Disusun berdasarkan Artikel terbitan www.auditme-post.blogspot.com
Dianjurkan untuk mereproduksi atau memperbanyak seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun dengan izin dari penulis
ZEE Creative Malang 6100 Institut Akuntansi Facebook Indonesia Edisi Ebook Cetakan I: Juli 2009 ISBN: 999-99999-99-1
Karena Hak Cipta hanya Milik Tuhan
Teruntuk : Elok, Ryan dan Arum - sumber inspirasi dan semangat Daftar Isi
1. Pajak Tangguhan 1 2. Pokok-Pokok Perubahan Psak 16 (Revisi 2007) Tentang Aset Tetap 6 3. Beda Syarat Penyusutan Aset Tetap Menurut Pajak Dan Akuntansi 10 4. Revaluasi Aset 14 - Memperkecil Beban Pajak Dengan Revaluasi 17 - Depreciated Replacement Cost Approach Sebagai Pendekatan Alternatif Penentuan Nilai Wajar Aset Tetap 18 - Masa Transisi Penerapan Psak No. 16 (Revisi 2007) 19 5. Perlakuan Psak 40 Atas Revaluasi Aset Tetap Anak Perusahaan Serta Implikasi Pajaknya 21 6. Pmk No. 79 Tahun 2008 Vs Psak 16 Revisi 2007 24 7. Penangguhan Beban Penyusutan 29 8. Bad Debt Expense : Perlakuan Pajak Tangguhan 32 9. Kompensasi Rugi Fiskal : Perlakuan Pajak Tangguhan 34 10. Penerapan Psak 15 Dan Psak 46 Atas Penyertaan Saham Perusahaan Serta Efek Perpajakannya 37 11. Perubahan Tarif Pajak Berdasarkan Uu No. 36 Tahun 2008, Perhitungan Pajak Tangguhan Harus Disesuaikan ? 39 12 Tentang Penulis 41
Pengantar
Walaupun Akuntansi Pajak Tangguhan Yang Diatur Dalam Psak No. 46 Sudah Berlaku Efektif Sejak 1 Januari 2001 (Bagi Perusahaan Non-Public), Namun Tidak Bisa Dipungkiri Bahwa Sampai Dengan Saat Ini Masih Ada Praktisi Akuntansi Yang Belum Familiar Dengan Psak Tersebut. Ebook Ini Disusun Dari Artikel-Artikel Yang Dimuat Di Www.Auditme-Post.Blogspot.Com Yang Ditulis Oleh Hardi Cheng, Seorang Auditor Dari Kantor Akuntan Publik Johan Malonda Astika & Rekan (An Independent Member Of Baker Tilly International) Cabang Medan.
Sebelumnya Saya Tidak Punya Gambaran Yang Utuh Tentang Pajak Tangguhan. Dari Membaca Artikel Ini, Saya Jadi Lebih Mengerti Tentang Pajak Tangguhan. Agar Lebih Sistematis Saya Berinisiatif Untuk Menyusun Artikel-Artikel Yang Berkaitan Dengan Pajak Tangguhan Dalam Sebuah Ebook.
Penyusunan Ini Bukan Untuk Dikomersialkan, Tetapi Semata-Mata Untuk Berbagi Ilmu Dengan Semua Rekan, Teman, Atau Siapapun Yang Berminat Dengan Akuntansi Dan Perpajakan Yang Tergabung Dalam Institut Akuntansi Facebook Indonesia (Iafi) Khususnya Dan Masyarakat Pada Umumnya.
Saya Ucapkan Terima Kasih yang Sebesar-Besarnya Atas Sumbangsih Pemikiran Penulis Artikel Ini Untuk Kemajuan Pendidikan Akuntansi Di Indonesia.
Penyusun
1 PAJAK TANGGUHAN
Walaupun akuntansi Pajak Tangguhan yang diatur dalam PSAK No. 46 sudah berlaku efektif sejak 1 Januari 2001 (bagi perusahaan non-public), namun tidak bisa dipungkiri bahwa sampai dengan saat ini masih ada praktisi akuntansi yang belum familiar dengan PSAK tersebut. Berikut ini sedikit gambaran terkait penerapan Akuntansi Pajak Tangguhan berdasarkan PSAK No. 46 mengenai Pajak Penghasilan, yang saya kutip dari Indonesian Tax Review Vol. III/Edisi 36/2004. Sebelum PSAK No. 46 diperkenalkan, orientasi yang dipergunakan oleh standar akuntansi dalam Akuntansi Pajak Penghasilan lebih bersifat income statement liability approach, sementara pendekatan yang dipergunakan dalam PSAK No. 46 bersifat balance sheet liability approach. Tentunya, perbedaan orientasi tersebut menjadi kompleksitas baru bagi para akuntan, karena literatur lama dalam Akuntansi Pajak Penghasilan masih banyak yang menggunakan income statement liability approach. Akibatnya, perubahan pendekatan tersebut tentunya menuntut perubahan pola berpikir para akuntan dalam memahami esensi utama dari pengimplementasian PSAK No. 46. Accounting for Future Tax Effect Pajak tangguhan pada prinsipnya merupakan dampak PPh di masa yang akan datang yang disebabkan oleh perbedaan temporer (waktu) antara perlakuan akuntansi dan perpajakan serta kerugian fiskal yang masih dapat dikompensasikan di masa datang (tax loss carry forward) yang perlu disajikan dalam laporan keuangan dalam suatu periode tertentu. Dampak PPh di masa yang akan datang yang perlu diakui, dihitung, disajikan dan diungkapkan dalam laporan keuangan, baik neraca maupun laba rugi. Suatu perusahaan bisa saja membayar pajak lebih kecil saat ini, tapi sebenarnya memiliki potensi hutang pajak yang lebih besar di masa datang. Atau sebaliknya, bisa saja perusahaan membayar pajak lebih besar saat ini, tetapi sebenarnya memiliki potensi hutang pajak yang lebih kecil di masa datang. Bila dampak pajak di masa datang tersebut tidak tersaji dalam neraca dan laba rugi, maka laporan keuangan bisa saja menyesatkan pembacanya.
1 2 Kegiatan yang Dilakukan dalam Menentukan Pajak Tangguhan Sama halnya dengan proses akuntansi lainnya, Akuntansi Pajak Tangguhan tidak terlepas dari empat kegiatan berikut ini : Pertama, pengakuan (recognition) yaitu standar yang mengatur bahwa dampak PPh atas perbedaan temporer dan tax loss carry forward (TLCF) harus diakui dalam laporan keuangan. Pengakuan ini menyiratkan bahwa perusahaan pelapor akan memulihkan nilai tercatat deferred tax asset (DTA) dan akan melunasi nilai tercatat deferred tax liability (DTL) tersebut. DTA atau DTL yang disebabkan oleh perbedaan temporer akan terpulihkan di masa datang karena jumlah yang akan diakui sebagai biaya atau pendapatan akan sama antara akuntansi dan pajak, hanya berbeda alokasi waktunya saja. Sedangkan DTA yang timbul dari TLCF akan terpulihkan bila perusahaan menggunakan TLCF tersebut pada tahun di mana perusahaan memperoleh laba fiskal. Bila TLCF tersebut tidak terpakai dan menjadi hangus, maka DTA yang timbul harus disesuaikan. Kedua, pengukuran (measurement) yaitu cara menghitung jumlah yang harus dibukukan dalam buku besar perusahaan. Dalam hal ini pajak tangguhan akan dihitung dengan menggunakan tarif yang berlaku atau efektif akan berlaku di masa yang akan datang. Dalam praktek, biasanya pajak tangguhan dihitung dengan tarif PPh yang tertinggi yaitu sebesar 30%, meskipun tarif yang sebenarnya berlaku bersifat progresif. Lapisan tarif PPh sebesar 10% dan 15% dianggap tidak terlalu material untuk diperhitungkan. Di samping itu, kedua lapisan tarif PPh tersebut biasanya dipergunakan untuk menghitung pajak kini. Meskipun pajak tangguhan berkaitan dengan dampak pajak di masa datang, namun dalam pengukurannya tidak boleh didiskonto (discounted). Ketiga, penyajian (presentation) yaitu standar yang menentukan cara penyajian di dalam laporan keuangan, baik dalam neraca ataupun laba rugi. DTA atau DTL harus disajikan secara terpisah dari Aset atau kewajiban pajak kini dan disajikan dalam unsur non current dalam neraca. Sedangkan beban atau penghasilan pajak tangguhan harus disajikan terpisah dengan beban pajak kini dalam laporan keuangan. Keempat, pengungkapan (disclosure) yaitu berkaitan dengan standar informasi yang perlu diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan. Misalnya unsur-unsur utama perbedaan temporer yang menimbulkan pajak tangguhan, unsur-unsur yang dibebankan langsung ke laba ditahan, perubahan tarif pajak dan sebagainya.
3 Perbedaan Temporer Sesuai namanya, perbedaan temporer merupakan perbedaan perlakuan akuntansi dan perpajakan yang sifatnya temporer. Artinya secara keseluruhan beban atau pendapatan akuntansi maupun perpajakan sebenarnya sama, tetapi berbeda alokasi setiap tahunnya. Perbedaan temporer bisa bersifat koreksi positif atau koreksi negatif. Koreksi positif adalah koreksi yang menyebabkan penambahan laba fiskal yang akhirnya akan menambah PPh terutang. Sedangkan koreksi negatif merupakan koreksi yang menyebabkan pengurangan laba fiskal sehingga PPh terutang menjadi lebih kecil. Mengingat sifatnya yang temporer, maka koreksi positif saat ini akan mengakibatkan perusahaan membayar pajak besar saat ini, tetapi akan dikompensasi (dipulihkan) dengan penghematan PPh terutang karena koreksi negatif di masa datang. Demikian sebaliknya. Transaksi akuntansi yang mengakibatkan perbedaan temporer antara perlakuan akuntansi dan perpajakan yang merupakan unsur Pajak Tangguhan diantaranya adalah perbedaan metode penyusutan antara akuntansi dengan pajak, perbedaan perlakuan penyertaan saham equity method menurut akuntansi dengan cost method menurut pajak, perbedaan pencadangan pesangon menurut PSAK No. 24 dengan perpajakan yang hanya mengakui pembebanan pesangon pada saat realisasinya, perbedaan pencadangan piutang ragu-ragu menurut akuntansi dengan perpajakan yang hanya mengakui pembebanan piutang tak tertagih pada saat benar-benar tidak tertagih, dan lainnya. Sedangkan untuk rugi fiskal yang masih dapat dikompensasi di masa datang (tax loss carry forward) menurut PSAK No. 46 diakui sebagai Aset Pajak Tangguhan (DTA) apabila besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa yang akan datang memadai untuk dikompensasi. Atau dengan kata lain, bahwa akumulasi rugi fiskal yang terjadi baru boleh diakui sebagai Aset pajak tangguhan jika besar kemungkinan bisa dikompensasi seluruhnya dengan laba fiskal dalam 5 tahun ke depan, sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku . Berikut ini sebuah ilustrasi sederhana penerapan perhitungan Pajak Tangguhan atas perbedaan temporer penyusutan Aset tetap menurut Akuntansi dan Perpajakan (Fiskal) yang saya kutip dari Indonesian Tax Review Vol. III/Edisi 36/2004.
