You are on page 1of 67

Refrat

ASPEK REHABILITASI MEDIK PADA PASIEN STROKE

Oleh : Ilma Rizkia R Ari Prasetyo N Noviana Amurwani P.R Mabruratussania M Firman Kusuma Desi Widiyanti G0004017 G0004053 G0003142 G0004146 G0004099 G0004073 Andhika Arie P Amelya Augustina A Ipung Indri H Kiki Dwi Qori Ayatulloh Lignawati Arif Hidayat G0003047 G0002030 G0004120 G0004132 G0004139 G0004054

Pembimbing Dr. dr. Hj. Noer Rachma, Sp.RM

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2009

HALAMAN PENGESAHAN Refrat ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Bagian Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Refrat ini telah disetujui dan dipresentasikan : Hari Tanggal : Kamis : 17 September 2009 Oleh : Ilma Rizkia R Ari Prasetyo N Noviana Amurwani P.R Mabruratussania M Firman Kusuma Desi Widiyanti Andhika Arie P Amelya Augustina A Ipung Indri H Kiki Dwi Qori Ayatulloh Lignawati Arif Hidayat Mengetahui dan menyetujui Pembimbing Dr. dr. Hj. Noer Rachma, Sp.RM G0004017 G0004053 G0003142 G0004146 G0004099 G0004073 G0003047 G0002030 G0004120 G0004132 G0004139 G0004054

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan hidayatNya sehingga penulis mampu menyelesaikan refrat sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan kepaniteraan klinik di SMF Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Refrat ini dapat tersusun dengan baik berkat bimbingan, petunjuk, dan bantuan maupun sarana dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dr. dr. Hj. Noer Rachma, Sp.RM., selaku pembimbing sekaligus kepala bagian SMF Rehabilitasi Medik RSUD Dr. Moewardi Surakarta. 2. Para staf SMF Rehabilitasi Medik selaku pembimbing pada SMF Rehabilitasi Medik 3. semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian refrat ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan refrat ini. Semoga saran dan koreksi dapat penulis jadikan masukan. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Surakarta,

September 2009

Penulis

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I BAB II PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA A. STROKE 2 2 3 13 14 17 21 26 28 ii iii iv 1

Definisi Etiologi Jenis Stroke Faktor Resiko Patofisiologi Diagnosa Pemeriksaan Penunjang Tatalaksana Komplikasi B. REHABILITASI MEDIS PADA PASIEN STROKE

Tujuan Rehabilitasi Medis Progam dan Tim Rehabilitasi Medis Pasien Stroke Pola Pendekatan Rehabilitasi Medik Stroke Pedoman Dasar Penanganan Post Stroke
4

30 31 33 34

Program Post Stroke

37

Fisioterapi Okupasi terapi Speech terapi Terapi bladder Terapi Bowel Terapi ganguan integritas kulit
Psikoterapi BAB III KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA

37 39 45 48 49 50
51 61 62

BAB I

PENDAHULUAN

Stroke adalah sindrom yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak (GPDO) dengan awitan akut,disertai manifestasi klinis berupa defisit neurologi klinis dan bukan sebagai akibat tumor, trauma ataupun infeksi susunan saraf pusat. Stroke masih merupakan penyebab kecacatan nomer satu di dunia dan penyebab kematian nomer tiga di dunia. Dua pertigastroke terjadi di negara berkembang.pada masyarakat barat, 80% penderita mengalami stroke iskemik dan 20% mengalami stroke hemoragik. Insiden stroke meningkat seiring pertambahan usia. Tujuan utama dari rehabilitasi medis adalah memungkinkan penderita untuk kembali normal dan mendapatkan kemandirian dan produktivitas seoptimal mungkin. Penderita stroke biasanya memerlukan rehabilitasi yang komplek. Walaupun kemampuan fungsional dapat didapatkan kembali segera setelah serangan stroke, penyembuhan adalah proses yang terus menerus.

BAB II
6

TINJAUAN PUSTAKA A. I. Definisi Stroke menurut WHO tahun 1983 adalah sindroma klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak secara fokal maupun global, yang dapat menimbulkan kematian atau kecacatan yang menetap lebih dari 24 jam, tanpa penyebab lain kecuali gangguan vaskular. Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresif cepat, berupa defisit neurologis fokal yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatic (Arif Manjoer, 2000). Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak. Stroke dapat terjadi akibat pembentukan trombus disuatu arteri serebrum akibat embolus yang mengalir keotak dan tempat lain ditubuh atau akibat perdarahan otak (Elizabeth J. Corwin, 2001). Stroke adalah disfungsi neurology yang mempunyai awitan yang mendadak dan berlangsung 24 jam sehari sebagai akibat dari cedera cerebrovaskuler (Huddak and Gallo, 1996). Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh terhentinya supplay darah kebagian otak (Brunner and Suddarth, 2001). II. Etiologi a. Trombosis Cerebral Terjadi pada pembuluh darah yang oklusi sehingga menyebabkan iskemik, jaringan otak yang dapat menimbulkan edema dan kongesti disekitarnya, trombosis biasanya terjadi pada orang tua yang tidur / bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iksemik cerebral, tanda dan gejala neurologis yang memburuk dalam 48 jam setelah trombosis otak :
7

STROKE

atherosklerosis, buffer coagulasi pada polysitemia, arthiritis (radang pada otak). b. Emboli Merupakan penyumbatan balutan darah otak oleh bekuan darah, lemak, udara pada umumnya emboli berasal dari trombus di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri, cerebral emboli tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik. Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan emboli : katup-katup jantung yang rusak akibat Rhematic Heart Desease (RHO), miocard infark, fibrilasi, endocaditis. c. Hipoxia umum dan Hipoxia setempat Hipoxia yang parah, cardiac pulmonary arrest, cardiac out put kurang akibat dari aritmia, spasme arteri otak serebral yang disertai sakit kepala, faktor resiko terjadinya stroke adalah DM, perokok, obesitas, peminum alkohol. d. e. Perdarahan intraserebral Merupakan perdarahan di dalam jaringan otak Perdarahan subarakhnoidal Merupakan perdarahan di ruang subarakhnoid, yang disebabkan oleh karena pecahnya suatu aneurisma atau arterio-venous malformation. III. Jenis Stroke 1. Klasifikasi Berdasarkan Penyebab a. Stroke Iskemik Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerosis atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah. Penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur arteri yang menuju ke otak. Misalnya suatu ateroma (endapan lemak) bisa terbentuk di dalam arteri karotis sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah. Keadaan ini sangat
8

serius karena setiap arteri karotis dalam keadaan normal memberikan darah ke sebagian besar otak. Endapan lemak juga bisa terlepas dari dinding arteri dan mengalir di dalam darah, kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil. Arteri karotis dan arteri vertebralis beserta percabangannya bisa juga tersumbat karena adanya bekuan darah yang berasal dari tempat lain, misalnya dari jantung atau satu katupnya. Stroke semacam ini disebut emboli serebral, yang paling sering terjadi pada penderita yang baru menjalani pembedahan jantung dan penderita kelainan katup jantung atau gangguan irama jantung (terutama fibrilasi atrium). Emboli lemak jarang menyebabkan stroke. aliran darah dan akhirnya bergabung di dalam sebuah arteri. Stroke juga bisa terjadi bila suatu peradangan atau infeksi menyebabkan menyempitnya pembuluh darah yang menuju ke otak. Obatobatan (misalnya kokain dan amfetamin) juga bisa mempersempit pembuluh darah di otak dan menyebabkan stroke. Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba bisa menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak, yang biasanya menyebabkan seseorang pingsan. Stroke bisa terjadi jika tekanan darah rendahnya sangat berat dan menahun. Hal ini terjadi jika seseorang mengalami kehilangan darah yang banyak karena cedera atau pembedahan, serangan jantung atau irama jantung yang abnormal. Emboli lemak terbentuk jika lemak dari sumsum tulang yang pecah dilepaskan ke dalam

Gambar 1. Stroke Iskhemik Serangan Iskemik Sesaat (TIA) Serangan Iskemik Sesaat (Transient Ischemic Attacks, TIA) adalah gangguan fungsi otak yang merupakan akibat dari berkurangnya aliran darah ke otak untuk sementara waktu. TIA lebih banyak terjadi pada usia setengah baya dan resikonya meningkat sejalan dengan bertambahnya umur. Kadangkadang TIA terjadi pada anak-anak atau dewasa muda yang memiliki penyakit jantung atau kelainan darah. Penyebabnya biasanya karena serpihan kecil dari endapan lemak dan kalsium pada dinding pembuluh darah (ateroma) bisa lepas, mengikuti aliran darah dan menyumbat pembuluh darah kecil yang menuju ke otak, sehingga untuk sementara waktu menyumbat aliran darah ke otak dan menyebabkan terjadinya TIA. Gejala TIA terjadi secara tiba-tiba dan biasanya berlangsung selama 2-30 menit, jarang sampai lebih dari 1-2 jam, tergantung kepada bagian otak mana yang mengalami kekuranan darah. Jika mengenai arteri yang berasal dari arteri karotis, maka yang paling sering ditemukan adalah kebutaan pada salah satu mata atau kelainan rasa dan kelemahan. Jika mengenai arteri yang berasal dari arteri vertebralis, biasanya terjadi pusing, penglihatan ganda dan kelemahan menyeluruh.

10

Gejala lainnya yang biasa ditemukan adalah hilangnya rasa atau kelainan sensasi pada lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh, kelemahan atau kelumpuhan pada lengan atau tungkai atau salah satu sisi tubuh, hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran, penglihatan ganda, pusing, bicara tidak jelas, sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat ,tidak mampu mengenali bagian tubuh gerakan yang tidak biasa, hilangnya pengendalian terhadap kandung kemih Ketidakseimbangan dan terjatuh Pingsan. Gejala-gejala yang sama akan ditemukan pada stroke, tetapi pada TIA gejala ini bersifat sementara dan reversibel. Tetapi TIA cenderung kambuh; penderita bisa mengalami beberapa kali serangan dalam 1 hari atau hanya 2-3 kali dalam beberapa tahun. Sekitar sepertiga kasus TIA berakhir menjadi stroke dan secara kasar separuh dari stroke ini terjadi dalam waktu 1 tahun setelah TIA.

