Professional Documents
Culture Documents
Ringkasan Eksekutif
Naomi Hossain, Simon Brook, Sabine Garbarino Smita Notosusanto, Ida Ruwaida Noor, Fransisia Seda
Januari 2013
Table of contents
Latar Belakang dan Tujuan Temuan Kesimpulan dari Studi Praktek Terbaik References / Bibliography 1 1 4 7
1 Month 2008
Temuan
Hasil penelitian memperkuat dan melengkapi temuan dari penelitian lain, termasuk sebuah studi kualitatif real time pada tahun 2005 dan dua evaluasi besar yang dilakukan sesudahnya. Khususnya, studi ini menyimpulkan bahwa BLT bermanfaat untuk memperlancar konsumsi di kalangan kelompok miskin dan rentan pada saat kenaikan harga bahan makanan. Kontribusi studi ini adalah untuk mengangkat pengalaman menerima BLT dalam konteks beragam jenis krisis dan kerentanan musiman atau episodik yang dialami kaum miskin di Indonesia. Hal ini menekankan pentingnya nilai intervensi berbasis uang tunai yang bersifat fleksibel, tepat waktu dan tidak selalu diarahkan pada investasi, namun semata-mata untuk membantu kelompok miskin dan rentan mengatasi masa sulit. Meski banyak mendapat kritik, khususnya karena tujuan BLT yang hanya sebatas membantu melancarkan konsumsi dan tidak berkontribusi terhadap pengentasan kemiskinan itu sendiri, namun melalui analisa rinci terhadap krisis dan strategi mengatasi krisis, penelitian ini menunjukkan bahwa BLT sangat berhasil dalam memenuhi tujuan untuk membantu melincinkan konsumsi pada masa krisis. Jadi meski jumlah uang yang didistribusikan relatif kecil, namun kontribusi BLT dalam melincinkan konsumsi pada saat krisis merupakan tambahan terhadap strategi mengatasi krisis yang sudah ada di antara kelompok miskin, dan seringkali lebih memberikan bantuan minimal dan bukan bagian yang signifikan terhadap mekanisme mengatasi krisis yang sudah ada. Penelitian ini juga menemukan bahwa sebagian besar responden dapat memanfaatkan berbagai jenis sumber bantuan yang ada dalam komunitas untuk mengatasi krisis. Sistem dukungan sosial informal khususnya kredit, pinjaman dalam bentuk makanan dan memberikan pekerjaan tambahan atau serabutan oleh keluarga, tetangga atau lembaga setempat merupakan sumber bantuan yang paling mudah diakses oleh dan paling penting bagi kelompok masyarakat miskin, karena sumber-sumber ini sederhana, dan mudah diakses serta responsif. Sumber-sumber dukungan resmi yang dikelola oleh pemerintah jarang sekali dianggap sebagai sumber bantuan yang menjadi prioritas di tingkat komunitas, karena berbagai alasan. Karakter jenis bantuan sosial
1 Month 2008
yang dipilih oleh komunitas menunjukkan intervensi sosial yang disukai oleh masyarakat dan peluang besar untuk memberikan keuntungan bagi masyarakat. Penelitian ini menjadikan isu jender sebagai inti, dan bukan hanya sebagai isu tambahan. Penelitian ini juga menghindari asumsi bahwa perempuan secara alamiah lebih cakap dalam mengelola rumah tangga daripada laki-laki, yang selalu dianggap akan menggunakan BLT untuk tujuan non-produktif seperti untuk membeli rokok atau minuman keras. Pendekatan yang digunakan adalah untuk mendalami perbedaan jender dalam pengalaman menghadapi masa krisis dan dalam menentukan pilihan strategi mengatasi krisis, berdasarkan pengalaman dan pemahaman terhadap pentingnya beban perempuan dalam menanggung pekerjaan pengasuhan tanpa upah dalam rumah tangga dan komunitas. Tanggungjawab ini tidak sama di semua