You are on page 1of 27

BAB I PENDAHULUAN

Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4 per 1000 kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi Indonesia Sehat 2010, maka salah satu tolok ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan proyeksi pada tahun 2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup. Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek. Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus non-fisiologis). Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5
1

mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia. Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8% Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya sebesar 30% pada tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin disebabkan oleh cara pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus dinilai berdasarkan kadar bilirubin serum total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan metode spektrofotometrik pada hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus berdasarkan metode visual.

BAB II PEMBAHASAN
Definisi
Hiperbilirubinemia adalah meningkatnya kadar bilirubin total pada minggu pertama kelahiran. Kadar normal maksimal adalah 12-13 mg% (205-220 mikromol/L). Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari presentil 90. Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin di dalam darah melampui 1

mg/dL(17,1umol/L). Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh produksi bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal untuk mengekskresikannya, atau dapat terjadi karena kegagalan hati yang rusak untuk mengekskresikan bilirubin yang di hasilkan dengan jumlah normal. Pada semua keadaan ini, bilirubin bertumpuk di dalam darah dan ketika mencapai suatu konsentrasi tertentu ( yaitu sekitar 2-2,5 mg/dL ), bilirubin akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian warnanya berubah menjadi kuning. Keadaan ini dinamakan jaundice atau ikterus. Hiperbilirubinemia adalah naiknya kadar bilirubin serum melebihi normal.

Presentasinya pada neonates muncul dalam salah satu dari dua bentuk berikut ini : hiperbilirubinemia tidak terkonyugasi/indirek atau terkonyugasi/direk. Gejala paling relevan dan paling mudah diidentifikasi dari kedua bentuk tersebut adalah ikterus, yang didefinisikan sebagai kulit dan selaput lender menjadi kuning. Pada neonates,ikterus yang nyata jika bilirubin total serum 5 mn/dl. Kulit atau mata yang terlihat kuning merupakan keluhan atau gejala yang sering dijumpai. Dalam kamus kedokteran gejala demikian disebut jaundice atau ikterus. Istilah jaundice (berasal dari bahasa Perancis jaune, yang berarti kuning) atau ikterus (dari bahasa Yunani icteros) menunjukkan pewarnaan kuning pada kulit, sklera atau membran mukosa sebagai akibat penumpukan bilirubin yang berlebihan pada jaringan. Hiperbilirubinemia fisiologis yang terjadi pada bayi adalah ketika kadar bilirubin indirek tidak melebihi 12 mg/dL pada hari ketiga dan bayi premature pada 15 mg/dL pada hari kelima.
3

Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sclera akiat akumulasi bilirubin tidak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL.

Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi : 1. Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis. 2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom CrigglerNajjar). Penyebab lain ialah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar. 3. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi ileh obat misalnya salisilatm otak. 4. Gangguan dalam eksresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
4

sulfafurazole.

Defisiensi

albumin

menyebabkan

lebih

banyak

terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel

Manifestasi klinik
Secara umum gejala dari penyakit hiperbilirubin ini antara lain: Pada permulaan tidak jelas, tampak mata berputar-putar Letargi Kejang Tidak mau menghisap Dapat tuli, gangguan bicara, retardasi mental Bila bayi hidup pada umur lanjut disertai spasme otot, kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot Perut membuncit Pembesaran pada hati Feses berwarna seperti dempul Muntah, anoreksia, fatigue, Warna urin gelap.

PATOFISIOLOGI
Pembentukan Bilirubin Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi reduksi. Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang di bentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terdapat besi yang digunakan kembali untuk pembentukan haemoglobin dan karbon monoksida yang dieksresikan ke dalam paru. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan dirubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hydrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan, diperlukan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin. Transportasi Bilirubin
5

Pembentukan bilirubin yang terjadi di system retikulo endothelial, selanjutnya dilapaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendahdan kapasitas ikatan molar yang kurang.Bilirubin yang terikat pada albumin serum ini merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan di transportasi kedalam sel hepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susuna syaraf pusat dan bersifat nontoksik. Selain itu albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat obatan yang bersifat asam seperti penicillin dan sulfonamide. Obat obat tersebut akan menempati tempat utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga bersifat competitor serta dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin. Obat obat yang dapat melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin: Analgetik, antipiretik ( Natrium salisilat, fenilbutazon ) Antiseptik, desinfektan ( metal, isopropyl ) Antibiotik dengan kandungan sulfa ( Sulfadiazin, sulfamethizole, sulfamoxazole ) Penicilin ( propicilin, cloxacillin ) ain lain ( novabiosin, triptophan, asam mendelik, kontras x ray )

Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu: 1) Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk sebagian besar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum. 2) Bilirubin bebas 3) Bilirubin terkonjugasi yaitu bilirubin yang siap dieksresikan melalui ginjal. 4) Bilirubin terkonjugasi yang terikat denga albumin serum. Asupan Bilirubin

Pada saat kompleks bilirubin albumin mencapai membrane plasma hepatosit, albumin terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, di transfer melalui sel membran yang berikatan dengan ligandin ( protein y ), mungkin juga dengan protein ikatan sitosilik lainnya . Konjugasi Bilirubin Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan kebentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphospate glukuronosyl transferase ( UDPG T ). Katalisa oleh enzim ini akan merubah formasi menjadi bilirubin monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida. Bilirubin ini kemudian dieksresikan kedalam kalanikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke reticulum endoplasmic untuk rekonjugasi berikutnya. Eksresi Bilirubin Setelah mengalami proses konjugasi , bilirubin akan dieksresikan kedalam kandung empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan di eksresikan melalui feses. Setelah berada dalam usus halus bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali jika dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta glukoronidase yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk di konjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik.

Kecepatan produksi bilirubin adalah 6-8 mg/kgBB per 24 jam pada neonatus cukup bulan sehat dan 3-4 mg/kgBB per 24 jam pada orang dewasa sehat. Sekitar 80 % bilirubin yang diproduksi tiap hari berasal dari hemoglobin. Bayi memproduksi bilirubin lebih besar per kilogram berat badan karena massa eritrosit lebih besar dan umur eritrositnya lebih pendek. Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya kelebihan bilirubin akibat hemolisis dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau kerusakan duktus biliaris, yang kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi dan ekskresi bilirubin. Di pihak lain, gangguan ekskresi bilirubin dapat menggangu ambilan dan transpor bilirubin. Selain itu, kerusakan hepatoseluler memperpendek umur eritrosit, sehngga menmbah hiperbilirubinemia dan gangguan proses ambilan bilirubin olah hepatosit.

Mekanisme hiperbilirubinemia dan ikterus


Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat terjadi : pembentukan bilirubin secara berlebihan, gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi

oleh hati, gangguan konjugasi bilirubin, penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intra hepatik yang bersifat opbtruksi fungsional atau mekanik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga mekanisme yang pertama,sedangkan mekanisme yang keempat terutama mengakibatkan terkonjugasi. 1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah merupakan penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsungnormal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan. Beberapa penyebab ikterus hemolitik yang sering adalah hemoglobin abnormal ( hemoglobin S pada animea sel sabit), sel darah merah abnormal ( sterositosis herediter ), anti body dalam serum ( Rh atau autoimun ), pemberian beberapa obat-obatan, dan beberapa limfoma atau pembesaran ( limpa dan peningkatan hemolisis ). Sebagaian kasus Ikterus hemolitik dapat di akibatkan oleh peningkatan destruksi sel darah merah atau prekursornya dalam sum-sum tulang ( talasemia, anemia persuisiosa, porviria ). Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif Kadar bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi 20 mg / 100 ml pada bayi dapat mengakibatkan Kern Ikterus. 2. Gangguan pengambilan bilirubin Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat abulmin oleh sel-sel hati dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkan pada protein penerima. Hanya beberapa obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh sel-sel hati, asam flafas pidat ( di pakai untuk mengobati cacing pita ), nofobiosin, dan beberapa zat warna kolesistografik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan Ikterus biasanya menghilang bila obat yang menjadi penyebab di hentikan. Dahulu Ikterus Neonatal dan beberapa kasus sindrom Gilbert dianggap oleh defisiensi protein penerima dan gangguan dalam pengambilan oleh hati. Namun pada kebanyakan kasus demikian, telah di temukan defisiensi glukoronil tranferase sehingga keadaan ini terutama dianggap sebagai cacat konjugasi bilirubin. 3. Gangguan konjugasi bilirubin

Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan ( < 12,9 / 100 ml ) yang mulai terjadi pada hari ke dua sampai ke lima lahir disebut Ikterus Fisiologis pada Neonatus. Ikterus Neonatal yang normal ini disebabkan oleh kurang matangnya enzim glukoronik transferase. Aktivitas glukoronil tranferase biasanya meningkat beberapa hari setelah lahir sampai sekitar minggu ke dua, dan setelah itu Ikterus akan menghilang. Kern Ikterus atau Bilirubin enselopati timbul akibat penimbunan Bilirubin tak terkonjugasi pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak di obati maka akan terjadi kematian atau kerusakan Neorologik berat tindakan pengobatan saat ini dilakukan pada Neonatus dengan Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah dengan fototerapi. Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen atau ( gelombang yang panjangnya 430 sampai dengan 470 nm ) pada kulit bayi yang telanjang. Penyinaran ini menyebabkan perubahan struktural Bilirubin ( foto isumerisasi ) menjadi isomer-isomer yang larut dalam air, isomer ini akan di ekskresikan dengan cepat ke dalam empedu tanpa harus di konjugasi terlebih dahulu. Fenobarbital ( Luminal ) yang meningkatkan aktivitas glukororil transferase sering kali dapat menghilang ikterus pada penderita ini. 4. Penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor Fungsional maupun obstruksi, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi .Karena bilirubin terkonjugasi latut dalam air,maka bilirubin ini dapat di ekskresi ke dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubin dan kemih berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih sering berkurang sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat di sertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fostafe alkali dalam serum, AST, Kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam empedu dalam darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya lebih kuning di bandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar dari kuning jingga muda atau tua sampai kuning hijau bila terjadi obstruksi total aliran empedu perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik ( mengenai sel hati, kanalikuli, atau kolangiola ) atau ekstra hepatik ( mengenai saluran empedu di luar hati ). Pada ke dua keadaan ini terdapat gangguan niokimia yang sama.
10

Sumber lain ada juga yang menyatakan penyebab dari hiperbilirubinemia adalah : a. Produksi bilirubin yang meningkat : peningkatan jumlah sel darah merah, penurunan umur sel darah merah, peningkatan pemecahan sel darah merah (inkompatibilitas golongan darah dan Rh), defek sel darah merah pada defisiensi G6PD atau sferositosis, polisetemia, sekuester darah, infeksi) b. Penurunan konjugasi bilirubin, prematuritas, ASI, defek congenital yang jarang) c. Peningkatan reabsorpsi bilirubin dalam saluran cerna : ASI, asfiksia, pemberian ASI yang terlambat, obstruksi saluran cerna.
d. Kegagalan eksresi cairan empede : infeksi intrauterine, sepsis, hepatitis, sindrom

kolestatik, atresia biliaris, fibrosis kistik)

Klasifikasi ikterus pada neonatus


Ikterus fisiologis : terjadi setelah 24 jam pertama. Pada bayi cukup bulan nilai puncak 68 mg/dL biasanya tercapai pada hari ke 3-5. Pada bayi kurang bulan nilainya 10-12 mg/dL, bahkan sampai 15 mg/dL. Peningkatan/akumulasi bilirubin serum < 5 mg/dL/hr. Ikterus patologis : terjadi dalam 24 jam pertama. Peningkatan akumulasi bilirubin serum > 5 mg/dL/hr. Bayi yang mendapat ASI, kadar bilirubin total serum > 17mg/dL. Ikterus menetap setelah 8 hari pada bayi cukup bulan dan setelah 14 hari pada bayi kurang bulan. Bilirubin direk >2 mg/dL. Sebagai neonatus , terutama bayi prematur, menunjukkan gejala ikterus pada hari pertama. Ikterus ini biasanya timbul pada hari ke dua, kemudian menghilang pada hari ke sepuluh, atau pada akhir minggu ke dua. Bayi dengan gejala ikterus ini tidak sakit dan tidak memerlukan pengobatan,kecuali dalam pengertian mencegah terjadinya penumpukan bilirubin tidak langsung yang berlebihan.
11

Ikterus dengan kemungkinan besar menjadi patologik dan memerlukan pemeriksaan yang mendalam antara lain : waktu. hemoglobin, infeksi,atau suatu keadaan patologik lain yang telah diketahui. Ikterus yang mempunyai hubungan dengan penyakit Ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama Bilirubin serum meningkat lebih dari 5 mg % per hari Bilirubin melebihi 10mg% pada bayi cukup bulan Bilirubin melebihi 15mg% pada bayi prenatur Ikterus yang menetap sesudah minggu pertama Ikterus dengan bilirubin langsung melebihi 1mg%pada setiap