Gambar 3. Pengangkatan Aterosklerotik Penyebab TIA b. Stroke Hemoragik Pendarahan di antara bagian dalam dan luar lapisan pada jaringan yang melindungi otak (subarachnoid hemorrhage). Terdapat dua jenis utama
11

pada stroke yang mengeluarkan darah : intracerebral hemorrhage dan subarachnoid hemorrhage. Gangguan lain yang meliputi pendarahan di dalam tengkorak termasuk epidural dan hematomas subdural, yang biasanya disebabkan oleh luka kepala. Gangguan ini menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak dipertimbangkan sebagai stroke. Pecah dan retak : Penyebab Hemorrhagic Stroke

Ketika pembuluh darah pada otak lemah, tidak normal, atau dibawah tekanan yang tidak semestinya, stroke yang mengeluarkan darah bisa terjadi. Pada stroke yang mengeluarkan darah, pendarahan bisa terjadi di dalam otak, sebagai intracerebral hemorrhage. Atau pendarahan bisa terjadi diantara bagian dalam dan tengah lapisan pada jaringan yang melindungi otak (pada ruang subarachnoid), sebagai subarachnoid hemorrhage. Gambar 2. Stroke Hemoragik

12

Tabel 1. Perbedaan Gejala Klinik Pada Stroke Iskemik dan Hemoragik No. 1. Gejala/ anamnesa a. Onset b. Waktu kejadian c. Nyeri kepala d. Kejang 2. e. Penurunan kesadaran Gejala obyektif a. Koma b. Bradikardi c. Papil oedema d. Kaku kuduk e. Reflex babinski Sub akut Bangun pagi (-) (+) (+) (+) kec. Thrombosis a. basilaris (+) hari ke 4 Jarang positif Jarang positif (+) sampai dengan odem otak (++) Sering positif (+++) (+) bilateral Akut Waktu aktif (+++) (++) (+++) (++++) Iskemik hemoragik

Gambar 4. Stroke Hemoragik dan Stroke Iskhemik

2. Klasifikasi Berdasarkan Lokasi a. Posterior Cerebral Arteri sroke (PCA Stroke)

13

Kira-kira 5-10% kasus stroke merupakan stroke PCA. Pasien yang menderita stroke PCA dapat menunjukkan gejala klinik neurologis yang berbeda-beda. Akibat yang paling sering terjadi pada stroke PCA adalah gangguan visual dan sensorik. Secara umum pasien dengan PCA menunjukkan gejala kronik disability yang lebih ringan dibandingkan dengan kelainan pada arteri serebri anterior, serebri media atau basilaris. Pada pasien dengan sroke PCA akan mengalami gangguan neurologis dan keluhan berupa: kehilangan penglihatan secara mendadak, kebingungan, nyeri pada daerah belakang kepala, paresthesia, kelemahan lengan, mual, pusing, kehilangan daya ingat dan gangguan berbahasa. Pasien kadang mengeluh menabrak waktu berjalan, tidak melihat benda-benda disisi jalan atau hanya melihat hanya sebelah halaman saat membaca. Pada pemeriksaan fisik biasanya didapatkan adanya hemianopsia yang sudah komplit, disebabkan oleh kelainan pada lobus occipital kontralateral. Buta sentral atau macular dapat terjadi jika ada bagian occipitalis yang masih intak karena suplai darah dari arteri serebri media. Buta kortikal terjadi bila kedua arteri serebri posterior mengalami infark. ( Christopher Luzzio, 2001)

14

Gambar 1. CT scan kepala menunjukan area hipodense pada lobus occipitalis kanan dengan infark pada arteri serebri posterior b. Stroke Arteri serebri media (MCA stroke) Arteri serebri media merupakan arteri serebri yang paling besar dan merupakan arteri yang paling sering terkena CVA (Cerebrovascular Accident). Arteri serebri media mensuplai sebagian besar permukaan otak, ganglia basalis serta bagian anterior dan posterior capsula interna. Penyebab sumbatan paling sering pada arteri serebri media adalah emboli yang berasal dari jantung, yaitu 50% dari total stroke arteri serebri media atau dari plak aterom di karotis (Daniel Slater and Sarah. 2001 ). Pemeriksaan penunjang yang paling penting adalah Brain CT scan. Pemeriksaan ini selain berguna untuk menyingkirkan adanya perdarahan otak juga dapat memperlihatkan gambaran infark serta teritori dari cabang arteri yang terkena. CT scan pada oklusi arteri media umumnya memberi gambaran hipodens berbentuk weidgeshaped, pial-teritorial dan melingkupi subkortikal, basal gangglia dan kapsula interna. Adanya gambaran hiperdens pada arteri besar terdapat pada kasus-kasus stroke arteri serebri media dan menunjukkan adanya trombus di arteri serebri media (Hyperdens Middle Cerebral Artery). Gambar 2. Pemeriksaan CT scan tampak temporalis serebri media Wolk et al, 2001) kiri

area hipodens pada lobus dengan infark pada arteri c. Anterior serebral arteri stroke Gejala klinik adalah ( David A

a. Kelemahan, stroke pada arteri serebri anterior menyebabkan kelemahan pada tungkai baik otot distal dan proksimal serta kelemahan pada otot distal lengan yang lebih ringan.
15

b. Gejala ekstrapiramidal, gangguan gerak jarang terjadi pada stroke arteri serebri anterior c. Gangguan sensorik d. Gait apraksia e. Inkontinensia, dapat terjadi baik inkoninensia urin atau fecal, kelainan otot sphingter disebabkan oleh kerusakan pada anterior girus singuli, medial superior girus frontalis, atau superolateral girus frontalis. f. Neglect sindrom g. Akinetik mutisme dan abulia h. Gangguan mood i. Afasia.

Gambar.3 CT scan kepala tampak area hipodens pada lobus frontalis d. Stroke arteri basilaris 1. Arteri basilaris media dan proksimal Gejala kliniknya yaitu Quadriparesis yang asimetris, kadang didapatkan kelemahan dari otot-otot mata bilateral, wajah, faring, laring dan lidah. Disartria, disfonia dan disfagia.( John MW. 2001 ) 2. Arteri basilaris distal Kelainan pada daerah ini ditandai dengan kelainan pada penglihatan, okulomotor, dan gangguan kepribadian. Kadang tidak didapatkan gangguan motorik yang signifikan. .( John MW. 2001 ) 3. Cabang arteri basilaris
16

Didapatkan gejala berupa ataksia, hemiparesis dan disartria. .( John MW. 2001)

Gambar 4. CT Scan kepala tampak area hipodense oleh karena iskhemik pada arteri basilaris. IV. Faktor Resiko Stroke
a. Hipertensi. Kenaikan tekanan darah 10 mmHg saja dapat meningkatkan

resiko terkena stroke sebanyak 30%. Merupakan faktor yang dapat diintervensi. b. Arteriosklerosis, hiperlipidemia, merokok, obesitas, diabetes melitus, usia lanjut, penyakit jantung, penyakit pembuluh darah tepi, hematokrit tinggi, dan lain-lain.
c. Obat-obatan yang dapat menimbulkan addiksi (heroin, kokain, amfetamin)

dan obat-obatan kontrasepsi, dan obat-obatan hormonal yang lain, terutama pada wanita perokok atau dengan hipertensi.
d. Kelainan-kelainan hemoreologi darah, seperti anemia berat, polisitemia,

kelainan koagulopati, dan kelainan darah lainnya.


e. Beberapa penyakit infeksi, misalnya lues, rematik (SLE), herpes zooster,

juga dapat merupakan faktor resiko walaupun tidak terlalu tinggi frekuensinya. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi : a. Usia
17

b. Jenis kelamin c. Ras d. Genetik Faktor resiko yang dapat diubah/ diobati/ dikendalikan/ diperkecil : a. b. c. d. e. f. g. h. i. platelet j. k. l. Obesitas Alkoholisme Obat-obatan (kokain, amfetamin, extasy, heroin, pil kontrasepsi dll) V. Patofisiologi Stroke Otak yang hanya 2% dari berat seluruh badan relative menerima banyak darah (15% dari seluruh darah yang dipompa oleh jantung per menit). Otak selanjutnya memakai 20% kalori dari seluruh oksigen yang diperlukan badan manusia. Dari hal ini tampak bahwa fungsi otak sangat tergantung dari aliran darah yang mengalir ke otak. Pada seorang dewasa yang tidak sakit aliran darah ke otak adalah 50-60 ml/ 100 gram jaringan otak /menit. Jadi jumlah darah untuk seluruh otak, yang kira-kira beratnya antara 1200-1400 gram, adalah 700-840 ml per menit. Bila aliran darah ke otak ini turun hingga 18 ml/100 gram jaringan otak/ menit maka
18

Hipertensi Diabetes Melitus Penyakit Jantung Riwayat TIA/ stroke sebelumnya Merokok Kolesterol tinggi Hiperurisemia Infeksi Darah kental, hiperagregasi

akan terjadi penghentian aktivitas listrik dari neuron (EEG datar, dan gangguan dari evoced potentials), tetapi struktur sel masih baik, hingga gejala klinis masih reversible. Ini yang disebut ischemic penumbra, yaitu suatu daerah dimana sel inaktif, tetapi masih dapat berfungsi lagi bila perfusi menjadi normal kembali (Chandra. B, 1994). Dari jumlah darah itu, satu pertiganya disalurkan melalui tiap arteria karotis interna dan satu pertiga sisanya disalurkan melalui susunan vertebrobasilare. Otak yang berkedudukan di dalam ruang tengkorak yang merupakan ruang tertutup mempunyai susunan sirkulasi yang sesuai dengan lokasinya. Konsekuensi dari kedudukan otak dalam suatu ruang tertutup ialah, bahwa volume otak ditambah dengan volume liquor dan ditambah dengan volume darah harus merupakan angka tetap (konstante). Inilah yang disebut dengan hukum Monroe Kellie. Hokum ini berimplikasi bahwa perubahan volume salah satu unsure tersebut akan menyebabkan perubahan kompensatorik terhadap unsur-unsur lainnya oleh karena pada umumnya volume otak dan volume likuor selalu berubah karena bermacam-macam pengaruh, maka volume darah selalu akan menyesuaikan diri. Factor-faktor penyesuaian peredaran darah serebral dapat dibagi dalam factor ekstrinsik dan intrinsic. Adapun factor-faktor ekstrinsik yang berpengaruh pada sirkulasi serebral adalah terutama tekanan darah sistemik, kemampuan jantung untuk memompa darah ke sirkulasisistemik, kualitas pembuluh darahkarotikovertebral dan kualitas darah yang menentukan viskositasnya. Sedangkan factor intrinsic yaitu autoregulasi arteri serebral dan factor-faktor biokimiawi regional (Mahar Mardjono, Priguna Sidharta. 2004). Pengaliran Darah ke Otak dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu: 1. Tekanan Perfusi. Tekanan untuk memompa darah ke otak disebut tekanan perfusi (TP). Otak mempunyai kemampuan otoregulasi yaitu kemampuan otak untuk mengatur agar aliran darahnya tetap konstan. Kemampuan mengatur arteriola untuk menguncup bila tekanan darah sistemik naik dan untuk dilatasi
19

bila tekanan darah sistemik menurun (pada tekanan darah 50-150 mmHg). Hal lain yang mempengaruhi Tekanan perfusi adalah Cardiac Output (CO) atau curah jantung. 2. Keadaan Pembuluh Darah. Bila ada arteriosklerosis, trombosis, dan emboli, penampang pembuluh darah akan menyempit, bahkan menjadi tersumbat. Ini disebut sebagai tahanan pembuluh darah otak atau resistensi jaringan (RJ). 3. Faktor Darah Sendiri, disebut juga faktor hemereologi, yaitu menyangkut kekentalan dan viskositas darah, sifat-sifat sel darah, misalnya fleksibilitas sel darah merah dan kemampuan darah untuk koagulasi. Mekanisme terjadinya stroke telah banyak mengalami kemajuan sejak Prof. Dennis Choi dan Prof. Justin A. Zivin (1991) mengemukakan teorinya. Bila terjadi stroke, maka di suatu daerah tertentu dari otak akan terjadi kerusakan ( baik karena infark maupun perdarahan). Neuron neuron di daerah tersebut tentu akan mati, dan neuron yang rusak ini akan mengeluarkan glutamate, yang selanjutnya akan membanjiri sel sel disekitarnya. Glutamate ini akan menempel pada membrane sel neuron di sekitar daerah primer yang terserang. Glutamate akan merusak membrane sel neuron dan akan membuka kanal kalsium (calcium channel). Kemudian terjadilah influks kalsium yang mengakibatkan kematian sel. Sebelumnya, sel yang mati ini akan mengeluarkan glutamate, yang selanjutnya akan membanjiri lagi neuron-neuron disekitarnya. Terjadilah lingkaran setan. Neuron-neuron yang rusak juga akan melepaskan radikal bebas, yaitu charged oxygen molecules (seperti nitric acide atau NO), yang akan merombak molekul lemak di dalam membran sel, sehingga membran sel akan bocor dan terjadilah influks kalsium. Aliran darah ke otak melalui pembuluh darah dipengaruhi oleh hukum dari Hagen-Poiseuille yang mengatakan : Q = P r4 / 8 L n Q = aliran darah
20

