You are on page 1of 3

"Desaku, Riwayatmu Kini: Transisi Nomenklatur Pedesaan Ke Arah Desa Metropolitan Dalam Catatan Sejarah Pembangunan"

Kritik Kontemplasi dari Pembangunan Pedesaan yang Temporer

Fittrie Meyllianawaty Pratiwy* 2501120110531 *Mahasiswa Magister lmu Lingkungan Universitas Padjadjaran Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Padjadjaran 2012

Pembangunan yang bermunculan dalam konteks pengembangan desa, tidaklah terlepas dari peranan masyarakat lokal dan pemerintahan yang berkuasa di zamannya. Jika kita telusuri lebih dalam, terkadang tidak ada batasan yang jelas antara pengembangan desa dengan pembentukan suatu kawasan menjadi kota, dan memiliki tatanan yang strukturnya lebih kompleks atau yang sering kita sebut dengan istilah The Great Tradition. Sedangkan desa memiliki sifat homogenitas yang kental dan unsur budaya yang masih mempengaruhi pola kehidupan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Lalu seperti apakah desa yang mengalami pengembangan pada akhirnya? Apakah kota yang kini terbentuk merupakan wujud konkret dari indikator keberhasilan suatu pengembangan desa? Bagaimanapun juga jika dianalisis secara skeptis, akan tampak jelas perbedaannya sekarang. Kota akan terasa jauh berbeda dengan desa, karena akan ada sebuah aspek spasial (ruang) yang sengaja dibentuk dan diregulasikan ketika kota muncul atau dimunculkan. Sebagai suatu gambaran, desa, yang pada saat zaman Hindia Belanda sering disebut Gemeente selalu identik dengan nuansa alam yang lestari. Namun, tak terlepas bahwa penduduk desa akan selalu terbayang tentang indahnya kehidupan kota dengan gemerlap dan mewah, kemajuan teknologi, pendidikan yang pesat, dan taraf hidup yang terasa lebih sejahtera. Hal inilah yang mendorong masyarakat untuk melakukan urbanisasi, dengan tujuan bisa mendapat kehidupan yang layak. Selain itu, daya tarik daerah tujuan juga menentukan masyarakat untuk melakukan urbanisasi. Para urban yang tidak memiliki skill kecuali bertani, akan kesulitan mencari pekerjaan di daerah perkotaan, karena lapangan pekerjaan di kota menuntut skill yang sesuai dengan bidangnya. Dalam upaya mengendalikan angka urbanisasi,

mulailah ada pengembangan otonomi daerah atau desentralisasi dan penghapusan UU No. 5 Tahun 1974, sehingga akan membawa dampak baru bagi pembangunan daerah. Dengan kendali wewenang berada di pemerintah daerah, maka setiap daerah berhak untuk menentukan arah pembangunan dari wilayah yang dikuasainya. Mulailah penbangunan pedesaan menjamur, terutama di Pulau Jawa, karena pilihannya jika urbanisasi sudah dibatasi, dan kaum desa cukup sulit bersaing di perkotaan dengan kemampuan terbatas maka pembangunan pedesaan menjadi suatu pilihan untuk

