You are on page 1of 112

KAJIAN DAMPAK PENAMBANGAN BAUKSIT DI DAERAH KIJANG DAN SEKITAR PULAU MAMOT KORELASINYA DENGAN KEMUNGKINAN PERUBAHAN EKOSISTEM

PERAIRAN PESISIR TIMUR PULAU BINTAN DAN PERAIRAN PESISIR PULAU MAMOT (KEPULAUAN LINGGA)

LAPORAN PENELITIAN

Eko Tri Sumarnadi Agustinus, Eko Soebowo Ade Suriadharma, Ade Tatang dan Dady Sukmayadi

Coral Reef Rehabilition and Management Program Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia COREMAP II - LIPI

JAKARTA, 2010

KAJIAN DAMPAK PENAMBANGAN BAUKSIT DI DAERAH KIJANG DAN SEKITAR PULAU MAMOT KORELASINYA DENGAN KEMUNGKINAN PERUBAHAN EKOSISTEM PERAIRAN PESISIR TIMUR PULAU BINTAN DAN PERAIRAN PESISIR PULAU MAMOT

RINGKASAN

Wilayah perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamut (Kepulauan Lingga), termasuk sebagian diantara Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang merupakan kawasan konservasi pada wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pemanfaatan lahan baik di daratan maupun perairan yang tidak mempertimbangkan kepedulian terhadap kondisi lingkungan, berpotensi menimbulkan terjadinya degradasi lingkungan sekitarnya. Dua (2) isue penting yang kini berkembang di masyarakat, yakni : kekhawatiran masyarakat

nelayan wilayah pesisir Bintan Timur tentang dampak aktivitas penambangan bijih bauksit di daerah Kijang terhadap perubahan kualitas perairan pesisir timur Pulau Bintan dan kekhawatiran masyarakat Desa Mamot terhadap rencana penambangan bijih bauksit (besi) di Pulau Mamot dapat menimbulkan kerusakan dan / atau perubahan ekosistem perairan di wilayah tersebut. Mengingat ke-dua (2) wilayah tersebut merupakan kawasan konservasi (daerah perlindungan laut) yang perlu dilestarikan ekosistemnya, maka diperlukan upaya untuk memprediksi dan memitigasi akibat adanya ancaman baik dari kegiatan penambangan bauksit maupun kegiatan lainnya diluar sektor pertambangan. Oleh karena itu, kajian mengenai kondisi eksisting dan potensi terjadinya perubahan kualitas perairan serta kemungkinan perubahan ekosistem perairan laut di ke-dua wilayah tersebut menjadi penting (urgen) untuk dilakukan. Kajian dilakukan melalui interpretasi dari citra landsat dan ALOS, dilanjutkan dengan survey di lapangan untuk memperoleh baik data primer maupun data sekunder serta analisis di laboratorium. Berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dilakukan analisis korelasi antara dampak penambangan dengan kemungkinan perubahan ekosistem perairan dengan indikator parameter fisik, kimia dan kandungan unsur logam berat serta biota perairan baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.

Hasil kajian

yang merupakan hasil analisis dan diskusi diharapkan dapat

digunakan sebagai bahan acuan bagi pemangkukepentingan (stakeholder) dalam pengambilan keputusan yang disimpulkan sebagai berikut : 1. Hasil kajian di sekitar perairan pesisir timur Pulau Bintan Berdasarkan interpretasi baik dari citra landsat maupun ALOS, tingkat kekeruhan di perairan pesisir timur Pulau Bintan dibagi menjadi 3 (tiga) tingkat, yakni : dari arah selatan utara dengan kategori tinggi, sedang dan rendah. Artinya bahwa

terdapat korelasi antara dampak penambangan bauksit di daerah Kijang dengan perubahan tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan, dimana tingkat kekeruhan di lokasi DPL termasuk kategori rendah, dansemakin ke arah selatan dan / atau semakin mendekati sumber dampak, tingkat kekeruhan menjadi semakin tinggi. Sementara dari hasil pengamatan selama di lapangan menunjukkan bahwa sumber dampak terjadinya perubahan tingkat kekeruhan disebabkan oleh pengelolaan pertambangan yang belum baik dan benar, khususnya di daerah dermaga pengapalan (jeti). Perubahan tingkat kekeruhan tersebut bersifat sementara (temporer), terutama ketika terjadi turun hujan. Material yang bersifat lepas dari bjih bauksit mudah terangkut oleh air hujan dan langsung terbawa menuju ke perairan laut, mengingat dermaga (jeti) pada umumnya tidak dibuat tanggul dan kolam pengendapan. Meskipun perubahan tingkat kekeruhan bersifat temporer, namun jika terjadi secara terus menerus karena mengingat wilayah tersebut mempunyai iklim dengan bulan basah (10 bulan/tahun) relatif lebih lama dibandingkan dengan bulan kering, dan semakin meningkatnya

aktivitas penambangan merupakan ancaman yang perlu segera dicari alternatif solusinya. Hasil model perhitungan berdasarkan hukum stokes menunjukkan bahwa jarak angkut material/bijih bauksit (lempung-lanau dan pasir halus) yang berpotensi terbentuknya TSS mencapai lebih kurang 2 km dari sumber dampak (dermaga/jeti). Pola sebaran tingkat kekeruhan dipengaruhi oleh jumlah material yang tertransportasi, arah dan kuat arus, tinggi rendahnya pasang surut serta tinggi rendahnya gelombang laut. Walaupun model perhitungan sebaran TSS berbentuk tabung, namun dalam kenyataannya pola sebaran mengikuti pola alur garis pantai.

ii

Berdasarkan hasil analisis laboratorium terhadap 11 sample yang terdiri dari 4 (empat) sample yang diambil dari muara sungai pesisir timur Pulau Bintan, 3 (tiga) sample di sekitar lokasi DPL dan 4 (empat) sample yang berada di perairan sekitar lokasi aktivitas penambangan. Hasil analisis menunjukkan bahwa kondisi eksisting kualitas perairan pesisir timur Pulau Bintan hingga Pulau Mapor baik ditinjau dari indikator parameter fisik, kimia dan kandungan unsur logam berat maupun biota perairan pada umumnya masih menunjukkan kondisi relatif normal bagi kehidupan biota perairan. Walaupun beberapa parameter tersebut sudah mendekati nilai ambang batas baku mutu yang dipersyaratkan oleh KLH, namun jika ditarik garis dari titik sample yang diambil dari sekitar DPL menuju titik sample yang diambil dari perairan di sekitar sumber dampak, menunjukkan adanya kecenderungan perubahan kualitas fisik perairan yang cukup signifikan. Sementara perubahan kualitas kimia dan kandungan unsur logam berat serta parameter biota perairan juga memperlihatkan adanya kecenderungan semakin meningkat, walaupun nilai parameter tersebut masih sedikit diatas nilai ambang batas yang diperkenankan KLH.

Sedangkan korelasi antara perubahan kualitas perairan dengan perubahan ekosistem perairan di wilayah kajian, yaitu di sekitar lokasi sampling pada

umumnya belum begitu nampak jelas (tidak signifikan). Hasil pengamatan secara sepintas terhadap terumbu karang dan padang lamun di sekitar lokasi DPL (seperti perairan pesisir Pantai Trikora, perairan pesisir Pulau Mapor dan

perairan pesisir Pulau Pangkil) masih dalam kondisi baik dan belum terjadi perubahan secara signifikan, kecuali terumbu karang dan padang lamun di

sekitar lokasi dermaga (jeti) yang mempunyai tingkat kekeruhan tinggi, pada umumnya sudah mulai rusak dan bahkan mati. Demikian pula tentang vegetasi mangrove, pada umumnya masih dalam kondisi baik, kecuali vegetasi mangrove yang berada di sekitar aktivitas penambangan bauksit di bagian selatan Pulau Bintan mengalami ancaman kerusakan yang cukup serius. Kekhawatiran masyarakat di wilayah pesisir timur Pulau Bintan tentang terjadinya perubahan ekosistem perairan dapat dipahami, karena mengingat adanya bukti yang menunjukkan terdapatnya korelasi antara dampak penambangan bauksit di daerah Kijang dengan perubahan tingkat kekeruhan perairan di sekitar pesisir timur Pulau Bintan. Sementara tingkat kekeruhan yang terjadi akibat

penambangan, bersama-sama dengan gangguan eksositem pantai akan mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap kelimpahan dan keanekaragaman

iii

plankton, benthos, dan nekton dan berdampak lebih lanjut terhadap penurunan produktifitas primer serta pertumbuhan terumbu karang. Walaupun secara umum perubahan tingkat kekeruhan belum berdampak secara signifikan terhadap perubahan ekosistem perairan, namun dengan semakin meningkatnya aktivitas penambangan bauksit tanpa memperhatikan kepedulian terhadap lingkungannya, kini merupakan ancaman yang cukup serius terjadinya perubahan ekosistem perairan di sekitar daerah perlindungan laut (DPL) yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi yang perlu dilestarikan. 2. Hasil kajian di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot (Kepulauan Lingga) Walaupun tidak dilakukan analisis citra landsat dan ALOS, mengingat terbatasnya data yang diperoleh, namun tetap dilakukan pengamatan dan sampling contoh air. Berdasarkan hasil analisis laboratorium terhadap 4 sample yang terdiri dari 1 (satu) sample yang diambil dari mata air di pesisir barat Pulau Mamot, dan 3 (tiga) sample di sekitar perairan pesisir Pulau Mamod. Hasil analisis menunjukkan bahwa kondisi eksisting kualitas perairan pesisir Pulau Mamot (Kepulauan Lingga) baik ditinjau dari indikator parameter fisik, kimia dan kandungan unsur logam berat maupun biota perairan pada umumnya masih menunjukkan kondisi relatif normal bagi kehidupan biota perairan. Tidak terdapat korelasi antara dampak penambangan bijih bauksit (besi) dengan perubahan kualitas perairan pesisir Pulau Mamot, mengingingat lokasi penambangan jauh berada di bagian utara (Pulau Senayang) yang kini sudah ditutup dan daerah Sakanah, Pulau Lingga. Hasil pengamatan secara sepintas baik terhadap terumbu karang dan padang lamun maupun vegetasi mangrove di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot relatif masih dalam kondisi baik dan bahkan mulai muncul tunas baru. Kekhawatiran masyarakat di Desa Mamot tentang adanya rencana

penambangan bijih bauksit (besi) yang hingga kini masih dalam tahap ijin eksplorasi dapat dimengerti, mengingat dampak penambangan yang akan ditimbulkannya sangat besar. Tidak hanya masalah perubahan ekosistem perairan saja, melainkan juga punahnya habitat perikanan dan beberapa mata air yang merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat pesisir di Pulau Mamot dan pulau-pulau sekitarnya.

iv

3.

Solusi alternatif yang ditawarkan Solusi alternatif yang ditawarkan guna menindak lanjutii terhadap ke-dua (2) isue penting tersebut adalah sebagai berikut : Pengelolaan pertambangan bauksit (termasuk bahan tambang lainnya)

diarahkan agar dilakukan secara baik dan benar (good mining practice), dalam arti bahwa kegiatan usaha pertambangan agar memenuhi ketentuan-ketentuan, kriteria, kaidah dan norma-norma yang tepat sehingga pemanfaatan sumber daya mineral memberikan hasil yang optimal dengan dampak buruk minimal (Suyartono, 2003). Disatu sisi usaha pertambangan tetap menguntungkan, namun didisi lain dituntut agar tetap memperhatikan/kepedulian terhadap kondisi lingkungannya. Sebagaimana tertuang dalam Undang Undang No.4, tentang MINERBA, pasal 2.b antara lain menyebutkan bahwa usaha pertambangan harus mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan

lingkungan hidup, juga dalam pasal 8.g disebutkan bahwa usaha pertambangan dituntut untuk melaksanakan pengembangan dan pembangunan masyarakat setempat dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Walaupun lokasi penambangan bauksit di daerah Kijang telah sesuai dengan peruntukkan tataruangnya, namun sebagaimana tertuang dalam strategi penataan ruang wilayah pesisir dan lautan termasuk didalamnya laut perbatasan negara bagi kemakmuran rakyat yang meliputi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang secara terpadu dan tak terpisahkan dari ruang daratan dengan memperhatikan kepentingan sektoral dan daerah untuk mewujudkan tata ruang wilayah pesisir dan lautan yang berkualitas dan berwawasan lingkungan (Bappeda Kabupaten Bintan, 2007). Berdasarkan kajian tersebut, solusi yang diusulkan guna memitigasi terjadinya tingkat kekeruhan maka: Sebagai bentuk kepedulian perusahaan pertambangan bauksit terhadap lingkungan, perusahaan pertambangan agar diwajibkan untuk membuat tanggul dan kolam pengendapan pada setiap dermaga pengapalan (jeti), sehingga tingkat kekeruhan perairan terutama pada saat terjadi turun hujan dapat diminimalisir. Alternatif solusi bahwa setiap usaha pertambangan tidak selalu harus membuat masing-masing dermaga pengapalan (jeti), namun beberapa perusahaan pertambangan bisa saling berkolaborasi untuk membuat satu dermaga pengapalan (jeti) yang berkualitas sesuai dengan ketentuan

standar yang berlaku untuk digunakan secara bersama-sama. Solusi lainnya bisa juga dilakukan pengapalan produk tambangnya dengan cara

memanfaatkan dermaga ex. PT. Aneka Tambang yang mempunyai standar internasional untuk digunakan secara bersama-sama melalui sistem sewa atau ganti rugi. Pelaksanaan pemantauan lingkungan pertambangan oleh dinas-dinas terkait (yakni: dinas pertambangan, dinas lingkungan hidup dan dinas perikanan dan kelautan) hendaknya dilakukan secara terpadu. Rencana penambangan bijih bauksit (besi) di Pulau Mamot yang hingga kini masih dalam tahap eksplorasi, diusulkan untuk tidak ditindak lanjuti dengan tahap eksploitasi mengingat berbagai aspek yang perlu dpertimbangkan, diantaranya bahwa: Undang Undang No.27 tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Salah satu pasal menyebutkan bahwa luas pulaupulau kecil (< 2.000 Ha) perlu dilindungi, termasuk diantaranya Pulau Mamot yang hanya dengan luas sekitar 778 Ha. Perairan sekitar pesisir Pulau Mamot merupakan daerah perlindungan laut (DPL) yang perlu dilestarikan, mengingat perairan tersebut kaya akan terumbu karang, padang lamun dan vegetasi mangrove. Perairan sekitar pesisir Pulau Mamot kaya kan jenis ikan, yang merupakan sumber kehidupan bagi sebagian besar masyarakat yang tinggal di pulau tersebut. Disamping itu juga terdapat beberapa sumber mata air, yang merupakan penopang kehidupan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar Pulau Mamot. Berdasarkan strategi pengembangan dan pemanfaatan lahan, Pulau Mamot termasuk wilalayah peruntukan pertanian dan perikanan serta permukiman, tidak untuk lahan pertambangan. Mengingat luas pulau Mamot relatif kecil, maka kemungkinan jumlah cadangan bijihnya juga relatif kecil, sehingga jika ditambangpun lebih banyak dampak negatifnya dibandingkan dengan dampak positifnya. Walaupun secara regional telah dilakukan studi AMDAL, namun dalam kenyataannya berpotensi timbulnya konflik, mengingat sebagian besar masyarakat menentang.

vi

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karuniaNya, sehingga kami dapat melaksanakan survey lapangan hingga menyelesaikan laporan tentang kajian dampak penambangan bijih bauksit di daerah Kijang dan sekitar Pulau Mamot korelasinya dengan perubahan ekosistem di perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot. Laporan ini merupakan langkah awal untuk memberikan jawaban atas berbagai isue permasalahan lingkungan yang akhir-akhir ini berkembang di masyarakat pesisir. Terdapat dua (2) isue penting, yakni : kekhawatiran masyarakat pesisir tentang perubahan tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan sebagai akibat adanya aktivitas penambangan di daerah Kijang dan kekhawatiran masyarakat tentang adanya rencana penambangan bijih bauksit (besi) di Pulau Mamot dan kemungkinan dampaknya terhadap ekosistem perairan pesisir Pulau Mamot. Untuk dapat mengungkap peristiwa perubahan lingkungan pada kawasan konservasi perairan pada wilayah pesisir timur Pulau Bintan dan perairan sekitar Pulau Mamot, telah dilakukan kajian secara terpilih pada beberapa lokasi zona penambangan bauksit dan bahan tambang lainnya sebagai sumber dampak maupun zona perairan yang diduga mengalami perubahan lingkungan perairan laut. Melalui pengamatan secara langsung dan pengambilan beberapa conto untuk di analisis di laboratorium guna mengetahui gambaran sifat fisik dan kimia perairan. Laporan ini disusun baik berdasarkan data primer maupun data sekunder yang diperoleh dari dinas terkait baik yang berada di Kabupaten Bintan maupun di Kabupaten Lingga. Untuk itu kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam memperoleh data / informasi tersebut. Tidak lupa kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kepercayaan dan bimbingan kepada kami baik dari awal pelaksanaan kajian maupun hingga selesainya penulisan laporan ini. Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan penjelasan kepada pemangkukepentingan dalam upaya memitigasi dampak perubahan lingkungan maupun perubahan kondisi perairan laut di wilayah kajian. Semoga laporan ini dapat bermanfaat baik sebagai sumber informasi maupun sebagai pendorong munculnya pemikiran baru dalam mengatasi permasalahan dampak perubahan lingkungan perairan maupun dalam upaya mitigasi pada kawasan tersebut. Bandung, 10 November 2010 Tim Penelitian

vii

DAFTAR ISI

RINGKASAN ......................................................................................................... KATA PENGANTAR ............................................................................................. DAFTAR ISI .......................................................................................................... DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... DAFTAR TABEL ................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ............................................................. 1.3. Maksud dan Tujuan .............................................................. 1.4 Manfaat Kajian ...................................................................... 1.5 Ruang Lingkup ......................................................................

i vii vii xi xiv I-1 I-1 I-3 I-3 I-3 I-4

BAB II

METODOLOGI ................................................................................. II - 1 2.1 Kerangka Pikir ....................................................................... II - 1 2.2 Hipotesis ................................................................................ II - 2 2.3 Metoda ................................................................................... II - 3 2.4 Tahapan Kegiatan ................................................................. II - 3 2.4.1 Pengumpulan Data Sekunder ................................. II - 3 2.4.2 Pengumpulan Data Primer ...................................... II - 3 2.4.3 Pengolahan dan Evaluasi Data ............................... II - 6 2.4.4 Penyusunan Laporan .............................................. II - 6 TINJAUAN UMUM WILAYAH KAJIAN .......................................... 3.1 Lokasi Wilay Kajian ............................................................... 3.1.2 Dasar Pemilihan Lokasi .......................................... 3.1.2 Lokasi Daerah Kajian ............................................. 3.1.3 Kesampaian Daerah Kajian ................................... 3.2 Kondisi Geologi .................................................................... 3.2.1 Geologi Regional ................................................... 3.2.2 Genesa Bijih Bauksit .............................................. 3.3 Kebijaksanaan Tata Ruang .................................................. 3.3.1 Kebijaksanaan Tata Ruang Provinsi Riau ............. 3.3.2 Kebijaksanaan Tata Ruang Kabupaten Bintan ...... 3.3.3 Kebijaksanaan Tata Ruang Kabupaten Lingga ..... 3.4 Kondisi Iklim .......................................................................... 3.4.1 Curah Hujan ............................................................ 3.4.2 Angin ....................................................................... 3.4.3 Suhu dan Kelembaban ............................................ 3.5 Hidro-oceanografi .................................................................. 3.5.1 Kedalaman (batimetri) .............................................. 3.5.2 Arus .......................................................................... 3.5.3 Gelombang ............................................................... III - 1 III - 1 III - 1 III - 4 III - 4 III - 7 III - 7 III - 9 III - 10 III - 10 III - 11 III - 15 III - 19 III - 19 III - 20 III - 20 III 22 III - 22 III - 22 III - 22

BAB III

viii

3.6

3.7

3.5.4 Pasang Surut ............................................................ 3.5.5 Suhu Muka Laut ........................................................ Ekosistem Peairan Laut Dangkal ........................................... 3.6.1 Terumbu Karang ...................................................... 3.6.2 Padang Lamun ........................................................ 3.6.3 Vegetasi Mangrove (Bakau) ................................... Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Pesisi .......................... 3.7.1 Budaya Masyarakat ................................................. 3.7.2 Sosial Ekonomi ........................................................

III - 27 III - 27 III - 27 III - 27 III - 29 III - 30 III - 30 III - 30 III - 31 IV - 1 IV - 1 IV - 3 IV - 1 IV - 7 IV - 10 IV - 13 IV - 14 IV - 14 IV - 15 IV - 16 IV - 19 IV - 21 IV - 21 V-1 V-1

BAB IV

KAJIAN AKTIVITAS PENAMBANGAN DAN KONDISI PERAIRAN 4.1 Kajian Aktivitas Penambangan .............................................. 4.1.1 Jenis Komoditi Bahan Tambang .............................. 4.1.2 Karakteristik Bahan Tambang .................................. 4.1.3 Jumlah Ijin Usaha Pertambangan ............................ 4.1.4 Sistem dan Metoda Penambangan .......................... 4.1.5 Aspek Perlindungan Lingkingan .............................. 4.2 Kajian Kondisi Perairan ......................................................... 4.2.1 Parameter Fisik Air .................................................. 4.2.2 Paameter Kimia Air dan Kandungan Unsur Logam Berat ........................................................................ 4.2.3 Parameter Biota Perairan ........................................ 4.2.4 Kondisi Terumbu Karang ......................................... 4.2.5 Kondisi Padang Lamun ............................................ 4.2.6 Kondisi Vegetasi Bakau ........................................... ANALISIS DAN DISKUSI 5.1 Aktivitas Penambangan Berpotensi sebagai Sumber Dampak Terjadinya Perubahan Kualitas Perairan ............................... 5.1.1 Faktor-faktor internal penambangan yang ikut berperan sebagai pemicu terjadinya tingkat kekeruhan perairan .................................................. 5.1.2 Faktor-faktor eksternal penambangan yang ikut berperan sebagai pemicu terjadinya perubahan tingkat kekeruhan perairan ....................................... 5.2 Analisis Kemungkinan Perubahan Kualitas Perairan sebagai Akbibat Aktivitas Penambangan ............................................. 5.2.1 Analisis pola sebaran tingkat kekeruhan berdasarkan indikator analisis citra landsat .............. 5.2.2 Analisis pola sebaran tingkat kekeruhan berdasarkan indikator hasil perhitungan dengan menggunakan hukum Sokes .................................... 5.2.3 Analisis perubahan kualitas perairan berdasarkan indikator parameter fisik, kimia air dan unsur logam berat serta biota perairan ........................................ 5.3 Hasil Diskusi .......................................................................... 5.3.1 Korelasi dampak aktivitas penambangan bauksit dengan kemungkinan perubahan ekosistem perairan .....................................................................