tempat, tetapi perempuan memainkan peranan kunci dalam pengelolaan sumber rumah tangga, khususnya yang berkaitan dengan makanan dan memasak, bahkan bila mereka juga merupakan pencari nafkah utama. Perempuan cenderung memiliki pandangan yang berbeda dari laki-laki tentang prioritas pengeluaran rumah tangga. Oleh karena itu, penting untuk memahami pandangan perempuan tentang dampak BLT terhadap kapasitas mereka untuk mengatasi krisis. Penelitian ini tidak menemukan secara konklusif kritik terhadap kebijakan untuk membagikan BLT kepada perempuan, dan sebaliknya juga tidak menemukan secara konsisten temuan yang secara tajam mendukung aspek positif kebijakan untuk membagikan BLT pada perempuan, meski ada persepi luas bahwa bila dibagikan pada laki-laki, maka mereka akan menggunakan BLT untuk pengeluaran non-produktif seperti untuk rokok. Baik laki-laki maupun perempuan mengakui pentingnya kontribusi laki-laki dalam mencari nafkah dan kontribusi perempuan dalam mengelola sumber rumah tangga. Sebuah pendekatan peka-jender strategis akan memilih untuk mendukung peran pengelola sumber rumah tangga, tanpa memperhatikan aspek jender, dan justru tidak mengalamiahkan atau memperkuat perbedaan peran berdasarkan jender dengan mentargetkan. Seperti telah dikemukakan di atas, dan konsisten dengan literatur mengenai krisis di tingkat komunitas (covariate) seperti kenaikan harga, pranata untuk mengatasi krisis secara kolektif atau komunitas adalah sumber dukungan utama untuk mengatasi krisis tersebut secara cepat dan mudah. Namun, penelitian juga menemukan bahwa, kelompok miskin juga memiliki pandangan berragam terhadap pranata-pranata tersebut karena seringkali mereka justru menambahkan beban ekonomi bagi mereka. Temuan ini penting untuk mengingatkan agar kita tidak meromantiskan sistem tradisional kolektif karena seringkali ini justru mengurangi kapasitas kelompok miskin untuk mengatasi krisis. Dalam kondisi demikian, dan karena mekanisme mengatasi krisis seringkali gagal dalam mengatasi krisis skala besar, maka intervensi dari luar dalam bentuk uang tunai disambut baik. Bukti-bukti yang dikumpulkan dari penelitian ini menunjukkan bahwa BLT membawa dampak negatif terhadap hubungan sosial karena adanya kecemburuan di antara non-penerima BLT, menurunnya kepercayaan pada pejabat pemerintah lokal (termasuk aparat desa), dan keengganan untuk berpartisipasi dalam kegiatan kolektif (seperti kegiatan gotong royong). Salah satu asumsi awal penelitian ini adalah bahwa penerima BLT akan enggan berpartisipasi dalam kegiatan kolektif karena telah menerima bantuan, namun sebaliknya justru non-penerima yang menunjukkan ketidakpuasannya dengan tidak berpartisipasi dalam kegiatan kolektif. Namun, perlu dicatat bahwa untuk semua kasus, kecenderungan di atas hanya bersifat sementara. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa non-penerima BLT bertahan untuk tidak berpartisipasi dalam kegiatan kolektif di komunitasnya sampai sekarang. Wawancara pemimpin lokal, penerima dan non-penerima BLT menunjukkan bahwa kecenderungan protes sosial di atas hanya dilakukan secara simbolis, untuk mengekspresikan pesan tentang implikasi terhadap ikatan sosial bila kelompok miskin tidak diikutsertakan. Dalam beberapa kasus, protes ini dihentikan ketika nonpenerima kemudian diikutsertakan sebagai penerima dalam program bantuan sosial lain seperti Raskin.
