You are on page 1of 0

PAJAK TANGGUHAN

Copyright arranged by : Zee Creative


Disusun berdasarkan Artikel
terbitan www.auditme-post.blogspot.com





Dianjurkan untuk mereproduksi atau memperbanyak seluruh maupun
sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun
dengan izin dari penulis
























ZEE Creative
Malang 6100
Institut Akuntansi Facebook Indonesia
Edisi Ebook
Cetakan I: Juli 2009
ISBN: 999-99999-99-1











Karena Hak Cipta hanya Milik Tuhan





































Teruntuk :
Elok, Ryan dan Arum - sumber inspirasi dan semangat
Daftar Isi

1. Pajak Tangguhan 1
2. Pokok-Pokok Perubahan Psak 16 (Revisi 2007) Tentang Aset Tetap 6
3. Beda Syarat Penyusutan Aset Tetap Menurut Pajak Dan Akuntansi 10
4. Revaluasi Aset 14
- Memperkecil Beban Pajak Dengan Revaluasi 17
- Depreciated Replacement Cost Approach Sebagai Pendekatan
Alternatif Penentuan Nilai Wajar Aset Tetap
18
- Masa Transisi Penerapan Psak No. 16 (Revisi 2007) 19
5. Perlakuan Psak 40 Atas Revaluasi Aset Tetap Anak Perusahaan Serta
Implikasi Pajaknya
21
6. Pmk No. 79 Tahun 2008 Vs Psak 16 Revisi 2007 24
7. Penangguhan Beban Penyusutan 29
8. Bad Debt Expense : Perlakuan Pajak Tangguhan 32
9. Kompensasi Rugi Fiskal : Perlakuan Pajak Tangguhan 34
10. Penerapan Psak 15 Dan Psak 46 Atas Penyertaan Saham Perusahaan
Serta Efek Perpajakannya
37
11. Perubahan Tarif Pajak Berdasarkan Uu No. 36 Tahun 2008, Perhitungan
Pajak Tangguhan Harus Disesuaikan ?
39
12 Tentang Penulis 41


Pengantar

Walaupun Akuntansi Pajak Tangguhan Yang Diatur Dalam Psak No. 46 Sudah Berlaku Efektif
Sejak 1 Januari 2001 (Bagi Perusahaan Non-Public), Namun Tidak Bisa Dipungkiri Bahwa
Sampai Dengan Saat Ini Masih Ada Praktisi Akuntansi Yang Belum Familiar Dengan Psak
Tersebut.
Ebook Ini Disusun Dari Artikel-Artikel Yang Dimuat Di Www.Auditme-Post.Blogspot.Com Yang
Ditulis Oleh Hardi Cheng, Seorang Auditor Dari Kantor Akuntan Publik Johan Malonda Astika &
Rekan (An Independent Member Of Baker Tilly International) Cabang Medan.

Sebelumnya Saya Tidak Punya Gambaran Yang Utuh Tentang Pajak Tangguhan. Dari Membaca
Artikel Ini, Saya Jadi Lebih Mengerti Tentang Pajak Tangguhan. Agar Lebih Sistematis Saya
Berinisiatif Untuk Menyusun Artikel-Artikel Yang Berkaitan Dengan Pajak Tangguhan Dalam
Sebuah Ebook.

Penyusunan Ini Bukan Untuk Dikomersialkan, Tetapi Semata-Mata Untuk Berbagi Ilmu Dengan
Semua Rekan, Teman, Atau Siapapun Yang Berminat Dengan Akuntansi Dan Perpajakan Yang
Tergabung Dalam Institut Akuntansi Facebook Indonesia (Iafi) Khususnya Dan Masyarakat Pada
Umumnya.

Saya Ucapkan Terima Kasih yang Sebesar-Besarnya Atas Sumbangsih Pemikiran Penulis Artikel
Ini Untuk Kemajuan Pendidikan Akuntansi Di Indonesia.


Penyusun


1
PAJAK TANGGUHAN

Walaupun akuntansi Pajak Tangguhan yang diatur dalam PSAK No. 46 sudah berlaku efektif
sejak 1 Januari 2001 (bagi perusahaan non-public), namun tidak bisa dipungkiri bahwa sampai
dengan saat ini masih ada praktisi akuntansi yang belum familiar dengan PSAK tersebut.
Berikut ini sedikit gambaran terkait penerapan Akuntansi Pajak Tangguhan berdasarkan PSAK
No. 46 mengenai Pajak Penghasilan, yang saya kutip dari Indonesian Tax Review Vol. III/Edisi
36/2004.
Sebelum PSAK No. 46 diperkenalkan, orientasi yang dipergunakan oleh standar akuntansi dalam
Akuntansi Pajak Penghasilan lebih bersifat income statement liability approach, sementara
pendekatan yang dipergunakan dalam PSAK No. 46 bersifat balance sheet liability approach.
Tentunya, perbedaan orientasi tersebut menjadi kompleksitas baru bagi para akuntan, karena
literatur lama dalam Akuntansi Pajak Penghasilan masih banyak yang menggunakan income
statement liability approach. Akibatnya, perubahan pendekatan tersebut tentunya menuntut
perubahan pola berpikir para akuntan dalam memahami esensi utama dari pengimplementasian
PSAK No. 46.
Accounting for Future Tax Effect
Pajak tangguhan pada prinsipnya merupakan dampak PPh di masa yang akan datang yang
disebabkan oleh perbedaan temporer (waktu) antara perlakuan akuntansi dan perpajakan serta
kerugian fiskal yang masih dapat dikompensasikan di masa datang (tax loss carry forward) yang
perlu disajikan dalam laporan keuangan dalam suatu periode tertentu.
Dampak PPh di masa yang akan datang yang perlu diakui, dihitung, disajikan dan diungkapkan
dalam laporan keuangan, baik neraca maupun laba rugi. Suatu perusahaan bisa saja membayar
pajak lebih kecil saat ini, tapi sebenarnya memiliki potensi hutang pajak yang lebih besar di
masa datang. Atau sebaliknya, bisa saja perusahaan membayar pajak lebih besar saat ini, tetapi
sebenarnya memiliki potensi hutang pajak yang lebih kecil di masa datang.
Bila dampak pajak di masa datang tersebut tidak tersaji dalam neraca dan laba rugi, maka
laporan keuangan bisa saja menyesatkan pembacanya.


1
2
Kegiatan yang Dilakukan dalam Menentukan Pajak Tangguhan
Sama halnya dengan proses akuntansi lainnya, Akuntansi Pajak Tangguhan tidak terlepas dari
empat kegiatan berikut ini :
Pertama, pengakuan (recognition) yaitu standar yang mengatur bahwa dampak PPh atas
perbedaan temporer dan tax loss carry forward (TLCF) harus diakui dalam laporan keuangan.
Pengakuan ini menyiratkan bahwa perusahaan pelapor akan memulihkan nilai tercatat deferred
tax asset (DTA) dan akan melunasi nilai tercatat deferred tax liability (DTL) tersebut.
DTA atau DTL yang disebabkan oleh perbedaan temporer akan terpulihkan di masa datang
karena jumlah yang akan diakui sebagai biaya atau pendapatan akan sama antara akuntansi dan
pajak, hanya berbeda alokasi waktunya saja. Sedangkan DTA yang timbul dari TLCF akan
terpulihkan bila perusahaan menggunakan TLCF tersebut pada tahun di mana perusahaan
memperoleh laba fiskal. Bila TLCF tersebut tidak terpakai dan menjadi hangus, maka DTA yang
timbul harus disesuaikan.
Kedua, pengukuran (measurement) yaitu cara menghitung jumlah yang harus dibukukan dalam
buku besar perusahaan. Dalam hal ini pajak tangguhan akan dihitung dengan menggunakan tarif
yang berlaku atau efektif akan berlaku di masa yang akan datang.
Dalam praktek, biasanya pajak tangguhan dihitung dengan tarif PPh yang tertinggi yaitu sebesar
30%, meskipun tarif yang sebenarnya berlaku bersifat progresif. Lapisan tarif PPh sebesar 10%
dan 15% dianggap tidak terlalu material untuk diperhitungkan. Di samping itu, kedua lapisan
tarif PPh tersebut biasanya dipergunakan untuk menghitung pajak kini. Meskipun pajak
tangguhan berkaitan dengan dampak pajak di masa datang, namun dalam pengukurannya tidak
boleh didiskonto (discounted).
Ketiga, penyajian (presentation) yaitu standar yang menentukan cara penyajian di dalam laporan
keuangan, baik dalam neraca ataupun laba rugi. DTA atau DTL harus disajikan secara terpisah
dari Aset atau kewajiban pajak kini dan disajikan dalam unsur non current dalam neraca.
Sedangkan beban atau penghasilan pajak tangguhan harus disajikan terpisah dengan beban
pajak kini dalam laporan keuangan.
Keempat, pengungkapan (disclosure) yaitu berkaitan dengan standar informasi yang perlu
diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan. Misalnya unsur-unsur utama perbedaan
temporer yang menimbulkan pajak tangguhan, unsur-unsur yang dibebankan langsung ke laba
ditahan, perubahan tarif pajak dan sebagainya.

3
Perbedaan Temporer
Sesuai namanya, perbedaan temporer merupakan perbedaan perlakuan akuntansi dan perpajakan
yang sifatnya temporer. Artinya secara keseluruhan beban atau pendapatan akuntansi maupun
perpajakan sebenarnya sama, tetapi berbeda alokasi setiap tahunnya.
Perbedaan temporer bisa bersifat koreksi positif atau koreksi negatif. Koreksi positif adalah
koreksi yang menyebabkan penambahan laba fiskal yang akhirnya akan menambah PPh terutang.
Sedangkan koreksi negatif merupakan koreksi yang menyebabkan pengurangan laba fiskal
sehingga PPh terutang menjadi lebih kecil. Mengingat sifatnya yang temporer, maka koreksi
positif saat ini akan mengakibatkan perusahaan membayar pajak besar saat ini, tetapi akan
dikompensasi (dipulihkan) dengan penghematan PPh terutang karena koreksi negatif di masa
datang. Demikian sebaliknya.
Transaksi akuntansi yang mengakibatkan perbedaan temporer antara perlakuan akuntansi dan
perpajakan yang merupakan unsur Pajak Tangguhan diantaranya adalah perbedaan metode
penyusutan antara akuntansi dengan pajak, perbedaan perlakuan penyertaan saham equity
method menurut akuntansi dengan cost method menurut pajak, perbedaan pencadangan
pesangon menurut PSAK No. 24 dengan perpajakan yang hanya mengakui pembebanan pesangon
pada saat realisasinya, perbedaan pencadangan piutang ragu-ragu menurut akuntansi dengan
perpajakan yang hanya mengakui pembebanan piutang tak tertagih pada saat benar-benar tidak
tertagih, dan lainnya.
Sedangkan untuk rugi fiskal yang masih dapat dikompensasi di masa datang (tax loss carry
forward) menurut PSAK No. 46 diakui sebagai Aset Pajak Tangguhan (DTA) apabila besar
kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa yang akan datang memadai untuk dikompensasi.
Atau dengan kata lain, bahwa akumulasi rugi fiskal yang terjadi baru boleh diakui sebagai Aset
pajak tangguhan jika besar kemungkinan bisa dikompensasi seluruhnya dengan laba fiskal dalam
5 tahun ke depan, sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku .
Berikut ini sebuah ilustrasi sederhana penerapan perhitungan Pajak Tangguhan atas perbedaan
temporer penyusutan Aset tetap menurut Akuntansi dan Perpajakan (Fiskal) yang saya kutip dari
Indonesian Tax Review Vol. III/Edisi 36/2004.



