You are on page 1of 11

LANDASAN BIMBINGAN DAN KONSELING

A. Landasan Sosial Budaya Setelah memahami pengertian bimbingan dan konseling sebagaimana dipaparkan pada bab sebelumnya, bab ini akan menguraikan berbagai hal yang menjadi landasan pelayan bimbingan dan konseling. Landasan tersebut meliputi landasan social budaya, religious, dan ilmiah dan teknologi. Paparan tentang landasan social buadaya yaitu akan dibahas tentang pengaruh lingkungan social budaya terhadap individu, hanbatan-hambatan komunikasi dan penyesuaian diri sebagai dampak perbedaan antarbudaya, serta pengaruh perbedaan antarbudaya itu terhadap pelayanan bimbingan dan konseling. Sebagai makhluk social, manusia tidak pernah dapat hidup seorang diri. Di mana pun dan bilamana pun manusia hidup senantiasa membentuk kelompok hidup terdiri dari sejumlah anggota guna menjamin baik keselamatan, perkembangan, maupun keturunan. Dalam kehidupan berkelompok itu, manusia harus mengembangkan ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing individu sebagai anggota demi ketertiban pergaulan social mereka.ketentuan-ketentuan itu biasanya berupa perangkat nilai, norma social maupun pandangan hidup yang terpadu dalam system budaya yang berfungsi sebagai rujukan hidup para pendukungnya. Rujukan itu, melebihi proses belajar, diwariskan kepada generasi penerus yang akan melestarikannya. Karena itu masyarakat dan kebudayaan itu sesungguhnya merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama (budhi santoso, 1992), yaitu sisi generasi tua sebagai pewaris dan sisi generasi muda sebagai penerus

1. Individu sebagai Produk Lingkungan Sosial Budaya Uraian terdahulu mengemukakan bahwa seorang individu tidak dapat hidup sendiri. Setiap anak, sejak lahirnya harus memenuhi tidak hanya tuntutan biologisnya. Tretapi juga tuntutan budaya di tempat ia

hidup, tunttan budaya itu menghendaki agar ia mengembangkan tingkah lakunya sehingga sesuai dengan pola-pola yang dapat diterima dalam budaya tersebut (McDaniel, 1956). Dengan segala tuntutan dan pengaruh dari lingkungan social budaya itu terjadilah hubungan timbale balik antara individu dan lingkungannya itu; individu menjadi milik lingkungan social budaya, dan lingkungan social budaya itu menjadi milik individu tersebut. Manusia hidup berpuak-puak, bersuku-suku, dan berbangsabangsa. Masing-masing puak, suku, dan bangsa itu memiliki lingkungan social budayanya sendiri; yang satu berbeda dari lainnya.perbedaan itu ada yang amat besar, cukup besar, ada yang tidak begitu besar, ada yang agak kecil, dan ada yang cukup halus. Perbedaan yang amat besar tercermin pada ucapan Kipling yang terkena: Barat adalah Barat dan Timur adalah timur, keduanya keduanya tidak aka bisa bertemu. Kalimat ini menggambarkan bahwa budaya bangsa-bangsa Barat (EropaAmerika) amat berbeda dari budaya bangsa-bangsa Timur (Asia); demikian besar perbedaanny sehingga tidak mungkin dipertemukan. Pandangan tersebut merupakan pandangan pesimistik yang keluwesan, dinamika, dan mobilitas manusia yang dapat bergerak antarbenua dalam kecepatan dan frekuensi yang semakin meningkat. Arah terbentuknya budaya dunia justru semakin tampak, timur akan bertemu Barat. Ditilik dari adanya puak-puak, suku-suku, dan bangsa-bangsa itu, secara garis besar dapat dilihat adanya tiga tingkat perbedaan budaya, yaitu tingkat internasional, tingkat kelompok etnik, dan tingkat yang lebih halus yang didalam etnik itu sendiri (perdesen, dkk., 1976). Perbedaan budaya tingkat inernasional dapat di jumpai pada orang-orang yang berasal dari Negara-negara yang berbeda; seperti orangorang dari Amerika, Rusia, Nigeria, Mesir, India, Cina, Jepang, Indonesia, dan lainlain. Di antara orang-orang yang berasal dari berbagai macam Negara itu terlihat perbedaan yang amat nyata, seperti cara berpakaian,bahasa, makanan, cara berfikir dan bertingkah laku dan lain-lain. Pada tingktan kedua, dapat dijumpai perbedaan-perbedaan unsur-unsur social budaya dalam satu kelompok etnis. Misalnya, di dataran cina, atau india, atau jepang masing-masing dapat dijumpai berbagai sub-kultur Cina, India, Jepang. Di Indonesia sendiri dapat dijumpai berbagai sub-kultur Indonesia, misalnya Jawa, Minangkabau, Batak, Bugis, Bali, dan lain sebagainya. Pada tingkatan ketiga, perbedaan-perbedaan social-budaya