4 Tabel penyusutan menurut akuntansi dan fiskal sebagai berikut : Aset Tetap Beban Penyusutan menurut Akuntansi Beban Penyusutan menurut Fiskal Bangunan 562.500.000 1.125.000.000 Mesin 3.333.333.333 5.000.000.000 Kendaraan 1.500.000.000 1.875.000.000 Peralatan 500.000.000 625.000.000 Jumlah 5.895.833.333 8.625.000.000 Berdasarkan tabel perhitungan penyusutan dengan metode garis lurus di atas, dapat diketahui bahwa telah terjadi perbedaan temporer antara perlakuan pajak dengan akuntansi. Mengingat bahwa beban penyusutan secara fiskal lebih besar daripada beban penyusutan secara akuntansi, PT XYZ akan melakukan koreksi negatif. Akibatnya, koreksi tersebut dapat menyebabkan terjadinya pengurangan laba fiskal, sehingga beban PPh tahun berjalan menjadi lebih kecil. Perhitungan koreksi negatif yang dapat memperkecil laba fiskal tersebut adalah sebagai berikut : Laba akuntansi Rp 9.282.150.000 Koreksi fiskal - penyusutan akuntansi (+) 5.895.833.333 - penyusutan fiskal (-) (8.625.000.000) Laba Fiskal Rp 6.552.983.333 Pembulatan 6.552.983.000 Perhitungan Pajak Penghasilan Keterangan Akuntansi Fiskal Laba 9.282.150.000 6.552.983.333 PPh Terutang 10 % x 50.000.000 5.000.000 5.000.000 15 % x 50.000.000 7.500.000 7.500.000 30 % x 9.182.150.000 2.754.645.000 30 % x 6.452.983.000 1.935.894.900 Jumlah PPh 2.767.145.000 1.948.394.900
5 Taksiran Pajak Penghasilan Beban Pajak Kini Rp 1.948.394.900 Beban Pajak Tangguhan Rp 818.750.100 Jumlah Beban Pajak Rp 2.767.145.000 Jurnal akuntansinya sebagai berikut : Beban Pajak Kini 1.948.394.900 Beban Pajak Tangguhan 818.750.100 Hutang PPh 25/29 1.948.394.900 Kewajiban Pjk Tangguhan 818.750.100 Demikian ilustrasi sederhana perhitungan pajak tangguhan atas beda temporer penyusutan Aset tetap menurut akuntansi (komersial) dan pajak (fiskal). Semoga bermanfaat bagi yang belum memahami PSAK 46 khususnya yang berkaitan dengan Pajak Tangguhan.
6 POKOK-POKOK PERUBAHAN PSAK 16 (REVISI 2007) TENTANG ASET TETAP
PSAK 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap yang telah disahkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) pada tanggal 29 Mei 2007 menggantikan PSAK No. 16 (1994) tentang Aset Tetap dan Aset Lain-lain serta PSAK No. 17 (1994) tentang Akuntansi Penyusutan. Pada dasarnya PSAK 16 (Revisi 2007) telah mengadopsi IAS 16 (2003) Property, Plant and Equipment. Beberapa perubahan mendasar dari PSAK 16 (2007) dibandingkan dengan PSAK 16 (1994) diantaranya adalah : 1. PSAK No. 17 (1994) tentang Akuntansi Penyusutan dihilangkan dan pengaturannya disatukan dalam PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap. 2. Penggantian penggunaan istilah Aset menjadi Aset dalam seluruh PSAK 3. Komponen Biaya Perolehan Aset Tetap - Biaya yang dapat diatribusikan secara langsung sebagai komponen biaya perolehan aset tetap termasuk (a) biaya imbalan kerja (seperti yang didefinisikan dalam PSAK No. 24 tentang Imbalan Kerja) yang timbul secara langsung dari pembangunan atau akuisisi aset tetap, serta (b) biaya pengujian aset apakah aset berfungsi dengan baik, setelah dikurangi hasil bersih penjualan produk yang dihasilkan sehubungan dengan pengujian tersebut (PSAK 16 (2007) Par. 17). Kedua point tersebut tidak termasuk dalam PSAK 16 sebelumnya (lihat PSAK 16 (1994) Par. 14) 4. Bukan Komponen Biaya Perolehan Aset Tetap - Sebagian kegiatan terjadi sehubungan dengan pembangunan atau pengembangan suatu aset tetap, tetapi tidak dimaksudkan untuk membawa aset tersebut ke lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen. Kegiatan insidental ini mungkin terjadi sebelum atau selama konstruksi atau aktivitas pengembangan. Contoh, penghasilan yang diperoleh dari penggunaan lahan lokasi bangunan sebagai tempat parkir mobil sampai pembangunan dimulai. Karena kegiatan insidental ini tidak dimaksudkan untuk membawa aset tersebut ke lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen, penghasilan dan beban yang terkait dari kegiatan insidental diakui dalam laporan laba rugi dan diklasifikasikan dalam penghasilan dan beban (Par. 21). PSAK No. 16 (1994) sebelumnya tidak mengatur mengenai hal ini. 2 7 5. Pertukaran Aset Tetap PSAK No. 16 (1994) sebelumnya membedakan perlakuan pencatatan atas pertukaran Aset tetap yang sejenis/serupa (Par.21) serta pertukaran Aset tetap yang tidak sejenis/tidak serupa (Par. 20), sedangkan PSAK 16 (revisi 2007) tidak membedakannya. Par. 24 PSAK 16 (revisi 2007) mengatur bahwa untuk pertukaran aset tetap, biaya perolehan diukur pada nilai wajar kecuali (a) transaksi pertukaran tidak memiliki substansi komersial; atau (b) nilai wajar dari aset yang diterima dan diserahkan tidak dapat diukur secara andal. 6. Pengukuran Setelah Pengakuan Awal PSAK 16 (revisi 2007) Par. 15 maupun PSAK 16 (1994) sebelumnya (Par. 13) mengatur bahwa suatu aset tetap (Aset tetap) yang memenuhi kualifikasi untuk diakui sebagai aset (Aset) pada awalnya harus diukur sebesar biaya perolehan. PSAK 16 (revisi 2007) dalam Par. 29 mengatur mengenai Pengukuran Setelah Pengakuan Awal Aset Tetap, Suatu entitas harus memilih model biaya (cost model) dalam par. 30 atau model revaluasi (revaluation model) dalam par. 31 sebagai kebijakan akuntansinya dan menerapkan kebijakan tersebut terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama. Jadi, berdasarkan PSAK 16 (revisi 2007), entitas mempunyai 2 pilihan pencatatan akuntansi untuk pengukuran aset tetap setelah pengakuan awal, yaitu (a) model biaya atau (b) model revaluasi. Sedangkan PSAK 16 (1994) sebelumnya pada dasarnya tidak memperbolehkan penggunaan model revaluasi dalam pengukuran Aset tetap. Penilaian kembali atau revaluasi Aset tetap pada umumnya tidak diperkenankan karena Standar Akuntansi Keuangan menganut penilaian Aset berdasarkan harga perolehan atau harga pertukaran. Penyimpangan dari ketentuan ini mungkin dilakukan berdasarkan ketentuan pemerintah. Dalam hal ini laporan keuangan harus menjelaskan mengenai penyimpangan dari konsep harga perolehan di dalam penyajian Aset tetap serta pengaruh penyimpangan tersebut terhadap gambaran keuangan perusahaan. Selisih antara nilai revaluasi dengan nilai buku (nilai tercatat) Aset tetap dibukukan dalam akun modal dengan nama Selisih penilaian kembali Aset tetap. 7. Telaah Ulang Nilai Residu, Umur Manfaat dan Metode Penyusutan PSAK 16 (revisi 2007) Par. 54 mengatur bahwa nilai residu dan umur manfaat setiap aset tetap harus di-review minimum setiap akhir tahun buku dan apabila ternyata hasil review 8 berbeda dengan estimasi sebelumnya maka perbedaan tersebut harus diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi sesuai dengan PSAK No. 25 tentang Laba atau Rugi Bersih untuk Periode Berjalan, Koreksi Kesalahan Mendasar, dan Perubahan Kebijakan Akuntansi. Kemudian Par. 64 mengatur bahwa metode penyusutan yang digunakan untuk aset harus di-review minimum setiap akhir tahun buku dan, apabila terjadi perubahan yang signifikan dalam ekspektasi pola konsumsi manfaat ekonomi masa depan dari aset tersebut, maka metode penyusutan harus diubah untuk mencerminkan perubahan pola tersebut. Perubahan metode penyusutan harus diperlakukan sebagai perubahan estimasi akuntansi sesuai dengan PSAK No. 25 Sedangkan PSAK 16 (1994) sebelumnya dalam Par. 39 mengatur bahwa masa manfaat suatu Aset tetap harus ditelaah ulang secara periodik dan, jika harapan berbeda secara signifikan dengan estimasi sebelumnya, beban penyusutan untuk periode sekarang dan masa yang akan datang harus disesuaikan. Par. 42 PSAK 16 (1994) mengatur bahwa metode penyusutan yang digunakan untuk Aset tetap ditelaah ulang secara periodik dan jika terdapat suatu perubahan signifikan dalam pola pemanfaatan ekonomi yang diharapkan dari Aset tersebut, metode penyusutan harus diubah untuk mencerminkan perubahan tersebut. Perubahan metode penyusutan harus diperlakukan sebagai suatu perubahan kebijakan akuntansi dan dilaporkan sesuai dengan PSAK No. 25, dan beban penyusutan untuk periode sekarang dan masa yang akan datang harus disesuaikan. 8. PSAK 16 (Revisi 2007) Par. 45 mengatur bahwa : Jika dalam suatu entitas terdapat aset tetap yang tersedia untuk dijual, maka perlakuan akuntansi untuk aset tersebut adalah sebagai berikut : a) Diakui pada saat dilakukan penghentian operasi; b) Diukur sebesar nilai yang lebih rendah dari jumlah tercatatnya dibandingkan dengan nilai wajar setelah dikurangi dengan biaya-biaya penjualan aset tersebut; c) Disajikan sebagai aset tersedia untuk dijual, jika jumlah tercatatnya akan dipulihkan melalui transaksi penjualan dari penggunaan lebih lanjut; dan d) Diungkapkan dalam laporan keuangan dalam rangka evaluasi dampak penghentian operasi dan pelepasan aset (aset tidak lancar) Par. 45 yang mengatur mengenai perlakuan akuntansi untuk aset tetap yang tersedia untuk dijual ini mengacu ke paragraph 6, 15 dan 30 dari IFRS 5 : Non-current Assets Held for Sale and Discontinued Operations). 9 9. Penyusutan PSAK 16 (Revisi 2007) par. 46 mengatur bahwa setiap bagian dari aset tetap yang memiliki biaya perolehan cukup signifikan terhadap total biaya perolehan seluruh aset harus disusutkan secara terpisah. Sedangkan dalam PSAK 16 (1994) sebelumnya tidak diatur. 10. Aset Lain-lain PSAK 16 (1994) sebelumnya mengatur mengenai Aset Lain-lain sedangkan dalam PSAK 16 (revisi 2007) tidak diatur. 11. PSAK 16 (Revisi 2007) ini berlaku efektif untuk penyusunan dan penyajian laporan keuangan entitas yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari 2008. 10 BEDA SYARAT PENYUSUTAN ASET TETAP MENURUT PAJAK DAN AKUNTANSI