2 Month 2008
Dalam kebanyakan kasus adanya ketidakpuasan sosial akibat BLT, dampak ini cukup diingat, tetapi sebenarnya tidak signifikan dan berjangka pendek; ketahanan organisasi sosial dengan cepat memulihkan hubungan sosial di hampir semua lokasi. Pada sebagian kecil kasus, ada beberapa dampak yang lebih dalam dan bertahan lama, namun, ini umumnya terkait dengan adanya kecurigaan terhadap pejabat pemerintah lokal atau konflik sosial yang sudah ada sebelum BLT dibagikan. Ini menggarisbawahi pentingnya ikatan sosial dan akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan di tingkat lokal. Temuan-temuan penelitian ini tidak mendukung temuan penelitian lain tentang BLT yang mengatakan bahwa program ini mengakibatkan meningkatnya angka kriminalitas. Namun penelitian ini memberikan landasan untuk menginterpretasi ulang temuantemuan tentang meningkatnya kriminalitas, sebagai ketidakstabilan sosial (penggunaan bahasa kasar, protes, vandalisme) dan (persepsi) korupsi yang diasosiasikan dengan BLT. Hal ini menunjukkan bahwa penting untuk dipertimbangkan secara hati-hati apakah dan sejauh mana mekanisme penargetan memperkuat konflik sosial laten pra-BLT. Jadi, sementara BLT secara luas diingat sebagai suatu gangguan dalam sejarah komunitas, jarang sekali ditemukan bukti bahwa BLT dikaitkan dengan dampak negatif jangka panjang, karena BLT sendiri merupakan suatu intervensi sementara. Namun, BLT dapat berkontribusi secara kumulatif terhadap hubungan sosial di tingkat komunitas, dalam kaitannya dengan program lain yang memiliki target yang sama dan juga berdampak pada adanya perbedaan dalam komunitas. Artinya, dampak sosial BLT tidak bisa dianggap berdiri sendiri, sebaliknya harus dilihat dalam konteks adanya program-program bantuan sosial lain yang ada di komunitas tersebut. Sayangnya ini ada di luar kerangka acuan untuk penelitian ini. Walaupun BLT berdampak moderat terhadap kapasitas kelompok masyarakat miskin dan rentan dalam mengatasi krisis; namun implementasi program seleksi penerima, penyusunan daftar penerima, kinerja pemerintah lokal menunjukkan dan memperkuat anggapan kurangnya transparansi dan informasi, yang berakibat pada meningkatnya kecurigaan, ketidakpuasan dan ketidakpercayaan pada pemerintah lokal. Baik kurangnya pengetahuan tentang kriteria penerima dan kurangnya kredibilitas survey yang dilakukan untuk menetapkan penerima, menunjukkan adanya kegagalan strategi sosialisasi, yang sudah sering dikemukakan di banyak penelitian sebelumnya. Penerima dan non-penerima BLT, pemimpin komunitas dan pejabat pemerintah lokal sepakat bahwa verifikasi tingkat komunitas atau minimal partisipasi dalam seleksi penerima diperlukan untuk mengatasi kegagalan di atas. Penelitian ini mendukung temuan penelitian lain yang menunjukkan bahwa proses pentargetan tidak sempurna, menimbulkan kesalahan pengecualian (exclusion error) dan pencantuman (inclusion error), mengakibatkan ketidakpercayaan akibat ketidakjelasan kriteria penerima serta indikator pengganti (proxy), serta masalah dan kesalahan dalam proses pengumpulan data itu sendiri. Meski ada masalah dalam penargetan, proses pentargetan untuk BLT masih lebih baik dari proses pentargetan program lain, misalnya Raskin dan Jamkesmas, yang juga menimbulkan pertanyaan mengapa BLT menimbulkan begitu banyak protes dibg anding program lain. Analisa penelitian ini menunjukkan adanya tiga peluang terkait. Pertama, sifat tunai BLT kemungkinan besar merupakan alasan terkuat dibalik besarnya perhatian negatif ketika proses pentargetan bermasalah : ini karena dibanding Raskin, Jamkesmas atau intervensi lain, BLT menarik karena diberikan dalam bentuk tunai tanpa persyaratan, dan tanpa stigma. BLT