4
Tabel penyusutan menurut akuntansi dan fiskal sebagai berikut :
Aset Tetap Beban Penyusutan
menurut Akuntansi
Beban Penyusutan
menurut Fiskal
Bangunan 562.500.000 1.125.000.000
Mesin 3.333.333.333 5.000.000.000
Kendaraan 1.500.000.000 1.875.000.000
Peralatan 500.000.000 625.000.000
Jumlah 5.895.833.333 8.625.000.000
Berdasarkan tabel perhitungan penyusutan dengan metode garis lurus di atas, dapat diketahui
bahwa telah terjadi perbedaan temporer antara perlakuan pajak dengan akuntansi. Mengingat
bahwa beban penyusutan secara fiskal lebih besar daripada beban penyusutan secara akuntansi,
PT XYZ akan melakukan koreksi negatif. Akibatnya, koreksi tersebut dapat menyebabkan
terjadinya pengurangan laba fiskal, sehingga beban PPh tahun berjalan menjadi lebih kecil.
Perhitungan koreksi negatif yang dapat memperkecil laba fiskal tersebut adalah sebagai berikut :
Laba akuntansi Rp 9.282.150.000
Koreksi fiskal
- penyusutan akuntansi (+) 5.895.833.333
- penyusutan fiskal (-) (8.625.000.000)
Laba Fiskal Rp 6.552.983.333
Pembulatan 6.552.983.000
Perhitungan Pajak Penghasilan
Keterangan Akuntansi Fiskal
Laba 9.282.150.000 6.552.983.333
PPh Terutang
10 % x 50.000.000 5.000.000 5.000.000
15 % x 50.000.000 7.500.000 7.500.000
30 % x 9.182.150.000 2.754.645.000
30 % x 6.452.983.000 1.935.894.900
Jumlah PPh 2.767.145.000 1.948.394.900

5
Taksiran Pajak Penghasilan
Beban Pajak Kini Rp 1.948.394.900
Beban Pajak Tangguhan Rp 818.750.100
Jumlah Beban Pajak Rp 2.767.145.000
Jurnal akuntansinya sebagai berikut :
Beban Pajak Kini 1.948.394.900
Beban Pajak Tangguhan 818.750.100
Hutang PPh 25/29 1.948.394.900
Kewajiban Pjk Tangguhan 818.750.100
Demikian ilustrasi sederhana perhitungan pajak tangguhan atas beda temporer penyusutan Aset
tetap menurut akuntansi (komersial) dan pajak (fiskal). Semoga bermanfaat bagi yang belum
memahami PSAK 46 khususnya yang berkaitan dengan Pajak Tangguhan.

6
POKOK-POKOK PERUBAHAN PSAK 16 (REVISI 2007) TENTANG ASET TETAP

PSAK 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap yang telah disahkan oleh Dewan Standar Akuntansi
Keuangan (DSAK) pada tanggal 29 Mei 2007 menggantikan PSAK No. 16 (1994) tentang Aset
Tetap dan Aset Lain-lain serta PSAK No. 17 (1994) tentang Akuntansi Penyusutan.
Pada dasarnya PSAK 16 (Revisi 2007) telah mengadopsi IAS 16 (2003) Property, Plant and
Equipment.
Beberapa perubahan mendasar dari PSAK 16 (2007) dibandingkan dengan PSAK 16 (1994)
diantaranya adalah :
1. PSAK No. 17 (1994) tentang Akuntansi Penyusutan dihilangkan dan pengaturannya
disatukan dalam PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap.
2. Penggantian penggunaan istilah Aset menjadi Aset dalam seluruh PSAK
3. Komponen Biaya Perolehan Aset Tetap - Biaya yang dapat diatribusikan secara
langsung sebagai komponen biaya perolehan aset tetap termasuk (a) biaya imbalan kerja
(seperti yang didefinisikan dalam PSAK No. 24 tentang Imbalan Kerja) yang timbul
secara langsung dari pembangunan atau akuisisi aset tetap, serta (b) biaya pengujian
aset apakah aset berfungsi dengan baik, setelah dikurangi hasil bersih penjualan produk
yang dihasilkan sehubungan dengan pengujian tersebut (PSAK 16 (2007) Par. 17). Kedua
point tersebut tidak termasuk dalam PSAK 16 sebelumnya (lihat PSAK 16 (1994) Par.
14)
4. Bukan Komponen Biaya Perolehan Aset Tetap - Sebagian kegiatan terjadi sehubungan
dengan pembangunan atau pengembangan suatu aset tetap, tetapi tidak dimaksudkan
untuk membawa aset tersebut ke lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap
digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen. Kegiatan insidental ini
mungkin terjadi sebelum atau selama konstruksi atau aktivitas pengembangan. Contoh,
penghasilan yang diperoleh dari penggunaan lahan lokasi bangunan sebagai tempat
parkir mobil sampai pembangunan dimulai. Karena kegiatan insidental ini tidak
dimaksudkan untuk membawa aset tersebut ke lokasi dan kondisi yang diinginkan agar
aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen, penghasilan dan
beban yang terkait dari kegiatan insidental diakui dalam laporan laba rugi dan
diklasifikasikan dalam penghasilan dan beban (Par. 21). PSAK No. 16 (1994)
sebelumnya tidak mengatur mengenai hal ini.
2
7
5. Pertukaran Aset Tetap PSAK No. 16 (1994) sebelumnya membedakan perlakuan
pencatatan atas pertukaran Aset tetap yang sejenis/serupa (Par.21) serta pertukaran
Aset tetap yang tidak sejenis/tidak serupa (Par. 20), sedangkan PSAK 16 (revisi 2007)
tidak membedakannya.
Par. 24 PSAK 16 (revisi 2007) mengatur bahwa untuk pertukaran aset tetap, biaya
perolehan diukur pada nilai wajar kecuali (a) transaksi pertukaran tidak memiliki
substansi komersial; atau (b) nilai wajar dari aset yang diterima dan diserahkan tidak
dapat diukur secara andal.
6. Pengukuran Setelah Pengakuan Awal PSAK 16 (revisi 2007) Par. 15 maupun PSAK
16 (1994) sebelumnya (Par. 13) mengatur bahwa suatu aset tetap (Aset tetap) yang
memenuhi kualifikasi untuk diakui sebagai aset (Aset) pada awalnya harus diukur
sebesar biaya perolehan.
PSAK 16 (revisi 2007) dalam Par. 29 mengatur mengenai Pengukuran Setelah Pengakuan
Awal Aset Tetap, Suatu entitas harus memilih model biaya (cost model) dalam par. 30
atau model revaluasi (revaluation model) dalam par. 31 sebagai kebijakan akuntansinya
dan menerapkan kebijakan tersebut terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang
sama.
Jadi, berdasarkan PSAK 16 (revisi 2007), entitas mempunyai 2 pilihan pencatatan
akuntansi untuk pengukuran aset tetap setelah pengakuan awal, yaitu (a) model biaya
atau (b) model revaluasi.
Sedangkan PSAK 16 (1994) sebelumnya pada dasarnya tidak memperbolehkan
penggunaan model revaluasi dalam pengukuran Aset tetap.
Penilaian kembali atau revaluasi Aset tetap pada umumnya tidak diperkenankan karena
Standar Akuntansi Keuangan menganut penilaian Aset berdasarkan harga perolehan atau
harga pertukaran. Penyimpangan dari ketentuan ini mungkin dilakukan berdasarkan
ketentuan pemerintah. Dalam hal ini laporan keuangan harus menjelaskan mengenai
penyimpangan dari konsep harga perolehan di dalam penyajian Aset tetap serta
pengaruh penyimpangan tersebut terhadap gambaran keuangan perusahaan. Selisih
antara nilai revaluasi dengan nilai buku (nilai tercatat) Aset tetap dibukukan dalam akun
modal dengan nama Selisih penilaian kembali Aset tetap.
7. Telaah Ulang Nilai Residu, Umur Manfaat dan Metode Penyusutan PSAK 16
(revisi 2007) Par. 54 mengatur bahwa nilai residu dan umur manfaat setiap aset tetap
harus di-review minimum setiap akhir tahun buku dan apabila ternyata hasil review
8
berbeda dengan estimasi sebelumnya maka perbedaan tersebut harus diperlakukan
sebagai perubahan estimasi akuntansi sesuai dengan PSAK No. 25 tentang Laba atau Rugi
Bersih untuk Periode Berjalan, Koreksi Kesalahan Mendasar, dan Perubahan Kebijakan
Akuntansi.
Kemudian Par. 64 mengatur bahwa metode penyusutan yang digunakan untuk aset
harus di-review minimum setiap akhir tahun buku dan, apabila terjadi perubahan yang
signifikan dalam ekspektasi pola konsumsi manfaat ekonomi masa depan dari aset
tersebut, maka metode penyusutan harus diubah untuk mencerminkan perubahan pola
tersebut. Perubahan metode penyusutan harus diperlakukan sebagai perubahan estimasi
akuntansi sesuai dengan PSAK No. 25
Sedangkan PSAK 16 (1994) sebelumnya dalam Par. 39 mengatur bahwa masa manfaat
suatu Aset tetap harus ditelaah ulang secara periodik dan, jika harapan berbeda secara
signifikan dengan estimasi sebelumnya, beban penyusutan untuk periode sekarang dan
masa yang akan datang harus disesuaikan.
Par. 42 PSAK 16 (1994) mengatur bahwa metode penyusutan yang digunakan untuk
Aset tetap ditelaah ulang secara periodik dan jika terdapat suatu perubahan signifikan
dalam pola pemanfaatan ekonomi yang diharapkan dari Aset tersebut, metode penyusutan
harus diubah untuk mencerminkan perubahan tersebut. Perubahan metode penyusutan
harus diperlakukan sebagai suatu perubahan kebijakan akuntansi dan dilaporkan sesuai
dengan PSAK No. 25, dan beban penyusutan untuk periode sekarang dan masa yang akan
datang harus disesuaikan.
8. PSAK 16 (Revisi 2007) Par. 45 mengatur bahwa : Jika dalam suatu entitas terdapat aset
tetap yang tersedia untuk dijual, maka perlakuan akuntansi untuk aset tersebut adalah
sebagai berikut :
a) Diakui pada saat dilakukan penghentian operasi;
b) Diukur sebesar nilai yang lebih rendah dari jumlah tercatatnya dibandingkan
dengan nilai wajar setelah dikurangi dengan biaya-biaya penjualan aset tersebut;
c) Disajikan sebagai aset tersedia untuk dijual, jika jumlah tercatatnya akan
dipulihkan melalui transaksi penjualan dari penggunaan lebih lanjut; dan
d) Diungkapkan dalam laporan keuangan dalam rangka evaluasi dampak
penghentian operasi dan pelepasan aset (aset tidak lancar)
Par. 45 yang mengatur mengenai perlakuan akuntansi untuk aset tetap yang tersedia
untuk dijual ini mengacu ke paragraph 6, 15 dan 30 dari IFRS 5 : Non-current Assets
Held for Sale and Discontinued Operations).
9
9. Penyusutan PSAK 16 (Revisi 2007) par. 46 mengatur bahwa setiap bagian dari aset
tetap yang memiliki biaya perolehan cukup signifikan terhadap total biaya perolehan
seluruh aset harus disusutkan secara terpisah. Sedangkan dalam PSAK 16 (1994)
sebelumnya tidak diatur.
10. Aset Lain-lain PSAK 16 (1994) sebelumnya mengatur mengenai Aset Lain-lain
sedangkan dalam PSAK 16 (revisi 2007) tidak diatur.
11. PSAK 16 (Revisi 2007) ini berlaku efektif untuk penyusunan dan penyajian laporan
keuangan entitas yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008.
10
BEDA SYARAT PENYUSUTAN ASET TETAP MENURUT PAJAK DAN AKUNTANSI

