietnam 6.0 Not Free

Rate

Rate

6.5

Not Free *Myanmar in this data is still referred to as Burma.

Data processed by the author from the website of Freedom Househttp://www. freedomhouse.org/report/freedom-world/freedom-world-2012

These conditions cannot be separated from the condition since the beginning of Southeast Asian countries independence. Political and democratic patterns that occur in this region do not correspond to what the general view of the theories of democracy or democratization. Bridget Welsh explained that the countries in Southeast Asia have shown deviations from the theory of development and democracy. By citing Barrington Moore, Walter Rostow, and Adam Przeworski, Welsh shows how the relationship between development and democracy which are being promoted by those three scholars, do not applied in Southeast Asian countries.5With Brunei and Singapore as the countries with the highest level of prosperity in Southeast Asia, these two countries shows no intention to opening tap for more democracy. While democratic countries such as Indonesia, Thailand, and the Philippines, despite continue to grow economically, still unable to climb out from a middle-size economy. Welsh concluded that undemocratic regime development in Southeast Asia were able to flourish thanks to the authoritarian characteristics of the stability-oriented middle class and higher sensitivity of economic class rather than ethnic issues, so that the middle class is not a key driver for the democratization in accordance with earlier theories. Characteristics of the middle class is also heavily influenced by the ideology of development in the countries that make the country has such a

5 Bridget Welsh, Unexpected Trajectories and Connections: Regime Change, Democratization and Development in Southeast Asia, dalam Ann Marie Murphy dan Bridget Welsh.Legacy of Engagement in Southeast Asia.Institute of Southeast Asian Studies, SIngapura, 2008.

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

dominant position in the economy. Such condition makes the middle class become very dependent on the governments dominant positions. Welsh added that the patrimonial and elitist nature of politics in Southeast Asia is supporting the middle class to nurture such characteristics.6 However, Welshs conclusions above are not intended to deny that democratization is happening in a number of countries in Southeast Asia. It shows that there is a justification of the earlier theories of democratization, such as Indonesia which has its democratization process sourced from the financial crisis that provoked a mass action that manage to topple down Soeharto. But Welshs conclusion is still relevant, especially when we take the example of democratization in Indonesia, democracy in the Philippines and Thailand which is hard to prove that development, especially in economic development, required further democratization as its precondition. Welshs explanations may provide a significant overview on what is happening in the South East Asia countries. Question regarding the precedence of development over democracy is something that always a part of Southeast Asia political system. Countries in this region since the beginning of their independence believed that both of these cannot be combined in the implementation process. Not surprisingly then countries with economies that are still lagging behind, such as Myanmar, Cambodia, and Lao PDR are showing a great hesitation to embrace democracy as a whole. These problems have been the source of a very minimalist view on democracy in various countries of ASEAN. With the underlying legitimacy on economic performance and socio-economic development always being prioritized, political development through increased public participation were often forgotten. View of democracy was not accompanied by a sense of political freedom. Political freedom and democracy appear as something that is not compatible toward each other. Both of them are considered different and are not seen as the two eyes of a coin, but rather as something that is truly distinguished. It was started with the terms Asian Values promoted by Lee Kuan Yew and Mahathir Muhammad. Both reject liberal democracy with the underlying argument based on cultural relativity in Southeast Asia. In what is known as Lee Kuan Yews view that society should take precedence rather than the individual. A similar view was adopted by many rulers in Southeast Asia. Governments in Southeast Asian countries too, although not in its entirety but the majority are still reluctant to recognize the universality of human rights. Views which later on were confirmed by the argument rose in the process of drafting the ASEAN Charter.
6 Ibid.

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

In these conditions illiberal democracy can grow significantly in ASEAN countries. Illiberal democracy means that democracy is not always embraced along with liberalism views, but instead embraced differently. Countries such as Singapore and Malaysia, from what Fareed Zakaria explained, categorized as a semi-democratic nations. Despite their semi-democratic status, both of these two countries are actively implementing liberal idea in economic policy and trade. On the other hand in the countries like CLMV, the claims of democracy are paired with socialist economic ideology, which unfortunately does not mean the government has the necessary capacity to build the country. Therefore, the problems and questions about democracy or development will continue to be the leading questions about democracy in ASEAN countries. Countries such as Cambodia, Lao PDR, Myanmar, and Vietnam, by looking at the experience of its more advanced neighbouring countries, will always be recalled by the same questions in their development process. Not only in the view of democracy, but also look at things such as the issues of political freedom and human rights protection. So it is normal to consider the same view that saying minimalist democracy is still prevail in the majority of ASEAN countries. This further complicates the problem of what has been the main reason behind the creation of the Charter, the problems of political identity. The issue of democracy and protection of human rights become very problematic when existing conditions are not in line with the ideals that the Charter dreamt about. ASEANs translation for democracy and human rights has yet to reach a common view. From what has been discussed previously in the drafting process of the charter, democracy proposal that first submitted by Indonesia since 2003 in the security community, was being avoided to mention any specific reference to the ASEAN democratic agenda. Democratic practice then are only limited to conditions such as elections, the implementation of good governance, strengthening the judiciary, and to promote the protection of human rights. It also has to face the opposition from many ASEANs stakeholders.

ASEAN as a Democratic Region, a Long Way to Go? In this study, we have found that democracy is important for ASEAN at least for several reasons. First, ASEAN has its own desire to improve its image in the international world. Second, political stability through democratization has become imperative in order to maintain the stability of the region. Third, the economic interest of the ASEAN region requires a more open but also stable under these changes. Fourth, the ambition for ASEAN integration requires member states to be able to harmonize the political system to make it more stable and sustainable. 9

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

At this situation, the impact of the ASEAN Charter start to has its effect. ASEAN countries see the condition of this organization as in need of a change and transformation that can improve the performance and credibility of the organization. ASEAN by this charter starts to realize the importance to create a legal identity with the norms and values to govern the behaviour of member countries, in which democracy and protection of human rights appears to be the norms and values in this charter. However, dramatic and quick changes will only make ASEAN trapped in a dynamic that is even more dangerous. Without being accompanied by political stability, economic development and ASEAN cooperation is threatened, bearing in mind the experience of the financial crisis in 1997 has given a very important lesson for ASEAN countries. ASEAN emphasis on political stability make transitional changes is the only way that can be achieved in making ASEAN a more democratic region. Then certainly it took a long time for ASEAN to be able to run as what has been mandated by the ASEAN Charter. However, it does not means that the Charter is without any influence. Effect of this charter at least has started to show on how the Charter works as the moral force in ensuring the dynamics that occur in member countries including Myanmar, to constantly adjust to the contents of the charter. In order to improve ASEANs credibility, the collective member countries are well aware to maintain the relevance of this charter. Thus, the value of democracy and human rights contained in it has to be very well maintained to keep it running in tandem with the conditions in ASEAN member countries. In this condition the moral force of the Charter, in particular of the two values, prevail in ASEAN cooperation mechanism. The implication however, does not mean an automatic encouragement for a further liberalization in the political realm. However, the trend of the previous four ASEAN interests, then this charter is intended to achieve the objectives mentioned earlier. Wherein, the slow process of political liberalization, limited and stable is the goal ASEAN try to achieve. Not surprisingly, then, the limited illiberal democracy in some of the member countries are being backed by ASEAN. However, it also shows how the Charter could appear as the legal basis for the creation of the political changes in the member countries in gradual and stable condition. In that way the interests of ASEAN is set to be achieved.

10

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

Indonesia, ASEAN, dan Pemberantasan Illegal Fishing


Kanyadibya C.P. Universitas Brawijaya
Abstract Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) fishing is a significant problem in Southeast Asia costing an estimated US$2,500 million or eight percent of recorded landings (FAO, 2007:23). It is one of the non-traditional security issues. It has been noted that the uptake, by Southeast Asian States, of international and regional initiatives to combat IUU fishing has been poor. Indonesia, as the largest archipelagic country in Southeast Asia, often becomes victim of illegal fishing. Every year more than 80 billion rupiahs lost because of illegal fishing. This loss is not only from the potential income of the fishermen, but also the loss of fish stocks. The biggest culprits, however, are its neighbor and ASEAN member states. Towards the creation of ASEAN PoliticalSecurity Community (APSC) 2015, ASEAN remains relatively silent towards the issue. The ASEAN Maritime Forum also cannot do much rather than engaging discussions on governmental level. Therefore, this paper tries to examine and analyze the nature of illegal fishing in Southeast Asia, the effect towards Indonesia, the cooperation between ASEAN member states, as well as bring solutions on national and regional level. Keywords: illegal fishing, ASEAN, APSC 11

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

Pendahuluan Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dan berpotensi menjadi salah satu negara maritim terbesar di dunia. Wilayah perairan menjadi penting bagi Indonesia karena salah satu perannya yang berfungsi sebagai penghubung antarpulau dan menjadi sumber penghasilan bagi nelayan. Menurut situs www.indonesia.go.id, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai mencapai hingga 54.716 km dan luas wilayah mencapai 1,9 juta mil persegi dan menjadi negara kepulauan terbesar di dunia. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki garis pantai terluas di dunia setelah Kanada. Wilayah perairan yang sangat luas tersebut tentu membutuhkan strategi pertahanan dan keamanan laut yang tangguh untuk mengatasi segala bentuk ancaman. Namun fakta di lapangan membuktikan bahwa pengembangan kapabilitas militer Indonesia hingga saat ini lebih banyak difokuskan di daratan (land based). Total Alat Utama Sistem Pertahanan (Alutsista) untuk Angkatan Darat sejumlah 27.115 unit, sementara untuk Angkatan Laut hanya sebanyak 150 unit (Global Fire Power, 2012). Jumlah 150 unit peralatan yang dimiliki TNI AL jelas tidak mencukupi untuk mengawasi dan menjaga keamanan wilayah Indonesia. TNI Angkatan Laut juga memiliki 317 unit kapal patroli yang biasa disebut Kapal Angkatan Laut (KAL) (Indomiliter, 2013). Dari segi kuantitas, Indonesia memiliki kapal perang terbanyak di Asia Tenggara. Namun, kenyataannya tidak semuanya bisa beroperasi secara bersamaan. Sedangkan untuk operasi di wilayah perbatasan TNI AL tidak bisa lepas drai dukungan kapal Landing Ship Tank (LST) dan Landing Platform Dock (LPD). TNI AL setidaknya punya 30 LST dan 5 LPD namun sebagian besar sudah berusia tua dan akan dipensiunkan (Indomiliter 2013). Sederhananya, negara ini memiliki kondisi geografis berupa kepulauan yang membentang sepanjang 1,9 juta mil persegi, namun kapasitas dan kemampuan Angkatan Laut masih sangat minim untuk melakukan patroli di setiap wilayah perairan Indonesia. Jumlah dan kemampuan kapal yang digunakan patroli oleh TNI AL belum memadai untuk mengcover wilayah perairan Indonesia yang begitu luas. Hal ini dapat menjadi celah yang dimanfaatkan oleh nelayan asing untuk melakukan illegal fishing di Indonesia. Undang-Undang Pertahanan Negara pasal 3 ayat 2 menyebutkan bahwa pertahanan negara disusun dengan mempertimbangkan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Untuk itu penyusunan strategi pertahanan seyogyanya harus memperhatikan kondisi Indonesia sebagai negara maritim serta eksistensi ribuan pulau-pulau Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke.

12

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

Sementara itu, UU No 31/2004 tentang Perikanan telah mengamanatkan Pemerintah Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam kerjasama regional dan internasional untuk mengatasi illegal fishing (Jakarta Post, 23 Maret 2008). Hal ini menandakan bahwa pemerintah Indonesia menyadari bahwa dengan kapabilitas TNI AL dan kondisi perairan Indonesia saat ini, Indonesia membutuhkan bantuan dan kerjasama dengan berbagai pihak untuk memberantas illegal fishing. Sebagai pemimpin regional ASEAN dan negara yang wilayah lautnya berbatasan dengan 4 negara ASEAN, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Filipina, Indonesia sudah selayaknya bekerjasama di tingkat ASEAN. Apalagi kerjasama keamanan untuk mencegah illegal fishing telah masuk ASEAN Political-Security Community (APSC) Blueprint. Sebagai bangsa Indonesia patutnya kita bertanya bagaimana kita dapat memanfaatkan ASEAN, untuk kepentingan nasional kita, untuk memberantas illegal fishing yang mempengaruhi Indonesia?

Kerangka Teoritis Pembahasan mengenai illegal fishing sangat jarang dibahas dalam ranah kajian HI tradisional. Namun, dalam perkembangannya kajian keamanan (security) dalam HI tidak hanya membahas keamanan atau konflik antar negara. Para penstudi keamanan mulai mengkaji keamanan non-tradisional seperti kejahatan transnasional, terorisme, illegal fishing, trafficking, dan lain-lain. Keamanan negara tidak lagi dipandang sebagai aman dari ancaman negara lain, namun juga aman dari segala bentuk gangguan dan ancaman yang dapat membahayakan negara dan warga negaranya. Salah satu konsep keamanan yang membahas keamanan secara komprehensif adalah konsep Comprehensive Security milik Barry Buzan. Comprehensive Security adalah sebuah konsep keamanan yang mengkombinasikan berbagai level dan dimensi keamanan menjadi satu kesatuan sistem yang padu (Rahman, 2009:18). Terdapat tiga level dan lima sektor yang perlu untuk dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan keamanan suatu negara. Menurut Barry Buzan tiga level yang dimaksud adalah level individu, negara, dan sistem internasional; sementara lima sektor di sini merujuk pada sektor militer, politik, sosial, ekonomi, dan lingkungan (Rahman, 2009:6). Pembagian ke dalam tiga level merupakan pembagian secara vertikal merujuk pada aktor (individu dan negara) dan sistem. Level sistem internasional berkaitan dengan faktor sistemik yang mempengaruhi perilaku negara berikut konsekuensinya terhadap negara-negara lain. Pada level negara berkaitan dengan permasalahan territorial dan kedaulatan negara. Sementara di level individu permasalahan keamanan erat kaitannya dengan hal-hal yang mempengaruhi eksistensi individu/ manusia sebagai suatu makhluk hidup. 13

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

Sementara pembagian ke dalam lima sektor merupakan pembagian secara horizontal merujuk pada aspek-aspek kehidupan yang patut untuk dipertimbangkan dalam mengkaji masalah keamanan. Ancaman pada sektor militer didefinisikan sebagai ancaman yang berpengaruh langsung pada komponen kedaulatan negara (Stone, 2009:5). Ancaman sektor politik erat kaitannya pada eksistensi negara sebagai entitas politik, ancaman dapat berupa persaingan antar ideologi atau serangan fisik terhadap negara itu sendiri (Stone, 2009:5). Ancaman pada sektor politik dan militer tersebut merupakan sektor keamanan yang dikategorikan sebagai sektor keamanan tradisional. Sementara itu ketiga sektor berikutnya disebut sebagai sektor keamanan non-tradisional di mana ancaman juga bisa berupa hal-hal yang sifatnya non-material/fisik. Keamanan sektor ekonomi merujuk pada permasalahan pemenuhan kebutuhan ekonomi suatu entitas. Keamanan pada sektor lingkungan berkaitan dengan aspek lingkungan alam di mana aktor itu tinggal, kerusakan pada lingkungan alam dipersepsikan dapat berpotensi menimbulkan ancaman terhadap entitas yang hidup di dalamnya. Sektor keamanan sosial berkaitan dengan permasalahan identitas dan budaya suatu entitas. Sektor keamanan ini bersinggungan erat dengan sektor politik. Mempertimbangkan kesemua level dan sektor itulah inti dari comprehensive security. Dengan maksud tidak mengurangi kekomprehensifan pembahasan, di dalam tulisan ini penulis menitikberatkan pada level sistem internasional dan negara. Hal ini dimaksudkan untuk memberi batasan yang tegas sehingga pembahasan tidak meluas. Level sistem internasional digunakan untuk menjelaskan perilaku dan sikap ASEAN sebagai organisasi regional di kawasan Asia Tenggara. Level negara dipilih karena bagaimanapun juga negara adalah aktor utama dalam kajian keamanan. Mengingat pada dasarnya negara adalah penyedia keamanan yang pertama dan utama bagi individu (warganya) dari berbagai bentuk ancaman. Indonesia adalah negara berdaulat sekaligus negara anggota ASEAN sehingga dalam tulisan ini penulis akan menggunakan level analisa sistem internasional dan negara.

Illegal Fishing di Indonesia Minimnya kapabilitas militer Angkatan Laut menjadikan Indonesia rentan terhadap ancaman dan gangguan keamanan di laut seperti illegal fishing. Sistem pertahanan dan keamanan lautan Indonesia yang menjadi tugas dan tanggung jawab utama TNI AL hingga saat ini belum mampu memberantas illegal fishing secara signifikan. Kejahatan di laut yang dilakukan negara asing tidak hanya memperlemah kedaulatan negara Indonesia namun juga merugikan nelayan. Sedikitnya, ada seribu kapal asing hilir mudik menangkap ikan secara ilegal di Indonesia setiap tahunnya (Indomaritim, 2011). Apalagi, potensi kerugian negara sebesar 14

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

Rp80 triliun per tahun. Kerugian tersebut terdiri dari potensi ikan yang hilang mencapai Rp 30 triliun dan potensi kehilangan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 50 triliun setiap tahun (Indomaritim, 2011). Negara Indonesia sendiri memiliki sumber daya perikanan yang sangat besar. Volume produksi perikanan tangkap di laut pada tahun 2010 sebesar 5.039.446 ton dengan nilai produksi sebesar 59 triliun rupiah (Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2011). Tidak hanya itu, 62% wilayah Indonesia berupa lautan dan separuh diantaranya merupakan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Wilayah laut Indonesia yang berada diantara 2 benua dan 2 samudra telah lama menjadi jalur utama perdagangan dunia (Bandoro, 2005). Di kawasan ASEAN, Indonesia merupakan negara dengan jumlah pulau terbanyak dan wilayah lautan terluas. Indonesia menjadi pusat dari Kerjasama Maritim ASEAN yang termasuk dalam ASEAN Political-Security Community (APSC) Blueprint. Hal ini menjadikan Indonesia memiliki peran vital menuju ASEAN Political-Security Community (APSC) 2015. Namun, fakta di lapangan menunjukkan superioritas wilayah laut Indonesia tidak berbanding lurus dengan power dan kapabilitas Indonesia dalam menjaga lautnya. Berdasarkan data dari Indomiliter (2013) Indonesia hanya memiiliki 317 unit kapal patroli, 30 kapal LST dan 5 LPD. Itupun tidak semuanya bisa beroperasi dan sebagian sudah berusia tua. Kapal-kapal asing masih sering beroperasi di wilayah Indonesia tanpa ijin. Contohnya pada tahun 2010 terjadi 108 kasus illegal fishing di wilayah perairan Natuna dengan total kerugian mencapai Rp 30 triliun (DKP Kabupaten Natuna, 2011). Hal ini salah satunya diakibatkan oleh minimnya regulasi dan kontrol terhadap kapal asing. Selain itu, perairan di Laut Sulawesi, Selat Malaka, Laut Natuna, Laut Cina Selatan, dan Laut Arafuru sering menjadi lokasi illegal fishing. Hal ini menunjukkan rentannya wilayah perbatasan Indonesia terhadap ancaman keamanan di laut. Wilayah perbatasan yang berbatasan dengan Malaysia, Singapura, Filipina, dan Australia kerap menjadi pintu masuk bagi kejahatan di lautan. Pelaku kejahatan illegal fishing ini juga ternyata berasal dari anggota ASEAN, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam dan Filipina. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat Kerjasama Maritim ASEAN dan esensi visi ASEAN Political-Security Community 2015 yang digagas pada tahun 2009.