juga mungkin menarik perhatian karena datang pada saat kenaikan biaya hidup yang sangat cepat yang berdampak besar bagi penghidupan kelompok masyarakat miskin, hampir miskin dan miskin kota terutama dalam hal konsumsi makanan dan BBM. Sangat mungkin bahwa ketidakpuasan publik yang cukup tinggi terhadap kenaikan harga merupakan inti permasalahan yang membuat protes terhadap BLT begitu mudah tercetus akibat ketidakadilan proses pentargetan. Akhirnya, proses seleksi penerima itu sendiri mungkin telah meningkatkan harapan dan mencetuskan kepercayaan adanya korupsi dan bias, ketika mereka yang merasa memenuhi syarat untuk menerima BLT,
3 Month 2008
ternyata tidak masuk ke dalam daftar. Tidak jelas apakah program lain juga mengalami proses yang sama sehingga harapan publik tidak terpenuhi. Pejabat pemerintah lokal menemukan beberapa cara untuk mengelola ketidakpuasan terhadap BLT. Salah satu cara adalah untuk membagi BLT secara lebih luas kepada lebih banyak penerima daripada daftar penerima resmi, yang juga sering digambarkan sebagai suatu proses pungutan informal. Hal ini tidak terjadi di semua tempat, tetapi umumnya di lokasi-lokasi dengan tingkat protes yang tinggi dari kelompok non-penerima atau adanya pejabat setempat yang cukup tanggap untuk mencegah ketegangan akibat proses penargetan yang dianggap tidak adil. Tindakan mereka dikategorikan sebagai kebocoran, dan hal ini berakibat sebagian dari mereka kemudian dituntut secara hukum. Singkatnya, praktek penyesuaian penargetan BLT yang dilakukan oleh pejabat pemerintah lokal ini menunjukkan bahwa masih banyak hal yang tidak diketahui tentang bagaimana BLT dilaksanakan, khususnya pada tahun 2008. Suatu analisa ekonomi politik sederhana dilakukan untuk mengidentifikasi pemenang dan pecundang dari program BLT. Dari analisa ini disimpulkan bahwa pejabat pemerintah lokal umumnya merasa dirugikan akibat program ini, karena program ini membebani mereka dengan tanggungjawab untuk mengelola ketidakpuasan sosial yang diakibatkan, tanpa kewenangan atau sumberdaya untuk mendukung upaya mereka mengatasi ketegangan atau konflik. Sebagian pejabat lokal dapat dianggap telah menarik keuntungan dari BLT, baik melalui korupsi (dalam bentuk terbatas, terutama bila dibandingkan dengan program lain), atau melalui penyalahgunaan jaringan perlindungan (patron) dan membangun modal politik lokal. Namun secara umum, pejabat lokal menarik keuntungan bila mereka berhasil mengelola program BLT melalui cara-cara penyesuaian di atas, yang sebenarnya mengurangi BLT dari penerima yang seharusnya.
4 Month 2008
membantu mereka mengatasi krisis, sehingga mencegah mereka untuk mengambil caracara beresiko tinggi untuk mengatasi krisis. Tidak ada proses penargetan yang sempurna, dan tetapi suatu skema bantuan tunai yang populer, berkelanjutan dan efektif, memerlukan suatu kriteria eksternal yang intuitif, jelas dan obyektif yang dikombinasikan dengan partisipasi komunitas dalam pengembangan kriteria penargetan dan dalam proses penargetan itu sendiri. Hal ini akan mengurangi tanggapan negatif, kecemburuan dan ketidakstabilan sosial, meski tidak akan sepenuhnya menghapus masalah-masalah tersebut. HaI ini juga akan menjamin agar pejabat lokal lebih mendukung skema ini, yang merupakan aspek penting bagi keberlanjutan program. Lebih jauh lagi, ini akan bertumpu pada pengetahuan dan kebijakan lokal mengenai kerentanan, sehingga mereka yang memerlukan bantuan mempunyai peluang besar untuk memperolehnya. Perlu pula ada perhatian khusus untuk menghapus bias sistematis yang ada dalam masyarakat terhadap kelompok-kelompok marjinal, misalnya dengan memudahkan persyaratan mengenai identifikasi resmi; dengan membangun