Pembagian derajat ikterus


Berdasarkan Kramer dapat dibagi : Derajat ikterus I II Daerah ikterus Kepala dan leher Perkiraan kadar bilirubin 5,0 mg%

Sampai badan atas (diatas 9,0mg% umbilicus)

III

Sampai

badan

bawah 11,4mg%

(dibawah umbilicuks hingga tungkai atas diatas lutut)


12

IV

Sampai

lengan,

tungkai 12,4mg%

bawah lutut V Sampai telapak tangan dan 16,0mg% kaki

Bilirubin Ensefalopati Dan

kernikterus

Istilah bilirubin ensefalopati lebih menunjukkan kepada manifestasi klinis yang mungkin timbul akibat efek toksis bilirubin pada system syaraf pusat yaitu basal ganglia dan pada berbagai nuclei batang otak. Sedangkan istilah kern ikterus adalah perubahan neuropatologi yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah di otak terutama di ganglia basalis, pons, dan serebelum. Manifestasi klinis akut bilirubin ensefalopati Pada fase awal, bayi dengan ikterus berat akan tampak letargi, hipotonik, dan reflek hisap buruk.

Pada fase intermediate dan moderate, bayi akan mrngalami stupor, iritabilitas dan hipertoni.

Selanjutnya bayi akan demam, high pitched cry, kemudian akan menjadi drowsiness dan hipotoni.
13

Pada tahap yang kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang bertahan hidup, akan berkembang menjadi bentuk athetoid cerebral palsy yang berat, gangguan pendengaran, displasia dental enamel, paralysis upward gaze.

PENATALAKSANAAN
1. Strategi Pencegahan a. Pencegahan Primer Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 12 kali/ hari untuk beberapa hari pertama. Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.

b. Pencegahan Sekunder Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesusu serta penyaringan serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa. Harus memastikan bahwa semua bayi secar rutin di monitor terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8 12 jam.

2. Penggunaan Farmakoterapi a. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi bayi dengan rhesus yang berat dan inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan tindakan transfusi tukar. b. Fenobarbital merangsang aktivitas dan konsentrasi UDPG T dan ligandin serta dapat meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin sehingga konjugasi bilirubin berlangsung
14

lebih cepat .Pemberian phenobarbital untuk mengobatan hiperbilirubenemia pada neonatus selama tiga hari baru dapat menurunkan bilirubin serum yang berarti. Bayi prematur lebih banyak memberikan reaksi daripada bayi cukup bulan. Phenobarbital dapat diberikan dengan dosis 8 mg/kg berat badan sehari, mula-mula parenteral, kemudian dilanjutkan secara oral. Keuntungan pemberian phenobarbital dibandingkan dengan terapi sinar ialah bahwa pelaksanaanya lebih murah dan lebih mudah. Kerugiannya ialah diperlukan waktu paling kurang 3 hari untuk mendapat hasil yang berarti. c. Metalloprotoprophyrin adalah analog sintesis heme. d. Tin Protoporphyrin ( Sn Pp ) dan Tin Mesoporphyrin ( Sn Mp ) dapat menurunkan kadar bilirubin serum. e. Pemberian inhibitor b - glukuronidasi seperti asam L aspartikdan kasein holdolisat dalam jumlah kecil ( 5 ml/dosis 6 kali/hari ) pada bayi sehat cukup bulan yang mendapat ASI dan meningkatkan pengeluaran bilirubin feses dan ikterus menjadi berkurang dibandingkan dengan bayi contro

3. Fototerapi Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali diperhatikan dan dilaporkan oleh seorang perawat di salah satu rumah sakit di Inggris. Perawat Ward melihat bahwa bayi bayi yang mendapat sinar matahari di bangsalnya ternyata ikterusnya lebih cepat menghilang dibandingkan bayi bayi lainnya. Cremer (1958) yang mendapatkan laporan tersebut mulai melakukan penyelidikan mengenai pengaruh sinar terhadap hiperbilirubinemia ini. Dari penelitiannya terbukti bahwa disamping pengaruh sinar matahari, sinar lampu tertentu juga mempunyai pengaruh dalam menurunkan kadar bilirubin pada bayi bayi prematur lainnya.6 Sinar fototerapi akan mengubah bilirubin yang ada di dalam kapiler-kapiler superfisial dan ruang-ruang usus menjadi isomer yang larut dalam air yang dapat diekstraksikan tanpa metabolisme lebih lanjut oleh hati. Maisels, seorang peneliti bilirubin, menyatakan bahwa fototerapi merupakan obat perkutan.3 Bila fototerapi menyinari kulit, akan memberikan foton-foton diskrit energi, sama halnya seperti molekul-molekul obat, sinar akan diserap oleh bilirubin dengan cara yang sama dengan molekul obat yang terikat pada reseptor.

