You are on page 1of 6

Wiji Thukul: Sekali Berarti, Sudah Itu Mati

(Dec 05, 2006 at 05:06 PM) - Contributed by Asep Sambodja - Last Updated (Dec 05, 2006 at 05:13 PM)

Kalau kita mau jujur, barangkali Wiji Thukul adalah satu-satunya penyair yang dengan lantang menyuarakan perlawanan terhadap sebuah rezim diktator Orde Baru. Hal ini tidak saja tampak dari aktivitasnya sebagai pelaku kebudayaan dan berpolitik praktis dalam Jaringan Kesenian Rakyat (Jaker) yang merupakan underbow Partai Rakyat Demokratik (PRD)—sebuah partai politik yang lahir, dibesarkan, dan berbasis anak-anak muda yang dipimpin oleh Budiman Sujatmiko—tetapi juga terekspresikan melalui sajak-sajaknya. Salah satu sajaknya yang terkenal, “Peringatan”, yang memberi kesan mendalam pada seorang tokoh pejuang Hak Asasi Manusia (HAM), Munir—yang juga meninggal karena diracun di atas pesawat Garuda—menggoreskan kata-kata yang demikian berjiwa: hanya ada satu kata: lawan!

Meskipun Wiji Thukul diculik dan dilenyapkan oleh kaki tangan rezim Orde Baru karena puisi-puisinya serta aktivitasnya di dunia politik praktis, namun semangat perjuangan yang tercermin dalam sajak-sajaknya akan terus hidup. Karena demikianlah sunatullah (hukum alam) yang berlaku di dunia kepenyairan: kata-kata yang dilahirkan oleh penyair akan panjang usianya dibandingkan dengan penyairnya itu sendiri. Chairil Anwar pernah menciptakan sebuah konsep “hidup abadi” dengan mengatakan, “Aku mau hidup seribu tahun lagi.” Namun, usia Chairil Anwar tak juga mencapai 30 tahun, tapi kata-katanya masih tetap dikenang orang sampai sekarang. Demikian pula dengan Wiji Thukul yang menghasilkan puisi masterpiece berjudul “Peringatan” yang menunjukkan oposisi biner penguasa dan rakyat, sekaligus berupaya meruntuhkan oposisi biner itu. Wiji Thukul menggambarkan posisinya sebagai penyair yang beroposisi dengan penguasa tiran/diktator. Kata-kata dalam puisi itu akan terus hidup dan digunakan tidak saja oleh pembaca sastra tapi juga oleh aktivis atau orang-orang pergerakan untuk melakukan resistensi terhadap rezim yang otoriter dan represif. R. von der Borgh (1990) menemukan dua versi sajak “Peringatan” yang ditulis Wiji Thukul, yakni yang ditulis pada 1986 dan yang direvisi pada 1987. Revisi sajak “Peringatan” inilah yang menghasilkan katakata berjiwa tersebut: hanya ada satu kata: lawan! Dalam sajak versi pertama, kata-kata itu belum muncul. Sajak “Peringatan” edisi revisi ini sekaligus memperlihatkan kelugasan dan ketegasan sikap Wiji Thukul. R. von der Borgh mencatat bahwa kelugasan dan ketegasan sikap Wiji Thukul itu tidak terlepas dari pergaulan Wiji Thukul dengan budayawan-budayawan Jawa Tengah, teristimewa Halim H.D., yang membuka/memberi peluang bagi Wiji Thukul untuk memasuki wilayah sastra dan budaya Indonesia yang lebih luas. Halim H.D. pula yang berjasa memproklamasikan “sastra ngamen” dan “sastra gugat” ciptaan Wiji Thukul di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada September 1987. Adapun kedua versi sajak “Peringatan” itu adalah sebagai berikut: Peringatan (sebelum direvisi) jika rakyat pergi ketika penguasa pidato kita harus hati-hati barangkali mereka putus asa kalau rakyat berbisik-bisik ketika berbicara penguasa harus waspada dan belajar mendengar dan bila rakyat tidak berani mengeluh itu artinya sudah gawat bila rakyat patuh-patuh penguasa harus mencari sebabnya bila omongan penguasa tak ada yang membantah kebenaran pasti terancam bila usul ditolak kritik dilarang dengan dalih mengganggu keamanan berarti penguasa sedang ketakutan kekerasan pasti digunakan maka berhati-hatilah