pemeriksaan silang, akuntabilitas dan mekanisme pengaduan agar pendatang baru, migran dan kelompok minoritas tidak terpinggirkan, dan dengan memperjelas definisi dan kriteria penerima sehingga, misalnya, anggota keluarga yang sudah dewasa dan mandiri tidak dianggap sebagai anggota rumah tangga. Rancangan program perlindungan sosial harus secara umum mewaspadai potensi dampak tak terukur mekanisme penargetan pada ikatan dan hubungan sosial di tingkat komunitas. Satu atau dua kali program bantuan tunai dengan penargetan mungkin tidak akan mengakibatkan dampak negatif yang berkelanjutan terhadap jalinan sosial yang ada. Namun dalam jangka panjang, akumulasi skema-skema bantuan melalui penargetan dapat memperdalam perpecahan sosial. Ini berresiko melemahnya modal sosial yang ada dalam komunitas, yang berdasarkan penelitian ini ternyata masih cukup kuat dan tetap menjadi kunci mekanisme mengatasi krisis bagi sebagian besar kelompok masyarakat miskin. Bantuan tunai dapat membantu melicinkan konsumsi yang komplementer terhadap mekanisme mengatasi krisis yang sudah ada, tetapi dalam jumlah kecil, bantuan ini tidak akan dapat merubah penghidupan masyarakat miskin. Untuk itu perlu dikomunikasikan secara efektif bahwa tujuan bantuan tunai dalam kaitan dengan krisis adalah untuk mencegah dampak negatif terhadap pembangunan manusia akibat krisis dan bukan untuk mendukung program pembangunan manusia itu sendiri. Satu strategi untuk hal ini ialah untuk memperjelas bahwa penerima bantuan tunai, idealnya haruslah mereka yang bertanggungjawab dalam mengelola keperluan rumah tangga. Sistem distribusi harus peka terhadap biaya perjalanan dan waktu yang dibutuhkan untuk mengambila bantuan tunai. Skema bantuan tunai yang akan datang harus menjajagi teknologi smartcard dan telepon genggam. Alternatif lain adalah untuk membangun titik distribusi lokal yang lebih dekat dengan penerima, sekaligus dengan memperkuat sistem akuntabilitas dan mekanisme pengaduan yang efektif. Transparansi sangat penting untuk akuntabilitas. Lebih jauh lagi, informasi yang mudah diakses serta strategi komunikasi yang lebih efektif dengan pejabat lokal dan publik secara umum sangat penting bagi pelaksanaan skema bantuan tunai yang lancar dan efisien. Program sosialisasi perlu dikomunikasikan melalui beberapa medium dan dipresentasikan dalam bentuk yang mudah diakses berbagai kelompok target dalam bahasa setempat dan di berbagai lokasi publik seperti klinik, kantor pemerintahan, juga melalui pemimpinpemimpin lokal seperti pemuka agama. Mekanisme akuntabilitas perlu dibangun sebagai bagian dari rancangan bantuan tunai, dan jangan hanya menjadi gagasan tambahan. Suatu sistem yang lebih akuntabel akan dapat mengurangi berbagai masalah yang
5 Month 2008
dihadapi BLT di masa lalu, khususnya berkurangnya kepercayaan publik pada pemerintah yang disebabkan karena kurangnya transparansi mengenai tujuan program, dan karena kecurigaan korupsi dalam penargetan dan implementasi. Lebih jauh lagi, suatu sistem yang akuntabel berpeluang besar untuk mencegah nepotisme dan korupsi dalam seleksi penerima dan dalam memperbaiki hasil penargetan. Umpan balik dan mekanisme pengaduan juga penting untuk memperkuat akuntabilitas. Ada banyak bukti yang menunjukkan bagaimana dan mengapa mekanisme pengaduan dapat diterapkan secara efektif dalam konteks Indonesia. Juga penting untuk ditekankan bahwa mekanisme pengaduan harus dibangun sebagai bagian dari rancangan program, dan bukan sebagai mekanisme yang berdiri sendiri, memerlukan alokasi dana yang cukup, didukung oleh standar dan target capaian dan sistem monitoring dan evaluasi. Mekanisme pengaduan juga harus dapat diakses melalui berbagai saluran.