15

Molekul-molekul bilirubin pada kulit yang terpapar sinar akan mengalami reaksi fotokimia yang relatif cepat menjadi isomer konfigurasi, dimana sinar akan merubah bentuk molekul bilirubin dan bukan mengubah struktur bilirubin. Bentuk bilirubin 4Z, 15Z akan berubah menjadi bentuk 4Z,15E yaitu bentuk isomer nontoksik yang bisa diekskresikan. Isomer bilirubin ini mempunyai bentuk yang berbeda dari isomer asli, lebih polar dan bisa diekskresikan dari hati ke dalam empedu tanpa mengalami konjugasi atau membutuhkan pengangkutan khusus untuk ekskresinya. Bentuk isomer ini mengandung 20% dari jumlah bilirubin serum. Eliminasi melalui urin dan saluran cerna sama-sama penting dalam mengurangi muatan bilirubin. Reaksi fototerapi menghasilkan suatu fotooksidasi melalui proses yang cepat. Fototerapi juga menghasilkan lumirubin, dimana lumirubin ini mengandung 2% sampai 6% dari total bilirubin serum. Lumirubin diekskresikan melalui empedu dan urin.Lumirubin bersifat larut dalam air.

Gambar 2.2. Mekanisme fototerapi. Penelitian Sarici mendapatkan 10,5% neonatus cukup bulan dan 25,5% neonatus kurang bulan menderita hiperbilirubinemia yang signifikan dan membutuhkan fototerapi.

16

Fototerapi diindikasikan pada kadar bilirubin yang meningkat sesuai dengan umur pada neonatus cukup bulan atau berdasarkan berat badan pada neonatus kurang bulan, sesuai dengan rekomendasi American Academy of Pediatrics (AAP) Sinar Fototerapi Sinar yang digunakan pada fototerapi adalah suatu sinar tampak yang merupakan suatu gelombang elektromagnetik. Sifat gelombang elektromagnetik bervariasi menurut frekuensi dan panjang gelombang, yang menghasilkan spektrum elektromagnetik. Spektrum dari sinar tampak ini terdiri dari sinar merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu. Masing masing dari sinar memiliki panjang gelombang yang berbeda beda. Panjang gelombang sinar yang paling efektif untuk menurunkan kadar bilirubin adalah sinar biru dengan panjang gelombang 425-475 nm.Sinar biru lebih baik dalam menurunkan kadar bilirubin dibandingkan dengan sinar biru-hijau, sinar putih, dan sinar hijau. Intensitas sinar adalah jumlah foton yang diberikan per sentimeter kuadrat permukaan tubuh yang terpapar. Intensitas yang diberikan menentukan efektifitas fototerapi, semakin tinggi intensitas sinar maka semakin cepat penurunan kadar bilirubin serum.Intensitas sinar, yang ditentukan sebagai W/cm2/nm. Intensitas sinar yang diberikan menentukan efektivitas dari fototerapi. Intensitas sinar diukur dengan menggunakan suatu alat yaitu radiometer fototerapi.28,36 Intensitas sinar 30 W/cm2/nm cukup signifikan dalam menurunkan kadar bilirubin untuk intensif fototerapi. Intensitas sinar yang diharapkan adalah 10 40 W/cm2/nm. Intensitas sinar maksimal untuk fototerapi standard adalah 30 50 W/cm2/nm. Semakin tinggi intensitas sinar, maka akan lebih besar pula efikasinya. Faktor-faktor yang berpengaruh pada penentuan intensitas sinar ini adalah jenis sinar, panjang gelombang sinar yang digunakan, jarak sinar ke neonatus dan luas permukaan tubuh neonatus yang disinari serta penggunaan media pemantulan sinar. Intensitas sinar berbanding terbalik dengan jarak antara sinar dan permukaan tubuh. Cara mudah untuk meningkatkan intensitas sinar adalah menggeser sinar lebih dekat pada bayi. Rekomendasi AAP menganjurkan fototerapi dengan jarak 10 cm kecuali dengan menggunakan sinar halogen.Sinar halogen dapat menyebabkan luka bakar bila diletakkan terlalu dekat dengan bayi. Bayi cukup bulan tidak akan kepanasan dengan sinar fototerapi berjarak 10 cm dari bayi. Luas permukaan terbesar dari tubuh bayi yaitu badan bayi, harus diposisikan di pusat sinar, tempat di mana intensitas sinar paling tinggi.
17