PSAK No. 16 (Revisi 2007) dalam paragraf 58 menyatakan bahwa Penyusutan aset dimulai pada
saat aset tersebut siap untuk digunakan, yaitu pada saat aset tersebut berada pada lokasi dan
kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud
manajemen.
Sedangkan pada paragraf 6 mengenai Definisi dinyatakan bahwa Penyusutan adalah alokasi
sistematis jumlah yang dapat disusutkan dari suatu aset selama umur manfaatnya.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa Umur manfaat (useful life) adalah :
suatu periode dimana aset diharapkan akan digunakan oleh entitas; atau
jumlah produksi atau unit serupa yang diharapkan akan diperoleh dari aset tersebut oleh
entitas
Dari penjelasan-penjelasan di atas, jelas bagi kita bahwa menurut PSAK 16, Aset tetap (aset
tetap) mulai disusutkan pada saat aset tetap tersebut siap untuk digunakan.
Oh, ya, sedikit informasi tambahan. Mungkin ada yang masih bingung dengan istilah Aset dan
Aset Tetap, dimana sebelumnya istilah ini tidak pernah dipakai. Dalam PSAK revisian terakhir
per 1 September 2007 terdapat beberapa perubahan diantaranya adalah PSAK No. 17 (Revisi
1994) tentang Akuntansi Penyusutan dihilangkan dan pengaturannya disatukan dalam PSAK No.
16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap (merupakan revisian serta pengganti PSAK 16 (1994)
tentang Aset Tetap dan Aset Lain-lain). Selain itu, dalam penerbitan terakhir ini juga dilakukan
penggantian penggunaan kata Aset menjadi aset dalam seluruh PSAK.
Jika kita menyimak UU Perpajakan khususnya Undang-undang Pajak Penghasilan No. 17 Tahun
2000 Pasal 11 ayat (3) mengatur bahwa Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya
pengeluaran kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai
pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut.
Berdasarkan pengaturan paragraf 58 PSAK 16 serta Pasal 11 ayat (3) UU PPh No. 17 tersebut,
terlihat perbedaan syarat dimulainya penyusutan Aset tetap secara akuntansi dan perpajakan
dimana :
1. secara akuntansi, Aset tetap (aset tetap) mulai disusutkan pada saat Aset tersebut siap
untuk digunakan
3
11
2. secara perpajakan, Aset tetap mulai disusutkan pada bulan dilakukannya pengeluaran
(pada saat diperoleh/dibeli).
Peraturan perpajakan mengijinkan penyusutan Aset tetap dimulai saat digunakan (bukan saat
diperoleh) dengan syarat harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dirjen Pajak seperti
yang diatur dalam UU PPh No. 17 Pasal 11 ayat (4) berikut ini :
Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan
mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan
Terkait dengan perbedaan pengaturan syarat penyusutan Aset tetap secara akuntansi dan
perpajakan seperti yang dipaparkan di atas, ada baiknya kita menyimak kasus berikut ini :
Melalui surat tanggal 19 Desember 2000, PT Gunung Sawit Bina Lestari (PT Gunung Sawit)
sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mulai berproduksi secara komersial sejak
bulan Juli 1999 menanyakan kepada Dirjen Pajak perihal perlakuan penyusutan terhadap biaya-
biaya yang dikeluarkan dalam rangka pengembangan lahan dan tanaman kelapa sawit (planting
cost) selama masa belum menghasilkan (immature).
Saat itu, perusahaan sedang diperiksa oleh Karikpa Jakarta Khusus Satu menyangkut kewajiban
perpajakan tahun pajak 1999. Menurut Tim Pemeriksa, penyusutan atas planting costs harus
dilakukan mulai tahun pengeluaran atau dapat juga disusutkan mulai tahun pertama tanaman
tersebut menghasilkan dengan syarat harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dirjen
Pajak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 1985 serta SE Dirjen Pajak No. SE-
38/PJ.22/1987 dan No. SE-19/PJ.313/1991.
Menurut perusahaan, mekanisme penyusutan planting cost yang diterapkan mulai tahun pertama
tanaman kelapa sawit tersebut mulai menghasilkan sudah sesuai, karena planting cost sifatnya
belum menjadi harta/Aset tetap yang dapat langsung dimanfaatkan sehingga tidak perlu
mengajukan permohonan persetujuan dari Dirjen Pajak.
Planting costs tersebut terdiri dari biaya-biaya berikut :
Planting Expenditures
Land Cost meliputi ganti rugi tanam tumbuh
Kapitalisasi biaya bunga pinjaman
Biaya-biaya sehubungan dengan pinjaman bank
Kapitalisasi atas keuntungan (kerugian) akibat selisih kurs dalam pembukuan.
12
Planting cost dicatat dalam perkiraan Immature Plantation selama tanaman belum menghasilkan.
Pada waktu tanaman sudah mulai menghasilkan, planting costs dipindahkan dari perkiraan
Immature Plantation ke perkiraan Mature Plantation dan mulai disusutkan.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perusahaan meminta konfirmasi dari Dirjen Pajak
atau penegasan mengenai :
Penyusutan terhadap planting costs apakah dimulai pada tahun pengeluaran atau pada
tahun pertama kelapa sawit tersebut menghasilkan ?
Apabila disusutkan pada tahun pertama tanaman kelapa sawit tersebut menghasilkan,
apakah diperlukan persetujuan terlebih dahulu dari Dirjen Pajak ?
Apabila diperlukan persetujuan dari Dirjen Pajak, apakah perusahaan dapat mengajukan
permohonan persetujuan secara retroaktif (berlaku surut) untuk tahun-tahun pajak 1995
sampai dengan 1999 ?
Melalui Surat No. S-558/PJ.42/2001 tanggal 24 September 2001, Dirjen Pajak memberikan
jawaban dan penegasan sebagai berikut :
Berdasarkan Pasal 11 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan No. 10 tahun 1994 (saat itu),
penyusutan dimulai pada tahun dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam
proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada tahun selesainya pengerjaan harta tersebut.
Selanjutnya, pasal 11 ayat (4) mengatur bahwa dengan persetujuan Dirjen Pajak, Wajib Pajak
diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada tahun harta tersebut digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada tahun harta yang bersangkutan
mulai menghasilkan.
Berdasarkan SE Dirjen Pajak No. SE-38/PJ.22/1987 tanggal 20 November 1987 yang ditegaskan
kemudian dengan SE-19/PJ.313/1991 tanggal 24 Desember 1994, penyusutan pada dasarnya
dimulai pada tahun pengeluarannya. Namun, penyusutan dapat dilakukan pada tahun harta
tersebut mulai menghasilkan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Dirjen Pajak.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini dapat diberikan penegasan bahwa
:
1. Penyusutan terhadap planting cost menurut peraturan perpajakan, sebagaimana halnya
penyusutan terhadap harta/Aset tetap lainnya yang tidak sedang dalam proses
pengerjaan, dimulai pada tahun dilakukannya pengeluaran. Dalam hal penyusutan
hendak dilakukan mulai pada tahun harta tersebut digunakan untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan atau pada tahun harta yang bersangkutan mulai
13
menghasilkan, maka Wajib Pajak wajib mengajukan permohonan dan mendapat
persetujuan Dirjen Pajak;
2. Dalam hal dapat dibuktikan bahwa Wajib Pajak sama sekali belum membebankan
penyusutan terhadap planting cost sampai dengan saat tanaman keras tersebut
menghasilkan, maka atas permohonan Wajib Pajak, persetujuan Dirjen Pajak tersebut
dapat berlaku retroaktif (berlaku surut).
Secara akuntansi, syarat dimulainya penyusutan aset tetap adalah pada saat aset tersebut siap
untuk digunakan, yaitu pada saat aset tersebut berada pada lokasi dan kondisi yang diinginkan
agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen (PSAK 16 (revisi
2007) par. 58).
Sedangkan secara perpajakan, syarat dimulainya penyusutan Aset tetap adalah pada bulan
dilakukannya pengeluaran kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaaan,
penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut (UU Pajak Penghasilan
No. 17 Tahun 2000 Pasal 11 ayat (3)).
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas berkaitan dengan syarat dimulainya penyusutan
Aset tetap menurut pajak, silahkan lihat contoh di atas.
Jika kita simak kembali pengaturan syarat dimulainya penyusutan aset tetap berdasarkan PSAK
16 (revisi 2007) par. 58 di atas sepertinya tidak mengatur dengan jelas mengenai apakah
penyusutan aset tetap dilanjutkan atau harus ditangguhkan jika sekiranya aset tetap
bersangkutan dihentikan penggunaannya sementara.
Namun, jika kita membaca International Accounting Standard (IAS) No. 16, Property, Plant and
Equipment , dalam paragraf 12 diatur bahwa :
An entity is required to begin depreciating an item of property, plant and equipment when it is
available for use and to continue depreciating it until it is derecognised, even if during that period
the item is idle. The previous version of IAS 16 did not specify when depreciation of an item began
and specified that an entity should cease depreciating an item that it had retired from active use
and was holding for disposal.
Jadi, jelas bahwa berdasarkan IAS 16, Property, Plant and Equipment , aset tetap tidak
dihentikan pembebanan penyusutannya walaupun terjadi penghentian sementara atas
penggunaan aset tetap bersangkutan.

