You are on page 1of 3

1.

Cash Flow Approach


Metode Kapitalisasi Pendapatan (Capitalization of Income Method) Metode yang mendasarkan pada satu angka pendapatan yang dianggap mewakili kemampuan di masa mendatang dari suatu perusahaan atau business interest yang dinilai dibagi dengan suatu tingkat kapitalisasi atau dikali dengan factor kapitalisasi menjadi suatu indikasi nilai dari perusahaan atau business interest. Analisa Diskonto Arus Kas (Discounted Cash Flow) Suatu teknik pembuatan model keuangan yang didasarkan pada asumsi prospek arus kas suatu properti atau usaha. Sebagai metode yang dapat diterima dalam pendekatan pendapatan, analisis DCF melibatkan proyeksi arus kas untuk suatu periode, baik untuk menilai properti operasional, properti pengembangan atau bisnis. Proyeksi arus kas tersebut memerlukan diskonto pasar yang berlaku saat ini untuk mendapatkan indikasi nilai kini dari arus kas dalam kaitannya dengan properti atau bisnis. Metode ini didasarkan pada perhitungan pendapatan mendatang (future return) dari perusahaan yang sedang berjalan. Pendapatan mendatang yang dimaksud adalah dari arus kas bersih perusahaan (free cash flow) setelah ditambah atau dikurangi dengan peningkatan atau pengurangan kewajiban. Free Cash Flow didasarkan pada Laba Bersih ditambah dengan pengeluaran non cash (non cash charge), kemudian dikurangi investasi pada modal kerja dan asset tetap (capital expenditure). Hasil dari free cash flow kemudian didiskonto dengan tingkat diskonto sehingga diperoleh nilai kini dari free cash flow.

2. Price Multiples (PER, PEG, dan P/BV)


Pendekatan PER Pendekatan ini merupakan pendekatan yang lebih populer dipakai di kalangan analis saham dan para praktisi. Dalam pendekatan PER (pendekatan multiplier), investor akan menghitung berapa kali (multiplier) nilai earning yang tercermin dalam harga suatu saham. PER juga mencerminkan berapa rupiahkah yang harus dibayarkan investor saham untuk memperoleh satu rupiah earning perusahaan. Rumus yang dipakai dalam pendekatan ini:

Rumus lainnya untuk menghitung PER suatu saham bisa diturunkan dari rumus yang dipakai dalam model diskonto dividen:

Price Earning Growth (PEG) PE (Price Earning) adalah perbandingan antara EPS (Earning Per Share/laba per saham) dan harga saham. Pada umumnya orang memilih perusahaan dengan PE terendah dalam suatu industri dan merupakan perusahaan yang bagus (prospek bagus, hutangnya bagus, dll). PE bisa disebut murah jika ia lebih rendah dari rata-rata industri, dan disebut lebih mahal jika lebih tinggi dari rata-rata industri. Mahal dan murahnya saham juga ditentukan oleh PEG, perkembangan lebih lanjut dari PE yaitu membandingkan PE dengan growth perusahaan. Jika suatu perusahaan mempunyai P/E 20, itu berarti pasar umumnya mengekspektasi pertumbuhan EPS 20%. Nilai PEG nya adalah 20/20 = 1. PEG dengan nilai satu mempunyai nilai yang wajar. Jika PEG dibawah satu, itu kemungkinan merupakan pertanda saham yang murah. Yang paling susah adalah memprediksi seberapa besar pertumbuhan perusahaan. Contoh saham yang akan mengalami pertumbuhan lebih tinggi adalah perusahaan yang akan right issue, atau mendapatkan pinjaman bank, atau mengeluarkan obligasi, atau masuk ke bisnis