PSAK No. 16 (Revisi 2007) dalam paragraf 58 menyatakan bahwa Penyusutan aset dimulai pada saat aset tersebut siap untuk digunakan, yaitu pada saat aset tersebut berada pada lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen. Sedangkan pada paragraf 6 mengenai Definisi dinyatakan bahwa Penyusutan adalah alokasi sistematis jumlah yang dapat disusutkan dari suatu aset selama umur manfaatnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Umur manfaat (useful life) adalah : suatu periode dimana aset diharapkan akan digunakan oleh entitas; atau jumlah produksi atau unit serupa yang diharapkan akan diperoleh dari aset tersebut oleh entitas Dari penjelasan-penjelasan di atas, jelas bagi kita bahwa menurut PSAK 16, Aset tetap (aset tetap) mulai disusutkan pada saat aset tetap tersebut siap untuk digunakan. Oh, ya, sedikit informasi tambahan. Mungkin ada yang masih bingung dengan istilah Aset dan Aset Tetap, dimana sebelumnya istilah ini tidak pernah dipakai. Dalam PSAK revisian terakhir per 1 September 2007 terdapat beberapa perubahan diantaranya adalah PSAK No. 17 (Revisi 1994) tentang Akuntansi Penyusutan dihilangkan dan pengaturannya disatukan dalam PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap (merupakan revisian serta pengganti PSAK 16 (1994) tentang Aset Tetap dan Aset Lain-lain). Selain itu, dalam penerbitan terakhir ini juga dilakukan penggantian penggunaan kata Aset menjadi aset dalam seluruh PSAK. Jika kita menyimak UU Perpajakan khususnya Undang-undang Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000 Pasal 11 ayat (3) mengatur bahwa Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut. Berdasarkan pengaturan paragraf 58 PSAK 16 serta Pasal 11 ayat (3) UU PPh No. 17 tersebut, terlihat perbedaan syarat dimulainya penyusutan Aset tetap secara akuntansi dan perpajakan dimana : 1. secara akuntansi, Aset tetap (aset tetap) mulai disusutkan pada saat Aset tersebut siap untuk digunakan 3 11 2. secara perpajakan, Aset tetap mulai disusutkan pada bulan dilakukannya pengeluaran (pada saat diperoleh/dibeli). Peraturan perpajakan mengijinkan penyusutan Aset tetap dimulai saat digunakan (bukan saat diperoleh) dengan syarat harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dirjen Pajak seperti yang diatur dalam UU PPh No. 17 Pasal 11 ayat (4) berikut ini : Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan Terkait dengan perbedaan pengaturan syarat penyusutan Aset tetap secara akuntansi dan perpajakan seperti yang dipaparkan di atas, ada baiknya kita menyimak kasus berikut ini : Melalui surat tanggal 19 Desember 2000, PT Gunung Sawit Bina Lestari (PT Gunung Sawit) sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mulai berproduksi secara komersial sejak bulan Juli 1999 menanyakan kepada Dirjen Pajak perihal perlakuan penyusutan terhadap biaya- biaya yang dikeluarkan dalam rangka pengembangan lahan dan tanaman kelapa sawit (planting cost) selama masa belum menghasilkan (immature). Saat itu, perusahaan sedang diperiksa oleh Karikpa Jakarta Khusus Satu menyangkut kewajiban perpajakan tahun pajak 1999. Menurut Tim Pemeriksa, penyusutan atas planting costs harus dilakukan mulai tahun pengeluaran atau dapat juga disusutkan mulai tahun pertama tanaman tersebut menghasilkan dengan syarat harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Dirjen Pajak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 1985 serta SE Dirjen Pajak No. SE- 38/PJ.22/1987 dan No. SE-19/PJ.313/1991. Menurut perusahaan, mekanisme penyusutan planting cost yang diterapkan mulai tahun pertama tanaman kelapa sawit tersebut mulai menghasilkan sudah sesuai, karena planting cost sifatnya belum menjadi harta/Aset tetap yang dapat langsung dimanfaatkan sehingga tidak perlu mengajukan permohonan persetujuan dari Dirjen Pajak. Planting costs tersebut terdiri dari biaya-biaya berikut : Planting Expenditures Land Cost meliputi ganti rugi tanam tumbuh Kapitalisasi biaya bunga pinjaman Biaya-biaya sehubungan dengan pinjaman bank Kapitalisasi atas keuntungan (kerugian) akibat selisih kurs dalam pembukuan. 12 Planting cost dicatat dalam perkiraan Immature Plantation selama tanaman belum menghasilkan. Pada waktu tanaman sudah mulai menghasilkan, planting costs dipindahkan dari perkiraan Immature Plantation ke perkiraan Mature Plantation dan mulai disusutkan. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perusahaan meminta konfirmasi dari Dirjen Pajak atau penegasan mengenai : Penyusutan terhadap planting costs apakah dimulai pada tahun pengeluaran atau pada tahun pertama kelapa sawit tersebut menghasilkan ? Apabila disusutkan pada tahun pertama tanaman kelapa sawit tersebut menghasilkan, apakah diperlukan persetujuan terlebih dahulu dari Dirjen Pajak ? Apabila diperlukan persetujuan dari Dirjen Pajak, apakah perusahaan dapat mengajukan permohonan persetujuan secara retroaktif (berlaku surut) untuk tahun-tahun pajak 1995 sampai dengan 1999 ? Melalui Surat No. S-558/PJ.42/2001 tanggal 24 September 2001, Dirjen Pajak memberikan jawaban dan penegasan sebagai berikut : Berdasarkan Pasal 11 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan No. 10 tahun 1994 (saat itu), penyusutan dimulai pada tahun dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada tahun selesainya pengerjaan harta tersebut. Selanjutnya, pasal 11 ayat (4) mengatur bahwa dengan persetujuan Dirjen Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada tahun harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada tahun harta yang bersangkutan mulai menghasilkan. Berdasarkan SE Dirjen Pajak No. SE-38/PJ.22/1987 tanggal 20 November 1987 yang ditegaskan kemudian dengan SE-19/PJ.313/1991 tanggal 24 Desember 1994, penyusutan pada dasarnya dimulai pada tahun pengeluarannya. Namun, penyusutan dapat dilakukan pada tahun harta tersebut mulai menghasilkan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Dirjen Pajak. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dengan ini dapat diberikan penegasan bahwa : 1. Penyusutan terhadap planting cost menurut peraturan perpajakan, sebagaimana halnya penyusutan terhadap harta/Aset tetap lainnya yang tidak sedang dalam proses pengerjaan, dimulai pada tahun dilakukannya pengeluaran. Dalam hal penyusutan hendak dilakukan mulai pada tahun harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau pada tahun harta yang bersangkutan mulai 13 menghasilkan, maka Wajib Pajak wajib mengajukan permohonan dan mendapat persetujuan Dirjen Pajak; 2. Dalam hal dapat dibuktikan bahwa Wajib Pajak sama sekali belum membebankan penyusutan terhadap planting cost sampai dengan saat tanaman keras tersebut menghasilkan, maka atas permohonan Wajib Pajak, persetujuan Dirjen Pajak tersebut dapat berlaku retroaktif (berlaku surut). Secara akuntansi, syarat dimulainya penyusutan aset tetap adalah pada saat aset tersebut siap untuk digunakan, yaitu pada saat aset tersebut berada pada lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen (PSAK 16 (revisi 2007) par. 58). Sedangkan secara perpajakan, syarat dimulainya penyusutan Aset tetap adalah pada bulan dilakukannya pengeluaran kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut (UU Pajak Penghasilan No. 17 Tahun 2000 Pasal 11 ayat (3)). Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas berkaitan dengan syarat dimulainya penyusutan Aset tetap menurut pajak, silahkan lihat contoh di atas. Jika kita simak kembali pengaturan syarat dimulainya penyusutan aset tetap berdasarkan PSAK 16 (revisi 2007) par. 58 di atas sepertinya tidak mengatur dengan jelas mengenai apakah penyusutan aset tetap dilanjutkan atau harus ditangguhkan jika sekiranya aset tetap bersangkutan dihentikan penggunaannya sementara. Namun, jika kita membaca International Accounting Standard (IAS) No. 16, Property, Plant and Equipment , dalam paragraf 12 diatur bahwa : An entity is required to begin depreciating an item of property, plant and equipment when it is available for use and to continue depreciating it until it is derecognised, even if during that period the item is idle. The previous version of IAS 16 did not specify when depreciation of an item began and specified that an entity should cease depreciating an item that it had retired from active use and was holding for disposal. Jadi, jelas bahwa berdasarkan IAS 16, Property, Plant and Equipment , aset tetap tidak dihentikan pembebanan penyusutannya walaupun terjadi penghentian sementara atas penggunaan aset tetap bersangkutan.