6 Month 2008
References / Bibliography
Best practice note
Adams L. and E. Kebete (2005) Breaking the Poverty Cycle: a Case Study of Cash Interventions in Ethiopia, Background Paper, Humanitarian Policy Group, London: Overseas Development Institute. Bailey, S., Savage, K. and S. OCallaghan (2008) Cash transfers in emergencies. A synthesis of World Visions experience and learning. World Vision International. CaLP (nd) Delivering cash through cards. A quick delivery guide for cash transfer programming in emergencies. Cross, T. and A. Johnston (2011) Cash transfer programming in urban emergencies. A toolkit for practitioners. CaLP. Devereux, S. and Jere, P. (2008) Choice, Dignity and Empowerment. Cash and Food Transfers in Swaziland. An evaluation of Save the Childrens Emergency Drought Response, 2007/08. Save the Children. http://www.savethechildren.org.uk/sites/default/files/docs/SavetheChildren_Emergency_Drough t_Response_Evaluation_08_1.pdf [accessed 14 Sep 2012]. Gentilini, U (2007) Cash and Food Transfers: A Primer. Rome: World Food Programme. Grindle, Merilee S. (2011) 'Governance Reform: The New Analytics of Next Steps', Governance 24(3): 415-418. Hanlon, J., Barrientos, A. and D. Hulme (2010) Just give money to the poor. The Development Revolution from the Global South. Kumarian Press. Harvey and Bailey, 2011 Hickey, S. (2007) Conceptualising the Politics of Social Protection in Africa. BWPI Working Paper 4. Brooks World Poverty Institute. University of Manchester. Hurrell, A. and I. MacAuslan (2012) The political implications of cash transfers in sub-Saharan Africa: shaking up the social system. Public Management Review 14 (2) Special Issue: The Politics and Governance of Public Services in Developing Countries: 255-272. Mac Auslan, I. with L. Phelps (2012) Oxfam GB Emergency Food Security and Livelihoods Urban Programme Evaluation. Final Report. http://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/files/resources/OGB%20EFSL%20Urban%20Evaluation.p df [accessed 12 Sep 2012]. MacAuslan, I. & L. Crawfurd (2012) Mid-Term Review Of The Urban Livelihoods And Social Protection Programme In Kenya. Oxford Policy Management. MacAuslan, I. (2010) Evaluation of Concerns Post Election Violence Recovery (PEVR) Programme. Oxford Policy Management.
7 Month 2008
Magen, B., Donovan, C. and V. Kelly (2009) Can cash transfers promote food security in the context of volatile commodity prices. A review of empirical evidence. International Development Working Paper 96. Michigan State University. Mattinen and K. Ogden (2006) Cash-Based Interventions: Lessons from Southern Somalia. In: Disasters 30(3). Oxfam GB (2006) Cash-Transfer Programming in Emergencies. Edited by Pantaleo Creti and Susanne Jaspars. Oxford Policy Management (2012), Review of, and Recommendations for, Grievance Mechanisms for Social Protection Programmes. Final Report.