lain yang lebih menguntungkan. Jika uang segar tersebut digunakan untuk ekspansi harga saham akan naik, dan menyebabkan PE nya naik. Namun PE yang naik tersebut tidak berarti PE tersebut menjadi mahal, karena harus dibandingkan kembali dengan growthnya. Contoh saham dengan PE tinggi di Indonesia dan diekspektasi pasar labanya akan tumbuh misalnya untuk saham di Indonesia adalah ELTY,dan BTEL. Jangan lupa pula, PE yang rendah bukan berarti murah. Karena ia bisa saja murah karena tidak ada yang membeli, mungkin karena sahamnya kurang diperdagangkan di bursa (kurang liquid), atau juga karena kapitalisasi nya kecil sehingga sekuritas tidak menganalisa saham ini. Karena saham ini tidak liquid, walaupun perusahaannya bagus, PE nya menjadi rendah. Di Bursa Indonesia, ada beberapa saham dengan karakteristik seperti itu. Umumnya saham ini jarang bergerak, namun dalam satu periode tertentu akan bergerak naik dengan besar. PBV Ratio Rasio ini adalah perhitungan/perbandingan antara market value (harga pasar) dengan book value (nilai buku) suatu saham. Cara menghitung PBV: Market Value (harga/nilai pasar) dibagi dengan book value (harga/nilai buku). Rasio analisis ini berfungsi melengkapi analisis book value. Jika pada analisis book value, investor hanya mengetahui kapasitas per lembar dari nilai saham, pada rasio PBV, investor dapat membandingkan langsung book value dari suatu saham dengan market valuenya. Dengan rasio PBV investor dapat mengetahui langsung sudah berapa kali market value suatu saham dihargai dari book valuenya. Setelah mendapatkan rasio PBV, investor dapat membandingkanlangsung rasio ini dengan saham-saham di industrinya atau yang bergerak di sektor ekonomi yang sama. Dengan demikian investor akan mendapat gambaran mengenai harga suatu saham, apakah market value saham tersebut sudah relatif mahal atau ternyata masih murah. Memang tidak ada ukuran pasti mahal tidaknya suatu harga saham jika diukur dari rasio PBVnya karena hal ini sangat tergantung pada ekspektasi dan kinerja perusahaan/saham tersebut. Tapi, paling tidak rasio ini dapat memberikan gambaran potensi pergerakan harga suatu saham. Maksudnya adalah jika suatu saham yang berkinerja baik ternyata PBV-nya masih rendah dibandingkan dengan rata-rata PBV saham disektornya, harga saham tersebut masih memiliki potensi untuk naik, demikian pula sebaliknya. Perlu diingat, rasio ini hanya efektif jika digunakan untuk membandingkan sahamsaham pada sektor ekonomi yang sama atau dengan perusahaan-perusahaan pada sektor ekonomi yang sama atau dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang yang sama. Ini disebabkan kewajaran berapa kali rasio PBV dapat saja berbeda pada setiap sektor ekonomi. Semuanya sangat tergantung pada ekspektasi pasar terhadap potensi pertumbuhan usaha dari suatu sektor ekonomi. Secara umum, P/BV adalah sebuah indikator penting dalam investasi walaupun sebagian analis menganggap sudah kurang relevan lagi karena berbagai alasan. Namun, bagaimanapun juga, P/BV ini merupakan rasio yang sudah secara luas dipakai di berbagai analisis sekuritas dunia. Rasio P/BV ini didefinisikan sebagai perbandingan nilai pasar suatu saham (stocks market value) terhadap nilai bukunya sendiri (perusahaan) sehingga kita dapat mengukur tingkat harga saham apakah overvalued atau undervalued. Perhitungannya dilakukan dengan membagi harga saham (closing price) pada kuartal tertentu dengan nilai buku kuartal persahamnya. Beberapa pihak menyebutnya dengan price-equity ratio. Semakin rendah nilai P/BV suatu saham maka saham tersebut dikategorikan undervalued, yang mana sangat baik untuk memutuskan investasi jangka panjang. Nilai rendah PBV ini harus disebabkan oleh turunnya harga saham, sehingga harga saham berada di bawah nilai bukunya atau nilai sebenarnya. Namun, rendahnya nilai P/BV ini juga dapat mengindikasikan menurunnya kualitas dan kinerja fundamental emiten yang bersangkutan (fundamentally wrong).

Oleh karena itu, nilai P/BV harus kita bandingkan juga dengan P/BV sektor yang bersangkutan. Apabila terlalu jauh perbedaannya dengan P/BV industrinya maka sebaiknya perlu dianalisis lebih dalam lagi. Menariknya, P/BV ini juga memberikan sinyal kepada investor apakah harga yang kita bayar/investasikan kepada perusahaan tersebut terlalu tinggi atau tidak jika diasumsikan perusahaan bangkrut tiba-tiba (bankrupt immediately). Karena jika perusahaan bangkrut, maka kewajiban utamanya membayar utang terlebih dahulu, baru sisa aset (kalau ada) dibagikan kepada para pemegang saham. Ada kelemahan rasio keuangan ini, di mana nilai ekuitas dipengaruhi langsung oleh saldo laba perusahaan yang diakumulasi dari laba/rugi pada income statement. Jadi konsep utama P/BV adalah kapitalisasi pasar dibagi oleh nilai buku. Nilai buku dapat dengan basis seluruh perusahaan atau per sahamnya saja. Rasio ini jelas membandingkan nilai pasar terhadap nilai perusahaan berdasarkan laporan keuangan (financial statements). Maka dapat diartikan bahwa semakin tinggi nilai P/BV suatu saham mengindikasikan persepsi pasar yang berlebihan terhadap nilai perusahaan dan sebaliknya jika P/BV rendah, maka diartikan sebagai sinyal good investment opportunity dalam jangka panjang. Namun untuk beberapa jenis perusahaan, rasio P/BV ini kurang ampuh lagi karena adanya kesulitan mendasar bagi akuntansi tradisional untuk perusahaan berbasis teknologi tinggi. Aset utama perusahaan jenis ini adalah intellectual property yang merupakan great value yang sulit dicatatkan dalam akuntansi keuangan biasa. Sehingga book value perusahaan jenis ini tidak merefleksikan kekayaan sebenarnya dari perusahaan teknologi ini.
3.

Menilai Kinerja sebuah Investasi dengan Residual Income

Sebelum memutuskan untuk memulai berinvestasi pada suatu hal, tentunya kita harus melakukan perhitungan-perhitungan yang matang terlebih dahulu untuk memastikan bahwa investasi kita ini adalah menguntungkan. Konsep dasar dari Residual Income ini adalah seberapa banyak keuntungan dari perusahaan yang kita berinvestasi di dalamnya setelah dikurangi dengan modal yang diinvestasikan. Hal inilah yang menyebabkan metode ini disebut sebagai residual income, atau pendapatan residu karena melakukan perhitungan seberapa banyak profit yang tersisa. Perhitungan Residual Income adalah sebagai berikut: Residual Income = Profit (Invested Capital x Required Rate of Return) Profit merupakan keuntungan dari perusahaan dimana kita berinvestasi di dalamnya, sementara itu yang disebutkan sebagai required rate of return adalah seberapa besar tingkat pengembalian yang kita harapkan sebagai seorang investor. Apabila kita akan memperbandingkan beberapa alternatif berinvestasi, maka sebaiknya adalah membandingkan beberapa alternatif yang ada dengan cara pembanding yang sama. Misalnya, sama-sama dinilai/dievaluasi berdasarkan Residual Incomenya atau ROI-nya. Semakin tinggi Residual Income adalah semakin baik kinerja dari perusahaan tersebut.

You might also like