mengembangkan desa ke arah yang lebih maju. Segala infrastruktur dibenahi, pembangunan pemukiman, industri, dan teknologi diadaptasikan. Namun, apakah semua pedesaan dapat digeneralisir? Apakah dampak respon yang dihasilkan dari pembangunan semacam itu akan sama? Kemungkinan yang pertama, ketika introduksi seperti itu masuk dalam sebuah desa, jika tidak dibarengi dengan pemahaman yang aplikatif, komprehensif, dan berkelanjutan, maka respon yang ditimbulkan bisa saja menghasilkan konflik sosial dan degradasi budaya pada desa tersebut. Sebagai contoh, program introduksi teknologi di kawasan Papua Barat, masyarakat adat yang tidak terbiasa menggunakan pakaian ketika diberikan penyuluhan tentang penggunaan pakaian, tidak akan mudah untuk mengadaptasikannya karena untuk sebuah introduksi dibutuhkan pemahaman mendalam dan alasan yang relevan terkait urgenitas penggunaan pakaian tersebut. Akhirnya masyarakat adat tersebut akan kembali pada kebiasaaan lamanya. Hal ini dikarenakan pada saat mereka menggunakan pakaian, mereka akan menjadi sakit-sakitan dan mengalami alergi. Kemungkinan yang kedua, suatu desa yang diintroduksi pembangunan dengan pengetahuan dan teknologi baru akan berkembang menjadi desa maju yang dicirikan dengan pendapatan masyarakat yang meningkat, kawasan pemukiman di pedesaan yang mulai bermunculan, adanya pusat perbelanjaan dan industri, serta wawasan masyarakat yang berkompeten, sehingga kawasan desa yang telah mengalami pemugaran seperti ini tidak akan memiliki beda yang signifikan dengan kawasan perkotaan. Hal-hal detail seperti ini yang terkadang luput dalam pembangunan pedesaan, sehingga dapat mempengaruhi konstruksi dan nasib akhir dari sebuah desa yang kontras dengan keadaaan desa pada dua puluh atau tiga puluh tahun yang lalu. Desa yang melekat dalam ingatan kita akan hamparan ladang yang luas, tatanan sawah yang tersusun rapih, dan ornamen

khas desa yang lainnya yang menjadi simbol dari sebuah desa, menjadi tidak tampak dan terlihat mulai luntur dari kekhasannya. Desa yang tumbuh dengan segala aspek pembangunannya hampir tidak ada bedanya dengan kota yang dibentuk. Pembangunan pemukiman dan industri yang mulai menjajah kawasan pedesaan dengan para pendatang dari perkotaan yang telah jenuh dengan suasana hiruk pikuk kota yang padat. Apakah ini suatu transisi perubahan pedesaan menjadi perkotaan dengan nama desa yang dipertahankan? Apakah ini suatu perubahan pola transmigrasi dari urbanisasi menjadi ruralisasi yang terjadi dengan sendirinya? Dan munculah sebuah desa dengan tatanan yang termodifikasi sebagai desa metropolitan. Dalam segi ekonomi, memang hal tersebut dapat meningkatkan superioritas pedesaan yang tadinya sering terabaikan. Tetapi jika ditinjau dari segi tatanan sosial budaya, paradigma baru tentang desa metropolitan ini akan jauh lebih heterogen dari desa pada mulanya dan peran indigenous people akan menjadi resesif oleh introduksi yang dimasukkan dalam desa tersebut. Desa metropolitan disini bukanlah desa dengan status adminstratif yang berubah menjadi kota metropolitan. Namun, kekhasan yang memudar dan adanya masayarakat pendatang yang mulai merambah masuk menghuni kawasan pedesaan. Setiawaty (2012) berpendapat bahwa sesuai dalam UU No.32/2004, masalah nomenklatur diserahkan kepada masing-masing daerah. Artinya,setiap daerah bisa menyebut satuan pemerintahan terendah tersebut dengan istilah yang sudah hidup sejak zaman dulu, sehingga dalam

pengembangannya, desa yang mulai mengalami transisi menjadi kawasan mentropolitan bisa saja status administrasinya tetap sebagai desa pada umumnya, hanya unsur pedesaan yang telah dibangun dan berubah akan menjadi indikator pengembangan daerah tersebut. Memang tidak ada salahnya untuk melakukan pembangunan terhadap suatu kawasan pedesaan, namun pelaksanaanya bukan diatur secara normatif saja melainkan ada aspek-aspek yang menjadi bahan pertimbangan seperti masalah sosial budaya yang telah menjadi common heritage yang khas di kawasan tersebut. Pembangunan dapat dilakukan tanpa harus mengubah tatanan sosial dan budaya setempat, tetapi pembangunan dalam konteks pelestarian yang memunculkan kognisi baru terhadap adaptasi teknologi dan pengetahuan. Penerapannya pun dilakukan secara bijaksana dan bekelanjutan.

You might also like