Tabel 2.1. Rekomendasi AAP penanganan hiperbilirubinemia pada neonatus sehat dan cukup bulan. Usia ( jam ) 25-48 Pertimbangan terapi sinar >12mg/dl (>200 mol/L) 49-72 >15mg/dl (>250 mol/L) >72 >17 mg/dl (>290 mol/L) Terapi sinar >15 mg/dl ( >250 mol/L) >18 mg/dl (>300mol/L) >20mg/dl (>340mol/L Transfusi tukar >20 mg/dl Transfusi tukar dan terapi sinar >25 mg/dl

(>340 mol/L) (425 mol/L) >25mg/dl (425 mol/L) >25mg/dl >30 mg/dl (510mol/L) >30mg/dl

(>425 mol/L) (>510 mol/L)

Tabel 2.2 Tatalaksana hiperbilirubinemia pada Neonatus Kurang Bulan Sehat dan Sakit ( >37 minggu ) Neontaus kurang bulan Neontaus kurang bulan

sehat :Kadar Total Bilirubin sakit :Kadar Total Bilirubin Berat Hingga 1000 g 1001-1500 g 1501-2000 g >2000 g Serum (mg/dl) Terapi sinar Transfusi 5-7 7-10 10 10-12 tukar 10 10-15 17 18 Serum (mg/dl) Terapi sinar Transfusi 4-6 6-8 8-10 10 tukar 8-10 10-12 15 17

Kontraindikasi fototerapi adalah pada kondisi dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin direk yang disebabkan oleh penyakit hati atau obstructive jaundice.

Komplikasi terapi sinar Setiap cara pengobatan selalu akan disertai efek samping. Di dalam penggunaan terapi sinar, penelitian yang dilakukan selama ini tidak memperlihatkan hal yang dapat
18

mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi, baik komplikasi segaera ataupun efek lanjut yang terlihat selama ini ebrsifat sementara yang dapat dicegah atau ditanggulangi dengan memperhatikan tata cara pengunaan terapi sinar yang telah dijelaskan diatas. Kelainan yang mungkin timbul pada terapi sinar antara lain : 1. Peningkatan insensible water loss pada bayi Hal ini terutama akan terlihat pada bayi yang kurnag bulan. Oh dkk (1972) melaporkan kehilangan ini dapat meningkat 2-3 kali lebih besar dari keadaan biasa. Untuk hal ini pemberian cairan pada penderita dengan terapi sinar perlu diperhatikan dengan sebaiknya. 2. Frekuensi defekasi yang meningkat Banyak teori yang menjelaskan keadaan ini, antara lain dikemukankan karena meningkatnya peristaltik usus (Windorfer dkk, 1975). Bakken (1976) mengemukakan bahwa diare yang terjadi akibat efek sekunder yang terjadi pada pembentukan enzim lactase karena meningkatnya bilirubin indirek pada usus. Pemberian susu dengan kadar laktosa rendah akan mengurangi timbulnya diare. Teori ini masih belum dapat dipertentangkan (Chung dkk, 1976) 3. Timbulnya kelainan kulit yang sering disebut flea bite rash di daerah muka, badan dan ekstremitas. Kelainan ini segera hilang setelah terapi dihentikan. Pada beberapa bayi dilaporkan pula kemungkinan terjadinya bronze baby syndrome (Kopelman dkk, 1976). Hal ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan dengan segera hasil terapi sinar. Perubahan warna kulit yang bersifat sementara ini tidak mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi. 4. Gangguan retina Kelainan retina ini hanya ditemukan pada binatang percibaan (Noel dkk 1966). Pnelitain Dobson dkk 1975 tidak dapat membuktikan adanya perubahan fungsi mata pada umumnya. Walaupin demikian penyelidikan selanjutnya masih diteruskan. 5. Gangguan pertumbuhan Pada binatang percobaan ditemukan gangguan pertumbuhan (Ballowics 1970). Lucey (1972) dan Drew dkk (10976) secara klinis tidak dapat menemukan gangguan tumbuh
19