terdapat didalam satu etnis yang lebih kecil. Dialek dalam bahasa, adat istiadat dalam perkawinan, kelahiran dan kematian, status social, dan lain-lain merupakan khasanah dari perbedaan-perbedaan tersebut. Seluruh pengaruh unsure-unsur social budaya dalam sgenap tingkatnya tersebut membentuk unsur-unsur subjektif pada diri individu. Unsur-unsur subjektif itu meliputi berbagai konsep dan asosiasi, sikap, kepercayaan, penilaian, harapan dan keinginan, ingatan, penapat, persepsi tentang peranan,stereotip, dan nilai (Pedersen, dkk., 1976). Individu yang berasal dari latar belakang budaya yang sama cenderung memiliki unsur-unsur subjektif yang sama. Demikianlah orang-orang yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda cebderung memiliki caranya sendiri (yang berbeda) dalam menyikapi berbagai hal yang dihadapinya. Apabila perbedaan-perbedaan itu tidak dijembatani, hal itu akan dapat menghidupkan kecendrungan timbulnya pertentangan dan saling tidak menyukai yang akhirnya dapat menghambat tercapainya kesepakatan. Sebaliknya, apabila perbedaan-perbedaan itu tidak dibesar-besarkan, melainkan diberi hikmah keindahan warna-warninya, hal itu justru akan menjadi daya tarik untuk saling mendekat dan saling mendorong kedua pihak untuk lebih keras lagi menempa upaya kerja sama di antara keduanya. 2. Bimbingan dan Konseling Antarbudaya Sesuai dengan dimensi kesosialannya, individu-individu saling berkomunikasi dan menyesuaikan diri. Komunikasi dan penyesuaian diri antar individu yang berasal dari latar belakang budaya yang sama cenderung lebih mudah dari pada antar mereka yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Ada lima macam sumber hambatan yang mungkin timbul dalam komunikasi dan penyesuaian diri antarbudaya, yaitu sumber-sumber berkenaan dengan perbedaan bahasa, komunikasi non-verbal, stereotip, kecendrungan menilai, dan kecemasan (perdesen, dkk., 1976). Sumber hambatan komunikasi dan penyesuaian dalam suasana ialah kecemasan yang ada pada pihak-pihak yang berinteraksi dalam suasana antarbudaya. Kecemasan ini muncul ketika seorang individu harus memasuki atau bertugas dengan budaya lain yang unsureunsurnya dirasakan asing. Itu dapat menuju ke suasana culture shock yang menyebabkan orang yang bersangkutan menjadi tidak tahu sama sekali apa, dimana, dan kapan berbuat sesuatu (Oberg, dalam Pedersen,