P = pressure gradient R = radius pembuluh darah L = panjangnya pembuluh darah N = viskositas darah Dari hukum ini yang dapat digunakan untuk pengobatan adalah: pressure gradient,radius pembuluh darah, dan viskositas. Mengenai radius pembuluh darah dapat dikatakan bahwa pemberian vasodilator ternyata tidak dapat melebarkan darah di daerah infark, karena pada umumnya pembuluh darah di daerah infark sudah menunjukkan dilatasi maksimal akibat akumulasi karbonmonoksida di daerah infar, yang menyebabkan asidosis. Pemberian vasodilator hanya akan melebarkan pembuluh darah di daerah sehat, dan justru akan menarik darah dari daerah iskemik ke daerah sehat. Dengan demikian gejala klinis akan lebih berat (Chandra. B., 1994). VI. DIAGNOSA Stroke adalah suatu keadaan emergensi medis. Setiap orang yang diduga mengalami stroke seharusnya segera dibawa ke fasilitas medis untuk evaluasi dan terapi. Pertama-tama, dokter akan menanyakan riwayat medis pasien jika terdapat tanda-tanda bahaya sebelumnya dan melakukan pemeriksaan fisik. Jika seseorang telah diperiksa seorang dokter tertentu, akan menjadi ideal jika dokter tersebut ikut berpartisipasi dalam penilaian. Pengetahuan sebelumnya tentang pasien tersebut dapat meningkatkan ketepatan penilaian (Anonim, 2002). Hanya karena seseorang mempunyai gangguan bicara atau kelemahan pada satu sisi tubuh tidaklah sinyal kejadian stroke. Terdapat banyak kemungkinan lain yang mungkin bertanggung jawab untuk gejala ini. Kondisi lain yang dapat serupa stroke meliputi:

Tumor otak Abses otak (kumpulan nanah di dalam otak karena bakteri atau jamur)

21

Sakit kepala migrain Perdarahan otak baik secara spontan atau karena trauma Meningitis atau encephalitis Overdosis karena obat tertentu Ketidakseimbangan calcium atau glukosa dalam tubuh dapat juga menyebabkan perubahan sistem saraf yang serupa dengan stroke. Pada evaluasi stroke akut, banyak hal akan terjadi pada waktu yang

sama. Pada saat dokter mencari informasi riwayat pasien dan melakukan pemeriksaan fisik, perawat akan mulai memonitor tanda-tanda vital pasien, melakukan tes darah dan melakukan pemeriksaan EKG ( elektrokardiogram) (Anonim, 2002). Bagian dari pemeriksaan fisik yang menjadi standar adalah penggunaan skala stroke. The American Heart Association telah mempublikasikan suatu pedoman pemeriksaan sistem saraf untuk membantu penyedia perawatan menentukan berat ringannya stroke dan apakah intervensi agresif mungkin diperlukan. Skor stroke Siriraj (2,5 x derajat kesadaran)+(2 x muntah)+(2 x nyeri kepala)x(0,1 x tekanan diastolic)-(3 x tanda ateroma)-12 Dimana Derajat kesadaran 0=kompos mentis; 1=somnolen; 2=spoor/koma Muntah Nyeri Kepala Ateroma Hasil= (Dewanto, 2007) 0=tidak ada; 1=ada 0=tidak ada; 1=ada 0=tidak ada; 1=salah satu atau lebih (diabetes, angina, skor>1 : perdarahan supratentorial Skor< -1 : infark serebri

penyakit pembuluh darah)

22

Skor strok Gajah Mada Penurunan kesadaran + + (Dewanto, 2007) Nyeri kepala + + babinski + + Jenis stroke Hemoragik Hemoragik Hemoragik Iskemik iskemik

Skor Stroke (Djoenaidi,1988) Skor stroke hemoragik dan non-hemoragik Tanda/Gejala T.I.A. sebelum serangan Permulaan serangan Sangat mendadak (1-2 menit) Mendadak (beberapa menit - 1 jam) Pelan-pelan (beberapa jam) Waktu serangan Waktu kerja (aktivitas) Waktu istirahat/duduk/tidur Waktu bangun tidur Sakit kepala waktu serangan Sangat hebat Hebat 10 7.5 1
23

Skor 1 6.5 6.5 1 6.5 1

Ringan Tak ada Muntah Langsung habis serangan Mendadak (beberapa menit - jam) Pelan-pelan (1 hari atau lebih) Tak ada Kesadaran Hilang waktu serangan (langsung) Hilang mendadak (beberapa menit - jam) Hilang pelan-pelan (1 hari atau lebih) Hilang sementara kemudian sadar pula (sepintas) Tak ada Tekanan darah

10 7.5 1 0

10 10 1 1 0

Waktu serangan sangat tinggi (> 200/110) Waktu MRS sangat tinggi (> 200/110) Waktu serangan tinggi (> 140/110 - < 200/110) Waktu MRS tinggi (> 140/110 - < 200/110) Tekanan darah tinggi tak terkontrol Tanda rangsangan selaput otak

7.5 7.5 1 1 7.5

10 5 0

Kaku kuduk hebat Kaku kuduk ringan Tak ada Fundus okuli Perdarahan subhyaloid

1 7.5

24

Perdarahan retina (flame shaped) Normal Pupil

Isokor Anisokor

0 10 10 10 10

Pinpoint kanan Midriasis kanan dan kiri Kecil + reaksi lambat Kecil + reaktip Skor Total :

Bila skor > 20 termasuk stroke hemoragik, skor < 20 termasuk stroke nonhemoragik. Ketepatan diagnostik dengan sistim skor ini 91.3% untuk stroke hemoragik, sedangkan pada stroke non-hemoragik 82.4%. Ketepatan diagnostik seluruhnya 87.5% Terdapat batasan waktu yang sempit untuk menghalangi suatu stroke akut dengan obat untuk memperbaiki suplai darah yang hilang pada bagian otak. Pasien memerlukan evaluasi yang sesuai dan stabilisasi sebelum obat penghancur bekuan darah apapun dapat digunakan (Anonim, 2002). VII. Pemeriksaan penunjang Computerized tomography (CT scan): untuk membantu menentukan penyebab seorang terduga stroke, suatu pemeriksaan sinar x khusus yang disebut CT scan otak sering dilakukan. Suatu CT scan digunakan untuk mencari perdarahan atau massa di dalam otak, situasi yang sangat berbeda dengan stroke yang memerlukan penanganan yang berbeda pula. CT Scan berguna untuk menentukan:
25

jenis patologi lokasi lesi ukuran lesi menyingkirkan lesi non vaskuler

Gambar 5 CT Scan stroke

26

Gambar 5. CT Scan Stroke Hemoragic dan Stroke Iskemik MRI scan: Magnetic resonance imaging (MRI) menggunakan gelombang magnetik untuk membuat gambaran otak. Gambar yang dihasilkan MRI jauh lebih detail jika dibandingkan dengan CT scan, tetapi ini bukanlah pemeriksaan garis depan untuk stroke. jika CT scan dapat selesai dalam beberapa menit, MRI perlu waktu lebih dari satu jam. MRI dapat dilakukan kemudian selama perawatan pasien jika detail yang lebih baik diperlukan untuk pembuatan keputusan medis lebih lanjut. Orang dengan peralatan medis tertentu (seperti, pacemaker) atau metal lain di dalam tubuhnya, tidak dapat dijadikan subyek pada daerah magneti kuat suatu MRI (Brunner and Suddarth, 2002). .

27

Metode lain teknologi MRI: suatu MRI scan dapat juga digunakan untuk secara spesifik melihat pembuluh darah secara non invasif (tanpa menggunakan pipa atau injeksi), suatu prosedur yang disebut MRA (magnetic resonance angiogram). Metode MRI lain disebut dengan diffusion weighted imaging (DWI) ditawarkan di beberapa pusat kesehatan. Teknik
28

ini dapat mendeteksi area abnormal beberapa menit setelah aliran darah ke bagian otak yang berhenti, dimana MRI konvensional tidak dapat mendeteksi stroke sampai lebih dari 6 jam dari saat terjadinya stroke, dan CT scan kadang-kadang tidak dapat mendeteksi sampai 12-24 jam. Sekali lagi, ini bukanlah test garis depan untuk mengevaluasi pasien stroke (Brunner and Suddarth, 2002). Computerized tomography dengan angiography: menggunakan zat warna yang disuntikkan ke dalam vena di lengan, gambaran pembuluh darah di otak dapat memberikan informasi tentang aneurisma atau arteriovenous malformation. Seperti abnormalitas aliran darah otak lainnya dapat dievaluasi dengan peningkatan teknologi canggih, CT angiography menggeser angiogram konvensional (Brunner and Suddarth, 2002). Conventional angiogram: suatu angiogram adalah tes lain yang kadang-kadang digunakan untuk melihat pembuluh darah. Suatu pipa kateter panjang dimasukkan ke dalam arteri (biasanya di area selangkangan) dan zat warna diinjeksikan sementara foto sinar-x secara bersamaan diambil. Meskipun angiogram memberikan gambaran anatomi pembuluh darah yang paling detail, tetapi ini juga merupakan prosedur yang invasif dan digunakan hanya jika benar-benar diperlukan. Misalnya, angiogram dilakukan setelah perdarahan jika sumber perdarahan perlu diketahui dengan pasti. Prosedur ini juga kadang-kadang dilakukan untuk evaluasi yang akurat kondisi arteri carotis ketika pembedahan untuk membuka sumbatan pembuluh darah dipertimbangkan untuk dilakukan (Brunner and Suddarth, 2002). . Carotid Doppler ultrasound: adalah suatu metode noninvasif (tanpa injeksi atau penempatan pipa) yang menggunakan gelombang suara untuk menampakkan penyempitan dan penurunan aliran darah pada

29

arteri carotis (arteri utama di leher yang mensuplai darah ke otak) (Brunner and Suddarth, 2002). Tes jantung: tes tertentu untuk mengevaluasi fungsi jantung sering dilakukan pada pasien stroke untuk mencari sumber emboli. Echocardiogram adalah tes dengan gelombang suara yang dilakukan dengan menempatkan peralatan microphone pada dada atau turun melalui esophagus (transesophageal achocardiogram) untuk melihat bilik jantung. Monitor Holter sama dengan electrocardiogram (EKG), tetapi elektrodanya tetap menempel pada dada selama 24 jam atau lebih lama untuk mengidentifikasi irama jantung yang abnormal (Julio, 1997). Tes darah: tes darah seperti sedimentation rate dan C-reactive protein yang dilakukan untuk mencari tanda peradangan yang dapat memberi petunjuk adanya arteri yang mengalami peradangan. Protein darah tertentu yang dapat meningkatkan peluang terjadinya stroke karena pengentalan darah juga diukur. Tes ini dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab stroke yang dapat diterapi atau untuk membantu mencegah perlukaan lebih lanjut. Tes darah screening mencari infeksi potensial, anemia, fungsi ginjal dan abnormalitas elektrolit mungkin juga perlu dipertimbangkan (Julio, 2000).