Main text
Alatas, V., A. Banerjee, et al. (2010). "Targeting the Poor: Evidence from a Field Experiment in Indonesia ". AusAid (2011). Targeting the Poorest: An assessment of the proxy means test methodology. Bazzi, S., S. Sumarto, et al. (2012a). Evaluating Indonesia's Unconditional Cash Transfer Program, 2005-6, 3ie. Beaton, C. and L. Lontoh (2010). Lessons Learned from Indonesias Attempts to Reform FossilFuel Subsidies, IISD. Booth, D. (2008). A research design fit for purpose. Power and Politics in Africa Discussion paper. 3. Cameron, L. and M. Shah (2011). "Mistargeting of Cash Transfers, Social Capital Destruction, and Crime in Indonesia." Flyvbjerg, B. (2011). Case Study. The Sage Handbook of Qualitative Research, 4th Edition N. K. Denzin and Y. S. Lincoln. Thousand Oaks, CA, Sage: 301-316. George, A. L. and A. Bennett (2004). Case Studies and Theory Development Cambridge, MA, MIT Press. Gerring, J. (2004). "What is a case study and what is it good for? ." The American Political Science Review 98(2): 341354. Hastuti, N. Toyamah, et al. (2005). A Rapid Appraisal of The Implementation of the 2005 Direct Cash Transfer Program in Indonesia: A Case Study in Five Kabupaten/Kota. Jakarta, SMERU. Hastuti, N. Toyamah, et al. (2006). A Rapid Appraisal of The Implementation of the 2005 Direct Cash Transfer Program in Indonesia: A Case Study in Five Kabupaten/Kota. Jakarta, SMERU. McCulloch, N. (2008). "Rice prices and poverty in Indonesia." Bulletin of Indonesian Economic Studies 44(1). Naud, C. M. B., J. H. Prinsloo, et al. (2006). Experiences of Crime in Thirteen African Countries: Results From the International Crime Victim Survey. Turin, UNICRI-UNODC. Saferworld (2008). Human Security in Bangladesh. London, Saferworld. Stern, E. e. a. (2012). Broadening the range of designs and methods for impact evaluation. DFID Working Paper. London, DFID. White, H. and D. Phillips (2012). Addressing attribution of cause and effect in small n impact evaluations: towards an integrated framework. International Initiative for Impact Evaluation/3ie working paper. New Delhi, International Initiative for Impact Evaluation/3ie. World Bank (2012a). TARGETING POOR AND VULNERABLE HOUSEHOLDS IN INDONESIA. Jakarta/Washington DC, World Bank.
8 Month 2008
World Bank (2012c). BLT TEMPORARY UNCONDITIONAL CASH TRANSFER SOCIAL ASSISTANCE PROGRAM AND PUBLIC EXPENDITURE REVIEW 2. Jakarta/Washington DC, World Bank. Yusuf, A. A. and B. Resosudarmo (2008). "Mitigating Distributional Impact of Fuel Pricing Reform: The Indonesian Experience." ASEAN Bulletin 25 (1): 32-47.
9 Month 2008
Kerangka Presentasi
1. 2.
Latar Belakang dan Konteks Metodologi Rancangan penelitian : tujuan dan rancangan Pertanyaan penelitian, kriteria pemilihan lokasi dan lokasi Sumber data dan responden Proses analisa Kelebihan dan kekurangan 3. Temuan Kunci Mekanisme mengatasi krisis dan kerentanan Dampak BLT terhadap hubungan sosial dan pengelolaan resiko BLT dan program lain
4.
Konflik sosial dan persepsi negatif diasumsikan terkait dengan program BLT Diperlukan bukti untuk memahami dampak BLT terhadap hubungan dan ikatan sosial dalam masyarakat. Prospek BLSM : bagaimana menarik pelajaran dari BLT dalam merancang BLSM ?
Studi Literatur
Panduan Penelitian
Transkripsi
Pre Test
Penterjemahan
Koding
Analisa
Laporan
Pertanyaan Penelitian
Tema Pertanyaan Penelitian
Mengatasi Jenis-jenis krisis atau masa sulit yang dihadapi krisis/masa sulit Mekanisme bertahan dan perbedaan antar jender Pengaruh BLT pada mekanisme bertahan Hubungan Sosial Pengaruh BLT thdp partisipasi dlm pengelolaan resiko kolektif/kegiatan kolektif/perlindungan sosial informal Dampak BLT thdp kepercayaan dan ikatan komunitas Pengaruh modal sosial yang sudah ada pada BLT Dampak BLT pada program perlindungan sosial lain
Dampak Program Sumber-sumber Bagaimana dan sejauh mana konflik sosial yg terkait dg BLT : konflik Mencerminkan ketidakpuasan atau kesalahpahaman tentang proses dan tujuan BLT Mencerminkan masalah targeting dan kelemahan-kelemahan implementasi Mengurangi dampak kesejahteraan BLT
Banten
Serang Cilegon Pandeglang
Jawa Timur
Sampan Bendungan Tuban
Sulawesi Selatan
Pangkajene Island Bone Sinjai
Maluku Utara
North Halmahera Tidore Ternate
Sumatera Selatan
Musi Bayuasin Bayuasin Lahat
Jawa Tengah
Kebumen Surakarta Purbalingga
Kalimantan Timur
North Penajam Paser Bulungan Malinau
Papua Barat
Manokwari Sorong Fakfak
Responden
Kelompok lain Pemimpin yg relevan Lokal (formal (termasuk elit & informal) lokal) Open ended questions ()
Isu penelitian Bertahan thdp krisis Pemberdayaan komunitas, kepercayaan dan ikatan sosial
Food basket Matrix ranking Analisa institusional Matrix ranking Food basket Matrix ranking Analisa Institusional Matrix ranking
Analisa & pemetaan sosial Analisa & pemetaan sosial Institutional analysis
Proses Analisa
Proses analisa berulang (iteratif)
1.