BAB V

V-3

V-7 V-9 V-9

V - 15 V - 19

V - 28

V - 28

ix

5.3.2

5.3.3

Persepsi masyarakat terhadap kemungkinan perubahan ekosistem perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot ................ V - 32 Solusi alternatif untuk mengantisipasi terjadinya perubahan ekosistem perairan ................................. V - 35

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ VI 1 6.1 Kesimpulan ............................................................................ VI 1 6.2 Saran ...................................................................................... VI - 3 VII - 1

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3

Bagian alir tahapan kegiatan kajian Bagan alir tahap persiapan lapangan Peta kawasan konservasi terumbu karang di perairan Indonesia Bagian Barat Peta tingkat ancaman kerusakan terumbu karang di perairan Indonesia Peta lokasi daerah kajian yang meliputi wilayah perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot, Kepulauan Lingga Peta lokasi daerah perlindungan laut (DPL) yang terletak di perairan timur Pulau Bintan dan perairan di sekitar Pulau Mamot Peta geologi daerah Bintan dan Lingga (PSG, 2002) Peta Rencana Tata Ruang Kabupaten Bintan Peta Rencana Tata Ruang Kabupaten Lingga Peta Strategi Rencana Tata Ruang Kabupaten Lingga Grafik curah hujan di sekitar perairan pesisir timur Pulau Bintan (Kabupaten Bintan) Grafik curah hujan di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot (Kabupaten Lingga Peta arah dan kecepatan angin di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga Peta batimetri di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga Peta arah dan kecepatan arus di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga Peta tinggi gelombang di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga Peta ilustrasi perubahan suhu muka laut di Indonesia pada periode Februari Maret 2010 Foto sample bijih bauksit (A. Kijang 1, B. Kijang 2, C. Mamot) Fotomikrograf kenampakan mikroskop polarisasi pada sayatan tipis (Sample Kijang 1, Kijang 2, Mamot) Dafraktogram X-RD (Sample Kijang 1, Kijang 2, Mamot Grafik distribusi ukuran besar butir sample bauksit Pulau Bintan berdasarkan ASTM

II - 4 II - 5 III - 2 III - 3

III - 5

Gambar 3.4

III - 6 III - 8 III - 14 III - 16 III - 17 III - 19 III - 20 III - 21 III - 23 III - 24 III - 26 III - 28 IV - 2 IV - 3 IV - 4 IV - 5

Gambar 3.5 Gambar 3.6 Gambar 3.7 Gambar 3.8 Gambar 3.9 Gambar 3.10 Gambar 3.11 Gambar 3.12 Gambar 3.13 Gambar 3.14 Gambar 3.15 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4

xi

Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.7 Gambar 4.8 Gambar 4.9 Gambar 4.10 Gambar 4.11 Gambar 4.12 Gambar 4.13 Gambar 4.14 Gambar 4.15 Gambar 5.1 Gambar 5.2

Grafik distribusi ukuran besar butir sample bauksit Pulau Mamot berdasarkan ASTM Foto aktivitas penambangan bauksit di daerah Kijang, Pulau Bintan Foto aktivitas pengangkutan (pengapalan) bauksit di daerah Kijang Foto aktivitas reduksi ukuran butir (zrushing plant) granit (andesit) Foto aktivitas penambangan pasir darat (kuarsa) Foto perbedaan kekeruhan air laut di sekitar jeti ketika turun hujan Foto aktivitas sampling parameter perairan Foto terumbu karang di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot Foto padang lamun di perairan pesisir barat Pulau Pangkil Foto kondisi mangrove di Pulau Bintan Foto kondisi mangrove di Pulau Mamot Peta lokasi ijin usaha penambangan di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga Mekanisme pelapukan dan sedimentasi akibat perubahan bukaan lahan di daratan yang berpengaruh hingga perairan laut Perubahan luas bukaan lahan dapat dipantau dari kenampakan citra satelit Grafik produksi bahan tambang (bauksit, granit, pasir) di Kabupaten Bintan dan Bintan Timur Baga alir tahapan penambangan bijih bauksit hingga pengapalan Bagan alir tahapan pencucian bijih bauksit Citra Landsat (2002) dan ALOS (2008) di daerah Pulau Bintan dan sekitarnya yang memperlihatkan jejak galian bauksit, granit, pasir darat Citra ALOS (2008) di daerah Pulau Bintan dan sekitarnya yang memperlihatkan lahan perkebunan, pemukiman Penafsiran citra landsat (541 dan 457, tahun 2002) di daerah sekitar Pulau Mamut, Kepulauan Lingga Peta analisis tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan berdasarkan citra landsat Peta analisis tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan berdasarkan ALOS band (1,2,3)

IV - 6 IV - 11 IV - 11 IV - 12 IV - 12 IV - 13 IV - 14 IV - 20 IV - 21 IV - 22 IV - 22 V-2

V-4 V-4 V-5 V-6 V-7

Gambar 5.3 Gambar 5.4 Gambar 5.5 Gambar 5.6 Gambar 5.7

V - 10 V - 11 V - 12

Gambar 5.8 Gambar 5.9 Gambar 5.10 Gambar 5.11

V - 13

xii

Gambar 5.12

Peta pola sebaran tingkat kekeruhan di perairan timur Pulau Bintan berdasarkan model perhitungan dengan menggunakan hukum stokes ............................................................................ Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot berdasarkan indikator parameter fisik air Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot berdasarkan indikator parameter kimia air Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot berdasarkan indikator kandungan unsur logam berat ............................................................................... Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot berdasarkan indikator biota perairan Terumbu karang dan padang lamun di sekitar lokasi dermaga (jeti) di perairan pesisir timur Pulau Bintan ............................... Peta korelasi dampak aktivitas manusia dengan ancaman terhadap kemungkinan perubahan kondisi perairan timur Pulau Bintan .........................................................................................

V - 18 V - 21 V - 23

Gambar 5.13 Gambar 5.14 Gambar 5.15

V - 25 V - 27 V - 29

Gambar 5.16 Gambar 5.17 Gambar 5.18

V - 30

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 3.3 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7. Tabel 4.8 Tabel 4.9 Tabel 5.1

Penggunaan lahan di Kabupaten Bintan ........................................ Penggunaan lahan di Kabupaten Lingga ....................................... Prediksi geolombang laut, arah dan kecepatan angin serta arus laut di beberapa perairan pada bulan Juli 2010 ............................ Hasil analisis kimia sample bijih bauksit (Kijang 1, Kijang 2, Mamot) ........................................................................................... Hasil analisis densitas contoh bijih bauksit Pulau Bintan dan Pulau Mamot .................................................................................. Jenis, lokasi, luas dan kondisi bahan tambang di Kabupaten Bintan ............................................................................................. Jenis bahan tambang, nama perusahaan, lokasi dan kondisi (2010) di Kabupaten Lingga ........................................................... Hasil analisis parameter fisik perairan ............................................ Hasil analisis parameter kimia perairan .......................................... Hasil analisis kandungan unsur logam berat perairan ................... Hasil pencacahan phytoplankton/liter ............................................. Hasil pencacahan zooplankton/liter ................................................ Waktu dan jarak transport zat padat tersuspensi ...........................

III - 13 III - 18 III - 25 IV 5 IV 6 IV 8 IV - 9 IV - 14 IV - 15 IV - 16 IV - 17 IV - 18 V - 17

xiv

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian

BAB - I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki sekitar 17.508 pulau besar dan kecil, dengan garis pantai sepanjang lebih kurang 81.000 km. Secara keseluruhan, Indonesia memiliki luas terumbu karang lebih dari 60.000 km2 yang memiliki 70 genera dan 500 jenis karang. Keanekaragamman tersebut diantaranya terdiri dari karang batu yang berjumlah lebih dari 450 jenis, karang lunak sebanyak 210 jenis serta 350 jenis gorgonian. Potensi keanekaraman terumbu karang ini menyimpan sebanyak 53 % dari potensi terumbu karang dunia, yang terdiri dari 3000 jenis species. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Indonesia menjadi pusat keberadaan keanekaragaman hayati termasuk diantaranya adalah ekosistem terumbu karang (coral reef), padang lamun (sea grass) dan vegetasi bakau (mangrove) yang perlu dilindungi dari berbagai tekanan dan ancaman kerusakan. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, sebagian kawasan pesisir (pantai) khususnya yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dengan jumlah tingkat kepadatan penduduk relatif tinggi telah mengalami tingkat kerusakan (degradasi) yang cukup parah. Beberapa kawasan terumbu karang dan hutan bakau di Indonesia telah banyak yang mengalami kerusakan yang dikonversikan menjadi pemukiman, kawasan industri untuk kepentingan pembangunan tanpa adanya kontrol baik dari pemerintah daerah maupun masyarakat. Diperkirakan sekitar 10 % terumbu karang dunia dalam keadaan rusak, demikian pula tidak jauh berbeda dengan kondisi terumbu karang di Indonesia. Hasil studi Pusat Penelitian Oceanologi (P2O), 1997, (dalam Soetopo T dan Sudiyono, 2009), menyebutkan bahwa terumbu karang di Indonesia cukup memprihatikan, mengingat kondisi terumbu karang yang sangat baik hanya tinggal 5.23 %, selebihnya 24.26 % dalam kondisi baik, 37.34 % dalam kondisi cukup dan 33.17 % dalam kondisi kurang baik atau rusak. Tingkat kerusakan terumbu karang di Indonesia sudah dalam batas yang sangat mengkhawatirkan, sebagai akibat adanya berbagai tekanan dan ancaman baik oleh kondisi alam maupun akibat kegiatan manusia. Tingkat ancaman kerusakan terumbu karang tersebut, khususnya bagi perairan di wilayah kajian termasuk kategori sedang hingga tinggi. Secara alami kerusakan terumbu karang bisa disebabkan oleh adanya badai, perubahan suhu yang ekstrim, tsunami maupun oleh adanya pemangsa (predator)

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

I-1

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian

seperti bintang laut pemakan karang (Dahuri, 1996). Sedangkan kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan racun seperti sianida dan potasium. Ekskploitasi terumbu karang yang berlebihan untuk berbagai kepentingan seperti cinderamata (perhiasan) dan bahan baku fondasi bangunan rumah. Disamping itu, kerusakan terumbu karang juga bisa dikarenakan terjadinya siltasi dan sedimentasi akibat pengerukan dan penimbunan pantai untuk konstruksi pembangunan infrastruktur (pemerintah) dan bangunan komersial (hotel), pembukaan lahan perkebunan dan aktivitas penambangan. Menyikapi kerusakan terumbu karang tersebut, pemerintah Indonesia membuat program yang berkaitan dengan pengelolaan terumbu karang yang disebut sebagai : COREMAP (Coral Reef management and Program) yang dalam pendanaannya didukung oleh ADB (Asean Development Bank). Program tersebut secara nasional bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam meningkatkan pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang agar sumber daya laut dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat (lokal). Dalam konteks ini, dilakukannya kajian di kawasan perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot (Lingga), mengingat di sekitar wilayah perairan tersebut banyak dilakukan aktivitas penambangan bauksit. Kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan bauksit di Pulau Bintan dan Pulau Lingga, pada umumnya belum menerapkan konsep pengelolaan pertambangan yang baik dan benar (good mining practice) sehingga dapat menimbulkan dampak lingkungan terhadap wilayah di sekitar pertambangan tersebut. Disatu sisi kegiatan tersebut berdampak positif, yakni dapat memberikan konstribusi dalam penyediaan lapangan kerja serta meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) di wilayah tersebut, namun disisi lain juga berdampak negatif, yaitu dapat mengakibatkan terjadinya degradasi kualitas air permukaan (sungai) yang mengalir menuju ke perairan laut. Dampak negatif aktivitas penambangan tersebut, antara lain dapat menyebabkan terjadinya perubahan kualitas air laut di perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot (Kepulauan Lingga) yang memiliki ekosistem terumbu karang yang harus di lindungi. Berdasarkan peta konservasi terumbu karang dunia (Asia Tenggara), perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot (Kepulauan Lingga) mempunyai tingkat ancaman kerusakan ekosistem terumbu karang termasuk kategori sedang hingga tinggi. Ancaman terjadinya kerusakan tersebut dapat terjadi sebagai akibat baik karena proses alami maupun ancaman yang paling besar sebagai akibat kegiatan manusia, seperti aktivitas pembukaan lahan kehutanan dan pertambangan. Sementara

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

I-2

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian

ini, hasil pemantauan terhadap pertumbuhan terumbu karang di wilayah tersebut (Program Coremap II) dari tahun ke tahun menunjukkan adanya penurunan yang cukup signifikan. Oleh karena itu, kajian ini perlu dilakukan untuk memberikan masukan bagi pemangkukepentingan (stakeholder) terutama dalam pengambilan keputusan (kebijakan) di masa mendatang.

1.2 Perumusan Masalah


Aktivitas pertambangan bauksit yang dilakukan di Pulau Bintan dan di sekitar Pulau Mamot (Lingga) tanpa menerapkan konsep pengelolaan pertambangan yang baik dan benar (good mining practice) dapat mengakibatkan terjadinya degradasi kualitas air permukaan yang mengalir menuju ke perairan (laut). Perubahan kualitas air laut seperti penurunan salinitas, peningkatan kekeruhan dan sedimentasi yang melebihi ambang batas yang telah ditetapkan KLH sebagai akibat adanya kegiatan pertambangan tersebut kemungkinan besar dapat mengganggu pertumbuhan terumbu karang. Permasalahannya : Sejauhmana korelasi antara degradasi kualitas air laut sebagai akibat adanya kegiatan penambangan bouksit di daerah Kijang (Pulau Bintan) dan di daerah sekitar Pulau Mamot dengan kemungkinan menurunnya pertumbuhan terumbu karang di perairan pesisir timur Pulau Bintan dan sekitar perairan pesisir Pulau Mamot (Kepulauan Lingga)?

1.3 Maksud dan Tujuan


Maksud kajian adalah untuk mempelajari sejauhmana aktivitas penambangan bauksit tersebut berdampak atau mengancam terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang di perairan pesisir timur Pulau Bintan dan sekitar perairan pesisir Pulau Mamot (Kepulauan Lingga). Sedangkan tujuan kajian adalah memperoleh korelasi antara dampak aktivitas penambangan dengan kemungkinan perubahan ekosistem perairan dan menurunnya pertumbuhan terumbu karang di sekitar perairan pesisir timur Pulau Bintan dan sekitar perairan pesisir Pulau Mamot (Kepulauan Lingga).

1.4 Manfaat Kajian


Hasil kajian tersebut berupa basis data beserta analisisnya yang mempunyai strategis yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pemangku kepentingan (stakeholder), terutama sebagai bahan pertimbangan (masukan) dalam pemengambilan keputusan (kebijakan).

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

I-3

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian

1.5 Ruang Lingkup


Ruang lingkup kajian meliputi berbagai aspek teknologi penambangan dan pengolahan serta perlindungan lingkungan di wilayah pertambangan bauksit di Pulau Bintan dan

sekitar Pulau Lingga. Kondisi umum seperti kondisi geologi, tutupan lahan, iklim, arus dan gelombang laut serta faktor-faktor lingkungan perairan seperti kualitas fisik dan kimia air, biota perairan yang berperan terhadap perubahan ekosistem terumbu karang di perairan pesisir timur Pulau Bintan dan sekitar perairan pesisir Pulau Lingga.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

I-4

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

BAB - II METODOLOGI

2.1 Kerangka Pikir


Pertumbuhan terumbu karang dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik lingkungan yang membentuk ekosistem terumbu karang, diantaranya adalah suhu, kedalaman, cahaya, salinitas, sedimentasi, gelombang dan arus serta paparan udara terbuka. Secara ideal, pertumbuhan terumbu karang dapat berlangsung pada suhu air rata-rata diatas 18o C, yakni pada kondisi optimal : 23-25o C dan suhu maksimal yang dapat ditolerir : 36-40o C. Kedalaman perairan kurang dari 50 m, dan kondisi optimal kurang dari 25 m. Salinitas air konstan berkisar antara : 30-36 o/oo, dan perairan yang cerah, bergelombang besar serta bebas dari sedimen. Menurut Veron (1995) dan Wallace (1998), ekosistem terumbu karang sangat unik karena hanya terdapat di perairan tropis dan sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan dan memerlukan kualitas perairan yang alami (pristine). Perubahan ekosistem terumbu karang dapat terjadi baik karena peristiwa alami maupun karena akibat ulah manusia. Seperti perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis pada tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian karang secara massal. Sementara perubahan ekosistem terumbu karang akibat aktivitas manusia, seperti pembukaan lahan untuk aktivitas penambangan yang pada ujungnya dapat berdampak terhadap perubahan (degradasi) kualitas perairan laut dangkal. Perubahan kualitas air laut, seperti penurunan salinitas, peningkatan kekeruhan dan sedimentasi yang melebihi ambang batas sebagai akibat adanya kegiatan pertambangan dapat mengganggu pertumbuhan terumbu karang. Nilai ambang batas salinitas (32-35 o/oo) merupakan salinitas dimana terumbu karang dapat bertahan hidup. Sedangkan arus laut membawa nutrien dan bahan-bahan organik yang diperlukan oleh karang dan zooxanthellae, namun jika kelebihan nutrien (nutrient overload) berkonstribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap karang. Namun arus dan gelombang juga dapat menyebabkan terjadinya sedimentasi di perairan terumbu karang dan menutupi permukaan karang sehingga berakibat pada kematian terumbu karang.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

II - 1

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Faktor cahaya dan kedalaman perairan berperan penting untuk kelangsungan proses foto sintesis oleh zooxantellae yang terdapat di dalam jaringan karang. Kecerahan berhubungan dengan penetrasi cahaya, kecerahan tinggi membuat penetrasi cahaya menjadi tinggi. Tingginya penetrasi cahaya mengakibatkan produktivitas perairan menjadi tinggi. Sedangkan paparan udara (aerial exposure) merupakan faktor pembatas karena dapat mematikan jaringan hidup dan alga yang bersimbiosis didalamnya. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa potensi terjadinya degradasi kualitas perairan dan ekosistem terumbu karang lebih sering disebabkan oleh adanya aktivitas manusia, seperti pembukaan lahan pertambangan dan perkebunan. Dengan demikian, perlu dilakukan kajian dampak aktivitas penambangan bauksit di Pulau Bintan dan di Pulau Lingga korelasinya dengan kelestarian ekosistem terumbu karang di perairan

pesisir timur Pulau Bintan dan di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot (Lingga). Pendekatan permasalahan kajian dilakukan melalui analisis citra landsat untuk mendeleniasi sebaran kekeruhan di wilayah kajian, yakni : baik wilayah potensi sumber dampak (aktivitas penambangan) maupun wilayah yang berpotensi terkena dampak (ekosistem perairan terumbu karang). Selanjutnya dilakukan survey lapangan untuk mengecek hasil analisis tersebut, serta dilakukan pengukuran parameter fisik, kimia air dan unsur logam berat serta biota perairan. Disamping itu, juga dilakukan pengambilan (sampling) terhadap beberapa conto air (5 sample) dan plankton untuk keperluan analisis fisik, kimia air dan unsur logam berat serta biota perairan di laboratorium. Disamping itu juga dilakukan sampling terhadap conto bijih bauksit untuk mengetahui komposisi mineral dan komposisi kimia serta karakter bijih yang meliputi ukuran butir dan densitasnya. Guna mendukung analisis tersebut dilakukan juga kompilasi data sekunder baik melalui koordinasi institusi maupun studi literatur.

2.2 Hipotesis
Terdapat korelasi antara dampak aktivitas penambangan bauksit di daerah Kijang (Pulau Bintan) dan di sekitar Pulau Mamot (Lingga) jika dilakukan tanpa pengelolaan pertambangan yang baik dan benar, dengan kemungkinan terjadinya perubahan ekosistem dan bahkan menurunnya pertumbuhan terumbu karang di perairan pesisir timur Pulau Bintan dan di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot (Kepulauan Lingga).

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

II - 2

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

2.3 Metoda
Metoda untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan melalui analisis citra landsat dan survey lapangan guna mengidentifikasi aktivitas penambangan sebagai sumber dampak, sampling dan pengukuran parameter fisik air permukaan dan air laut di wilayah perairan yang diprediksi terkena dampak. Guna mendukung analisis data tersebut diperlukan: citra landsat, peta rupabumi, geologi, batimetri, tinggi gelombang dan arah arus laut, iklim yang mencakup data curah hujan, arah angin serta kabijaksanaan tata ruang, sebaran bahan tambang dan aktivitasnya, peta fungsi lahan dan kawasan konservasi. Disamping itu, juga dilakukan koordinasi dengan dinas terkait untuk memperoleh data sekunder serta data sekunder lainnya melalui studi literatur tentang laporan-laporan dan tulisan ilmiah mengenai kondisi sosial-ekonomi-budaya di kedua wilayah kajian tersebut secara komprehensif.

2.4 Tahapan Kegiatan


Tahapan kegiatan yang akan dilakukan secara rinci disajikan dalam bentuk bagan alir (Gambar 2.1) yang meliputi : pengumpulan data sekunder melalui studi literatur, pengumpulan data primer melalui persiapan lapangan, survey lapangan, dan kegiatan analisis di laboratorium, pengolahan dan evaluasi data serta penyusunan laporan.

2.4.1

Pengumpulan Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi literatur dan penelusuran data melalui internet, serta berkoordinasi dengan dinas terkait untuk memperoleh data sekunder yang relevan dengan ruang lingkup wilayah kajian, seperti citra landsat, ALOS atau sejenisnya, peta rupabumi, peta geologi, tutupan lahan, curah hujan, batimetri, arus dan gelombang laut serta data sosial-ekonomi masyarakat pesisir.

2.4.2

Pengumpulan Data Primer

Persiapan Lapangan Persiapan lapangan dilakukan melalui analisis citra landsat di studio guna menentukan batas wilayah studi, lokasi tambang, deliniasi sebaran tingkat kekeruhan, potensi dampak perubahannya. Merencanakan titik-titik sampling air permukaan, jumlah sample, menentukan parameter fisik dan kimia air serta jenis unsur logam berat yang akan dianalisis di laboratorium. Tahapan kegiatan secara rinci disajikan pada bagan alir Gambar 2.2.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

II - 3

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Studi literatur

Penyusunan KAK

KAK & RAB

Persiapan lapangan

Analisis citralandsat

Perubahan kualitas perairan, lokasi titik sampling

Survey lapangan

Identifikasi, pengukuran , sampling

Teridentifikasi sumber dampak & wilayah terkena dampak, sample Parameter kimia fisik air & biota air dan teristrikal

Kegiatan laboratorium

Analisis sample

Pengolahan data

Analisis korelasi

Kesimpulan dan saran

Evaluasi data

Penyusunan laporan

Laporan

Gambar 2.1 Bagan alir tahapan kegiatan kajian

Survey lapangan Survey lapangan dilakukan di kedua wilayah kajian tersebut selama 14 hari guna memperoleh data primer yang meliputi identifikasi aktivitas penambangan dan perlindungan lingkungan, sampling air permukaan dan air laut, sedimen, pengukuran parameter fisik air di wilayah studi, serta berkoordinasi dengan dinas terkait sesuai dengan ruang lingkup ke-dua wilayah kajian tersebut untuk memperoleh data sekunder. Disamping itu juga dilakukan pengamatan lapangan secara diskriptif dan difokuskan pada komponen ekologi seperti gambaran terumbu karang, padang lamun, mangrove, dan hidrologi, dan gejala-gejala fenomena alam yang terjadi seperti sedimentasi, degradasi lahan, erosi dan kekeruhan. Penentuan posisi geografis lokasi pengamatan dilakukan dengan menggunakan instrumentasi standard berupa GPS dan peta topografi Bakosurtanal.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

II - 4

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

TAHAP PERSIAPAN LAPANGAN

Peta lokasi : Wilayah Perairan Pesisir Timur Pulau Bintan Peta Dasar Kajian Peta Geologi Peta Rupabumi Peta Lokasi Tambang Data Curah hujan Laju, Arah Arus, Gelombang Laut, Peta Batimetri

MENENTUKAN WILAYAH KAJIAN

Peta lokasi : Wilayah Perairan Pesisir Kepulauan Lingga Utara Peta Dasar Kajian Peta Geologi Peta Rupabumi Peta Lokasi Tambang Data Curah hujan Laju, Arah Arus, Gelombang Laut, Peta Batimetri

MENENTUKAN BATASAN WILAYAH KAJIAN

Peta Pola Sebaran Tingkat Kekeruhan, Titik Sampling Air, Peta Ancaman Kerusakan Ekologi Terumbu Karang

ANALISIS CITRALANDSAT

Peta Pola Sebaran Tingkat Kekeruhan, Titik Sampling Air, Peta Ancaman Kerusakan Ekologi Terumbu Karang

PETA TEMATIK

Gambar 2.2 Bagan alir tahap persiapan lapangan

Analisis di laboratorium Analisis di laboratorium dilakukan terhadap conto bijih bauksit untuk mengetahui komposisi mineral, komposisi kimia dan analisis ukuran butir serta densitas. Sementara analisis conto air dilakukan untuk mengetahui parameter fisik dan kimia air serta kandungan unsur logam berat. Parameter kimia dan fisika yang memiliki sifat cepat

berubah, seperti pH, temperatur, oksigen terlarut (DO), daya hantar listrik (DHL), dan bikarbonat, pengukuran dan analisis kimia dilakukan di lapangan. Sementara analisis kimia seperti bikarbonat, klorida, zat organik, oksigen terlarut, COD, kalsium, dan magnesium dilakukan secara volumetri. Nitrat, nitrit, ammonium, boron, sulfida, posfat, silikat fluorida, secara spektrofotometri sinar tampak. Sulfat dan kekeruhan secara turbidimetri, dan logam berat secara spektrofotometri serapan atom (AAS). Disamping itu juga dilakukan analisis terhadap conto biota perairan, seperti jumlah toksa plankton.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

II - 5

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

2.4.3

Pengolahan dan Evaluasi Data

Pengolahan data primer dilakukan melalui analisis sample di laboratorium, sedangkan data sekunder dianalisis guna melengkapi data primer. Data-data tersebut digunakan untuk mendukung dalam analisis korelasi antara aktivitas penambangan dengan perubahan ekosistem perairan serta korelasinya dengan kemungkinan menurunnya pertumbuhan terumbu karang di sekitar kedua wilayah kajian tersebut. Hasil analisis data, disajikan sedemikian rupa dalam bentuk laporan teknis yang mencakup narasi, tabel, grafik, foto maupun dalam bentuk peta tematik guna menjawab permasalahan tersebut.

