You are on page 1of 8

1.

Pengalaman Seorang pasien datang ke Unit Gawat Darurat (UGD) disuatu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Saras Husada Purworejo dikarenakan sebelumnya pasien mengalami kecelakaan lalu lintas terjatuh dari sepeda motor setelah sebelumnya diserempet kendaran bermotor lainnnya. Korban saat itu mengalami penurunan kesadaran yang sangat dimungkinkan karena cedera berat dikepalanya akibat kecelakaan tersebut. Saat itu korban sendirian dan tidak ada keluarganya, keluarga korban tidak dapat dihubungi melalui telepon, sehingga harus menunggu pihak kepolisian untuk memberikan kabar kepada keluarganya, sedangkan keadaan pasien sendiri mengalami cedera yang cukup serius dan membutuhkan penanganan yang lebih lanjut, padahal rumah sakit tersebut tidak bisa memberikan penanganan lebih lanjut pada pasien ini sehingga harus dirujuk ke rumah sakit lain yang lebih berkompeten. Namun masalahnya disini adalah pasien tidak langsung dirujuk dan harus menunggu keluarga pasien terlebih dahulu. Dokter tidak bisa memberikan keputusan untuk segera merujuk pasien ini, sehingga pasien hanya ditelantarkan begitu saja di Rumah Sakit tersebut dan tidak segera mendapatkan penanganan.

2. Masalah Yang Dikaji Bagaimana prinsip medikolegal pada kasus kegawat daruratan ? Bagaimana sikap dokter yang baik dan benar pada kasus ini ? Bagaimana informed consent pada kasus kegawat daruratan ? Rekomendasi apa yang dilakukan bila menghadapi kasus tersebut ?

3. Analisa Masalah Pada kasus diatas, dimana dokter tidak segera memberikan pertolongan yang baik untuk pasien. Dalam Undang-Undang no. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran pasal 52 telah dibahas mengenai hak pasien, yaitu meliputi : Mendapatkan penjelasan lengkap tentang rencana tindakan medis yang akan dilakukan dokter. Bisa meminta pendapat dokter lain. Mendapat pelayanan medis sesuai dengan kebutuhan. Bisa menolak tindakan medis yang dilakukan dokter bila ada keraguan. Bisa mendapat informasi rekam medis. Dalam kasus ini, kita tidak bisa lepas dari medikolegal. Medikolegal penting untuk memisahkan bias antara tindakan yang dianggap legal dan illegal dalam praktik seharihari. Di Indonesia, hal tersebut dimuat dalam banyak regulasi, terutama dalam UndangUndang no. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran dan Undang-Undang no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Berbagai masalah tentang etika kedokteran telah lama menjadi pembahasan, namun yang perlu dikaji adalah tentang kegawatdaruratan, terutama pada kecelakaan. Masalah ini menarik perhatian karena kegawatdaruratan adalah kondisi yang kritis, kesadaran pasienn bisa menghilang seiring menipisnya harapan untuk hidup. Formalnya setiap tindakan medis harus disertai dengan informed consent, dimana pasien mengerti dengan setiap tindakan dan konsekuensi medic yang diterimanya (pasal 8 dan 56 ayat 1 UU no. 36 tahun 2009). Pasien juga berhak untuk menerima dan menolak setiap tindakan medis