VIII. TATALAKSANA A. Medikamentosa Tissue plasminogen activator (TPA)

30

Terdapat peluang untuk menggunakan alteplase (TPA) sebagai obat pembasmi bekuan darah untuk memecahkan bekuan darah penyebab stroke. Makin awal obat tersebut diberikan, makin baik hasilnya dan makin berkurangnya potensi komplikasi perdarahan dalam otak. Pedoman American Heart Association yang terbaru merekomendasikan jika obat ini digunakan, TPA harus diberikan dalam 3 jam setelah pertama kali munculnya gejala. Normalnya, TPA diinjeksikan ke dalam vena pada lengan. Batas waktu pemakaian dapat diperpanjang sampai 6 jam jika diberikan dalam tetesan langsung ke pembuluh darah yang tersumbat. Ini biasa dilakukan oleh seorang ahli radiologi intervensi, dan tidak semua rumah sakit mempunyai akses terhadap teknologi ini. Untuk stroke sirkulasi bagian bawah yang melibatkan sistem vertebrobasilar, batas waktu terapi dengan TPA dapat diperpanjang hingga lebih lama sampai 18 jam (Brunner and Suddarth, 2002). Heparin dan aspirin Obat-obat untuk darah yang kental (antikoagualan; seperti, heparin) juga kadang-kadang digunakan untuk menerapi pasien stroke dengan harapan terjadi peningkatan pemulihan pasien. Namun tidaklah jelas, apakah penggunaan antikoagulan memperbaiki hasil akhir pengobatan stroke atau secara sederhana membantu mencegah stroke berikutnya (subsequent stroke). pada pasien tertentu, aspirin diberikan setelah munculnya stroke benar-benar memberikan efek pemulihan yang walaupun kecil tapi terukur. Dokter yang menerapi akan menentukan obat-obatan yang digunakan berdasasrkan kebutuhan spesifik pasien (Brunner and Suddarth, 2002). Mengelola masalah medis lainnya Pengontrolan tekanan darah tinggi dan kolesterol merupakan kunci untuk mencegah kejadian stroke di masa dtang. Pada Transient Ischemic Attack (TIA), pasien mungkin diberikan obat meskipun tekanan darah dan
31

kadar kolesterolnya masih bisa diterima. Pada stroke akut, tekanan darah akan dikontrol dengan ketat untuk mencegah kerusakan lebih lanjut (Brunner and Suddarth, 2002).. Pada pasien dengan diabetes, kadar gula darah (glukosa) sering meningkat setelah stroke. pengendalian kadar glukosa pada pasien ini dapat meminimalkan ukuran stroke. akhirnya, oksigen dapat diberikan kepada pasien stroke jika memang diperlukan (Brunner and Suddarth, 2002). IX. Komplikasi Komplikasi pada stroke sering terjadi dan menyebabkan gejala klinik stroke menjadi semakin memburuk. Tanda-tanda komplikasi harus dikenali sejak dini sehingga dapat dicegah agar tidak semakin buruk dan dapat menentukan terapi yang sesuai.Komplikasi pada stroke yaitu:

a. Komplikasi Dini (0-48 jam pertama): ( Anonim, 2003 ) 1) Edema serebri: Merupakan komplikasi yang umum terjadi, dapat menyebabkan defisit neurologis menjadi lebih berat, terjadi peningkatan tekanan intrakranial, herniasi dan akhirnya menimbulkan kematian. 2) Abnormalitas jantung: Kelaianan jantung dapat menjadi penyebab, timbul bersama atau akibat stroke,merupakan penyebab kematian mendadak pada stroke stadium awal.sepertiga sampai setengah penderita stroke menderita gangguan ritme jantung.( Chalela Julio and Smith Teresa, 1997 ) 3) Kejang: kejang pada fase awal lebih sering terjadi pada stroke hemoragik dan pada umumnya akan memperberat defisit neurologis. 4) Nyeri kepala 5) Gangguan fungsi menelan dan asprasi b. Komplikasi jangka pendek (1-14 hari pertama): ( Anonim, 2002 )

32

1. Pneumonia: Akibat immobilisasi yang lama, merupakan salah satu komplikasi stroke pada pernafasan yang paling sering, terjadi kurang lebih pada 5% pasien dan sebagian besar terjadi pada pasien yang menggunakan pipa nasogastrik. ( Chalela Julio and Smith Teresa, 2000 ) 2. Emboli paru: Cenderung terjadi 7-14 hari pasca stroke, seringkali pada saat penderita mulai mobilisasi. ( Chalela Julio and Smith Teresa, 2000 ) 3. Perdarahan gastrointestinal: Umumnya terjadi pada 3% kasus stroke. Dapat merupakan komplikasi pemberian kortikosteroid pada pasien stroke. Dianjurkan untuk memberikan antagonis H2 pada pasien stroke ini. 4. Stroke rekuren 5. Abnormalitas jantung 6. Deep vein Thrombosis (DVT) 7. Infeksi traktus urinarius dan inkontinensia urin c.Komplikasi jangka panjang 1) Stroke rekuren 2) Abnormalitas jantung 3) Kelainan metabolik dan nutrisi 4) Depresi 5) Gangguan vaskuler lain: Penyakit vaskuler perifer. ( Smith Teresa, 2000 ) B. STROKE Stroke adalah penyebab kematian ketiga dan penyebab kecacatan jangka panjang di Amerika Serikat. Kurang lebih 4 juta orang Amerika hidup dengan REHABILITASI MEDIS PADA PASIEN

33

stroke dan segala efeknya. Menurut National Stroke Association, pada penderita stroke : 10% sembuh total 25% sembuh dengan sedikit gangguan minor 40% didapatkan gangguan tingkat sedang hingga lanjut yang memerlukan perawatan khusus 10% memerlukan perawatan khusus dengan perawat di rumah atau melalui fasilitas jangka panjang (long-term facility) 15% meninggal 14% mengalami stroke ulangan satu tahun pasca stroke yang pertama (National Institutes of Neurological and Disorder of Stroke, 2007) Aspek dari stroke yang memerlukan rehabilitasi medis, antara lain: 1. Kelemahan (hemiparesis) atau paralisis (hemiplegia), bisa terjadi pada salah satu sisi yang dapat mempengaruhi tubuh secara keseluruhan. 2. Spastisitas, kekakuan otot,dan nyeri akibat spasme otot. 3. Masalah yang berkaitan dengan keseimbangan dan koordinasi tubuh. 4. Masalah yang berkaitan bahasa. 5. Mengabaikan salah satu sisi tubuh (bodily neglect or inattention) 6. Nyeri dan masalah yang berkaitan dengan sensasi tubuh. 7. Masalah yang berkaitan dengan memori, kemampuan berfikir, perhatian, dan belajar. 8. Kesulitan menelan 9. Masalah berkaitan dengan control terhadap bowel atau bladder 10. Fatigue 11. Emosi yang labil 12. Depresi 13. Kesulitan menyelesaikan tugas sehari-hari 14. Mengabaikan efek dari stroke itu sendiri
34

(Joel Stein et al, 2009) I. Tujuan Rehabilitasi Medis Tujuan utama dari rehabilitasi medis adalah memungkinkan penderita untuk kembali normal dan mendapatkan kemandirian dan produktivitas seoptimal mungkin. Penderita stroke biasanya memerlukan rehabilitasi yang komplek. Walaupun kemampuan fungsional dapat didapatkan kembali segera setelah serangan stroke, penyembuhan adalah proses yang terus menerus.(Anonim,2007) Keberhasilan rehabilitasi tergantung pada: Tingkat kerusakan otak Skill dari tim rehabilitasi medis Kerja sama keluarga dan teman penderita. Perhatian dan dukungan dari keluarga adalah factor terpenting di dalam rehabilitasi medis Waktu rehabilitasi. Semakin awal memulai program rehabilitasi, akan semakin besar peluang mendapatkan kembali kemampuan dan skill penderita yang hilang (Anonim,2007) . II. Progam dan Tim Rehabilitasi Medis Pasien Stroke Beberapa tipe dari program rehabilitasi 1. Hospital programs yaitu pada perawatan fase akut atau rehabilitasi di rumah sakit. 2. Perawatan jangka panjang dengan tim rehabilitasi yang terlatih ( Long-term care facility) 3. Out patient programs 4. Home-based programs (Anonim,2008) Proses rehabilitasi dapat meliputi beberapa atau semua hal di bawah ini: 1. Terapi bicara untuk belajar kembali berbicara dan menelan
35

2. Terapi okupasi untuk mendapatkan kembali ketangkasan lengan dan tangan 3. Terapi fisik untuk memperbaiki kekuatan dan kemampuan berjalan, dan 4. Edukasi keluarga untuk memberikan orientasi kepada mereka dalam merawat orang yang mereka cintai di rumah dan tantangan yang akan mereka hadapi. (Anonim,2008) Tim rehabilitasi: 1. Dokter (spesialis rehabilitasi medis, neurologists, internis, ahli geriatri dan dokter keluarga) 2. Perawat rehabilitasi medis (Rehabilitation nurses) 3. Physical therapists : membantu untuk mengembalikan fungsi fisik penderita dengan evaluasi dan pemecahan terhadap masalah yang berkaitan dengan gerakan, keseimbangan, dan koordinasi. 4. Occupational therapists: melatih kemampuan untuk beraktifitas sehari hari 5. Speech-language pathologists: memberikan terapi wicara dan meningkatkan kemampuan berbahasa. 6. Pekerja sosial medis 7. Psikolog: menangani kesehatan mental dan emosi pasien 8. Therapeutic recreation specialists: membantu pasien untuk kembali menekuni aktifitas yang mereka sukai seperti sebelum stroke. (Anonim,2008) III. Pola Pendekatan Rehabilitasi Medik Stroke Intensitas dari pelayanan rehabilitasi adalah prediktor kesembuhan pasien stroke yang paling sederhana, terutama pada permulaan terapi hingga terapi yang intensif. Pola pendekatan yang sering digunakan, secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Compensatory Approach Compensatory Approach adalah pola pendekatan unilateral dimana tujuan dari pola pendekatan ini adalah untuk membentuk suatu kompensasi
36