2.4.4 Penyusunan Laporan Laporan disusun berdasarkan format dan jumlah yang telah disepakati bersama. Luaran hasil kajian berupa buku laporan sebagai bentuk pertanggungjawaban kegiatan dan karya tulis ilmiah.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

II - 6

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

BAB - III TINJAUAN UMUM WILAYAH KAJIAN

3.1 Lokasi Wilayah Kajian


3.1.1 Dasar Pemilihan Lokasi

Berdasarkan Atlas of ADB Project Implementation Area (2006), di wilayah Indonesia Bagian Barat terdapat 8 simpul lokasi konservasi perairan terumbu karang yang pada umumnya meliputi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Sumatera. Kedelapan (8) simpul lokasi konservasi tersebut (Gambar 3.1), yakni: Provinsi Sumatera Utara (Kabupaten Tapanuli Tengah, Nias dan Nias Selatan), Provinsi Sumatera Barat (Kabupaten Kepulauan Mentawai), Provinsi Kepulauan Riau (Kota Batam, Kabupaten Bintan, Lingga dan Natuna). Kawasan konservasi tersebut, khususnya bagi wilayah Indonesia yang terletak di segitiga karang dunia (coral triangle) merupakan ekosistem terumbu karang yang amat kaya akan keanekaragaman hayati (jenis fauna dan flora laut) yang perlu dilindungi dan dilestarikan. Secara keseluruhan, Indonesia memiliki luas terumbu karang lebih dari 60.000 km
2

yang memiliki 70 genera dan 500 jenis karang. Keanekaragamman tersebut

diantaranya terdiri dari karang batu yang berjumlah lebih dari 450 jenis, karang lunak 210 jenis serta 350 jenis gorgonian. Potensi keanekaraman terumbu karang ini menyimpan sebanyak 53 % dari potensi terumbu karang dunia, yang terdiri dari 3000 jenis species. Namun demikian, kondisi terumbu karang di Indonesia cukup memprihatikan mengingat kondisi terumbu karang yang sangat baik hanya tinggal 5.23 %, selebihnya 24.26 % dalam kondisi baik, 37.34 % dalam kondisi cukup dan 33.17 % dalam kondisi kurang baik atau rusak. Berbagai ancaman cukup serius terhadap kerusakan terumbu karang tersebut, baik ancaman yang berasal dari aktivitas manusia melalui penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, penggunaan bom dan sianida, pembukaan lahan untuk perkebunan dan penambangan, maupun ancaman lainnya yang berasal dari aktifitas alam. Kerentanan ekosistem terumbu karang akibat berbagai aktivitas manusia terus memaksa terdegradasinya terumbu karang. Tingkat kerentanan terumbu karang di Indonesia terhadap ancaman kerusakan diperlihatkan pada Gambar 3.2.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 1

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Gambar 3.1

Peta kawasan konservasi terumbu karang di perairan Indonesia Bagian Barat

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 2

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Gambar 3.2 Peta tingkat ancaman kerusakan terumbu karang di perairan Indonesia Berdasarkan uraian tersebut, maka kawasan konservasi terumbu karang di perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot dipilih sebagai lokasi kajian. Sebagai dasar pertimbangan bahwa perairan tersebut di satu sisi merupakan kawasan koservasi perairan yang mempunyai ciri khas tertentu yang ideal untuk tujuan penelitian (ilmu pengetahuan) yang menunjang budidaya perikanan, kelautan, pariwisata, namun disisi lain juga rentan terhadap ancaman kerusakan akibat aktivitas pertambangan disekitar perairan tersebut. Wilayah Kecamatan Bintan Timur merupakan wilayah kawasan pertambangan bauksit, granit, pasir darat (Bappeda Kabupaten Bintan, 2010). Sedangkan Pulau Mamut dan Pulau Senayang di rencanakan akan dilakukan eksplorasi dan eksploitasi tambang bijih bauksit (komunikasi dengan masyarakat Desa Mamut, 2010). . 3.1.2 Lokasi Daerah Kajian Terdapat 2 (dua) lokasi daerah kajian terpilih, yaitu : wilayah penambangan bauksit di daerah Kijang (Pulau Bintan) hingga perairan pesisir timur Pulau Bintan - Pulau Mapur,

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 3

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

dan wilayah penambangan bauksit di sekitar Pulau Mamot (Kepulauan Lingga) hingga perairan pesisir Pulau Mamot (Gambar 3.3). Secara regional kedua wilayah kajian tersebut termasuk wilayah administrasi Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau. Bagi kepentingan penelitian kelautan, lokasi daerah kajian di sekitar perairan pesisir timur Pulau Bintan terdapat 7 lokasi Daerah Perlindungan Laut (DPL). Sedangkan lokasi daerah kajian di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot terdapat 7 lokasi DPL. Lokasi DPL di ke-dua daerah kajian tersebut, secara jelas dapat dilihat pada peta Gambar 3.4

3.1.3 Kesampaian Daerah Kajian Kedua wilayah kajian dapat ditempuh dengan menggunakan pesawat terbang dari Bandung-Jakarta-Batam, dilanjutkan dengan menggunakan kapal ferri menuju Pulau Bintan dan/ atau Pulau Lingga. Sedangkan untuk survei di daratan ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat, sedangkan untuk perairan (laut) digunakan perahu jenis kepompong.

Gambar 3.3 Peta lokasi daerah kajian, yang meliputi wilayah perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot , Kepulauan Lingga

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 4

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Gambar 3.4

Peta lokasi daerah perlindungan laut (DPL) yang terletak di perairan timur Pulau Bintan dan perairan di sekitar Pulau Mamot

3.2 Kondisi Geologi


3.2.1 Geologi Regional

Berdasarkan hasil penafsiran dari citra landsat di daerah Bintan (Kabupaten Bintan) dan Lingga (Kabupaten Lingga), memperlihatkan bahwa jenis dan sebaran batuan bervariasi yang mengikuti bentuk, ciri-ciri tektur dan rona, baik tekstur kasar, sedang, maupun halus setara dengan sebaran jenis batuannya. Berdasarkan data-data yang diperoleh baik dari data sekunder maupun data primer hasil penafsiran citra landsat, susunan lapisan batuan di kawasan konservasi perairan di sekitar daerah Bintan Timur dan sekitar Lingga dapat diuraikan dari yang berumur tua ke muda sebagai berikut : 1. Batuan granit dan diorit yang terdiri dari granit Munjung dan Tanjung Buku, berwarna ke abuan, tektur kasar, berbutir kasar umumnya membentuk sebagai batolit. rbreksi vulkanik, lava, tufa yang dihasilkan dari aktifitas gunungapi Tersier. Penyebarannya di bagian Pulau Singkep dan di Pulau Bintan dan pulau disekitarnya.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 5

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

2. 3. 4. 5. 6. 7.

Kuarsit Bukit Duabelas yang terdiri dari kuarsa, sisipan filit dan batusabak. Formasi Tanjung Datuk berupa batupasir malihan, batulempung, lanau sisipan batu rijang dan berwarna abu kecoklat-coklatan. Formasi Pancar yang terdiri dari serpih kemerahan,urat kuarsa tipis, sisipan batupasir kuarsa berlapis baik dan konglomerat. Formasi Semarung terdiri dari batupasir arkose, berbutir kasar, berlapis baik, terkonsilidasi baik, sisipan batulempung. Formasi Goungon berupa batupasir tufan, batulanau, dan karbonan Endapan Aluvial yang terdiri dari kerikil, lanau, lempung. Struktur geologi yang berkembang, yaitu : patahan turun, mendatar dan beberap

lokasi patahan naik yang terdapat di Pulau Singkep (Suwarna, N dkk, 1989). Peta geologi yang menggambarkan kondisi geologi di wilayah kajian tersebut diperlihatkan padam Gambar 3.5. Berdasarkan kondisi geologi dan pola struktur geologi di daerah Bintan dan Lingga ditemukan indikasi adanya sebaran cebakan bouksit, bijih besi, timah, granit, andesit dan pasir darat yang cukup berpotensi untuk di usahakan penambangannya.

Gambar 3.5 Peta geologi daerah Bintan dan Lingga (PSG, 2002). 3.2.2 Genesa Bijih Bauksit Bijih bauksit secara umum merupakan sumber logam alumina (Al) yang dikenal dengan rumus kimia (Al2O3.2H2O) dengan sistem kristal oktahedral, sedangkan bentuk mineral lainnya berupa ikatan monohidrat seperti diaspore (Al2O3 H2O), bouhmite dan gibsite Al

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 6

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

(OH) 3. Namun pada kenyataannya di alam, secara umum mempunyai komposisi berbagai oksida logam, diantaranya terdiri dari oksida alumina (35 - 65 %) Al2O3; oksida besi (2 20 %) Fe2O3; silika bebas antara (2 - 10 %) SiO2; oksida titan (1 - 3 %) TiO2 dan air (10 30 %) H2O. Keterdapatan bijih bauksit di alam bisa berbentuk cebakan bijih bauksit primer dan cebakan bijih bauksit sekunder. Cebakan bijih bauksit primer terbentuk sebagai akibat proses magmatik dan hidrotermal yang kaya akan mineral yang mengandung alumina. Batuan sumber sebagai akibat proses magmatik, yakni berupa batuan beku yang mengandung mineral anorthosite [(Na,K) AlSi3O8] dan nepheline (Na3K,Al4Si4O16) dan syenite yang mengandung lebih dari 20 % Al2O3. Sementara oksida alumina produk dari alterasi hidrotermal pada batuan trachyte dan rhyolite pada daerah volkanik menghasilkan mineral alumnit [K,Al3 (SiO4)2(OH)2] yang mengandung sekitar 75 % Al2O3. Sedangkan cebakan bijih bauksit sekunder dapat terbentuk sebagai akibat proses metamorfosa dari mineral-mineral alumina silikat seperti andalusite, silimanite dan kianite (Al2SiO5). Cebakan bijih bauksit juga dapat terbentuk sebagai akibat proses pelapukan dari batuan primer yang bersifat feldspatik (nepheline), terangkut dan terjadi pengendapan. Berdasarkan letak pengendapannya, cebakan bijih bauksit sekunder dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yakni cebakan (endapan) bauksit residual, bauksit koluvial dan bauksit aluvial. Sementara berdasarkan lingkungan pengendapannya, cebakan bijih bauksit dapat diklasifikasikan sebagai cebakan bauksit pada batuan klastik kasar (misal: bouhmite); cebakan bauksit pada batuan karbonat berumur paleosin (terarosa), misalnya diaspore; cebakan bauksit pada batuan phosphate yang pada umumnya banyak mengandung mineral lempung (seperti monmorilonite dan atapulgite); cebakan bauksit pada batuan sedimen klastik yang banyak dijumpai pada lingkungan pengendapan sungai berstadium tua atau delta. Cebakan bauksit di daerah kajian termasuk jenis cebakan residual, merupakan hasil pelapukan (mengalami laterisasi) akibat pengaruh perubahan temperatur secara terus menerus dari batuan sumber (granite). Pada awal pelapukan, alkali tanah dan silikat akan larut dengan baik pada pH : 5 - 7 sebagai akibat delitifikasi. Demikian pula kaolin bebas akan larut dalam air yang bersifat asam. Proses ini menyesuaikan suasana basa lemah dari alumina, besi dan titan yang kemudian membentuk endapan aluvial. Sementara unsur yang mudah larut (Na, K, Mg dan Ca) dihanyutkan oleh air, warna hidroksida besi lambat laun akan berubah dari warna hitam menjadi coklat kemerahan dan akhirnya berwarna merah. Litifikasi akan membentuk laterit yang selanjutnya

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 7

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

mengalami proses pengkayaan hidroksida aluminium [Al(OH)3] dan dilanjutkan dengan proses dehidrasi sehingga mengeras menjadi bauksit.

3.3
3.3.1

Kebijaksanaan Tata Ruang


Kebijaksanaan Tata Ruang Provinsi Riau

Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) yang berhadapan langsung dengan Singapura menyebabkan pembangunan berjalan sangat cepat, sehingga dalam waktu mendesak penataan ruang perlu segera menyelesaikannya. Sementara ini, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) merupakan salah satu dari provinsi di Sumatera yang belum selesai penunjukan kawasan hutannya. Hal ini disebabkan karena Kepri merupakan provinsi baru (terbentuk tahun 2002), dan sedang dalam proses menyusun RTRWP. Percepatan penyelesaian tentang permasalahan penataan ruang ini akan mempercepat kepastian hukum terhadap pemanfaatan ruang. Kondisi eksisting Provinsi Kepulauan Riau, terutama Pulau Batam telah berubah dengan cepat. Banyak kawasan hutan yang telah berubah fungsi menjadi Ruko, real estate, fasilitas sosial dan fasilitas umum lainnya. Sementara di Pulau Bintan segera akan menyusul seperti yang terjadi di Pulau Batam, karena di pulau ini akan dijadikan pusat Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten Lingga yang berdampak terhadap perubahan peruntukan ruang. Berkaitan dengan hal tersebut Pusdalbanghut Regional I memfasilitasi pertemuan untuk percepatan proses penataan ruang Provinsi Kepri. Departemen Kehutanan berkepentingan terhadap legalitas RTRWP Kepri sehingga penunjukan kawasan hutan bisa dilaksanakan. Fasilitasi tersebut sejak tahun 2005 telah dilakukan beberapa kali dengan mengundang berbagai pihak antara lain dari Pusat (Direktur Depdagri, Direktur Penataan Ruang Wilayah Sumatera Departemen PU, Badan Planologi Departemen Kehutanan) dan Daerah (Kepala Bappeda Provinsi dan Kabupaten/ Kota se provinsi Kepri, Dinas-Dinas Teknis Provinsi/Kabupaten/Kota se Provinsi Kepri yang berkepentingan terhadap pemanfaatan ruang). Permasalahan umum dalam penataan ruang di Provinsi Kepulauan Riau antara lain: penataan ruang belum mendapat perhatian proposional, adanya konflik pemanfaatan, kewenangan yang belum jelas dan kurangnya koordinasi antar instansi. Rekomendasi penting yang perlu diperhatikan bagi Pemprov Kepri adalah perencanaan tata ruang Provinsi Kepulauan Riau harus memperhatikan kekhasan daerah antara lain : terdiri dari ribuan pulau termasuk pulau-pulau terluar, posisi strategis, berada di jalur perdagangan internasional serta kemungkinan ditetapkannya sebagai kawasan Defense

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 8

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Coorporation Agreement (DCA) antara Indonesia-Singapura. Penyusunan rencana tata ruang Wilayah Kepri agar selalu memperhatikan dan mengacu pada keberadaan kawasan hutan baik yang telah ditunjuk maupun yang telah ditetapkan. Apabila terjadi perubahan status/fungsi kawasan hutan agar dikonsultasikan ke Kementerian Kehutanan sejak dari awal. Selain hal tersebut perlu diperhatikan pula situs-situs budaya melayu di Pulau Lingga, kawasan mangrove di pulau-pulau kecil, dan pulau-pulau terluar. Implementasi di lapangan sering terjadi perbenturan antar sektor karena terjadi perbedaan interpretasi peta. Untuk itu dalam penyusunan tata ruang wilayah diperlukan kesamaan sumber peta yang sama yang dapat diacu oleh semua sektor yaitu peta dari Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Berkaitan dengan hal tersebut Departemen Kehutanan telah bekerjasama dengan BAKOSURTANAL untuk membuat peta dasar tematik berbasis citra. Pengalaman menunjukkan masih sering terjadinya perbenturan antar sektor dalam pemanfaatan ruang. Untuk itu perlu dibentuk suatu forum sebagai wadah koordinasi antar sektor. Oleh karena itu direkomendasikan agar pemerintah Provinsi Kepri agar mendorong pembentukan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKTRD) tingkat Kabupaten/Kota untuk mempercepat sinkronisasi dan harmonisasi penataan ruang Kabupaten/Kota.

3.3.2

Kebijaksanaan Tata Ruang Kabupaten Bintan

Kabupaten Bintan yang terletak berdekatan dengan negara tetangga, yaitu Singapura dan Malaysia menjadikan peluang bagi pengembangan daerah dengan prinsip persamaan dan saling menguntungkan. Disamping letak yang sangat strategis, Kabupaten Bintan juga mempunyai potensi kawasan budidaya dari berbagai sektor, yakni sektor perikanan, pertambangan, pariwisata, pertanian dan industri. Kebijaksanaan tata ruang yang mencakup tentang pengelolaan dan pemanfaatan ruang kawasan budidaya tersebut, diperlukan strategi pengembangan wilayah yang selaras dengan tujuan kebijaksanaan pengembangan wilayah regional baik tingkat propinsi maupun tingkat nasional, yaitu berupa : Mempercepat tingkat pertumbuhan ekonomi dan pertahanan dan keamanan di sekitar Batam termasuk diantaranya Kabupaten Bintan. Mempromosikan pusat-pusat pertumbuhan baru melalui struktur dan pola pemanfaatan ruang sesuai dengan potensi masing-masing wilayah. Mengoptimalkan laju pembangunan sektoral dan daerah sehingga dapat mengurangi melebarnya kesenjangan perkembangan pembangunan antar daerah di wilayah kepulauan.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 9

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Menyediakan

dan

mendistribusikan

sarana

dan

prasarana

pelayanan

yang

mendukung pengembangan wilayah di Kepulauan Riau. Keterkaitan dengan tujuan tersebut, maka diperlukan strategi pengembangan wilayah di Kabupaten Bintan, diantaranya adalah : 1. Menjaga dan menciptakan keserasian pemanfaatan ruang diantara berbagai kepentingan untuk mendukung perkembangan antar sektor dan antar kawasan yang seimbang dalam suatu kesatuan wilayah, ke arah terwujudnya tata ruang berkualitas dan terselenggaranya peraturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya. 2. Menyerasikan laju pembangunan antar kabupaten/kota untuk mengurangi kesenjangan perkembangan antar daerah dengan mengembangkan dan memperluas keterkaitan ekonomi dan ruang antar dan intra daerah, serta melakukan pembukaan isolasi wilayah untuk mengembangkan kawasan-kawasan tertinggal dan terpencil. 3. Mendorong pengembangan pusat-pusat pertumbuhan dan daerah sekitarnya serta meningkatkan keterkaitan ekonomi dan ruang antar kawasan untuk lebih memacu dan memeratakan perkembangan wilayah. 4. Mengembangkan pusat-pusat pemukiman di wilayah pesisir secara selektif, terkoordinasi dan terpadu dengan sistem pusat-pusat permukiman yang sudah berkembang di wilayah darat sebagai basis dukungan bagi upaya mendayagunakan dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan yang ada di daerah. 5. Menyelenggarakan penataan ruang wilayah pesisir dan lautan termasuk didalamnya laut perbatasan negara bagi kemakmuran rakyat yang meliputi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang secara terpadu dan tak terpisahkan dari ruang daratan dengan memperhatikan kepentingan sektoral dan daerah untuk mewujudkan tata ruang wilayah pesisir dan lautan yang berkualitas dan berwawasan lingkungan. 6. Menyelenggarakan penataan ruang udara termasuk didalamnya ruang udara perbatasan negara yang meliputi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang udara secara terpadu dan tak terpisahkan dari ruang daratan, pesisir dan lautan untuk mewujudkan tertib pemanfaatan ruang udara bagi berbagai kepentingan. 7. Menegaskan fungsi-fungsi ruang di wilayah daratan, pesisir, lautan serta wilayah udara untuk mewujudkan perlindungan terhadap fungsi ruang dan untuk mencegah

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 10

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

serta menanggulangi kemungkinan dampak negatif terhadap lingkungan, termasuk penetapan spesifikasi ruang dan peruntukkannya. Berdasarkan data yang diperoleh dari Bappeda Kabupaten Bintan, penggunaan peruntukan lahan seperti disajikan pada Tabel 3.1 dan Gambar 3.6. Tabel 3.1 Penggunaan lahan di Kabupaten Bintan

No 1 2 3 4 5 6 7 8

Landuse Hutan primer dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan mangrove Tegalan Semak belukar Pemukiman Lahan terbuka Pertambangan Jumlah

Luas ( Ha ) 3.949 13.203 8.244 17.794 57.256 5.812 1.795 7.845 115.898

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 11

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Gambar 3.6

Peta Rencana Tata Ruang Kabupaten Bintan

Sementara berdasarkan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah dituangkan dalam peraturan daerah Kabupaten Bintan Nomor 14 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bintan tanggal 23 Agustus 2007. Diantaranya menetapkan : a. Rencana Struktur Tata Ruang Wilayah yang meliputi : - Rencana Kawasan Lindung dan Budidaya - Rencana Sistem Kota-kota - Rencana Sistem Prasarana Wilayah b. Rencana Pemanfaatan Ruang Daerah yang meliputi : - Kawasan Lindung - Kawasan Budaya c. Rencana Pengembanga Kawasan Strategis dan Kawasan Prioritas : - Kawasan Strategis - Kawasan Prioritas Strategi Pengelolaan Kawasan Lindung :

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 12

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

1.

Strategi pemanfaatan kawasan lindung meliputi langkah-langkah pengelolaan kawasan lindung yang bertujuan untuk mencegah timbulnya dampak negatif pada lingkungan hidup dan melestarikan fungsi lindung kawasan yang memberikan perlindungan kawasan dibawahnya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan pelestarian budaya dan kawasan lindung lainnya.

2.

Untuk kawasan lindung strategi pengelolaan yang dilakukan adalah berupa pemanfaatan dan pengendalian kawasan lindung yang berfungsi untuk wilayah daerah maupun untuk wilayah yang lebih luas, yaitu Provinsi Kepulauan Riau.

3.3.3

Kebijaksanaan Tata Ruang Kabupaten Lingga

Kebijaksanaan Tata Ruang Kabupaten Lingga tidak jauh berbeda dengan Kebijaksanaan Tata Ruang di Kabupaten Bintan, karena Kabupaten Lingga merupakan kabupaten yang baru terbentuk dari hasil pemekaran. Berdasarkan data yang diperoleh Bappeda Kabupaten Lingga, penggunaan peruntukan lahan seperti disajikan pada Tabel 3.2 dan Gambar 3.7 dan model strateginya diperlihatkan pada Gambar 3.8.

Gambar 3.7 Peta Rencana Tata Ruang Kabupaten Lingga

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 13

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Gambar 3.8 Peta Strategi Rencana Tata Ruang Kabupaten Lingga Tabel 3.2 Penggunaan lahan di Kabupaten Lingga

No 1 2 3 4 5 6 7 8

Landuse Hutan primer dataran rendah Hutan dataran rendah Hutan mangrove Tegalan Semak belukar Pemukiman Lahan terbuka Pertambangan Jumlah

Luas ( Ha ) 7.361 73.250 2.334 492 1.403 385 103 189 85.517

Pada Gambar 3.8 tersebut, terlihat bahwa Pulau Mamot terletak di antara 2 (dua) model strategi pengembangan dan pemanfaatan lahan, yakni :

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 14

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

1.

Pada bagian timur Pulau Mamot pada umumnya diperuntukkan sebagai : Koleksi dan distribusi hasil perikanan dan kelautan Kawasan pertanian, perkebunan dan perikanan Minapolitan Perumahan dan permukiman.

2.

Pada bagian timur Pulau Mamot pada umumnya diperuntukkan sebagai : Pengembangan kegiatan pertanian Kawasan pertanian, perkebunan dan perikanan Pusat koleksi dan distribusi hasil pertanian Simpul pelayanan transportasi lokal Perumahan dan permukiman

3.

Berdasarkan model strategi tersebut dapat ditarik model strategi pengembangan dan pemanfaatan Pulau Mamot sebagai : Koleksi dan distribusi hasil perikanan dan kelautan Kawasan pertanian, perkebunan dan perikanan Pusat koleksi dan distribusi hasil pertanian Simpul pelayanan transportasi lokal Perumahan dan permukiman

3.4

Kondisi Iklim

Sistem klasifikasi iklim di Indonesia pada umumnya mengacu klasifikasi Oldemann dan klasifikasi Schmidt & Fergusson, kedua klasifikasi ini didasarkan pada jumlah bulan basah dan bulan kering dalam setahun yang terjadi di suatu daerah. Parameter yang diperlukan antara lain curah hujan dan banyaknya hari hujan, arah dan kecepatan angin, suhu dan kelembaban. Iklim di wilayah kajian mengacu data iklim tahun 2009 yang diperoleh dari stasiun metereologi Hang Nadim yang merupakan stasiun terdekat.

3.4.1

Curah Hujan

Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt & Fergusson, wilayah kajian termasuk jenis iklim basah (type B), dengan Q berkisar antara : 20 - 33 %. Data curah hujan yang diperoleh dari stasiun Pos Pengamatan Tajung Pinang dan Lingga (Bappeda 2008), menunjukkan bahwa curah hujan rata-rata di daerah ini adalah 1500 - 3300 mm/tahun dan bulanan antara 135 280 mm/bulan (gambar 3.9 dan gambar 3.10). Bulan basah untuk daerah ini terjadi pada bulan Oktober hingga Maret, sedang bulan kering terjadi pada April hingga September. Dengan demikian daerah kawasan konservasi perairan pesisir timur Pulau

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 15

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot (Lingga) mempunyai bulan basah yang lebih banyak dari pada bulan keringnya.