kembang pada bayi yang mendapat terapi sinar. Meskipun demikian hendaknya pemakaian terapi sinar dilakukan dengan indikasi yang tepat selama waktu yang diperlukan. 6. Kenaikan suhu Beberapa penderita yang mendapatkan terapi mungkin memperlihatkan kenaikan suhu, Bila hal ini terjadi, terapi dapat terus dilanjutkan dengan mematikan sebagian lampu yang dipergunakan. 7. Beberapa kelainan lain seperti gangguan minum, letargi, iritabilitas kadang-kadang ditemukan pada penderita. Keadaan ini hanya bersifat sementara dan akan menghilang dengan sendirinya. 8. Beberapa kelainan yang sampai saat ini masih belim diketahui secara pasti adalah kelainan gonad, adanya hemolisis darah dan beberapa kelainan metabolisme lain. Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada bayi. Komplikasi segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan dengan manfaat penggunaannya. Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi sinar mempunyai tempat tersendiri dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.

Tranfusi Tukar Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang-ulang sampai sebagian besar darah penderita tertukar (Friel, 1982). Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini bertujuan mencegah terjadinya ensefalopati bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi dengan isoimunisasi, transfusi tukar memiliki manfaat tambahan, karena membantu mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi bayi. Sehingga mencegah hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki anemia. Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar 1. Darah yang digunakan golongan O.
20

2. Gunakan darah baru (usia < style="">whole blood. Kerjasama dengan dokter kandungan dan Bank Darah adalah penting untuk persiapan kelahiran bayi yang membutuhkan tranfusi tukar. 3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus golongan O dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan setelah kelahiran, dilakukan juga crossmatched terhadap bayi. 4. Pada inkomptabilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus yang sama dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul. 5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu. 6. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched terhadap plasma dan eritrosit pasien/bayi. 7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) ---- 160 mL/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.

Teknik Transfusi Tukar a. SIMPLE DOUBLE VOLUME Push-Pull tehnique : jarum infus dipasang melalui kateter vena umbilikalis/ vena saphena magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian. b. ISOVOLUMETRIC Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri umbilikalis dan dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama. c. PARTIAL EXCHANGE TRANFUSION Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya pada bayi dengan polisitemia.

21

Di Indonesia, untuk kedaruratan, transfusi tukar pertama menggunakan golongan darah O rhesus positif.

Pelaksanaan tranfusi tukar: 1. Personel. Seorang dokter dan minimal 2 orang perawat untuk membantu persiapan, pelaksanaan dan pencatatan serta pengawasan penderita. 2. Lokasi. Sebaiknya dilakukan di ruang NICU atau kamar operasi dengan penerangan dan pengaturan suhu yang adekuat, alat monitor dan resusitasi yang lengkap serta terjaga sterilitasnya. 3. Persiapan Alat. a. Alat dan obat-obatan resusitasi lengkap b.Lampu pemanas dan alat monitor c. Perlengkapan vena seksi dengan sarung tangan dan kain penutup steril d.Masker, tutup kepala dan gaun steril e. Nier bekken (2 buah) dan botol kosong, penampung darah f. Set tranfusi 2 buah g. Kateter umbilikus ukuran 4, 5, 6 F sesuai berat lahir bayi atau abbocath h. Three way stopcock semprit 1 mL, 5 mL, 10 mL, 20 mL, masing-masing 2 buah i. Selang pembuangan j. Larutan Calsium glukonas 10 %, CaCl2 10 % dan NaCl fisiologis k.Meja tindakan

Indikasi

22

Hingga kini belum ada kesepakatan global mengenai kapan melakukan transfusi tukar pada hiperbilirubinemia. Indikasi transfusi tukar berdasarkan keputusan WHO tercantum dalam tabel 2. Tabel 2. Indikasi Transfusi Tukar Berdasarkan Kadar Bilirubin Serum Usia Hari Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4 dan seterusnya Bayi Cukup Bulan Sehat mg/dL 15 25 30 30 Dengan Faktor Risiko mg/Dl 13 15 20 20

Bila transfusi tukar memungkinkan untuk dilaksanakan di tempat atau bayi bisa dirujuk secara cepat dan aman ke fasilitas lain, dan kadar bilirubin bayi telah mencapai kadar di atas, sertakan contoh darah ibu dan bayi.