14 REVALUASI ASET
Salah satu perubahan signifikan dari PSAK 16 (Revisi 2007) ini adalah mengenai revaluasi aset tetap. Dalam PSAK sebelumnya yaitu PSAK 16 (1994) mengenai Aset Tetap dan Aset Lain-lain pada dasarnya mengharuskan penyajian Aset tetap berdasarkan nilai perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan. Penilaian kembali atau revaluasi Aset tetap pada umumnya tidak diperkenankan karena Standar Akuntansi Keuangan menganut penilaian Aset berdasarkan harga perolehan atau harga pertukaran. Penyimpangan dari ketentuan ini mungkin dilakukan berdasarkan ketentuan pemerintah, dan dalam hal ini harus ada catatan ataupun penjelasan dalam laporan keuangan mengenai penyimpangan dari konsep harga perolehan dalam penyajian Aset tetap serta pengaruh penyimpangan tersebut terhadap gambaran keuangan perusahaan (PSAK 16 (1994) Par. 29). Jadi, sebelum berlakunya PSAK 16 (Revisi 2007), jika perusahaan melakukan revaluasi Aset tetap yang pada umumnya dilakukan berdasarkan ketentuan perpajakan, maka pada opini auditor harus ada catatan dan penjelasan tambahan berkaitan dengan hal tersebut. Dengan mulai berlakunya PSAK 16 (Revisi 2007) sejak 1 Januari 2008, maka perusahaan diperbolehkan untuk memilih model pencatatan aset tetap (setelah pengakuan awal) apakah menggunakan model biaya ataupun model revaluasi, dan harus diterapkan terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama. Jika menggunakan model biaya, maka setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai aset (PSAK 16 (revisi 2007) par. 30). Model ini adalah seperti yang diterapkan sebagian besar perusahaan selama ini. Sedangkan jika menggunakan model Revaluasi, maka setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi. Revaluasi harus dilakukan dengan keteraturan yang cukup regular untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara material dari jumlah yang ditentukan dengan menggunakan nilai wajar pada tanggal neraca (PSAK 16 (revisi 2007) par. 31). Dalam paragraph 34 diatur lebih lanjut bahwa frekuensi revaluasi tergantung perubahan nilai wajar dari suatu aset tetap yang direvaluasi. Jika nilai wajar dari aset yang direvaluasi berbeda secara material dari jumlah tercatatnya, maka revaluasi lanjutan perlu dilakukan. Beberapa aset 4 15 tetap mengalami perubahan nilai wajar secara signifikan dan fluktuatif, sehingga perlu direvaluasi secara tahunan. Revaluasi tahunan seperti itu tidak perlu dilakukan apabila perubahan nilai wajar tidak signifikan. Namun demikian, aset tersebut mungkin perlu direvaluasi setiap tiga atau lima tahun sekali. Paragraf 36 menjelaskan bahwa jika suatu aset tetap direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi. Paragraf 39 dan 40 mengatur mengenai perlakuan pencatatan atas peningkatan ataupun penurunan jumlah tercatat aset akibat revaluasi sebagai berikut : Jika jumlah tercatat aset meningkat akibat revaluasi, kenaikan tersebut langsung dikreditkan ke Ekuitas pada bagian Surplus Revaluasi. Namun kenaikan tersebut harus diakui dalam laporan laba rugi sehingga sebesar jumlah penurunan nilai aset akibat revaluasi yang pernah diakui sebelumnya dalam laporan laba rugi (par. 39) Jika jumlah tercatat aset turun akibat revaluasi, penurunan tersebut diakui dalam laporan laba rugi. Namun, penurunan nilai akibat revaluasi tersebut langsung didebit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi selama penurunan tersebut tidak melebihi saldo kredit surplus revaluasi untuk aset tersebut (par. 40). PSAK 16 (1994) menggunakan istilah Selisih Penilaian Kembali Aset Tetap untuk membukukan selisih antara nilai revaluasi dengan nilai buku (nilai tercatat) Aset tetap. Jika perusahaan mengubah kebijakan akuntansi dari model biaya ke model revaluasi dalam pengukuran aset tetap maka perubahan tersebut berlaku prospektif. Hal ini diatur dalam paragraph 43 PSAK 16 (revisi 2007). Ketentuan Transisi PSAK 16 (revisi 2007) mengatur bahwa : Perusahaan yang sebelum penerapan PSAK ini telah melakukan revaluasi aset tetap dan kemudian menggunakan model biaya sebagai kebijakan akuntansi pengukuran aset tetapnya, maka nilai revaluasi aset tetap tersebut dianggap sebagai biaya perolehan (deemed cost). Biaya perolehan tersebut adalah nilai pada saat PSAK ini diterbitkan (par. 83). Perusahaan yang sebelum penerapan PSAK ini pernah melakukan revaluasi aset tetap dan masih memiliki saldo selisih nilai revaluasi aset tetap, maka pada saat penerapan pertama kali PSAK ini harus mereklasifikasi seluruh saldo selisih nilai revaluasi aset tetap tersebut ke saldo laba. Hal tersebut harus diungkapkan. 16 Sistimatika dan aturan main pencatatan akuntansi aset tetap jika perusahaan memilih model revaluasian juga diatur dengan cukup jelas dalam PSAK 16 (Revisi 2007) tersebut. Sedangkan dari segi perpajakan, pengaturan mengenai penilaian kembali (revaluasi) Aset tetap perusahaan diatur terakhir berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 79/PMK.03/2008 yang mulai berlaku sejak 23 Mei 2008 (download di sini : PMK No.79/PMK.03/2008), menggantikan Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2002. Beberapa perbedaan antara pengaturan menurut KMK No. 486/KMK.03/2002 dengan PMK No. 79/PMK.03/2008 diantaranya adalah : 1. KMK yang lama mengatur bahwa revaluasi dapat dilakukan terhadap seluruh atau sebagian Aset tetap perusahaan (pasal 3 ayat (2)), sedangkan PMK yang baru mengharuskan revaluasi dilakukan terhadap seluruh Aset tetap (pasal 3 ayat (1)). 2. Revaluasi Aset tetap menurut KMK yang lama dapat dilakukan paling banyak 1 (satu) kali dalam tahun buku yang sama (pasal 3 ayat (3)), sedangkan PMK yang baru mengatur bahwa penilaian kembali Aset tetap perusahaan tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian kembali Aset tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini (pasal 3 ayat (2)). Pengaturan ini sepertinya agak bertentangan dengan perlakuan akuntansi menurut PSAK 16 (Revisi 2007) yang merupakan hasil adopsian dari IAS 16 dimana dalam paragraf 31 diatur bahwa (apabila perusahaan menerapkan model revaluasian) maka revaluasi harus dilakukan dengan keteraturan yang cukup regular untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara signifikan dari nilai wajar pada tanggal neraca. Selanjutnya dalam par. 34 dijelaskan lagi bahwa jika nilai wajar dari aset yang direvaluasi berbeda secara material dari jumlah tercatatnya, maka revaluasi lanjutan perlu dilakukan. Jadi, apabila setiap tahun terjadi perubahan nilai wajar secara signifikan terhadap jumlah tercatat aset tetap, maka dengan sendirinya revaluasi harus dilakukan secara tahunan. Sedangkan perpajakan mengatur bahwa Aset tetap baru boleh dinilai kembali setelah jangka waktu 5 tahun sejak revaluasi yang terakhir dilakukan. Seandainya perusahaan secara akuntansi menerapkan model revaluasian dalam mencatat aset tetapnya dan dalam 2 tahun kemudian nilai wajar aset tetap mengalami peningkatan signifikan sehingga perlu dilakukan revaluasi kembali jelas akan menghadapi masalah karena dengan sendirinya revaluasi yang dilakukan sudah menyimpang dari ketentuan perpajakan. Lantas bagaimana dengan Pajak Penghasilan Final 10 % yang dikenakan atas selisih lebih penilaian kembali Aset tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskalnya (Pasal 5 PMK No. 79) ? Apakah 17 tetap harus dibayar sedangkan jika prosedur revaluasi tidak sesuai ketentuan perpajakan sudah tentu tidak akan diterbitkan keputusan ijin revaluasi dari Dirjen Pajak ? Sepertinya harus pikir-pikir dulu sebelum menerapkan model revaluasian dalam mencatat aset tetap perusahaan sesuai PSAK 16 (Revisi 2007). Setidaknya harus sudah diprediksikan terlebih dahulu bahwa aset tetap yang sudah direvaluasi tersebut tidak akan mengalami peningkatan nilai wajar yang signifikan dalam 5 tahun ke depan
MEMPERKECIL BEBAN PAJAK DENGAN REVALUASI Pada Indonesian Tax Review Vol. III/Edisi 01/2003 kolom My Tax Advisor, seorang pembaca menanyakan masalah manfaat revaluasi Aset tetap, sebagai berikut : Saya pernah mendengar bahwa revaluasi Aset tetap mempunyai manfaat bagi perusahaan, khususnya dari sisi perpajakan yang akan mempengaruhi pajak yang dibayar menjadi lebih kecil. Apakah benar demikian ? Bagaimana persyaratannya ? Dalam penjelasan Pasal 19 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2000 (UU PPh Tahun 2000), dijelaskan bahwa dalam masa di mana terdapat perkembangan harga yang mencolok (inflasi) atau perubahan kebijakan di bidang moneter (devaluasi mata uang dalam negeri) dapat terjadi kekurangserasian antara biaya dan penghasilan yang dapat mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar. Hal ini disebabkan karena pengukuran biaya berdasarkan historical cost, sementara pendapatan diukur dengan harga berlaku yaitu current cost. Dalam keadaan demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali (revaluasi) Aset tetap dan faktor penyesuaiannya (indeksasi nilai perolehan Aset dan biaya penyusutannya), di mana yang masih berlaku sekarang adalah Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2003. Revaluasi Aset tetap memang mempunyai manfaat bagi perusahaan, yaitu antara lain : 1. Dapat menciptakan performance of balance sheet yang lebih baik, sebagai akibat meningkatnya nilai Aset dan modal; 2. Meningkatkan kepercayaan para pemegang saham, karena kenaikan nilai Aset dapat dicatat sebagai tambahan nilai saham (saham bonus); 18 3. Meningkatkan kepercayaan kreditur, sebagai dampak membaiknya beberapa rasio keuangan perusahaan, khususnya yang ditunjukkan oleh debt to assets ratio dan debt to equity ratio. 4. Penghematan pajak yang terjadi sebagai akibat bertambah besarnya nilai penyusutan Aset, yang dapat memberikan penghematan pajak sebesar 30% dari nilai tambah penyusutan. Sementara keuntungan dari revaluasi Aset hanya dikenakan pajak final sebesar 10%.
Depreciated Replacement Cost Approach Sebagai Pendekatan Alternatif Penentuan Nilai Wajar Aset Tetap Adapun prosedur, persyaratan dan perhitungan pajak atas revaluasi Aset tetap diatur di dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2003. Jika menggunakan model revaluasi, setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi. Nilai wajar tanah dan bangunan biasanya ditentukan melalui penilaian yang dilakukan oleh penilai yang memiliki kualifikasi profesional berdasarkan bukti pasar. Nilai wajar pabrik dan peralatan biasanya menggunakan nilai pasar yang ditentukan oleh penilai (PSAK 16 Par. 32). Jika tidak ada pasar yang dapat dijadikan dasar penentuan nilai wajar karena sifat dari aset tetap yang khusus dan jarang diperjual-belikan, kecuali sebagai bagian dari bisnis yang berkelanjutan, entitas mungkin perlu mengestimasi nilai wajar menggunakan pendekatan penghasilan atau biaya pengganti yang telah disusutkan (depreciated replacement cost approach) (PSAK 16 Par. 33). Yang akan saya bahas berikut ini adalah berkaitan dengan penerapan depreciated replacement cost approach dalam penentuan nilai wajar aset tetap. Dalam buku WILEY IFRS 2008 Interpretation and Application diberikan contoh penerapan depreciated replacement cost approach yang cukup jelas.