Gambar 3.9

Grafik curah hujan di sekitar perairan pesisir timur Pulau Bintan (Kabupaten Bintan)

Grafih Curah Hujan Thn 2008 didaerah Lingga 350 300 250 200 150 100 50 0 Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des Bulan

mm

Gambar 3.10

Grafik curah hujan di sekitar perairan pesisir Pulau Mamut (Kabupaten Lingga)

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 16

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

3.4.2

Angin

Kondisi angin sangat dipengaruhi oleh sistem tekanan udara di Asia dan Australia sehingga dalam periode Bulan Desember sampai dengan Bulan maret angin rata-rata bertiup dari arah Baratdaya menuju Timurlaut, dengan kecepatan angin rata-rata sebesar 5.knot. Pada periode ini bertiup angin musim Barat yang dicirikan oleh hembusan angin yang kuat dan disertai besarnya amplitudo gelombang laut. Periode Mei sampai Oktober angin dominan bertiup dari arah Selatan dengan kecepatan berkisar antara 5-7 knot. Periode Mei sampai Agustus bertiup angin musim Timur, sementara periode bulan September Oktober adalah musim peralihan. Data arah angin dan kecepatan angin rata-rata bulanan tahun 2009 disajikan pada Gambar 3.11

3.4.3

Suhu dan Kelembaban

Suhu udara rata-rata bulanan tahun 2009 adalah 26,4o C, sedangkan suhu minimum berkisar antara 21,8 - 24,9o C, dan suhu maksimum berkisar antara 30,4 - 34,5o C. Kelembaban nisbi bulanan rata-rata antara 80 - 87 %, tekanan udara berkisar antara 1009,0 hingga 1011,4 MBS.

Gambar 3. 11

Peta arah dan kecepatan angin di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 17

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

3.5 Hidro oceanografi


Dalam konteks ini, gambaran tentang hidro-oceanografi mencakup kedalaman (batimetri), pola dan kecepatan arus, gelombang dan pasang surut air laut. Hidro-oceanografi ini perlu diketahui, mengingat bahwa penyebaran perairan. ediment, suhu, salinitas, zat hara, organisme air maupun tingkat kekeruhan air laut dipengaruhi oleh gerakan massa air di

3.5.1

Kedalaman (batimetri)

Berdasarkan peta laut yang dikeluarkan oleh Dinas Hidro Oceanografi TNI AL (Gambar 3.12), dapat diketahui bahwa perairan di wilayah kajian mempunyai dasar perairan dangkal dengan kedalaman antara 2 sampai 46 m kedalaman di bawah permukaan air laut (dpal).

3.5.2

Arus

Pola arus di wilayah kajian dan sekitarnya pada bulan Nopember.- Mei.berarah Baratlaut dan Tenggara, sementara pada bulan Juni September berarah Tenggara dan Baratlaut (gambar 3.13 ). Sementara dari hasil analisis progresif vector diagram di wilayah studi diperoleh data bahwa arus bergerak dan amper amper Baratlaut dan Tenggara atau berosilasi hanya antara dua arah tersebut. Kekuatan arus tersebut tercermin dua osilasi yang kuat lemah dengan dua puncak dalam waktu 24 jam. Nampak bahwa massa amper Baratlaut dan amper mencapai 10 km dalam waktu air cenderung mengalir sekitar 24 jam.

3.5.3

Gelombang

Gelombang atau ombak adalah pergerakan massa air (naik turun) yang dibangkitkan oleh angin, semakin kuat angin semakin besar pula gelombang yang dibangkitkan. Gelombang akan menjalar dan bereaksi pada saat mencapai kedalaman tertentu, dan berpotensi membentuk arus sepanjang pantai (longshore current). Beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi, panjang dan periode gelombang adalah kecepatan, arah, lama angin bertiup dan fetch. Gelombang dapat diprediksi berdasarkan significant wave method atau wave spectrum method. Berdasarkan prediksi gelombang laut pada bulan Jjuli 2010 seperti disajikan pada tabel 3.14 yang memperlihatkan tinggi gelombang perairan secara regional.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 18

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Gambar 3.12

Peta batimetri di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga

Gambar 3. 13 Peta arah dan kecepatan arus di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 19

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Tabel 3.3

Prediksi gelombang laut, arah dan kecepatan angin serta arus laut di beberapa perairan pada bulan Juli 2010

Berdasarkan hasil analisis kondisi gelombang di wilayah kajian menunjukkan bahwa nilai tinggi gelombang significant (H1) berkisar antara 25 hingga 75 cm dengan nilai rata-rata 50 cm. Sedangkan nilai periode gelombang significant (T1) diperoleh berkisar antara 2 - 5 detik dengan rata-rata 3 detik. Periode gelombang yang masih dibawah 4 detik dan tingginya bisa mencapai lebih dari 30 cm, dapat digolongkan sebagai jenis gelombang yang dibangkitkan oleh kekuatan angin lemah. Energi rata-rata yang diperoleh lebih kecil dari 8(cmsq), maka gelombang tersebut belum mampu menggerakkan kolom massa air sampai dekat dasar. Dengan demikian peran gelombang belum memberikan konstribusi terhadap turbulensi yang dapat mengaduk atau mengangkut sedimen dari dasar laut.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 20

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Gambar 3. 14

Peta tinggi gelombang di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga

3.5.4

Pasang surut

Pasang surut adalah fenomena naik turunnya paras muka air laut yang diakibatkan oleh gaya tarik menarik matahari dan bulan. Gaya tarik bulan mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan gaya tarik matahari. Pola pasang surut di sekitar lokasi kajian dipengaruhi oleh kondisi perairan sekitarnya. Tinggi pasang surut tidak dilakukan pengamatan, sementara tinggi pasang surut di wilayah kajian sekitar 0,7 sampai 3 m.

3.5.5

Suhu muka laut

Sebagai gambaran umum tentang suhu muka laut di Indonesia diilustrasikan dalam bentuk peta seperti terlihat pada gambar 3.15. Pada peta tersebut terlihat dengan jelas, bahwa suhu muka laut di Indonesia pada umumnya berkisar antara 28 30oC, dengan suhu muka laut tertinggi di kawasan perairan Indonesia bagian timur, sedangkan suhu muka laut di sekitar Kepulauan Riau berkisar antara 28 29oC. Sedangkan di perairan Batam dan sekitarnya pada umumnya masih dalam batas normal berkisar 0,5 s/d + 0,5oC.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 21

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

3.6

Ekosistem Perairan Laut Dangkal

Ekosistem perairan laut dangkal terdiri dari terumbu karang, padang lamun, hutan bakau, yang pada umumnya memiliki keanekaragaman jenis tumbuh-tumbuhan dan hewan yang sangat tinggi.

3.6.1

Terumbu Karang karang merupakan ekosistem khas daerah tropis yang mempunyai

Terumbu

keanekaragaman dan produktivitas yang tinggi.Nilai produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi tersebut dapat dibuktikan oleh banyaknya biota laut yang ditemui, seperti ikan , moluska, crustacea, echinodermata maupun rumput laut. Brown (1982), mengemukakan bahwa tingkatan produktivitas primer terumbu karang adalah sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan lautan tropis terbuka. Kondisi tersebut terbukti dengan efisiensinya perputaran kembali unsur organik dan anorganik dalam ekosistem terumbu karang.

Gambar 3.15

Peta ilustrasi perubahan suhu muka laut di Indonesia pada periode Februari Maret 2010

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 22

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Secara mendasar ekosistem terumbu karang dibentuk hasil klasifikasi oleh kelompok hewan coelenterata yang bermorfologi polip. Bentukan ekosistemnya dilandasi oleh kemampuan biota tersebut untuk membentuk CaCO3 dengan bantuan simbion zooxanthellae. Mekanisme pembentukan terumbu karang diawali oleh adanya plankton yang terapung dan melekat pada dasar laut yang cocok untuk memulai pertumbuhan karang dengan cara membelah diri dan membentuk koloni. Karang adalah hewan yang berukuran sangat kecil dan berbentuk seperti tabung yang menghasilkan endapan kapur yang keras dan merupakan cangkang luar untuk melindungi tubuhnya yang lunak. Dalam jaringan tubuhnya, hidup sel algae yang memberikan makanan kepada hewan karang tersebut sebagai hasil dari proses fotosintesa. Endapan kapur dari hewan karang dan flora-fauna lainnya (algae berkapur tersebut), selanjutnya membentuk terumbu karang sebagai akibat proses geologi dan biologi yang berlangsung sangat lambat dalam kurun waktu ribuan bahkan jutaan tahun. Dengan demikian, karang merupakan hewan pembentuk utama dari sebuah terumbu karang. Berbagai jenis karang, seperti karang lunak, karang kipas dan karang api termasuk karang batu yang hidup berkoloni dengan bentuk koloni yang bervariasi, seperti meja, massive, percabangan dan menyerupai lembaran daun. Berbagai tipe atau bentuk terumbu karang, diantaranya adalah terumbu karang tepi, yang terbentuk di tepi atau pinggir pulau (daratan). Gosong terumbu (patch reefs), yakni terumbu karang yang tidak luas dan pembentukannya belum mencapai permukaan laut. Atol, yaitu terumbu karang yang menyerupai cincin. Terumbu karang penghalang (barrier reefs), yakni terumbu karang yang terpisah dari daratan oleh laut (goba) yang dalam. Dengan demikian, terumbu karang dapat berfungsi sebagai penahan dan penyangga dari hempasan ombak dan arus yang kuat, sehingga dapat melindungi pantai dari ancaman abrasi. Sementara keunikan dan keindahan bentuk dan warna dari tumbuhan dan hewan pembentukkannya mempunyai nilai estitika yang tak terhingga untuk dinikmati dan diteliti. Disamping itu, terumbu karang juga merupakan daerah asuhan, rumah tempat berpijah, daerah berlindung bagi ribuan ikan, moluska, kepiting, dan udang, yang semuanya itu merupakan sumber kehidupan bagi manusia yang tinggal di daerah pesisir.

3.6.2. Padang Lamun Padang lamun (seagrass beds) dan rumput laut (alga makro) merupakan ekosistem yang sangat penting bagi wilayah pesisir dan laut. Padang lamun dapat berfungsi sebagai

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 23

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

pengikat sedimen dan penyaring zat-zat pencemar yang berhaya. Disamping itu, juga berfungsi sebagai tempat pemijahan dan pembesaran ikan serta penghasil nutrien. Beberapa jenis lamun yang terdapat di perairan pesisir timur Pulau Bintan, antara lain : Halodule universis, Halodule pinifolia, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii dan Enhelus acoroides. Bahkan diketemukan di Berakit satu jenis lamun yang langka di Indonesia (LIPI, 2003), yaitu : Halophyla spinulosa yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan berpotensi sebagai bahan baku industri makanan, obat dan kosmetika.

3.6.3. Vegetasi Mangrove (Bakau) Vegetasi mangrove ditandai dengan banyaknya akar nafas, jenisnya sedikit, tetapi setiap jenis biasanya mempunyai populasi dominan dan melimpah. Ekosistem mangrove mempunyai fungsi sangat penting, yakni sebagai penahan angin, ombak dan abrasi bagi daerah pesisir juga merupakan rumah (habitat) dan berkembang biak bagi berbagai jenis ikan, udang, kepiting dan satwa lainnya seperti ular, kelelawar dan berbagai jenis burung. Akar mangrove yang unik dapat membantu menahan lumpur dan / atau mengurangi laju pelumpuran di padang lamun dan terumbu karang. Sementara batang mangrove mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, seperti jenis kayu gabus banyak digunakan dalam industri farmasi dan kedokteran, bahan pulp pembuatan kertas, pembuatan arang, kayu bakar serta bahan pembuatan tiang bangunan.

3.7
3.7.1

Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Pesisir


Budaya Masyarakat

Pola budaya penduduk di sekitar kawasan konservasi perlindungan laut di Bintan Timur, Kabupaten Bintan dan di Pulau Mamut, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau terlihat dalam kehidupan sehari-hari terutama untuk golongan nelayan saling tolong menolong antara tetangga yang tinggal berdekatan terutama untuk pekerjaan-pekerjaan kecil yang lokasi berdekatan. Demikianpula tolong menolong antara kaum kerabat dalam suatu keluarga atau upacara adat sekitar titik-titik peralihan pada lingkungan hidup individu atau keluarga. Nilai budaya dari semua suku selalu berorientasi ke atas/vertikal (ketua adat) hal ini menimbulkan kurang percaya pada kemampuan sendiri, sikap tak berdisiplin murni dan kurang mempunyai rasa tanggung jawab. Tetapi dari aspek negatif nilai budaya masyarakat tersebut dapat menjadi positif dilakukan untuk membangun dengan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 24

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

mengajak tokoh-tokoh masyarakat (ketua adat) menjadi penuntun (sebagai conto hidup hemat, kerja keras dan disiplin) dalam proses membangun tersebut. Aspek lainnya yaitu sifat tahan penderitaan, hal ini dikarenakan oleh kondisi alamnya sehingga apabila akan dikembangkan untuk proses pembangunan perlu keuletan untuk bekerja.

3.7.2

Sosial Ekonomi

Kabupaten Bintan (khususnya Bintan Timur), Provinsi Kepulauan Riau memiliki luas kurang lebih 2.046,60 km2 atau 204.660 Ha, perkembangan jumlah penduduk yang terjadi berakibat pada semakin berkembangnya kegiatan dari tingkat perekonomian wilayah. Struktur penduduk menurut mata pencaharian umumnya dikaitkan dengan tingkat pendidikan yang didominasi belum tamat SD serta keahlian yang didapat merupakan warisan turun menurun/budaya, hal ini menunjukkan bahwa dominasi kegiatan untuk melakukan produktifitas sehari-hari masih disektor pertanian kurang sebesar 76,31 %, sektor jasa kemasyarakatan 8,08 %, industri pengolahan 5,56 % dan jasa pariwisata yang masih relatif kecil. Dalam konteks pembangunan ekonomi wilayah tiap-tiap daerah mempunyai pola arahan pengembangan struktur tata ruang wilayah, untuk wilayah Taman Nasional Kelimutu di katagorikan sebagai Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) 3 (tiga) yang dimasukkan dalam wisata bahari, kelautan dan budidaya perikanan. Pertumbuhan ekonomi wilayah Kabupaten Bintan Timur secara bertahap masih mengandalkan beberapa sektor antara lain pertambangan (bauksit, andesit, pasir kuarsa dan lainnya), perkebunan kelapa sawit (tanaman pangan, tanaman perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan).

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

III - 25

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

BAB - IV KAJIAN AKTIVITAS PENAMBANGAN DAN KONDISI PERAIRAN

4.1 Kajian Aktivitas Penambangan


4.1.1 Jenis Komoditi Bahan Tambang

Beberapa jenis bahan tambang yang terdapat di wilayah kajian, diantaranya adalah bijih bauksit, bijih besi, pasir kuarsa dan batuan andesit. Bijih bauksit kini pada umumnya dieksport ke Singapura masih dalam kondisi mentah, namun masih menyisakan pertanyaan apakah bijih tersebut diolah menjadi bahan baku industri lainnya atau hanya sekedar dijadikan sebagai material tanah urug?. Demikian pula dengan bijih besi dan bijih bauksit yang juga masih dalam kondisi mentah di ekport untuk memenuhi permintaan industri peleburan di Cina (RRC). Sementara pasir kuarsa dan batuan granit (andesit) yang telah direduksi ukurannya menjadi agregat di eksport ke Singapura sebagai bahan bangunan. Sementara menurut Undang Undang No.4 tahun 2009, tentang pertambangan, dalam pasal 8 dinyatakan bahwa semua bahan galian (tambang) sebelum di eksport harus dilakukan pengolahan terlebih dahulu didalam negeri. Dengan demikian akan dapat memberikan nilai tambah dan mampu mensuport kebutuhan bahan baku dalam negeri untuk industri-industri lainnya diluar sektor pertambangan. Diantara jenis bahan tambang tersebut, bijih bauksit merupakan primadona komoditi eksport bahan tambang dan paling dominan untuk dieksploitasi baik di Kabupaten Bintan maupun di Kabupaten Lingga. 4.1.2 Karakteristik Bahan Tambang

Terdapat 4 (empat) jenis komoditi bahan tambang, yaitu bijih bauksit, bijih besi, batuan andesit dan pasir kuarsa. Diantara ke-empat komoditi bahan tambang tersebut, bijih bauksit yang paling banyak disusahakan untuk ditambang baik di Kabupaten Bintan maupun di Kabupaten Lingga. Dengan demikian dalam konteks ini, hanya dipilih bijih bauksit saja yang akan dikarakerisasi lebih lanjut, mengingat aktivitas penambangannya paling berpotensi terhadap kemungkinan perubahan ekosistem perairan laut dangkal.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

IV - 1

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Bijih Bauksit Secara megaskopik bijih bauksit berwarna coklat kemerahan, coklat kekuning-kuningan, kuning kecoklatan. Pada umumnya, bijih bauksit bersifat keras, berongga, dan fragmental dengan ukuran fragmen berkisar (1 mm - 1,5 cm). Komposisi fragmen dan matriks telah mengalami pelapukan secara intensif dan pada umumnya menjadi mineral lempung dan oksida besi (Gambar 4.1).

Gambar 4.1 Foto sample bijih bauksit (A. Kijang 1, B Kijang 2, C. Mamot) Komposisi Mineral Berdasarkan hasil analisis mikroskopis terhadap sayatan tipis pada posisi nikol silang seperti diperlihatkan oleh fotomikrografi (Gambar 4.2), menunjukkan bahwa batuan induk berupa granit teralterasi sangat kuat, dan memperlihatkan tekstur klastik yang terdiri dari fragmen dan matriks. Ukuran fragmen (0,2 - 2) mm, pada umumnya terdiri dari fragmen yang yang komposinya telah terubah menjadi mineral lempung (Lp) yang berwarna coklat kemerah-merahan. Mineral-mineral lainnya berupa mika halus (Mk), silika halus (Si), kuarsa (Ku), dan felspar yang terserisitkan, serisit (Se) serta nefelin syenite. Matriksnya berupa mineral lempung berwarna coklat kemerah-merahan hingga kekuning-kuningan. Nampak adanya Gibbsite (= Gb, yaitu: salah satu jenis dari mineral bauxite) yang menunjukkan bentuk-bentuk struktur radier/agregat/melingkar dan kadang-kadang menyerupai bentuk garis (lining) yang mirip dengan felspar dan seringkali mengisi rongga (space), dan mineral limonit (berupa Goethite = Gt) yang berwarna coklat kehitamhitaman. Sementara defraktogram hasil analisis X-RD (X-Ray Diffraction) teerhadap ketiga conto tersebut sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 4.3. Pada defraktogram tersebut menunjukkan bahwa contoh bijih bauksit tersebut mengandung beberapa jenis mineral, seperti : Gibbsitte [Al (OH)3], Hematite (Fe2O3), Goethite (Fe3O(OH), Nacrite

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

IV - 2

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

[Al2Si2O2(OH)4] (termasuk jenis lempung). Hasil analisis baik secara mikroskopik maupun dengan metoda X-RD, menunjukkan bahwa sebagian bauksit mengandung mineral lempung yang berpotensi terjadinya kekeruhan perairan.

A. Kijang 1 Gb Ku Lp Si Se Gb Gt

Lp Gt

Si

Lp Gt

Gb

B. Kijang 2

Gb Mk Gt Gt/Lm Gb

Ku

Gb

Gb

Gt, Lp

Gb, C. Mamot Gb Mk, Mk, Si, Gt Gb Ku Ok Si, Gt

Gambar 4.2 Fotomikrograf kenampakan mikroskop polarisasi pada sayatan tipis (Sample Kijang 1, Kijang 2, Mamot)

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

IV - 3

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

A. Kijang 1
Gibbsite Nacrite Hematite

B. Kijang 2

Gibbsite Hematite

Nacrite

Gouthite

C. Mamot
Nacrite

Gibssite

Hematite

Gouthite

Gambar 4.3 Defraktogram X-RD (Sample Kijang 1, Kijang 2, Mamot) Komposisi Kimia Hasil analisis kimia terhadap ke-tiga conto bijih bauksit dengan menggunakan AAS seperti disajikan pada Tabel 4.1. Berdasarkan hasil analisis tersebut, menunjukkan bahwa bijih bauksit Pulau Bintan didominasi oleh mineral gibsite, dengan kandungan Al2O3 berkisar antara 47,31 % - 49,39 %, dan kandungan Fe2O3 sekitar 1,53 - 7,49 %. Sementara kandungan mineral lempung berupa nacrite yang cukup tinggi, yakni sekitar 30 % serta mempunyai densitas rata-rata sebesar 2.54. Sedangkan bijih yang berasal dari Pulau Mamot, sementara cenderung dapat dikatakan sebagai bijih besi, karena kandungan mineralnya lebih didominasi oleh mineral hematite dan goetite dengan kadar Fe2O3 sekitar 36,74 % lebih tinggi dibanding kadar Al2O3 yang hanya sekitar 17,31 %. Sementara kandungan mineral lempung lebih rendah, yaitu hanya sekitar 10 %, namun mempunyai densitas rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan bijih bauksit, yaitu sekitar 2,68.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

IV - 4

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Tabel 4.1 Hasil analisis kimia sample bijih bauksit (Kijang 1, Kijang 2, Mamot) Komponen Oksida (% berat) Silicone dioxide (SiO2) Titanium diuxide (TiO2) Aluminium trioxside (Al2O3) Iron trioxside (Fe2O3) Manganase oxide (MnO) Magnesium oxide (MgO) Calcium oxide (CaO) Potassium oxide (K2O) Sodium oxide (Na2O) Phosphoric (P2O5) Moisture content (H2O-) Volatic content (H2O+) LOI (Ignition Loss) Kadar oksida conto bijih bouksit, % Kijang 1 Kijang 2 Mamot 13,85 8,92 7,56 1,21 3,59 12,37 49,37 47,31 17,31 1,53 0,06 0,00 0,01 0,03 0,93 3,98 2,93 24,65 28,93 7,49 0,11 0,00 0,01 0,06 1,44 5,71 1,92 22,15 25,32 36,74 0,11 0,00 0,00 0,56 5,19 4,68 3,34 10,18 15,38

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Keterangan Gravimetry Spectrophotometry Titration AAS AAS AAS AAS AAS AAS Spectrophotometry Gravimetry Gravimetry Gravimetry

Distribusi Ukuran Butir

GRAFIK PEMBAGIAN BUTIR - ASTM


100.00

90.00

80.00

BINTAN
JUMLAH LOLOS SARINGAN (%)
70.00

60.00

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00 0.001 0.01 0.1 1 10

DIAMETER BUTIR

Gambar 4.4. Grafik distribusi ukuran besar butir sample bauksit Pulau Bintan berdasarkan ASTM

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

IV - 5

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

GRAFIK PEMBAGIAN BUTIR - ASTM


100.00

90.00

80.00

LINGGA
JUMLAH LOLOS SARINGAN (%)
70.00

60.00

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00 0.001 0.01 0.1 1 10

DIAMETER BUTIR

Gambar 4.5

Grafik distribusi ukuran besar butir sample bauksit Pulau Mamot berdasarkan ASTM

Densitas Tabel 4.2 Hasil analisis densitas contoh bijih bauksit Pulau Bintan dan Pulau Mamot
NO. CONTOH KEDALAMAN WAKTU PENGERJAAN NO. PIKNOMETER BERAT PIKNOMETER + TANAH (W1) ggrr BERAT PIKNOMETE (W2) BERAT TANAH WT=W1-W2 SUHU PIKNOMETER + AIR + TANAH (W3) PIKNOMETER + AIR PADA oC KOREKSI SUHU (W1-W2) + W4 (W5) ISI TANAH (W5 - W3) BERAT JENIS WT/(W5-W3) BERAT JENIS RATA-RATA gr gr gr/cm
2

Pulau Bintan Stockpile 12 Oktober 2010 18 64.34 50.23 14.11 24 160.02 151.49 0.9973 165.600 5.58 2.5287 2.5443 gr gr
o

Pulau Mamot Permukaan tanah 12 Oktober 2010 17 66.91 52.15 14.76 24 165.35 156.53 0.9973 170.867 5.52 2.6752 2.6818 5A 65.05 51.06 13.99 24 158.88 150.50 0.9973 164.084 5.20 2.6885