14
REVALUASI ASET

Salah satu perubahan signifikan dari PSAK 16 (Revisi 2007) ini adalah mengenai revaluasi aset
tetap. Dalam PSAK sebelumnya yaitu PSAK 16 (1994) mengenai Aset Tetap dan Aset Lain-lain
pada dasarnya mengharuskan penyajian Aset tetap berdasarkan nilai perolehan dikurangi dengan
akumulasi penyusutan. Penilaian kembali atau revaluasi Aset tetap pada umumnya tidak
diperkenankan karena Standar Akuntansi Keuangan menganut penilaian Aset berdasarkan harga
perolehan atau harga pertukaran. Penyimpangan dari ketentuan ini mungkin dilakukan
berdasarkan ketentuan pemerintah, dan dalam hal ini harus ada catatan ataupun penjelasan
dalam laporan keuangan mengenai penyimpangan dari konsep harga perolehan dalam penyajian
Aset tetap serta pengaruh penyimpangan tersebut terhadap gambaran keuangan perusahaan
(PSAK 16 (1994) Par. 29).
Jadi, sebelum berlakunya PSAK 16 (Revisi 2007), jika perusahaan melakukan revaluasi Aset
tetap yang pada umumnya dilakukan berdasarkan ketentuan perpajakan, maka pada opini auditor
harus ada catatan dan penjelasan tambahan berkaitan dengan hal tersebut.
Dengan mulai berlakunya PSAK 16 (Revisi 2007) sejak 1 Januari 2008, maka perusahaan
diperbolehkan untuk memilih model pencatatan aset tetap (setelah pengakuan awal) apakah
menggunakan model biaya ataupun model revaluasi, dan harus diterapkan terhadap seluruh aset
tetap dalam kelompok yang sama.
Jika menggunakan model biaya, maka setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap dicatat
sebesar biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai
aset (PSAK 16 (revisi 2007) par. 30). Model ini adalah seperti yang diterapkan sebagian besar
perusahaan selama ini.
Sedangkan jika menggunakan model Revaluasi, maka setelah diakui sebagai aset, suatu aset
tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu
nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi
penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi. Revaluasi harus dilakukan dengan
keteraturan yang cukup regular untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara
material dari jumlah yang ditentukan dengan menggunakan nilai wajar pada tanggal neraca
(PSAK 16 (revisi 2007) par. 31).
Dalam paragraph 34 diatur lebih lanjut bahwa frekuensi revaluasi tergantung perubahan nilai
wajar dari suatu aset tetap yang direvaluasi. Jika nilai wajar dari aset yang direvaluasi berbeda
secara material dari jumlah tercatatnya, maka revaluasi lanjutan perlu dilakukan. Beberapa aset
4
15
tetap mengalami perubahan nilai wajar secara signifikan dan fluktuatif, sehingga perlu
direvaluasi secara tahunan. Revaluasi tahunan seperti itu tidak perlu dilakukan apabila
perubahan nilai wajar tidak signifikan. Namun demikian, aset tersebut mungkin perlu direvaluasi
setiap tiga atau lima tahun sekali.
Paragraf 36 menjelaskan bahwa jika suatu aset tetap direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam
kelompok yang sama harus direvaluasi.
Paragraf 39 dan 40 mengatur mengenai perlakuan pencatatan atas peningkatan ataupun
penurunan jumlah tercatat aset akibat revaluasi sebagai berikut :
Jika jumlah tercatat aset meningkat akibat revaluasi, kenaikan tersebut langsung
dikreditkan ke Ekuitas pada bagian Surplus Revaluasi. Namun kenaikan tersebut harus
diakui dalam laporan laba rugi sehingga sebesar jumlah penurunan nilai aset akibat
revaluasi yang pernah diakui sebelumnya dalam laporan laba rugi (par. 39)
Jika jumlah tercatat aset turun akibat revaluasi, penurunan tersebut diakui dalam
laporan laba rugi. Namun, penurunan nilai akibat revaluasi tersebut langsung didebit ke
ekuitas pada bagian surplus revaluasi selama penurunan tersebut tidak melebihi saldo
kredit surplus revaluasi untuk aset tersebut (par. 40).
PSAK 16 (1994) menggunakan istilah Selisih Penilaian Kembali Aset Tetap untuk
membukukan selisih antara nilai revaluasi dengan nilai buku (nilai tercatat) Aset tetap.
Jika perusahaan mengubah kebijakan akuntansi dari model biaya ke model revaluasi dalam
pengukuran aset tetap maka perubahan tersebut berlaku prospektif. Hal ini diatur dalam
paragraph 43 PSAK 16 (revisi 2007).
Ketentuan Transisi PSAK 16 (revisi 2007) mengatur bahwa :
Perusahaan yang sebelum penerapan PSAK ini telah melakukan revaluasi aset tetap dan
kemudian menggunakan model biaya sebagai kebijakan akuntansi pengukuran aset
tetapnya, maka nilai revaluasi aset tetap tersebut dianggap sebagai biaya perolehan
(deemed cost). Biaya perolehan tersebut adalah nilai pada saat PSAK ini diterbitkan
(par. 83).
Perusahaan yang sebelum penerapan PSAK ini pernah melakukan revaluasi aset tetap
dan masih memiliki saldo selisih nilai revaluasi aset tetap, maka pada saat penerapan
pertama kali PSAK ini harus mereklasifikasi seluruh saldo selisih nilai revaluasi aset
tetap tersebut ke saldo laba. Hal tersebut harus diungkapkan.
16
Sistimatika dan aturan main pencatatan akuntansi aset tetap jika perusahaan memilih model
revaluasian juga diatur dengan cukup jelas dalam PSAK 16 (Revisi 2007) tersebut.
Sedangkan dari segi perpajakan, pengaturan mengenai penilaian kembali (revaluasi) Aset tetap
perusahaan diatur terakhir berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 79/PMK.03/2008 yang
mulai berlaku sejak 23 Mei 2008 (download di sini : PMK No.79/PMK.03/2008), menggantikan
Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2002.
Beberapa perbedaan antara pengaturan menurut KMK No. 486/KMK.03/2002 dengan PMK No.
79/PMK.03/2008 diantaranya adalah :
1. KMK yang lama mengatur bahwa revaluasi dapat dilakukan terhadap seluruh atau sebagian
Aset tetap perusahaan (pasal 3 ayat (2)), sedangkan PMK yang baru mengharuskan revaluasi
dilakukan terhadap seluruh Aset tetap (pasal 3 ayat (1)).
2. Revaluasi Aset tetap menurut KMK yang lama dapat dilakukan paling banyak 1 (satu) kali
dalam tahun buku yang sama (pasal 3 ayat (3)), sedangkan PMK yang baru mengatur bahwa
penilaian kembali Aset tetap perusahaan tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat
jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian kembali Aset tetap perusahaan
terakhir yang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini (pasal 3 ayat (2)).
Pengaturan ini sepertinya agak bertentangan dengan perlakuan akuntansi menurut PSAK 16
(Revisi 2007) yang merupakan hasil adopsian dari IAS 16 dimana dalam paragraf 31 diatur
bahwa (apabila perusahaan menerapkan model revaluasian) maka revaluasi harus dilakukan
dengan keteraturan yang cukup regular untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda
secara signifikan dari nilai wajar pada tanggal neraca. Selanjutnya dalam par. 34 dijelaskan lagi
bahwa jika nilai wajar dari aset yang direvaluasi berbeda secara material dari jumlah tercatatnya,
maka revaluasi lanjutan perlu dilakukan.
Jadi, apabila setiap tahun terjadi perubahan nilai wajar secara signifikan terhadap jumlah
tercatat aset tetap, maka dengan sendirinya revaluasi harus dilakukan secara tahunan.
Sedangkan perpajakan mengatur bahwa Aset tetap baru boleh dinilai kembali setelah jangka
waktu 5 tahun sejak revaluasi yang terakhir dilakukan.
Seandainya perusahaan secara akuntansi menerapkan model revaluasian dalam mencatat aset
tetapnya dan dalam 2 tahun kemudian nilai wajar aset tetap mengalami peningkatan signifikan
sehingga perlu dilakukan revaluasi kembali jelas akan menghadapi masalah karena dengan
sendirinya revaluasi yang dilakukan sudah menyimpang dari ketentuan perpajakan. Lantas
bagaimana dengan Pajak Penghasilan Final 10 % yang dikenakan atas selisih lebih penilaian
kembali Aset tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskalnya (Pasal 5 PMK No. 79) ? Apakah
17
tetap harus dibayar sedangkan jika prosedur revaluasi tidak sesuai ketentuan perpajakan sudah
tentu tidak akan diterbitkan keputusan ijin revaluasi dari Dirjen Pajak ?
Sepertinya harus pikir-pikir dulu sebelum menerapkan model revaluasian dalam mencatat aset
tetap perusahaan sesuai PSAK 16 (Revisi 2007). Setidaknya harus sudah diprediksikan terlebih
dahulu bahwa aset tetap yang sudah direvaluasi tersebut tidak akan mengalami peningkatan nilai
wajar yang signifikan dalam 5 tahun ke depan

MEMPERKECIL BEBAN PAJAK DENGAN REVALUASI
Pada Indonesian Tax Review Vol. III/Edisi 01/2003 kolom My Tax Advisor, seorang pembaca
menanyakan masalah manfaat revaluasi Aset tetap, sebagai berikut :
Saya pernah mendengar bahwa revaluasi Aset tetap mempunyai manfaat bagi perusahaan,
khususnya dari sisi perpajakan yang akan mempengaruhi pajak yang dibayar menjadi lebih kecil.
Apakah benar demikian ? Bagaimana persyaratannya ?
Dalam penjelasan Pasal 19 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 17 Tahun 2000 (UU PPh Tahun 2000), dijelaskan bahwa dalam masa di mana terdapat
perkembangan harga yang mencolok (inflasi) atau perubahan kebijakan di bidang moneter
(devaluasi mata uang dalam negeri) dapat terjadi kekurangserasian antara biaya dan penghasilan
yang dapat mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar. Hal ini disebabkan karena
pengukuran biaya berdasarkan historical cost, sementara pendapatan diukur dengan harga
berlaku yaitu current cost.
Dalam keadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan peraturan tentang
penilaian kembali (revaluasi) Aset tetap dan faktor penyesuaiannya (indeksasi nilai perolehan
Aset dan biaya penyusutannya), di mana yang masih berlaku sekarang adalah Keputusan Menteri
Keuangan No. 486/KMK.03/2003.
Revaluasi Aset tetap memang mempunyai manfaat bagi perusahaan, yaitu antara lain :
1. Dapat menciptakan performance of balance sheet yang lebih baik, sebagai akibat
meningkatnya nilai Aset dan modal;
2. Meningkatkan kepercayaan para pemegang saham, karena kenaikan nilai Aset dapat
dicatat sebagai tambahan nilai saham (saham bonus);
18
3. Meningkatkan kepercayaan kreditur, sebagai dampak membaiknya beberapa rasio
keuangan perusahaan, khususnya yang ditunjukkan oleh debt to assets ratio dan debt to
equity ratio.
4. Penghematan pajak yang terjadi sebagai akibat bertambah besarnya nilai penyusutan
Aset, yang dapat memberikan penghematan pajak sebesar 30% dari nilai tambah
penyusutan. Sementara keuntungan dari revaluasi Aset hanya dikenakan pajak final
sebesar 10%.

Depreciated Replacement Cost Approach Sebagai Pendekatan Alternatif Penentuan Nilai
Wajar Aset Tetap
Adapun prosedur, persyaratan dan perhitungan pajak atas revaluasi Aset tetap diatur di dalam
Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2003.
Jika menggunakan model revaluasi, setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap yang nilai
wajarnya dapat diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada
tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang
terjadi setelah tanggal revaluasi.
Nilai wajar tanah dan bangunan biasanya ditentukan melalui penilaian yang dilakukan oleh
penilai yang memiliki kualifikasi profesional berdasarkan bukti pasar. Nilai wajar pabrik dan
peralatan biasanya menggunakan nilai pasar yang ditentukan oleh penilai (PSAK 16 Par. 32).
Jika tidak ada pasar yang dapat dijadikan dasar penentuan nilai wajar karena sifat dari aset
tetap yang khusus dan jarang diperjual-belikan, kecuali sebagai bagian dari bisnis yang
berkelanjutan, entitas mungkin perlu mengestimasi nilai wajar menggunakan pendekatan
penghasilan atau biaya pengganti yang telah disusutkan (depreciated replacement cost approach)
(PSAK 16 Par. 33).
Yang akan saya bahas berikut ini adalah berkaitan dengan penerapan depreciated replacement
cost approach dalam penentuan nilai wajar aset tetap.
Dalam buku WILEY IFRS 2008 Interpretation and Application diberikan contoh penerapan
depreciated replacement cost approach yang cukup jelas.