19 Berikut kutipannya ------------------------------------ IAS 16 suggests that fair value is usually determined by appraisers, using market-based evidence. Market values can also be used for machinery and equipment, but since such items often do not have readily determinable market values, particularly if intended for specialized applications, they may instead be valued at depreciated replacement cost. Example of depreciated replacement cost (sound value) as a valuation approach : An asset acquired January 1, 2005 at a cost of 40,000 was expected to have a useful economic life of 10 years. On January 1, 2008, it is appraised as having a gross replacement cost of 50,000. The sound value, or depreciated replacement cost, would be 7/10 x 50,000 or 35,000. This compares with a book, or carrying value of 28,000 at the same date. Mechanically, to accomplish a revaluation at January 1, 2008, the asset should be written up by 10,000 (i.e from 40,000 to 50,000 gross cost) and the accumulated depreciation should be proportionally written up by 3,000 (from 12,000 to 15,000). Under IAS 16, the net amount of the revaluation adjustment, 7,000 would be recognized in other comprehensive income and accumulated in revaluation surplus, an additional equity account. Demikian sedikit pembahasan berkaitan dengan penggunaan depreciated replacement cost approach sebagai pendekatan alternatif penentuan nilai wajar aset tetap. Semoga bisa membantu untuk lebih memahami PSAK 16 (Revisi 2007) terutama yang berkaitan dengan penerapan model revaluasi. Masa Transisi Penerapan PSAK No. 16 (Revisi 2007) Berkaitan dengan penerapan PSAK No. 16 (Revisi 2007) tersebut, kali ini saya ingin sedikit membahas mengenai ketentuan transisi yang diatur dalam paragraf 83 dan paragraf 84. Dalam paragraf 83 PSAK No. 16 (Revisi 2007) diatur bahwa Entitas yang sebelum penerapan Pernyataan ini telah melakukan revaluasi aset tetap dan kemudian menggunakan model biaya sebagai kebijakan akuntansi pengukuran aset tetapnya maka nilai revaluasi aset tetap tersebut dianggap sebagai biaya perolehan (deemed cost). Biaya perolehan tersebut adalah nilai pada saat Pernyataan ini diterbitkan. Artinya jika sebelumnya (tahun 2007 dan sebelumnya) perusahaan pernah melakukan revaluasi Aset tetap dan untuk tahun buku 2008, perusahaan memilih menggunakan model biaya dalam pencatatan aset tetapnya, maka nilai aset tetap yang dipergunakan sebagai biaya perolehan mulai tahun 2008 tidak mengalami perubahan dari tahun sebelumnya. 20 Kemudian, dalam paragraf 84 diatur bahwa Entitas yang sebelum penerapan Pernyataan ini pernah melakukan revaluasi aset tetap dan masih memiliki saldo selisih nilai revaluasi aset tetap, maka pada saat penerapan pertama kali Pernyataan ini harus mereklasifikasi seluruh saldo selisih nilai revaluasi aset tetap tersebut ke saldo laba. Hal tersebut harus diungkapkan. Paragraf ini menjelaskan bahwa jika misalnya pada Neraca PT A per 31/12/2007 terdapat saldo Selisih Penilaian Kembali Aset Tetap yang merupakan pencatatan selisih hasil penilaian kembali (revaluasi) Aset tetap dengan jumlah tercatat (nilai buku) Aset tetap atas hasil revaluasi Aset pada tahun 2007 ataupun tahun-tahun sebelumnya, maka saldo tersebut per 1 Januari 2008 harus direklas ke Saldo Laba. Contoh penyajian dalam Neraca PT A per 30 Juni 2008 dan per 31 Desember 2007 sebagai berikut : EKUITAS 30/6/08 31/12/07 Modal Saham 2.000 2.000 Selisih penilaian aset tetap 0 1.200 Saldo Laba 55.000 32.500 Sedangkan penyajian Laporan Perubahan Ekuitas per 30 Juni 2008 dan 31 Desember 2007 sebagai akibat dari reklasifikasi Selisih Penilaian Kembali Aset Tetap sebesar Rp 1.200 sebagai berikut : Modal SPAT R/E Jumlah Saldo per 1/1/2008 2.000 1.200 32.500 35.700 Laba Bersih 0 0 21.300 21.300 Penyesuaian atas penerapan PSAK 16 (revisi 2007) 0 (1.200) 1.200 0 Saldo per 30/6/2008 2.000 0 55.000 57.000 Modal = Modal Saham; SPAT = Selisih Penilaian Kembali Aset Tetap; R/E = Saldo Laba
21 PERLAKUAN PSAK 40 ATAS REVALUASI ASET TETAP ANAK PERUSAHAAN SERTA IMPLIKASI PAJAKNYA PT XYZ mempunyai investasi saham pada PT ABC sebesar 30 % dari total saham beredar. Pada tanggal 12 Maret 2004, PT ABC melakukan penilaian kembali Aset tetap. Semua Aset tetap PT ABC memenuhi persyaratan untuk dinilai kembali sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2002 dan nilai buku Aset tetap sama dengan nilai buku fiskal. Penilaian kembali dilakukan oleh lembaga penilai yang menetapkan bahwa nilai pasar wajar Aset tersebut sebesar Rp 900 Juta. Atas penilaian kembali Aset tetap tersebut dicatat oleh PT ABC dengan jurnal sebagai berikut : Aset tetap (nilai revaluasi) 900.000.000 Pajak Penghasilan 50.000.000 Aset Tetap (nilai buku Aset lama) 400.000.000 Kas/PPh Terhutang 50.000.000 Selisih Penilaian Kembali Aset Tetap 500.000.000 Sedangkan dalam pembukuan PT XYZ dijurnal sebagai berikut : Investasi pada PT ABC 150.000.000 Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Perush Asosiasi 150.000.000 (Dari nilai selisih revaluasi Aset tetap, yang menjadi bagian pemilikan PT XYZ adalah 30 % x Rp 500 Juta = Rp 150 Juta) Ilustrasi di atas untuk mencatat pengakuan Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Perusahaan Asosiasi dalam pembukuan induk perusahaan yang memiliki investasi (penyertaan) saham pada anak perusahaan sebagai akibat adanya revaluasi Aset tetap anak perusahaan sesuai dengan PSAK No. 40 Akuntansi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan/Perusahaan Asosiasi. Lantas, bagaimana perlakuan perpajakan atas pencatatan transaksi di atas ? Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-29/PJ.312/2006 tanggal 19 Januari 2006, Dirjen Pajak memberikan penegasan atas pertanyaan seorang Wajib Pajak berkaitan dengan hal tersebut. 5 22 PT ABC adalah perusahaan yang bergerak dalam penerbitan surat kabar nasional di Indonesia. Dalam perkembangan usahanya, PT ABC mempunyai penyertaan saham pada 4 anak perusahaan yang bergerak dalam bisnis yang berbeda dengan PT ABC. Pada tahun pajak 2004, PT ABC dan anak-anak perusahaannya melakukan penilaian kembali Aset tetap secara fiscal sehingga terdapat kenaikan selisih penilaian kembali Aset tetap pada PT ABC dan anak perusahaannya. Dalam neraca PT ABC, kenaikan selisih penilaian kembali Aset tetap dicatat pada perkiraan Selisih Lebih Penilaian Kembali Aset Tetap dan kenaikan selisih penilaian kembali Aset tetap pada anak perusahaan (berkaitan dengan investasi PT ABC pada anak perusahaan seperti contoh di atas) dicatat dalam pembukuan PT ABC pada perkiraan Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan yang berasal dari Selisih Lebih Penilaian Kembali Aset Tetap selanjutnya akan dikapitalisasi sebagai tambahan Modal Disetor. Sehubungan dengan hal di atas, bagaimana implikasi perlakuan Pajak Penghasilan atas pencatatan tambahan Modal Disetor atau saham bonus dari kapitalisasi Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan yang berasal dari Selisih Lebih Penilaian Kembali Aset Tetap tersebut ? Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2002 tentang Penilaian Kembali Aset Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan, diatur bahwa : 1. Pasal 9 ayat (1), selisih lebih penilaian kembali Aset tetap perusahaan di atas nilai sisa buku komersial semula setelah dikurangi dengan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus dibukukan dalam neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama Selisih Lebih Penilaian Kembali Aset Tetap Perusahaan 2. Pasal 9 ayat (2), pemberian saham bonus atau pencatatan tambahan nilai nominal saham tanpa penyetoran yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali Aset tetap perusahaan, sampai dengan sebesar selisih lebih penilaian kembali secara fiskal tersebut dalam Pasal 5 ayat (1), bukan merupakan Objek Pajak. 3. Pasal 9 ayat (3), dalam hal selisih lebih penilaian kembali secara fiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) lebih besar daripada selisih lebih penilaian kembali secara komersial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemberian saham bonus atau pencatatan tambahan nilai nominal saham tanpa penyetoran yang bukan merupakan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), hanya sampai dengan sebesar selisih penilaian kembali secara komersial. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas : 23 1. Pencatatan Selisih Transaksi Perubahan Ekuitas Anak Perusahaan yang berasal dari Selisih Lebih Penilaian Kembali Aset Tetap merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhi ketentuan dalam PSAK No. 40 2. Dalam hal PT ABC dan anak-anak perusahaannya melakukan penilaian kembali Aset tetap (revaluasi Aset) untuk tujuan perpajakan, jika terdapat selisih lebih karena penilaian kembali Aset maka selisih tersebut merupakan Objek Pajak. Dalam peraturan perpajakan, anak perusahaan merupakan entitas sendiri yang terpisah dari induk perusahaan sehingga penghasilan/keuntungan anak perusahaan dicatat dalam laporan keuangan masing-masing. Dalam hal selisih lebih penilaian kembali Aset tetap anak perusahaan yang dilakukan untuk tujuan perpajakan selanjutnya dikapitalisasi sebagai tambahan modal disetor, maka selisih lebih tersebut merupakan saham bonus kepada pemegang saham sebesar persentase penyetoran pada anak perusahaan. Sepanjang pemberian saham bonus atau tambahan modal tanpa penyetoran yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih revaluasi Aset tetap tersebut tidak melebihi selisih lebih revaluasi secara fiskal, maka pemberian saham bonus tersebut bukan merupakan Objek Pajak atau pembayaran dividen. Dengan demikian, saham bonus atau tambahan modal yang berasal dari kapitalisasi selisih lebih revaluasi Aset tetap anak perusahaan secara fiskal bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan ataupun pembayaran dividen bagi pemegang saham. Dalam hal di kemudian hari, pemegang saham mengalihkan/menjual sahamnya, maka keuntungan (capital gain) atau penghasilan yang diterima oleh pemegang saham atas penjualan atau pengalihan saham bonus tersebut kepada pihak ketiga merupakan Objek Pajak Penghasilan yang harus diakui pemegang saham pada tahun pajak saham bonus tersebut dialihkan atau dijual ( ).