20A 65.09 51.42 13.67 24 157.63 149.3 0.9973 162.970 5.34 2.5599

gr

(W4) gr

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

IV - 6

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

4.1.3

Jumlah Ijin Usaha Pertambangan

Sejarah aktivitas pertambangan bijih bauksit di daerah Kijang dimulai pada tahun 1924, yakni sejak diketemukannya cebakan bauksit oleh sebuah perusahaan Belanda, NV Nederland Indische Bauxiet Exploitatie Maatschappij (NIBEM). Namun NIBEM baru mulai melaksanakan penambangannya pada tahun 1935 hingga tahun 1942. Pada tahun 1942 hingga 1945, usaha pertambangan tersebut diambil alih oleh pihak Pemerintah Jepang melalui perusahaan Furukawa Co.Ltd. Sekitar tahun 1959, usaha pertambangan tersebut kembali ditangani oleh NV Nederland Indische Bauxiet Exploitatie Maatschappij (NIBEM). Setelah tahun 1959, kegiatan pertambangan bauksit ini diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan mendirikan PT Pertambangan Bauoksit Indonesia (PERBAKI) yang kemudian dilebur menjadi PN Pertambangan Bauksit Indonesia yang berada di lingkungan BPU PERTAMBUN. Tahun 1968, BPU PERTAMBUN bersama-sama dengan PN, PT dan proyek-proyek lainnya dalam lingkungan BPU PERTAMBUN dilebur kedalam PN Aneka Tambang (Persero) yang selanjutnya berganti nama menjadi PT Aneka Tambang. Tbk. Semenjak paska penambangan bauksit oleh PT Aneka Tambang, kini telah dilakukan kembali kegiatan inventarisasi dan evaluasi terhadap area bekas tambang bauksit di wilayah PT Aneka Tambang dan pengamatan lapangan pada perusahaanperusahaan tambang yang kini masih aktif. Perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut diantanya adalah: Perusahaan tambang granit PT. Bukit Panglong di daerah Panglong (Kijang), CV Kijang Jaya dan PT Mitra Investindo di daerah Galang Batang, Kecamatan Gunung Kijang, serta Perusahaan tambang pasir PT Anyer Raja Utama dan PT Pulau Batu Mulia. Namun dengan diterbitkannya Keputusan Kementrian Perdagangan Nomor 2 tahun 2007, yakni kebijakan pemerintah tentang pelarangan ekspor pasir darat, sehingga produksi penambangan pasir kini cenderung turun, karena hanya untuk

memenuhi kebutuhan di daerah Pulau Bintan dan sekitarnya. Kini jumlah ijin usaha pertambangan di Kabupaten Bintan meningkat kembali, secara keseluruhan tercatat sebanyak 20 perusahaan, yang mencakup 3 (tiga) jenis komoditi bahan tambang, yaitu pasir darat (6 perusahaan), granit (5 perusahaan) dan bouksit (9 perusahaan). Dari seluruh jumlah ijin usaha pertambangan tersebut, 3 perusahaan masih dalam tahap eksplorasi dan selebihnya 17 perusahaan sudah dalam tahap eksploitasi (produksi) meskipun ada sebagian yang sudah tidak aktif lagi. Data tentang jenis bahan tambang, lokasi, luas dan kondisi dan jumlah ijin usaha pertambangan tersebut secara rinci disajikan pada Tabel 4.3.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

IV - 7

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Tabel 4.3 Jenis, lokasi, luas dan kondisi bahan tambang di Kabupaten Bintan (2010) No Jenis Nama Perusahaan Pasir Darat PT.Tri Panorama Setia PT.Buana Bangun Sejati PT.Sri Jaya Abadi PT.Bintang Mas Jaya PT.Shanindo Indah PT.Bintan Inti Sukses Granit 1 2 3 4 5 PT.Bukit Panglong PT.Sindo Mandiri PT.Mitra Investindo PT.Bintan Nusa multi PT.Bina Riau Jaya Bauksit 1 2 3 4 5 6 7 8 9
*)

No dan Tgl SIUP 244/V/2009, 5 Mei 2009 259/V/2009, 20 Mei 2009 227/IV/2009, 27 April 2009 408/X/2009, 13 10 2009 488/XII/2009, 30 12 2009 298/VI/2010, 23 Jun 2010 244/V/2009, 5 Mei 2009 259/V/2009, 20 Mei 2009 227/IV/2009, 27 April 2009 408/X/2009, 13 10 2009 488/XII/2009, 30 12 2009 173/III/2010, 23 Mei 2010 174/III/2010, 29 3 2010 217/IV/2009, 26 April 2010 352/VIII/2008, 13 8 2008 488/XII/2009, 30 12 2009 385/IX/2010, 07 Sep 2010 219/IV/2010, 26 April 2010 127/III/2010, 12 3 2010 49/I/2010, 28 Jan 2010

Lokasi Bahan tambang

Luas (Ha)

Status Kondisi

1 2 3 4 5 6

Kec.Gunung Kijang Kec.Seri Kuala Loban Teluk Bakau, Kec G.Kijang Kec.Tel Bintan Kec.G.Kijang Kec.G.Kijang

45.5 Produksi 71.12 Produksi 10 Produksi 35.1 Produksi 44.23 Produksi 57.14 Produksi

Kec.Gunung Kijang Kec.Seri Kuala Loban Teluk Bakau, Kec G.Kijang Kec.G.Kijang Kec.Tel Sebaong Kec.Bintan Pesisir Kec.Batang Desa G.Kijang, Kec.G.Kjang P.Matang Baru Kec.Bintan Timur Kec.Tel Sebaong Kec.Tel Bintan Kec.Tel Bintan, Kec.Bintan Pesisir Kec.Bintan Timur Kec.Bintan Pesisr Jumlah total

41.78 Produksi 22.98 Produksi 63.72 Produksi 42.5 Produksi 26.2 Produksi Perpanjangan 577.9 IUP Perpanjangan 19 IUP Perpanjangan 186.5 IUP 195.8 Produksi 26.2 Produksi 148.2 Produksi IUP - Eksplorasi IUP 373.7 Eksplorasi IUP 62.4 Eksplorasi 2050

PT.Gunung Sion PT.Gunung Kijang Jaya Lestari PT.Danpac Resources PT.Wahana karya Suksesindo PT.Bina Riau Jaya PT.Bintang Cahaya Terang PT. Gunung Bintan Abadi PT.Lobindo Nusa Persada PT.Tunggul Ulung Makmur

Sumber : Dinas ESDM Kabupaten Bintan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

IV - 8

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Sedangkan jumlah ijin usaha pertambangan yang berada di Kabupaten Lingga relatif lebih banyak dibandingkan yang berada di Kabupaten Bintan, secara keseluruhan tercatat sebanyak 29 perusahaan yang mencakup 2 (dua) komoditi bahan tambang, yaitu: bijih timah putih (9 perusahaan) dan bijih bauksit (20 perusahaan). Dari seluruh jumlah ijin usaha pertambangan tersebut, 15 perusahaan masih dalam tahap eksplorasi dan selebihnya 14 perusahaan sudah dalam tahap eksploitasi. Data tentang jenis bahan tambang, lokasi, luas dan kondisi dan jumlah ijin usaha pertambangan tersebut secara rinci disajikan pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Jenis bahan tambang, nama perusahaan, lokasi dan kondisi (2010) di Kabupaten Lingga Jenis bahan tambang dan Nama Perusahaan Timah putih PT.Singkep Timah Mas PT.Nusantara Resources PT.Nusantara Resources PT.Singkep Tin Mining PT.Citra Dana PT.Singkep Timas Utama PT.Citra Dana PT.Singkep Tin Mining PT.Bumi Mineral Perindo Bouksit

No

Lokasi

Kondisi

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Kec.Singkep Selatan dan Barat Desa Kuala Raya, Kec Singkep Barat Laut Teluk Baruk, Kec.Singkep Laut Kruing, Kec.Singkep Laut Singkep, Kec.Singkep Kec.Singkep Selatan dan Barat Laut Singkep, Kec.Singkep Laut Lanjut Singkep, Kec.Singkep Laut Cibia, Kec.Lingga Desa Penuba, P.Selayar, Lingga Desa Selayar, Tanjung Dua, Kec.Lingga P.Selayar, Desa Penuba, Kec.Lingga P.Lingga Desa Sekanah, Kec Lingga Utara Desa Bakong, Kec.Singkep Barat Desa Marok Tua, Kec Singkep Barat P.Bendahara,Desa Posek,Kec.Singkep Barat Tanjung Baru Tinjul,KualaRaya,Singkep Barat P.Kentar, Kec.Senayang Langkap Desa Bakong, Kec Singkep Barat

Eksploitasi Eksplorasi Eksplorasi Eksplorasi Eksplorasi Eksplorasi Eksplorasi Eksplorasi Eksplorasi Eksploitasi Eksploitasi Eksploitasi Eksploitasi Eksploitasi Eksploitasi Eksploitasi Eksploitasi Eksploitasi Eksploitasi

1 PT.Telaga Bintan Jaya 2 PT.Pinarik Hitam 3 PT.Kampung Lepan Mulya 4 PT.Sanmas Mekar Abadi PT.Impian Cipta Bintan 5 Sukses 6 PT.Hermina Jaya 7 PT.Sumber Prima Lestari 8 PT.Telaga Bintan Jaya 9 PT.Karya Bintan Perkasa 10 PT.Telaga Bintan Jaya

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

IV - 9

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

11 PT.Sanmas Mekar Abadi 12 PT.Telaga Bintan Jaya 13 PT.Sanmas Mekar Abadi 14 PT.Citra Lingga Abadi 15 PT.Citra Lingga Abadi 16 PT.Sumber Prima Lestari 17 PT.Citra Lingga Abadi

18 PT.Telaga Bintan Jaya 19 PT.Gunung Bintan Abadi PT.Lingga Bauksit 20 Bersama P.Sebangka, Kec.Senayang *) Sumber : Dinas ESDM Kabupaten Lingga

Desa Marok Kecil, Kec Singkep Bukit Belah Panggah S. Buluh, Kec Singkep Barat Desa Sakanah, Kec.Lingga Utara P.Panjang Desa Posek, Kec.Singkep Barat P.Rusuk Buaya Desa Posek, Kec.Singkep barat Pulau Posek, Desa Posek, Kec.Singkep Barat P.Simping Desa Posek, Kec.Singkep Barat Desa Bakong/Cukas, Kec.Singkep Barat Desa Mamut, P.Mamut, Kec.Senayang

Eksploitasi Eksploitasi Eksploitasi Eksplorasi Eksplorasi Eksplorasi Eksplorasi Eksplorasi Eksplorasi Eksplorasi

4.1.4

Sistem dan Metoda Penambangan

Sistem penambangan yang diterapkan pada umumnya adalah sistem tambang terbuka (surface mining) dengan metoda penambangan (open cash dan/atau atau open pit) yang dilakukan secara berjenjang (benching). Aktivitas penambangan dengan sistem tambang terbuka minimal terdiri dari 5 (lima) tahapan kegiatan, yakni: tahap persiapan (development), dimulai sejak dari pembersihan lahan (land clearing) dan pengupasan tanah penutup (stripping of overburden) hingga pembangunan infrastruktur. Tahap penambangan terdiri dari penggalian, pemuatan, pengangkutan dan penampungan menuju ke (stockpile). Tahap pengolahan produk : seperti reduksi ukuran besar butir, pencampuran (mixing) dan pencucian. Tahap pemasaran : pemuatan dan pengapalan. Tahap terakhir adalah paska tambang (reklamasi). Sebagai gambaran tentang aktivitas penambangan bijih bauksit diperlihatkan pada (Gambar 4.6), yaitu semenjak tahap persiapan hingga tahap pemasaran produk dilakukan dengan bantuan peralatan berat. Beberapa jenis alat berat, seperti bouldozer digunakan sebagai alat gali dan alat dorong dalam pekerjaan stripping dan land clearing. Sementara back hue disamping digunakan sebagai alat gali juga sekaligus sebagai alat muat, whell loader digunakan sebagai alat muat, serta dump truck digunakan sebagai alat angkut. Sedangkan di laut umumnya digunakan tongkang yang ditarik oleh toughboat (Gambar 4.7).

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

IV - 10

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Gambar 4.6 Foto aktivitas penambangan bauksit di daerah Kijang, Pulau Bintan

Gambar 4.7 Foto aktivitas pengangkutan (pengapalan) bauksit di daerah Kijang

Sedikit berbeda dengan aktivitas penambangan bijih bauksit maupun bijih besi, penambangan batuan granit (andesit) sebagai agregat bahan bangunan yang dilakukan melalui pengambilan/ pengumpulan batuan andesit berbentuk boulder yang banyak tersebar di wilayah usaha pertambangan. Sebagian besar boulder tersebut diangkut ke beberapa lokasi unit pemecahan batu untuk direduksi ukurannya secara manual (konvensional) dengan melibatkan masyarakat penambang setempat secara

berkelompok, sementara boulder yang berukuran lebih kecil langsung diangkut ke unit cruhing plant yang berada di dekat pantai. Produk batu belah yang dihasilkan oleh masyarakat penambang, selanjutnya diangkut ke lokasi crushing plant untuk mereduksi menjadi ukuran yang lebih kecil sebagai produk agregat dalam berbagai ukuran yang siap untuk dipasarkan (Gambar 4.8 ). Lain halnya dengan penambangan pasir darat (kuarsa) yang menempati kolamkolam bekas area penambangan terdahulu, pada umumnya dilakukan oleh kelompok

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

IV - 11

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

masyarakat penambang yang dikelola oleh KUD. Penambangan dilakukan secara konvensional dengan menggunakan pompa hisap yang ditaruh diatas rakit yang dilengkapi dengan saringan sederhana (Gambar 4.9). Hasil penambangan pasir kuarsa tersebut, selanjutnya diangkut ke dermaga (pengapalan) untuk di ekspor ke Singapura sebagai bahan agregat untuk campuran beton bertulang.

Gambar 4.8 Foto aktivitas reduksi ukuran butir (crushing plant) granit (andesit)

Gambar 4.9 Foto aktivitas penambangan pasir darat (kuarsa)

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

IV - 12

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

4.1.5

Aspek Perlindungan Lingkungan

Hampir semua aktivitas pertambangan berpotensi terjadinya perubahan kualitas lingkungan perairan, mulai dari ketika pembukaan lahan, pembangunan infrastruktur, penambangan, pengangkutan, penimbunan di stockpile hingga ke pemasaran

(pengapalan). Perubahan tersebut terutama jika turun hujan, dimana tumpukan material lepas terangkut oleh air hujan dan mengalir melalui sungai yang pada ujungnya bermuara ke perairan laut. Oleh karena itu, dalam pengelolaan pertambangan perlu dilakukan secara baik dan benar, atau paling tidak mempunyai kepedulian terhadap lingkungan di sekitarnya. Kepedulian lingkungan tidak hanya dilakukan pada tahap paska tambang, melainkan dilakukan semenjak awal perencanaan tambang sudah dipikirkan. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, menunjukkan bahwa sebagian besar usaha pertambangan baik di Kabupaten Bintan maupun di Kabupaten Lingga masih kurang kepedulian terhadap lingkungan. Terutama aktivitas penimbunan (stockpile) dan pemuatan di dermaga (jeti) tempat pengapalan bahan tambang yang akan di eksport, yang pada umumnya tidak dibuat benteng maupun kolam pengendapan. Ketika terjadi turun hujan, sebagian material lepas (bijih bouksit) terbawa air hujan mengalir menuju ke laut, sehingga dapat mengakibatkan air laut menjadi keruh sebagaimana diperlihatkan pada gambar 4.10, dengan demikian dapat menimbulkan terjadinya perubahan kualitas perairan yang berujung pada perubahan ekosistem perairan dan degradasi lingkungan perairan.

Gambar 4.10 Foto perbedaan kekeruhan air laut di sekitar jeti ketika turun hujan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

IV - 13

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

4.2 Kajian Kondisi Perairan


4.2.1 Parameter Fisik Air

Komponen parameter fisik air yang diamati dan akan digunakan sebagai indikator dalam kajian ini, yakni : derajat keasaman (pH), temperatur, daya hantar listrik (DHL), salinitas, total disolved solid (TDS), total suspended solid (TSS), kekeruhan dan kecerahan. Hasil analisis terhadap sample air yang diambil di lokasi wilayah kajian (Gambar 4.11), baik di perairan timur Pulau Bintan (kode sample BT) maupun di perairan utara Kepulauan Lingga (kode sample MT) disajikan pada Tabel 4.5.

Gambar 4.11 Foto aktivitas sampling parameter perairan Tabel 4.5 Hasil analisis parameter fisik perairan
No 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 Kode Sample BT- 01 BT- 02 BT- 03 BT- 04 BT- 05 BT- 06 BT- 07 BT- 08 BT- 09 BT- 10 BT- 11 MT- 01 MT- 02 MT- 03 MT- 04 Koordinat X 456621 459454 449646 459479 470193 477029 461769 457824 457178 462444 461961 443820 445906 448047 449706 Y 108962 109695 133191 109708 102942 110365 100625 99350 87089 101193 105474 14214 12102 10814 9122 pH 6.13 6.68 6.88 8.26 8.47 8.38 8.38 5.70 8.41 8.45 8.40 6.89 8.36 8.53 8.44 Suhu oC 28.1 26.8 26.6 26.4 28.6 29.5 27.2 27.3 27.0 27.5 27.9 27.0 28.6 27.3 27.6 Komponen parameter fisik air DHL Salinitas TDS TSS S/cm o / oo mg/l mg/l 256 0.0 132 50 90 6430 50900 50200 43600 42700 34 46100 47900 47000 43 45200 45900 45600 0.0 3.4 33.6 32.9 29.0 27.5 0.0 30.1 31.4 30.5 0.0 29.5 29.7 29.5 122 340 49396 59406 58754 46990 134 49246 48754 61006 104 46490 48680 52382 50 56 46 36 36 142 36 52 52 36 28 40 38 34 Kekeruhan NTU 0.88 4.02 6.59 0.28 0.56 15.2 98.8 0.74 61.6 0.82 0.29 0.67 0.62 0.43 0.82

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

IV - 14

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

4.2.2. Parameter Kimia Air dan Kandungan Unsur Logam Berat Komponen parameter kimia air yang diamati hanya terbatas pada parameter kimia air yang mencakup : DO, COD, nitrit, nitrat, amonium dan zat organik (Tabel 4.6). Disamping itu juga dilakukan analisis terhadap kandungan unsur logam berat seperti unsur : Cu, Pb, Zn, Fe, Cd, Cr dan Al. Seperti diketahui bahwa kandungan unsur logam berat juga termasuk parameter yang diperlukan dalam menilai perubahan kualitas perairan sebagaimana dipersyaratkan oleh KLH. Hasil analisis unsur logam berat di wilayah kajian tersebut disajikan pada Tabel 4.7 walaupun tidak semua unsur logam berat dianalisis, namun paling tidak dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam kajian ini. Tabel 4.6 Hasil analisis parameter kimia perairan
Kode Sample BT- 01 BT- 02 BT- 03 BT- 04 BT- 05 BT- 06 BT- 07 BT- 08 BT- 09 BT- 10 BT- 11 MT- 01 MT- 02 MT- 03 MT- 04 Koordinat X 456621 459454 449646 459479 470193 477029 461769 457824 457178 462444 461961 443820 445906 448047 449706 Y 108962 109695 133191 109708 102942 110365 100625 99350 87089 101193 105474 14214 12102 10814 9122 Parameter kimia air DO mg/liter 3.95 5.05 3.99 5.95 5.78 5.77 5.78 3.04 5.88 6.11 6.38 5.52 6.14 6.54 5.78 Nitrat mg/liter 0.346 0.651 0.602 0.415 0.365 0.377 0.404 0.709 0.426 0.408 0.423 0.354 0.468 0.499 0.392 Nitrit mg/liter ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd ttd NH4 mg/liter 0.45 0.78 0.23 0.39 0.08 0.14 0.26 0.22 0.24 0.01 0.18 0.21 0.19 0.29 0.17 PO4 mg/liter 0.45 0.42 ttd 0.17 0.18 0.16 0.17 0.25 0.18 0.19 0.17 0.67 0.20 0.17 0.16 Zat.Org mg/liter 13.37 31.14 41.52 53.68 28.05 15.72 15.41 32.16 32.16 29.36 38.89 3.23 64.30 35.44 36.10 COD mg/liter 48.16 36.72 54.01 36.48 57.24 55.08 59.41 46.04 44.28 32.41 29.16 48.60 61.56 59.40 48.60

No.

01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

IV - 15

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Tabel 4.7 Hasil analisis kandungan unsur logam berat perairan


Kode Sample BT- 01 BT- 02 BT- 03 BT- 04 BT- 05 BT- 06 BT- 07 BT- 08 BT- 09 BT- 10 BT- 11 MT- 01 MT- 02 MT- 03 MT- 04 Koordinat X 456621 459454 449646 459479 470193 477029 461769 457824 457178 462444 461961 443820 445906 448047 449706 Y 108962 109695 133191 109708 102942 110365 100625 99350 87089 101193 105474 14214 12102 10814 9122 Kandungan unsur logam berat Cu mg/liter 0.027 0.032 0.033 0.041 0.098 0.096 0.098 0.099 0.116 0.085 0.091 0.096 0.097 0.136 0.135 Pb mg/liter 0.031 0.035 0.037 0.042 0.071 0.098 0.098 0.081 0.091 0.086 0.091 0.010 0.107 0.140 0.140 Zn mg/liter 0.047 0.072 0.066 0.067 0.091 0.114 0/113 0.112 0.126 0.121 0.115 0.120 0.118 0.091 0.101 Fe mg/liter 1.006 1.247 0.988 1.012 1.111 0.907 1.305 1.021 0.994 1.010 1.234 0.987 1.026 0.941 1.110 Cd mg/liter 0.278 0.281 0.403 0.517 0.666 0.704 0.862 0.875 0.776 0.993 1.002 0.741 0.863 0.542 0.708 Cr mg/liter 0.040 0.039 0.041 0.030 0.042 0.037 0.048 0.030 0.034 0.031 0.055 0.043 0.040 0.037 0.040 Al mg/liter 0.312 0.325 1.575 1.600 2.013 1.742 1.426 1.389 2.111 1.964 1.783 1.888 1.065 1.942 1.965

No.