1976). Karena inti proses pelayanan bimbingan dan konseling adalah komunikasi antara klien dan konselor, maka proses pelayanan bimbingan dan konseling yang bersifat antarbudaya (klien dan konselor) berasal dari latar belakang budaya yang berbeda sangat peka terhadap pengaruh dari sumber-sumber hambatan komunikasi seperti tersebut. Perbedaan dalam latar belakang atau rasa atau etnik, kelas social ekonomi dan pola bahasa menimbulkan masalah dalam hubungan konseling, dari awal pengembangan hubungan yang akrab dan saling mempercayai (rapport) antar klien dan konselor, penstrukturan suasana konseling, sampai peniadaan sikap menolak dari klien (Pedersen, dkk., 1976). Berdasarkan sejumlah hasil penelitian, mereka mencatatkan beberapa karakteristik sub-kultur yang ada di Amerika serikat dari golongan minoritas tertentu. Warga Negara Amerika keturunan Afrika di identifikasi sebagai orang-orang yang suka membuka diri; mereka juga cenderung membenci orang-orang kulit putih. Bagi kaum Hispanic penampilan machismo (penonjolan sifat-sifat kejantanan, kekuatan, dan keberanian) amat penting. Penduduk kulit putih pegunungan Appalacia, keturunan Spanyol, dan keturunan kulit-hitam, tidak menyukai prosedur formal yang kaku dan birokrasi. Wanita Puerto Rico tidak menyukai kontak mata; laki-laki mereka lebih banyak tampil, sedangkan wanitanya lebih banyak berada di belakang. Keturunan Jepang di Amerika kurang suka menonjolkan diri. Berbagai karakteristik tersebut perlu mendapat perhatian yang saksama oleh konselor apabila ia hendak menghindari hambatan-hambatan yang ditimbulkannya dalam proses konseling. Lebih jauh aspek-aspek budaya tida hanya mempengaruhi proses konseling saja, tetapi lebih luas ;agi, yaitu tujuannya, prosesnya, sasarannya, dan bahkan alas an penyelenggaraan konseling itu sendiri (Tolbert, 1982). Pengaruh aspek-aspek budaya itu akan lebih terasa lagi apabila dikaitkan dengan kemampuan konselor. Menurut sue dkk. (1992) konselor yang diharapkan akan berhasil dalam menyelenggarakan konseling antarbudaya adalah mereka mereka yang telah mengembangkan tiga dimensi kemampuan, yaitu dimensi keyakinan dan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang sesuai dengan klien antarbudaya yang akan dilayani. Konselor yang terkukung oleh budayanya sendiri, sehingga seolah-olah berada di dalam kapsul budayanya sendiri itu saja (encapsulated counselour istilah dari Wrenn, 1962) tidak selayaknya menangani klien-klien antarbudaya. Dalam kaitan itu, secara tegas dikatakan bahwa pelayanan terhadap klien-

klien yang berlatar belakang budaya berbeda oleh tenaga (konselor) yang tidak memiliki pemahaman dan kemampuan melayani secara khusus klien-klien antarbudaya itu dianggap tidak etis (korman, dalam sue, dk., 1992; dan Burn, dkk., 1992) Menilik kemampuan dan kecenderungan (calon) konselor dewasa ini, pada umumnya mereka menyenangi klien-klien yang berasal dari latar belakang budaya, suku atau ras yang sama. Dalam kenyataanya memang para calon konselor itu tidak dipersiapkan secara khusus untuk menangani klien-klien dan latar belakang budaya, suku atau ras, dan kelompok-kelompok social ekonomi yang semuanya itu membawa nilainilai, sikap dan gaya hidup yang berbeda-beda (strange & Riccio; Padila, dkk., dalam Pedersen, 1976). Namun demikian, adalah jelas bahwa adanya konseling professional yang bersifat antarbudaya, atau bahkan multibudaya, merupakan kebutuhan yang amat mendesak bagi terselenggaranya pelayanan yang etis; dan hal itu merupakan baian yang integral dari tugas professional bimbingan dan konseling (sue, dkk., 1992). Untuk membimbing penelitian dan mengarahkan perhatian mereka kepada berbagai aspek dan seluk-beluk konseling budaya itu, Pedersen dkk. (1976) mengemukakan sejumlah hipotesis, yaitu: a) Makin besar kesamaan harapan tentang tujuan konseling antarbudaya yang pada diri klien dan konselornya, maka di mungkinkan konseling itu akan berhasil. b) Makin besar kesamaan pemahaman tentang ketergantungan, komunikasi terbuka, dam berbagai aspek hubungan konseling lainnya pada diri klien dan konselornya (dalam konseling antar budaya), makin besar kemungkinan konseling itu akan berhasil. c) Makin besar kemungkinan penyederhanaan harapan yang ingin dicapai oleh klien menjad tujuan-tujuan operasional yag bersifat tingkah laku (dalam konseling antar budaya), makin efektifkah konseling dengan klien tersebut. d) Makin bersifat personal dan penuh dengan suasana emosional suasana konseling antarbudaya, makin mungkinlah klien menanggapi pembicaraan dalam konseling dengan bahasa ibunya, dan makin mungkinlah konselor memahami sosalisasi klien dalam budayanya.