Illegal Fishing di ASEAN Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) fishing masih menjadi masalah yang signifikan di kawasan Asia Tenggara. Pada tahun 2007 FAO melaporkan kerugian akibat illegal fishing mencapai 2,5 milyar dollar AS atau sekitar 8% dari total 15

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

tangkapan ikan (Baird, 2010). Kasus illegal fishing tidak hanya dialami oleh Indonesia, namun juga negara tetangga seperti Filipina dan Malaysia. Hal ini dikarenakan hampir semua negara anggota ASEAN memiliki wilayah laut, kecuali Laos, dan wilayah lautan memiliki pengaruh penting bagi perekonomian negara-negara ini. Di wilayah Asia Tenggara pengakuan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sepanjang 200 mil laut oleh berbagai negara malah membuat kebanyakan illegal fishing terjadi di ZEE bukan di laut lepas. Hal ini karena perbatasan negara-negara seringkali berbatasan dengan ZEE negara lain (APEC, 2008). Hal ini justru membuka kesempatan bagi terjadinya illegal fishing. Secara historis, peluang terjadinya IUU fishing di Asia Tenggara cukup tinggi karena struktur pemerintah yang lemah (FAO, 2007:23 dalam Baird, 2010). Sistem registrasi kapal yang tidak efektif mengakibatkan kurangnya kontrol terhadap registrasi dan lisensi kapal. Hal ini mengakibatkan ribuan kapal kecil mudah memasuki wilayah negara lain secara illegal. Akibatnya adalah lingkungan yang kondusif untuk melakukan illegal fishing baik bagi nelayan lokal maupun asing. Kurangnya peraturan nasional untuk menghukum nelayan yang mencuri ikan di ZEE negara lain semakin membuat kontrol dan pengawasan kurang efektif. ASEAN Political-Security Community (APSC) Blueprint telah menyebutkan kerjasama untuk mengatasi kejahatan transnasional (transnational crimes) dalam kerangka kerjasama dalam isu keamanan non-tradisional. Hal ini termaktub pada poin xiv Pasal B.4 tentang isu keamanan non tradisional sebagai berikut, Strengthen close cooperation among ASEAN Member States, to combat IUU fishing in the region and where applicable, through the implementation of the IPOA - IUU fishing. Hal ini menunjukkan isu illegal fishing telah mendapat perhatian di tingkat ASEAN namun isu ini masih menjadi masalah yang cukup serius di kawasan ASEAN. Menghadapi arus kapal asing yang panen sumber daya laut yang ilegal, Indonesia telah meningkatkan upaya untuk menyelesaikan masalah di tingkat daerah dan nasional. Diantaranya ialah memperkuat kerjasama lintas sektor, meningkatkan partisipasi masyarakat dan kapabilitas pertahanan dan keamanan di laut. Namun, upaya pemerintah di tingkat nasional akan sia-sia jika tidak didukung upaya di tingkat regional, yakni di tingkat Asia Tenggara. Sayangnya, tidak mudah untuk mendorong tindakan dalam ASEAN, meskipun semua diskusi tentang illegal fishing telah dilakukan diantara anggota organisasi regional ini. Menurut I Gede Ngurah Swajaya, Wakil Indonesia di ASEAN, memerangi illegal fishing sebenarnya termasuk dalam program aksi di Komunitas Politik-Keamanan ASEAN (APSC) Blueprint yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2015 (IPS Asia Pacific, 2012). Namun, masalah ini adalah isu yang sensitif bagi sebagian 16

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

negara anggota ASEAN. Selain itu, negara-negara tersebut adalah rumah bagi banyak nelayan ilegal. Di Indonesia, banyak kapal asing bahwa ikan ilegal datang terutama dari negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Permasalahannya, ASEAN tidak datang dengan kesepakatan konkret tentang bagaimana menangani masalah Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) fishing, meskipun masing-masing negara anggota telah berkomitmen untuk memerangi illegal fishing. Ada upaya pertukaran pandangan dan membangun mekanisme ASEAN yang berfokus pada pengelolaan sumber daya kelautan, khususnya perikanan, tetapi tidak banyak hasil yang nyata (IPS Asia Pacific, 2012). Menurut Ngurah Swajaya jika program aksi Cetak Biru itu diterapkan secara ketat, masing-masing negara harus memantau kegiatan nelayannya (IPS Asia Pacific, 2012). Kita tidak hanya berhati-hati memantau aktivitas nelayan asing di perairan lokal, namun juga mencegah nelayan sendiri mencuri ikan di perairan negara lain.

Kerjasama Maritim ASEAN dan APSC 2015 Trend nyata yang berhubungan dengan keamanan maritim ialah dengan meningkatkan pendekatan multilateral atau melibatkan berbagai negara dalam menangani masalah keamanan di lautan. Indonesia telah terus-menerus mengupayakan untuk mendorong negara-negara ASEAN untuk memiliki rencana aksi terhadap illegal fishing. Namun, sejauh ini tindakan ASEAN masih minim. Dari 11 isu politik keamanan yang menjadi prioritas kerjasama ASEAN, empat isu diantara mempunyai keterkaitan langsung dengan TNI Angkatan Laut dan illegal fishing. Kedua isu tersebut the setting up of an ASEAN Fisheries Forum, the enhancement of cooperation with civil society organizations in the fight against non-traditional security problem. Apabila mengacu pada ASEAN Political Security Community Blue Print (2009-2015), sebagian dari empat isu tersebut tercakup dalam bidang A Rules-Based Community of Shared Values and Norms, sebagian lainnya digolongkan dalam bidang A Cohesive, Peaceful and Resilient Region With Shared Responsibility for Comprehensive Security. Kerjasama maritim ASEAN sendiri merupakan salah satu sub bidang dalam A Rules-Based Community of Shared Values and Norms. Tentang isu the setting up of an ASEAN Fisheries Forum, keterkaitan TNI Angkatan Laut adalah menangani tindak pencurian ikan di laut dan aktivitas perikanan lainnya yang membahayakan kelestarian lingkungan laut. Masalah pencurian ikan merugikan negara bukan saja dari aspek pendapatan, tetapi juga menyentuh pula aspek kelestarian lingkungan laut. Isu kerjasama berikutnya yaitu the en17

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

hancement of cooperation with civil society organizations in the fight against nontraditional security problem mempunyai keterkaitan pula dengan TNI Angkatan Laut. Bidang kerjasama ini pada dasarnya menekankan pada penguatan kerjasama dengan organisasi LSM untuk memerangi masalah keamanan non tradisional, salah satunya illegal fishing. Hal ini sesuai dengan konsep comprehensive security dimana illegal fishing tidak hanya masalah ekonomi, melainkan juga berkaitan dengan politik, lingkungan, sosial, dan militer. Keamanan militer dilihat dari TNI AL dimana TNI AL dituntut untuk selalu siap siaga mencegah ancaman yang masuk ke wilayah NKRI. Sedangkan sektor keamanan politik bisa dilihat dari komitmen negara-negara ASEAN untuk menjamin keamanan di wilayah lautan Asia Tenggara. Keamanan di sektor lingkungan disini dapat diartikan sebagai aman dari gangguan dan ancaman yang dapat membahayakan biota laut dan lingkungan hidup. Keamanan di bidang sosial artinya rasa aman yang dirasakan masyarakat dan kerjasama dengan TNI AL untuk mengamankan wilayah perairan mereka. Keamanan di bidang ekonomi masyarakat memiliki sumber pendapatan yang tetap karena tidak tertanggu dengan pencurian ikan. Jika pencurian ikan dapat ditekan, masyarakat lokal tentunya lebih mendapat manfaat secara ekonomis karena tidak perlu bersaing dengan nelayan asing yang melakukan illegal fishing. Indonesia saat ini tengah melihat ASEAN Maritime Forum sebagai cara untuk membawa kasus illegal fishing ke tingkat regional. Pada pertemuan ASEAN Maritime Forum (AMF) ke-2 di Pattaya, Thailand yang diselenggarakan pada 17-19 Agustus 2011, para Pemimpin ASEAN berusaha memperluas jangkauan AMF dan mengajak negara-negara di kawasan Asia Timur. ASEAN juga mempertahankan sentralitas penuh ASEAN dalam proposal dan inisiatif baru terkait dengan kerjasama maritim di kawasan dan sekitarnya (Tabloid Diplomasi, Desember 2011). Sehubungan dengan hal tersebut ASEAN berencana menjadikan AMF untuk mulai mengembangkan pendekatan dan langkah-langkah kooperatif untuk kerjasama maritim lebih lanjut. Untuk tujuan tersebut, para Pemimpin ASEAN berkomitmen untuk menciptakan mindset kerjasama maritim yang efektif pada isu-isu terkait serta memberikan rekomendasi dan solusi terhadap berbagai tantangan yang muncul saat ini. ASEAN Maritime Forum (AMF) merupakan inisiatif untuk melakukan kerjasama dalam berbagi informasi antar negara anggota ASEAN dan juga mengakui pentingnya promosi dan harmonisasi dalam kerjasama perlindungan lingkungan maritim, termasuk kegiatan ilegal yang berkaitan dengan lingkungan maritim. AMF mengupayakan peningkatan kerjasama yang berkelanjutan dalam memerangi pembajakan dan perampokan bersenjata di laut, memberantas illegal logging, penyelundupan barang dan manusia migran, perdagangan gelap 18

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

obat-obatan dan semua kejahatan maritim (Tabloid Diplomasi, Desember 2011). Hal ini merupakan sejumlah upaya ASEAN untuk menyongsong ASEAN PoliticalSecurity Community 2015. Upaya pemerintah Indonesia mendorong ASEAN dalam berbagai forum dan kerjasama regional untuk memerangi illegal fishing sejalan dengan kepentingan Indonesia. Upaya Indonesia ini antara lain melalui ASEAN Maritime Forum (AMF), kerjasama bilateral, pusat Kerjasama Maritim ASEAN, meningkatkan kapabilitas TNI AL, dll menunjukkan upaya pemerintah untuk membawa isu illegal fishing ke tingkat regional, khususnya ASEAN. Indonesia kerap menjadi korban dari illegal fishing dan yang paling menderita kerugian adalah nelayan lokal. Selain itu, negara menderita kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh penangkapan ikan ilegal (Walhi, Desember 2006). Illegal fishing menyebabkan antara 1,5 dan 3 juta ton ikan diambil dari Indonesia setiap tahunnya (Forum Keadilan No 20/03-09 September 2007). Oleh karena itu, kerjasama di tingkat ASEAN dan rencana aksi sesuai ASEAN Political-Security Community Blueprint diharapkan mampu memerangi illegal fishing dan menghentikan negara-negara ASEAN mencuri ikan di wilayah Indonesia.

Solusi Diperlukan mekanisme kerjasama yang konkret di tingkat ASEAN untuk menjaga perairan negara-negara ASEAN dari berbagai kegiatan Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) fishing. Rencana aksi (action plan) yang sudah dibuat dan kerangka ASEAN Political-Security Community Blueprint perlu menjadi guidelines bagi semua pihak untuk memerangi illegal fishing. Selain itu, perlu ada kerjasama lintas sektor dan lintas batas, terutama melibatkan satuan kepolisian, Angkatan Laut, dan pemerintah lokal dan masyarakat nelayan. Rencana aksi (action plan) yang sudah ada perlu diadopsi menjadi regulasi oleh negara-negara ASEAN di tingkat nasional. Regulasi ini nantinya menjadi peraturan hukum yang bersifat mengikat sehingga setiap negara bertanggung jawab terhadap kasus illegal fishing. Selain itu, diperlukan sistem pendukung untuk menutupi kelemahan sistem pertahanan dan keamanan di wilayah lautan di kawasan ASEAN yang memiliki angka kejahatan illegal fishing yang cukup tinggi. Dukungan tersebut akan sangat tepat bila berasal dari masyarakat sendiri. Hal ini dikarenakan masyarakat, khususnya nelayan adalah pihak yang paling merasakan dampak langsung dari pencurian ikan tersebut. Hal ini dapat berupa patroli laut yang bekerjasama dengan masyarakat lokal. Selain itu, pemerintah Indonesia harus lebih tegas menindak kasus illegal fishing yang dilakukan nelayan dari negara lain, khususnya ASEAN. Ker19

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

jasama maritim ASEAN dan adanya ASEAN Political-Security Community (APSC) bukan berarti kita melunak dalam memperlakukan pelaku kejahatan dari ASEAN, namun justru harus membuat kita tegas dalam menindak setiap tindak kejahatan maritim di wilayah ASEAN.

Kesimpulan Saat ini ASEAN tengah menyongsong ASEAN Political-Security Community yang rencananya dicapai pada tahun 2015. ASEAN telah membuat cetak biru (blueprint) yang berisi tujuan dan roadmap untuk mencapai ASEAN Political-Security Community. Salah satu isi dalam ASEAN Political-Security Community Blueprint adalah kerjasama untuk mengatasi kejahatan transnasional (transnational crimes) termasuk illegal fishing. Dalam tulisan ini penulis telah mengungkapkan bagaimana kondisi illegal fishing di Indonesia dan kawasan ASEAN pada umumnya. Kejahatan illegal fishing sendiri belum bisa diberantas secara efektif oleh Indonesia karena berbagai kelemahan, baik dari kapabilitas TNI AL maupun dari peraturan dan kontrol pemerintah terhadap kapal-kapal asing yang secara illegal memasuki wilayah Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia berupaya membawa kasus illegal fishing dibicarakan di lingkup ASEAN agar menjadi isu regional yang menjadi perhatian bersama. Berbagai kerjasama dan forum telah digagas oleh ASEAN, namun keefektifan kerjasama tersebut harus dijalankan dengan langkah konkret. Penulis berpendapat bahwa untuk memerangi illegal fishing di wilayah Indonesia terdapat 3 level dan 5 sektor yang perlu mendapat perhatian Indonesia sesuai konsep comprehensive security. Ketiga level diatas ialah level sistem internasional, yang diwakili oleh ASEAN dimana Indonesia telah berupaya mendorong ASEAN meningkatkan kerjasama maritim. Level kedua adalah negara, yang mencakup upaya Indonesia di tingkat nasional. Level ketiga adalah individu, yakni partisipasi masyarakat Indonesia. Sedangkan 5 sektor yang dimaksud adalah sektor militer, politik, lingkungan, sosial dan ekonomi. Artinya, untuk mencapai keamanan yang komprehensif, pemerintah harus memperhatikan kelima sektor diatas dalam membuat regulasi atau kebijakan. Ada 2 solusi yang penulis tawarkan untuk meningkatkan upaya pemberantasan illegal fishing. Pertama, mekanisme kerjasama yang konkret di tingkat ASEAN untuk mengatasi berbagai kegiatan Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) fishing. Kedua, adanya sistem pendukung untuk menutupi kelemahan sistem pertahanan dan keamanan yang berasal dari masyarakat lokal. Jika hal ini berjalan dengan baik, comprehensive security dalam memberantas illegal fishing diharapkan tidak hanya dijalankan oleh Indonesia, namun juga oleh seluruh negara anggota ASEAN. Sehingga visi dan cita-cita ASEAN Political-Security Community 2015 akan tercapai. 20

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

Daftar Pustaka

Khalid, Nazery. 2008. Yang Berat Sama Dipikul: Kerjasama Keselamatan Maritim Di Asia Tenggara. Diakses dari http://www.mima.gov.my/mima/wp-content/ uploads/Yang%20berat%20sama%20dipikul%20-%20Samudera%20-%20Mar08. pdf pada 5 September 2013 Tabloid Diplomasi. Edisi Desember 2011. Kerjasama Maritim ASEAN. Diakses dari http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/162-desember-2011/1289kerjasama-maritim-asean.html pada 5 September 2013 Baird, Rachel. 2010. Transnational Security Issues in the Asian Maritime Environment: Fisheries and Piracy. Paper delivered to the Sino- Australian Joint Research Program, Collaboration and Governance in the Asia Pacific, Brisbane. 22-23 July 2010. IPS Asia Pacific. 2012. A Lot More Talk by ASEAN than Action. Diakses dari http://www.aseannews.net/a-lot-more-talk-by-asean-than-action/ pada 5 September 2013 Jakarta Post. 23 Maret 2008. ASEAN 2009: Time to deal with illegal fishing. Diakses dari http://www.thejakartapost.com/news/2008/03/23/asean-2009-timedeal-with-illegal-fishing.html pada 4 September 2013. Indomiliter. 2013. Gelar Kekuatan TNI di Pulau Terluar. http://www.indomiliter. com/2013/01/03/gelar-kekuatan-tni-di-pulau-terluar/ Kementrian Perikanan dan Kelautan (KKP). 2010. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia. Vol. 11, No. 1. Diakses dari http://statistik.kkp.go.id/index.php/arsip/ file/29/statistik_pt_2010_pub.pdf/ pada tanggal 1 April 2013 Kementrian Perikanan dan Kelautan (KKP). 2011. Kelautan dan Perikanan dalam Angka. Diakses dari http://statistik.kkp.go.id/index.php/arsip/file/37/kpda11_ok_ r06_v02.pdf/ pada tanggal 1 April 2013 Pangaonan, Y. 2012. Indonesia Menuju Negara Maritim. Diakses dari http://indomaritimeinstitute.org/?p=501 pada tanggal 3 April 2013 Rahman, C. 2009. Concepts of Maritime Security. New Zealand: The Centre for Strategic Studies Discussion Paper. Global Fire Power. 2012. Indonesias military strength. Diakses dari http://globalfirepower.com/country-military-strength-detail.asp?country_id=Indonesia

21

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

Indonesias Geopolitics toward the Malacca Straits:


Regional Security Complex?
Steven Yohanes Polhaupessy Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)
Abstract This paper analysing Indonesias Strategic Geopolitical chances toward the Malacca Straits. Malacca Straits has offered strategic advantages to Indonesia. Conversely, rather than maximizing its power in Malacca Straits, Indonesia decided to cooperate and bound under the ASEAN rules in order to promote peace and stability to the region. In times of peace, it is adequate for Indonesia to maintain current status quo of its geopolitics policy, but when conflict deteriorated (at least a war situation) Indonesias geopolitics policy should be questioned. This paper aims to depict Indonesia opportunity to play a significant geopolitics strategy, particularly in times of conflict which caused by energy security issues. The writer dismantling this paper with a closer approach of Realism perspective and will encompass Barry Buzan theory of Regional Security Complex. To conclude, by proposing Indonesias significant role within ASEAN Defence Minister Meeting Plus (ADMM-Plus) to maintain Indonesias current geopolitics through the Malacca Straits while also ensure the regional stability. Keywords: Indonesias Geopolitical, Regional Security Complex, ADMM-Plus 22

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

Introduction Malacca Straits as one of the busiest Sea Line Of Communication (SLOC) is located on the Indonesia, Malaysia and Singapore borders. 550 miles long and 300 miles wide at its northwest end, it is shaped like a funnel that eventually narrows into the Strait of Singapore and the Phillips Channel, only 1.5 miles wide at its narrowest point. Malacca Straits is the worlds most important maritime chokepoint. The Straits connects maritime route from Indian Ocean to the South China Sea. Through Malacca Straits flows as much as 40% of worlds trade and also 80% of China oil imports, equal as South Korea and Japan oil imports and gas imports (Percival, 2005). Growing economic industrialisation in the region will consume for more energy and the demand of energy is estimated will increase, in which transported through the Malacca Straits. Every year, between 50,000 60,000 ships weighing in various tons across the straits and it is estimated have a trend to increase (Ho, 2007). As an archipelagic state, Indonesia sees Malacca Straits contains opportunity as well as risk because it has cover the longest route between Sumatera island and Malay peninsula. Malacca Straits as Indonesia given territorial has a strategic implication toward Indonesia geopolitics policies in the region as their strategic environment. Indonesias Geopolitical Sphere Because of the Asia-Pasific economies heavily rely on the sea for transportation for trade and energy matters, the Malacca Straits has give number of implication to world trade connectivities. Each states in the region is highly dependence to Malacca Straits. It can be potrayed by a study of the US National Defence University in which showed that if Malacca Straits were blocked and the ships route diverted, thus the extra stemming cost would account for US$ 8 Billion dollars a year, it even will be higher if the energy commodity prices hike up (Coulter, 2002). Therefore, any threat that could have been occured would disrupting trade stability regionally and internationally. For Indonesia, it also will threathening Indonesias sovereignty as their core national interests. Beyond the importance of Malacca Straits, piracy, armed robber and threat of maritime terrorism are the major problems which often colouring the situation in Malacca Strait. These problems understood in shared understanding as maritime security. Act of the piracy and armed robber have occured within Malacca Straits for many years. Between 2001 and 2008, the act of actual and attempted piracy in Malacca Straits account for 208 cases (RSIS, 2009). Even trend of the act of 23

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

piracy and armed robber is decreasing, the international community perception of piracy and armed robber threat is still remain strong. States seems to supervised their ships and tankers under their navies supervision. In fact, the user states of Malacca Straits are often armed their ships and tankers, convoyed their ships and tankers with costguard and navies, and even deployed their navies in the Malacca Straits (Jalal, 2006). Moreover, those activities was not related to the UNCLOS 1982 Article 19 which regulate the user states as innocent pasage. Accordingly, the user states stressed that guarantee of maritime security under the UNCLOS 1982 from Indonesia (as litoral state) is questionable since its lack of capabilities, but conversely the user states inderectly not implementing their duties as noted in UNCLOS 1982 Article 43 (Jalal, 2006). This sort of activities has threatened Indonesia national interest to protect their territorial. As an archipelagic state, Indonesia strongly believe that the sovereignty of their waters are equal as well as their land. Therefore, arrangement over the Malacca Straits viewed as Indonesia responsibility. This proposition was endorsed under the UNCLOS 1982, as a litoral states Indonesia have a sovereignty over the straits to rule under the reflections of UNCLOS Article 34. In geopolitical context, state has the spatiality of power that represented by sovereignty to exercise power (Agnew, 2003). This is the advantage of Indonesia, in simply means, Indonesias control over the Malacca Straits could be exerted to influence the region since it contains energy security dimension of the region. The vastly changing over international economic development with the rise of PRC and India has also changed geopolitical policies over the region. It shown by the increase of both countries in expanding their navies capabilities. India on the one hand, develop and modernise their navy capabilities to be a blue water navy. It presumes that India profoundly concerned about energy security which transported through the sea and control over the energy resource is crucial while India industrialised their economic (Hoverholt, 2008). PRC on the other hand, was doing the same thing. PRCs modernisation over its navies directed to ensure their national interests over the South China Sea, as well as their desires to ensure energy security in oil and gas rich area of South Cina Sea. Besides, the U.S. pivot to AsiaPacific stressed that defending freedom of navigation in the South China Sea is one of America strategic interest (Clinton, 2011). In ASEAN context, the shared vision toward peace and stability not merely influencing member states capability to increase their military expenditure. Singapore has improved their navies combatants fleet with 6 Freegate Formidable, 2 Vastergotland Submarines and 4 Sjoorman Submarines, while Malaysia has imporved their navies capabilities by adding other military bases (Yudhoyono, 2012).

24

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

All of it has depicted that many states has an interests toward the security of Southeast Asia waters, include also for Malacca Straits. It has to strategically noted that Malacca Straits connects Indian Ocean to the South China Sea and economically it also will increase the cost of shipping if the Straits were blocked and diverted. Those coincidence are not given, but it has crucially shaping future conflict in the region. Conflict of maritime dispute which caused by energy security. All of those geopolitics vastly changing phenomena explicitly shows that the future tension over the maritime security which actually not only cover for the issues over maritime security (piracy, armed robber and maritime terrorism), but also encompass the future maritime disputes in which causes by energy security dimensions and could stimulate wars (The writer referred to name it as scenario). Based on this changing geopolitics context, Indonesia policy will choose either to likely play a significant role for maintaining peace and stability for the region or maximizing its power for the crucial role of ensuring its national interests toward their sovereignty if the scenario occured. Indonesias geopolitics policy option should be debated. For now Indonesia have conducted to play significant role in ensuring regional stability by creating security in Malacca Straits, which is related to the main responsibility of Indonesia toward UNCLOS and ASEAN rules. But if it the case that scenario occured, status quo over the Indonesia policy to ensure regional stability will be altered. Therefore, next section of this paper will elaborate crucially geopolitics decision which could be considered by Indonesia government as policy response to the worst scenario of energy security led to maritime disputes. This scenario probability is low to happen, high impact if it were. Regional Security Complex: Theory Building and Analysis To explain what precisely rational policy could be made if those scenario occured, the writer emphasised Regional Security Complex (RSC) theory as a tool of analysis. Regional Security Complex defined as group of states whose primary security concerns link together sufficiently closely that their national securities cannot reasonably be consider apart from one another (Waever, 2003, hal. 44). Related to Malacca Straits, Southeast Asia region thus is a space where the extremes of national and global security interplay, and where most of action occurs. Regional Security Complex therefore dichotomised patterns of amity and enmity which is coherent to security interdependence analysis (Waever, 2003, hal. 45). Besides, RSC also tends to securitise issues in the region (Securitisation Proccess). Based on descriptive tenets of Regional Security Complex, theoritical framework of analysis that could be concluded as tool of analysis. There are; First, analsysis based on domestically in the state affairs in the region, Second, state to state 25

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

relations (which generate the security in the region), third, the region interaction with neighbouring regions, and fourth, the role of global powers in the region (Waever, 2003, hal. 51). In realist realm, situation of peace is considerably as pre-condition of war (Si Vis Pacem Para Bellum). Indonesia as the main actor analysis will be placed in realist perspective. The RSC analysis will begin with the worst situation of energy security led to maritime disputes or future wars, particularly in South China Sea before RSC analyse Indonesia probability to response this situation in context of geopolitical policy through the Malacca Straits. First tenets of RSC emphasis on domestis affairs of states related to the security issues. Therefore, Indonesia domestic security affairs toward maritime security is important to be discussed. Based on Indonesia Defence White Paper, Indonesia defined that maritime security has no relations to energy security and maritime conflict in the future, such as in the South China Sea, in spite of Indonesia has acknowledged conflictual situation in the South China Sea (Indonesia, 2008). Indonesia lack of understanding in determining its strategic environment would led to weakness in producing its geopolitical policy, in other words Indonesias lack responses toward the changing of its strategic environment would make Malacca Straits strategically invaluable for Indonesia Geopolitics policies. Indeed, Indonesia Military Doctrine is Passive-Defense supported by Indonesias philosophical values on Constitution (Indonesia, Doktrin Pertahanan Negara, 2007). Indonesia also will hard to defend its territorial and sovereignty when worst scenario of maritime disputes or wars occured, since their navies capabilities also insuffient enough to undergo that sort of situation. At this point, Indonesia domestic affairs centered their focus on the status quo of its strategic environment, while it supposed to be centered as future circumstances. Even Indonesia, Malaysia and Singapore defence white papers has never stated that the importance of maritime security which also included its relation to energy security. Malaysia and Singapore at this point clearly understand the vastly changing towards its strategic environment rather than Indonesia perceived. It can be shown by comparing Malaysia and Singpore military expenditure to modernise its military capabilites, Indonesia lay behind the both countries. It means that chance in domestic measures to play any significant geopolitics role toward maritime issues are low because of government preferences toward their defence arrangements. Singapore on the one hand has stressed their interests to re-think their status under the UNCLOS about the litoral states and the user states (Desker, 2007), while Malaysia stands on the same position with Indonesia to protect the status of litorral states (Defense, 2010). This efforts will be directly threathening Indonesia 26

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

Sovereignty caused with the changing over the status of the litoral states and the user states under the UNCLOS, Indonesia duties and rights to regulate the straits will disappear. Supported with Singaporean Navy as an instrument to alter those status, the opportunity to re-think it will be widerly open. Challenged from Singapore desires supposed to balance by the Indonesia government not only diplomatically questioning the alteration, but also strengthening its navy to counterbalance Singaporean navy. The scenario of energy security led to wars in South China Sea or at least deteriorated tensions, Indonesia can play crucial low to stop the wars or armed clash with bargaining to block or diverted Malacca Straits. But the precondition from its domestic affairs are strengthen their navy capabilities and alter their perception toward the significance of energy security which caused maritime disputes or wars in the region. Second tenets of RSC is State to State relations to generate security in the regions. Indonesia relations with other litoral states (namely, Singapore and Malaysia) in maintaining maritime security looks like living in harmony when it came to issues as piracy, armed robber and maritime terrorism. Several cooperation among them have been concluded and came entry into force bilaterally or trilaterally. Indonesia and Singapore have conducted joint surveilance sytem (SURPIC) that covers the edge of Malacca Straits over the Singapore Straits, Indonesia and Malaysia have also conducted the same cooperation with Malaysia (Malaysia-Indonesia Cordinated Patrol) (Ho, 2007). Trilaterally, Indonesia along with Malaysia and Singapore announced cooperation to secure Malaca Straits for maritime security purpose under Operation MALSINDO since 2004 and renewed as Malacca Straits Sea Patrol in 2006. According to scenario of energy security led to maritime disputes or wars, cooperation among them will be hardly to achieve. There is no cooperation to prevent such situation. Overlapping claims over each sovereignty will led fleets and submarines to pass this route while accordingly they were agreed under the UNCLOS that any means of navigation that threathen their territorial integrity and sovereignty is restricted. Singapore, for instance, on the one hand parked their 6 submarines at their backyard with also they have amity relationship with the US navies. When scenario occured, they will also control the Malacca Straits. It has a meaning toward the regional stability as means to show their concerns over the energy security led to maritime dispute. On the other hand, Malaysia also have a security arrangement over their state through the Five Power Defence Agreement in which if they were attacked by other states, they will be backed by their security umbrella alliances. Both litoral states has inderectly recognised and performed some worri27

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

ness toward the energy security led to maritime disputes or wars while. Indonesia position is in dilemmas whether to protect Malacca Straits by blocking it but they also should face Singapore and Malaysia behavior, or they will join to ally with them since deteriorated situation also pushed them. Moreover, geopolitics preferences of such sort cannot be supported with Indonesia navy capabilities, since Indonesias naval capabilities have not been tested in conflict since the 1960s (Muhibat, 2012). Indonesia chance in securitising this issues perfromed lack of capabilites. Indeed, Indonesia Foreign Policy characterised that Indonesia foreign policy should be based on Independent and Active principle, but it is a good behavior when peace time. But in the war times, it is unprepared. Therefore Indonesia also have to prepare to worst situation when it came into war. Should Indonesia being independent and active when its sovereignty and territorial integrity threathened while Indonesia defence also lack in navy capabilites? Si Vis Pacem Parra Bellum. Third, the region interaction with neighbouring regions. It means that relations with Southeast Asia with other region either Northeast Asia or Pasific. Southeast Asia region institutionalised their focused through the ASEAN Regional Forum (ARF). The focus of ARF since 2000 have been endeavours toward maritime security just as stated at ARF meeting in Cambodia in 2003. The interplay concerns of each region toward the ARF itself has only relating to maritime security which is contain of piracy, armed robber and maritime terrorism. Until the current ARF meeting in Bandar Sri Begawan in 2013, the perception among members of the strategic environment of the region (either Southeast Asia or Northeast Asia) is limited to maritime security. It supposed to put energy security issues of the region and relating it to maritime security issues despites each states from each region recognised the future probability for this issues. For instance, the PRC, South Korea, and Japan are highly depending their energy supply passed through the Malacca Straits and South China Sea. This situation supposed to build shared understanding. Thus, institutionalised in norms and rules bound up together. Besides the ARF, the ASEAN Defence Minister Meeting (ADMM) and ADMM-Plus has also taking important place in shaping the interaction among region toward the issues of maritime security. By conducting ADMM or ADMM-Plus, each region wants to have a shared understanding to response the security issues. But since the ADMM guided with ASEAN norms just as noted under the TAC 1976, sphere of ADMM action to influence region with its policy is limited. ADMM or ADMM-Plus forum has potential, but it needs to be prepared to take on difficult issues (Mukherjee, 2013). In context that scenario energy security can causes the maritime disputes or wars, the lack of institutionalised rules within the region will prevail and cause the 28

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

scenario. There were shared perception among region of energy security issues which can led to maritime disputes or wars, but they were lack to institutionalise it when it come to the forum. Eventually, the RSC also analyse the role of global powers in the region. The US as the most important actors to Southeast Asia region. The US presence will bring the regional balance of power arrangement when it is dealing with the rising PRC. In context of the US rebalance to Asia-Pasific, both Southeast Asia and Northeast Asia countries are welcomed and eager for the US leadership (Clinton, 2011). The US strategic engagement to the region seen as the threat upon PRC. Related to the Scenario of maritime disputes or wars caused by the energy security issues. The presence of the US to become significance balancer when PRC postition toward the current issues increased and escalating tension over the claims of South China Sea. Despite the US engagement to the region rely on their interests to peaceful means, the endorsement of freedom navigation and preserving regional sea line stability is the main reason they have appeared. Based on this situation, Indonesia interests toward its security and the regional stability will be shaped with the engangement of other global power. In this level analysis, when the worst scenario came into effect, Indonesia can play crucial role to play between the great power. Moreover, either PRC or the US preferebly to wait Indonesia position toward the issues. As far as Indonesia endeavours to play between this situation, Indonesias Foreign Minister Natalegawa has tried to form regional architecture called dynamic equilibrium where there is no dominant power dominate the region. It sees that all Indonesia effort to prevent the worst scenario are good and adequate, but in sense of realism, it would securitise Indonesias national interests when it came to the worst scenario. The analysis of RSC theory has shown the worst situation if the scenario occured in which energy security issues can led to maritime disputes or wars. Indonesia in domestic level, state-to-state relation level, regional level and upon global level is lack of capabilities to manage adequate geopolitics policy if the scenario occured, in other words, Indonesia is in vulnerable situation when the tension in its strategic environment deteriorated. Therefore the most reliable policy for Indonesia is to maintain current status quo through the ADMM-Plus Meeting. ADMM and ADMM (Plus): Source of Regional Stability? ADMM is the highest ministrial defence and security consultative and cooperative mechanism for the discussion of regional security issues with a view to ensuring that than ASEAN states live in peace with one another in the region. Moreover, the ADMM (Plus) is the robust, effective, open and inclusive component of the regional security architecture that would enable the ADMM to cooperate with non29

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

ASEAN countries to build capacity and better prepare ASEAN to the complex of security challenge (ASEAN, 2010). ADMM itself comprises with all ASEAN Members whereas ADMM-Plus comprises ASEAN Members plus eight countries namely Australia, PRC, India, Japan, New Zealand, ROK, Russian Federation and the US (ADMM, 2013). The role of ADMM or ADMM-Plus will be the most effective instrument to address and implement action toward security issues in the region. Related to this paper, scenario of maritime disputes or war caused by the energy security can be addressed on ADMM (Plus). In order to build regional security architecture in the region, ADMM (Plus) enacted five priority area which one of those priorities are toward maritime issues. Nevetheless, along with bilateral or regional cooperation that ASEAN has built with other extra-regional parties, maritime issues under the ADMM-Plus has also emphasised in piracy, armed robber and maritime issues. Perception among ASEAN members and extra-regional countries involvement in each maritime security issues has only cover for the piracy, armed robber and maritime terrorism in which based on International Maritim Bureau data does not seem to correlate and enourmously influence region. The proportion of ships attacked only ranges 0,04% to 0,11% of total ships transiting anually (Ho, 2007). Therefore, when the issues over the maritime security came to the ADMM (Plus), it supposed to be to address high level politics issues in maritime security, not limited to low level issues as piracy, armed robber and maritime terrorism. Indonesia should have clearer position toward defence diplomacy at the ADMM (Plus) Meeting. For instance, without neglecting the importance of current low maritime issues, Indonesia have to conduct defense diplomacy toward the possibilites of energy security issues in which can led to maritime disputes or future tension escalations under the framework of ADMM (Plus) as well as the RSC scenario has explained above. As the biggest archipelagic states in the region over the maritime issues, Indonesia proposal to discuss the high level maritime issues related to energy security more affordable to be achieved. Moreover, the issues regarding to the South China Sea as maritime disputes could be Indonesias geopolitical strategy to inderectly push PRC signed the regional Code of Counduct, in particularly this issues also related to energy security. Therefore, the ADMM (Plus) can expand their influence upon security arrangements toward the issues, rather than to be acknowledged as Talk-Shop, ADMM (Plus) potential meeting will be known as strategic meeting to ensure regional stability (Mukherjee, 2013). The significance of Malacca Straits as Indonesias geopolitical sphere in this context, is as a bargaining position toward defense diplomacy in ADMM (Plus). The ASEAN members and the eight extra-regional countries is highly aware about the 30

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

Indonesias geoplitical sphere in Malacca Straits as the 80% of Northeast Asia supply route energy. Therefore, it is Indonesia advantage to address this issues to the ADMM (Plus) forum have connections to secure Indonesia national interests. Conclusion Introudction of this paper has introduced the significance advantage of Malacca Straits to Indonesias Geopolitical sphere. As the one of international chokepoints, 80% of energy needs passed this route to satisfy the thirsty Northeast Asia industrial economic. Based on this position, Indonesia lack of capabilities in conducting a significant role in Malacca Straits become important to be scrutinised. Realism Perspective along with RSC theory has identified Indonesia capabilites from domestic level, state-to-state relations level, regional level and global level. Consider that the problems of energy security can led to maritime disputes or war, partuclarly in the South China Sea, Indonesia is supposed to be play any significant role to ensure regional stability. One sort of it is by conducting significant defense diplomacy thourgh ADMM (Plus) meeting. Therefore, by ensuring the achieavable regional stability to the region, inderectly Indonesia has also ensuring its national interests toward its sovereignty.