01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15

4.2.3

Parameter Biota Perairan

Komponen biota perairan yang diamati dalam kajian ini, terbatas pada 3 (tiga) komponen, yakni: phytoplaknton, zooplankton, dan nekton (ikan) walaupun masih ada komponen lainnya seperti benthos. Meskipun demikian, komponen-komponen tersebut merupakan refleksi dari keberadaan dan dinamika lingkungan kimia-fisik perairan. Keberadaan ke-tiga komponen tersebut akan saling berkaitan dalam rangkaian fungsi kehidupan yang tercermin di dalam ekosistem perairan. Phytoplankton : Phytoplankton berupa jazad renik yang melayang bebas dipermukaan atau melayang dan hanyut terbawa aliran arus serta mampu berphotosynthesis. Phytoplankton merupakan dasar dari rantai makanan di laut sebagai produsen primer. Dengan demikian, phytoplankton mampu mengubah zat hara menjadi senyawa organik yang kaya akan energi melalui photosynthesis. Oleh karena itu, phytoplankton memegang peranan penting dalam kehidupan organisme aquatik lainnya yang berada pada jenjang trofik di atasnya.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

IV - 16

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Struktur komunitas dan kelimpahan phytoplankton akan berpengaruh terhadap struktur dan kelimpahan produsen sekunder seperti zooplankton dan organisme herbivora lainnya sesuai dengan kaidah transfer energi melalui jejaring makanan. Hasil pencacahan kandungan phytoplankton di sekitar perairan timur Pulau Bintan dan perairan Pulau Mamot disajikan pada Tabel 4.8. Sebaran setiap jenisnya tidak merata, namun dari jenis yang ditemukan pada setiap lokasi sampling yang paling sering dijumpai adalah Coscinodiskus oculus iridis Kelimpahan pada setiap titik pengamatan berkisar antara 33 44.484 individu/liter. Tabel 4.8 Hasil pencacahan phytoplankton/liter
Kode Sample BT- 01 BT- 02 BT- 03 BT- 04 BT- 05 BT- 06 BT- 07 BT- 08 BT- 09 BT- 10 BT- 11 MT- 01 MT- 02 MT- 03 MT- 04 Kode Sample BT- 01 BT- 02 BT- 03 BT- 04 BT- 05 BT- 06 BT- 07 BT- 08 BT- 09 BT- 10 BT- 11 MT- 01 MT- 02 MT- 03 MT- 04 Jenis Organisma Phytoplankton Bacteria Bidulphia Cerataulina Coscinodisk Cylindro strum Sp sinensis Sp us oculus theca Sp iridis Fragitari a Sp

No 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15

Koordinat 456621 459454 449646 459479 470193 477029 461769 457824 457178 462444 461961 443820 445906 448047 449706 108962 109695 133191 109708 102942 110365 100625 99350 87089 101193 105474 14214 12102 10814 9122

33 33 33 264 99 66 132 66 198 198 33 Tidak dilakukan sampling 33 363 33 231 Tidak dilakukan sampling 198 660 1.419 99 792 Jenis Organisma Phytoplankton Hemidisc Hyalothec Lauderia Phormidium us Sp a dissilien Sp Sp 33

66 99

33

No

Koordinat

Gymno zyga monoliti formis

Rhizosol enia clevel

01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15

456621 459454 449646 459479 470193 477029 461769 457824 457178 462444 461961 443820 445906 448047 449706

108962 109695 133191 109708 102942 110365 100625 99350 87089 101193 105474 14214 12102 10814 9122

33 33 132 66 66 10.263 1.089 Tidak dilakukan sampling 462 132 Tidak dilakukan sampling 297 165 66 429 66 330 99 66

132 165 66

66 198

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

IV - 17

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

No 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15

Kode Sample BT- 01 BT- 02 BT- 03 BT- 04 BT- 05 BT- 06 BT- 07 BT- 08 BT- 09 BT- 10 BT- 11 MT- 01 MT- 02 MT- 03 MT- 04

Koordinat 456621 459454 449646 459479 470193 477029 461769 457824 457178 462444 461961 443820 445906 448047 449706

Jenis Organisma Phytoplankton Rhizosolenia Rhizosolenia Spaerozosma Thallasiothrix imbricata styliformis aubertianum nitzschiodes 108962 33 109695 132 133191 109708 132 102942 396 561 110365 33 33 100625 33 231 33 99350 30.261 87089 Tidak dilakukan sampling 101193 528 66 105474 3.366 4.785 14214 Tidak dilakukan sampling 12102 165 10814 33 9122

Uithona Sp

2.409

Zooplankton : Zooplankton menempati tingkat tropik kedua setelah phytoplankton dan merupakan pakan utama bagi beberapa jenis ikan. Keberadaan zooplankton dalam ekosistem perairan banyak ditentukan oleh ketersediaan phytoplankton. Hasil pencacahan kandungan zooplankton di sekitar perairan timur Pulau Bintan dan perairan utara Kepulauan Lingga disajikan pada Tabel 4.9 Kandungan zooplankton berkisar antara 33 1.320 individu/ liter. Tabel 4.9 Hasil pencacahan zooplankton / liter
No 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 Kode Sample BT- 01 BT- 02 BT- 03 BT- 04 BT- 05 BT- 06 BT- 07 BT- 08 BT- 09 BT- 10 BT- 11 MT- 01 MT- 02 MT- 03 MT- 04 Koordinat 456621 459454 449646 459479 470193 477029 461769 457824 457178 462444 461961 443820 445906 448047 449706 108962 109695 133191 109708 102942 110365 100625 99350 87089 101193 105474 14214 12102 10814 9122 Calanus Sp 33 66 Jenis Organisma Zooplankton Corycaeus Cyclops Euterpina Naupliu Sp Sp Sp s 33 33 33 33 66 66 Tidak dilakukan sampling 66 132 33 33 594 33 99 Tidak dilakukan sampling 33 66 66 264 99 231 33 33 Oithona Sp 33 33

33 198

33

132

Sementara hasil perhitungan ID Phytoplankton di perairan laut nilai terendah 0,39 dan nilai terbesar 0.78, sedangkan ID zooplankton nilai terendah 0,45 dan nilai terbesar 0.72. Nilai ID Simpson Total berkisar antara 0,49 hingga 0,86 (Tabel 4.10) .

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

IV - 18

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Tabel 4.10 Hasil perhitungan ID. Simpson


No 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 Kode Sample BT- 01 BT- 02 BT- 03 BT- 04 BT- 05 BT- 06 BT- 07 BT- 08 BT- 09 BT- 10 BT- 11 MT- 01 MT- 02 MT- 03 MT- 04 Koordinat 456621 459454 449646 459479 470193 477029 461769 457824 457178 462444 461961 443820 445906 448047 449706 108962 109695 133191 109708 102942 110365 100625 99350 87089 101193 105474 14214 12102 10814 9122 Jumlah ID Simpson Jumlah ID Simpson Jumlah Phytoplankt Phytoplankt Zooplank Phytoplankton Total on on ton 33 0 66 0.51 99 198 0.51 99 0.45 297 330 0.35 66 0.51 396 330 0.71 0 330 1650 0.78 33 0 1683 495 0.76 66 0.51 561 627 0.74 429 0.67 1056 44.484 0.49 66 0 44.550 Tidak dilakukan sampling 1.518 0.73 99 0.45 1.617 8.778 0.56 297 0.67 9.075 Tidak dilakukan sampling 1.551 0.74 66 0.51 1.617 1.848 0.39 33 0 1.881 1.023 0.39 1.320 0.72 2.343 ID Simpson Total 0.68 0.78 0.53 0.71 0.79 0.81 0.86 0.49 0.76 0.59 0.76 0.42 0.80

Nilai kisaran tersebut memperlihatkan adanya ekosistem perairan yang masih alami sampai ekosistem perairan yang telah mengalami pertubasi dengan adanya penurunan nilai indeks hingga lebih kecil dari 0,6. Nekton : Hasil wawancara dengan para nelayan di sekitar wilayah kajian diperoleh data jenis ikan yang tertangkap seperti pelagis, demersal dan berbagai jenis ikan karang. Berdasarkan kategori penggunaannya, terdapat dua kategori ikan karang, yakni : ikan karang konsumsi dan ikan karang hias. Sumber daya non ikan yang juga merupakan potensi yang cukup besar baik di Kabupaten Bintan maupun di Kabupaten Lingga adalah udang, kepiting, penyu dan binatang lunak (moluska). Jumlah tangkapan ikan secara kuantitatif tidak dapat dikumpulkan dari data primer mengingat terbatasnya waktu, namun menurut informasi yang diperoleh dari Dinas Perikanan Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga hasil tangkapan ikan cukup potensial, dan bahkan kini telah diupayakan budidaya beberapa jenis ikan komersial seperti jenis kerapu, sunu dan kakap di perairan laut dangkal dengan menggunakan keramba jaring. 4.2.4 Kondisi Terumbu Karang

Pengamatan terumbu karang dilakukan secara sepintas, yakni hanya ketika dilakukan pada titik lokasi pengambilan sample parameter perairan. Walaupun demikian, nampak bahwa terumbu karang di daerah perlindungan lingkungan (DPL) perairan pesisir timur Pulau Bintan masih dalam kondisi baik. Namun pada bagian selatan dari perairan timur

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

IV - 19

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pulau Bintan relatif rusak (mati). Kondisi tersebut dapat dipahami, mengingat keberadaannya relatif dekat dengan aktivitas pengapalan bahan tambang (jeti) dan merupakan peruntukan kawasan industri. Sedangkan terumbu karang di sekitar perairan Pulau Tangkil terlihat mulai tumbuh kembali, terutama semenjak diberhentikannya aktivitas penambangan pasir darat di pulau tersebut. Hasil pengamatan sepintas terhadap terumbu karang di bagian barat Pulau Mapur yang relatif lebih lebar dibandingkan di bagian timur Pulau Mapur, kondisinya tidak banyak mengalami perubahan yang cukup berarti. Walaupun demikian, tingkat ancaman terhadap kerusakan terumbu karang akibat gangguan manusia relatif tinggi mengingat kawasan tersebut dekat dengan wilayah permukiman. Sementara terumbu karang di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot masih dalam kondisi lebih baik, bahkan menurut salah satu petugas PKL kini terumbu karang tumbuh dengan baik. Kondisi tersebut terlihat ketika air laut sedang surut, permukaan terumbu karang terlihat berwarna putih. Sebagai gambaran kondisi terumbu karang di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot diperlihatkan pada foto Gambar 4.12. Walaupun demikian, kondisi perairan ini tidak jauh berbeda seperti kondisi di perairan barat Pulau Mapor yang rentan terhadap gangguan manusia karena lokasi tersebut juga tidak jauh dengan wilayah permukiman.

Gambar 4.12 Foto terumbu karang di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

IV - 20

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

4.2.5

Kondisi Padang Lamun

Hasil pengamatan padang lamun secara sepintas, menunjukkan bahwa hampir semua kondisi padang lamun identik dengan kondisi terumbu karang untuk setiap lokasi titik sampling. Sebagai gambaran tentang kondisi padanglamun tersebut diperlihatkan pada foto Gambar 4.13 yang diambil di dekat lokasi bekas jeti (dermaga pengapalan pasir darat) di bagian barat Pulau Pangkil.

Gambar 4.13 Foto padang lamun di perairan pesisir barat Pulau Pangkil. 4.2.6 Kondisi Vegetasi Bakau

Berbagai jenis vegetasi mangrove yang dijumpai selama penelitian lapangan baik di perairan sekitar Pulau Bintan hingga Pulau Mapor maupun di sekitar Pulau Mamot (Kepulauan Lingga), namun pada umumnya didominasi oleh jenis bakau (Rhizopora stylosa, Rhizopora alba) dan jenis bakau lainnya. Kondisi vegetasi mangrove di Pulau Bintan kini mengalami berbagai tekanan akibat aktivitas pembangunan, seperti adanya konversi hutan bakau menjadi lokasi pertambakan, pelabuhan, dermaga (jeti), permukiman dan industri pertambangan maupun industri lainnya yang merupakan faktor menurunnya jumlah hutan bakau. Salah satu gambaran tentang ancaman terhadap fungsi hutan mangrove akibat aktivitas penambangan di Pulau Bintan seperti diperlihatkan pada Gambar 4.14. Sementara kondisi vegetasi mangrove di perairan sekitar Pulau Mamot relatif lebih sedikit mengalami tekanan dibandingkan di perairan sekitar Pulau Bintan. Walaupun

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

IV - 21

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

kondisi lingkungan relatif cukup baik (Gambar 4.15), namun kekhawatiran terhadap ancaman kerusakan masih tetap ada, seperti pemanfaatan sebagai bahan baku pembuatan arang, bahan kayu dan keperluan rumah serta bangunan lainnya. Peluang ancaman tersebut akan menjadi semakin besar, mengingat semakin meningkatnya permintaan negara tetangga akan kayu bakau kecil dan kayu chip, sehingga dikhawatirkan akan terjadi eksploitasi hutan bakau yang terus meningkat (Bappeda Kabupaten Bintan, 2007).

Gambar 4.14 Foto kondisi mangrove di Pulau Bintan

Gambar 4.15 Foto kondisi mangrove di Pulau Mamot

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

IV - 22

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

BAB - V ANALISIS DAN DISKUSI

5.1 Aktivitas Penambangan Berpotensi Terjadinya Perubahan Kualitas Perairan

Sebagai

Sumber

Dampak

Seperti telah dijelaskan pada Bab III, bahwa jumlah ijin usaha industri pertambangan di Kabupaten Bintan kini tercatat sekitar 20 perusahaan pertambangan, yang terdiri dari 9 pertambangan bijih bauksit, 6 pertambangan pasir darat (kuarsa) dan 5 pertambangan batuan granit (andesit). Berdasarkan SIUP tercatat 3 perusahaan berstatus tahap ekplorasi dan 17 perusahaan berstatus tahap eksploitasi. Sementara jumlah ijin usaha pertambangan di Kabupaten Lingga tercatat sebanyak 29 perusahaan pertambangan, yang terdiri dari 20 pertambangan bijih bauksit dan 9 pertambangan bijih timah putih. Berdasarkan SIUP tersebut tercatat 15 perusahaan yang berstatus ekplorasi dan 14 perusahaan berstatus tahap eksploitasi. Sebagai gambaran tentang jumlah SIUP dan korelasinya terhadap distribusi lokasi aktivitas penambangan di Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga diperlihatkan pada Gambar 5.1 Maraknya jumlah aktivitas penambangan tersebut cenderung berpeluang besar kemungkinan akan terjadinya perubahan tingkat kekeruhan perairan disekitarnya. Berdasarkan karakteristik cebakan baik bijih bauksit maupun batuannya, sistem penambangan yang diterapkan pada umumnya sistem tambang terbuka (surface mining) dengan metoda penambangan (open cash/open pit) yang dilakukan dengan cara membuat jenjang (benching). Penerapan sistem tambang terbuka tersebut, relatif lebih berpeluang terjadinya dampak negatif terhadap lingkungan perairan sekitarnya, dibandingkan dengan sistem tambang bawah tanah (underground mining). Aktivitas penambangan jika tidak dikelola dengan baik dan benar berpotensi terjadinya perubahan tingkat kekeruhan perairan. Aktivitas penambangan selalu berhubungan dengan sifat material lepas, pengoperasiannya mudah tercecer dan terbawa aliran air menuju sungai dan bermuara di perairan. Tingkat kekeruhan dipengaruhi baik oleh faktor internal

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V-1

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

maupun

faktor

eksternal

penambangan

yang

ikut

berperan

sebagai

pemicu.

Gambar 5.1

Peta lokasi ijin usaha pertambangan di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga

5.1.1

Faktor-faktor internal penambangan yang ikut berperan sebagai pemicu terjadinya perubahan tingkat kekeruhan perairan

1.

Pengaruh Faktor Karakteristik Bijih Bauksit

Secara umum bijih bauksit berwarna coklat kemerahan yang terdiri dari fragmen dan matriks yang telah mengalami pelapukan secara intensif dan terubah menjadi mineral lempung dan oksida besi. Komposisi mineral utama berupa gibsite sebagai sumber alumina dan goethite maupun hematite sebagai sumber oksida besi, sedangkan mineral lainnya berupa kuarsa, silika halus, serisit dan limonit serta mineral lempung berupa nacrite. Mineral yang berukuran halus (lempung) tersebut, jika terbawa air hujan berpotensi meningkatkan tingkat kekeruhan perairan, sehingga dapat menimbulkan terjadinya degradasi lingkungan perairan.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V-2

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Hasil analisis ukuran butir menunjukkan bahwa kandungan mineral lempung (nacrite) pada bijih bouksit di daerah Kijang sekitar 30%, sedangkan kandungan mineral lempung (nacrite) pada bijih bouksit (besi) di Pulau Mamot hanya sekitar 10%. Besar kecilnya jumlah kandungan mineral lempung tersebut berpengaruh terhadap perubahan tingkat kekeruhan perairan, semakin besar kandungan lempung pada bijih yang ditambang akan semakin besar potensi terjadinya perubahan tingkat kekeruhan perairan. Terutama jika terjadi hujan, dimana material ringan akan mudah terbawa (hanyut) oleh air, sehingga secara kasat matapun dapat terlihat perubahan tingkat kekeruhan perairan. Demikian pula distribusi ukuran besar butir, karena mengingat semakin kecil ukuran besar butir semakin berpotensi terbentuknya baik TDS maupun TSS.

2.

Pengaruh Faktor Luas Bukaan Lahan

Sejak sepuluh tahun terakhir pada abad ke-20 ini, kondisi kawasan kepulauan Bintan dan Lingga telah mengalami gejala alam amat penting terutama yang berkaitan dengan peristiwa anomali ekstrem cuaca dan iklim yang berdampak terhadap perubahan lingkungan sebagai akibat adanya percepatan proses pelapukan, erosi dan sedimentasi baik di darat maupun perairan laut. Proses tersebut akan semakin berpeluang besar dampaknya, ketika permukaan lahan yang terbuka menjadi semakin luas. Dampak negatif dari perubahan luas bukaan lahan ini akan menjadi lebih nyata ketika aktivitas manusia mulai merambah hutan, peladangan yang dimulai sejak dekade tahun 1980 hingga sekarang. Seperti aktivitas penambangan bauksit maupun bahan tambang lainnya, pemanfaatan lahan untuk perkebunan, pemukiman, perindustrian, pelabuhan, merupakan aktivitas manusia yang dapat menimbulkan terjadinya ancaman berupa degradasi lahan, akibat pelapukan, erosi, sedimentasi yang mekanismenya disajikan pada (Gambar 5.2). Sementara laju pelapukan dan sedimentasi tersebut merupakan fungsi dari waktu perubahan luas bukaan lahan. Gambaran tentang perubahan luas bukaan lahan sesungguhnya dapat dipantau melalui kenampakan dari citra satelit secara periodik (Gambar 5.3 ).

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V-3

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Gambar 5.2

Mekanisme pelapukan dan sedimentasi akibat perubahan bukaan lahan di daratan yang berpengaruh hingga perairan laut.

Gambar 5.3 Perubahan luas bukaan lahan dapat dipantau dari kenampakan citra satelit 3. Pengaruh faktor jumlah produksi penambangan

Berdasarkan catatan sejarah aktifitas pertambangan bouksit telah dilakukan sejak tahun 1923, dimana PT Aneka Tambang dimulai sejak tahun 1965 dan berakhir pada tahun 2008. Jumlah produksi bauksit sejak tahun 2004-2008 seperti disajikan pada Gambar 5.4. Namum pada akhir-akhir ini, terdapat bahan tambang seperti timah, bijih besi, pasir darat, granit, dan andesit. Besar dan kecilnya perubahan jumlah produksi bahan tambang akan berpengaruh terhadap terjadinya perubahan tutupan lahan yang secara tidak langsung merupakan fungsi dari terjadinya perubahan tingkat kekeruhan perairan.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V-4

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Gambar 5.4

Grafik produksi bahan tambang (bauksit,granit,pasir) di Kabupaten Bintan dan Bintan Timur.

4. Pengaruh Faktor Kepedulian Terhadap Lingkungan Sebagaimana telah dijelaskan dalam konsep pengelolaan pertambangan yang baik dan benar (Suyartono, 2003), adalah kaidah-kaidah yang harus dijalankan dalam proses penambangan agar dapat memberikan keuntungan maksimal dengan dampak minimal. Kegiatan pertambangan dituntut dan diawasi untuk selalu menerapkan kaidah tersebut, terutama untuk menghindari kerugian lingkungan baik disengaja maupun tidak disengaja dalam usaha mereka mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya. Melalui konsep

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V-5

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

tersebut diharapkan dapat dihindari terjadinya pemborosan sumber daya, terlindunginya fungsi-fungsi lingkungan serta keselamatan dan kesehatan para pekerja. Faktor kepedulian terhadap lingkungan perlu dicanangkan sejak tahap awal perencanaan, pelaksanaan penambangan hingga tahap penutupan dan paska tambang secara jelas yang dilaksanakan secara konsekuen. Sebagai gambaran tentang kepedulian terhadap lingkungan dalam pelaksanaan penambangan seperti diilustrasikan pada bagan alir Gambar 5.5 dan Gambar 5.6 yang memperlihatkan tahapan kegiatan penambangan dan pencucian bauksit secara jelas sehingga mudah untuk dipantau.

Sumber : PT. Aneka Tambang

Gambar 5.5 Bagan alir tahapan penambangan bijih bauksit hingga pengapalan.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V-6

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Sumber : PT. Aneka Tambang

Gambar 5.6 Bagan alir tahapan pencucian bijih bauksit. Setiap tahapan aktivitas penambangan selalu dituntut dan diawasi kemungkinan dampak negatif terhadap fungsi-fungsi lingkungan, seperti kawasan konservasi perairan terumbu karang dan fungsi-fungsi lingkungan lainnya. Jika penambangannya dilakukan secara baik dan benar, niscaya dapat dihindari terjadinya perubahan perairan dan / atau akan terlindunginya fungsi-fungsi lingkungan.

5.1.2

Faktor-faktor eksternal penambangan yang ikut berperan sebagai pemicu terjadinya perubahan tingkat kekeruhan perairan

1.

Pengaruh faktor iklim

Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab III, bahwa wilayah kajian termasuk iklim subtropis (humid tropics) dengan curah hujan cukup tinggi dan musim hujan bisa terjadi selama 10 bulan dalam satu tahunnya dengan hari-hari hujan yang tidak menentu. Curah hujan yang tinggi akan mengangkut material lepas hasil pembongkaran bijih mengalir melalui sungai dan bermuara ke laut, sehingga memicu terjadinya perubahan tingkat kekeruhan perairan.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V-7

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Disamping itu, perubahan iklim seperti suhu udara, musim dan jumlah curah hujan juga akan berpengaruh terhadap tingkat pelapukan batuan. Pada suhu udara sekitar 20oC, komponen oksida logam dari bauksit, yakni : Al2O3, Fe2O3, dan SiO2 akan mudah terlarut. Cebakan bauksit residual, disamping terdiri dari Al2O3, Fe2O3, SiO2 dan TiO2 juga mengandung unsur K, Na, Ca, Mg dan P dan S meskipun relatif kecil. Pada musim hujan (basah) di daerah beriklim sub-tropis terjadi akumulasi CO2 bebas, larutan dalam tanah menjadi lebih bersifat asam sehingga terbentuk akumulasi Al2O3 (Ph : 4-9, kelarutan alumina) dan terlepasnya unsur besi (Fe) Fe2O3 (Ph : < 3, Eh rendah), sehingga terjadi pengkayaan alumina. Namun sebaliknya pada musim kemarau (kering), unsur alkali dalam larutan terjadi substitusi dengan silika (Ph : <10, kelarutan silika). Pada daerah sub-tropis, tambahan asam (humus) dan air hujan serta karbon dioksida (CO2) merupakan reagen yang baik untuk mengubah batuan menjadi lempung melalui pelapukan secara kimiawi. Karbon dan asam organik berkompeten melarutkan silikat dan menghasilkan alkali karbonat yang mengandung silika. Karbon dioksida dalam air hujan juga mampu melarutkan batugamping. Sementara terdapatnya bakteri dalam larutan juga membantu proses pelapukan sehingga mengakibatkan terjadinya redeposisi aluminium. Hal ini mengingat karena aluminium sulfat dalam larutan terhidrolisa dan menghasilkan sulfat. 2. Pengaruh faktor kondisi hidro-oceanografi

Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab III, bahwa perubahan sifat fisik maupun kimia perairan laut seperti penyebaran sedimen, perubahan salinitas, kandungan zat hara maupun biota perairan sangat dipengaruhi oleh kondisi hidro-oceanografi lokal. Kondisi hidro-oceanografi tersebut meliputi kedalaman air laut, pasang surut, gelombang dan angin yang merupakan penyebab utama terjadinya arus atau gerakan massa air di perairan tersebut. Sejauhmana pengaruh faktor tersebut terhadap pola dan sebaran kekeruhan maupun perubahan kualitas perairan, faktor kondisi hidro-oceanografi mutlak diperlukan. 3. Pengaruh faktor aktivitas lainnya

Telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa perubahan kualitas perairan disamping karena pengaruh gejala alam juga disebabkan oleh aktivitas manusia. Sementara perubahan kualitas perairan yang disebabkan oleh gejala alam seperti sejak sepuluh tahun terakhir ini, kawasan kepulauan Bintan dan kepulauan Lingga, Provinsi Kepualauan Riau, telah mengalami gejala alam yang berkaitan dengan peristiwa anomali ekstrem dari cuaca dan iklim yang berdampak pada perubahan lingkungan baik di darat maupun di

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V-8

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

perairan laut. Namun dampak negatif perubahan lingkungan ini cenderung lebih kuat ketika aktifitas manusia mulai merambah hutan, peladangan yang dimulai sejak dekade tahun 1980, dan bahkan kemungkinannya terjadi hingga sekarang. Disamping aktivitas penambangan, aktivitas manusia lainnya seperti pembukaan lahan untuk keperluan perkebunan, pembangunan resort di pantai, pariwisata juga dapat berpengaruh terhadap perubahan ekosistem perairan sekitarnya. Termasuk dalam hal ini, adalah penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan racun juga dapat berpengaruh terhadap perubahan kualitas perairan.

5.2

Analisis Kemungkinan Perubahan Kualitas Perairan Sebagai Akibat Aktivitas Penambangan Analisis pola sebaran tingkat kekeruhan berdasarkan indikator analisis citra landsat

5.2.1

Dampak aktifitas pemanfaatan lahan bagi kawasan pertambangan dan perkebunan, resort, permukiman dan pelabuhan/jeti tersebut terhadap perubahan tingkat kekeruhan, secara kualitatif akan nampak jelas jika dilakukan analisis citra landsat dan ALOS. Analisis dan interpretasi data Citra Landsat atau ALOS (penginderaan jauh) dan data topografi Band 457 bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi bentang alam/topografi, geologi, hidrologi, erosi dan kerusakan lingkungan. Sementara Band 123 untuk mendapatkan informasi zona daerah dampak sedimentasi dan kondisi kekeruhan perairan. Analisis ini akan dilakukan dengan bantuan aplikasi ErMapper dan Map Info.

1.