dari sekitarnya yang memungkinkan kemandirian yang lebih besar

dari

penderita dan mengurangi ketunaan. Pola pendekatan ini secara langsung diperlukan untuk mendukung fungsi eksekutif penderita. Akan tetapi, pada pendekatan ini, tidak menuntut teratasinya disfungsi eksekutif itu sendiri (David A. Gelber et al, 1995). 2. Neuro Developmental Treatment (NDT) Approach Pendekatan Neuro-Developmental Treatment (NDT) adalah pendekatan berdasar pemecahan masalah, yaitu pada pemeriksaan dan terapi terhadap gangguan (impairments) dan keterbatasan fungsional (functional limitations) dari individu dengan kelainan neurogis, pasien anak dengan CP, dan pasien dewasa dengan stroke atau trauma pada otak. Pada pasien tersebut terdapat kelainan postur dan gerakan yang menimbulkan keterbatasan aktifitas. NDT memfokuskan pada analisis dan terapi terhadap gangguan dari sensorimotor dan keterbatasan fisik dimana physical therapists (PT), occupational therapists (OT), dan speech and language pathologists (SLP) berada. Pendekatan NDT merupakan pola pendekatan bilateral yang didasarkan pada inhibisi reaksi postural yang abnormal, fasilitasi reaksi postural yang normal dan re-learning (Janet M Howle, 2002). Pemeriksaan dan evaluasi yang menyeluruh merupakan dasar dari terapi ini. Pemeriksaan dimulai dengan identifikasi terhadap kemampuan pasien dan keterbatasannya. Pendekatan NDT menganggap individu sebagai satu kesatuan dan mengenali bahwa setiap ekspresi dari seseorang psikologi, emosi, kognisi, persepsi, dan fisik- bernilai dan berkontribusi terhadap berbagai macam fungsi. Pemeriksaan memfokuskan pada identifikasi fungsional pasien dan keterbatasan mereka. Juga menganalisis hasil evaluasi, mengutamakan efektifitas postur dan gerakan, serta menyimpulkan efek sistemik yang mempengaruhi dari fungsi (Janet M Howle, 2002). Hasil yang diharapkan dari intervensi NTD adalah pasien dapat menggunakan posture yang baru atau mendapatkan kembali postur atau
37

gerakan sehingga kemampuan hidup yang efektif dapat didapatkan kembali. Strategi ini dapat mengurangi gangguan sekunder yang dapat menyebabkan keterbataasan dan kecacatan lainnya (Janet M Howle,2002). Pendekatan dengan NTD berlanjut semakin lengkap karena adanya informasi yang baru, teori baru, dan model yang konsisten pada clinical evidence yang bertumpu pada ilmu pengetahuan tentang gerakan (movement sciences). Sebagai tambahan, karena terjadi perubahan karekteristik dari populasi dengan kelainan system saraf pusat, pola pendekatan ini akan berkembang memenuhi kebutuhan pasien (Janet M Howle,2002). Berdasarkan uji control dan trial, dari kedua macam pola pendekatan tersebut tidak ada yang lebih unggul dibandingkan metode pendekatan yang lain. Tidak ada perbedaan dalam efektikitas terapi berdasarkan pendekatan neurodevelopmental maupun nonneurodevelopmental. Efektifitas keduanya sama berkaitan dengan status fungsional dan kualitas hidup dari pasien post stroke selama 1 tahun sejak onset pertama stroke. Keduanya tidak didapatkan perbedaan yang signifikan ekstremitas atas, ataupun pada skor cara berjalan, kemampuan motor skor pengukuran tingkat ketergantungan

(Functional Independence Measure/FIM) dimana pengukuran dilakukan selama perawatan di rumah sakit, dan setelah follow up 6-12 bulan. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan lama perawatan (length of stay) rehabilitasi medis antara keduanya. Data ini menunjukkan bahwa baik pendekatan compensatory dan NDT keduanya mempunyai efektifitas yang sama dalam mengatasi hemiparesis pada stroke, yaitu pada functional outcomes, gait measures, and upper extremity motor skill ( T. Hafsteinsdottir et al, 2005). IV. Pedoman Dasar Penanganan Post Stroke

38

Terapi rehabilitasi dimulai saat perawatan akut RS setelah kondisi kesehatan pasien stabil (sering terjadi pada 24-48 jam setelah serangan stroke).
(National Institut of Health, 2008)

1-3 hari

Bedside Positioning. Pasien dianjurkan untuk sering mengubah posisi sementara dia berbaring di tempat tidur. Pressure areas (kurangi tekanan pada daerah yang sering tertekan, misal : lutut, sakral) Awali dengan latihan PROM (Passive Range of Motion) dan AROM (Active Range of Motion). PROM adalah suatu pergerakan dimana terapist secara aktif membantu gerakan pasien pada suatu anggota tubuhnya secara berulang, sedangkan AROM adalah suatu pergerakan yang dilakukan oleh pasien tanpa bantuan dari penterapi. Hal ini bertujuan untuk memperkuat anggota badan yang mengalami kerusakan akibat stroke. Evaluate ambulation. Menilai kemampuan pasien dalam menggerakkan anggota tubuhnya.

3-5 hari

Evaluate ST/OT. Menilai kemampuan pasien dalam hal berbicara dan dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari. Berikan sling jika terjadi subluksasi bahu Aktivitas berpindah. Pasien berpindah mulai bangun dari posisi tidur ke posisi duduk, kemudian berpindah dari tempat tidur ke kursi.

7-10 hari

Aktivitas sebelum berjalan. Setelah aktivitas berpindah berhasil dilakukan, pasien berusaha berdiri dari kursi dan melatih kekuatan tungkainya untuk persiapan berjalan.
39

Latihan ADL : latihan perawatan pagi hari seperti mandi, berpakaian, dan menggunakan toilet. Evaluasi psikologi. Menilai gangguan emosional pasien seperti adanya perasaan takut, gelisah, frustasi, marah, dan perasaan sedih karena kehilangan kemampuan fisik dan mental mereka.

Komunikasi, menelan. Pada pasien stroke akan mengalami kelainan pada fungsi kognitif dan komunikasi, kemampuan berbahasa dan kemampuan untuk menelan. Maka diperlukan Speech therapist untuk melatih pasien ini. Team / family planning. Untuk merawat dan mengembalikan keadaan dan fungsi anggota tubuh pasien stroke diperlukan suatu team yang multidisipliner. Team rehabilitasi tersebut terdiri dari psikiater, ahli saraf, ahli neuropsikologi, ahli psikologi, perawat, case manager, pekerja sosial, physical therapist, ocupational therapist, speech therapist, ahli gizi, ahli terapi rekreasi.

2-3 minggu

3-6 minggu

Therapeutik home evaluation Home program. Pasien diharapkan dapat menyesuaikan program rehabilitasinya dan mengikuti sesuai jadwal nya sendiri. Kekurang dari home program adalah peralatan khusus yang kurang untuk melakukan terapi. Namun, perawatan dirumah memberikan kesempatan pasien untuk melatih kemampuannya dan mengembangkannya dalam lingkungan hidup yang sebenarnya.

Independent ADL dan Transfer dan mobility. Pasien diharapkan dapat melakukan aktivitas sehari-hari dan berpindah tempat maupun berjalan tanpa bantuan orang lain

40

10-12 minggu

(berusaha mandiri). Follow up untuk mengetahui seberapa besar perkembangan hasil dari terapi pasien. Review Fungctional Abilities. Memberikan tes untuk menilai sampai dimanakah kemampuan pasien dalam menggunakan fungsi anggota tubuhnya.

V.

Discuss of rehabilitation Team and Family.

Program Post Stroke Penanganan fisioterapi pasca stroke adalah kebutuhan yang mutlak bagi

1. Fisioterapi pasien untuk dapat meningkatkan kemampuan gerak dan fungsinya. Berbagai metode intervensi fisioterapi seperti pemanfaatan electrotherapy, hidrotherapy , exercise therapay (Bobath method, Proprioceptive Neuromuscular Facilitation, Neuro Developmental Treatment, Sensory Motor Integration, dll.) telah terbukti memberikan manfaat yang besar dalam mengembalikan gerak dan fungsi pada pasien pasca stroke. Akan tetapi peran serta keluarga yang merawat dan mendampingi pasien juga sangat menentukan keberhasilan program terapi yang diberikan. Kemampuan anggota keluarga memberikan penanganan akan berdampak sangat baik bagi pemulihan pasien (Jowir,2008). Penanganan fisioterapi pasca stroke pada prinsipnya adalah proses pembelajaran sensomotorik pada pasien. Akan tetapi interaksi antara pasien dan fisioterapis amat sangat terbatas, lain halnya dengan keluarga pasien yang memiliki waktu relatif lebih banyak. Dampak lain adalah jika pemahaman anggota keluarga kurang tentang penanganan pasien stroke maka akan menghasilkan proses pembelajaran sensomotorik yang salah pula. Hal ini justru akan memperlambat proses perkembangan gerak (Jowir,2008). Ada beberapa bentuk metode atau tipe latihan yang dapat diaplikasikan oleh pasien stroke diantaranya adalah :
41

a.) Conservative/Tradisional : Metode latihan ini terkesan umum dan latihan-latihannya pun didasarkan penekanan pada pencegahan & perawatan kontraktur dengan mempertahankan luas gerak sendi atau latihan Range Of Motion (ROM exercises). Memperkenalkan mobilisasi dini ke pasien dengan cara pengoptimalan sisi yang sehat untuk mengkompensasi sisi yang sakit. Tipe jenis latihannya adalah penguatan dengan menggunakan tahanan (Jowir,2008). b.) Propioseptive Neuromuscular Fascilitation (Metode PNF) Metode latihan ini bertujuan untuk merangsang respon mekanisme neuromuskuler melalui stimulasi proprioseptor. Bertujuan memfasilitasi pola gerakan sehingga mencapai functional relevant dengan tujuan memfasilitasi irradiasi impuls untuk tubuh bagian lain yang berhubungan dengan gerakan utama. Menggunakan rangsangan proprioseptif (streetching/peregangan otot, active movement/gerakan sendi dan resisted/tahanan terhadap kontraksi otot sebagai input sensorik yang didesain untuk memfasilitasi kontraksi otot spesifik) (Jowir,2008). Tehnik-tehnik dari PNF dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Pemberian tahanan maksimal Traksi & aproksimasi sendi Quick stretch Cutaneous pressure (hold & grip) Gerakan sinergis (untuk memperkuat gerakan yang lemah) Mempergunakan aba-aba yang sederhana (verbal) Pola gerak : spiral diagonal

(Jowir, 2008) c.) Movement Therapy/Brunnstorm Konsepnya adalah reedukasi otot menggunakan latihan refleks. Dasar teorinya adalah kerusakan susunan syaraf pusat telah menyebabkan evolusi terbalik & regresi kembali ke pola gerak filogenetik yang lebih tua (terjadi sinergi dan

42

refleks primitive). Sinergi & refleks primitive ini dianggap sebagai bagian normal dari proses penyembuhan sebelum terbentuk pola baru. (Jowir,2008)

2. Okupasi terapi Okupasi terapis mendesain sebuah aktivitas yang bersifat terapeutik atau bertujuan. Memberikan latihan dalam perawatan diri maupun latihan untuk dapat mandiri dan kembali bekerja. Salah satu intervensi yang penting adalah melatih keluarga atau orang lain yang merawat penderita tentang beberapa cara mencegah komplikasi, memotivasi penderita untuk melakukan kegiatan/aktifitas. Adapun program yang diberikan meliputi: (Fahrudin,2008) a. Program Kognitif Pelaksanaan program ini terdiri dari beberapa komponen, antara lain; (Oliver Godefroy,2005) 1. Arousal Pasien dilatih untuk memberikan respon secara konsisten pada sensori input, misal; membuka mata, gerakan mata mengikuti suatu benda. 2. Orientasi Pasien dilatih untuk mengidentifikasi orang, tempat dan waktu serta situasi. 3. Attending Behaviour Pasien dilatih untuk memfokuskan perhatian pada objek/target di lingkungan sekitar 4. Recognition (pengenalan) Pasien dilatih untuk dapat mengenal suatu objek, wajah, dan lainnya yang sebelumnya sudah diperlihatkan. 5. Memori Pasien dilatih untuk memanggil kembali informasi yang sudah diberikan pada waktu yang sebentar atau yang sudah lama tersimpan. 6. Kategorisasi
43

Pasien dilatih untuk mengkategorikan objek dan konsep. 7. Concept formation Pasien dilatih untuk membayangkan kualitas serta arti dari suatu objek atau peristiwa kemudian menggambarkannya kualitas dan arti tersebut pada semua objek atau peristiwa yang tepat. 8. Sequencing Pasien dilatih dalam menyusun informasi atau objek menurut peraturan yang khusus, atau kemampuan untuk menyusun informasi atau objek dengan cara yang logis. 9. Problem Solving Pasien dilatih untuk mengenal masalah, menjabarkan masalah, mengidentifikasi alternatif rencana, memilih rencana, menyusun tahap-tahap perencanaan, mengerjakan rencana tersebut, serta mengevaluasi hasil. 10. General Learning Pasien dilatih untuk dapat menerima informasi, peraturan-peraturan, strategistrategi dalam mempelajari sesuatu dan menerapkannya pada situasi yang mirip secara tepat. 11. Integration of Learning Pasien dilatih untuk dapat menerapkan konsep dan perilaku yang sebelumnya sudah dipelajari ke dalam situasi yang baru. 12. Synthesis of Learning Pasien dapat menerapkan konsep dan perilaku yang dipelajari sebelumnya ke dalam situasi yang baru. b. Program Sensorik Program ini meliputi komponen-komponen antara lain: 1. Sensori awareness : pasien dilatih unruk dapat menerima, mendeteksi, megorientasi, dan melokasikan sensori.