BIBLIOGRAPHY
Books Agnew, J. (2003). Geopolitics: Re-visioning world politics. New York : Routledge. Coulter, D. (2002). Globalisation of Maritime Commerce: the Rise of Hub Ports. In S. J. Tangredi, Globalization and Maritime Power. Washington DC: National Defence University Press. Desker, B. (2007). Re-thinking the Safety Navigation in the Malacca Straits. In K. C. Skogan, Maritime Security in Southeast Asia (pp. 14-18). New York: Routledge. Ho, J. (2007). The Importance and Security of Regional Sea Lanes . In K. C. Skogan, Maritime Security in Southeast Asia (pp. 21-33). New York: Routledge. Hoverholt, W. H. (2008). Asia, America and the Transformation of Geopolitics. Cambridge: Cambridge University Press. Waever, B. B. (2003). Regions and Powers: the Structure of International Security. Cambridge: Cambridge University Press.

31

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

Websites ADMM. (2013, Januari 19). About the ASEAN Defence Ministers Meeting (Plus). Retrieved Agustus 29, 2013, from admm.asean.org: https://admm.asean.org/index.php/about-admm/about-admm-plus.html Jalal, H. (2006, Januari 13). Persoalan Selat Malaka - Singapura. Retrieved Agustus 26, 2013, from www.setneg.go.id: http://www.setneg.go.id/index. php?option=com_content&task=view&id=22&Itemid=33 Clinton, H. R. (2011, Oktober 11). Americas Pacific Century. Retrieved Agustus 28, 2013, from US Deparment of State: http://www.state.gov/secretary/ rm/2011/10/175215.htm# Mukherjee, A. (2013, Agustus 22). ADMM-Plus: Talk Shop or Key to Asia-Pasific Security? Retrieved Agustus 29, 2013, from the Diplomat: http://thediplomat. com/2013/08/22/admm-plus-talk-shop-or-key-to-asia-pacific-security/ Yudhoyono, S. B. (2012). Geopolitik Kawasan Asia Tenggara: Perspektif Maritim. Retrieved Agustus 28, 2013, from binkorpspelaut.tnial.mil.id: http://binkorpspelaut.tnial.mil.id/index.php?option=com_docman&task=doc_ download&gid=5&Itemid=22 Report Muhibat, S. F. (2012). Indonesias Maritime Security: Ongoing Problems and Strategic Implications. Singapore: European Union. Percival, B. (2005). Indonesia and the United States: Shared Interests in Maritime Security. USINDO. RSIS. (2009). Good Order At Sea in Southeast Asia. Singapore: RSIS. Official Documents ASEAN. (2010). Joint Declaration of the ASEAN Defence Ministers on Strengthening ASEAN Defence Cooperation for Stability and Development of the Region. ADMM (pp. 1-5). Hanoi: ASEAN. Indonesia, D. P. (2008). Buku Putih Pertahanan Indonesia . Jakarta: Departemen Pertahanan Republik Indonesia. Indonesia, D. P. (2007). Doktrin Pertahanan Negara. Jakarta: Departemen Pertahanan Republik Indonesia. Defense, M. M. (2010). Malaysia Defense Policy. Kuala Lumpur: Malaysia Ministry of Defense.

32

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

Kepingan Bernilai yang Mampu Mengakselerasi Terwujudnya APSC 2015


Mufalia Nurfitriani Universitas Bina Nusantara
Abstract Geopolitically Learned by worlds conflict zones, plagued by political and security issues, its not just geo-political hegemonies that are changing a relationship, culture and economy are shifted. Geopolitically it is a centre of growing competition between social culture and economy, both established and developing, more specifically for political and security, its one of the hopes where ASEAN are facing off looming struggle for possibly in a process to gain dominance over the world. Forever Young A nation searching for the next generation, the type of generation we are looking for now is very different from the one that was needed when the problem of world was so real. Countries of ASEAN are looking for young spirit, intelligent who can understand local issues, international affairs, integrate and sympahise-empathise with other people. Catch-Up Smarten up and understand the political environment we are operating in, its key to ASEAN Political and Securitys strategic and symbolic of ASEAN spirit. Millenium Goal Millenium era needs find solutions to these contradiction that characterize specific problems, We need to invest heavily in education and crafting our minds to confront 2015. Ascendant Powers ASEAN Political and Security Community awaits. And for all our efforts, that it will remain the pre-eminent manner in our world even then, yes, we can look at ascendant powers of ASEAN Community. 33

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

Di kantong saya terdapat sekeping koin seratus rupiah, yang terkadang kedatangan dan kepergiannya seringkali diabaikan dan tidak terlalu dipikirkan, pada umumnya dengan sekeping rupiah tentu saja tidak dapat membeli apa-apa yang kita inginkan, hal tersebut merefleksikan bahwa sifat koin hanyalah sebagai pelengkap keperluan transaksi semata. Namun ketika sebuah kepingan sedikit demi sedikit dikumpulkan menjadi banyak dan berat dikarenakan adanya perubahan massa, tentulah kita akan menyadari, bahkan tidak jarang kita akan mulai menghitunghitung berapa jumlahnya dan betapa berharganya kepingan di kantong tersebut. Sehingga bukan tidak mungkin kepingan tersebut dapat dibelikan sesuatu yang kita inginkan dan bermanfaat. Maka kita janganlah mengukur terhadap apa yang sudah ada dan didapatkan, tapi dengan mengubah cara berpikir bahwa kita mampu mewujudkan banyak hal. Itulah salah satu contoh konsep sederhana bahwasanya kita seringkali melalaikan dan menyepelekan hal fundamental dalam keseharian. Sebagaimana ketika ingin mewujudkan sesuatu, yang perlu dimiliki adalah cara berpikir, konsep yang matang, seperti halnya pencapaian yang sempurna harus diawali dengan sebuah pemetaan pikiran yang sangat matang serta revisi dan evaluasi demi meningkatkan sebuah kualitas, jikalau bukan karena matangnya sebuah pemetaan tentu saja harus bermodalkan sebuah tekad dan niat. Jadi memang benar bahwasanya di dunia ini tidak ada suatu hal yang kebetulan. Inilah yang sedang dilakukan ASEAN Community 2015 yang dalam tahap mengumpulkan dan berkumpul bersama untuk menjadi kepingan-kepingan yang bernilai yang diharapkan mampu mengintegrasi dan meningkatkan stabilitas regional baik AEC, ASPC dan ASCC. Sebab Sebelum terbentuknya ASEAN, beberapa organisasi sebelum 1967 dianggap kurang memadai untuk mengintegrasi kawasan yakni Association of Southeast Asia (ASA), Malaya, Philipina, Indonesia (MAPHILINDO), South East Asian Ministers of Education Organization (SEAMEO), South East Asia Treaty Organization (SEATO) dan Asia and Pacific Council (ASPAC). Penduduk Indonesia merupakan yang terbesar di ASEAN yang mana telah mencapai 250 juta jiwa, Indonesia berpeluang besar untuk berperan secara aktif dalam mewujudkan komunitas 2015 yang berorientasi pada masyarakat. Tentunya banyak sekali permasalahan ataupun kendala yang dihadapi saat ini menjadi bekal strategi dan pembelajaran dikemudian hari, dengan kata lain sebagai simbol kesiapan untuk menghadapi ASEAN Community 2015 Bukanlah hanya tentang hegemoni sebuah geo politik yang akan mewujudkan atau mempengaruhi ASEAN Political and Security Community 2015, persoalan sosial budaya, ekonomi dengan melakukan diplomasi perdagangan melalui kerja sama dengan skala regional juga turut serta dalam memberikan pengaruh. Ketiga pilar tersebut tidak dapat dipisahkan. 34

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

Ketika prioritas sektor terganggu dan tidak dapat dikatalisasikan, inilah yang akan menghambat kestabilan sehingga tidak dapat menginterpretasikan AEC, ASPC dan AECC. Terdapat Tiga karakteristik yang sebelumnya harus kita ketahui dalam ASPC, yakni meliputi basis aturan dalam norma dan nilai, kohesivitas, perdamaian, stabilitas, menangguhkan serta menjaga sebuah wilayah berdasarkan tanggung jawab bersama untuk keamanan yang komperehensif, konsisten, bekerjasama dalam pembangunan politik dengan memperkuat aturan hukum, system peradilan, infrastruktur dan pemerintah yang legal serta berintegritas demi menciptakan dunia interdependent dengan segala keberagaman yang ada. Berdasarkan prinsip utama dalam kerjasama ASEAN, seperti yang terdapat juga dalam Treaty of Amity and Cooperation in SouthEast Asia (TAC) adalah saling menghormati, kedaulatan dan kebebasan domestik tanpa adanya campur tangan dari luar, non interference, penyelesaian perbedaan atau sengketa dengan cara damai, menghindari ancaman dan penggunaaan kekuatan/senjata serta kerjasama efektif antara anggota. Namun kelemahan visi dan mandat secara politik telah menghambat menghambat proses integrasi kawasan. Saat ini bahwasanya sering ditemukan masing-masing Negara tengah sibuk berusaha membangun, namun melupakan pentingnya mempererat antar sesama Negara. Kendala tersebut membutuhkan solusi serta dapat diproses melalui interaksi untuk membagi pengetahuan norma dan nilai. berupa pengenalan karakteristik dari tiap Negara dengan cara menginvestasikan secara luas kepada lapisan masyarakat dalam bidang pendidikan budaya, hal tersebut dapat membantu terbukanya cakrawala dalam hal berpikir, baik memahami, menilai ataupun mengasah kepekaan secara sosial maupun psikologi. Seluruhnya bermanfaat demi menargetkan integrasi perdagangan, Internasionalisasi program studi, pelayanan, investasi, teknologi, peluang capital market.

Untuk mewujudkan ASEAN Political and Security Community 2015 dapat diawali dengan mengukur kualitas masyarakat, khususnya generasi muda akan pemahaman, yakni dengan memahami sejarah negeri beserta sejarah diri sendiri, mengenali kapasitasnya sebagai perwujudan dari cita-cita bangsa. Maka penggalian potensi dan penempaan mental sangat berperan dalam memperkuat/menanamkan akar kepemimpinan untuk siap menjangkau dan merealisasikan cita-cita yang tertunda, belum terwujud bahkan yang belum pernah terpikirkan dalam rangka menjajaki ASEAN Community 2015. Sikap simpati-empati yang berlandas kepekaan untuk mengawal segala perkembangan Nasional beserta pasang surutnya juga tidak boleh dikesampingkan. 35

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

Potret apolitis kaum muda terhadap dinamika politik adalah bukti dari lemahnya figur baik pemerintah maupun pemimpin diantara masyarakat. Sebagian anak muda menganggap bahwa ranah politik sama sekali tidak memberikan pencerahan. Jika keadaan apatis ini terus berlanjut tentu sangat berbahaya. Maka kita sebagai rakyat harus bergotong royong terlebih pemerintah yang mempunyai peran penting untuk intervensi dalam mengimplementasi pembenahan guna mendorong masyarakat dan anak muda yang visioner, kredibel, dan mumpuni untuk melangkah siap demi terwujudnya ASEAN Community 2015. Sebagai anak muda Indonesia, melihat realita betapa negatifnya politik di mata kalangan remaja, seharusnya dapat mendorong kita untuk bersinergi dalam berbagai macam niatan positif, seperti, memupuk keinginan mengedukasi/menggugah bersama-sama untuk berjalan beriringan cerdas secara intelektual dengan kestabilan emosi, sehingga berbagai macam peta pemikiran dapat terpadu obyektif dan itu semua merupakan kunci strategi awal AMRI (Responsible for Information). Termasuk dengan memasyarakatkan nilai-nilai bersama seperti HAM, mempromosikan isu tentang hak wanita, anak-anak, kesetaraan, gender mainstraming, anak-anak dan demokratisasi, menyediakan kegiatan yang dapat memfasilitasi untuk menyuarakan hak demi hak krusial beserta penyaluran aspirasi. Hal tersebut harus diselaraskan dengan ASPC yang merupakan pembentuk kerjasama sosial dan solidaritas, mewujudkan citacita bersama dan menjaga perdamaian kawasan yang dimaksudkan untuk merealisasikan karakteristik ASPC dalam hal pembangunan politik. Berdasarkan ASPC blueprint mengenai karakteristik dan elemennya, ASPC diharapkan mampu membawa kerjasama mewujudkan cita-cita tetinggi bersama dan memastikan bahwa masyarat beserta Negara-negara antar kawasan dapat hidup dalam kedamaian dalam lingkungan yang menjunjung demokrasi, melindungi Hak Asasi Manusia bahkan kebebebasan fundamental. Dengan menjunjung tinggi budaya yang telah mengajarkan kita semua untuk dapat saling menghormati. Kerangka ARF (ASEAN Regional Forum) bertujuan untuk memperkuat kerja sama dalam membangun kepercayaan di bidang militer maupun di area pertahanan. yang mana kerjasama merupakan alat vital yang bergaransi demi menciptakan stabilitas. Terlebih dengan melakukan pertukaran aktif seperti praktikpraktik terbaik dan konstruktif meliputi keamanan tradisional dan non-tradisional, sebagaimana menteri-menteri pertahanan antar negara ASEAN harus lebih aktif mengikuti pertemuan dalam ADMM (ASEAN Defence Ministers Meeting) maupun AMM (ASEAN Ministerial Meeting). Dalam membina hubungan tersebut tidak harus selalu memiliki rencana kongkrit untuk mengintervensi sesama Negara ASEAN, namun saling menunjukkan sikap responsif adalah keutamaan untuk turut mempromosikan wilayah pertahanan dan menciptakan perdamaian juga sebagai resolusi ASEAN Political and Security 2015. Disamping itu dengan cara menyoroti 36

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

APSC 2015

isu-isu regional dapat dikatakan sebuah kontribusi signifikan dalam rangka mengusahakan sebuah komitmen pembangunan dan diplomasi preventif. ASPC memiliki instrument berupa ZOPFAN (Zone of Peace Freedom and Neutrality) dan The Treaty of Amity and Co-operation in South East Asia. Instrumen tersebut difungsikan sebagai resolusi dimana tantangan politik dan keamanan saat ini sangat rentan dan beragam. Jadi memang benar bahwasanya krisis, sengketa/ konflik maupun polemik tentu tidak semuanya dapat teratasi, Salah satu pelajaran bagi Negara-negara ASEAN yang dapat diambil pelajarannya sebagai salah satu hikmah (ilmu) dari isu berskala internasional, terkhusus untuk ASEAN Political and Security 2015 yakni seperti weapons of mass destruction, cyber security dan terrorism yang telah menjadi sumber persengketaan. Utamanya ASEAN Political and Security 2015 ini mengadopsi sifat kemasyarakatan seperti berkooperasi dalam proyek-proyek yang menguntungkan sesama Negara ASEAN untuk saling memproteksi, menuntaskan serta memperbaiki dari berbagai persengketaan maupun permasalahan yang berkecamuk. Demi mengakslerasi terwujudnya ASEAN Political and Security 2015 selaras dengan tujuan MDG 2015 (Millenium Development Goal) perlu adanya pemahaman bahwa proses dan usaha pencapaian sebagai bentuk tes kemampuan yang bermanfaat untuk mengukur seberapa siapkah kita menghadapi berbagai situasi yang tidak terduga diwaktu mendatang.

Tidak lupa keberanian untuk mengemukakan pengalaman, masalah beserta solusi (ilmu) secara terbuka merupakan masa depan ASEAN Community 2015, Dan tentu saja kesuksesan yang akan segera tercapai, kelak menjadi peristiwa bersejarah dan bernilai karena sekeping (Negara) yang terkumpul dapat memberikan sebuah dedikasi yang berharga bagi antar-kawasan bahkan dunia. ASEAN.