Analisis kualitatif perubahan tutupan lahan di Kepulauan Bintan berdasarkan penafsiran citra landsat

Mengingat wilayah kajian merupakan daerah yang mempunyai musim basah lebih lama (10 bulan/tahun) dibanding musim kering (2 bulan/tahun), sehingga wilayah kajian sering tertutup oleh awan. Kondisi tersebut menjadikan kendala dalam memperoleh data citra landsat yang cukup bersih secara periodik. Meskipun demikian, dalam kajian ini tetap dilakukan analisis dari beberapa citra landsat yang dapat dihimpun. Berdasarkan hasil penafsiran citra Landsat TM di daerah Bintan Timur (Gambar 5.7) memperlihatkan adanya perubahan tutupan lahan akibat adanya aktifitas penambangan bouksit, granit, andesit dan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, sementara jejak-jejak kolong bekas galian pasir nampak jelas di citra dan Alos seperti diperlihatkan pada Gambar 5.8.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V-9

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Citra 541 daerah Bintan

Citra 431 daerah Bintan

Kolong-kolong galian pasir

Galian pasir, granit Galian pasir, granit Galian bauksit

Bekas galian pasir Galian baouksit 2008

Gambar 5.7

Citra Landsat (2002) dan ALOS (2008) di daerah Pulau bintan dan sekitarnya yang memperlihatkan jejak galian bauksit, granit, pasir darat

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 10

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Lahan perkebunan it

Permukiman dan perkebunan

Lahan perkebunan sawit & resort

Kondisi P.Mapur

Gambar 5.8. Citra ALOS (2008) di daerah Pulau Bintan dan sekitarnya yang memperlihatkan lahan perkebunan, permukiman

2.

Analisis kualitatif perubahan tutupan lahan di Kepulauan Lingga berdasarkan penafsiran citra landsat

Berdasarkan penafsiran citra Landsat di daerah Pulau Mamut, Kepulauan Lingga belum nampak adanya perubahan lahan akibat adanya aktifitas penambangan baouksit, bijih besi seperti diperlihatkan pada Gambar 5.9. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa kondisi perairan di wilayah pesisir Pulau Mamot belum terjadi perubahan tingkat kekeruhan atau masih relatif lebih baik dibanding kondisi perairan di daerah Pulau Bintan.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 11

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Citra 541, belum nampak adanya aktifitas pertambangan

Citra 541, belum nampak adanya aktifitas pertambangan

Citra Landsat 457, thn 2002,

belum nampak adanya aktifitas pertambangan

Citra Landsat 457, thn 2002,

belum nampak adanya aktifitas pertambangan

Gambar 5.9. Penafsiran citra landsat (541 dan 457, tahun 2002) di daerah sekitar Pulau Mamut, Kepulauan Lingga 3. Penafsiran tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan berdasarkan indikator analisis citra landsat

Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat (Gambar 5.10) dan ALOS band 123 (Gambar 5.11) di daerah perairan pesisir timur Pulau Bintan, dapat ditafsirkan bahwa pola tingkat kekeruhan perairan pada bagian selatan berperingkat tinggi dan semakin ke utara tingkat kekeruhan menjadi peringkat sedang dan peringkat rendah. Kondisi tersebut dapat dipahami, mengingat bahwa pada bagian selatan terdapat beberapa aktivitas pertambangan bauksit, sementara arah angin dan gelombang bergerak dari selatan menuju ke utara (citra tahun 2002 dan 2008).

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 12

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Gambar 5.10 Peta analisis tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan berdasarkan citra landsat

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 13

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Gambar 5.11 Peta analisis tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan berdasarkan ALOS band (1,2,3) 5.2.2. Analisis pola sebaran tingkat kekeruhan berdasarkan indikator hasil perhitungan dengan menggunakan hukum Stokes Tingkat kekeruhan air laut merupakan salah satu komponen lingkungan perairan yang harus dipertahankan kualitasnya, karena akan banyak berkaitan dengan berbagai aspek lingkungan lainnya yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan para nelayan. Meningkatnya kekeruhan air laut diakibatkan oleh meningkatnya kandungan zat padat tersuspensi (TSS), kekeruhan air laut tersebut secara kasat mata dapat terlihat ketika terjadi turun hujan lebat. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa meningkatnya kekeruhan air laut sebagai akibat aktivitas penambangan, terutama akibat pengelolaan pertambangan yang belum baik dan benar terutama karena kurang kepeduliannya terhadap lingkungan. Sebagai gambaran tentang besarnya sebaran padatan yang lebih jelas, diasumsikan bahwa peningkatan kandungan TSS tetap terjadi dan kecepatan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 14

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

pengendapan lempung dan lanau dihitung dengan menggunakan hukum stokes (Rubey, 1933, dalam Koesoemadinata, 1982). Dengan diketahuinya data mengenai kecepatan arus, maka dapat dihitung waktu atau lama butiran mengendap serta jarak butiran tertrasportasi dengan menggunakan rumus : 2/3 g.d2 ( T-p) Vg = -------------------- ...................................................................... (1) S S Vg . t Dimana : Vg = kecepatan pengendapan, m/detik g d T p S t = percepatan gravitasi bumi,(9,81 mks/sec) = diameter butir, cm = densitas butir, kg/m3 = densitas medium, kg/m3 = viskositas medium, (0,00138) = jarak pengendapan, m = waktu pengendapan, detik atau t = ------ ...................................................... (2) Vg

Dengan menggunakan persamaan (1) dan (2), dapat dihitung kecepatan pengendapan dan jarak terangkut zat padat tersuspensi dan lamanya pengendapan sedimen (lempung, lanau dan pasir). Dengan memperhitungkan kecepatan arus, arah arus dan kedalaman efektif pengaruh arus permukaan rata-rata hingga kedalaman dasar laut dapat diketahui jarak maksimum terangkut baik fraksi lempung, lanau maupun pasir. Dengan demikian, akan diketahui daerah mana saja yang akan terkena dampak peningkatan TSS, khususnya untuk fraksi berukuran butir (lempung, lanau dan pasir) dari sumber dampak (muara sungai, tempat pengapalan/dermaga) baik dari permukaan hingga dasar laut dan akan semakin menjauh dari sumber dampak tersebut. Sementara peningkatan kandungan TSS di dalam air laut akan dipengaruhi oleh berbagai parameter dasar lainnya seperti : Volume atau berat material yang tercecer pada saat pemuatan/pengapalan yang berpotensi menjadi TSS. Volume atau berat material yang terkandung dalam muara sungai ketika turun hujan yang berpotensi menjadi TSS.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 15

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Bobot isi sedimen berukuran (lempung, lanau dan pasir). Berdasarkan hasil perhitungan jarak terangkutnya sedimen dari permukaan hingga

dasar laut, dan jika radius sebaran diasumsikan sebagai jari-jari lingkaran yang terkena dampak pada kedalaman tertentu, maka radius sebaran sedimen dapat dihitung dengan menggunakan rumus tabung, yaitu : Volume (V) Dimana : V R T : vulume , liter : konstanta, (3,14) : garis tengah tabung atau panjang jarak angkut, m : tinggi tabung atau kedalaman air laut, m = R2. T ......................................................... (3)

Dengan demikian akan diketahui pola sebaran dan berapa besar peningkatan kandungan TSS pada radius sebaran tersebut. Sebagai gambaran tentang contoh hasil perhitungan untuk daerah kajian perairan pesisir timur Pulau Bintan adalah sebagai berikut : Ukuran butir lempung Kedalaman rata-rata perairan Kecepatan arus Percepatan gravitasi bumi Densitas butir Densitas medium Viskositas medium Kecepatan pengendapan : 0.02 mm = 0.002 cm : 15 m : 35 cm/detik : 9.81 mks/sec = 981 cm/detik : 1.544 kg/m3 : 1.019,76 kg/m3 : 0.00138 : = ((2/3) x (981) x (0.001)2 x (0.524)) / 0.00138 = 0.24833 cm/detik = 0,0024833 m/detik Waktu mengendap Jarak transport dan terendap : 15m/0,0024833m/detik = 6040,35 detik : 35 cm/detik x 6040,35 detik= = 211412,23 cm = 2114,12 m. Berdasarkan contoh perhitungan tersebut, hasil perhitungan kecepatan pengendapan dan jarak transport zat padat tersuspensi dan lamanya waktu pengendapan sedimen (lempung, lanau dan pasir halus) dengan menggunakan persamaan tersebut, secara keseluruhan disajikan pada Tabel 5.1.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 16

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Tabel 5.1 Waktu dan jarak transport zat padat tersuspensi Ked. (m) 1 5 dasar Kec.Arus Ked.rata2 butir cm/detik 35 45 40 (m) 15 15 15 (cm) 0.002 0.001 0.002 0.001 0.002 0.001 T-p 0.697 0.524 0.697 0.524 0.697 0.524 Vg (m/detik) 0,0132 0,0025 0,0132 0,0025 0,0132 0,0025 T (detik) 1136,36 1136,36 1136,36 S (m) 397,73 511,36 454,54 Arah (oNE )

6040,35 2.114,12 6040,35 2.718,16 6040,35 2.416,14

Pada tabel tersebut nampak bahwa daerah yang terkena peningkatan TSS khususnya yang berbutir lempung-lanau di dermaga (jeti) sebagai sumber dampak sekitar 2.114 m di permukaan dan akan semakin menjauh sampai 2.718 m pada kedalaman 5 m sampai dasar permukaan 2.416 m yang berarah ... sampai .... oNE. Sementara peningkatan TSS di perairan dipengaruhi oleh jumlah material yang masuk ke perairan, densitas dan kandungan lempung yang berpotensi menjadi padatan tersuspensi (TSS). Sebaran kandungan lempung-lanau tersebut mencapai luas 2.631.966,38 m2 untuk setiap material liter dengan kandungan TSS 13,03 mg/l. Peta sebaran TSS disajikan pada Gambar 5.12.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 17

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Gambar 5.12. Peta pola sebaran tingkat kekeruhan di perairan timur P. Bintan berdasarkan model perhitungan dengan menggunakan hukum stokes 5.2.3 Analisis perubahan kualitas perairan berdasarkan indikator parameter fisik, kimia air dan unsur logam berat serta biota perairan.

Air merupakan komponen ekologis yang mutlak diperlukan bagi proses hidup dan kehidupan biota perairan. Nilai daya guna air dan sumberdaya perairan ditentukan oleh kualitasnya yang sangat berkaitan dengan semua aktifitas yang berada di sekitar perairan tersebut. Kualitas perairan di muara sungai dan pantai ditentukan oleh limbah-limbah yang terbuang baik secara langsung maupun tidak langsung, baik berupa bahan-bahan organik maupun bahan-bahan anorganik yang mudah tersuspensi. Parameter kualitas perairan yang diamati meliputi parameter fisik dan kimia air, kandungan unsur logam berat serta biota perairan. Pengukuran kualitas perairan tersebut dilakukan pada tanggal 23 30 September 2010 di 15 titik lokasi pengamatan. Lokasi tersebut meliputi 3 conto pada muara sungai di daerah Bintan Timur, 8 conto di perairan pesisir timur Pulau Bintan hingga Pulau Mapor, 3 conto di perairan pesisir Pulau Mamot

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 18

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

dan 1 conto mata air di Pulau Mamot. Meskipun jumlah titik pengamatan dan sampling parameter perairan tersebut relatif minim, namun diharapkan dapat memberikan gambaran sejauhmana pengaruh aktivitas manusia terutama kegiatan penambangan terhadap perubahan ekosistem perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot.

1.

Analisis perubahan kualitas perairan berdasarkan indikator parameter fisik perairan

Parameter fisik seperti warna air, merupakan hasil refleksi kembali dari berbagai panjang gelombang cahaya dari sejumlah material yang berada di dalam air yang tertangkap oleh mata. (TSS) Material yang berada di dalam air dapat berupa jumlah zat padat tersuspensi dan/atau jumlah zat padat terlarut Sementara (TDS) partikel

(http://www.umaine.edu/water.research/field.guide/color.htm#blue).

dan larutan (solutes) yang terdapat di dalam air dapat menyerap cahaya, namun demikian warna yang terlihat oleh mata juga akan dipengaruhi oleh sudut pandang ketika melihat, kedalaman dan kuantitas air. Warna air terlihat jernih bila partikel dalam jumlah sedikit (http:// webexhibits.org /causesofcolor /5B.html). Hasil pengukuran parameter sifat fisik perairan pesisir Bintan Timur dan perairan pesisir Pulau Mamut, Kepulauan Lingga menunjukkan nilai TSS masih dalam batas normal < 40 NTU kecuali muara sungai dan perairan di kawasan industri di daerah Kijang yang mencapai hingga 50 - 142 NTU. Sebaliknya dengan nilai TDS untuk perairan pada umumnya > 40.000 mg/l kecuali sample pada mata air (104 mg/l). Demikian pula untuk nilai daya hantar listrik (DHL) untuk perairan pada umumnya > 40.000 S/cm kecuali pada mata air relatif kecil (48 S/cm). Nilai oksigen terlarut berkisar antara 3,04 mg/l hingga 6.54 mg/l. Kandungan oksigen terlarut dalam perairan ikut menentukan kualitas perairan, karena oksigen sangat dibutuhkan untuk pernapasan (respirasi) mahkluk hidup dalam perairan. Fungsi lain dari oksigen adalah sebagai oksidator senyawa-senyawa kimia di perairan. Sedangkan faktor yang dapat mempengaruhi kemampun suatu perairan untuk mengadopsi oksigen adalah salinitas, suhu, kekeruhan air dan pergerakan air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut. KLH telah merekomendasikan, baku mutu air laut untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut, kadar oksigen terlarut > 5 mg/l. Sementara temperatur permukaan yang terekam selama berlangsungnya penelitian mempunyai kisaran 26,4o C hingga 29,5o C. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi 4 (empat) tahun yang lalu ketika dilakukan penelitian base line ekologi yang menunjukkan rerata temperatur 29,50 oC di perairan Pulau Mapor (CRITC -

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 19

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

COREMAP II - LIPI, 2006). Kondisi salinitas di perairan juga menunjukkan nilai salinitas yang tidak jauh berbeda, yakni : dengan variasi berkisar antara 27,5 o/oo hingga 31,4 o/oo, kecuali pada mata air dan muara sungan memperlihatkan nilai salinitas yang sangat rendah (0.0 - 3,4 o/oo) Parameter fisik lainnya seperti pH yang dapat digunakan sebagai salah satu indikator kualitas perairan, suatu perairan laut yang baik bisanya bersifat basa dengan pH > 7, sebagaimana direkomendasikan KLH. Hasil pengukuran derajat keasaman (pH) di perairan pesisir Bintan Timur dan perairan pesisir Pulau Mamut, Kepulauan Lingga menunjukkan variasi antara 8,26 hingga 8,53, kecuali pada mata air (6,89) dan muara sungai (6,13 6,88). Secara umum tidak ada parameter yang ekstrim dan masih dapat mendukung kehidupan organisme perairan, analisis selengkapnya disajikan pada Gambar 5.13.

Gambar 5.13

Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot berdasarkan indikator parameter fisik air

2.

Analisis perubahan kualitas perairan berdasarkan indikator parameter kimia perairan

Beberapa parameter kimia seperti fosfat dan nitrat, merupakan nutrisi yang dibutuhkan oleh mahkluk hidup yang ada di dalam perairan. Baik fosfat maupun nitrat sumbangan terbesar berasal dari sedimentasi yang berada pada dasar perairan. Pada umumnya

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 20

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

semakin dalam perairan, cenderung semakin besar kandungan fosfat dan nitratnya, kecuali jika perairan tersebut banyak memperoleh sumbangan dari pengaruh dari darat berupa limbah penduduk atau dari lahan perkebunan sehingga kandungan fosfat dan nitrat pada permukaan perairan menjadi tinggi. Sementara nitrat dapat berfungsi dalam membantu pembentukan asam amino sebagai komponen dasar protein (NITC COREMAP II, 2006). Nilai baku mutu yang dikeluarkan KLH, kadar nitrat untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut kadarnya tidak melebihi 0,8 mg/l, sedangkan untuk fosfat tidak lebih dari 1.5 mg/l. Hasil pengukuran parameter kimia perairan pesisir Bintan Timur dan perairan pesisir Pulau Mamut, Kepulauan Lingga menunjukkan bahwa kandungan nitrat (0.346 0.709) mg/l sedangkan fosfat berkisar antara 0.16 mg/l hingga 0.67 mg/l. Parameter kimia lainnya adalah nitrit, merupakan senyawa kimia yang sangat reaktif karena struktur molekulnya yang tidak stabil. Nitrit akan cepat bereaksi dengan logam berat dan membentuk senyawa garam nitrat yang larut dalam air. Kandungan nitrit pada umumnya lebih kecil dari kandungan nitratnya, dan semakin kecil kadar nitrit akan semakin baik kualitas perairannya. Hasil pengukuran kadar nitrit yang dilakukan pada semua titik sampling tidak menunjukkan adanya kandungan nitri (tidak terdeteksi). Kandungan silikat merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kesuburan perairan, silikat dibutuhkan untuk perkembangan hidup phytoplankton untuk pembentukan kerangka dinding sel jenis silicoflagellata. Kandungan silika berkisar antara 8,37 mg/l hingga 16.03 mg/l, dan KLH tidak menentukan nilai ambang batas nilai bakunya. Sebaliknya dengan amonia, Grashoff (1976) menyatakan bahwa amonia merupakan senyawa beracun terhadap ikan maupun biota laut lainnya. Kandungan amonia berkisar antara 0.016 mg/l - 0.45 mg/l, hasil analisis perubahan kualitas perairan diperlihatkan pada Gambar 5.14.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 21

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Gambar 5.14

Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot berdasarkan indikator parameter kimia air

3.

Analisis perubahan kualitas perairan kandungan unsur logam berat perairan

berdasarkan

indikator

parameter

Hasil pengukuran parameter kandungan unsur logam berat perairan pesisir Bintan Timur dan perairan pesisir Pulau Mamut, Kepulauan Lingga menunjukkan kandungan logam berat seperti Cr (0.030.055) mg/l dan Cd (0.021.002) mg/l, hampir semua lokasi melebihi ambang batas yang diperkenankan KLH 0,01 mg/l (No.2/MEN.KLH/1988). Grafik korelasi antara titik (BT.01) yang jauh dari sumber ke arah sumber dampak (BT.7) hingga (BT.11) memperlihatkan kandungan Cd dan Cr cenderung meningkat (Gambar 5.15). Sedangkan kandungan logam berat lainnya seperti Cu dan Zn masih dibawah ambang batas 0.06 mg/l dan 0.1 mg/l, sementara kandungan Pb sebagian melebihi ambang batas (0.01) mg/l.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 22

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Semakin tingginya kandungan logam berat Cd dan Cr ke arah titik (BT-07) hingga (BT-11) tersebut, diperkirakan berasal (bersumber) dari material aktifitas penambangan bauksit, mengingat kondisi pada saat ini masih aktif melakukan penambangan dengan sistem tambang terbuka yang kurang memperhatikan kondisi lingkungan setempat. Hal ini nampak adanya jejak mengalirnya air bermuatan material yang langsung menuju perairan laut di wilayah pantai Kijang timur dan ke pulau-pulau kecil seperti Pulau Kelong dan Pulau Buton. Sementara kandungan logam berat di perairan sekitar Pulau Mamot pada umumnya relatif sedikit melebihi ambang batas yang diperkenankan KLH, walaupun wilayah perairan tersebut relatif jauh dengan aktivitas penambangan. Sebagai indikator adalah sample air yang diambil dari mata air (MT-1), juga memperlihatkan kandungan logam berat yang sedikit dibawah kandungan logam berat sample yang diambil di lokasi perairan. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya perairan di sekitar Pulau Mamot mempunyai kandungan unsur logam berat rata-rata lebih tinggi dari pada nilai ambang batas yang diperkenankan KLH. Secara umum kondisi peraian sekitar Pulau Bintan dan perairan sekitar Pulau Mamot rata-rata sudah mempunyai kandungan unsur logam berat relatif sedikit lebih tinggi dari nilai ambang batas KLH. Walaupun terdapat perubahan kualitas perairan akibat aktivitas penambangan, namun tidak dijumpai parameter yang ekstrim dan masih dapat mendukung kehidupan organisme perairan.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 23

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Gambar 5.15

Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot berdasarkan indikator kandungan unsur logam berat

4.

Analisis perubahan kualitas perairan berdasarkan indikator parameter biota perairan

Plankton merupakan sumber makanan bagi berbagai jenis ikan komersial penting yang hidup dilautan, dengan kata lain kelangsungan hidup ikan sangat tergantung kepada banyak sedikitnya jumlah plankton yang ada. Namun keberadaan plankton di lautan sangat peka terhadap perubahan dan gangguan lingkungan, sehingga plankton merupakan bioindicator yang baik untuk mengetahui kondisi lingkungan perairan. Hasil pencacahan di laboratorium plankton di 10 titik lokasi pengambilan sekitar perairan timur Pulau Bintan, P. Mapur dan 3 (tiga) titik di sekitar Pulau Mamut didapatkan 3 golongan Phytoplankton yaitu Class Cyanophyceae ditemukan 5 jenis, Class Bacillariophycae sebanyak 28 jenis dan Class Dynophyceae sebanyak 3 jenis. Berdasarkan hasil identifikasi jenis, maka kekayaan individu dari phytoplankton yang

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 24

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

dijumpai di lokasi pengamatan relatif besar, hal ini dapat dimengerti bahwa perairan memberikan naungan serta persediaan hara yang cukup untuk phytoplankton. Kemudian jika dilihat dari nilai Indeks keanekaragamannya, dengan nilai rata-rata diatas 2.90 memberikan ciri bahwa perairan disini tergolong stabil. Strata ke dua dari dasar hierarki kehidupan akuatik adalah zooplankton. Kelompok ini dapat hidup selamanya sebagai plankton dan juga dapat berkembang selanjutnya baik ukuran maupun perilakunya sebagai organisme non planktonik. Seperti Pisces, Molusca, Crustacea dan sebagainya. Hasil pengamatan komposisi jenis, keberadaan kelompok Crustacea, Pr oto zoa dan Chordata (Ichtyoplankton) keberadaannya lebih dominan dibandingkan dengan kelompok lain. Nilal indeks Keanekaragaman dan keseragaman menunjukkan nilai yang tinggi, Indeks keanekaragaman berkisar antara 86 terendah sampai 2.78 tertinggi, berdasarkan nilai Indeks Pencemaran perairan maka nilai Indeks ini dapat dinyatakan ekosistem perairan ke dua pulau berada pada kondisi stabil belum tercemar. Demikian pula angka yang ditunjukkan dengan nilai indeks keseragaman cukup tinggi berkisar antara 0.89 sampai 0,93. Hasil analisis perubahan kualitas biota perairan diperlihatkan pada Gambar 5.16.

Gambar 5.16

Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot berdasarkan indikator biota perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 25

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

5.3

Hasil Diskusi

5.3.1

Korelasi dampak aktivitas penambangan bauksit dengan kemungkinan perubahan ekosistem perairan

Ditinjau dari peruntukan lahan menunjukkan bahwa lokasi aktivitas penambangan bauksit pada umumnya menempati kawasan industri atau sesuai dengan peruntukan lahan pada RTRW (bappeda Kabupaten Bintan, 2007). Persoalan muncul ketika pengelolaan pertambangan bauksit pada umumnya belum dilaksanakan secara baik dan benar, namun sejauhmana dampak aktivitas penambangan bauksit di daerah Kijang korelasinya dengan kemungkinan terjadinya perubahan ekosistem perairan pesisir timur Pulau Bintan akan dijelaskan sebagai berikut : Berdasarkan baik hasil analisis citra landsat maupun dari hasil perhitungan sebaran kekeruhan, menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan yang diakibatkan oleh aktivitas penambangan di daerah Kijang. Perubahan tingkat kekeruhan secara signifikan berlangsung sesaat (bersifat temporer), terutama ketika terjadi turun hujan dan dapat dilihat secara kasat mata. Pola sebaran tingkat kekeruhan tersebut dipengaruhi oleh adanya arah dan kecepatan arus, pasang surut serta tinggi rendahnya gelombang laut. Gambaran tentang jarak sebaran kekeruhan rerata hasil perhitungan dapat mencapai radius sekitar 2 km dari sumber dampak (dermaga pengapalan bauksit atau jeti). Walaupun perubahan tingkat kekeruhan bersifat temporer (sementara), namun karena berlangsung secara terus menerus terutama jika arah arus laut dari Selatan ke Utara dapat mengakibatkan terjadinya perubahan ekosistem perairan. Perubahan ekosistem perairan mulai nampak secara kasat mata di sekitar lokasi terumbu karang yang tidak jauh dan / atau kurang dari 1 km dari lokasi dermaga pengapalan (jeti). Seperti pada Gambar 5.17, memperlihatkan dimana terumbu karang dan padang lamun menjadi rusak (mati) dan terancamnya vegetasi mangrove yang cukup serius sebagai akibat peningkatan kekeruhan perairan sebagai akibat aktivitas penambangan. Sementara hasil analisis berdasarkan indikator parameter baik fisik, kimia dan kandungan unsur logam berat maupun biota perairan menunjukkan bahwa perubahan ekosistem perairan belum cukup signifikan. Kondisi tersebut mengingat bahwa perairan pesisir timur Pulau Bintan mempunyai base line standard parameter perairan yang relatif sudah mendekati ambang batas nilai baku yang ditetapkan oleh KLH. Meskipun

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 26

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

perubahan parameter perairan tersebut tidak cukup signifikan, namun jika ditarik garis korelasi menunjukkan bahwa titik sampling yang keberadaanya semakin mendekati lokasi penambangan perubahan ekosistem perairan cenderung menjadi semakin tinggi.