Peringatan (setelah direvisi)


http://www.puisi.net - PUISI.NET Powered by Mambo Generated:7 June, 2009, 10:37

jika rakyat pergi ketika penguasa pidato kita harus hati-hati barangkali mereka putus asa

kalau rakyat sembunyi dan berbisik-bisik ketika membicarakan masalahnya sendiri penguasa harus waspada dan belajar mendengar bila rakyat tidak berani mengeluh itu artinya sudah gawat dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah kebenaran pasti terancam apabila usul ditolak tanpa ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan dituduh subversif dan mengganggu keamanan maka hanya ada satu kata: lawan! Solo, 1986

Jika kita bandingkan kedua versi sajak itu, tampak bahwa versi kedualah yang memperlihatkan vitalitas penyairnya yang tinggi. Sementara klimaks sajak pertama, yang belum direvisi, hanya seruan “hati-hati”. Sajak “Peringatan” itu diciptakan Wiji Thukul pada 1986 dan direvisi pada 1987, di saat rezim Soeharto masih sangat kokoh bercokol di kursi kekuasaan—sehingga tidak ada satu kekuatan pun yang mampu menjadi kekuatan penyeimbang (oposisi) dalam sebuah negara demokrasi Pancasila. Kata-kata ciptaan Wiji Thukul yang terakhir itu seakan-akan menjelma mantera yang dapat memberi spirit bagi perjuangan para buruh dan mahasiswa demonstran, terutama untuk menuntut keadilan dan kesejahteraan. Memang, Wiji Thukul bukanlah satu-satunya pejuang yang menyuarakan hak asasi manusia (HAM), karena di luar wilayah sastra, atau tepatnya di kalangan pejuang HAM di Indonesia, kita juga mengenal Marsinah, Udin (Muhammad Syafruddin), Munir, Benjamin Mangkoedilaga, Baharuddin Lopa, Trimoelja D. Soerjadi, dan masih banyak lagi. Namun, di bidang sastra, terutama puisi, Wiji Thukullah yang pantas dikenang dan diberi penghargaan. Konsistensi perjuangannya dapat dikatakan menyamai perjuangan Si Burung Merak, Rendra. Cerpenis Linda Christanty menggambarkan bagaimana Wiji Thukul dan Rendra sama-sama mendapat penghargaan Wertheim Encourage Award dari Wertheim Stichting di Negeri Belanda karena karya-karya yang mereka hasilkan. Saat itu, hanya Rendra yang bisa berangkat ke Belanda. Penghargaan dan hadiah berupa sejumlah uang untuk Wiji Thukul pun dititipkan kepada Rendra. Namun, sampai Wiji Thukul hilang pada pasca kasus 27 Juli 1996, uang itu tidak pernah sampai kepadanya (Christanty, 2002). Perjuangan Wiji Thukul ibarat memperjuangkan kebenaran hakiki, atau perjuangan untuk mencapai splendor veritatis (‘cahaya kebenaran’) sebagaimana yang diungkapkan Y.B. Mangunwijaya (lihat Taum, 2002), yakni keadilan bagi sesama manusia tanpa memandang kelas sosial. Apa yang disuarakan Wiji Thukul dalam sajak-sajaknya adalah fakta sosial yang jarang atau tidak pernah diungkap bahkan oleh media massa Indonesia—terutama di masa Orde Baru. Kemiskinan, ketidakadilan, jurang yang dalam antara si kaya dengan si miskin (ketimpangan sosial) diungkapkan Wiji Thukul dengan bahasa yang lugu, lugas, bahasa sehari-hari, bahasa yang sangat familiar dengan keluarga, teman, atau masyarakat di sekitarnya. Harry Aveling (2003) menilai sajak-sajak Wiji Thukul seperti itu sebagai sajak yang keras dan konfrontasional. Hanya saja, karena bahasa semacam itu tertimbun oleh bahasa euphimisme yang menyelimuti bahasa Indonesia di zaman Orde Baru, maka bahasa yang digunakan Wiji Thukul itu menjadi bahasa yang unik. Beberapa sajak Wiji Thukul yang menurut saya mampu menggambarkan kenyataan dengan baik adalah “Sajak Suara”, “(Tanpa Judul)”, dan “Buron”. Keberhasilan Wiji Thukul itu dikarenakan ia menyuarakan apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dialaminya secara langsung. Dengan demikian, ia menyampaikan substansi tanpa bantuan orang kedua atau bantuan media/peralatan lain. Wiji Thukul tidak sekadar menyampaikan pesan, tapi ia adalah message itu sendiri. Berikut kutipan lengkap ketiga sajak itu. Sajak Suara sesungguhnya suara itu tak bisa diredam mulut bisa dibungkam
http://www.puisi.net - PUISI.NET Powered by Mambo Generated:7 June, 2009, 10:37

namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku suara-suara itu tak bisa dipenjarakan di sana bersemayam kemerdekaan apabila engkau memaksa diam aku siapkan untukmu: pemberontakan! sesungguhnya suara itu bukan perampok yang ingin merayah hartamu ia ingin bicara mengapa kau kokang senjata dan gemetar ketika suara-suara itu menuntut keadilan? sesungguhnya suara itu akan menjadi kata ialah yang mengajari aku bertanya dan pada akhirnya tidak bisa tidak engkau harus menjawabnya apabila engkau tetap bertahan aku akan memburumu seperti kutukan

(Tanpa Judul) kuterima kabar dari kampung rumahku kalian geledah buku-bukuku kalian jarah tapi aku ucapkan banyak terima kasih karena kalian telah memperkenalkan sendiri pada anak-anakku kalian telah mengajar anak-anakku membentuk makna kata penindasan sejak dini ini tak diajarkan di sekolahan tapi rezim sekarang ini memperkenalkan kepada semua kita setiap hari di mana-mana sambil nenteng-nenteng senapan kekejaman kalian adalah bukti pelajaran yang tidak pernah ditulis Indonesia, 11 agustus 96

Buron baju lain celana lain potongan rambut lain buku yang dibaca lain bahan percakapan lain nama lain identitas lain ekspresi lain menjadi diri sendiri adalah tindakan subversi
http://www.puisi.net - PUISI.NET Powered by Mambo Generated:7 June, 2009, 10:37

di negeri ini maka selalu siaga polisi tentara hukum dan penjara bagi siapa saja yang menolak menjadi orang lain 20 september 96