19
Berikut kutipannya ------------------------------------
IAS 16 suggests that fair value is usually determined by appraisers, using market-based
evidence. Market values can also be used for machinery and equipment, but since such items
often do not have readily determinable market values, particularly if intended for specialized
applications, they may instead be valued at depreciated replacement cost.
Example of depreciated replacement cost (sound value) as a valuation approach :
An asset acquired January 1, 2005 at a cost of 40,000 was expected to have a useful economic
life of 10 years. On January 1, 2008, it is appraised as having a gross replacement cost of
50,000. The sound value, or depreciated replacement cost, would be 7/10 x 50,000 or 35,000.
This compares with a book, or carrying value of 28,000 at the same date. Mechanically, to
accomplish a revaluation at January 1, 2008, the asset should be written up by 10,000 (i.e from
40,000 to 50,000 gross cost) and the accumulated depreciation should be proportionally written
up by 3,000 (from 12,000 to 15,000). Under IAS 16, the net amount of the revaluation
adjustment, 7,000 would be recognized in other comprehensive income and accumulated in
revaluation surplus, an additional equity account.
Demikian sedikit pembahasan berkaitan dengan penggunaan depreciated replacement cost
approach sebagai pendekatan alternatif penentuan nilai wajar aset tetap. Semoga bisa membantu
untuk lebih memahami PSAK 16 (Revisi 2007) terutama yang berkaitan dengan penerapan model
revaluasi.
Masa Transisi Penerapan PSAK No. 16 (Revisi 2007)
Berkaitan dengan penerapan PSAK No. 16 (Revisi 2007) tersebut, kali ini saya ingin sedikit
membahas mengenai ketentuan transisi yang diatur dalam paragraf 83 dan paragraf 84.
Dalam paragraf 83 PSAK No. 16 (Revisi 2007) diatur bahwa Entitas yang sebelum penerapan
Pernyataan ini telah melakukan revaluasi aset tetap dan kemudian menggunakan model biaya
sebagai kebijakan akuntansi pengukuran aset tetapnya maka nilai revaluasi aset tetap tersebut
dianggap sebagai biaya perolehan (deemed cost). Biaya perolehan tersebut adalah nilai pada
saat Pernyataan ini diterbitkan.
Artinya jika sebelumnya (tahun 2007 dan sebelumnya) perusahaan pernah melakukan revaluasi
Aset tetap dan untuk tahun buku 2008, perusahaan memilih menggunakan model biaya dalam
pencatatan aset tetapnya, maka nilai aset tetap yang dipergunakan sebagai biaya perolehan
mulai tahun 2008 tidak mengalami perubahan dari tahun sebelumnya.
20
Kemudian, dalam paragraf 84 diatur bahwa Entitas yang sebelum penerapan Pernyataan ini
pernah melakukan revaluasi aset tetap dan masih memiliki saldo selisih nilai revaluasi aset
tetap, maka pada saat penerapan pertama kali Pernyataan ini harus mereklasifikasi seluruh
saldo selisih nilai revaluasi aset tetap tersebut ke saldo laba. Hal tersebut harus diungkapkan.
Paragraf ini menjelaskan bahwa jika misalnya pada Neraca PT A per 31/12/2007 terdapat saldo
Selisih Penilaian Kembali Aset Tetap yang merupakan pencatatan selisih hasil penilaian kembali
(revaluasi) Aset tetap dengan jumlah tercatat (nilai buku) Aset tetap atas hasil revaluasi Aset
pada tahun 2007 ataupun tahun-tahun sebelumnya, maka saldo tersebut per 1 Januari 2008
harus direklas ke Saldo Laba.
Contoh penyajian dalam Neraca PT A per 30 Juni 2008 dan per 31 Desember 2007 sebagai
berikut :
EKUITAS 30/6/08 31/12/07
Modal Saham 2.000 2.000
Selisih penilaian aset tetap 0 1.200
Saldo Laba 55.000 32.500
Sedangkan penyajian Laporan Perubahan Ekuitas per 30 Juni 2008 dan 31 Desember 2007
sebagai akibat dari reklasifikasi Selisih Penilaian Kembali Aset Tetap sebesar Rp 1.200 sebagai
berikut :
Modal SPAT R/E Jumlah
Saldo per 1/1/2008 2.000 1.200 32.500 35.700
Laba Bersih 0 0 21.300 21.300
Penyesuaian atas
penerapan PSAK
16 (revisi 2007)
0 (1.200) 1.200 0
Saldo per 30/6/2008 2.000 0 55.000 57.000
Modal = Modal Saham; SPAT = Selisih Penilaian Kembali Aset Tetap; R/E = Saldo Laba

21
PERLAKUAN PSAK 40 ATAS REVALUASI ASET TETAP ANAK PERUSAHAAN SERTA
IMPLIKASI PAJAKNYA
PT XYZ mempunyai investasi saham pada PT ABC sebesar 30 % dari total saham beredar. Pada
tanggal 12 Maret 2004, PT ABC melakukan penilaian kembali Aset tetap. Semua Aset tetap PT
ABC memenuhi persyaratan untuk dinilai kembali sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan
No. 486/KMK.03/2002 dan nilai buku Aset tetap sama dengan nilai buku fiskal. Penilaian
kembali dilakukan oleh lembaga penilai yang menetapkan bahwa nilai pasar wajar Aset tersebut
sebesar Rp 900 Juta.
Atas penilaian kembali Aset tetap tersebut dicatat oleh PT ABC dengan jurnal sebagai berikut :
Aset tetap (nilai revaluasi) 900.000.000
Pajak Penghasilan 50.000.000
Aset Tetap (nilai buku
Aset lama) 400.000.000
Kas/PPh Terhutang 50.000.000
Selisih Penilaian Kembali
Aset Tetap 500.000.000
Sedangkan dalam pembukuan PT XYZ dijurnal sebagai berikut :
Investasi pada PT ABC 150.000.000
Selisih Transaksi Perubahan
Ekuitas Perush Asosiasi 150.000.000
(Dari nilai selisih revaluasi Aset tetap, yang menjadi bagian pemilikan PT XYZ adalah 30 % x Rp
500 Juta = Rp 150 Juta)
Ilustrasi di atas untuk mencatat pengakuan Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Perusahaan
Asosiasi dalam pembukuan induk perusahaan yang memiliki investasi (penyertaan) saham pada
anak perusahaan sebagai akibat adanya revaluasi Aset tetap anak perusahaan sesuai dengan
PSAK No. 40 Akuntansi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan/Perusahaan Asosiasi.
Lantas, bagaimana perlakuan perpajakan atas pencatatan transaksi di atas ?
Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-29/PJ.312/2006 tanggal 19 Januari 2006,
Dirjen Pajak memberikan penegasan atas pertanyaan seorang Wajib Pajak berkaitan dengan hal
tersebut.
5
22
PT ABC adalah perusahaan yang bergerak dalam penerbitan surat kabar nasional di Indonesia.
Dalam perkembangan usahanya, PT ABC mempunyai penyertaan saham pada 4 anak perusahaan
yang bergerak dalam bisnis yang berbeda dengan PT ABC.
Pada tahun pajak 2004, PT ABC dan anak-anak perusahaannya melakukan penilaian kembali
Aset tetap secara fiscal sehingga terdapat kenaikan selisih penilaian kembali Aset tetap pada PT
ABC dan anak perusahaannya. Dalam neraca PT ABC, kenaikan selisih penilaian kembali Aset
tetap dicatat pada perkiraan Selisih Lebih Penilaian Kembali Aset Tetap dan kenaikan selisih
penilaian kembali Aset tetap pada anak perusahaan (berkaitan dengan investasi PT ABC pada
anak perusahaan seperti contoh di atas) dicatat dalam pembukuan PT ABC pada perkiraan
Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan
Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan yang berasal dari Selisih Lebih Penilaian
Kembali Aset Tetap selanjutnya akan dikapitalisasi sebagai tambahan Modal Disetor.
Sehubungan dengan hal di atas, bagaimana implikasi perlakuan Pajak Penghasilan atas
pencatatan tambahan Modal Disetor atau saham bonus dari kapitalisasi Selisih Transaksi
Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan yang berasal dari Selisih Lebih Penilaian Kembali Aset
Tetap tersebut ?
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2002 tentang Penilaian Kembali
Aset Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan, diatur bahwa :
1. Pasal 9 ayat (1), selisih lebih penilaian kembali Aset tetap perusahaan di atas nilai sisa buku
komersial semula setelah dikurangi dengan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) harus dibukukan dalam neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama
Selisih Lebih Penilaian Kembali Aset Tetap Perusahaan
2. Pasal 9 ayat (2), pemberian saham bonus atau pencatatan tambahan nilai nominal saham
tanpa penyetoran yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali Aset tetap
perusahaan, sampai dengan sebesar selisih lebih penilaian kembali secara fiskal tersebut dalam
Pasal 5 ayat (1), bukan merupakan Objek Pajak.
3. Pasal 9 ayat (3), dalam hal selisih lebih penilaian kembali secara fiskal sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) lebih besar daripada selisih lebih penilaian kembali secara komersial
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemberian saham bonus atau pencatatan tambahan nilai
nominal saham tanpa penyetoran yang bukan merupakan Objek Pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), hanya sampai dengan sebesar selisih penilaian kembali secara komersial.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas :
23
1. Pencatatan Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan yang berasal dari
Selisih Lebih Penilaian Kembali Aset Tetap merupakan kewajiban perusahaan untuk
memenuhi ketentuan dalam PSAK No. 40
2. Dalam hal PT ABC dan anak-anak perusahaannya melakukan penilaian kembali Aset tetap
(revaluasi Aset) untuk tujuan perpajakan, jika terdapat selisih lebih karena penilaian kembali
Aset maka selisih tersebut merupakan Objek Pajak. Dalam peraturan perpajakan, anak
perusahaan merupakan entitas sendiri yang terpisah dari induk perusahaan sehingga
penghasilan/keuntungan anak perusahaan dicatat dalam laporan keuangan masing-masing.
Dalam hal selisih lebih penilaian kembali Aset tetap anak perusahaan yang dilakukan
untuk tujuan perpajakan selanjutnya dikapitalisasi sebagai tambahan modal disetor,
maka selisih lebih tersebut merupakan saham bonus kepada pemegang saham sebesar
persentase penyetoran pada anak perusahaan. Sepanjang pemberian saham bonus atau
tambahan modal tanpa penyetoran yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih revaluasi
Aset tetap tersebut tidak melebihi selisih lebih revaluasi secara fiskal, maka pemberian
saham bonus tersebut bukan merupakan Objek Pajak atau pembayaran dividen. Dengan
demikian, saham bonus atau tambahan modal yang berasal dari kapitalisasi selisih
lebih revaluasi Aset tetap anak perusahaan secara fiskal bukan merupakan Objek Pajak
Penghasilan ataupun pembayaran dividen bagi pemegang saham.
Dalam hal di kemudian hari, pemegang saham mengalihkan/menjual sahamnya, maka
keuntungan (capital gain) atau penghasilan yang diterima oleh pemegang saham atas penjualan
atau pengalihan saham bonus tersebut kepada pihak ketiga merupakan Objek Pajak Penghasilan
yang harus diakui pemegang saham pada tahun pajak saham bonus tersebut dialihkan atau dijual
( ).