37

ASEAN ECONOMIC COMMUNITY

38

Source: emergingfrontiers.com

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

AEC 2015

Path of Regionalism in ASEAN towards the Economic Community 2015:


The Implementation of Initiative ASEAN Integration Work Plan I & II in Narrowing The Development Gap
Abstract The rapid growth of globalization has emerged regionalism in South East Asia region. The interaction among countries in this particular region has been increasing through the ASEAN (Association of South East Asia Nations). Recently, as the regionalism happens, ASEAN aims to achieve the ASEAN Vision 2020 through the ASEAN Community 2015 which comprises the ASEAN Political Security Community, ASEAN Economic Community and ASEAN Socio Cultural Community. Those communities are expected to design a more integrated form of this region and association. One of the challenge towards the AEC is the wide disparities of development among the ASEAN member countries. In coping with this constrain, Initiative ASEAN Integration (IAI) ASEAN has adopted one of the instrument to address this issue. This paper aims to explain the increasing of regionalism in ASEAN in the middle of high level of development gap towards the path to ASEAN Economic Community 2015. This is going to be conducted by assessing the implementation of Initiative ASEAN Integration workplan. Structurally, this paper will consist of three sections. On the first section, this paper will explain about the evolution of regionalism in South East Asia region. Second, this paper will explain about the development gap exist among ASEAN member countries and the implementation of Initiative ASEAN Integration in narrowing the development gap. Third, this paper will analyze the prospects of regional economic integration in ASEAN through ASEAN Economic Community 2015.(Keywords: Regionalism, regional economic integration, ASEAN Economic Community, ASEAN Development Gap, Initiative ASEAN Integration) 39

Monica Agnes Universitas Indonesia

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

AEC 2015

Regionalism in South East Asia Region Before we analyze further about the dynamics of regionalism in South East Asia, it is indispensable to take a look deeper at the concept of region. Region is a group of countries which have created a legal framework of cooperation covering an extensive economic relationship, with the intention that it will be of indefinite duration, and with the possibility foreseen that the region will evolve or change.1 Based on this particular definition, South East Asia, which comprises of Brunei Darussalam, Cambodia, Filipina, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapore, Thailand, Vietnam, could be acknowledged as a region where there is a process of evolution and change on its form of cooperation through ASEAN. Then regionalism may be defined as the formation of interstate groupings on the basis of regions.2 The regionalism path of South East Asia region could be seen as follows. After the end of Cold War, SEATO (South East Asia Treaty Organization) was established on 1954 as the effort of United States of America through Truman Doctrine of creating anti-communist bilateral and collective defense treaties.3 This was to create alliances that would contain communist powers.4 Later on, the Association of Southeast Asia was established on 1961 with Malaysia, Phillippines dan Thailand as the members. However, the conflict between Malaysia and Phillippines had brought this association to an end. In 1963, Malphilindo was created but then dispersed due to the problem when Indonesia went against the effort of the creation of Malaysia as a nation. Years later, on 1967, ASEAN was established with five member countries: Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapore and Thailand. Later, Cambodia, Laos, Myanmar and Vietnam joined the other five countries in ASEAN. At the earlier period of its existence, ASEAN Declaration was agreed and it proclaimed ASEAN as representing the collective will of the nations of Southeast Asia to bind themselves together in friendship and cooperation and, through joint efforts and sacrifices, secure for their peoples and for posterity the blessings of peace, freedom and prosperity.5 In general, ASEAN used to be a forum of leader among member countries to talk. However, as time goes by, there have been some intitutionalization process which turns ASEAN into a more developed regional cooperation. ASEAN directs into another function of cooperation, which most of them are in economic sector. For instance, the effort of establishment for ASEAN Free Trade Area (AFTA). Further, ASEAN has managed to cope with the other actor out1 Sheila Page, Regionalism among Developing Countries (London: Macmillan Press, 2000) hlm. 5. 2 Joseph Nye (ed.), International Regionalism (Boston: Little, Brown & Co.., 1968), hlm. xii. 3 Cal Jillson, American Government: Political Development and Institutional Change. (Taylor & Francis (2009). 4 Ooi, Keat Gin, ed. (2004). Southeast Asia: A Historical Encyclopedia, From Angkor Wat to East Timor, Volume 2. ABC-CLIO 5 ASEAN, History, The Founding of ASEAN accessed from http://www.asean.org/asean/aboutasean/history on Saturday, 7th September 2013 at 10.27 pm.

40

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

AEC 2015

side the region which are called as Dialogue partner. As the level of regionalism is getting increased day by day, the ASEAN leaders have agreed upon the idea of ASEAN Vision 2020 which is to transform ASEAN into a stable, prosperous and highly competitive region with equitable economic development, and reduced poverty and socio-economic disparities.6 In order to achieve this vision, ASEAN leaders have tried to design the ASEAN Community which comprises of ASEAN Political Security Community, ASEAN Economic Community and ASEAN Socio Cultural Community. This communities are expected to be achieved in 2015. The AEC will establish ASEAN as a single market and production base making ASEAN more dynamic and competitive. The ASEAN single market shall comprise five core elements which are the free flow of goods, free flow services, free flow of investment, free flow of capital and free flow of skilled labour.7 AEC envisages the following key characteristics: (a) a single market and production base, (b) a highly competitive economic region, (c) a region of equitable economic development, and (d) a region fully integrated into the global economy.8

This has shown the path of regionalism in South East Asia from a less formal regionalization into a more compact and structurized of regional institution. The ASEAN member countries are getting intense in interacting each other. The increasing level of interaction has given some contribution towards ASEAN as the legal framework of cooperation. From here, it could be argued that regionalism is growing in ASEAN rapidly in the middle of political and economic struggle to stability. In much of the Third World in particular the tasks of nation building, promoting political stability or economic development are of more immediate importance and indeed are prerequisites to greater integration.9 By that, the initiative to achieve economic regional integration in South East Asia through ASEAN Economic Community (AEC) 2015 will also be determined political and economic process to stability. It seems clear that for Africa as for much of the developing world, real progress towards regional cooperation will require a much sturdier foundation of political cohesion and economic progress.10 Here, as most of the ASEAN members
6

ASEAN Economic Community Blue Print.

8 ASEAN, ASEAN Economic Community accessed from http://www.asean.org/communities/asean-economic-community on 7th September 2013 at 10.30 pm. 9 Louise Fawcett, Regionalism in Historical Perspective in Louise Fawcett dan Andrew Hurrell (eds.) Regionalism in World Politics: Regional Organization and International Order (New York: Oxford University Press, 1995) hlm.34. 10 Robert O Neill, Western Security Policy towards the Third World, in Robert ONeill and John Vincent (eds.), The West and The Third World (London, Macmilla, 1990) hlm. 220.

Ibid.

41

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

AEC 2015

are developing countries, it takes a long process of regional cooperation as it demands political cohesion and economic progress. This is due to the diversity of political system and economic development in each member countries. Indonesia, for example, goes with its democracy, Brunei Darussalam goes with its sultanate political system, Myanmar goes with the junta. Regarding the economic process, ASEAN still a huge problem regarding the wide disparities of development among member states. Peter Smiths points out some indicators or dimensions of regional economic integration which are: a. scope (the range of issues included), b. depth (the extent of policy harmonization), c. institutionalization (the extent of formal institutional building), d. centralization (the degree to which effective authority is centralized).11 Based on this indicators it could be argue that the regional economic integration in ASEAN is still low. First, regarding the scope there issues included sometimes limited to the aspect of trade and foreign direct investmen while the development issues regarding poverty sometimes left behind. Second, regarding the policy harmonization, this indicator is also still very low because sometimes the policy of a particular member does not always in line with the other member has. Third, altough ASEAN has developed quite well, ASEAN is still low in terms of institutional building regarding the ASEAN way and consensus mechanism. Fourth, regarding the centralization, ASEAN is still in the very low level. This is regarding the weak process of formal institutional building. Development gap in ASEAN and Initiative ASEAN Integration Altough regionalization has been developing rapidly in this region, indeed ASEAN has realized that the idea of achievieng an integrated region is constrained by the wide disparites of development gap among its members. For instance, based on the World Bank, the income per capita of Singapore in 2012 is US$51,709 while at the same time the income per capita of Myanmar is US$0,946.12 It clearly shows that there is a significant development gap exist among the development gap in ASEAN. Most of the times, the development gap in ASEAN is seen between ASEAN-6 (Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand,Indonesia and Filipina) and CLMV (Cambodia, Laos, Myanmar, Vietnam). However, it is irrefutable that
11 Peter H. Smith, Introduction: The Politics of Integration: Concepts and Themes, in Peter H. Smith (ed.), The Challenge of Integration: Europe and the Americas (New Brunswick, NJ: Transaction, 1992) hlm. 5. 12 World Bank, GDP Per Capita (current US$) diakses dari http://data.worldbank.org/indicator/ NY.GDP.PCAP.CD on August 2013 at 10.26 pm.

42

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

AEC 2015

the development gap also happens among the ASEAN-6 countries. For example, Brunei Darussalam has the income per capita is US$41,127 and the income per capita of Indonesia is US$3,557 at the same year.13 This is becoming an enormous of gap of development in ASEAN. This development gap does not only count the economic growth, but also to the human development. ASEAN development gap concept then is broken down into three variables which include health (indicated by life expectancy in years and the infant mortality rate), education (indicated by life expectancy in years and the infant mortality rate), education (indicated by mean years of schooling and expected years of schooling), income (indicated by $PPP purchasing power parity and multidimensional development (indicated by HDI).14 In addressing this issue and solving this problem, ASEAN comes up with the idea of Initiative ASEAN Integration (IAI) which is executed through IAI work plan I (2002-2008) and IAI work plan II (2009-2015). As of 4 October 2012, all 232 projects under the IAI Work Plan I have been completed.15 It includes some programme area such as infrastructure, human resource development, ICT, regional economic integration, tourism, poverty and quality of life and general coverage projects. The main target of the IAI work plans are the CLMV countries where they get the fund and assistance from ASEAN-6 and some other partners such as UNDP and ADB. The goal of this work plans is to narrow the development gap in ASEAN in order to accelerate the process to economic regional integration through AEC 2015. Andrew Hurrell explains that there are five varieties of regionalism, which are: (a) regionalization, (b) regional awareness and identity, (c) regional interstate cooperation, (d) state-promoted regional integration, (e) regional cohesion.16 Based on the observations of IAI work plans, this work plans could be classified as the state promoted regional integration where the regional integration is promoted by the state actor through aid and asisstance. Prospects of ASEAN Economic Community 2015 Perhaps the greatest challenge to ASEAN economic integration lies in addressing the development divide among its member countries.17 Based on those explainations above, it could be argued some points about the prospects of ASEAN Eco13 Ibid. 14 UNDP, Human Development Report 2011 (New York: Palgrave Macmillan, 2011) 15 Status Update of the IAI Work Plan I (2002-2008) accessed from http://www.asean.org/images/2012/Economic/IAI/IAI%20Work%20Plan%20I.pdf on 7th Sept 2013 at 11.22 pm. 16 Andrew Hurrell, Regionalism in Theoritical Perspective in Louise Fawcett dan Andrew Hurrell (eds.) Regionalism in World Politics: Regional Organization and International Order (New York: Oxford University Press, 1995) hlm.38-45. 17 Denis Hew, Realizing the ASEAN Economic Community 2015 dalam Hadi Soesastro dan Clara Joewono (eds), The Inclusive Regionalist: A Festschrift dedicated to Jusuf Wanandi, 2nd ed. (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 2008) hlm. 311.

43

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

AEC 2015

nomic Community 2015. First, there is a big opportunity for ASEAN to achieve the AEC 2015 and get more benefit. This is regarding the rapid regionalization happens in this region. However, the problem of wide development gap among member could be the main constrain for ASEAN in achieving AEC 2015. Although ASEAN has had a mechanism to adress this issue, which is IAI work plans, its implementation still needs to be optimized and maximized especially to make it more tangible to society, not only towards the economic growth of the state.

44

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

AEC 2015

Peran Keterbukaan Media dan Informasi Indonesia terhadap Pembentukan AEC 2015
Abstract

Kevin Tan Universitas Parahyangan

This article examines the role of media through a multi-layer study of supporting website to reach ASEAN Economic Community 2015. By examining this case, I clarify that ASEAN countries, especially Indonesia have developed the capacity of information to establish ASEAN Community effectively and the constraints when member states would like to achieve this project. The time period studied in this article includes the effort of ASEAN member states to disseminate the information through ASEAN Website since Cebu Declaration, such as: AIA (ASEAN Investment Council) and ASEAN Business Club and the effectivity of Indonesia government to promote information through media. I use a qualitative analysis of examining the influence of website to attract ASEAN Society for preparing ASEAN Community 2015. Data will be collected from website to analyze the effectivity of information. This paper challenges the argument that ASEAN Countries and Indonesia is ready for facing ASEAN Economic Community in 2015. Some view Indonesia government is prepared very well to promote ASEAN Economy Community 2015, but in the reality, there are a lot of information that need to be rechecked for reaching A SEAN Community. Indonesia has a main role to prepare ASEAN Economic Community domestically and internationally. By propelling change in array of information, Indonesia and ASEAN could prepare well to reach ASEAN Community 2015.

Keywords: Website, ASEAN Community, and Coordination,

45

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

AEC 2015

Pendahuluan Seiring waktu yang terus mendekat, Indonesia perlu berbenah diri dalam memasuki era baru ASEAN sebagai organisasi regional. Sejak 2003, negara-negara yang tergabung di ASEAN menyadari pentingnya pembentukan Komunitas ASEAN 2015, yang mencakup Komunitas Politik ASEAN, Komunitas Sosial Budaya ASEAN dan Komunitas Ekonomi ASEAN. Pada tahun 2007, petinggi ASEAN berkomitmen dalam mempercepat proses pembentukan komunitas tersebut dengan menandatangani Deklarasi Cebu 1. Dengan demikian, peran Indonesia sebagai salah satu founding father mutlak di perlukan dalam memberikan teladan bagi negara lainnya dengan mempromosikan Komunitas ASEAN di dalam negeri. Komunitas Ekonomi ASEAN merupakan salah satu pilar penting bagi negaranegara anggota organisasi yang terletak di Asia Tenggara. Bayangan yang ingin di capai oleh para anggota ASEAN adalah: (1) satu pasar tunggal dan basis produksi , (2) kawasan ekonomi yang kompetitif, (3) wilayah pembangunan ekonomi yang adil, dan (4) terintegrasinya wilayah ASEAN ke dalam ekonomi tunggal.2 ASEAN juga berusaha untuk meningkatkan kerjasama ekonomi dengan bidang yang lebih spesifik, yakni: Daerah AEC kerjasama meliputi pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan kapasitas, pengakuan kualifikasi profesional, konsultasi dekat pada kebijakan makro ekonomi dan keuangan, langkah-langkah pembiayaan perdagangan, meningkatkan infrastruktur dan konektivitas komunikasi, pengembangan transaksi elektronik melalui e-ASEAN; mengintegrasikan industri di seluruh wilayah untuk mempromosikan daerah sumber, dan meningkatkan keterlibatan sektor swasta untuk membangun AEC. (Website ASEAN, 2013)

Untuk mencapai Masyarakat Ekonomi ASEAN, keterbukaan media dan informasi terhadap bidang ekonomi harus di lakukan sesegera mungkin oleh berbagai pihak, khususnya Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara penting melalui pertumbuhan ekonomi yang terbilang pesat hingga 6,03% di kuarter pertama tahun 2013. 3 Pertumbuhan ekonomi yang pesat tersebut perlu diimbangi dengan
1 ASEAN Website, Overview: ASEAN Community, diakses pada tanggal 1 Agustus 2013, <http:// www.asean.org/asean/about-asean>. 2 ASEAN Website, ASEAN Economic Community, diakses pada tanggal 1 Agustus 2013, <http:// www.asean.org/communities/asean-economic-community> 3 Rahadiana, R & Thatcher, J, A 2013, Indonesia Data Points to Weaker Economic Outlook, 31 Jili, Jakarta Globe, di akses pada tanggal 1 Agustus 2013, <http://www.thejakartaglobe.com/business/ indonesia-data-points-to-weaker-economic-outlook/>.

46

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

AEC 2015

akses keterbukaan informasi, khususnya di dalam negeri, seperti yang telah di jamin di dalam UU no. 14 tahun 2008 mengenai keterbukaan informasi publik4. Informasi publik akan sangat penting bagi para pelaku ekonomi dalam menganalisa setiap kebijakan politik dan menentukan langkah selanjutnya demi pembangunan ekonomi yang lebih maju.

Fungsi dan Peran Media Media memegang peranan yang sangat penting dalam mempercepat pemberian informasi kepada masyarakat luas. Menurut Dominick (2001), fungsi komunikasi bagi masyarakat terbagi menjadi 5, yakni: (a) pengawasan, (b) penafsiran , (c) keterkaitan, (d) penyebaran nilai dan (e) hiburan5. Salah satu fungsi yang di sebut Dominick, yaitu fungsi penafisran menjelaskan bahwa media memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting berdasarkan data dan fakta yang di berikan kepada masyarakat. Media juga mempunyai kekuatan untuk memutuskan peristiwa yang layak di sajikan atau tidak. Dengan demikian, peran media menjadi begitu signifikan bagi para pelaku ekonomi di kawasan ASEAN. Tanpa kejelasan sebuah sistem ekonomi, kebijakan politik dan ekonomi serta data yang kredibel, para pengusaha negara-negara ASEAN akan mengalami kesulitan dalam menginvestasikan dana mereka secara aman kepada publik. Kejelasan terhadap data-data pemerintah sangat di perlukan bagi negara-negara ASEAN dalam mengintegrasikan pasar-pasar di Asia Tenggara menjadi satu pasar, menjamin kompetisi yang sehat antar para pebisnis lintas bangsa dan pembangunan ekonomi secara menyeluruh serta turut berpartisipasi dalam setiap kegiatan ekonomi internasional.

Sudahkah media berperan penting dalam mempercepat pertumbuhan investasi di ASEAN? Media masih belum menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap percepatan pertumbuhan investasi di kawasan Asia Tenggara. Selama ini, ASEAN menggunakan forum untuk menyebarkan informasi investasi kepada investor, CEO, agen
4 Lihat lebih lanjut informasi publik yang wajib di sediakan Pemerintah pada Pasal 11 UU no. 14 tahun 2008 5 Budiman 2009, Motif-motif Masyarakat Tebing Tinggi menggunakan Internet, Jurnal Penelitian Komunikasi dan Pembangunan, vol. 10, no. 3 Desember, di akses pada tanggal 7 September 2013, <https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&cad=rja&ved=0CFcQFjAI& url=http%3A%2F%2Frahmatproject.googlecode.com%2Ffiles%2FJURNAL%2520PENELITIAN%2520KO MUNIKASI%2520DAN%2520PEMBANGUNAN.doc&ei=UFUrUs-vJYmHrgeC_oDIDw&usg=AFQjCNEbZov3 91k5LdlexgtjwovdPnTk5w&sig2=9CEc8EOMWektBvkbfIhqFg&bvm=bv.51773540,d.bmk>.

47

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

AEC 2015

promosi investasi, Badan Pembangunan Daerah, dan Negosiator Perdagangan dan Investasi. Forum yang diadakan ASEAN bergerak di bawah ASEAN Investment Area Council (AIA Counsil) , yang bertanggungjawab untuk mengawasi impelemtasi dari ACIA (ASEAN Comprehensive Investment Agreement) 6. Secara fungsi, ASEAN telah secara baik membentuk badan yang mampu mengawasi proses pasar bebas ke dalam masyarakat. Namun, secara praktek ASEAN masih belum dapat menunjukkan hasil yang signifikan melaui badan tersebut. Di dalam website sekretariat ASEAN, informasi mengenai penanaman investasi di kawasan Asia Tenggara masih sangat terbatas. Informasi yang dapat diakses berupa tulisan legal, persetujuan dan rancangan dalam menjalankan beberapa perjanjian.7 Informasi tersebut dapat membantu sebagian besar pengakses yang memiliki minat besar terhadap membaca data dan berbagai peraturan. Namun, hal tersebut tidak efektif bagi para masyarakat ASEAN yang tidak mengerti seputar dunia usaha dan tidak mengerti informasi berbahasa inggris. Dengan demikian, tidak semua masyarakat mampu untuk mengerti informasi yang disajikan oleh pihak pemerintah. Penyedian informasi-informasi yang dapat di akses secara mudah oleh para pelaku bisnis dan masyarakat ASEAN perlu untuk di lakukan. Seiring dengan berkembangnya era teknologi informasi, masyarakat dapat mengakses informasi dengan lebih mudah. Namun, keberagaman yang masyarakat ASEAN miliki perlu untuk dipertimbangkan dalam memberikan informasi yang lebih mudah di mengerti bagi para pengakses.