24 PMK NO. 79 TAHUN 2008 VS PSAK 16 REVISI 2007
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 79/PMK.03/2008 yang ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2008 mengatur mengenai penilaian kembali Aset tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan. PMK ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan merupakan pengganti dari Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2002. Sesuai dengan judul tulisan di atas, kali ini saya tidak akan membahas mengenai pengaturan perpajakan atas PMK No. 79 tahun 2008 ini. Akan tetapi, yang akan saya bahas adalah mengenai pengaturan revaluasi Aset tetap (aset tetap menurut istilah PSAK revisian) secara perpajakan (PMK No. 79 tahun 2008) dibandingkan dengan pengaturan menurut akuntansi (PSAK 16 revisi 2007). Beberapa ketentuan pokok menurut PMK No. 79 tahun 2008 yang akan saya perbandingkan nantinya adalah : 1. Untuk melakukan penilaian kembali Aset tetap perusahaan, perusahaan mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak (pasal 2 ayat 1); 2. Penilaian kembali Aset tetap Perusahaan dilakukan terhadap : (a) Seluruh Aset tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan; atau (b) seluruh Aset tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak (Pasal 3 ayat 1); 3. Penilaian kembali Aset tetap perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian kembali Aset tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini (Pasal 3 ayat 2); 4. Sejak bulan dilakukannya penilaian kembali Aset tetap perusahaan, berlaku ketentuan sebagai berikut : (a) dasar penyusutan fiskal Aset tetap yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali adalah nilai pada saat penilaian kembali, (b) masa manfaat fiskal Aset tetap yang telah dilakukan penilaian kembali Aset tetap perusahaan disesuaikan kembali menjadi masa manfaat penuh untuk kelompok Aset tetap tersebut, (c) perhitungan penyusutan dimulai sejak bulan dilakukannya penilaian kembali Aset tetap perusahaan (Pasal 7 ayat 1); 5. Untuk bagian tahun pajak sampai dengan bulan sebelum bulan dilakukannya penilaian kembali Aset tetap perusahaan berlaku ketentuan sebagai berikut : (a) dasar penyusutan fiskal Aset tetap adalah dasar penyusutan fiskal pada awal tahun pajak yang bersangkutan, 6 25 (b) sisa masa manfaat fiskal Aset tetap adalah sisa manfaat fiskal pada awal tahun pajak yang bersangkutan, (c) perhitungan penyusutannya dihitung secara prorata sesuai dengan banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak tersebut (Pasal 7 ayat 2); 6. Penyusutan fiskal Aset tetap yang tidak memperoleh persetujuan penilaian kembali Aset tetap perusahaan, tetap menggunakan dasar penyusutan fiskal dan sisa manfaat fiskal semula sebelum dilakukannya penilaian kembali Aset tetap perusahaan (Pasal 7 ayat 3); 7. Selisih lebih penilaian kembali Aset tetap perusahaan di atas nilai sisa buku komersial semula setelah dikurangi dengan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus dibukukan dalam neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama Selisih Lebih Penilaian Kembali Aset Tetap Perusahaan Tanggal (Pasal 9 ayat 1); Secara Akuntansi, mengenai revaluasi Aset tetap (aset tetap) diatur terutama dalam PSAK 16 (revisi 2007) tentang Aset Tetap yang merupakan hasil adopsian dari IAS 16 (2003) Property, Plant and Equipment. Beberapa perbedaan pengaturan revaluasi aset menurut perpajakan (PMK 79/2008) dibandingkan dengan akuntansi (PSAK 16/2007) saya paparkan berikut ini. Secara perpajakan, untuk melakukan penilaian kembali Aset tetap, perusahaan harus memperoleh ijin dari Dirjen Pajak terlebih dahulu (lihat point ke-1 beberapa ketentuan pokok PMK 79/2008 di atas). Secara akuntansi, berdasarkan PSAK 16/2007 tidak diperlukan adanya persetujuan dari Dirjen Pajak untuk membukukan aset tetap model revaluasian. Berdasarkan PSAK 16/2007 par. 36 diatur bahwa jika suatu aset tetap direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi. Dalam hal ini, PSAK memperbolehkan perusahaan untuk melakukan revaluasi aset menurut kelompok aset tertentu (tidak harus terhadap keseluruhan aset tetap). Perusahaan juga diperbolehkan untuk melakukan revaluasi secara bergantian antara kelompok aset tetap yang berbeda (rolling basis) seperti yang dijelaskan dalam par. 38. Sedangkan perpajakan dalam PMK 79/2008 (lihat point 2) mengharuskan revaluasi dilakukan terhadap seluruh Aset tetap berwujud. Selanjutnya, berdasarkan PSAK 16 (revisi 2007) par. 34 diatur bahwa perusahaan dapat melakukan revaluasi aset dengan frekuensi revaluasi tergantung perubahan nilai wajar dari suatu aset tetap yang direvaluasi. Jika nilai wajar dari aset yang direvaluasi berbeda secara material dari jumlah tercatatnya, maka revaluasi lanjutan perlu dilakukan. Beberapa aset tetap mengalami perubahan nilai wajar secara signifikan dan fluktuatif, sehingga perlu direvaluasi secara tahunan. Sedangkan secara perpajakan menurut PMK 79/2008 (lihat point 3) diatur bahwa penilaian kembali Aset tetap perusahaan tidak dapat dilakukan kembali sebelum lewat jangka waktu 5 26 tahun terhitung sejak penilaian kembali Aset tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan PMK ini. Perbedaan lainnya yang menjadi permasalahan adalah pengaturan menurut Pasal 9 ayat (1) PMK 79/2008 yang menyatakan bahwa selisih lebih penilaian kembali Aset tetap perusahaan harus dibukukan dalam neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama Selisih Lebih Penilaian Kembali Aset Tetap Perusahaan Tanggal .. (lihat point 7). Sedangkan PSAK 16/2007 mengatur pencatatan selisih revaluasi aset terutama dalam par. 39 dan par. 40. Dalam par. 39 PSAK 16/2007 diatur bahwa jika jumlah tercatat aset meningkat akibat revaluasi, kenaikan tersebut langsung dikredit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi. Namun, kenaikan tersebut harus diakui dalam laporan laba rugi hingga sebesar jumlah penurunan nilai aset akibat revaluasi yang pernah diakui sebelumnya dalam laporan laba rugi. Selanjutnya, par. 40 mengatur bahwa jika jumlah tercatat aset turun akibat revaluasi, penurunan tersebut diakui dalam laporan laba rugi. Namun, penurunan nilai akibat revaluasi tersebut langsung didebit ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi selama penurunan tersebut tidak melebihi saldo kredit surplus revaluasi untuk aset tersebut. Dari pengaturan kedua paragraf PSAK 16/2007 tersebut, jelas akan terjadi perbedaan pengakuan saldo selisih revaluasi Aset tetap dengan pengaturan menurut PMK 79/2008. Selain itu, perlu diperhatikan juga pengaturan masa transisi penerapan PSAK 16/2007 dalam par. 84 yang menggariskan bahwa perusahaan yang sebelumnya pernah melakukan revaluasi aset tetap dan masih memiliki saldo selisih nilai revaluasi aset tetap, maka pada saat penerapan pertama kali PSAK 16/2007 ini harus mereklasifikasi seluruh saldo selisih nilai revaluasi aset tetap tersebut ke saldo laba. Sedangkan PMK 79/2008 tidak mengatur mengenai hal ini. PMK 79/2008 perlu (atau harus) direvisi ? Ketidak-sinkronan antara pengaturan menurut PMK 79/2008 dengan PSAK 16/2007 seperti yang saya paparkan sebelumnya merupakan permasalahan yang banyak diprotes habis-habisan oleh para praktisi akuntansi di Indonesia. Bapak Tarkosunaryo, partner KAP Syarief Basir & Rekan (a member of Russell Bedford International) dalam milis FORKAP beberapa waktu yang lalu mengusulkan agar PMK 79/2008 tersebut direvisi, terutama untuk pasal 9 yang menurut beliau sebaiknya dihapus atau direvisi karena kontradiktif dengan PSAK. 27 Dalam tulisannya yang dimuat majalah Akuntan Indonesia terbitan IAI Wilayah Jakarta dengan judul Revaluasi Aset Tetap : Suatu Tinjauan dari Aspek Akuntansi dan Aspek Peraturan Perpajakan, beliau memaparkan antara lain bahwa revisi pasal 9 PMK 79 tahun 2008 merupakan salah satu penyelesaian yang bijaksana agar perusahaan yang memilih model biaya atau yang mencatat properti investasi dengan menggunakan model revaluasian dapat melakukan penilaian kembali untuk tujuan perpajakan. Lebih lanjut, dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa Bagaimana mencatat suatu transaksi dalam laporan keuangan akan lebih tepat bila diserahkan sepenuhnya dengan mengikuti standar akuntansi yang berlaku umum. Ini adalah domainnya akuntansi. Standar akuntansi telah disusun melalui proses yang cermat, mempertimbangkan berbagai macam aspek dan frame work yang jelas serta melibatkan semua stakeholdernya. Ika Fransisca, dosen luar biasa pada Fakultas Ekonomi Unika Widya Mandala Surabaya serta Wan Juli, tax manager pada Purwantono, Sarwoko, Sandjaja Consult dalam tulisannya berjudul PMK No. 79/2008, Tidak Sejalan dengan PSAK ? yang dimuat dalam Indonesian Tax Review Volume I/Edisi 09/2008 memaparkan antara lain bahwa ketidaksejalanan antara PSAK 16/2007 dengan PMK 79/2008 hampir pasti berujung pada banyaknya kesulitan, terutama yang terkait dengan penerapan dampak pajak tangguhan seperti yang diatur dalam PSAK 46 Akuntansi Pajak Tangguhan. Dalam rezim yang lama, yaitu PSAK 16 sebelum revisi dan KMK No. 486/KMK.03/2002, hampir pasti kedua ketentuan itu sejalan sehingga koreksi atas Aset tetap dan penyusutannya (perbedaan penyusutan fiskal dan komersial) umumnya hanya menimbulkan beda waktu saja, dan tentu saja, Aset dan kewajiban pajak tangguhan. Namun berdasarkan rezim baru ini, PSAK revisi dan PMK No. 79/PMK.03/2008, hampir bisa dipastikan bahwa atas koreksi di Aset tetap dan penyusutan, sebagai akibat adanya revaluasi itu, akan mengakibatkan beda waktu sekaligus beda tetap. Hal ini disebabkan karena adanya kemungkinan komersial melakukan revaluasi, sekalipun fiskal tidak, ataupun sebaliknya (fiskal melakukan revaluasi tetapi komersial tidak). Lebih lanjut, dalam tulisan tersebut juga dijelaskan bahwa revaluasi juga mengakibatkan adanya risiko lain yaitu timbulnya salah interpretasi dari pihak fiskus setelah melihat neraca Wajib Pajak. Kesalahan interpretasi ini muncul akibat adanya selisih revaluasi yang tidak didukung dengan pembayaran PPh Final, karena mungkin WP tersebut tidak mengajukan permohonan revaluasi ke DJP. Jadi, sebagai penutup, menurut saya, sudah saatnya pihak IAI dan Dirjen Pajak duduk bersama membahas kembali masalah ini. Kalau tidak, buntutnya para praktisi akuntansi di Indonesia 28 bakalan pusing tujuh keliling terutama dalam menghitung dan membukukan efek pajak tangguhan atas revaluasi aset tersebut. Cape deh. ( ) ***