e) Keefektifan konseling antarbudaya tergantung pada kesensitifan konselor terhadap proses komunikasi pada umumnya (baik verbal maupun non-verbal), dan terhadap gaya komunikasi dalam budaya klien. Karakteristik social budaya masyarakat yang majemuk itu tidak dapat diabaikan dalam perencanaan dan penyelenggaraan bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling yang bertujuan mengembangkan kemampuan dan meningkatkan mutu kehidupan serta martabat manusia Indonesia harus berakar pada budaya bangsa Indonesia sendiri. Hal ini berarti bahwa penyelenggaraan bimbingan dan konseling harus dilandasi oleh dan mempertimbangkan keanekaragaman social budaya yang hidup dalam masyarakat yang lebih maju. Klien-klien dari latar belakang social budaya yang berbineka itu tidak dapat disamaratakan penanganannya. Meskipun bangsa Indonesia sedang menuju pada satu budaya kesatuan Indonesia, namun akar budaya asli yang sekarang masih hidup dan besar pengaruhnya terhadap masyarakat budaya asli itu patut dikenali, dihargai, dan dijadikan pertimbangan utama dalam pelayanan bimbingan dan konseling. Hal itu semua menjadi tanggung jawab para konselor dan lembaga pendidikan konselor di seluruh tanah air.

B. Landasan Religius Pada bagian terdahulu telah dikemukakan beberapa unsure-unsur keagamaan terkait erat dalam hakekat, keberadaan, dan perikehidupan kemanusiaan. Dalam pembahasan lebih lanjut tentang landasan religius bagi layanan bimbingan dan konseling perlu ditekankan tiga hal pokok, yaitu: a) Keyakinan bahwa manusia dan seluruh alam semesta adalah makhluk Tuhan. b) Sikap yang mendorong perkembangan dan perikehidupan manusia berjalan kea rah dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama, dan

c) Upaya yang memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya secara optimal suasana dan perangkat budaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi) serta kemasyarakatan yang sesuai dan meneguhkan kehidupan beragama untuk membantu perkembangan dan pemecahan masalah individu. 1. Manusia Sebagai Makhluk Tuhan Keyakinan bahwa manusia adalah makhluk tuhan menekankan pada ketinggian derajat dan keindahan makhluk manusia itu serta peranannya sebagai khalifah di muka bumi. Derajat dan keberadaan yang paling mulia di antara makhluk-makhluk tuhan itu perlu dimuliakan oleh manusia itu sendiri. Tuhan mempercayakan kepada manusia untuk menjadi pemimpin diatas dunia. Pemimpin terhadap siapa? Terutama terhadap dirinya sendiri. Hal ini adalah mendasar, sebab apabila manusia tidak mampu memimpin dirinya sendiri, maka akan hancur leburlah kehidupan manusia dan akan lenyaplah kemanusiaan manusia itu. Sebaliknya, kalau manusia berhasil menjamin pemimpin yang baik, itu berarti ia berhasil memimpin dirinya sendiri, dan berarti pula berhasil memimpin makhluk-makhluk lainnya. Keberhasilan kepemimpinan manusia akan mewujudkan kemuliaan kemanusiaan dan kemuliaan kemanusiaan manusia itu pada dasarnya adalah kemuliaan makhluk-makhluk lain juga.