Gaya bahasa yang lugu seperti ini juga digunakan oleh penyair A. Mustofa Bisri dalam sajak-sajak kontekstualnya, seperti yang tampak dalam sajak “Rasanya Baru Kemarin” yang terdiri dari sedikitnya 12 versi (Bisri, 2002). Demikian pula mengenai tema penyimpangan dan ketimpangan sosial juga mendapat tempat dalam sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri yang mutakhir, seperti “Tanah Airmata”, “Jembatan”, dan “David Copperfield, Realities ‘90”—dalam Horison (1998)—dengan penggunaan bahasa yang sangat canggih. Di sini, terlihat bahwa Sutardji Calzoum Bachri yang pada awal kepenyairannya (1974) mengeluarkan Kredo Puisi yang membebaskan kata dari beban makna atau ide, pada 1990-an telah menunjukkan perkembangan yang sebaliknya, yakni memberi makna pada setiap kata, seperti yang dilakukan Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Abdul Hadi W.M. Tidak hanya itu, Sutardji Calzoum Bachri berusaha menggunakan puisi untuk menyampaikan pikirannya terhadap realitas sosial yang dibacanya. Dengan demikian, kalau dikatakan Wiji Thukul hanya memperalat puisi untuk mencapai maksud tertentu (versi penguasa: kepentingan tertentu) maka tidak bisa disalahkan begitu saja. Karena, bagaimanapun, kata, puisi, karya sastra, merupakan alat atau media ekspresi bagi sastrawan dalam menyikapi kenyataan di masyarakatnya. Kenyataan sosial politiknya. Sama halnya dengan tentara yang menggunakan peluru, senjata, dan bom nuklir sebagai alat untuk menguasai, untuk mendominasi pihak lemah atau kaum papa, kaum paria. Tinggal kita lihat apakah alat itu digunakan dengan baik dan benar seperti pasukan keamanan PBB atau justru sebaliknya, seperti yang dilakukan Amerika Serikat saat ini: alat itu digunakan untuk mengintervensi negara-negara kecil seperti Afghanistan, Irak, Palestina, Iran, dan Suriah. Melalui sajak-sajaknya, Wiji Thukul merepresentasikan dirinya sendiri sebagai seorang warga negara yang melarat di sebuah negeri yang subur. Apa yang berharga dari puisiku/Kalau becak bapakku tiba-tiba rusak/Jika nasi harus dibeli dengan uang/Jika kami harus makan/Dan jika yang dimakan tidak ada? (“Apa yang Berharga dari Puisiku”). Dalam jurnal Revitalisasi Sastra Pedalaman, Wiji Thukul mengingatkan bahwa ia tidak sedang membela rakyat. “Saya sebenarnya membela diri saya sendiri. Saya tidak ingin disebut pahlawan karena memperjuangkan nasib rakyat kecil. Sungguh saya hanya bicara soal diri saya sendiri. Lihatlah saya tukang pelitur, istri buruh jahit, bapak tukang becak, mertua pedagang barang rongsokan, dan lingkungan saya semuanya melarat. Mereka semua masuk dalam puisi saya. Saya bukan penyair protes. Saya menyadari proses. Menulis puisi persoalannya selalu kembali ke persoalan saya sendiri.” (Thukul, 1994). Ia menyuarakan isi hati dan pikirannya secara apa adanya, lugu, dan jujur. Dan ketika ia bersuara secara lugu dan jujur, sehingga yang terbaca dalam puisinya adalah suara yang murni (otentik), maka yang terjadi kemudian adalah kecemasan penguasa. Ketika seorang warga negara sadar dengan kenyataan yang ada di sekelilingnya, dan dia mengekspresikan kenyataan dirinya dan menolak penyeragaman, maka hal itu dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan kemapanan, menjadi the other, liyan, meskipun warga tersebut, dalam hal ini penyair Wiji Thukul, tidak berpretensi apa pun selain mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri sendiri. Sejatinya, setiap orang berhak untuk memperbaiki nasibnya sendiri untuk menjadi lebih baik. Dalam hal Wiji Thukul, untuk memperbaiki nasibnya tersebut, ia mempertanyakan keadaan yang menghimpit hidupnya. Ia membandingkan dirinya dengan orang lain yang bernasib lebih baik. Pertanyaan-pertanyaan itu mengkristal menjadi kesadaran yang kemudian merangsangnya melakukan perlawanan atau semacam gugatan terhadap ketidakadilan. Apakah nasib kita akan seperti/ sepeda rongsokan karatan itu?/ o, tidak, dik!/ kita harus membaca lagi/ agar bisa menuliskan isi kepala/ dan memahami dunia (“Puisi Untuk Adik”). Suara Wiji Thukul yang lugu, blokosuto (blak-blakan) ini kemudian dimaknai sebagai tindakan subversif oleh penguasa yang sangat selektif dan represif dalam menerima informasi. Bahkan kecenderungan penguasa tiran adalah menguasai informasi dan mengatur lalu lintas informasi itu. Makanya, ketika Wiji Thukul berpuisi dengan segenap kejujuran, hal itu dianggap sebagai upaya mendobrak arus kemapanan (mainstream) yang telah dipelihara oleh penguasa. Harus diakui bahwa di tangan Wiji Thukul, kata-kata menjadi alat perjuangan untuk merontokkan sebuah rezim yang zalim. Ia bukanlah penyair sekadar—seperti yang disuarakan Sutardji Calzoum Bachri dalam salah satu sajaknya. Dan, dalam kurun waktu satu-dua dekade, kita sudah bisa melihat runtuhnya sebuah rezim yang angkuh itu. Memang,
http://www.puisi.net - PUISI.NET Powered by Mambo Generated:7 June, 2009, 10:37

jatuhnya Soeharto pada 20 Mei 1998 bukan karena puisi-puisi Wiji Thukul. Tapi, minimal, puisi-puisi Wiji Thukul merekam segala keresahan masyarakat Indonesia di masa Soeharto. Sekali lagi, Thukul tidak hanya merekam keresahan itu, tapi kerasahan itu disalurkan ke dalam puisi dan menjadi salah satu senjatanya yang ampuh. Senjata yang digunakan untuk memperbaiki nasib buruk. Senjata untuk menuntut keadilan. Senjata untuk menggoyang kekuasaan yang korup. Perhatikan sajak perlawanan seorang Wiji Thukul yang memposisikan dirinya sebagai kaum marginal yang berhadapan dengan penguasa berikut ini: Bunga dan Tembok seumpama bunga kami adalah bunga yang tak kaukehendaki tumbuh engkau lebih suka membangun rumah dan merampas tanah seumpama bunga kami adalah bunga yang tak kaukehendaki adanya engkau lebih suka membangun jalan raya dan pagar besi seumpama bunga kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami sendiri jika kami bunga engkau adalah tembok tapi di tubuh tembok itu telah kami sebar biji-biji suatu saat kami akan tumbuh bersama dengan keyakinan: engkau harus hancur! dalam keyakinan kami di mana pun – tirani harus tumbang! Solo, ’87 - ‘88