Debriefing setiap selesai fase penelitian 2. Workshop analisa utk membangun kepemilikan memaksimalkan pembelajaran dr lapangan Perbandingan lintas lokasi 3. Pengumpulan dan pengolahan data, coding dan analisa menggunakan software Nvivo
BENCANA ALAM GAGAL PANEN, SERANGAN HAMA DEGRADASI SUMBER DAYA ALAM & KONFLIK KELANGKAAN AIR KONFLIK SOSIAL (ETNIS, AGAMA) PEREBUTAN HAK TANAH PHK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR GANGGUAN KESEHATAN KENAIKAN HARGA PENDIDIKAN
Sumber krisis yang berragam Mekanisme bertahan berpusat pd keluarga dan sistem dukungan lokal.
Hutang mengakibatkan stres dan mengurangi pengeluaran rumah tangga vital lain. Keuntungan hasil kerja atau usaha habis utk membayar utang Dapat mengurangi ketahanan utk menghadapi krisis yad Tanggung jawab pengasuhan perempuan dikurangi utk bekerja Penurunan ketrampilan (De-skilling) Degradasi lingkungan hidup/sumber daya alam Jual kebun mengurangi ketahanan pangan Terpaksa bekerja paruh waktu dgn upah rendah Harga jual rendah mengurangi daya tahan saat krisis yad
Diversifikasi
Menjual Aset
Berhenti sekolah
Ketrampilan rendah berakibat pd pengangguran atau pekerjaan upah rendah Mereka yang berpendidikan lebih mampu bertahan saat krisis
Laki-laki
Lebih baik diberikan pada kepala keluarga. Kalau suami yang mendapatkannya, pasti akan langsung diberikan pada istrinya sebagai ibu rumah tangga.. BLT sebaiknya diberikan pada istri, karena kalau diberikan pada suami uangnya biasanya dipakai sendiri. Rp. 100,000 akan habis dalam 3 hari untuk beli rokok. Tapi kalau diberikan jumlah yang sama pada istri, uangnya bisa bertahan seminggu karena dipakai untuk kebutuhan rumah tangga Suami biasanya akan mengambil sebagian utk dipakai sendiri, tapi tetap membagi untuk istri, meski tidak banyak .
Implikasi Kebijakan
Skema bantuan tunai bergantung pd kepekaan pd konteks biaya hidup dan penyebab kerentanan sangat beragam Kepekaan pd jender berarti mempertimbangkan pembagian kerja rumah tangga/ pengelolaan sumber rumah tangga; rancangan yg sensitif jender akan memperkuat persepsi publik dan hasil pembangunan manusia. Bantuan tunai tdk bisa melindungi dari kerentanan, tetapi sangat efektif sbg respons pemicu otomatis thdp kenaikan harga yg dapat membangun ketahanan jangka panjang Tidak ada prosedur targeting yg sempurna: skema bantuan tunai yg berhasil akan mengkombinasikan seleksi kriteria intuitif dan proses targeting komunitas. Penting untuk mencegah bias sistematik terhadap kelompok sosial yg termarjinalisasi dlm komunitas. Kesalahan kecil dlm targeting tidak akan merusak ikatan sosial, tetapi dlm jangka panjang, akumulasi dampak negatif targeting akan memperkuat perbedaan sosial.
Terima Kasih