ASEAN Business Club ASEAN Business Club (ABC) merupakan organisasi yang di dukung penuh oleh para pihak swasta dalam mendukung integrasi ekonomi melalui sebuah jaringan.8 Sekretariat organisasi tersebut di jalankan oleh CARI (CIMB ASEAN Research Institute) yang merupakan sebuah badan think tank yang menjalankan analisis dan administrasi demi terwujudnya integritas ASEAN.9 Organisasi ini juga memiliki dewan penasihat yang terdiri dari para pebisnis ternama, sepreti: Tony Fernandes, Chairul Tanjung, Simon Cheong dan lainnya.
6 ASEAN Website, How to invest in ASEAN?, di akses pada tangga 1 Agustus 2013, < http://www. asean.org/news/asean-secretariat-news/item/how-to-invest-in-asean2>. 7 Contoh Informasi yang anda dapat akses adalah: Legal Text, Modality for the Elimination/Improvement of Investment Restrictions and Impediments in ASEAN Member States, Framework Agreement on the ASEAN Investment Area, dan lainnya. 8 ASEAN Business Club , Aboout ASEAN Business Club, ASEAN Business Club Website, di akses 18 Agustus 2009, <http://aseanbusinessclub.org/about-the-asean-business-club/>. 9 Ibid; About the Secretariat

48

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

AEC 2015

Di dalam website ABC, informasi yang disediakan bagi pengakses sangat terbatas. Informasi yang disediakan hanya terbatas kepada informasi ABC dan sekretariat, acara yang pernah di jalani, video dan media. Selain itu, pembaharuan informasi di dalam website jarang di lakukan dan terakhir di lakukan tahun lalu. Dengan demikian, website ABC masih belum mampu membantu ASEAN dalam terbentuknya komunitas ASEAN 2015. Informasi yang perlu di tambahkan dalam website tersebut adalah syarat-syarat keanggotaan dalam ABC, kegiatan dan forum yang akan di lakukan beserta hasil penganalisaan demi terintegrasinya komunitas ekonomi ASEAN 2015. Hal ini sangat penting demi memberikan transparansi kepada komunitas ASEAN dan pengaksesan informasi yang lebih mudah bagi masyarakat dan kalangan pebisnis yang memiliki minat terhadap klub tersebut.

Apa yang terjadi di Indonesia? Sebagai salah satu negara penting di Asia Tenggara, Indonesia mulai menggalakkan proses keterbukaan informasi kepada publik secara luas. Kementerian Komunikasi dan Informasi telah memberikan kemudahan akses informasi melalui website di beberapa wilayah Indonesia mulai dari provinsi hingga kota-kota. Namun sayangnya, tidak semua informasi yang di sajikan melalui website memiliki standar yang sama dalam memberikan informasi kepada masyarakat. Hanya beberapa website pemerintah yang memiliki akses terhadap peluang investasi di wilayah tersebut. Untuk mendapatkan informasi mengenai peluang investasi, masyarakat ASEAN perlu untuk mengakses informasi peluang investasi melalui langsung menemui aparat pemerintahan ataupun informasi website di kota masing-masing dan badan pemerintah. Namun, pemerintah pusat juga menyajikan informasi prosedural yang lebih mendetail melalui BPKM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) melalui website secara langsung dan informasi mengenai peluang investasi provinsi melalui http://www.investindonesia.info. Di lain sisi, pemerintah kota hanya menyajikan data yang tidak spesifik dalam memelihatkan sebuah peluang investasi di wilayah mereka. Keruwetan dalam pengaksesan informasi di tambah oleh Kadin yang juga memberikan informasi yang hampur sama. Informasi melalui website yang diberikan masih sangat umum dan tidak memberikan prosedur yang jelas seperti yang dilakukan BPKM. Dengan demikian, untuk mendapat informasi yang mendetail dan seimbang, para pelaku pasar dan ekonomi perlu untuk mengakses informasi dari BPKM dan pemerintah kota/provinsi. Hasilnya, para pelaku pasar akan mendapat kesulitan untuk mendapatkan informasi yang kredibel dari pemerintah di mana mereka berada. 49

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

AEC 2015

Informasi yang sama, tepat dan akurat sangat dibutuhkan oleh para pelaku pasar. Tanpa informasi yang tepat, para pelaku bisnis akan bingung dalam menanamkan investasi. Koordinasi yang jelas antara badan pusat dengan badan daerah mutlak di perlukan untuk tidak menimbulkan keruwetan bagi para pemerintah dan masyarakat ASEAN. Tidak hanya badan pemerintah yang menyediakan informasi investasi di Indonesia. Informasi mengenai peluang investasi juga dapat di akses melalui badan swasta, seperti: Van der Schaar Investments yang memberikan informasi spesifik mengenai kegiatan proyek, keuangan dan bisnis yang di lakukan di Indonesia. Informasi yang di berikan melalui Van der Schaar Investments menjelaskan dengan lebih terperinci mengenai situasi dan iklim investasi yang terjadi di Indonesia di banding dengan website pemerintah. Selain itu, informasi sekunder juga dapat di akses melalui Bank Indonesia, Kementerian ESDM (Energi, Sumber Daya dan Mineral) beserta dengan beberapa lembaga lainnya. Dengan beragamnya informasi mengenai peluang berinvestasi di Indonesia, para pelaku pasar akan mengalami kesulitan dalam melakukan investasi secara pasti. Informasi yang disediakan pemerintah sangat beragam dan sulit untuk menemukan informasi yang lebih mendetail di antara website, kecuali website BPKM. Selain itu, pakar investasi swasta justru memberikan informasi yang lebih mudah di mengerti dan di akses dalam memahami iklim investasi yang terjadi di Indonesia. Pemerintah Indonesia masih sulit untuk memberikan informasi yang jelas dan gamblang kepada para pelaku pasar melalui satu saluran yang kredibel, aman dan terpercaya.

Rekomendasi untuk Indonesia Peran media informasi dalam memberikan informasi kepada publik merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh pemerintah Indonesia untuk meningkatkan investasi menjelang Komunitas ASEAN yang direncanakan rampung pada tahun 2015. Sebagai aktor penting di Asia Tenggara, Indonesia perlu untuk mengambil langkah yang pasti, baik untuk dalam negeri maupun luar negeri.

Dalam negeri Dengan situasi yang Indonesia alami, pemerintah Indonesia perlu untuk merevitalisasi setiap data dan informasi mengenai peluang investasi di Indonesia. Informasi yang di berikan perlu untuk memenuhi syarat, yakni: kredibel, aman dan terpercaya. Selain itu, pemerintah perlu memberikan informasi yang lebih mendetail melalui satu saluran informasi, tanpa memberikan opsi bagi pelaku pasar ragu-ragu 50

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

AEC 2015

dalam mengambil keputusan untuk berinvestasi di Indonesia. Salah satu website pemerintah yang memberikan informasi satu saluran yang cukup jelas adalah Satu Layanan. Website yang di kelola Open Government Indonesia dapat memberikan informasi layanan publik yang jelas bagi masyarakat. Pemerintah dapat meniru programt tersebut di bidang penanaman modal. Koordinasi di antara Kementerian yang berkaitan dengan investasi, Kadin, BKPM, BAPEPAM (Badan Pengawas Pasar Modal) perlu untuk digalakkan. Pemerintah perlu untuk memberikan struktur organisasi yang jelas kepada para investor. Pemerintah dapat mempelajari pola yang jelas, seperti pada: HKTDC (Hong Kong Trade Development Council) yang secara spesifik menangani masalah investasi di wilayah Hong Kong. Dengan demikian, para pelaku ekonomi mengalami kemudahan dalam memberian investasi ke dalam Indonesia.

Luar Negeri Sebagai sebuah negara penting di ASEAN, pemerintah Indonesia dapat menginisiasi program khusus untuk memberikan kemudahan berinvestasi bagi para investor dan pelaku pasar. Secara spesifik, Indonesia dapat mencanangkan untuk membuat satu website yang memberikan informasi peluang investasi bagi pengusaha Indonesia di negara lainnya di Asia Tenggara dan juga sebalinya. Informasi tersebut di harapkan dapat mengorganisir peluang investasi yang timbul untuk mengintegrasikan ekonomi ASEAN ke dalam ekonomi global. Langkah praktis yang dapat di ambil pemerintah Indonesia adalah bekerja sama dengan negara-negara di kawasan untuk merevitalisasi website komunitas atau klub yang ada di ASEAN, seperti: ASEAN Business Council. Dengan menambah informasi yang akurat, hal ini akan mendorong terintegrasinya Komunitas Ekonomi ASEAN melalui informasi yang ada. Setiap acara yang akan di laksanakan dapat di sebarkan kepada massa dengan media sosial. Selain itu, Indonesia perlu untuk bekerjasama dengan negara lainnya di Asia Tenggara dalam memberikan informasi ekonomi dan bisnis berdasarkan bahasa negara masing-masing. Mengingat wilayah Asia Tenggara adalah wilayah yang beragam ras, suku dan budaya, para petinggi pemerintah perlu untuk menyesuaikan informasi untuk peluang berinvestasi dengan keunikan tiap-tiap negara. Hal tersebut akan mampu meningkatkan jumlah pebisnis yang mampu dan mau untuk mengembangkan bisnisnya baik di dalam negara maupun untuk ke luar kawasan. Pemberitaan secara lebih luas melalui media sosial merupakan hal yang dapat di lakukan dari sekarang. Indonesia mampu untuk mengaktifkan peluang untuk memperkenalkan investasi secara signifikan. Hal tersebut di dukung dengan statis51

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

AEC 2015

tik bahwa Indonesia merupakan negara ke empat terbesar yang menggunakan media sosial untuk berkomunikasi.Dengan demikian, Indonesia akan menjadi ujung tombak dalam membantu terbentuknya komunitas ASEAN.

Kesimpulan Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan Komunitas ASEAN 2015. Dengan demikian, Indonesia perlu mengambil langkah yang lebih signifikan dalam memanfaatkan peluang ekonomi dan bisnis dalam memajukan perekonomian negaranya. Hal yang perlu di lakukan Indonesia adalah menggunakan media dalam menyebarluaskan informasi investasi. Indonesia juga perlu untuk memberikan informasi yang kredibel dan terpercaya kepada masyarakat ASEAN. Di samping itu, Indonesia juga dapat mendorong negara-negara di kawasan ASEAN lainnya dalam merevitalisasi setiap informasi yang disediakan kepada masyarakat luas.

52

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

AEC 2015

Refleksi Menuju Era Baru Ekonomi Transregional:


Menilik Kesiapan AEC di Masa Depan Gineng Pratidina Permana Sakti Universitas Indonesia- ISAFIS Member

Abstract The presence of Southeast Asia as the new emerging market prospects of the world has reshaped its characteristics. While in some degree it offers some opportunities to be improved by the initiated various trade regimes in the region, it is also haunted by the threat of regional economic disintegration. The main cause of this prediction will be the nearly existing Trans-Pacific Partnership arrangement and the Regional Comprehensive Economic Partnership agreement. These two arrangements offer each of their segmented market, hence influencing the ASEAN members to possibly prefer their market segment, causing a potential intraregional competition and disintegration. Keywords: AEC, ASEAN, RCEP, TPP 53

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

AEC 2015

Perkembangan terbaru dinamika ekonomi dunia, telah menempatkan Asia Tenggara bukan saja sebagai emerging market yang memiliki prospek masa depan yang cerah, namun juga sebagai arena kontestasi power-struggleantara kekuatankekuatan utama dunia. Sebagai emerging market, Asia Tenggara diproyeksikan menjadi sebuah pasar yang meliputi 600 juta konsumen potensial dengan persebaran 65% penduduk kelas menengah yang memiliki tingkat daya beli tinggi yang turut didukung dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi regional sebesar 5.8% pada tahun 2017.1 Melihatnya sebagai pasar yang prospektif dapat ditinjau dari tingkat masuknya Foreign Direct Investment (FDI) kepada negara-negara ASEAN. Pertumbuhan FDI yang masuk ke negara-negara ASEAN senantiasa tumbuh di atas tingkat pertumbuhan 100% setiap tahunnya semenjak tahun 2010.2 Konsekuensi atas hal ini adalah dijadikannya Asia Tenggara sebagai gelanggang kontestasi ekonomi baru bagi kekuatan-kekuatan utama dunia yang mewacanakan adanya kerjasama lebih lanjut yang bersifat interregional maupun transregional. Kawasan Asia Timur dan Australia misalnya, mewacanakan dibentuknya framework kerjasama ekonomi yang terintegrasi antara negara-negara ASEAN dengan negara-negara utama kawasan Asia Timur dan Australia dalam rancangan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Sementara ajakan untuk memperdalam kerjasama transregional juga dilontarkan Amerika Serikat dan negara-negara utama lain di Pasifik dengan adanya wacana atas Trans-Pacific Partnership (TPP). Terlontarnya wacana-wacana integrasi blok ekonomi tersebut bukannya tanpa konsekuensi. Evolusi ekonomi merupakan suatu hal yang tidak dapat terbantahkan, namun di sisi lain perlu dipersiapkan dengan penuh pertimbangan untuk dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi ekonomi kawasan, dan lebih lanjut bagi konsolidasi ASEAN. Oleh karenanya, tulisan ini akan berusaha mengevaluasi wacana ekonomi transregional dengan melihat ASEAN Economic Community (AEC) sebagai medium konsolidasi internal kawasan. Wacana Ekonomi Transregional: Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP)

Kemunculan wacana pembentukan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) terutama bagi ASEAN bukan suatu wacana baru yang merupakan
1 Zeti Aziz, Towards A More Integrated Market dalam 19th ASEAN Banking Conference, Bank of International Settlement, (2012), hlm. 1. 2 Ibid, hlm. 2.

54

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

AEC 2015

creatio ex nihilo, muncul begitu saja dari ruang kosong. Melainkan merupakan implikasi logis tahapan perkembangan ekonomi yang perlu dicapai oleh ASEAN dan mitra dagang ASEAN untuk mencapai tingkat efisiensi dan produktivitas dagang yang maksimal melalui penyatuan framework kerjasama. Hal ini secara umum merupakan suatu upaya untuk melanjutkan keberlangsungan ikatan dagang bagi ASEAN dan enam negara utama lain dari kawasan Asia Timur dan Australia melalui penyelesaian atas peramasalahannoodle-bowl effect yang terjadi pada status quo framework. Perkembangan situasi ekonomi di AsiaTenggara dan Asia Timur telah menunjukkan suatu perubahan signifikan dalam dekade-dekade terakhir oleh dorongan ekspansi perdagangan internasional dan arus masuk FDI. Sebagai suatu kekuatan ekonomi baru, identitas Asia telah berkembang dengan dicirikan sebagai wilayah yang memiliki integrasi ekonomi secara formal melalui pengaturan-pengaturan perdagangan internasional intra-ASEAN (AFTA), maupun berbagai pengaturan perdagangan ASEAN dengan negara per negara seperti China pada ACFTA serta pada Jepang dan Korea. Secara kualitas, jalinan perdagangan yang terjadi dalam tingkat regional dapat dikatakan cukup berhasil dengan adanya tingkat indeks komplementaritas ASEAN dan mitra dagangnya yang menyentuh kisaran 0.54, setara dengan indeks komplementaritas European Economic Community di tahun 1995 yang berada di kisaran 0.53.3Dampak pengaturan perdagangan bebas ini sendiri di ASEAN juga ditemukan cukup signifikan dengan adanya peningkatan pertumbuhan volume perdagangan kawasan yang mencapai 8.2%.4 Disamping kerjasama ekonomi inerregional antara Asia Tenggara dan Asia Timur, integrasi ekonomi antar regional juga merupakan salah satu usaha untuk melakukan widening cakupan integrasi ekonomi tersebut melalui jalinan kerjasama dengan India dalam (ASEAN-India FTA), Australia, dan New Zealand. Hal ini merupakan tanda positif yang berarti bahwa cakupan pasar bagi perdagangan interregional menjadi lebih inklusif dan lebih bervariasi. Efeknya bukan hanya sebatas berimbas pada peningkatan volume perdagangan atau peningkatan daya saing kawasan, melainkan juga secara implisit menangguhkan signifikansi pasar Asia sebagai kekuatan ekonomi global. Upaya-upaya widening yang dilakukan tersebut menjadi penting karena rezim perdagangan internasional yang beroperasi pada tingkat global seperti WTO dirasakan tidak terlalu efektif keberadaannya bagi arus perdagangan secara langsung ketika rezim perdagangan global tersebut (WTO) diperbandingkan dengan efektivitas rezim perdagangan internasional di tingkat regional. Dalam konteks
3 Xiangshuo Yin, The Impact of China ASEAN Free Trade Agreement on Regional Trade dalam The Journal of East Asian Affairs, Vol. 18, No. 2, (2004) hlm. 339. 4 Li Zhi-Feng dan Donghyun Park, The Impact of AFTA on Intra-ASEAN Trade: An Industry-Level Empirical Analysis dalam MEA Convention, (2004), hlm. 5.

55

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

AEC 2015

untuk meningkatkan volume perdagangan, rezim WTO tidak membawa banyak implikasi signifikan bagi negara-negara yang terlibat di dalamnya. Hasilnya, pengaturan-pengaturan rezim perdagangan di tingkat regional mengalami intensifikasi dan menjadi front terdepan bagi pengambilan kebijakan perdagangan negara-negara yang terlibat di dalamnya. Intensifikasi rezim perdagangan regional ini membawa implikasi bagi adanya persaingan perdagangan antar regional yang bahkan tidak jarang berkembang menjadi sengketa dagang sebagaimana dialami pada kasus US-EU Banana Import Regime dan berbagai kasus lain karena adanya diskriminasi harga dan pembatasan tariff yang terjadi akibat adanya pembentukan blok-blok perdagangan di tingkat regional. Bergulirnya wacana untuk membentuk Regional Comprehensive Partnership (RCEP) yang diinisiasikan pada 20 November 2012 lalu di East Asia Summit, Pnom Penh mensinyalir adanya langkah lebih lanjut atas intensifikasi rezim perdagangan di Asia Timur dengan mewacanakan pembentukan blok perdagangan yang mencakup ASEAN, China, Korea, Jepang, India, Australia, dan New Zealand (ASEAN+6).5 RCEP diproyeksikan akan menjadi blok perdagangan terbesar di dunia yang mewakili 30% total GDP global dan mewakili 48% segmentasi pasar global.6

The Noddle-Bowl Effect Perkembangan integrasi ekonomi Asia Tenggara dan Asia Timur sebagai the new emerging markettidak hanya dilandasi oleh potensi alamiahnya semata, namun juga diperkuat dengan kebijakan-kebijakan integrasi. Dari berbagai pengaturan kebijakan tersebut, Free Trade Agreement (FTA) memegang peranan penting dalam desain arsitektur integrasi ekonomi melalui intensifikasi pasar perdagangan. Tatanan kebijakan perdagangan ini dimulai pada awal 1990 dengan tergabungnya sebagian besar negara-negara di Asia Tengara dan Asia Timur dalam kerangka kerjasama global WTO dan kerangka transregional melalui keterlibatan dalam APEC. Setelah melalui kedua kerangka tersebut, baru kemudian kerangka regional dan bilateral seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN China Free Trade Area (ACFTA), ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA), Korea-ASEAN Free Trade Area (KAFTA), Comprehensive Economic Partnership in East Asia (CEPEA), East Asian Free Trade Agreement (EAFTA), Economic Partnership Agreement (EPA) terinisiasi dengan jalinan yang berbeda-beda. Perkembangan dari jalinan integrasi ekonomi melalui perdagangan sampai pada fase yangsignifikan dengan berkembangnya
5 Regional Comprehensive Economic Partnership Negotiation, diakses dalam http://www.dfat. gov.au/fta/rcep/ 6 Sanchita Basu Das, RCEP and TPP: Comparisons and Concerns dalam ISEAS Perspectives, (2013), hlm. 2.