tersebut. Pada kasus kegawatdaruratan, terutama pada kesadaran pasien yang tidak baik, segala tindakan bisa dianggap illegal dan diancam dengan pidana (BAB XIX, XX dan XXI KUHAP). Akan tetapi, keputusan itu telah dibatalkan sebelumnya pada pasal 304. Hal ini telah diperkuat dengan Undang-Undang no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 32 ayat 1 dan pasal 58 ayat 2, dimana praktisi kesehatan wajib memberikan pelayanan kesehatan terlebih dahulu pada kondisi darurat. Pada regulasi tersebut jelas disebutkan bahwa tindakan-tindakan medis diperbolehkan dalam kondisi kegawatdaruratan tanpa harus meminta persetujuan dari keluarga maupun tanpa harus meminta persetujuan dari keluarga maupun pasien sendiri. Namun hal ini menimbulkan polemic dan dalam praktek nya seringkali pasien menderita kerugian, baik materiil, imateriil, bahkan nyawa. Jika menilik BAB XIX, XX, dan XXI KUHAP, kondisi terdsebut bisa digolongkan sebagai pembunuhan, penganiayaan, dan terutama kelalaian yang menyebabkan kematian atau luka-luka. Di Amerika penolong dilindungi oleh Good Samaritan Act, regulasi yang mengatur terutama tentang penanganan kegawatdaruratan, termasuk penanganan medis, Di Indonesia, kondisi tersebut diatur dalam pasal 58 ayat 2 pasal 58 ayat 1 Undang-Undang no. 36 tahun 2009 dengan penjabaran yang sama dengan Good Samaritan Act. Setidaknya Undang-Undang ini membuat tuntutan jaksa tentang malpraktik. Namun bukan berarti hal tersebut bisa membuat berubah jika ditemukan bukti baru dalam penyelidikan.

Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent dalam Pelayanan Gawat Darurat :

Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent) adalah proses komunikasi antara pasien dan dokter, dimulai dari pemberian informasi kepada pasien tentang segala sesuatu mengenai penyakit dan tindakan medis yang akan dilakukan, pasien memahaminya, dan memutuskan persetujuan. Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (Informed Consent). Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.44/2009 tentang Rumah sakit pasal 37 ayat 2 yang berbunyi setiap tindakan kedokteran di Rumah sakit harus mendapat persetujuan pasien atau keluarganya. Dan Peraturan MenKes no 290/MenKes/PER/III tahun 2008 tentang persetujuan tindakan Kedokteran , pasal 2 ayat 1. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Kemudian diatur pula dalam pasal 4 bahwa Dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien / atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran. Dalam proses komunikasi Dokter-Pasien dalam hal penjelasan medis perlu diperhatikan aspek etik dan aspek hukum sehingga tercapai komunikasi yang efektif dalam hubungan Dokter-Pasien.

Rekomendasi yang pertama dilakukan bila menghadapi kasus tersebut : Pertolongan pertama dari penderita dengan cedera kepala meliputi, anamnesa sampai pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan. Pemeriksaan fisik meliputi Airway, Breathing, Circulation, Disability, expsoure.

Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan cara kepala miring, buka mulut, bersihkan muntahan darah, adanya benda asing. Perhatikan tulang leher, immobilisasi, cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi ataupun rotasi, Semua penderita cedera kepala yang tidak sadar harus dianggap disertai cidera

vertebrae cervikal sampai terbukti tidak disertai cedera cervical, maka perlu dipasang collar barce. Jika sudah stabil tentukan saturasi oksigen, minimal saturasinya diatas 90 %, jika tidak, usahakan untuk dilakukan intubasi dan support pernafasan. Setelah jalan nafas bebas, sedapat mungkin pernafasannya (Breathing) diperhatikan frekwensinya normal antara 16 18 X/menit, dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas lakukan nafas buatan, kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO2 antara 28 35 mmHg karena jika lebih dari 35 mm Hg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat terjadinya edema serebri. Sedangkan jika kurang dari 20 mm Hg akan menyebabkan vasokonstriksi yang berakibat terjadinya iskemia. Periksa tekanan oksigen (O2) 100 mm Hg, jika kurang beri oksigen masker 8 liter /menit. Pada pemeriksaan sistem sirkulasi, periksa denyut nadi/jantung, jika (tidak ada) lakukan resusitasi jantung, Bila shock (tensi < 90 mm Hg nadi >100x per menit dengan infus cairan RL, cari sumber perdarahan ditempat lain, karena cidera kepala single pada orang dewasa hampir tidak pernah menimbulkan shock. Terjadinya shock pada cidera kepala meningkatkan angka kematian 2x. Pada pemeriksaan disability/ kelainan kesadaran, pemeriksaan kesadaran memakai glasgow coma scale, Periksa kedua pupil bentuk dan besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya langsung maupun tidak langsung, Periksa adanya hemiparese/plegi, Periksa adanya reflek patologis kanan kiri, Jika penderita sadar baik, tentukan adanya gangguan sensoris maupun fungsi misal adanya aphasia.