Tabel 3. Indikasi Transfusi Tukar Pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah Berat badan (gram) KadKadar Bilirubin (mg/dL) > > 1000 1000-1500 1500-2000 2000-2500 10-12 12-15 15-18 18-20

Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada indikasi: a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar Hb <>
23

b. Kadar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam walaupun sedang mendapatkan terapi sinar c. Selama terapi sinar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam dan kadar Hb 11 13 gr/dL d. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara adekuat dengan terapi sinar. Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi: Emboli (emboli, bekuan darah), trombosis Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin Perforasi pembuluh darah

Komplikasi tranfusi tukar


1) Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis
2) Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung

3) Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis 4) Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih 5) Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan 6) Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia

Perawatan pasca tranfusi tukar


Lanjutkan dengan terapi sinar Awasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi

Persiapan Tindakan Tranfusi Tukar:


a. Berikan penjelasan tentang tujuan dan risiko tindakan, mintakan persetujuan tertulis dari orang tua penderita
24

b. Bayi jangan diberi minum 3 4 jam sebelum tindakan. Bila tranfusi harus segera dilakukan isi lambung dikosongkan dengan sonde dan menghisapnya c. Pasang infus dengan tetesan rumatan dan bila tali pusat telah mengering kompres dengan NaCl fisiologis d. Bila memungkinkan 2 jam sebelumnya berikan infus albumin terutama jika kadar albumin <> e. Pemeriksaan laboratorium pra tranfusi tukar antara lain semua elektrolit, dekstrostik, Hb, hematokrit, retikulosit, trombosit, kadar bilirubin indirek, albumin, golongan darah, rhesus, uji coombs direk dan indirek, kadar G6PD dan enzim eritrosit lainnya serta kultur darah f. Koreksi gangguan asam basa, hipoksia, dan hipotermi sebelum memulai tranfusi tukar g. Periksa ulang apakah donor yang diminta telah sesuai dengan permintaan (cek label darah).

KESIMPULAN
Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya Ikterus adalah perubahan warna kulit / sclera mata (normal beerwarna putih) menjadi kuning karena peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Ikterus pada bayi yang baru lahir dapat merupakan suatu hal yang fisiologis (normal), terdapat pada 25% 50% pada bayi yang lahir cukup bulan. Tapi juga bisa merupakan hal yang patologis (tidak normal) misalnya akibat berlawanannya Rhesus darah bayi dan ibunya, sepsis (infeksi berat), penyumbatan saluran empedu, dan lain-lain. Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL. Mempercepat proses konjugasi misalnya dengan pemberian fenobarbital,memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi, melakukan dekomposoisis bilirubin dengan fototerapi dan tranfusi tukar. Walaupun fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan tranfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra- dan pasca tranfusi tukar.
25

Faktor-faktor yang berpengaruh pada penentuan intensitas sinar ini adalah jenis sinar, panjang gelombang sinar yang digunakan, jarak sinar ke neonatus dan luas permukaan tubuh neonatus yang disinari serta penggunaan media pemantulan sinar.

DAFTAR PUSTAKA
1. Pedoman diagnosis dan terapi SMF Ilmu Kesehatan anak edisi III. 2008. Hal 17-

21. RS Umum Dr. Sutomo : Surabaya.


2. Buku ajar neonatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia edisi pertama 2008. Hal 147-

168. FKUI : Jakarta


3. Price, Sylvia M.Wilson Lorraine. Patofisiologi kedokteran. l994. EGC : Jakarta. 4. Diagnosis dan tatalaksana penyakit anak dengan gejala kuning Departemen Ilmu

Kesehatan Anak FKUI RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. 2007. FKUI : Jakarta. 5. Behrmand Kliegelman. Nelson Essential of Pediatrics,hal 592-98. Edisi 17. 2006. EGC: Jakarta
6. Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI. Edisi 3. 1985 Hal 1101-10. FKUI:

Jakarta.
7. Murray Robert K, MD.PhD, 2001, Biokimia Harper ( Eds.25), EGC: Jakarta 8. Pedoman diagnosis dan terapi Ilmu Kesehatan Anak edisi III FK Unpad RSHS

2005. Hal 102-8. FK Unpad : Bandung.


9. Diakses pada www.smallcrab.com/anak-anak/535-mengenal-ikterus-neonatorum.

26

10. Bagchi A. phototherapy. Philadelphia: Lippincott Williams and Wikins, 2002. Hal

373-80. Philadelphia
11. William Wilkins. Cahaya dan optika intisari fisika. 1996. Hal 141-45. Jakarta. 12. Diakses dari www.emedicine.com/view article/551363/2.

27

You might also like