56

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

AEC 2015

pengaturan-pengaturan ini. Pada tahun 2000, hanya terdapat tiga FTA yang secara resmi disepakati. Di tahun 2008, telah terdapat 41 FTA yang disepakati, 38 FTA dalam negosiasi, dan 29 proposal FTA sedang diusulkan. Dengan demikian, Asia Tenggara dan Asia Timur merupakan garda terdepan dalam perkembangan rezim perdagangan dengan total pengaturan sebanyak 108 FTA.7 Kehadiran wacana mengenai terbentuknya Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) dengan mempertimbangkan trend di atas kemudian sekilas nampak hadir sebagai sesuatu yang lazim. Namun, apa yang terjadi dalam wacana pembentukan RCEP sesungguhnya membawa cara pandang baru terhadap berbagai macam FTA yang melibatkan Asia Tenggara dan Asia Timur. Cara pandang baru ini adalah upaya untuk menyatukan berbagai FTA kunci ke dalam satu framework yang mencakup rencana pembentukan blok dagang terbesar transregional yang melibatkan ASEAN+6 (China, Jepang, Korea, India, Australia, New Zealand). Tinjauan terhadap efektivitas FTA dan situasi internal di dalam regional (tinjauan kondisi faktual) menjadi faktor penting yang dapat memberikan masukan terhadap diambilnya langkah mengintegrasikan FTA-FTA yang ada menjadi suatu framework kesepakatan yang komprehensif sebagai output kebijakan yang memiliki kemungkinan tinggi. Salah satu argumen yang mendasari wacana pembentukan RCEP dari sudut pandang keadaan ekonomi intraregional adalah karena adanya keinginan untuk menambahkan nilai efektivitas FTA-FTA yang ada dengan memberikan mekanisme koordinasi sehingga mencapai tingkatan cost-efficiency yang efisien. Hal ini terutama menjadi penting karena jalinan FTA-FTA yang saat ini ada menyebabkan apa yang disebut dengan noodle bowl effect8 berupa ketumpangtindihan pengaturan satu sama lain sehingga turut menyumbang terhadap adanya derajat inefisiensi. Salah satu bagian dari keadaan faktual yang menyebabkan adanya derajat inefisiensi antara lain adalah karena adanya keberadaan berbagai macam prosedur dan pengaturan dasar/ rules of origin (ROO) yang berbeda dan tumpangtindih antara satu dan lainnya. Terutama pada bidang manufaktur, ROO dalam FTA di Asia Timur mencakup pengaturan pada Harmonized System (HS) untuk mengubah klasifikasi tarif, adanya pengaturan Value Content (VC) untuk menyamakan nilai produk setara dengan nilai minimal VC lokal, dan adanya peraturan Specific Process (SP) yang mengatur mengenai adanya persyaratan atas suatu proses tertentu dalam pembuatan suatu item. Bidang tekstil dan garmen misalnya, banyak terimbas dengan adanya perbedaan mekanisme SP yang ada sehingga memberi7 Asia Development Bank Free Trade Agreement Database 2008, Asia Regional Integration Center, diakses pada http://www.aric.adb.org 8 Jayant Menon, Dealing with Proliferation of Trade Agreements dalam Asian Development Bank Discussion Paper, No. 60, (2008), hlm. 2.

57

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

AEC 2015

kan biaya inefisiensi pada sistem pengaturan FTA secara integral.9 Perbedaan-perbedaan ROO ini antara lain dapat dijumpai pada pengaturan dalam ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), ASEAN-Korea Free Trade Area, serta dalam pengaturan-pengaturan bilateral pada Japan-Malaysia EPA, SingaporeAustralia FTA, dan Thailand-Australia FTA yang saling berbeda dan tumpangtindih. Pengaturan dalam ACFTA misalnya, mensyaratkan adanya nilai minimal VC sebesar 40% pada HS 87.03 sementara pada AKFTA mensyaratkan minimal 45% VC pada tingkat HS yang sama.10 Bahkan hal ini menjadi lebih redundan dengan diberlakukannya opsi antara pemilihan ROO VC atau ROO SP pada produk garmen. Dalam kasus ini, kita mendapati bahwa sementara di dalam FTA terdapat pengaturan yang berbeda-beda atas suatu poin tertentu dalam ROO, ROO ini juga menerapkan pengaturan lain. Kasus yang sama juga terjadi pada pengaturan Japan-Malaysia EPA dan Singapore-Australia FTA beserta Thailand-Australia FTA. ROO pada Japan Malaysia EPA menerapkan VC 40% untuk tingkat HS 87.03 sementara pada Singapore-Australia FTA dan Thailand-Australia FTA berlaku nilai VC sebesar 60% pada tingkat HS yang sama.11 Adanya noodle bowl effect ini mengakibatkan terjadinya kenaikan biaya administrasi. Kalkulasi yang dilakukan oleh Manchin dan Pelkman-Balaoing melalui model gravitasi menunjukkan bahwa efek tumpangtindih ini dapat memungkinkan berakibat pada kenaikan biaya administrasi hingga lebih dari 25%.12 Dengan visi wacana RCEP, maka cross-regime linkages dalam hal ini diperkuat efektivitasnya dengan menambah nilai guna rezim melalui pengaturan biaya yang lebih efisien (cost-efficiency). Lebih lanjut, efektivitas rezim perdagangan di Asia Tenggara dan Asia Timur berusaha ditingkatkan dengan tetap menjaga iklim kompetisi yang diproyeksikan terjadi melalui skema utilitarianisme yang mengatur kompetisi di antara negara-negara yang terlibat dengan memposisikan diri sebagai rezim perdagangan yang fleksibel dan mencakup komoditas-komoditas yang dapat terjangkau oleh negara-negara berkembang. Mekanisme yang diterapkan pada RCEP juga mengakomodasi skema semacam gradual liberalization untuk menjaga daya saing dan konsolidasi internal. Melihat kondisi faktual yang terjadi, maka trajektori menuju arah peningkatan efektivitas rezim perdagangan regional menjadi bagian yang tidak terelakkan
9 Kawai dan Wignaraja, Op. Cit, hlm. 127. 10 Rules of Origin for ASEAN-China Free Trade Area, diakses dalam http://www.dti.gov.ph/ uploads/DownloadableForms/(BITR)ACFTAroo_20Oct10.pdf; ASEAN-Korea Free Trade Agreement, diakses dalam http://www.mfea.org.my/Data/Sites/1/link/Announcement4/Akfta.pdf 11 Paul Gretton dan Jyothi Gali, The Restrictiveness of Rules of Origin in Preferential Trade Agreement dalam Productivity Commission, (2005); Agreement between the Goverment of Japan and the Goverment of Malaysia for an Economic Partnership, diakses dalam http://www.mofa.go.jp/region/asiapaci/malaysia/epa/content.pdf; Thailand-Australia Free Trade Agreement, diakses dalam http://www. thaifta.com/english/fa_thau.pdf 12 Kawai dan Wignaraja, Loc. Cit.

58

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

AEC 2015

dalam kerangka kerjasama ekonomi. Wacana pembentukan RCEP dengan cakupan dan visi framework pengaturannya yang baru menjadi output yang sangat dimungkinkan terjadi sebagai refleksi atas keadaan faktual tersebut.

Trans-Pacific Economic Partnership Sementara perkembangan framework kerjasama ekonomi transregional dalam RCEP mensyaratkan adanya implikasi logis dari sebuah tahapan evolusi kerjasama ekonomi antar regional, Trans-Pacific Partnership (TPP) mengindikasikan dimensi lain kerjasama ekonomi di Asia Tenggara yang turut diliputi oleh suatu visi politik dan utamanya sebagaimana telah disebutkan di atas, Asia Tenggara sebagai gelanggang (backdrop) bagi persaingan great powers. Trans-Pacific Partnership (TPP) sendiri merupakan suatu framework yang digagas pada tahun 2009 oleh Amerika Serikat setelah sebelumnya mengambil bentuk sebagai Trans-Pacific Strategic Economic Partnership (TPSEP) yang terbentuk di tahun 2005 atas prakarsa Selandia Baru, Chili, Singapura, dan Brunei Darussalam. Pada tahun 2010, Malaysia tergabung secara resmi sebagai bagian dari TPP disusul dengan bergabungnya Vietnam di tahun 2011. Sementara beberapa negara seperti Jepang, Meksiko, dan Kanada masih dalam kemungkinan untuk turut bergabung. Pembentukan TPP tersebut tidak lepas dari bayang-bayang konteks persaingan yang terjadi antara status quo power dengan emerging power, yakni Amerika Serikat dan China. Backdrop dari jargon-jargon semacam US rebalancing13 atau strategic pivot tidak lepas mewarnai dinamika prospek persaingan yang terjadi antara TPP dan RCEP.14 Pertumbuhan ekonomi China yang terutama di dorong oleh penguasaan pada pasar Asia yang merupakan natural sphere of influence-nya memberikan stimulus tersendiri untuk membagi segmentasi pasar ini melalui mekanisme perdagangan yang lebih intensif yang dicanangkan oleh adanya pembentukan TPP. Indikasi atas adanya TPP sebagai instrumen geopolitik kemungkinan dapat dilihat dari pola prioritas pemilihan anggota terlibat di dalamnya yang merupakan mitra aliansi tradisional Amerika Serikat.15Melihat TPP sebagai instrumen Amerika Serikat untuk masuk ke dalam kawasan Asia Pasifik juga dapat diidentifikasi dari bagaimana TPP digagas bersamaan dengan sesaat setelah dideklarasikannya US strategic rebalancing ke kawasan Asia Pasifik.Dari apa yang dilakukan Amerika Serikat dalam TPP, TPP semata tidak murni merupakan langkah untuk
13 Peter Petri dan Michael Plummer, The Trans-Pacific Partnership and Asia Pacific Integration: Policy Implications dalam Peterson Institute for International Economic Policy Brief, (2012), hlm. 2. 14 15 Wen Jin Yuan, The Trans-Pacific Partnership and Chinas Corresponding Strategy dalam Freeman Briefing Report, (2012) , hlm. 4.

59

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

AEC 2015

menghalangi China, melainkan menjadi instrumen dalam membatasi China. Wacana pembentukan RCEP dari sudut pandang negara-negara ASEAN yang memprakarsainya tidak lepas pula oleh persepsi atas pembatasan pasar Asia Timur oleh keberadaan TPP. Sementara TPP menargetkan perdagangan komoditas dengan standar tinggi yang meliputi skema pengelolaan lingkungan dan perdagangan hak kekayaan intelektual (intellectual properties), RCEP menawarkan fleksibilitas pasar melalui pengaturan komoditas perdagangan yang memiliki kualifikasi memungkinkan bagi negara-negara berkembang yang disertai dengan skema gradual liberalization dan special treatment. Tergabungnya China dalam wacana pembentukan blok perdagangan RCEP merupakan bentuk bandwagoning negaranegara berkembang di Asia Tenggara dan Asia Timur terhadap kemungkinan efek TPP terhadap perekonomian regional.

Pada Persimpangan Jalan: ASEAN Economic Community dan Konsolidasi Kawasan Munculnya wacana-wacana atas dibentuknya RCEP dan TPP yang dimungkinkan membelah tatanan ekonomi regional di Asia Tenggara merupakan suatu tantangan potensial bagi konsolidasi kawasan. Dalam konteks ini, permasalahan klasik ASEAN yang senantiasa dihadapkan dengan problematika institution rivalryterhadap inisiasi-inisiasi asing menjadi mencuat kembali terutama menyangkut masa depan ekonomi Asia Tenggara. Tantangan bagi ASEAN terutama adalah untuk menyamakan visi ekonomi dan melakukan resonansi bersama bagi konsolidasi ekonomi kawasan. Untuk menuju ke arah tersebut bukan merupakan suatu langkah mudah mengingat kontur ekonomi ASEAN terbentang dalam interval continuum yang teramat bervariasi. Bagi beberapa negara dalam ASEAN, untuk mewujudkan pandangan ini adalah berarti memundurkan kembali tahapan pembangunan ekonomi agar mampu menyesuaikan terhadap kepentingan anggota lain. Bukan tidak mungkin jika kemungkinan atas hal ini adalah adanya inkompatibilitas arsitektur ekonomi regional yang menyebabkan beberapa negara cenderung untuk lebih turut serta dalam pengaturan perdagangan asing yang berasal dari luar kawasan dan dengan demikian berkemungkinan membuat noodle-bowl effect dalam rencana implementasi ASEAN Economic Community atau dalam spektrum yang paling ekstrem, justru dapat memungkinkan bagi adanya persaingan dagangyang kurang kondusif dalam lingkup intraregional ASEAN. Di kemudian hari, dampak atas adanya berbagai blok ekonomi di Asia Tenggara terutama akan mengakibatkan adanya kompetisi intra-kawasan. Negara-negara yang telah memiliki kesiapan dan bergabung 60

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

AEC 2015

dengan pengaturan blok dagang dengan kualifikasi tinggi tentu dengan demikian dimungkinkan menguasai pasar Asia Tenggara sementara negara-negara dengan kapasitas ekonomi yang cenderung lemah di kawasan cenderung terbenturkan pada suatu dilema untuk melakukan liberalisasi pasar dengan kemungkinan kerugian atau berjalan dengan resiko kekurangan pasar secara signifikan.

61

ASEAN SOCIO CULTURAL COMMUNITY

62

Source: teachforrecruiting.com, birpils.com

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

ASCC 2015

The Transformation of Private Sector Towards Gold Indonesia :


The Establishment of CSR Supervisory Board In 2015 Free Market ASEAN, Is it Essentially Needed?

Gregorius Rinaldo Perdana

Abstract Indonesia has been considered as a very attractive place to invest for global investors. The strength of its economy which is reflected through increased economic growth continues to be evidence that Indonesia deserves respected, especially in the face of free market ASEAN in 2015. However, the author has found that there are still many misappropriate treatments in business sector. According to the blueprint of ASCC (ASEAN Socio-Cultural Community), every country of ASEAN has to enhance its role in emphasizing the importance social responsibility among private sector parties. Author gives an idea about establishing CSR (Corporate Social Responsibility) Supervisory Board in Indonesia. Hopefully, the CSR Supervisory Board can become the trigger for sustainable growth in Indonesia and make Indonesia ready to challenge towards 2015 free market ASEAN. Keywords : CSR, Board Indonesia, ASEAN, ASCC,

63

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

ASCC 2015

ASSC dan Tanggung Jawab Sosial Komunitas Sosial-Budaya ASEAN dibentuk dengan tujuan untuk memberikan kontribusi dalam rangka mewujudkan komunitas ASEAN yang berorientasi pada kepentingan bersama dan bertanggung jawab secara sosial dengan maksud untuk mencapai solidaritas dan persatuan abadi antara bangsa-bangsa dan negara-negara anggota ASEAN. ASCC Blueprint merupakan dimensi kerja sama ASEAN dan komitmen ASEAN untuk mengatasi menjunjung tinggi aspirasi tiap negara ASEAN untuk mengangkat kualitas hidup masyarakatnya. Tujuan dari ASCC tersebut dapat direalisasi dengan menerapkan tindakan nyata dan produktif yang berpusat pada rakyat dan tanggung jawab sosial.