24
PMK NO. 79 TAHUN 2008 VS PSAK 16 REVISI 2007

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 79/PMK.03/2008 yang ditetapkan pada tanggal 23 Mei
2008 mengatur mengenai penilaian kembali Aset tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan. PMK
ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan merupakan pengganti dari Keputusan Menteri
Keuangan No. 486/KMK.03/2002.
Sesuai dengan judul tulisan di atas, kali ini saya tidak akan membahas mengenai pengaturan
perpajakan atas PMK No. 79 tahun 2008 ini. Akan tetapi, yang akan saya bahas adalah mengenai
pengaturan revaluasi Aset tetap (aset tetap menurut istilah PSAK revisian) secara perpajakan
(PMK No. 79 tahun 2008) dibandingkan dengan pengaturan menurut akuntansi (PSAK 16 revisi
2007).
Beberapa ketentuan pokok menurut PMK No. 79 tahun 2008 yang akan saya perbandingkan
nantinya adalah :
1. Untuk melakukan penilaian kembali Aset tetap perusahaan, perusahaan mengajukan
permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak (pasal 2 ayat 1);
2. Penilaian kembali Aset tetap Perusahaan dilakukan terhadap : (a) Seluruh Aset tetap
berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan; atau (b)
seluruh Aset tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau berada di Indonesia,
dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
merupakan Objek Pajak (Pasal 3 ayat 1);
3. Penilaian kembali Aset tetap perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian
kembali Aset tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan ini (Pasal 3 ayat 2);
4. Sejak bulan dilakukannya penilaian kembali Aset tetap perusahaan, berlaku ketentuan
sebagai berikut : (a) dasar penyusutan fiskal Aset tetap yang telah memperoleh persetujuan
penilaian kembali adalah nilai pada saat penilaian kembali, (b) masa manfaat fiskal Aset
tetap yang telah dilakukan penilaian kembali Aset tetap perusahaan disesuaikan kembali
menjadi masa manfaat penuh untuk kelompok Aset tetap tersebut, (c) perhitungan
penyusutan dimulai sejak bulan dilakukannya penilaian kembali Aset tetap perusahaan
(Pasal 7 ayat 1);
5. Untuk bagian tahun pajak sampai dengan bulan sebelum bulan dilakukannya penilaian
kembali Aset tetap perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut : (a) dasar penyusutan
fiskal Aset tetap adalah dasar penyusutan fiskal pada awal tahun pajak yang bersangkutan,
6
25
(b) sisa masa manfaat fiskal Aset tetap adalah sisa manfaat fiskal pada awal tahun pajak
yang bersangkutan, (c) perhitungan penyusutannya dihitung secara prorata sesuai dengan
banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak tersebut (Pasal 7 ayat 2);
6. Penyusutan fiskal Aset tetap yang tidak memperoleh persetujuan penilaian kembali Aset
tetap perusahaan, tetap menggunakan dasar penyusutan fiskal dan sisa manfaat fiskal
semula sebelum dilakukannya penilaian kembali Aset tetap perusahaan (Pasal 7 ayat 3);
7. Selisih lebih penilaian kembali Aset tetap perusahaan di atas nilai sisa buku komersial
semula setelah dikurangi dengan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
harus dibukukan dalam neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama Selisih Lebih
Penilaian Kembali Aset Tetap Perusahaan Tanggal (Pasal 9 ayat 1);
Secara Akuntansi, mengenai revaluasi Aset tetap (aset tetap) diatur terutama dalam PSAK 16
(revisi 2007) tentang Aset Tetap yang merupakan hasil adopsian dari IAS 16 (2003) Property,
Plant and Equipment.
Beberapa perbedaan pengaturan revaluasi aset menurut perpajakan (PMK 79/2008)
dibandingkan dengan akuntansi (PSAK 16/2007) saya paparkan berikut ini.
Secara perpajakan, untuk melakukan penilaian kembali Aset tetap, perusahaan harus
memperoleh ijin dari Dirjen Pajak terlebih dahulu (lihat point ke-1 beberapa ketentuan pokok
PMK 79/2008 di atas). Secara akuntansi, berdasarkan PSAK 16/2007 tidak diperlukan adanya
persetujuan dari Dirjen Pajak untuk membukukan aset tetap model revaluasian.
Berdasarkan PSAK 16/2007 par. 36 diatur bahwa jika suatu aset tetap direvaluasi, maka seluruh
aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi. Dalam hal ini, PSAK memperbolehkan
perusahaan untuk melakukan revaluasi aset menurut kelompok aset tertentu (tidak harus
terhadap keseluruhan aset tetap). Perusahaan juga diperbolehkan untuk melakukan revaluasi
secara bergantian antara kelompok aset tetap yang berbeda (rolling basis) seperti yang
dijelaskan dalam par. 38. Sedangkan perpajakan dalam PMK 79/2008 (lihat point 2)
mengharuskan revaluasi dilakukan terhadap seluruh Aset tetap berwujud.
Selanjutnya, berdasarkan PSAK 16 (revisi 2007) par. 34 diatur bahwa perusahaan dapat
melakukan revaluasi aset dengan frekuensi revaluasi tergantung perubahan nilai wajar dari suatu
aset tetap yang direvaluasi. Jika nilai wajar dari aset yang direvaluasi berbeda secara material
dari jumlah tercatatnya, maka revaluasi lanjutan perlu dilakukan. Beberapa aset tetap mengalami
perubahan nilai wajar secara signifikan dan fluktuatif, sehingga perlu direvaluasi secara tahunan.
Sedangkan secara perpajakan menurut PMK 79/2008 (lihat point 3) diatur bahwa penilaian
kembali Aset tetap perusahaan tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5
26
tahun terhitung sejak penilaian kembali Aset tetap perusahaan terakhir yang dilakukan
berdasarkan PMK ini.
Perbedaan lainnya yang menjadi permasalahan adalah pengaturan menurut Pasal 9 ayat (1) PMK
79/2008 yang menyatakan bahwa selisih lebih penilaian kembali Aset tetap perusahaan harus
dibukukan dalam neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama Selisih Lebih Penilaian
Kembali Aset Tetap Perusahaan Tanggal .. (lihat point 7). Sedangkan PSAK 16/2007
mengatur pencatatan selisih revaluasi aset terutama dalam par. 39 dan par. 40.
Dalam par. 39 PSAK 16/2007 diatur bahwa jika jumlah tercatat aset meningkat akibat revaluasi,
kenaikan tersebut langsung dikredit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi. Namun, kenaikan
tersebut harus diakui dalam laporan laba rugi hingga sebesar jumlah penurunan nilai aset akibat
revaluasi yang pernah diakui sebelumnya dalam laporan laba rugi.
Selanjutnya, par. 40 mengatur bahwa jika jumlah tercatat aset turun akibat revaluasi, penurunan
tersebut diakui dalam laporan laba rugi. Namun, penurunan nilai akibat revaluasi tersebut
langsung didebit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi selama penurunan tersebut tidak
melebihi saldo kredit surplus revaluasi untuk aset tersebut.
Dari pengaturan kedua paragraf PSAK 16/2007 tersebut, jelas akan terjadi perbedaan pengakuan
saldo selisih revaluasi Aset tetap dengan pengaturan menurut PMK 79/2008.
Selain itu, perlu diperhatikan juga pengaturan masa transisi penerapan PSAK 16/2007 dalam
par. 84 yang menggariskan bahwa perusahaan yang sebelumnya pernah melakukan revaluasi
aset tetap dan masih memiliki saldo selisih nilai revaluasi aset tetap, maka pada saat penerapan
pertama kali PSAK 16/2007 ini harus mereklasifikasi seluruh saldo selisih nilai revaluasi aset
tetap tersebut ke saldo laba. Sedangkan PMK 79/2008 tidak mengatur mengenai hal ini.
PMK 79/2008 perlu (atau harus) direvisi ?
Ketidak-sinkronan antara pengaturan menurut PMK 79/2008 dengan PSAK 16/2007 seperti yang
saya paparkan sebelumnya merupakan permasalahan yang banyak diprotes habis-habisan oleh
para praktisi akuntansi di Indonesia.
Bapak Tarkosunaryo, partner KAP Syarief Basir & Rekan (a member of Russell Bedford
International) dalam milis FORKAP beberapa waktu yang lalu mengusulkan agar PMK 79/2008
tersebut direvisi, terutama untuk pasal 9 yang menurut beliau sebaiknya dihapus atau direvisi
karena kontradiktif dengan PSAK.
27
Dalam tulisannya yang dimuat majalah Akuntan Indonesia terbitan IAI Wilayah Jakarta dengan
judul Revaluasi Aset Tetap : Suatu Tinjauan dari Aspek Akuntansi dan Aspek Peraturan
Perpajakan, beliau memaparkan antara lain bahwa revisi pasal 9 PMK 79 tahun 2008
merupakan salah satu penyelesaian yang bijaksana agar perusahaan yang memilih model biaya
atau yang mencatat properti investasi dengan menggunakan model revaluasian dapat melakukan
penilaian kembali untuk tujuan perpajakan.
Lebih lanjut, dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa Bagaimana mencatat suatu transaksi
dalam laporan keuangan akan lebih tepat bila diserahkan sepenuhnya dengan mengikuti standar
akuntansi yang berlaku umum. Ini adalah domainnya akuntansi. Standar akuntansi telah disusun
melalui proses yang cermat, mempertimbangkan berbagai macam aspek dan frame work yang
jelas serta melibatkan semua stakeholdernya.
Ika Fransisca, dosen luar biasa pada Fakultas Ekonomi Unika Widya Mandala Surabaya serta
Wan Juli, tax manager pada Purwantono, Sarwoko, Sandjaja Consult dalam tulisannya berjudul
PMK No. 79/2008, Tidak Sejalan dengan PSAK ? yang dimuat dalam Indonesian Tax Review
Volume I/Edisi 09/2008 memaparkan antara lain bahwa ketidaksejalanan antara PSAK 16/2007
dengan PMK 79/2008 hampir pasti berujung pada banyaknya kesulitan, terutama yang terkait
dengan penerapan dampak pajak tangguhan seperti yang diatur dalam PSAK 46 Akuntansi Pajak
Tangguhan.
Dalam rezim yang lama, yaitu PSAK 16 sebelum revisi dan KMK No. 486/KMK.03/2002, hampir
pasti kedua ketentuan itu sejalan sehingga koreksi atas Aset tetap dan penyusutannya
(perbedaan penyusutan fiskal dan komersial) umumnya hanya menimbulkan beda waktu saja,
dan tentu saja, Aset dan kewajiban pajak tangguhan. Namun berdasarkan rezim baru ini, PSAK
revisi dan PMK No. 79/PMK.03/2008, hampir bisa dipastikan bahwa atas koreksi di Aset tetap
dan penyusutan, sebagai akibat adanya revaluasi itu, akan mengakibatkan beda waktu sekaligus
beda tetap. Hal ini disebabkan karena adanya kemungkinan komersial melakukan revaluasi,
sekalipun fiskal tidak, ataupun sebaliknya (fiskal melakukan revaluasi tetapi komersial tidak).
Lebih lanjut, dalam tulisan tersebut juga dijelaskan bahwa revaluasi juga mengakibatkan adanya
risiko lain yaitu timbulnya salah interpretasi dari pihak fiskus setelah melihat neraca Wajib
Pajak. Kesalahan interpretasi ini muncul akibat adanya selisih revaluasi yang tidak didukung
dengan pembayaran PPh Final, karena mungkin WP tersebut tidak mengajukan permohonan
revaluasi ke DJP.
Jadi, sebagai penutup, menurut saya, sudah saatnya pihak IAI dan Dirjen Pajak duduk bersama
membahas kembali masalah ini. Kalau tidak, buntutnya para praktisi akuntansi di Indonesia
28
bakalan pusing tujuh keliling terutama dalam menghitung dan membukukan efek pajak
tangguhan atas revaluasi aset tersebut. Cape deh. ( ) ***