Kemanusiaan manusia pada dasarnya adalah kemampuan manusia untuk mewujudkan ketaqwaannya secara penuh seperti disinggung diatas. Kemanusiaan manusia memungkinkan manusia menghubungkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan khidmat dan penuh makna serta sekaligus menerapkan segenap kemampuan positifnya untuk berhungan dengan sesame manusia dan mengolah dunianya. 2. Sikap Keberagamaan Kehidupan beragama merupakan gejala yang universal. Pada bangsabangsa dan kelompok-kelompok manusia dari jaman ke jaman senantiasa

dijumpai praktek-praktek kehidupan keagamaan. Makna keagamaan itu sangat beraneka ragam (terentang dari paham-paham animisme, politeisme, sampai monoteisme) dan dalam banyak seginya diwarnai oleh dan bahkan ada yang terpadu menjadi satu dengan unsure-unsur kebudayaan yang dikembangkan oleh manusia sendiri. Di dunia barat agama tidak dipilah dan dipisahkan secara tegas dari filsafat . padahal inti ajaran agama adalah firman-firman Tuhan dan filsafat adalah hasil pikiran hasil pikiran manusia. Lebih jauh, agama dan filsafat yang dapat membentuk sikap seseorang itu dikontraskan dengan dorongan individu. Sikap pemerosotan dan pengabaian nilai-nilai agama akan mengakibatkan kemerosotan kemuliaan kehidupan manusia dipandang dari tuntutan Tuhan berdasarkan firman-firman-Nya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan mampu mengatasi pemerosotan tersebut, bahkan justru dapat memperparahnya. Ilmu pengetahuan yang bertumpu pada rasionalitas manusia dan berfokus pada kenyataan hidup didunia itu dapat dengan mudah mengabaikan ajaran-ajaran Tuhan yang dianggap tidak rasional. Oleh karena itu karena itu, mengaharapkan peningkatan kemuliaan manusia semata-mata pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidaklah tepat dan bahkan berbahaya. Dengan ilmu dan teknologinya manusia cenderung saling menguasai dan saling menghancurkan dengan akibat kesengsaraan dan permusuhan diri sendiri serta alam secara keseluruhan.

3. Peranan Agama Studi tentang gejala keagamaan, khususnya sebagai gejala psikologis, telah menjadi pusat perhatian para ahli. Seperti Stanley Hall, sejak abad ke19. Lebih jauh studi tersebut diarahkan kepada peranan agama bagi pekerjaan para ahli kesehatan jiwa (psikolog). Pada 1965 Dr John G. Fink mendirikan lembaga pendidikan pasca sarjana psikologi yang kurikulumnya meliputi teori dan praktek mengenai hubungan antara agama dan psikologi (dalam Clark, Malony, daane & tippet, 1973). Kajian tentang hubungan agama dan psikologi ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia pada dasarnya memiliki kemampuan untuk mengalami peristiwa-peristiwa keagamaan pada dirinya, namun kemampuan itu sering kali tidak termanfaatkan.

Memanfaatkan unsure-unsur agama dalam konseling memang dapat membawa suasana konseling memang dapat membawa suasana konseling menjadi tidak mengenakkan klien dan upaya konseling tidak efektif. Untuk tetap memberikan peran positif agama dalam konseling sambil menghindari hal-hal yang tidak di inginkan. Pertama-pertama konselor hendaklah orang yang beragama dan mengamalkan dengan baik keimanan dan ketaqwaannya sesuai dengan agamanya itu. Kedua, konselor sedapatdapatnya mampu mentransfer kaidah-kaidah agama secara garis besar yang relevan dengan permasalahan klien. Ketiga, konselor harus benar-benar memperhatikan dan menghormati agama klien. Apabila konselor dan klien berbeda agama, maka pemasukan unsur-unsur agama itu hendaknya seminimal mungkin, dan hanya unsur-unsur yang tidak mempertentangkan agama yang satu dengan agama yang lainnya. Apabila konselor seagama dengan klien, maka pemanfaatan unsur-unsur agama itu lebih intensif sesuai dengan tahap perkembangan suasana konseling. Dalam hal konselor dan klien yang seagama, pendalaman tentang keimanan dan ketakwaan sesuai dengan agamanya itu dapat saja dilakukan sepanjang sesuai dengan permasalahan dan hasyrat klien menjalani proses konseling itu.