44

2. Proses sensori, yang meliputi; a. Tactile Pasien dilatih untuk dapat menganalisa, membedakan serta melokasikan rangsangan dari reseptor sentuhan pada kulit termasuk membedakan jari-jari. b. Propioceptive Pasien dilatih untuk menginterprestasikan rangsangan dari otot-otot, sendi serta jaringan-jaringan lain di dalam yang berhubungan dengan posisi dari bagian anggota tubuh dengan lainnya. c. Vestibular Pasien dilatih dalam mengiterpretasikan stimuli dari reseptor bagian dalam telinga tentang posisi dari kepala ke badan, kepala ke arah vertikal, akselerasi dan deselerasi. d. Visual Pasien dilatih untuk menginterprestasikan, membedakan, dan melokalisasi rangsangan lewat mata termasuk penggunaan peripheral dan fokus ketajaman mata dalam respon terhadap sinar atau gelap, fiksasi, tracking dan scanning. e. Auditory Pasien dilatih menginterprestasikan, membedakan, melokalisasi rangsangan dari reseptor-reseptor auditory di dalam telinga. f. Gustatory Pasien dilatih untuk menginterprestasikan, membedakan, melokalisasi dari reseptor-reseptor rasa di mulut. g. Olfactory Pasien dilatih menginterprestasikan, membedakan, dan menempatkan rangsangan dari reseptor-reseptor pembauan di dalam hidung. h. Temperatur

45

Pasien dilatih menginterprestasikan, membedakan, dan menempatkan rangsangan dari reseptor-reseptor suhu di kulit. i. Vibration (getaran) Pasien dilatih dalam menginterprestasikan, membedakan dan menempatkan rangsangan dari reseptor-reseptor getaran di dalam kulit. 3. Keterampilan sensori, yang meliputi; a. Stereognosis Pasien dilatih untuk dapat mengidentifikasi suatu objek (ukuran, bentuk, tekstur) b. Graphestesia Pasien dilatih untuk dapat mengidentifikasi simbol-simbol atau bentuk tulisan melalui sentuhan pada kulit. c. Kinesthesia Pasien dilatih untuk dapat mengidentifikasi arah dan tujuan gerakan sendi. d. Body Scheme Pasien dilatih untuk dapat menghubungkan internal awareness dengan bagian tubuh-tubuh lainnya, termasuk membedakan bagian kanan dan kiri serta membedakan bagian-bagian tubuh. e. Form Constancy Pasien dapat mengenal bentuk-bentuk dan objek pada berbagai jenis, posisi dan ukuran secara keseluruhan. f. Spatial Relationship Pasien dilatih untuk dapat menerima dirinya dalam hubungannya dengan objek lain atau oebjek yang berhubungan dengan dirinya. g. Orientasi Thopografik Pasien dilatih untuk dapat menentukan lokasi objek melalui rute lokasi yang diberikan. h. Visual Closure melalui sentuhan.

46

Pasien dilatih untuk dapat mengidentifikasi objek atau bentuk yang tidak lengkap. i. Figure Ground Pasien dilatih untuk dapat membedakan bagian depan dan belakang dari suatu objek. c. Program Motorik Pelaksanaan program ini meliputi berbagai komponen sebagai berikut: (Scottish Intercollegiate Networks, 2002) 1. Kematangan reflek; Pasien dilatih untuk mematangkan reflek primitif dan integrasi sensori. 2. Range of Motion (Lingkup Gerak Sendi); Pasien dilatih untuk dapat menggerakan semua sendi dalam batas normal. 3. Muscle tone (tonus otot), kekuatan, dan endurance (daya tahan); Pasien dilatih untuk dapat memperoleh kembali tonus yang normal, meningkatkan kekuatan otot, serta meningkatkan durasi ketahanan otot. 4. Kontrol postural; Pasien dilatih untuk dapat mempertahankan posisi dan kelurusan dari kepala, leher, trunk dan kelurusan ekstremitas saat dilakukan reaksi equilibrium. 5. Perkembangan motorik kasar; Pasien dilatih untuk dapat melakukan gerakan motorik kasar seperti; berguling, duduk, berdiri, berlari, skipping, loncat dll. 6. Koordinasi motorik kasar; Pasien dilatih untuk menggunakan group otot yang besar untuk mengontrol gerakan seperti bilateral standing, reciprocal leg movement dalam bersepeda, melempar bola, dan menangkap bola. 7. Koordinasi motorik halus; manipulasi, dan ketangkasan;

47

Pasien dilatih untuk dapat mengontrol gerakan seperti; mengambil pulpen, menulis surat, memutar mur dan baut. 8. Hand Skills; Pasien dilatih untuk dalam melakukan dan mempertahankan fungsi tangan dalam hal pola memegang (grasp pattern). d. Program Psikososial Pelaksanaan program ini meliputi; ( Joel Stein et al,2005 ) 1. Keterampilan psikologi; Pasien dilatih untuk memiliki identitas diri, konsep diri, mood yang baik, minat, inisiasi aktivitas, terminasi aktivitas, stres manajemen, kontrol diri, kemampuan diri yang realistis, dan ekspresi diri. 2. Keterampilan sosial; Pasien dilatih untuk dapat berinteraksi dengan baik, bersosialisasi, memiliki peran yang sesuai, berparitisipasi dalam group, serta hubungan interpersonal. e. Terapi Group Pelaksanaan program terapi group ini adalah melatih pasien, khususnya pada komponen-komponen sebagai berikut; 1. Hubungan sosial Pasien dilatih untuk dapat berinteraksi menggunakan kesopanan, kontak mata, gerak-gerik, mendengar, serta ekspresi diri yang tepat dan benar dalam berhubungan dengan aktivitas-aktivitas sosial. 2. Sosialisasi dan percakapan Pasien dilatih untuk dapat menggunakan verbal dan nonverbal komunikasi dalam berinteraksi di dalam berbagai kegiatan sosial. 3. Perilaku peran Pasien dilatih untuk dapat mengidentifikasi peran-peran yang dapat diterima oleh masyarakat/sosial. 4. Dyadic interaction (hubungan satu satu)
48

Pasien dilatih untuk dapat memelihara dan berpartisipasi dalam hubungan one to one, berupa kerjasama dengan satu orang dalam menyelesaikan suatu aktivitas. 5. Interaksi antar group Pasien dilatih untuk dapat berinteraksi dengan berbagai group yang berbeda. 3. Speech terapy Speech therapy adalah penyediaan pelayanan yang diberikan oleh health care profesional untuk membantu seseorang dalam memperbaiki komunikasi. Didalamnya meliputi bagaimana membuat suara dan bahasa, termasuk pengertian dan pemilihan kata yang digunakan. Pelayanan speech therapy diberikan oleh speech therapist, yang mengetahui kelainan ucapan dan bahasa. Speech therapist adalah seseorang yang tamat dari pendidikan tinggi, misalnya perawat, dokter atau occupational therapists. Program speech therapy ini selalu berkembang, sehingga seorang terapis harus selalu mengikuti perkembanganya (Farida Aini, 2008). Tujuan utama dari speech therapy adalah mengembalikan kemampuan dalam berkomunikasi yang akurat. Tujuan spesifik meliputi : 1. Kejelasan dalam ucapan. 2. Kemampuan untuk mengerti kata-kata sederhana. 3. Kemampuan membuat perhatian. 4. Kemampuan mengeluarkan kata-kata yang solid/jelas dan dapat dimengerti. Gangguan berbicara dapat kita masukkan dalam tiga kelompok, yaitu ; 1. Gangguan artikulasi (Articulation disorders) Gangguan artikulasi juga diketahui sebagai gangguan phonologikal, melibatkan ketidakmampuan individu menghasilkan suara yang jelas dan kesulitan mengkombinasikan bunyi yang serasi dengan kata-kata. Timbul bunyi yang tidak lazim seperti penggantian, penghilangan, penyimpangan atau penambahan kata49

kata sehingga kalimat kurang bisa dimengerti. Gangguan ini dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu ; gangguan artikulasi motorik (terjadi kerusakan di susunan otak pusat atau perifer), dan gangguan artikulasi fungsional (ini belum diketahui penyebabnya). 2. Gangguan kelancaran berbicara (fluency disorders) Ganggan komunikasi yang diakibatkan adanya perpanjangan atau pengulangan dalam memproduksi bunyi suara. Gangguan kelancaran berbicara termasuk dalam abnormalitas kelancaran aliran suara yang keluar, contohnya adalah gagap. 3. Gangguan suara (voice disorders) Gangguan suara merupakan gangguan berkomunikasi yang diakibatkan oleh adanya ketidakmampuan memproduksi suara (fonasi) secara akurat. Hal ini biasanya disebabkan oleh abnormalitas fungsi laring, saluran pernafasan. Terdapat ketidakmampuan menghasilkan suara yang berkualitas, nada, resonan dan durasi yang efektif. Disfungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal-hal sebagai berikut : 1. Disatria (kesulitan berbicara akibat kasus neurologik), ditunjukkan dengan berbicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggungjawab untuk menghasilkan bicara. 2. Disfasia atau afasia (hilangnya kemampuan mengekspresikan diri sendiri atau mengerti bahasa), terutama ekspresif (ketidakmampuan untuk mengekspresikan diri; dihubngkan dengan area lobus frontal) atau reseptif (ketidakmampuan mengerti apa yang dikatakan orang lain; sering dihubungkan dengan lobus temporal kiri). a. Aculcullia ; dyscalculia adalah kesukaran dalam mengerjakan matematika atau simbul-simbul angka umum b. Agnosia adalah kegagalan untuk mengenali benda-benda yang sudah dikenal sebelumnya dengan merasakannya melalui indera. Macam-macamnya