Sejak Soeharto naik menjadi Presiden RI, sejak perseteruan antara seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)—yang beraliran realisme sosial, yang “kontekstual”—dengan seniman Manifes Kebudayaan (Manikebu/Manifestan)—yang beraliran humanisme universal, yang prinsip keseniannya l’art pour l’art—mulai reda, puisi di Indonesia memang sempat diramaikan dengan puisi-puisi lirik, puisi yang lebih banyak membicarakan kegelisahan atau kegalauan pribadi, seperti yang dipelopori Sapardi Djoko Damono [muda], Goenawan Mohamad [muda], dan mendapatkan tempat yang luas di majalah Horison periode awal. Karya-karya realisme sosial nyaris tidak mendapat tempat di media massa di awal Orde Baru. Ajip Rosidi menyebut situasi semacam itu sebagai “bandul yang berbalik arah”. Sebelum peristiwa “G30S” (Gerakan 30 September 1965), kehidupan seniman Manikebu sangat nelangsa dan seniman-seniman Lekra berada di dalam orbit kekuasaan Soekarno [tua] yang cenderung diktator. Setelah peristiwa itu, suasananya nyaris berbalik 180 derajat. Bahkan karyakarya Pramoedya Ananta Toer dilarang. Mahasiswa yang memperjualbelikan novel-novel Pram pun ditangkap. Tapi, di sisi lain, hal itu serta-merta menjadi karya subaltern, simbol perjuangan demokratisasi ataupun untuk melawan sebuah rezim. Wiji Thukul, seorang anak muda yang menurut Arief Budiman (1994) mirip pedagang asongan, mengambil jalan lain. Ia menulis puisi yang bisa dimengerti oleh teman-temannya sendiri, menulis tentang kenyataan hidupnya sendiri. Ia pun membacakan puisinya ke kampung-kampung hingga ke kampus-kampus di dalam dan luar negeri. Dan, akhirnya kita lihat bahwa di tangan penyair, fakta sosial bisa menjadi kekuatan yang sangat luar biasa. Jika Udin membongkar fakta money politics Bupati Bantul, Yogyakarta, dengan kepekaan jurnalistiknya, jika Munir lantang menyuarakan antikekerasan dengan kepekaan kemanusiaannya, Wiji Thukul mengungkap fakta ketimpangan sosial dengan kepekaan kepenyairannya. Ketiganya sama-sama mengungkap fakta, sama berartinya bagi kemanusiaan, dan ketiganya samasama dilenyapkan. Sekali berarti, sudah itu mati, kata Chairil Anwar. Namun, kata-kata sang penyair seperti memiliki sejarah hidup yang berbeda dengan penyairnya. Hanya ada satu kata: lawan!. Suara itu seperti tak ada matinya.

http://www.puisi.net - PUISI.NET

Powered by Mambo

Generated:7 June, 2009, 10:37

__________________________

Bibliografi: Aveling, Harry. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998. Magelang: IndonesiaTera.Bisri, A. Mustofa. 2002. Negeri Daging. Yogyakarta: Bentang.Borgh, R. von der. 1990. “Puisi Wiji Thukul Wijaya”, dalam Tanah Air, Edisi No. 5, Desember.Budiman, Arief. 1994. “Wiji Thukul Penyair Kampung”, dalam Wiji Thukul, Mencari Tanah Lapang. Leiden: Manus Amici.Christanty, Linda. 2002. “Wiji Thukul, Seorang Kawan”, dalam Ini Sirkus Senyum. Yogyakarta: Bumimanusia.Majalah sastra Horison, No. 6 Juni 1998.Taum, Yoseph Yapi. 2002. “Puisi-puisi Kerakyatan Wiji Thukul”, dalam Jurnal Puisi, No. 10, Desember.Thukul, Wiji. 1994. “Seniman Harus Memperjuangkan Gagasannya”, dalam Jurnal Revitalisasi Sastra Pedalaman, Edisi 2, November. _____. 2000. Aku Ingin Jadi Peluru. Magelang: IndonesiaTera.

__________________________ Asep Sambodja lahir di Solo, 15 September 1967. Lulus dari Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) pada 1993. Kini mengajar di almamaternya. Ia telah menerbitkan buku kumpulan puisi Menjelma Rahwana (1999) dan Kusampirkan Cintaku di Jemuran (2006). Esai-esainya dibukukan dalam Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk (2004) dan Dari Kampus ke Kamus (2005).

http://www.puisi.net - PUISI.NET

Powered by Mambo

Generated:7 June, 2009, 10:37

You might also like