CSR di Mata ASEAN Perilaku perusahaan yang tidak bertanggung jawab bukan masalah kecil yang dapat diselesaikan secara mandiri oleh suatu negara, namun suatu komunitas seperti ASEAN tentunya perlu bahu-membahu membasmi praktik bisnis yang merugikan masyarakat. Sudah tak terhitung banyaknya pelanggaran yang terjadi seperti di Burma, Cambodia, Indonesia, Malaysia and Thailand berupa pembunuhan, kerja paksa dan penggusuran yang terjadi karena berbagai proyek yang dijalankan oleh perusahaan dalam dan luar negeri. Dalam Regional Workshop on Corporate Social Responsibility (CSR) yang diadakan di Bangkok pada tanggal 19 September 2011, telah terlihat bagaimana antusiasme perwakilan negara anggota ASEAN dalam membahas pengembangan kegiatan CSR di negara ASEAN dimana tujuan utamanya adalah untuk mempromosikan dan mendukung partisipasi sektor bisnis dalam CSR. Dalam pertemuan itu, telah disimpulkan juga bahwa praktik CSR yang benar-benar bertanggung jawab adalah praktik CSR yang memberikan kontribusi kepada masyarakat dan mengintegrasikan praktek-praktek bisnis sebagai langkah kepedulian dari suatu korporasi untuk kemajuan masyarakat suatu negara. ASEAN memerlukan langkah proaktif dari tiap negara anggotanya untuk mewujudkan iklim bisnis yang bertanggungjawab dan berkelanjutan. Oleh karena itu, saya berkeinginan memberikan sedikit ide mengenai pembangunan Badan Pengawas CSR yang dapat diterapkan di Indonesia dan nantinya badan ini akan menjadi pioner bagi negara ASEAN lainnya dalam membuat badan serupa, atau paling mendorong negara ASEAN lainnya untuk dapat meningkatkan kualitas dan mutu dari CSR yang diberikan oleh perusahaan. Berkaca dari apa yang dilakukan oleh Singapura, CSR di sana masuk dalam program pembangunan telah diatur oleh 64

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

ASCC 2015

pemerintahnya. Sedangkan di Indonesia, belum adanya master plan pengembangan CSR perusahaan-perusahaan menjadi kendala utama

Potret Tanggung Jawab Sosial Sektor Privat di Indonesia Kita dapat merefleksikan bersama bahwa dari tiga pilar yang akan membentuk komunitas ASEAN pada tahun 2015, tampaknya pilar sosial-budaya dipandang sebelah mata dibandingkan dengan pilar politik-keamanan atau pilar ekonomi. Namun dari kacamata saya, pilar yang dianak-tirikan ini sebenarnya mengandung aspek-aspek dasar yang secara esensial menjadi pegangan bangsa dalam berkewarganegaraan. Salah satu hal menarik yang akan saya bahas disini adalah perlunya mekanisme CSR (Corporate Social Responsibility) yang terintegrasi di antara anggota-anggota ASEAN. Dalam pilar sosial-budaya, ASEAN sendiri menyadari hal ini dengan membuat blueprint untuk pengembangan dan pembaharuan model tanggung jawab sosial bagi perusahaan-perusahaan yang beroperasi di negara ASEAN. Namun bagaimana dengan Indonesia sendiri? Sudahkah iklim bisnis di Indonesia sehat secara sosial? Dari data yang penulis himpun, statistik Komnas HAM menunjukkan bahwa 1.009 dari 5422 kasus HAM yang ditangani pada periode Januari hingga November 2012 adalah keluhan terhadap bisnis di daerah seperti persengketaan tanah, persengketaan pemilik perusahaan dengan tenaga kerja, penggusuran paksa, dan perusakan lingkungan. Ironis bukan? Berbicara soal kemajuan ekonomi, siapa yang tidak terkesan dengan kemajuan ekonomi Indonesia. Setidaknya kita perlu berbangga karena negara kita sudah didengung-dengungkan sebagai calon macan asia yang siap bangkit kembali. Betapa fantastisnya pertumbuhan ekonomi negara kita, perlu diketahui bahwa sejak tahun 2007 hingga kini, pertumbuhan Indonesia tidak pernah menyentuh angka di bawah enam persen. Namun hendaknya kita tidak boleh menutup mata mengenai ketidakseimbangan yang terjadi di negara kita. Kekuatan ekonomi yang meningkat secara signifikan tanpa disertai tanggung jawab sosial hanyalah bagaikan seorang atlet yang menggunakan dopping dan pastinya secara tidak sadar dia membunuh dirinya sendiri perlahan-lahan. Selain itu pula, tentu banyak dari kita yang tidak asing dengan suatu pepatah yang kaya menjadi semakin kaya, yang miskin menjadi makin miskin. Sebagai negara besar dengan produk domestik bruto (GDP) 20 besar dunia, Indonesia menjadi negara yang diperhitungkan di kancah ekonomi Internasional. Indonesia juga diramalkan bakal menjadi raksasa ekonomi dunia di masa depan. Namun, jauh dari predikat memuaskan, kinerja Indonesia di bidang yang paling dasar yaitu 65

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

ASCC 2015

menanggulangi masalah kelaparan, ternyata paling buruk di Asia Tenggara. Data Global Hunger Index atau Indeks Kelaparan Global (IKG) menyebutkan, dalam sembilan tahun terakhir, Indonesia tidak mengalami perbaikan berarti. Pada kurun waktu 2003-2012, IKG Indonesia hanya turun dari 12,47 menjadi 12. Perlu diketahui bahwa skala IKG adalah sebagai berikut: kelaparan rendah (IKG < 4,9), kelaparan sedang (IKG 5-9,9), kelaparan serius (IKG 10-19,9), kelaparan kritis (IKG 20-29,9), dan kelaparan sangat kritis (IKG > 30). IKG Indonesia yang bernilai 12 tentu menjadi ancaman bagi generasi mendatang apabila kesenjangan ekonomi tetap dijunjung tinggi di negara kita. Sungguh kita tidak pantas bergembira setelah melihat potret fenomena ekonomi yang terjadi di negara kita. Pertumbuhan ekonomi yang digemborkan selama ini seolah hanyalah refleksi dari peningkatan kekayaan segelintir orang yang tidak berdampak secara menyeluruh terhadap kehidupan seluruh golongan masyarakat. Kesenjangan ekonomi yang semakin parah dan munculnya orang-orang kaya baru merupakan gambaran bahwa peran sektor privat yang merupakan tempat konglomerat menghasilkan uang belum berperan dalam meningkatkan dan membangun kehidupan ekonomi bangsa Indonesia. Kondisi seperti inilah yang menjadi cerminan dan pukulan bagi negara kita untuk lebih sadar dan tanggap dalam mengatasi minimnya peran sektor swasta dalam membangun bangsa.

Pentingnya Peran CSR di Indonesia Demi terciptanya good governance dan sebagai upaya pemberantasan kemiskinan serta pemerataan ekonomi, diperlukan kerjasama dari berbagai elemen masyarakat. Bukan hanya pemerintah yang harus berandil besar, melainkan juga sektor privat dan masyarakat sendiri mempunyai kewajiban yang sama. Sektor privat memainkan peran vital karena sebagian besar kehidupan masyarakat tergantung dari sana, tidak hanya soal lapangan kerja yang disediakan oleh sektor privat, kehidupan masyarakat juga tergantung bagaimana cara perusahaan beroperasi tanpa menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi yang negatif. Peran CSR semakin penting dalam mendorong semakin luasnya tanggung jawab sosial korporat bagi terciptanya keseimbangan dan kesinambungan pembangunan baik dari sisi ekonomi, sosial maupun lingkungan. Kesenjangan dan kemiskinan yang merupakan masalah sistemik di negara kita sedikit demi sedikit bisa terkikis oleh aksi-aksi CSR yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan. Pemberdayaan masyarakat merupakan hal yang harus ditekankan dalam setiap kegiatan CSR. Pemberdayaan masyarakat tersebut secara tidak langsung akan berkontribusi terhadap pengurangan angka kemiskinan. Ban66

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

ASCC 2015

tuan beasiswa, bantuan modal atau pendanaan terhadap usaha mikro, pendampingan usaha, penanaman pohon, kegiatan kampanye pro lingkungan, pelatihanpelatihan leadership, bantuan kesehatan, dan berbagai hal lainnya telah dilakukan oleh beberapa perusahaan Indonesia sebagai kegiatan CSR dalam rangka meningkatkan derajat bangsa Indonesia.

CSR, Suatu Kewajibankah? CSR saat ini sudah ditegaskan dalam UU. Terdapat 2 UU yang menekankan eksistensi CSR yakni UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) pasal 74 dan UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal pasal 15,17 dan 34. Pada poin ini, kita tidak hanya bisa bersandar pada undang-undang semata. Pikirkan bagaimana besarnya dampak dan manfaat yang berasal dari kegiatan CSR. Sebenarnya jika dipikir lebih dalam, semua perusahaan sewajarnya dan seharusnya melakukan kegiatan CSR tanpa terikat karena keharusan regulasi. Perusahaan yang ideal merupakan perusahaan yang melakukan CSR namun tidak berharap pamrih dan mengharapkan kepopuleran, namun sebaliknya yaitu secara sadar percaya bahwa tanggung jawab sosial yang murni dijalankan untuk kepentingan masyarakat secara tidak langsung tentu mendukung keberlangsungan perusahaan tersebut. Tentunya tidak ada kata diskriminasi bagi perusahaan seperti apakah yang wajib menjalankan CSR. Perusahaan besar tentunya memiliki laba yang cukup untuk merancang dan menjalankan program CSR yang sifatnya luas dan berskala masif bagi masyarakat, sedangkan perusahaan kecil ataupun berkembang pun sebaiknya melakukan CSR dengan memberikan program yang tidak memerlukan dana besar namun sekiranya program tersebut mempunyai nilai sehingga masyarakat respek, seperti program pembelajaran terhadap anak-anak jalanan atau penyuluhan mengenai bagaimana berbisnis secara kreatif. Perlunya Badan Pengawas Kegiatan CSR Peran privat yang sangat besar seperti yang tertulis di poin sebelumnya menunjukkan bahwa sekarang saatnyalah bagi sektor privat untuk menunjukkan kapabilitas dan kepeduliannya terhadap kondisi perekonomian bangsa Indonesia saat ini. Penulis merasa bahwa peran pemerintah masih sangat minim untuk menyadarkan perusahaan-perusahaan Indonesia dalam rangka melakukan CSR dengan kesadaran dan niat membangun bangsa Indonesia. Pemberdayaan sektor privat untuk melakukan nilai tambah bagi tingkat kelayakan hidup bangsa Indonesia belum dimanfaatkan secara maksimal sehingga penulis merasa bahwa Indonesia memerlukan sebuah badan pengawas CSR yang bertugas mengawasi jalannya CSR yang 67

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

ASCC 2015

diterapkan perusahaan-perusahaan Indonesia. Sesuai dengan semangat ASEAN bahwa di era pasar bebas 2015 tentunya tidak ada hambatan di antara negara ASEAN dalam aliran dana, barang, tenaga kerja, informasi, serta banyak hal lainnya. Tentunya Badan Pengawas CSR ini dibuat berdasarkan semangat menjaga kepercayaan iklim bisnis Indonesia di mata internasional khususnya di mata negara-negara ASEAN sehingga dapat mempromosikan Indonesia sebagai negara yang menguntungkan, namun mandiri dan juga bertanggungjawab secara sosial Penulis mempunyai ide bahwa Badan Pengawas ini merupakan badan bentukan pemerintah dan bertugas melakukan publikasi dan kampanye mengenai pentingnya CSR, pendataan perusahaan, perencanaan dan konsultasi bagi perusahaan-perusahaan, pengawasan serta evaluasi terhadap program-program CSR yang dijalankan perusahaan. Badan Pengawas ini hendaknya memiliki peraturan tertulis yang wajib dipatuhi oleh perusahaan yang terdaftar di dalam daftar Badan Pengawas. Badan Pengawas tidak hanya terbatas hanya mempekerjakan pakar CSR, namun dapat mempekerjakan pakar industri, pakar finansial, pakar keuangan, dan berbagai tenaga ahli demi menunjang maksimalnya performanya Badan Pengawas dalam melakukan harmonisasi peran sektor privat yang akan dibangkitkan. Di sini penulis akan menjabarkan fungsi-fungsi inti yang perlu diterapkan oleh badan pengawas tersebut: 1. Publication and Persuasive Action of Implementing CSR Programs Di sini badan pengawas CSR perlu memberikan sebuah propaganda mengenai betapa pentingnya CSR dalam mempertahankan keberlanjutan suatu usaha ke depannya serta meningkatkan kehidupan masyarakat. Pendekatan dan brainstorming ke para pimpinan dan pemilik perusahaan merupakan cara yang dapat diimplementasikan. Kesadaran dan kepedulian para pimpinan perusahaan terhadap kondisi ekonomi Indonesia merupakan hal awal yang perlu dibangkitkan untuk melakukan implementasi CSR secara tulus dan total. Selain itu, Badan Pengawas ini juga melakukan pendataan mengenai perusahaan-perusahaan mana yang seharusnya mampu untuk melakukan CSR. Perusahaan-perusahaan yang terdata tersebut diberikan suatu sosialisasi agar mau menerapkan CSR nya secara tepat guna dan berdampak positif bagi pemberdayaan masyarakat.

68

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

ASCC 2015

2.

Planning and Designing of CSR Programs Perusahaan-perusahaan yang terdata tersebut diberikan kesempatan untuk berkonsultasi terhadap pakar-pakar yang dimiliki oleh Badan Pengawas tersebut. Perencanaan mengenai desain proyek CSR tiap perusahaan dapat berbeda satu sama lain. Hal tersebut bergantung pada berbagai aspek dan tidak ada suatu patokan khusus mengenai jenis-jenis dari proyek CSR yang dilaksanakan perusahaan. Perusahaan-perusahaan yang melakukan CSR hanya untuk meningkatkan nama baik dan pencitraan semata demi mendongkrak laba merupakan contoh perusahaan yang perlu diberi peringatan dan didorong untuk merubah mindset sehingga nantinya dapat menghasilkan CSR yang lebih berdaya guna dan tepat sasaran. Kasus lain misalnya yaitu perusahaan seharusnya bisa mengurangi dampak negatif dari operasi suatu perusahaan, seperti kegiatan CSR untuk melakukan penghijauan terhadap perusahaan tambang dan perkebunan yang melakukan eksploitasi alam. Namun fakta berbicara berbeda, di era sekarang ini, sebagai contoh : jika kita menelisik pada perusahaan-perusahaan rokok di Indonesia, kita dapat melihat bahwa sebagian besar proyek CSR perusahaanperusahaan rokok Indonesia hanya untuk sarana promosi melalui berbagai program beasiswa dan berbagai jenis kegiatan lainnya yang terlihat begitu impresif. Tentu hal ini tidak sesuai dengan dampak negative yang ditimbulkan oleh produk rokok. Tidak tampak sama sekali peran aktif dari perusahaanperusahaan rokok untuk memberikan atau setidaknya mengurangi dampak bahaya dari rokok seperti melakukan pembiayaan untuk sosialisasi ataupun pendanaan untuk kegiatan Yayasan Paru-Paru Indonesia. Hal seperti inilah yang menjadi tugas Badan Pengawas untuk memberi peringatan terhadap perusahaan yang berlaku seperti itu. Di sinilah peran signifikan dari Badan Pengawas untuk membantu perancangan program-program CSR yang jelas dengan batasan yang tegas mengenai bagian-bagian mana yang harus, dianjurkan, dan tidak diperbolehkan dalam menjalankan suatu program CSR.

3.

Monitoring and Evaluation of CSR Programs Pengawasan dan evaluasi merupakan bagian esensial yang tidak boleh dilakukan secara sembarangan oleh Badan Pengawas. Badan Pengawas secara berkala maupun secara insidentil dapat melakukan observasi terhadap program-program CSR yang dilakukan perusahaan. Apabila ada perusahaan yang melakukan kegiatan CSR di luar perencanaan ataupun tidak sesuai dengan peraturan yang janji untuk dipatuhi, maka Badan Pengawas CSR berhak 69

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

ASCC 2015

memperingati atau bahkan memberikan sanksi ataupun denda terhadap perusahaan tersebut. Pemeriksaan mengenai kebenaran penggunaan dana dan penyusunan anggaran CSR juga merupakan salah satu agenda bagi Badan Pengawas. 4. Communication and Reporting of CSR Programs Di era modern ini, pelaporan yang dibutuhkan masyarakat tidak hanya laporan yang dilihat dari sisi keuangan saja melalui financial reporting, namun masyarakat juga mengamati bagaimana keberadaan suatu perusahaan memberikan dampak yang positif bagi kehidupan sosial masyarakat. Pembuatan Sustainability Reporting yang akhir-akhir ini sering dibahas dalam berbagai forum ekonomi seolah menjadi kebutuhan mutlak bagi perusahaan, terutama perusahaan-perusahaan besar untuk melaporkan performa perusahaan dalam menghasilkan suatu iklim bisnis yang sustainable bagi generasi mendatang. Badan Pengawas dapat membantu perusahaan dalam menyusun dan mendesain serta menentukan patokan-patokan umum mengenai penyusunan Sustainability Reporting agar mudah tersampaikan dan dapat dipahami oleh masyarakat luas.

Sinergisitas Masyarakat, Perusahaan, dan Pemerintah Dalam Mendukung Badan Pengawas Pembentukan Badan Pengawas tidak akan berjalan secara lancar apabila tidak adanya dukungan dari masyarakat, perusahaan, serta sokongan dari pemerintah. Continous Improvement merupakan suatu paradigma wajib yang perlu dimaknai untuk meningkatkan kinerja badan pengawas tersebut. Hal tersebut bisa dilakukan pemerintah dengan melakukan observasi terhadap kepuasan masyarakat dan perusahaan mengenai kinerja Badan Pengawas tersebut. Pemerintah juga dituntut memberikan fasilitas bagi pekerja Badan Pengawas untuk mengikuti pelatihan, studi banding, diklat dan berbagai hal yang sekiranya dapat meningkatkan kapabilitas dari pekerja Badan Pengawas. Peran masyarakat sebagai Whistle Blower sangat diperlukan demi mendukung performa dari Badan Pengawas. Masyarakat diwajibkan terbuka untuk melapor terhadap Badan Pengawas apabila masih ada praktik-praktik CSR yang sekiranya belum tepat sasaran dan belum dilaksanakan secara maksimal oleh perusahaan serta melaporkan perusahaan-perusahaan yang mampu untuk melakukan CSR namun belum mempunyai proyek CSR untuk dilaksanakan. 70

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

ASCC 2015

Harapan Atas Dibuatnya Karya Tulis Ini Kemajuan ekonomi yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dan hapusnya kesenjangan ekonomi merupakan suatu impian masyarakat Indonesia. Semoga karya tulis ini dapat memberikan secercah harapan bagi kita untuk tidak putus asa bagi kita dalam mencapai cita-cita mulia bangsa kita tersebut. Bagi negara-negara ASEAN sendiri tentu hal ini dapat menjadi role model dalam menghadapi era pasar bebas, tentunya apabila Indonesia mempunyai praktik yang bagus dalam model penerapan dalam pengawasan di bidang CSR seperti yang telah saya kaji. Bagi pemerintah, karya tulis ini diharapkan memberikan inspirasi untuk membentuk Badan Pengawas dan lebih peduli terhadap pemaksimalan pengembangan potensi masyarakat melalui program CSR yang dinahkodai sektor privat. Bagi sektor swasta, diharapkan timbul rasa peduli dan rasa peka untuk turut aktif membangun bangsa tanpa pamrih lewat sarana proyek-proyek CSR yang mengena dan bermanfaat. Bagi masyarakat, diharapkan lebih aktif dalam menjadi Whistle Blower untuk mengawasi kebertanggungjawaban praktik usaha dan jalannya praktik CSR yang dilakukan oleh sektor privat.

71

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

ISAFIS Program

Jakarta Model United Nations (JMUN)

Each year, since 2011, hundreds of aspiring students come from different parts of the globe to participate in Jakarta Model United Nations (JMUN). Unlike any other MUN in Indonesia, JMUN offers more than fruitful committee sessions. Delegates also can participate in super fun activities like social nights, flash mob, and gala dinner.

SISBAC
To develop the capacity of its member, ISAFIS holds SISBAC every month. In this program members gain access to visit international bodies/ embassies/ NGOs and learn the way they do their works.

72

JURNALISAFIS
Kumpulan T ulisan Inspiratif dari Anak Bangsa

ISAFIS Program

Biweekly Discussion
As a students think-tank organization, discussion is at the core of ISAFIS. Members are expected to follow the latest international issues and share their opinions on it in biweekly discussion. The activity is conducted by the academic team. As the output of the discussion, members are expected to write their thought in monthly newspaper managed by RnD team.

Indonesia International Week (IIW)


Around 30 international students are invited to join this short term cultural exchange program. During 2 weeks of stay, they travel three tourism cities in Indonesia (Jakarta, Yogyakarta, and Bali) and are being placed in local family.

73

isafis.org
Indonesian Student Association for International Studies

ISAFIS_Official Research and Development Indonesian Student Association for International Studies 2013 74

contact@isafis.org

You might also like