29
PENANGGUHAN BEBAN PENYUSUTAN.

Jika sekiranya terjadinya penurunan produksi ataupun bahkan penghentian produksi mesin
pabrik untuk sementara sehingga Aset mesin pabrik tersebut dengan sendirinya juga tidak
dipergunakan, apakah diperbolehkan untuk menangguhkan pembebanan mesin pabrik untuk
sementara ? Tentunya hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa telah terjadi penurunan
ataupun penghentian penggunaan mesin pabrik tersebut.
Dari sudut akuntansi, PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap dalam paragraf 58 mengatur
bahwa penyusutan aset dimulai pada saat aset tersebut siap untuk digunakan, yaitu pada saat
aset tersebut berada pada lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai
dengan keinginan dan maksud manajemen. Penyusutan dari suatu aset dihentikan lebih awal
ketika :
1. aset tersebut diklasifikasikan sebagai aset dimiliki untuk dijual atau aset tersebut
termasuk dalam kelompok aset yang tidak dipergunakan lagi dan diklasifikasikan
sebagai aset dimiliki untuk dijual; dan
2. aset tersebut dihentikan pengakuannya seperti yang diatur dalam paragraf 69 (yaitu
jumlah tercatat aset tetap dihentikan pengakuannya pada saat dilepaskan atau tidak ada
manfaat ekonomis masa depan yang diharapkan dari penggunaan atau pelepasannya).
Oleh karena itu, penyusutan tidak berhenti pada saat aset tersebut tidak dipergunakan atau
dihentikan penggunaannya kecuali apabila telah habis disusutkan. Namun, apabila metode
penyusutan yang digunakan adalah usage method (seperti unit of production method) maka
beban penyusutan menjadi nol bila tidak ada produksinya.
Jadi, kesimpulannya, secara akuntansi pada dasarnya tidak boleh menghentikan ataupun
menangguhkan penyusutan sementara walaupun dengan alasan bahwa Aset tetap seperti mesin
pabrik misalnya tidak dipergunakan karena adanya penghentian produksi sementara, kecuali jika
metode penyusutan yang dipergunakan adalah usage method yang dengan sendirinya beban
penyusutan akan menjadi nol pada saat mesin tidak berproduksi.
Terus, kalau secara perpajakan apakah diperbolehkan ?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat mengacu ke Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-
02/PJ.42/1999 tanggal 26 Januari 1999 perihal Penegasan tentang Penangguhan Penyusutan atas
Harta Berwujud.
7
30
Melalui SE tersebut, Dirjen Pajak memberikan beberapa penegasan sebagai berikut :
1. Pada prinsipnya semua pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud, yang dimiliki
dan digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat
dibebankan sebagai biaya. Namun, apabila pengeluaran untuk memperoleh harta
berwujud tersebut mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, maka pembebanan
atas pengeluaran tersebut sebagai biaya harus dilakukan melalui penyusutan. Dengan
demikian, penyusutan adalah merupakan suatu metode pembebanan biaya.
2. Metode penyusutan yang dapat digunakan untuk menghitung besarnya penyusutan yang
dapat dibebankan sebagai biaya sebagaimana dimaksud pada butir 1 di atas adalah
Metode Garis Lurus, yaitu penyusutan atas pengeluaran harta berwujud yang dilakukan
dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi
harta tersebut, atau Metode Saldo Menurun, yaitu penyusutan atas pengeluaran harta
berwujud yang dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat
dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa
manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus. Dalam menghitung besarnya penyusutan
atas harta berwujud, Wajib Pajak hanya diperbolehkan menggunakan salah satu dari
kedua metode penyusutan tersebut untuk seluruh jenis harta berwujud dan penggunaan
metode penyusutan tersebut harus dilakukan secara taat azas.
3. Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang
masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya
pengerjaan harta tersebut (UU Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000 Pasal 11 ayat (3))
4. Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut
digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau pada bulan
harta yang bersangkutan mulai menghasilkan, dengan syarat harus mendapat
persetujuan terlebih dahulu dari Direktur Jenderal Pajak. Pengertian mulai menghasilkan
tersebut dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat
diterima atau diperolehnya penghasilan (UU Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000 Pasal
11 ayat (4))
5. Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud pada butir 1 di
atas, harus dilakukan setiap tahun selama masa manfaat harta berwujud yang
bersangkutan. Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud tersebut akan diakhiri
dengan penyusutan atau pembebanan sekaligus atas nilai sisa buku pada akhir masa
manfaat harta berwujud yang bersangkutan, kecuali apabila sebelum akhir masa manfaat
harta berwujud tersebut ditarik dari pemakaian atau dijual, maka penghitungan
penyusutan yang terakhir atas harta berwujud tersebut adalah penyusutan untuk tahun
terakhir sebelum tahun ditariknya harta berwujud tersebut dari pemakaian.
31
6. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa penangguhan
penyusutan atas harta berwujud yang telah disusutkan tidak diperkenankan, walaupun
dalam tahun pajak tersebut terjadi penurunan atau penghentian produksi. Oleh karena
itu, sepanjang harta berwujud tersebut tidak ditarik dari pemakaian atau tidak dijual,
maka penyusutan atas harta berwujud tersebut tetap harus dilakukan setiap tahun
selama masa manfaat harta berwujud yang bersangkutan.
Jadi, peraturan perpajakan juga tidak memperbolehkan adanya penangguhan penyusutan atas
Aset tetap yang sebelumnya telah disusutkan, kecuali jika Aset tetap tersebut ditarik dari
pemakaian ataupun dijual.
Catatan - perpajakan hanya mengakui metode penyusutan garis lurus dan saldo menurun (UU
Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000 Pasal 11 ayat (1) dan (2)). Penyusutan secara usage
method tidak diperkenankan dalam perpajakan.
32
BAD DEBT EXPENSE : PERLAKUAN PAJAK TANGGUHAN

Secara umum akuntansi mengenal dua metode pencatatan penghapusan piutang ragu-ragu yaitu
metode penghapusan langsung (direct write-off method) serta metode penghapusan tidak
langsung (indirect write-off method).
Dengan metode penghapusan langsung, pembebanan piutang tak tertagih baru dilakukan apabila
piutang benar-benar tidak dapat ditagih lagi. Sedangkan, metode penghapusan tidak langsung
mengharuskan pembentukan cadangan estimasi piutang tak tertagih pada setiap periode
pelaporan keuangan.
Sedangkan dari segi perpajakan hanya mengenal metode penghapusan langsung. Penggunaan
metode tidak langsung tidak diperkenankan dalam peraturan perpajakan.
Selain itu, perpajakan dalam UU PPh mensyaratkan bahwa suatu piutang baru dapat diakui
sebagai piutang tak tertagih dan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto jika secara yuridis
piutang benar-benar tidak dapat ditagih lagi.
Adapun persyaratan yuridis yang harus dipenuhi adalah sebagaimana yang ditentukan dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh, sebagai berikut :
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai
penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;
3. telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan
4. wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak.
Jika secara akuntansi perusahaan menerapkan metode penghapusan tidak langsung (melalui
pembentukan cadangan piutang tak tertagih), maka dengan sendirinya akan timbul beda waktu
antara pencatatan akuntansi dan perpajakan yang merupakan unsur pajak tangguhan menurut
PSAK 46.
Namun, dalam kondisi tertentu bad debt expense bisa berpotensi menjadi beda tetap. Jika
sekiranya wajib pajak tidak dapat memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
h UU PPh tersebut di atas maka bad debt expense secara perpajakan dengan sendirinya tidak
dapat dibiayakan sehingga berubah menjadi beda tetap.
8
33
Berikut ini ilustrasi sederhana perhitungan pajak tangguhan atas beda waktu bad debt expense :
PT A membukukan cadangan estimasi piutang tak tertagih per 31/12/2007 sebesar Rp
40.000.000 dengan jurnal sebagai berikut :
Bad Debt Expense 40.000.000
Cadangan Bad Deb Exp 40.000.000
Sedangkan jurnal pajak tangguhannya sebagai berikut :
Aset Pajak Tangguhan 12.000.000
Penghasilan Pjk Tangguhan 12.000.000
(perhitungan pajak tangguhan : 30 % x Rp 40.000.000)
KESIMPULAN
Pada prinsipnya perbedaan yang disebabkan oleh adanya bad debt expense merupakan beda
waktu (temporary difference), namun jika syarat penghapusan piutang tak tertagih yang diatur
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh tidak terpenuhi, maka bad debt expense yang timbul akan
menjadi beda tetap (permanent difference).
34
PERLAKUAN PAJAK TANGGUHAN KOMPENSASI RUGI FISKAL

Adapun pembahasan mengenai pajak tangguhan kali ini berkaitan dengan perlakuan akuntansi
pajak tangguhan atas saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi. Semoga bermanfaat bagi yang
belum memahami penghitungan dan pencatatan akuntansi pajak tangguhan atas kompensasi
saldo rugi fiskal.
PSAK No. 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan par. 26 menjelaskan bahwa saldo rugi fiskal
yang dapat dikompensasi diakui sebagai aset pajak tangguhan apabila besar kemungkinan bahwa
laba fiskal pada masa depan memadai untuk dikompensasi.
Lantas, apakah jika perusahaan memiliki saldo rugi fiskal serta telah memenuhi persyaratan
bahwa laba fiskal pada masa depan memadai untuk dikompensasi, maka langsung bisa
membukukan aset pajak tangguhan dalam laporan keuangannya ? Jika tidak, persyaratan apa lagi
yang harus diperhatikan ?
Menurut PSAK 46 par. 27 diatur bahwa berikut ini adalah hal-hal yang harus dipertimbangkan
dalam menentukan apakah penghasilan kena pajak akan tersedia dalam jumlah memadai untuk
dikompensasikan :
1. apakah perusahaan mempunyai perbedaan temporer kena pajak dalam jumlah yang
memadai, yang memungkinkan sisa kompensasi dapat digunakan sebelum masa
berlakunya kadaluarsa;
2. apakah perusahaan mungkin memperoleh laba fiskal agar saldo rugi fiskal yang dapat
dikompensasi kerugian dapat digunakan sebelum masa berlakunya daluarsa;
3. apakah saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi timbul dari kasus-kasus tertentu yang
hampir tidak mungkin berulang.
Apabila laba fiskal tidak mungkin tersedia dalam jumlah yang memadai untuk dapat
dikompensasi dengan saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi, maka aset pajak tangguhan
tidak diakui.
Paragraf 28 mengatur mengenai penilaian kembali aset pajak tangguhan. Pada setiap tanggal
neraca, perusahaan menilai kembali aset pajak tangguhan yang tidak diakui. Perusahaan
mengakui aset pajak tangguhan yang sebelumnya tidak diakui apabila besar kemungkinan bahwa
laba fiskal pada masa depan akan tersedia untuk pemulihannya.
9
35
Berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000 (UU PPh) Pasal 6 ayat (2) diatur
bahwa apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun
pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
Berikut ini ilustrasi sederhana penerapan penghitungan aset pajak tangguhan atas saldo rugi
fiskal yang dapat dikompensasi. Berhubung topik pembahasan kali ini terbatas pada kompensasi
saldo rugi fiskal maka untuk memudahkan pemahaman diasumsikan bahwa tidak terdapat unsur
beda temporer dalam rekonsiliasi perpajakan.
Dari rekonsiliasi laba (rugi) komersial dengan laba (rugi) menurut fiskal PT A selama 5 tahun
berturut-turut diperoleh gambaran sebagai berikut :
2006 2005 2004 2003
Laba (Rugi) Komersial 11.000 10.500 (4.000) (12.000)
Beda Tetap :
Sumbangan 300 500 100 400
Entertainment 100 300 150 800
Laba (Rugi) Fiskal 11.400 11.300 (3.750) (10.800)
Kompensasi (3.250) (14.550) (10.800) 0
Laba (Akumulasi Rugi) Fiskal 8.150 (3.250) (14.550) (10.800)


36
Ayat jurnal pajak tangguhan atas saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi mulai tahun 2003
sampai dengan tahun 2006 sebagai berikut :
Aset Pajak Tangguhan (DTA) 3.240
Pajak Penghasilan Tangguhan 3.240
(mencatat DTA tahun 2003)

Aset Pajak Tangguhan (DTA) 1.125
Pajak Penghasilan Tangguhan 1.125
(mencatat tambahan DTA 2004)

Pajak Penghasilan Tangguhan 3.390
Aset Pajak Tangguhan (DTA) 3.390
(reverse DTA - laba fiskal 2005)

Pajak Penghasilan Tangguhan 975
Aset Pajak Tangguhan (DTA) 975
(reverse DTA laba fiskal 2006)

Dari ayat-ayat jurnal di atas, dapat diketahui bahwa saldo Aset Pajak Tangguhan di Neraca PT A
per 31/12/2006 sudah menjadi nol seiring dengan habisnya kompensasi saldo rugi fiskal pada
tahun 2006.
Demikian sedikit gambaran perhitungan Aset Pajak Tangguhan atas Kompensasi Rugi Fiskal,
semoga bermanfaat.