50

adalah ; auditory agnosia, color agnosia, tactile agnosia dan visual object agnosia. c. Agraphia, dysgraphia adalah gangguan kemampuan menulis kata-kata d. Alexia; dyslexia adalah kesukaran membaca e. Anomia, dysnomia adalah kesukaran menyeleksi kata-kata yang tepat terutama kata benda. f. Paraphasia adalah menggunakan kata-kata yang salah, pengantian kata,kesalahan tata bahasa, diobservasi pada bahasa dengan mulut dan tulisan. g. Perseveration adalah pengulangan terus menerus dan otomatis pada satu aktivitas atau kata atau kalimat yang tidak tepat. 3. Apraksia (ketidakmampuan melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti terlihat saat klien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya. Verbal apraxia adalah kesukaran dalam pembentukan dan menghubungkan katakata yang dimengerti walaupun susunan otot-otot utuh. Pada dasarnya terdapat minimal empat hal yang harus dilakukan pada klien aphasia, yaitu sebagai berikut ; 1. Meningkatkan harga diri positif Klien aphasia harus banyak diberikan pengalaman psikologis karena cenderung mengalami depresi, marah, frustasi, takut akan masa depan dan hilangnya harapan. Oleh karena itu dibutuhkan kesabaran dan pengertian dari lingkungan sekitar. Perawat harus menerima klien apa adanya, tidak memaksakan hal yang tidak klien bisa, berikan dukungan, ciptakan lingkungan tenang, serba membolehkan dan anjurkan klien bersosialisasi. 2. Meningkatkan kemampuan komunikasi Klien aphasia perlu dipimpin untuk dalam upaya meningkatkan ketrampilan berkomunikasi. Petingnya peningkatan kemampuan berbicara, menulis, membaca dan berbahasa. Klien dapat dibantu dengan papan komunikasi, gambar-gambar sesuai kebutuhan.
51

3. Meningkatkan stimulasi pendengaran Klien dianjurkan untuk mendengar dengan teliti. Berbicara adalah berfikir keras dan penekanya pada berfikir. Klien harus berfikir dan menyusun pesan-pesan yang masuk dan merumuskan suatu respon. Perawat harus ingat saat berbicara dengan klien harus memperhatikan klien dan membicarakan hal-hal pokok pikiran saja. 4. Membantu koping keluarga Sikap keluarga merupakan hal penting dalam menolong klien meyelesaikan masalahnya. Oleh karena itu anggota keluarga didorong untuk melakukan secara alamiah dan menyenangkan klien dengan cara yang sama seperti sebelum sakit. Mereka harus sadar akan kemampuan klien dalam berbicara sehingga keluarga dapat memaklumi jika klien mogok bicara bila kontrol emosi menurun atau menangis dan tertawa tanpa sebab. Jelaskan adanya kelompok pendukung seperti perkumpulan stroke, kelompok terapi aphasia, dapat membantu dalam sosialisasi dan memotivasi klien untuk menurunkan kecemasan dan ketegangan.

4. Terapi bladder: treatment inkontinensia urin Inkontinensia urin adalah gangguan eliminasi urin (incontinensia urin) yang berhubungan dengan penurunan sensasi, disfungsi kognitif, ketidakmampuan untuk berkomunikasi. Terapi ini bertujuan agar pasien mampu mengontrol eliminasi urinya. Pada terapi ini direncanakan beberapa terapi seperti : a) Mengidentifikasi pola berkemihnya b) Pembatasan input cairan selama malam hari c) Mengajarkan teknik untuk mencetuskan refleks berkemih (rangsangan kutaneus dengan penepukan suprapubik, manuver regangan anal) d) Bila masih terjadi inkontinensia, kurangi waktu antara berkemih pada jadwal yang telah direncanakan
52

e) Berikan penjelasan tentang pentingnya hidrasi optimal (sedikitnya 2000 cc per hari bila tidak ada kontraindikasi) (Scottish Intercollegiate Networks, 2002)

Tujuan dari tindakan tersebut antara lain : a) Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan dari distensi kandung kemih yang berlebih b) Pembatasan cairan pada malam hari dapat membantu mencegah enuresis c) Untuk melatih dan membantu pengosongan kandung kemih d) Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung volume urine sehingga memerlukan untuk lebih sering berkemih e) Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah infeksi saluran perkemihan dan batu ginjal. (Scottish Intercollegiate Networks, 2002) 5. Terapi bowel: treatment inkontinensia alvi Inkontinensia alvi adalah gangguan eliminasi alvi (konstipasi) berhubungan dengan imobilisasi, intake cairan yang tidak adekuat. Terapi ini bertujuan agar pasien tidak mengalami konstipasi, dapat defekasi secara spontan dan lancar tanpa menggunakan obat. (Scottish Intercollegiate Networks, 2002) Rencana tindakan : a) Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga tentang penyebab konstipasi b) Auskultasi bising usus c) Anjurkan pada pasien untuk makan makanan yang mengandung serat d) Berikan intake cairan yang cukup (2 liter perhari) jika tidak ada kontraindikasi e) Lakukan mobilisasi sesuai dengan keadaan pasien f) Pemberian pelunak feses (laxatif, suppositoria, enema)
53

Tujuan tindakan tersebut adalah : a) Pasien dan keluarga akan mengerti tentang penyebab obstipasi b) Bising usus menandakan sifat aktivitas peristaltik c) Diit seimbang tinggi kandungan serat merangsang peristaltik dan eliminasi reguler d) Masukan cairan adekuat membantu mempertahankan konsistensi feses yang sesuai pada usus dan membantu eliminasi reguler e) Aktivitas fisik reguler membantu eliminasi dengan memperbaiki tonus oto abdomen dan merangsang nafsu makan dan peristaltik f) Pelunak feses meningkatkan efisiensi pembasahan air usus, yang melunakkan massa feses dan membantu eliminasi 6. Terapi ganguan integritas kulit Gangguan integritas kulit adalah gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama. Tujuannya adalah pasien mampu mempertahankan keutuhan kulit. (Scottish Intercollegiate Networks, 2002). Rencana tindakan : a) Anjurkan untuk melakukan latihan ROM (range of motion) dan mobilisasi jika mungkin b) Rubah posisi tiap 2 jam c) Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah daerah-daerah yang menonjol d) Lakukan masase pada daerah yang menonjol yang baru mengalami tekanan pada waktu berubah posisi e) Observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area sekitar terhadap kehangatan dan pelunakan jaringan tiap merubah posisi f) Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma, panas terhadap kulit Tujuan :
54

a) Meningkatkan aliran darah kesemua daerah b) Menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah c) Menghindari tekanan yang berlebih pada daerah yang menonjol d) Menghindari kerusakan-kerusakan kapiler-kapiler e) Hangat dan pelunakan adalah tanda kerusakan jaringan f) Mempertahankan keutuhan kulit 7. Psikoterapi Pada stroke, gangguan depresi merupakan gangguan emosi yang paling sering ditemukan. Sekitar 15%-25% pasien stroke dalam komunitas menderita depresi, sedangkan pasien stroke yang dirawat di rumah sakit, sekitar 30%-40% menderita depresi (Amir, 2005). Depresi Pasca Stroke (DPS) Depresi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan sejumlah gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda pada masing-masing individu. Fenomenologi simptom depresi fungsional hampir sama dengan symptom DPS. Sekitar 50% pasien yang memenuhi kriteria diagnostik untuk DPS melaporkan adanya kesedihan, kecemasan, ketegangan, kehilangan minat, terbangun dini hari, hilangnya nafsu makan dan penurunan berat badan, sulit berkonsentrasi dan berpikir, serta pikiran-pikiran tentang kematian (Amir, 2005). Depresi perlu diidentifikasi secara dini, makin dini penatalksanaan makon baik prognosisnya. medikasi, psikoterapi, kombinasi keduanya, Terapi kejang Listrik (TKL), terapi cahaya, atau terapi gabungan antara terapi cahaya dan medikasi (Amir, 2005). Patofisiologi Depresi Pasca Stroke Penyebab pasti belum diketahui. Ada dugaan DPS disebabkan oleh disfungsi biogenik amin. Badan sel serotoni-nergik dan noradrenergik terletak di
55

batang otak dan ia mengirim proyeksinya melalui bundel forebrain media ke korteks frontal. Lesi yang mengganggu korteks prefrontal atau ganglia basalis dapat merusak serabut-serabut ini. Ada dugaan DPS disebabkan oleh deplesi serotonin dan norepinefrin akibat lesi frontal dan ganglia basalis (Amir, 2005). Respons biokimia terhadap lesi iskemik bersifat lateralisasi. Lesi hemisfer kiri menyebab-kan penurunan biogenik amin tanpa adanya kompensasi peninggian regulasi serotonin akibatnya, gejala depresi dapat muncul. Sebaliknya lesi hemisfer kanan menyebabkan pe-ninggian regulasi serotonin (karena mekanisme kompensasi yang bersifat protektif terhadap depresi (Amir, 2005). Depresi juga dihubungkan dengan ketidakseimbangan neurohormonal. Teori neurofisiologik penelitian terbaru menyatakan bahwa mungkin terdapat hipometabolisme di lobus frontal atau menyeluruh pada depresi atau beberapa abnormalitas fundamental ritmik sirkadian pada pasien depresi (Amir, 2005). Klasifikasi DPS 1. Lesi Korteks dan Subkorteks Tidak terdapat kejadian depresi yang bermakna antara lesi di korteks dengan subkorteks. Tetapi prevalensi depresi lebih tinggi secara bermakna pada lesi di hemisfer kiri dibandingkan dengan lesi di hemisfer kanan. Bila dilihat lebih jauh, pasien dengan lesi korteks frontal kiri anterior lebih sering mengalami depresi dibendingkan dengan pasien dengan lesi korteks frontal kiri posterior (Amir, 2005). 2. Lesi Sirkulasi Serebri Media dan Posterior Lesi sikulasi serebri posterior dibagi lagi menjadi hemisfer temporooksipital dari lesi batang otak / serebelum. Depresi mayor/minor terjadi pada serebri media berbeda dengan lesi di batang otak/serebelum. Hal ini karena lesi di batang otak biasanya kecil dan

56

tidak begitu merusak jaras biogenik amin yang berperan penting dalam memodulasi emosi (Amir, 2005).