29 PENANGGUHAN BEBAN PENYUSUTAN.
Jika sekiranya terjadinya penurunan produksi ataupun bahkan penghentian produksi mesin pabrik untuk sementara sehingga Aset mesin pabrik tersebut dengan sendirinya juga tidak dipergunakan, apakah diperbolehkan untuk menangguhkan pembebanan mesin pabrik untuk sementara ? Tentunya hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa telah terjadi penurunan ataupun penghentian penggunaan mesin pabrik tersebut. Dari sudut akuntansi, PSAK No. 16 (Revisi 2007) tentang Aset Tetap dalam paragraf 58 mengatur bahwa penyusutan aset dimulai pada saat aset tersebut siap untuk digunakan, yaitu pada saat aset tersebut berada pada lokasi dan kondisi yang diinginkan agar aset siap digunakan sesuai dengan keinginan dan maksud manajemen. Penyusutan dari suatu aset dihentikan lebih awal ketika : 1. aset tersebut diklasifikasikan sebagai aset dimiliki untuk dijual atau aset tersebut termasuk dalam kelompok aset yang tidak dipergunakan lagi dan diklasifikasikan sebagai aset dimiliki untuk dijual; dan 2. aset tersebut dihentikan pengakuannya seperti yang diatur dalam paragraf 69 (yaitu jumlah tercatat aset tetap dihentikan pengakuannya pada saat dilepaskan atau tidak ada manfaat ekonomis masa depan yang diharapkan dari penggunaan atau pelepasannya). Oleh karena itu, penyusutan tidak berhenti pada saat aset tersebut tidak dipergunakan atau dihentikan penggunaannya kecuali apabila telah habis disusutkan. Namun, apabila metode penyusutan yang digunakan adalah usage method (seperti unit of production method) maka beban penyusutan menjadi nol bila tidak ada produksinya. Jadi, kesimpulannya, secara akuntansi pada dasarnya tidak boleh menghentikan ataupun menangguhkan penyusutan sementara walaupun dengan alasan bahwa Aset tetap seperti mesin pabrik misalnya tidak dipergunakan karena adanya penghentian produksi sementara, kecuali jika metode penyusutan yang dipergunakan adalah usage method yang dengan sendirinya beban penyusutan akan menjadi nol pada saat mesin tidak berproduksi. Terus, kalau secara perpajakan apakah diperbolehkan ? Untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat mengacu ke Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE- 02/PJ.42/1999 tanggal 26 Januari 1999 perihal Penegasan tentang Penangguhan Penyusutan atas Harta Berwujud. 7 30 Melalui SE tersebut, Dirjen Pajak memberikan beberapa penegasan sebagai berikut : 1. Pada prinsipnya semua pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dibebankan sebagai biaya. Namun, apabila pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud tersebut mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, maka pembebanan atas pengeluaran tersebut sebagai biaya harus dilakukan melalui penyusutan. Dengan demikian, penyusutan adalah merupakan suatu metode pembebanan biaya. 2. Metode penyusutan yang dapat digunakan untuk menghitung besarnya penyusutan yang dapat dibebankan sebagai biaya sebagaimana dimaksud pada butir 1 di atas adalah Metode Garis Lurus, yaitu penyusutan atas pengeluaran harta berwujud yang dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut, atau Metode Saldo Menurun, yaitu penyusutan atas pengeluaran harta berwujud yang dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama masa manfaat dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus. Dalam menghitung besarnya penyusutan atas harta berwujud, Wajib Pajak hanya diperbolehkan menggunakan salah satu dari kedua metode penyusutan tersebut untuk seluruh jenis harta berwujud dan penggunaan metode penyusutan tersebut harus dilakukan secara taat azas. 3. Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan harta tersebut (UU Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000 Pasal 11 ayat (3)) 4. Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan, dengan syarat harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Direktur Jenderal Pajak. Pengertian mulai menghasilkan tersebut dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya penghasilan (UU Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000 Pasal 11 ayat (4)) 5. Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana dimaksud pada butir 1 di atas, harus dilakukan setiap tahun selama masa manfaat harta berwujud yang bersangkutan. Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud tersebut akan diakhiri dengan penyusutan atau pembebanan sekaligus atas nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harta berwujud yang bersangkutan, kecuali apabila sebelum akhir masa manfaat harta berwujud tersebut ditarik dari pemakaian atau dijual, maka penghitungan penyusutan yang terakhir atas harta berwujud tersebut adalah penyusutan untuk tahun terakhir sebelum tahun ditariknya harta berwujud tersebut dari pemakaian. 31 6. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan ini ditegaskan bahwa penangguhan penyusutan atas harta berwujud yang telah disusutkan tidak diperkenankan, walaupun dalam tahun pajak tersebut terjadi penurunan atau penghentian produksi. Oleh karena itu, sepanjang harta berwujud tersebut tidak ditarik dari pemakaian atau tidak dijual, maka penyusutan atas harta berwujud tersebut tetap harus dilakukan setiap tahun selama masa manfaat harta berwujud yang bersangkutan. Jadi, peraturan perpajakan juga tidak memperbolehkan adanya penangguhan penyusutan atas Aset tetap yang sebelumnya telah disusutkan, kecuali jika Aset tetap tersebut ditarik dari pemakaian ataupun dijual. Catatan - perpajakan hanya mengakui metode penyusutan garis lurus dan saldo menurun (UU Pajak Penghasilan No. 17 tahun 2000 Pasal 11 ayat (1) dan (2)). Penyusutan secara usage method tidak diperkenankan dalam perpajakan. 32 BAD DEBT EXPENSE : PERLAKUAN PAJAK TANGGUHAN
Secara umum akuntansi mengenal dua metode pencatatan penghapusan piutang ragu-ragu yaitu metode penghapusan langsung (direct write-off method) serta metode penghapusan tidak langsung (indirect write-off method). Dengan metode penghapusan langsung, pembebanan piutang tak tertagih baru dilakukan apabila piutang benar-benar tidak dapat ditagih lagi. Sedangkan, metode penghapusan tidak langsung mengharuskan pembentukan cadangan estimasi piutang tak tertagih pada setiap periode pelaporan keuangan. Sedangkan dari segi perpajakan hanya mengenal metode penghapusan langsung. Penggunaan metode tidak langsung tidak diperkenankan dalam peraturan perpajakan. Selain itu, perpajakan dalam UU PPh mensyaratkan bahwa suatu piutang baru dapat diakui sebagai piutang tak tertagih dan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto jika secara yuridis piutang benar-benar tidak dapat ditagih lagi. Adapun persyaratan yuridis yang harus dipenuhi adalah sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh, sebagai berikut : 1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; 2. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; 3. telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan 4. wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak. Jika secara akuntansi perusahaan menerapkan metode penghapusan tidak langsung (melalui pembentukan cadangan piutang tak tertagih), maka dengan sendirinya akan timbul beda waktu antara pencatatan akuntansi dan perpajakan yang merupakan unsur pajak tangguhan menurut PSAK 46. Namun, dalam kondisi tertentu bad debt expense bisa berpotensi menjadi beda tetap. Jika sekiranya wajib pajak tidak dapat memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh tersebut di atas maka bad debt expense secara perpajakan dengan sendirinya tidak dapat dibiayakan sehingga berubah menjadi beda tetap. 8 33 Berikut ini ilustrasi sederhana perhitungan pajak tangguhan atas beda waktu bad debt expense : PT A membukukan cadangan estimasi piutang tak tertagih per 31/12/2007 sebesar Rp 40.000.000 dengan jurnal sebagai berikut : Bad Debt Expense 40.000.000 Cadangan Bad Deb Exp 40.000.000 Sedangkan jurnal pajak tangguhannya sebagai berikut : Aset Pajak Tangguhan 12.000.000 Penghasilan Pjk Tangguhan 12.000.000 (perhitungan pajak tangguhan : 30 % x Rp 40.000.000) KESIMPULAN Pada prinsipnya perbedaan yang disebabkan oleh adanya bad debt expense merupakan beda waktu (temporary difference), namun jika syarat penghapusan piutang tak tertagih yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh tidak terpenuhi, maka bad debt expense yang timbul akan menjadi beda tetap (permanent difference). 34 PERLAKUAN PAJAK TANGGUHAN KOMPENSASI RUGI FISKAL
Adapun pembahasan mengenai pajak tangguhan kali ini berkaitan dengan perlakuan akuntansi pajak tangguhan atas saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi. Semoga bermanfaat bagi yang belum memahami penghitungan dan pencatatan akuntansi pajak tangguhan atas kompensasi saldo rugi fiskal. PSAK No. 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan par. 26 menjelaskan bahwa saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi diakui sebagai aset pajak tangguhan apabila besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa depan memadai untuk dikompensasi. Lantas, apakah jika perusahaan memiliki saldo rugi fiskal serta telah memenuhi persyaratan bahwa laba fiskal pada masa depan memadai untuk dikompensasi, maka langsung bisa membukukan aset pajak tangguhan dalam laporan keuangannya ? Jika tidak, persyaratan apa lagi yang harus diperhatikan ? Menurut PSAK 46 par. 27 diatur bahwa berikut ini adalah hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam menentukan apakah penghasilan kena pajak akan tersedia dalam jumlah memadai untuk dikompensasikan : 1. apakah perusahaan mempunyai perbedaan temporer kena pajak dalam jumlah yang memadai, yang memungkinkan sisa kompensasi dapat digunakan sebelum masa berlakunya kadaluarsa; 2. apakah perusahaan mungkin memperoleh laba fiskal agar saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi kerugian dapat digunakan sebelum masa berlakunya daluarsa; 3. apakah saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi timbul dari kasus-kasus tertentu yang hampir tidak mungkin berulang. Apabila laba fiskal tidak mungkin tersedia dalam jumlah yang memadai untuk dapat dikompensasi dengan saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi, maka aset pajak tangguhan tidak diakui. Paragraf 28 mengatur mengenai penilaian kembali aset pajak tangguhan. Pada setiap tanggal neraca, perusahaan menilai kembali aset pajak tangguhan yang tidak diakui. Perusahaan mengakui aset pajak tangguhan yang sebelumnya tidak diakui apabila besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa depan akan tersedia untuk pemulihannya. 9 35 Berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000 (UU PPh) Pasal 6 ayat (2) diatur bahwa apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun. Berikut ini ilustrasi sederhana penerapan penghitungan aset pajak tangguhan atas saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi. Berhubung topik pembahasan kali ini terbatas pada kompensasi saldo rugi fiskal maka untuk memudahkan pemahaman diasumsikan bahwa tidak terdapat unsur beda temporer dalam rekonsiliasi perpajakan. Dari rekonsiliasi laba (rugi) komersial dengan laba (rugi) menurut fiskal PT A selama 5 tahun berturut-turut diperoleh gambaran sebagai berikut : 2006 2005 2004 2003 Laba (Rugi) Komersial 11.000 10.500 (4.000) (12.000) Beda Tetap : Sumbangan 300 500 100 400 Entertainment 100 300 150 800 Laba (Rugi) Fiskal 11.400 11.300 (3.750) (10.800) Kompensasi (3.250) (14.550) (10.800) 0 Laba (Akumulasi Rugi) Fiskal 8.150 (3.250) (14.550) (10.800)
36 Ayat jurnal pajak tangguhan atas saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi mulai tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 sebagai berikut : Aset Pajak Tangguhan (DTA) 3.240 Pajak Penghasilan Tangguhan 3.240 (mencatat DTA tahun 2003)
Aset Pajak Tangguhan (DTA) 1.125 Pajak Penghasilan Tangguhan 1.125 (mencatat tambahan DTA 2004)
Pajak Penghasilan Tangguhan 3.390 Aset Pajak Tangguhan (DTA) 3.390 (reverse DTA - laba fiskal 2005)
Pajak Penghasilan Tangguhan 975 Aset Pajak Tangguhan (DTA) 975 (reverse DTA laba fiskal 2006)
Dari ayat-ayat jurnal di atas, dapat diketahui bahwa saldo Aset Pajak Tangguhan di Neraca PT A per 31/12/2006 sudah menjadi nol seiring dengan habisnya kompensasi saldo rugi fiskal pada tahun 2006. Demikian sedikit gambaran perhitungan Aset Pajak Tangguhan atas Kompensasi Rugi Fiskal, semoga bermanfaat.