37
PENERAPAN PSAK 15 DAN PSAK 46 ATAS PENYERTAAN SAHAM PERUSAHAAN
SERTA EFEK PERPAJAKANNYA

Jika sebuah perusahaan memiliki penyertaan saham dalam perusahaan lain, maka menurut
PSAK No. 15 mengenai Akuntansi untuk Investasi dalam Perusahaan Asosiasi diatur bahwa :
Penyertaan saham Perusahaan dan Anak Perusahaan dengan persentase kepemilikan paling
sedikit 20 % tetapi tidak lebih dari 50 %, baik langsung maupun tidak langsung, dicatat dengan
metode Ekuitas sebesar biaya perolehan, ditambah atau dikurangi dengan bagian laba atau rugi
bersih serta dikurangi dividen yang diterima setelah tanggal perolehan anak perusahaan sesuai
dengan persentase kepemilikannya. Sedangkan penyertaan saham dengan kepemilikan kurang
dari 20 % dicatat dengan metode Biaya Perolehan.
Ilustrasi sederhana penerapan metode Ekuitas sebagai berikut :
PT A memiliki penyertaan saham di PT B sebesar 40 % atau Rp 500 juta. Sampai dengan
tanggal 31 Desember 2007, saldo laba di pembukuan PT B sebesar Rp 750 Juta. Maka PT A
membukukan dalam Neracanya saldo Investasi (Penyertaan Saham) pada kelompok Aset sebesar
Rp 800 Juta yaitu Biaya Perolehan penyertaan Rp 500 Juta + Bagian Laba Bersih PT B yang
menjadi kepemilikan PT A sebesar Rp 300 Juta (Rp 750 Juta x 40%). Selain itu, pada laporan
laba rugi PT A juga dicatat Laba Penyertaan Saham sebesar Rp 300 Juta.
Jurnal lengkap dalam pembukuan PT A sebagai berikut :
Investasi (Penyertaan Saham) 800.000.000
K a s 500.000.000
Laba Penyertaan saham 300.000.000
Karena pencatatan investasi menggunakan metode Ekuitas, sesuai dengan PSAK 46 mengenai
Akuntansi Pajak Penghasilan (Pajak Tangguhan), maka akan menimbulkan perbedaan temporer
(dikoreksi fiskal) dan atas perbedaan tersebut akan dihitung pajak tangguhan.
Adapun perbedaan temporer (beda waktu) timbul karena secara perpajakan tidak mengakui
metode Ekuitas dalam mencatat investasi (penyertaan saham). UU Pajak menganut azas realisasi
berdasarkan metode Biaya Perolehan. Sehingga dengan demikian, secara pajak tidak akan timbul
laba (rugi) penyertaan saham sampai dengan saat realisasinya.
10
38
Dalam praktek, ada kalanya pencatatan penyertaan saham dengan menggunakan metode Ekuitas
sesuai dengan PSAK 15 dipermasalahkan oleh pihak fiskus. Tidak jarang ditemukan, aparat
pajak yang ngotot menyatakan bahwa laba penyertaan saham yang timbul adalah merupakan
objek pajak sehingga tidak boleh dilakukan koreksi fiskal.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, mungkin Surat Dirjen Pajak yang diterbitkan pada
tanggal 7 Maret 2003 dengan nomor S-168/PJ.312/2003 yang merupakan tanggapan atas
pertanyaan dari salah satu Wajib Pajak (WP), dapat menjadi senjata pamungkas.
Dalam surat tersebut, WP menanyakan permasalah berkaitan dengan penerapan PSAK 15 dan
PSAK 46 di atas kepada Dirjen Pajak bahwa apabila PSAK 15 dan PSAK 46 tersebut diterapkan
pada laporan keuangan komersial sehingga WP perlu melakukan penyesuaian dan koreksi fiskal
atas metode pencatatan tersebut dalam rangka menyajikan laporan keuangan fiskal, apakah
pihak fiskus dapat menyetujui dilakukannya koreksi fiskal untuk menyesuaikan metode Ekuitas
menjadi metode Biaya Perolehan ?
Atas permasalahan tersebut, Dirjen Pajak memberikan penegasan sebagai berikut :
1. Penghasilan dari investasi adalah dividen atau pembagian laba dengan nama dan dalam
bentuk apapun, serta keuntungan atau kerugian modal investasi itu sendiri (capital
gain/loss).
2. UU PPh menganut azas realisasi dan pada umumnya realisasi penghasilan dividen
terjadi setelah keputusan rapat umum pemegang saham mengenai pembagian laba
dan/atau pada saat pembayaran dengan nama dan dalam bentuk apapun. Sedangkan
realisasi keuntungan atau kerugian modal investasi terjadi pada saat penjualan atau
pembelian kembali (share buy back) atau likuidasi perusahaan investee. Selain itu, perlu
diperhatikan bahwa UU PPh juga mengatur/menetapkan penghasilan tertentu sebagai
bukan Objek Pajak meskipun secara komersial diakui.
3. Pembukuan investasi berdasarkan metode Ekuitas (PSAK 15) maupun akuntansi pajak
tangguhan (PSAK 46) hanya berlaku untuk pembukuan komersial yang tidak
berpengaruh terhadap pengakuan penghasilan dan pengakuan biaya/kerugian
untuk tujuan perpajakan.
Jadi, jelas bahwa pencatatan Laba (Rugi) Penyertaan Saham berdasarkan metode Ekuitas secara
komersial/akuntansi bukanlah merupakan objek pajak dan perlakuan sebagai unsur koreksi
fiskal dalam rekonsiliasi perpajakan juga sudah tepat

39
PERUBAHAN TARIF PAJAK BERDASARKAN UU NO. 36 TAHUN 2008, PERHITUNGAN
PAJAK TANGGUHAN HARUS DISESUAIKAN ?

Berdasarkan UU No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang No. 7 tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan kena
pajak baik untuk WP Perseorangan (WP Orang Pribadi) maupun WP Badan telah terjadi
perubahan.
Khusus untuk WP Badan sebelumnya berlaku tarif progresif yaitu 10%, 15% dan 30% [UU No.
17 tahun 2000 pasal 17 ayat (1b)], sedangkan berdasarkan Pasal 17 ayat (1b) UU No. 36 tahun
2008 dikenakan tarif tunggal sebesar 28%. Kemudian, dalam ayat 2a diatur lebih lanjut bahwa
mulai tahun pajak 2010 tarif yang berlaku diturunkan lagi menjadi 25%.
UU No. 36 tahun 2008 ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009.
Lantas, apakah perubahan tarif tersebut akan mempengaruhi perhitungan pajak tangguhan
(deferred tax) ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita simak kembali pengaturan dalam PSAK
terkait yaitu PSAK No. 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan.
PSAK 46 Akuntansi Pajak Penghasilan (Reformat 2007) dalam paragraf 29 mengatur bahwa
kewajiban (aset) pajak kini untuk periode berjalan dan periode sebelumnya diakui sebesar
jumlah pajak terutang (restitusi pajak), yang dihitung dengan menggunakan tarif pajak
(peraturan pajak) yang berlaku atau yang telah secara substantif berlaku pada tanggal neraca.
Selanjutnya, dalam paragraf 30 dijelaskan bahwa aset dan kewajiban pajak tangguhan harus
diukur dengan menggunakan tarif pajak yang akan berlaku pada saat aset dipulihkan atau
kewajiban dilunasi, yaitu dengan tarif pajak (peraturan pajak) yang telah berlaku atau yang telah
secara substantif berlaku pada tanggal neraca.
Kemudian, dalam paragaraf 31 dijelaskan juga bahwa aset dan kewajiban pajak, baik yang
bersifat kini maupun tangguhan, dihitung dengan tarif pajak (dan peraturan pajak) yang telah
berlaku. Apabila tarif pajak (dan peraturan pajak) baru telah diumumkan oleh pemerintah, maka
dapat dianggap bahwa tarif (dan peraturan) tersebut telah secara substantif berlaku [walaupun
berlakunya tarif (dan peraturan) tersebut secara efektif mungkin saja masih beberapa bulan
sesudah pengumumannya]. Dalam hal tersebut aset dan kewajiban pajak harus dihitung dengan
tarif pajak (dan peraturan pajak) baru yang telah dinyatakan berlaku.
11
40
Paragraf 32 menjelaskan bahwa apabila tarif pajak yang berlaku berbeda untuk tingkat laba
fiskal yang berbeda, maka aset dan kewajiban pajak tangguhan diukur dengan tarif pajak rata-
rata yang akan dikenakan terhadap laba fiskal (rugi pajak) pada saat perbedaan temporer
membalik (reverse).
Sedangkan paragraf selanjutnya yaitu par. 33 mengatur bahwa aset dan kewajiban pajak
tangguhan harus mencerminkan konsekuensi pajak untuk pemulihan nilai tercatat aset atau
penyelesaian kewajiban yang diharapkan perusahaan pada tanggal neraca.
Dari uraian di atas, jelas bahwa atas perubahan tarif pajak untuk WP Badan dari sebelumnya
dikenakan tarif progresif menjadi tarif tunggal yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2009, maka
atas penyajian Pajak Tangguhan tahun 2008 harus dilakukan penyesuaian sesuai dengan
pengaturan dalam PSAK No. 46.

41

Tentang Penulis

Hello, my name is Hardi. I'm working as an auditor at Johan Malonda Astika
& Rekan (an independent member of Baker Tilly International), Medan
branch office. I've been there since (maybe) 1994.
Johan Malonda Astika & Rekan is an accounting firm with head office in
Jakarta (Indonesia Capital City), and branches in Surabaya, Medan and Bali.
The address of Medan Branch office was at Jl. S.Parman No. 56, Medan,
North Sumatra 20112. Ranked among the top ten accounting firm in Indonesia.
For further information regarding on KAP Johan Malonda Astika & Rekan, please visit our
website at : www.johanmalonda.com
I was born in a little town in North Sumatra called Tanjung Balai. I grew up there until graduated
from SMA (High School). Then I moved to Medan (the capital city of North Sumatra Province in
Indonesia), starting my career there until this moment.
Until this moment, I've created several weblogs. Here is the list :
1. Audit-me Weblog (the ledger) - link to Accounting, Auditing and Taxation issues
2. Audit-me Weblog (the posting) - It's about Accounting, Auditing and Taxation in
Indonesia
3. Incorporated - It's about Cooperation
4. Just Link It - link to accounting resources
5. Office Hour - It's about office, working and career
6. Tech-me Weblog - It's talking about IT Technology
7. Follow Me - It's all about Twitter
8. Click - link to website resources
9. Netybloggy - link to blogger resources
10. Ready for IFRS ? - Mostly it's talking about IFRS issues
11. It's About Me, Mom and Dad - It's talking about parenting
12. Haiyaah! What's Up - link to news that interested me
I like to write and sharing information with others. That's why I've many blogs.
That's all. Thank you for visiting my blog and wishing you all a lovely day.
Regards, Hardi Cheng

You might also like