3. Lesi Hemisfer Kanan Riwayat psikiatrik dalam keluarga pasien dengan lesi hemisfer kanan yang menderita depresi, lebih tinggi secara bermakna bila dibandingkan dengan pasien lesi di hemisfer kanan yang tidak depresi. Meskipun lesi anterior kiri dan posterior kanan berhubungan dengan depresi pascastroke, tidak semua pasien dengan lesi ini menjadi depresi. Pasien depresi lebih sering mempunyai riwayat keluarga atau pribadi menderita depresi dibandingkan dengan pasien non depresi, lokasi bukanlah faktor tunggal dalam trejadinya depresi pascastroke (Amir, 2005). Diagnosis Gejala klinis depresi : Gambaran emosi Mud depresi, sedih atau murung Iritabilitas, ansietas Ikatan emosi berkurang Menarik diri dari hubungan interpersonal Preokupasi dengan kematian Ide-ide bunuh diri atau bunuh diri

Gambaran kognitif Mengritik diri sendiri, perasaan tk berharga, rasa bersalah Pesimis, tidak ada harapan, putus asa

57

Bingung, konsentrasi buruk Tak pasti dan ragu-ragu Berbagai obsesi Keluhan somatic Gangguan memori Ide-ide mirip waham

Gambaran vegetatif Lesu dan tak ada tenaga Tak bisa tidur atau banyak tidur Tak mau makan atau banyak makan Penurunan berat badan atau penambahan berat badan Libido terganggu Variasi diurnal

(Amir, 2005) Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah : a. Pola tidur Latensi REM memendek waktu antara masuk tidur dengan mulai tidur REM (indikator paling baik) sering terbangun, terbangun dini hari, penurunan tidur NREM peningkatan densitas REM (frekuensi gerakan bola mata cepat pada tidur REM). Semua ini mungkin ciri-ciri orang yang rentan untuk depresi. b. Kadar TSH dan respons TRH abnormal Uji stimulasi TSH (TSH turun dan tidak ada respons TSH dan GH terhadap TRH eksogen, menunjukkan depresi unipolar). c. Bila setelah pengobatan Dexamethasone suppression test (DST) positif, merupakan indikator hasil terapi yang buruk.
58

Semua uji-uji ini sensitivitas dan spesifikasinya tidak cukup baik (terlalu banyak positif palsu dan negatif palsu) (Amir, 2005)

Penatalaksanaan Depresi Terapi Farmakaologi Antidepresan 1. Mulailah dengan SSRI atau salah satu antidepresan terbaru. 2. Jika tak berhasil, pertimbangkan antidepresan trisiklik, atau MAOI (terutama pada depresi "atipikal") atau kombinasi beberapa obat jika obat pertama tak berhasil. 3. Harus hati-hati dengan efek samping dan harus sadar bahwa antidepresan dapat mempresipitasi episode manik pada beberapa pasien bipolar. 4. Setelah sembuh dari episode depresi pertama, obat dipertahankan untuk beberapa bulan, kemudian diturunkan. 5. Beberapa pasien membutuhkan obat pemeliharaan jangka panjang. Anti depresan saja (tunggal) tidak dapat mengobati depresi. (Amir, 2005) Antidepresan dan lithium dapat dimulai bersama-sama dan lithium diteruskan setelah remisi. Pasien psikotik, paranoid atau sangat agitasi membutuhkan antipsikotik, tunggal atau bersama-sama dengan antidepresan, lithium antipsikotik atipik juga terlihat efektif (Amir, 2005). Terapi Non Farmakologi Psikoterapi Psikoterapi untuk DPS dapat diberikan secara individu, kelompok, atau pasangan sesuai dengan gangguan psikologik yang mendasarinya. Beberapa pasien dan klinisi sangat meyakini manfaat intervensi psikoterapi tetapi ada pula yang
59

sebaliknya yaitu tidak percaya. Berdasarkan hal ini, keputusan untuk melakukan psikoterapi sangat dipengaruhi oleh penilaian dokter atau pasiennya. 1. Terapi kognitif (TK) Depresi diterapi dengan memberikan pasien latihan ketrampilan dan memberikan pengalaman-pengalaman tentang kesuksesan. Terapi ini bertujuan untuk menghilangkan simptom depresi melalui usaha yang sistematis yaitu mengubah cara pikir maladaptif dan otomatik pada pasienpasien depresi. 2. Terapi perilaku Tujuannya adalah meningkatkan aktivitas pasien, mengikutkan pasien dalam tugas-tugas yang dapat meningkatkan perasaan yang menyenangkan. 3. Terapi kelompok Beberapa keuntungan terapi kelompok. 1. Biaya lebih murah 2. Ada destigmatisasi dalam memandang orang lain dengan problem yang sama 3. Memberikan kesempatan untuk memainkan peran dan mempraktekkan ketrampilan perilaku interpersonal yang baru 4. Membantu pasien mengaplikasikan ketrampilan baru Terapi kelompok sangat efektif untuk terapi jangka pendek pasien rawat jalan juga lebih efektif untuk depresi ringan. Untuk depresi lebih berat terapi individu lebih efektif. 4. Terapi perkawinan Psikoterapi berorientasi tilikan (insight) Jangka terapi cukup lama, dapat berguna pada pasien depresi minor kronik tertentu dan beberapa pasien dengan depresi mayor yang mengalami remisi tetapi mempunyai konflik 5. Deprivasi tidur parsial

60

Bangun mulai di pertengahan malam dan tetap jaga sampai malam berikutnya, dapat membantu mengurangi gejala-gejala depresi mayor buat sementara (Amir, 2005). Terapi Kejang Listrik (TKL) Menjadi terapi pilihan bila : a. Obat tak berhasil b. Kondisi pasien menuntut remisi segera (misalnya; bunuh diri yang akut). c. Pada beberapa depresi psikotik. d. Pada pasien yang tak dapat mentoleransi obat (misalnya pasien tua yang berpenyakit jantung). Lebih dari 90% pasien memberikan respons (Amir, 2005). Latihan fisik Lari dan berenang dapat memperbaiki depresi, dengan mekanisme biologis yang belum dimengerti dengan baik. Ketika seorang pasien stroke telah siap untuk pulang ke rumah, seorang perawat sebaiknya datang ke rumah selama periode waktu tertentu sampai keluarga terbiasa dengan merawat pasien dan prosedur untuk memberikan bermacam obat. Terapi fisik dapat dilanjutkan di rumah (Amir, 2005). Pada akhirnya pasien bisa ditinggalkan di rumah dengan satu atau lebih orang yang menjaganya, yang sekarang mendapati hidupnya telah sangat berubah. Merawat pasien stroke di rumah dapat sangat mudah atau sangat tidak mungkin. Pada waktunya, ini akan menjadi jelas bahwa pasien harus ditempatkan pada fasilitas perawatan yang terlatih karena perawatan yang sesuai tidak dapat diberikan di rumah walaupun keluarga bermaksud baik untuk merawatnya. Macam-macam rehabilitasi fisik yang dapat diberikan adalah : 1. Bed exercise a) Positioning
61

b) Range of movement c) Breathing d) Bridging 2. Latihan duduk 3. Latihan berdiri 4. Latihan mobilisasi 5. Latihan ADL (activity daily living) Bed Exercise Latihan Positioning (Penempatan) yang meliputi : Berbaring telentang meluruskan siku Gerakan menekuk dan

Latihan mobilisasi

62

Latihan pindah dari kursi roda ke mobil Latihan berpakaian

Latihan membaca A,I,U,E,O

Latihan mengucapkan huruf

63

BAB III KESIMPULAN

Stroke menurut WHO tahun 1983 adalah sindroma klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak secara fokal maupun global, yang dapat menimbulkan kematian atau kecacatan yang menetap lebih dari 24 jam, tanpa penyebab lain kecuali gangguan vaskular. Etiologi stroke ada beberapa macam diantaranya karena trombosis cerebral, emboli, Hipoxia umum dan Hipoxia setempat, hipoxia yang parah, perdarahan intraserebral, perdarahan subarakhnoidal. Klasifikasi stroke dapat dibagi berdasarkan penyebab dan berdasarkan lokasi lesi. Stroke dapat menyebabkan kematian atau kecacatan jangka panjang dengan segala efeknya. Oleh karena itu, dibutuhkan peran dari berbagai disiplin ilmu kedokteran., diantaranya rehab medik. Tujuan utama dari rehabilitasi medis adalah memungkinkan penderita untuk kembali normal dan mendapatkan kemandirian dan produktivitas seoptimal mungkin. Penderita stroke biasanya memerlukan rehabilitasi yang komplek. Penanganan penderita stroke diantaranya fisioterapi, okupasi terapi,

64

speech terapi, terapi bladder, terapi bowel, terapi ganguan integritas kulit dan psikoterapi.

DAFTAR PUSTAKA Amir, Nurmiati, 2005. Diagnosis dan Penatalaknasaan Depresi Pascastroke. Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Anonim. 2003. Komplikasi http://www.strokebethesda.com. pada penderita Stroke.

Anonim. 2002. Stroke Hemoraghic, Stroke Iskehmik, Serangan Stroke Sesaat http://www.medicastore.com Anonim. 2007. Pencegahan Stroke Sekunder. www.strokebethesda.com Anonim. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien http://qittun.blogspot.com/2008/08/asuhan-keperawatan-pada-kliendengan_14.html Stroke.

Brunner and Suddarth, 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 volume 2 Penerbit Jakarta: EGC. Pp : 26-28 Chandra, 1994. Neurologi Klinik. Stroke, Surabaya: Bagian Ilmu Penyakit Syaraf Fakultas Kedokteran Unair/ RSUD Dr Soetomo. Pp l:29-31.

65

Chalela Julio A, MD., Smith Teresa L, MD. 2007. Cardiac Complication of Stroke. Chalela Julio A, MD., Smith Teresa L, MD. 2000. Stroke-related pulmonary complications and abnormal respiratory patterns. J Neurol sci Christopher Luzzio, MD. 2001. Posterior Cerebral Artery Srtoke. http://www.emedicine.com/Posteriorcerebralstroke Corwn Elizabeth, 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC Daniel I Slater, MD., Sarah A Curtin, MD. 2001. Middle Cerebral Artery Stroke. http://www.emedicine.com/Middlecerebralstroke David A. Gelber, M.D. B. Josefczyk, M.D. Denyse Herrman, P.T., M.S. David C. Good, M.D. Steven J. Verhulst, Ph.D. 1995. Comparison of Two Therapy Approaches in the Rehabilitation of the Pure Motor Hemiparetic Stroke Patient. http://nnr.sagepub.com/cgi/content/abstract/9/4/191 David A Wolk, Brett Cucchiara, and Scott E Kasner. 2001. Anterior serebral Artery Stroke Syndromes.Neurology MedLink. Doengoes Marlyn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta :EGC Fahrudin. 2008. Program Perkembangan Okupasi Terapi pada Area Tumbuh Kembang di RSU Purworejo. http://cantik-pernik.blogspot.com/2008/12/program-pelayanan-okupasiterapi-pada.html Farida Aini. 2008. Speech Therapy pada Klien Stroke. Available at : http://nardinurses.files.wordpress.com/2008/01/makalah-speech-therapy.pdf Huddak dan Gallo. 1996. Perawatan Kritis. Edisi VI, volume II, Jakarta: EGC Janet M Howle . 2002. Neuro-Developmental Treatment Approach: Theoretical Foundations and Principles of Clinical Practice. http://www.ndta.org Joel Stein, Richard L Harvey, Richard F Macko .2009. Stroke Recovery and Rehabilitation. http://books.google.co.id/books John MW., Jose B., Basilar Artery Stroke. 2001. Neurology MedLink
66

Jowir. 2008. Fisioterapi All in One : Latihan pada Stroke . Available at : http://seripayku.blogspot.com/2008/06/latihan-pada-stroke.html Mahar Mardjono, Priguna Sidharta. 2004. Mekanisme Gangguan Vaskular Susunan Saraf. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta. 2004. Pp: 274. Mansjoer, Arif, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medika Acisculapus. Pp : 36-38 National Institutes of Neurological and Disorder of Stroke. 2007. Stroke Rehabilitation Information. http://www.ahrq.gov/ National Institut of Health, 2008. Post-Stroke Rehabilitation Fact Sheet. http://www.ninds.nih.gov/ Olivier Godefroy, Julien Bogousslavsky. 2005. The Behavioral and cognitive neurology of stroke . http://books.google.co.id/books. Smith Teresa L, MD. 2000. Medical Complication of Stroke. A multicenter study, stroke Scottish Intercollegiate Networks. 2002. Management of Patients with Stroke. http://www.sign.ac.uk/pdf/sign78.pdf T Hafsteinsdottir, A Algra, L Kappelle, M Grypdonck. 2005. Neurodevelopmental Treatment After Stroke: a Comparative Study http://jnnp.bmj.com/cgi/content/abstract/76/6/788

67

You might also like