37 PENERAPAN PSAK 15 DAN PSAK 46 ATAS PENYERTAAN SAHAM PERUSAHAAN SERTA EFEK PERPAJAKANNYA
Jika sebuah perusahaan memiliki penyertaan saham dalam perusahaan lain, maka menurut PSAK No. 15 mengenai Akuntansi untuk Investasi dalam Perusahaan Asosiasi diatur bahwa : Penyertaan saham Perusahaan dan Anak Perusahaan dengan persentase kepemilikan paling sedikit 20 % tetapi tidak lebih dari 50 %, baik langsung maupun tidak langsung, dicatat dengan metode Ekuitas sebesar biaya perolehan, ditambah atau dikurangi dengan bagian laba atau rugi bersih serta dikurangi dividen yang diterima setelah tanggal perolehan anak perusahaan sesuai dengan persentase kepemilikannya. Sedangkan penyertaan saham dengan kepemilikan kurang dari 20 % dicatat dengan metode Biaya Perolehan. Ilustrasi sederhana penerapan metode Ekuitas sebagai berikut : PT A memiliki penyertaan saham di PT B sebesar 40 % atau Rp 500 juta. Sampai dengan tanggal 31 Desember 2007, saldo laba di pembukuan PT B sebesar Rp 750 Juta. Maka PT A membukukan dalam Neracanya saldo Investasi (Penyertaan Saham) pada kelompok Aset sebesar Rp 800 Juta yaitu Biaya Perolehan penyertaan Rp 500 Juta + Bagian Laba Bersih PT B yang menjadi kepemilikan PT A sebesar Rp 300 Juta (Rp 750 Juta x 40%). Selain itu, pada laporan laba rugi PT A juga dicatat Laba Penyertaan Saham sebesar Rp 300 Juta. Jurnal lengkap dalam pembukuan PT A sebagai berikut : Investasi (Penyertaan Saham) 800.000.000 K a s 500.000.000 Laba Penyertaan saham 300.000.000 Karena pencatatan investasi menggunakan metode Ekuitas, sesuai dengan PSAK 46 mengenai Akuntansi Pajak Penghasilan (Pajak Tangguhan), maka akan menimbulkan perbedaan temporer (dikoreksi fiskal) dan atas perbedaan tersebut akan dihitung pajak tangguhan. Adapun perbedaan temporer (beda waktu) timbul karena secara perpajakan tidak mengakui metode Ekuitas dalam mencatat investasi (penyertaan saham). UU Pajak menganut azas realisasi berdasarkan metode Biaya Perolehan. Sehingga dengan demikian, secara pajak tidak akan timbul laba (rugi) penyertaan saham sampai dengan saat realisasinya. 10 38 Dalam praktek, ada kalanya pencatatan penyertaan saham dengan menggunakan metode Ekuitas sesuai dengan PSAK 15 dipermasalahkan oleh pihak fiskus. Tidak jarang ditemukan, aparat pajak yang ngotot menyatakan bahwa laba penyertaan saham yang timbul adalah merupakan objek pajak sehingga tidak boleh dilakukan koreksi fiskal. Untuk menjawab permasalahan tersebut, mungkin Surat Dirjen Pajak yang diterbitkan pada tanggal 7 Maret 2003 dengan nomor S-168/PJ.312/2003 yang merupakan tanggapan atas pertanyaan dari salah satu Wajib Pajak (WP), dapat menjadi senjata pamungkas. Dalam surat tersebut, WP menanyakan permasalah berkaitan dengan penerapan PSAK 15 dan PSAK 46 di atas kepada Dirjen Pajak bahwa apabila PSAK 15 dan PSAK 46 tersebut diterapkan pada laporan keuangan komersial sehingga WP perlu melakukan penyesuaian dan koreksi fiskal atas metode pencatatan tersebut dalam rangka menyajikan laporan keuangan fiskal, apakah pihak fiskus dapat menyetujui dilakukannya koreksi fiskal untuk menyesuaikan metode Ekuitas menjadi metode Biaya Perolehan ? Atas permasalahan tersebut, Dirjen Pajak memberikan penegasan sebagai berikut : 1. Penghasilan dari investasi adalah dividen atau pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, serta keuntungan atau kerugian modal investasi itu sendiri (capital gain/loss). 2. UU PPh menganut azas realisasi dan pada umumnya realisasi penghasilan dividen terjadi setelah keputusan rapat umum pemegang saham mengenai pembagian laba dan/atau pada saat pembayaran dengan nama dan dalam bentuk apapun. Sedangkan realisasi keuntungan atau kerugian modal investasi terjadi pada saat penjualan atau pembelian kembali (share buy back) atau likuidasi perusahaan investee. Selain itu, perlu diperhatikan bahwa UU PPh juga mengatur/menetapkan penghasilan tertentu sebagai bukan Objek Pajak meskipun secara komersial diakui. 3. Pembukuan investasi berdasarkan metode Ekuitas (PSAK 15) maupun akuntansi pajak tangguhan (PSAK 46) hanya berlaku untuk pembukuan komersial yang tidak berpengaruh terhadap pengakuan penghasilan dan pengakuan biaya/kerugian untuk tujuan perpajakan. Jadi, jelas bahwa pencatatan Laba (Rugi) Penyertaan Saham berdasarkan metode Ekuitas secara komersial/akuntansi bukanlah merupakan objek pajak dan perlakuan sebagai unsur koreksi fiskal dalam rekonsiliasi perpajakan juga sudah tepat
39 PERUBAHAN TARIF PAJAK BERDASARKAN UU NO. 36 TAHUN 2008, PERHITUNGAN PAJAK TANGGUHAN HARUS DISESUAIKAN ?
Berdasarkan UU No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan kena pajak baik untuk WP Perseorangan (WP Orang Pribadi) maupun WP Badan telah terjadi perubahan. Khusus untuk WP Badan sebelumnya berlaku tarif progresif yaitu 10%, 15% dan 30% [UU No. 17 tahun 2000 pasal 17 ayat (1b)], sedangkan berdasarkan Pasal 17 ayat (1b) UU No. 36 tahun 2008 dikenakan tarif tunggal sebesar 28%. Kemudian, dalam ayat 2a diatur lebih lanjut bahwa mulai tahun pajak 2010 tarif yang berlaku diturunkan lagi menjadi 25%. UU No. 36 tahun 2008 ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2009. Lantas, apakah perubahan tarif tersebut akan mempengaruhi perhitungan pajak tangguhan (deferred tax) ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita simak kembali pengaturan dalam PSAK terkait yaitu PSAK No. 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan. PSAK 46 Akuntansi Pajak Penghasilan (Reformat 2007) dalam paragraf 29 mengatur bahwa kewajiban (aset) pajak kini untuk periode berjalan dan periode sebelumnya diakui sebesar jumlah pajak terutang (restitusi pajak), yang dihitung dengan menggunakan tarif pajak (peraturan pajak) yang berlaku atau yang telah secara substantif berlaku pada tanggal neraca. Selanjutnya, dalam paragraf 30 dijelaskan bahwa aset dan kewajiban pajak tangguhan harus diukur dengan menggunakan tarif pajak yang akan berlaku pada saat aset dipulihkan atau kewajiban dilunasi, yaitu dengan tarif pajak (peraturan pajak) yang telah berlaku atau yang telah secara substantif berlaku pada tanggal neraca. Kemudian, dalam paragaraf 31 dijelaskan juga bahwa aset dan kewajiban pajak, baik yang bersifat kini maupun tangguhan, dihitung dengan tarif pajak (dan peraturan pajak) yang telah berlaku. Apabila tarif pajak (dan peraturan pajak) baru telah diumumkan oleh pemerintah, maka dapat dianggap bahwa tarif (dan peraturan) tersebut telah secara substantif berlaku [walaupun berlakunya tarif (dan peraturan) tersebut secara efektif mungkin saja masih beberapa bulan sesudah pengumumannya]. Dalam hal tersebut aset dan kewajiban pajak harus dihitung dengan tarif pajak (dan peraturan pajak) baru yang telah dinyatakan berlaku. 11 40 Paragraf 32 menjelaskan bahwa apabila tarif pajak yang berlaku berbeda untuk tingkat laba fiskal yang berbeda, maka aset dan kewajiban pajak tangguhan diukur dengan tarif pajak rata- rata yang akan dikenakan terhadap laba fiskal (rugi pajak) pada saat perbedaan temporer membalik (reverse). Sedangkan paragraf selanjutnya yaitu par. 33 mengatur bahwa aset dan kewajiban pajak tangguhan harus mencerminkan konsekuensi pajak untuk pemulihan nilai tercatat aset atau penyelesaian kewajiban yang diharapkan perusahaan pada tanggal neraca. Dari uraian di atas, jelas bahwa atas perubahan tarif pajak untuk WP Badan dari sebelumnya dikenakan tarif progresif menjadi tarif tunggal yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2009, maka atas penyajian Pajak Tangguhan tahun 2008 harus dilakukan penyesuaian sesuai dengan pengaturan dalam PSAK No. 46.
41
Tentang Penulis
Hello, my name is Hardi. I'm working as an auditor at Johan Malonda Astika & Rekan (an independent member of Baker Tilly International), Medan branch office. I've been there since (maybe) 1994. Johan Malonda Astika & Rekan is an accounting firm with head office in Jakarta (Indonesia Capital City), and branches in Surabaya, Medan and Bali. The address of Medan Branch office was at Jl. S.Parman No. 56, Medan, North Sumatra 20112. Ranked among the top ten accounting firm in Indonesia. For further information regarding on KAP Johan Malonda Astika & Rekan, please visit our website at : www.johanmalonda.com I was born in a little town in North Sumatra called Tanjung Balai. I grew up there until graduated from SMA (High School). Then I moved to Medan (the capital city of North Sumatra Province in Indonesia), starting my career there until this moment. Until this moment, I've created several weblogs. Here is the list : 1. Audit-me Weblog (the ledger) - link to Accounting, Auditing and Taxation issues 2. Audit-me Weblog (the posting) - It's about Accounting, Auditing and Taxation in Indonesia 3. Incorporated - It's about Cooperation 4. Just Link It - link to accounting resources 5. Office Hour - It's about office, working and career 6. Tech-me Weblog - It's talking about IT Technology 7. Follow Me - It's all about Twitter 8. Click - link to website resources 9. Netybloggy - link to blogger resources 10. Ready for IFRS ? - Mostly it's talking about IFRS issues 11. It's About Me, Mom and Dad - It's talking about parenting 12. Haiyaah! What's Up - link to news that interested me I like to write and sharing information with others. That's why I've many blogs. That's all. Thank you for visiting my blog and wishing you all a lovely day. Regards, Hardi Cheng