4. Landasan Ilmiah dan Teknologis Pelayanan bimbingan dan konseling merupakan kegiatan professional yang memiliki dasar-dasar keilmuan, baik yang menyangkut teoriteorinya,pelaksanaan kegiatannya, maupun pengembanganpengembangan pelayanan itu secara berkelanjutan. a. Keilmuan Bimbingan dan Konseling Ilmu, sering juga disebut ilmu pengetahuan, merupakan sejumlah pengetahuan yang disusun secara logis dan sistematik. Pengetahuan ialah sesuatu yang diketahui melalui panca indra dan pengolahan oleh daya pikir. Dengan demikian, ilmu bimbingan dan konseling adalah berbagai pengetahuan tentang bimbingan dan konseling yang tersusun secara logis dan sistematik. Objek kajian bimbingan dan konseling adalah upaya bantuan yang diberikan kepada individu yang mengacu pada keempat fungsi pelayanan. Telah lama dikenal, bahkan sejak awal gerakan bimbingan dicetuskan, pelayanan bimbingan dan konseling menekankan pentingnya logika, pemikiran, pertimbagan, dan pengolahan lingkungan secara ilmiah. McDaniel mengemukakan bahwa konselor adalah seorang ilmuan, karena mendasarkan teori, pendekatan dan tindakan-tindakannya pada kaidah-kaidah keilmuan. b. Peran Ilmu Lain dan Teknologi dalam Bimbingan dan konseling Pernah disebutkan, Bimbingan dan konseling sebagaimana juga pendidikan, merupakan ilmu yang bersifat Multireferensial, artinya ilmu dengan rujukan berbagai ilmu yang lain. Demikian juga dengan sosiologi memberikan pemahaman tentang peranan individu dalam berfungsinya masyarakat, keluarga, interaksi antar individu dalam kelompok. Sumbangan berbagai ilmu lain itu kepada bimbingan dan konseling tidak hanya terbatas kepada pembentukan dan pengembagan teori-teori bimbingan dan konseling, melainkan juga kepada praktek pelayanannya. Salah satu ilmu dan perangkat teknologi yang berkembang amat cepat dewasa ini, yaitu Komputer. Bidang yang banyak memanfaatkan jasa komputer ialah bimbingan karier dan bimbingan/konselor pendidikan. c. Pengembangan Bimbingan dan Konseling Melalui Penelitian

Bimbingan dan konseling, baik teori maupun praktek pelayanannya, bersifat dinamis dan berkembang, sering dengan berkembagannya ilmu-ilmu yang memberikan sumbangan dan seiring pula dengan perkembangan budaya manusia pendukung pelayanan bimbingan dan konseling itu. Pengembagan praktek pelayanan bimbingan dan konseling, tidak boleh tidak harus melalui penelitian, bahkan kalau dapat penelitian suatu teori dan praktek bimbingan dan konseling menemukan pembuktian tentang ketepatan dan keefektifan di lapangan. Penelitian adalah jiwa dari perkembangan ilmu dan teknologi. Apabila pelayanan bimbingan dan konseling diinginkan untuk berkembang dan maju, maka penelitian tentang bimbingan dan konseling dalam berbagai bentuk penelitian dan aspek yang diteliti harus menerus dilakukan. Tanpa penelitian pertumbuhan dan pelayanan bimbingan dan konseling akan mandul dan steril.

5. Landasan Pedagosis Boleh dikatakan bahwa pendidikan itu merupakan salah satu lembaga sosial yang universal dan berfungsi sebagai sarana reproduksi sosial. Dengan reproduksi itulah nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial yang melandasi kehidupan masyarakat itu diwujudkan dan dibina ketangguhannya. Karena itu berbagai cara dilakukan masyarakat untuk mendidik anggotanya, seperti menceritakan dongeng-dongeng mitos, menanamkan etika sosial dengan memberitahu, menegur dan keteladanan, malalui permainan, terutama yang memperkenalkan peranperan social. Pendidikan akan ditinjau sebagai landasan bimbingan dan konseling dari tiga segi, yaitu pendidikan sebagai upaya pengembangan manusia dan bimbingan merupakan salah satu bentuk kegiatan pendidikan, pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan konseling, dan pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan pelayanan bimbingan dan konseling.

You might also like