Pada pemeriksan exposure, perhatikan bagian tubuh yang terluka, apakan ada jejas atau lebam pada tubuh akibat benturan. Setelah fungsi vital stabil (ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara melakukan sekunder survey/ pemeriksaan tambahan seperti skull foto, foto thorax, foto pelvis, CT Scan dan pemeriksaan ini sebenarnya dikerjakan secara stimultan dan seksama) (ATLS , 1997).

4. Dokumantasi Nama : Sdr. KS Jenis Kelamin : laki-laki Umur : 23 tahun Agama : Islam Alamat : Kutoarjo, Purworejo

5. Kesimpulan 1. Dalam menangani suatu kegawatdaruratan medic, dokter harus mengedepankan keselamatan pasien. Dokter harus memberikan yang terbaik untuk menyelamatkan pasien dari kecacatan atau kematian. 2. Namun walaupun demikian dokter juga harus memikirkan tentang etika kedokteran dan peraturan yang dibuat oleh Rumah Sakit sesuai protap Rumah Sakit tersebut maupun peraturan hukum yang ada. 3. Dalam konteks kesehatan, dalam keadaan yang mendesak seperti dalam keadaan kegawatdaruratan maka dokter dapat melakukan tindakan medik untuk

menyelamatkan jiwa atau penyelamatan anggota tubuh pasien tanpa persetujuan

4. Informed consent merupakan persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta risiko yang berkaitan dengannya. Informed consent ini secara umum dapat berupa persetujuan tertulis, persetujuan lisan dan persetujuan dengan isyarat. Tetapi dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu Implied Consent dan Expresed Consent. 5. Tujuan dari pelaksanaan informed consent ini adalah memberikan perlindungan pengguna jasa tindakan medis dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya dan dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar. 6. Aspek hukum dari informed consent meliputi aspek hukum perdata, aspek hukum pidana maupun aspek hukum administrasi sepanjang hal itu diterapkan. 7. Informed Consent ini mempunyai kekuatan hukum dalam pembuktian di pengadilan yang merupakan salah satu pencegahan diri dari tindakan malpraktek dan tuntutan malpraktek.

6. Daftar Pustaka 1. 2. Undang-Undang no. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran. Herkuntanto, Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat, Kedokteran Indonesia, Februari 2007. 3. Astuti, E.K. 2009. Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis Di Rumah Sakit. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 4. 5. Chazawi, A. 2007. Malpraktik Kedokteran. Malang: Bayumedia. Guwandi, J. 2008. Informed consent. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

6.

Komalawati, V. 1989. Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

7.

Peraturan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia.

Nomor

290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran 8. Pramana, B.T. 2007. Tinjauan Yuridis Terhadap Informed consent Sebagai Dasar Dokter Dalam Melakukan Penanganan Medis Yang Berakibat Malpraktek. Skripsi : Universitas Islam Indonesia. 9. Subekti dan Tjitrosudibio. 2008. KUH Perdata. Jakarta: PT. Pradya Paramita.

10. Supriadi, W. C. 2001. Hukum Kedokteran. Bandung : Mandar Maju. 11. Syahrani, R. 2006. Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: PT. Alumni. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

Yogyakarta, 28 November 2012 Reflektor Co Assisten

(dr. Beta Ahlam Gizela, Sp.F, DFM)

(Ruruh Rahwati Agustine)

You might also like