Gambar 5.17 Terumbu karang dan padang lamun di sekitar lokasi dermaga (jeti) di perairan pesisir timur Pulau Bintan. Walaupun hasil analisis baik berdasarkan indikator fisik, kimia dan kandungan unsur logam berat maupun biota perairan belum menunjukkan perubahan kondisi perairan yang cukup signifikan, kecuali perubahan tingkat kekeruhan di sekitar lokasi pengapalan (jeti) terutama pada saat turun hujan. Namun ancaman terhadap ekosistem perairan tetap berlangsung secara terus menerus, seiring dengan meningkatnya perubahan luas tutupan lahan sebagai akibat aktivitas manusia dalam meningkatkan pembangunan fisik wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga. Sebagai gambaran tentang korelasi ancaman tersebut terhadap konservasi daerah perlindungan laut seperti disajikan pada Gambar 5.18.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 27

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Gambar 5.18 Peta korelasi dampak aktivitas manusia korelasinya dengan ancaman terhadap kemungkinan perubahan kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan

Sementara perkiraan dampak pemanfaatan lahan (ruang) khususnya bagi aktivitas penambangan di Pulau Bintan dan Pulau Lingga, dikhawatirkan dapat menyebabkan terganggunya keberadaan pulau-pulau kecil disekitarnya yang letaknya berdekatan. Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), baik pada tingkat nasional maupun propinsi menempatkan Pulau Bintan dan Pulau Lingga dan sekitarnya sebagai wilayah yang sangat strategis bagi pembangunan nasional dan regional, sehingga layak mendapatkan prioritas pengembangannya. Meskipun demikian, proses pembangunan tersebut harus dapat mempertahankan karakteristik lingkungan sekitarnya sebagai zona terdiri atas pulau-pulau (Riau kepulauan), sehingga keberadaan dan stabilitas pantai dan pulau-pulau harus tetap dipertahankan. Berdasarkan akumulasi dampak kegiatan dengan kegiatan sejenis di sisi kiri dan kanannya, maka dampak negatif terhadap keberadaan pulau-pulau tersebut mempunyai resiko tinggi. Melalui deskripsi

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 28

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

tersebut, maka kegiatan penambangan bauksit harus dilakukan secara ekstra hati-hati dan bijaksana. Oleh karena itu, lokasi penambangan disekitar pulau-pulau dibuat buffer dan daerah konservasi pulau untuk mengamankan keberadaan pulau-pulau tersebut. Mengingat lokasi aktivitas penambangan terletak pada jalur pelayaran domestik dan nasional dan merupakan urat nadi yang penting di dalam melayani kegiatan masyarakat baik pelayanan jasa maupun barang antar pulau, maka perairan di sekitar lokasi penambangan merupakan jalur transportasi laut yang ramai (padat). Pada siang hari umumnya merupakan alur pelayaran perairan, yaitu dari jenis kapal ferry (speed boat) dengan frekuensi hampir setiap 15 menit sekali. Sementara pada malam hari aktivitas lalu lintas tersebut berhenti dan diganti oleh aktivitas nelayan penangkap ikan yang mempunyai alur penangkapan disekitar lokasi tersebut. Demikian pula pengoperasian tongkang yaitu ketika dilakukan pengisian dan pengangkutan bauksit akan melewati jalur pelayaran laut, dan kegiatan ini diperkirakan akan menambah kepadatan lalu lintas pelayaran. Meskipun pengaruh terhadap kelancaran lalulintas pelayaran tidak cukup signifikan, namun mengingat jalur pelayaran yang dilewati tersebut juga merupakan jalur pelayaran rakyat dan sebagai jalur mobilitas nelayan dari fishing base ke fishing ground atau sebaliknya, diperkirakan kegiatan tersebut akan mengganggu jalur pelayaran rakyat dan mobilitas nelayan. Terganggunya lalu lintas pelayaran pelayaran tersebut, terutama ketika mobilitas pada saat kegiatan penambangan dan pengangkutan bauksit serta pencucian ditengah laut menuju tempat penimbunan di negara tujuan (Singapura). Kegiatan pencucian bauksit dengan lama waktu sekitar 1 jam, diperkirakan juga akan memberikan dampak penting bagi aktivitas pelayaran baik nasional (regional) maupun pelayaran rakyat (lokal) dan mobilitas nelayan. Sebagai gambaran tentang peningkatan kepadatan lalulintas dengan adanya aktivitas pengangkutan dapat dijelaskan sebagai berikut : Frekuensi kapal pelayaran luar negri sebanyak 2 kapal/hari dan pelayaran luar negri sebanyak 8 kapal/hari, dan bila dikaitkan dengan penambahan frekuensi angkutan sebanyak 1 unit (dua rit per hari) maka frekuensi kapal sebanyak 2 kali/hari. Frekuensi ini tidak termasuk lalulintas pelayaran yang tidak melakukan transit di Pelabuhan Tanjung Pinang Bintan. Dari uraian tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa aktivitas penambangan bauksit dan pengangkutannya mempunyai peluang relatif kecil terhadap peningkatan kepadatan lalu lintas, tetapi mempunyai tingkat resiko tinggi terjadinya kecelakaan, terutama pada saat cuaca kurang baik dan pada saat malam hari.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 29

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

5.3.2

Persepsi masyarakat terhadap kemungkinan perubahan ekosistem perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot

Kekhawatiran masyarakat di wilayah pesisir timur Pulau Bintan tentang terjadinya perubahan ekosistem perairan dapat dipahami, karena mengingat adanya bukti yang menunjukkan terdapatnya korelasi antara dampak penambangan bauksit di daerah Kijang dengan perubahan tingkat kekeruhan perairan di sekitar pesisir timur Pulau Bintan. Sementara tingkat kekeruhan yang terjadi akibat penambangan, bersama-sama dengan gangguan eksositem pantai akan mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap kelimpahan dan keanekaragaman plankton, benthos, dan nekton dan berdampak lebih lanjut terhadap penurunan produktifitas primer serta pertumbuhan terumbu karang. Walaupun secara umum perubahan tingkat kekeruhan belum berdampak secara signifikan terhadap perubahan ekosistem perairan, namun dengan semakin meningkatnya aktivitas penambangan bauksit tanpa memperhatikan kepedulian terhadap lingkungannya, kini merupakan ancaman yang cukup serius terjadinya perubahan ekosistem perairan di sekitar daerah perlindungan laut (DPL) yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi yang perlu dilestarikan. Sementara berdasarkan hasil identifikasi dampak, kegiatan penambangan bauksit yang sudah dan/atau dampak akan dilaksanakan penambangannya terhadap diperkirakan nelayan akan yang menimbulkan 1. gangguan, khususnya kegiatan

diindikasikan oleh beberapa hal seperti : Terganggunya jalur penangkapan nelayan karena sebagian kawasan tumpang tindih dengan fishing ground (daerah tangkapan ikan nelayan) menurut SK. Mentan No. 392/Kpts/IK.120/4/99 tentang jalur-jalur penangkapan ikan. 2. 3. Terganggunya lalu lintas perahu nelayan untuk menuju lokasi penangkapan ikan dan atau penangkapan hasil produksi ikan. Menurunnya produksi atau produktivitas hasil tangkapan ikan nelayan adanya penurunan tingkat produktivitas primer diwilayah perairan karena sekitar lokasi

penambangan. Dalam hal ini terutama produktivitas penangkapan ikan dari jenisjenis ikan demersal yaitu ikan-ikan kurau, kakap dan ikan kerapu. 4. Kemungkinan menurunnya pendapatan keluarga nelayan, terutama nelayan tradisional sebagai efek dari penurunan hasil tangkapannya khususnya nelayan yang terdapat di desa-desa wilayah studi yang meliputi masyarakat nelayan dari Kecamatan Bintan Timur. Kondisi awal nelayan tradisional yang terdapat di Kecamatan Bintan Timur tersebut sebagian besar dikelompokkan sebagai nelayan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 30

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

miskin dengan tingkat pendapatan sekitar Rp.(900.000/bulan ) yang hanya mampu melaut 20 hari /bulan. Dampak akan semakin dirasakan nelayan ketika prasarana dan sarana penangkapan ikan mereka terganggu / rusak karena kegiatan lalu lintas penambangan. Hal tersebut memungkinkan, karena untuk alat penangkapan ikan jenis jaring rawai yang biasanya ditebar di pesisir atau selat dan jika tertabrak oleh melajunya kapal tongkang bauksit akan rusak karena terseret tongkang/penambang tersebut. Sehingga alat mencari nafkah yang sangat berharga bagi nelayan tersebut tidak dapat digunakan kembali. Jika hal ini terjadi dan perusahaan pertambangan tidak tanggap untuk segera mengganti rugi, maka dapat menimbulkan konflik dan keresahan sosial yang pada ujungnya merugikan semua pihak. Berdasarkan gambaran dalam uraian tersebut diatas, kumulatif dari dampak-dampak kegiatan penambangan bauksit jika tidak diantisipasi dan dikelola dengan segera, diperkirakan dapat memicu terjadinya konflik sosial yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat. Dampak tersebut tergolong sebagai dampak negatif penting. Sedangkan kekhawatiran masyarakat di Desa Mamot tentang adanya rencana penambangan bijih bauksit (besi) yang hingga kini masih dalam status ijin eksplorasi dapat dimengerti, mengingat dampak penambangan yang akan ditimbulkannya sangat besar. Tidak hanya masalah perubahan ekosistem perairan saja, melainkan juga punahnya habitat perikanan dan beberapa mata air yang merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat pesisir di Pulau Mamot dan pulau-pulau sekitarnya. Kegiatan penambangan bauksit di Pulau Mamot meskipun ditujukan kepada kepentingan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun masyarakt setempat menganggap dan mempunyaia kesan bahwa teknis operasionalnya relatif sama dalam memberikan dampak negatif bagi kekeruhan air, menjauhnya ikan-ikan dari lokasi dan pada akhirnya akan menurunkan hasil tangkapan ikan yang sekaligus pula akan menurunkan pendapatan nelayan. Persepsi negatif tersebut sesungguhnya sudah tertanam dalam pikiran sebagian masyarakat khususnya nelayan. Hal yang perlu diwaspadai dan menimbulkan persepsi negatif bagi masyarakat adalah penyelundupan barang dari dan ke Singapura. Tindakan ini dapat mengakibatkan dampak yang lebih luas, khususnya penerimaan negara dan pencemaran lingkungan apabila yang dibawa adalah limbah berbahaya. Persepsi masyarakat yang dimaksud di sini adalah daya tangkap (sikap) dari informasi/pengetahuan yang diterima oleh masyarakat tentang kegiatan penambangan bauksit (besi) yang akan dilaksanakannya, yaitu berupa:

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 31

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

1.

Rusaknya wilayah perairan pantai dengan ekosistem dasar perairan sebagai tempat pemijahan ikan dan biota laut lainnya.

2. Terganggunya aktivitas penangkapan ikan atau menurunnya produktifitas perairan (hasil tangkapan ikan) yang dirasakan oleh nelayan akibat operasional kapal tongkang dan dampak kekeruhan yang ditimbulkan saat kegiatan operasi penambangan bauksit dilakukan. Ke-dua presepsi masyarkat ini timbul berkaitan dengan kegiatan serupa yang dilakukan oleh kegitan dinamika penambangan masyarakat diwilayah dan kepulauan ekologi Riau di yang tidak lokasi memperhatikan dinamika wilayah

penambangan dan wilayah sekitarnya. Berkaitan dengan hal tersebut maka kegiatan penambangan bijih bauksit (besi) bila tidak diinformasikan secara informatif dan benar kepada masyrakat nelayan yang melakukan operasi diwilayah tapak proyek ataupun masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah sekitar tapak proyek dan/atau masyarakat yang bertempat tinggal diwilayah sekitar tapak proyek tentang rencana kegiatan penambangan dapat memicu terjadinya konflik sosial. Informasi tersebut baik mulai dari tahap perencanaan penambangan, tahap persiapan, tahap operasional sampai paska penambangan, termasuk kompensasi yang akan diterima oleh masyarakat dari terganggunya aktivitas penangkapan ikan ataupun peningkatan pendapatan mereka, maka persepsi berlanjut menjadi keresahan masyarakat. ini akan menjadi masalah yang

5.3.3

Solusi alternatif untuk mengantisipasi terjadinya perubahan ekosistem perairan.

Solusi alternatif yang ditawarkan guna menindak lanjuti terhadap ke-dua (2) isue penting tersebut adalah sebagai berikut : Pengelolaan pertambangan bauksit (termasuk bahan tambang lainnya) diarahkan agar dilakukan secara baik dan benar (good mining practice), dalam arti bahwa kegiatan usaha pertambangan agar memenuhi ketentuan-ketentuan, kriteria, kaidah dan norma-norma yang tepat sehingga pemanfaatan sumber daya mineral memberikan hasil yang optimal dengan dampak buruk minimal (Suyartono, 2003). Disatu sisi usaha pertambangan tetap menguntungkan, namun didisi lain dituntut agar antara tetap lain memperhatikan/kepedulian bahwa usaha terhadap kondisi lingkungannya. mendukung Sebagaimana tertuang dalam Undang Undang No.4, tentang MINERBA, pasal 2.b menyebutkan pertambangan harus

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 32

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup, juga dalam pasal 8.g disebutkan bahwa usaha pertambangan dituntut untuk melaksanakan pengembangan dan pembangunan masyarakat setempat dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Walaupun lokasi penambangan bauksit di daerah Kijang telah sesuai dengan peruntukkan tataruangnya, namun sebagaimana tertuang dalam strategi penataan ruang wilayah pesisir dan lautan termasuk didalamnya laut perbatasan negara bagi kemakmuran rakyat yang meliputi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang secara terpadu dan tak terpisahkan dari ruang daratan dengan memperhatikan kepentingan sektoral dan daerah untuk mewujudkan tata ruang wilayah pesisir dan lautan yang berkualitas dan berwawasan lingkungan (Bappeda Kabupaten Bintan, 2007). Berdasarkan kajian tersebut, solusi yang diusulkan guna memitigasi terjadinya tingkat kekeruhan maka: Sebagai bentuk kepedulian perusahaan pertambangan bauksit terhadap lingkungan, perusahaan pertambangan agar diwajibkan untuk membuat tanggul dan kolam pengendapan pada setiap dermaga pengapalan (jeti), sehingga tingkat kekeruhan perairan terutama pada saat terjadi turun hujan dapat diminimalisir. Alternatif solusi bahwa setiap usaha pertambangan tidak selalu harus membuat masing-masing dermaga pengapalan (jeti), namun beberapa perusahaan pertambangan bisa saling berkolaborasi untuk membuat satu dermaga pengapalan (jeti) yang berkualitas sesuai dengan ketentuan standar yang berlaku untuk digunakan secara bersama-sama. Solusi lainnya bisa juga dilakukan pengapalan produk tambangnya dengan cara memanfaatkan dermaga ex. PT. Aneka Tambang yang mempunyai standar internasional untuk digunakan secara bersama-sama melalui sistem sewa atau ganti rugi. Pelaksanaan pemantauan lingkungan pertambangan oleh dinas-dinas terkait (yakni: dinas pertambangan, dinas lingkungan hidup dan dinas perikanan dan kelautan) hendaknya dilakukan secara terpadu. Rencana penambangan bijih bauksit (besi) di Pulau Mamot yang hingga kini masih dalam tahap eksplorasi, diusulkan untuk tidak ditindak lanjuti dengan tahap eksploitasi mengingat berbagai aspek yang perlu dpertimbangkan, diantaranya bahwa: Undang Undang No.27 tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Salah satu pasal menyebutkan bahwa luas pulau-pulau kecil

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 33

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

(< 2.000 Ha) perlu dilindungi, termasuk diantaranya Pulau Mamot yang hanya dengan luas sekitar 778 Ha. Perairan sekitar pesisir Pulau Mamot merupakan daerah perlindungan laut (DPL) yang perlu dilestarikan, mengingat perairan tersebut kaya akan terumbu karang, padang lamun dan vegetasi mangrove. Perairan sekitar pesisir Pulau Mamot kaya kan jenis ikan, yang merupakan sumber kehidupan bagi sebagian besar masyarakat yang tinggal di pulau tersebut. Disamping itu juga terdapat beberapa sumber mata air, yang merupakan penopang kehidupan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar Pulau Mamot. Berdasarkan strategi pengembangan dan pemanfaatan lahan, Pulau Mamot termasuk wilalayah peruntukan pertanian dan perikanan serta permukiman, tidak untuk lahan pertambangan. Mengingat luas pulau Mamot relatif kecil, maka kemungkinan jumlah cadangan bijihnya juga relatif kecil, sehingga jika ditambangpun lebih banyak dampak negatifnya dibandingkan dengan dampak positifnya. Walaupun secara regional telah dilakukan studi AMDAL, namun dalam kenyataannya berpotensi timbulnya konflik, mengingat sebagian besar masyarakat menentang.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

V - 34

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian

BAB - VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian, baik dari pengamatan di lapangan maupun dari hasil analisis di laboratorium dapat disimpulkan bahwa: 1. Kijang, Pulau Bintan dengan perubahan tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan. Namun sejauhmana perubahan tingkat kekeruhan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Hasil analisis baik citra landsat maupun ALOS mengindikasikan adanya perubahan tingkat kekeruhan dari arah selatan (sumber dampak) menuju keutara (lokasi DPL), secara kualitatif dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kategori, yakni: kategori kekeruhan tinggi, sedang dan rendah. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa perubahan tingkat kekeruhan tersebut secara signifikan hanya bersifat sesaat (temporer), yakni ketika turun hujan lebat. Sebagai sumber dampak adalah di lokasi beberapa dermaga pengapalan (jeti). Hasil model perhitungan berdasarkan hukum stokes penyebaran kekeruhan bisa mencapai radius sekitar 2 km dari sumber dampak, yang tergantung dari sifat fisik (ukuran butir, densitas) dan volume material, dan dipengaruhi oleh kondisi iklim (curah hujan) dan hidrooceanografi (arah dan kecepatan arus, gelombang dan pasang surut) serta sifat fisik medium pembawa (densitas, viskositas air laut). Sementara ini untuk penambangan bauksit di Kepulauan Lingga belum nampak adanya korelasi tersebut, mengingat lokasi penambangannya relatif perairan pesisir Pulau Mamot (> 2 km). 2. Korelasi antara perubahan tingkat kekeruhan dengan perubahan ekosistem perairan sebagai akibat dampak aktivitas penambangan baik di Pulau Bintan maupun di Mamot (Lingga), secara umum belum menunjukkan adanya perubahan ekosistem perairan yang signifikan. Namun sejauhmana korelasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: jauh dari

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

VI - 1

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian

Kondisi eksisting perairan di kedua lokasi kajian tersebut berdasarkan indikator parameter fisik air, kimia dan kandungan logam berat serta biota perairan masih dalam kondisi batas normal bagi kehidupan biota perairan. Walaupun terdapat beberapa parameter melebihi dan / atau sedikit dibawah nilai baku mutu KLH, namun jika ditarik garis dari titik sample yang diambil dari sekitar DPL menuju titik sample yang diambil dari perairan di sekitar sumber dampak, menunjukkan adanya kecenderungan perubahan kualitas fisik

perairan yang cukup signifikan. Sedangkan perubahan kualitas kimia dan kandungan unsur logam berat serta parameter biota perairan walaupun tidak signifikan, namun juga memperlihatkan adanya kecenderungan yang semakin meningkat. Hasil pengamatan terhadap terumbu karang dan padang lamun di sekitar lokasi DPL (seperti perairan pesisir Pantai Trikora, perairan pesisir Pulau

Mapor dan perairan pesisir Pulau Pangkil) masih dalam kondisi normal. Secara umum belum terjadi perubahan secara signifikan, kecuali terumbu

karang dan padang lamun di sekitar lokasi dermaga (jeti) dengan tingkat kekeruhan tinggi, pada umumnya sudah mulai rusak dan bahkan mati. Demikian pula tentang kondisi vegetasi mangrove pada umumnya masih dalam kondisi baik, kecuali vegetasi mangrove yang berada di sekitar aktivitas penambangan bauksit di bagian selatan pesisir Pulau Bintan mengalami ancaman kerusakan yang cukup serius. 3. Walaupun secara umum perubahan tingkat kekeruhan belum berdampak secara signifikan terhadap perubahan ekosistem perairan, namun dengan semakin meningkatnya aktivitas penambangan bauksit dan aktivitas lainnya tanpa memperhatikan kepedulian terhadap lingkungannya, kini merupakan ancaman yang cukup serius akan terjadinya perubahan ekosistem perairan di sekitar daerah perlindungan laut (DPL) yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi yang perlu dilestarikan. 4. Kekhawatiran masyarakat (khususnya nelayan) yang tinggal di wilayah pesisir timur Pulau Bintan dan pesisir Pulau Mamot, baik terhadap aktivitas penambangan maupun rencana penambangan bauksit cukup beralasan, karena persepsi masyarakat tentang dampak negatifnya menyangkut berbagai aspek kehidupan mereka yang perlu mendapat perhatian pemerintah. Persepsi masyarakat yang dimaksud adalah daya tangkap (sikap) dan informasi yang diterima oleh masyarakat tentang dampak negatif aktivitas penambangan tersebut diantaranya:

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

VI - 2

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian

Rusaknya wilayah perairan pantai dengan ekosistem dasar perairan sebagai tempat pemijahan ikan dan biota laut lainnya. Sementara tingkat kekeruhan yang terjadi akibat penambangan, bersamasama dengan gangguan eksositem pantai akan mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap kelimpahan dan keanekaragaman plankton, benthos, dan nekton dan berdampak lebih lanjut terhadap penurunan produktifitas primer serta pertumbuhan terumbu karang.

Menjauhnya ikan-ikan dari lokasi daerah penangkapan ikan (fishing ground) akibat terganggunya wilayah tersebut oleh aktivitas penambangan. Terganggunya jalur penangkapan nelayan karena sebagian kawasan tumpang tindih dengan fishing ground (daerah tangkapan ikan nelayan). Terganggunya lalu lintas perahu nelayan untuk menuju lokasi penangkapan ikan dan atau penangkapan hasil produksi ikan. Terganggunya prasarana dan sarana penangkapan ikan karena kegiatan lalu lintas penambangan. Seperti rusaknya alat tangkap ikan, karena untuk alat penangkapan ikan jenis jaring rawai yang biasanya ditebar di pesisir atau selat karena bisa tertabrak dan terseret oleh melajunya kapal tongkang pengangkut bauksit.

Menurunnya produksi atau produktivitas hasil tangkapan ikan nelayan karena adanya penurunan tingkat produktivitas primer diwilayah perairan sekitar

lokasi penambangan. Kemungkinan besar menurunnya pendapatan keluarga nelayan, terutama nelayan tradisional sebagai efek dari penurunan hasil tangkapannya, khususnya bagi sebagian besar nelayan yang dikelompokkan sebagai nelayan miskin.

6.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, disarankan bahwa : 1. Bagi perusahaan pertambangan bauksit (termasuk bahan tambang lainnya) diarahkan agar dalam pengelolaannya dilakukan secara baik dan benar (good mining practice), dalam arti bahwa kegiatan usaha pertambangan agar memenuhi ketentuan-ketentuan, kriteria, kaidah dan norma-norma yang tepat sehingga pemanfaatan sumber daya mineral memberikan hasil yang optimal dengan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

VI - 3

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian

dampak buruk minimal. Secara kongkritnya untuk mencegah atau mengantisipasi terjadinya perubahan ekosistem dapat dilakukan sebagai berikut: Perusahaan pertambangan diwajibkan untuk membuat tanggul dan kolam pengendapan pada setiap dermaga pengapalan (jeti), sehingga tingkat kekeruhan perairan terutama pada saat terjadi turun hujan dapat diminimalisir. Beberapa perusahaan pertambangan bisa saling berkolaborasi untuk

membuat satu dermaga pengapalan (jeti) yang berkualitas sesuai dengan ketentuan standar yang berlaku untuk digunakan secara bersama-sama. Solusi alternatif lainnya bisa dilakukan dengan cara memanfaatkan dermaga ex. PT. Aneka Tambang yang telah mempunyai standar internasional untuk digunakan secara bersama-sama melalui sistem sewa atau ganti rugi. Aktivitas penambangan bauksit perlu dilakukan secara ekstra hati-hati dan bijaksana. Kepedulian terhadap lingkungan perlu dicanangkan semenjak perencanaan tambang hingga paska tambang. Seperti lokasi penambangan yang berada disekitar pulau-pulau kecil dan daerah konservasi agar dibuat buffer untuk mengamankan keberadaan pulau-pulau kecil konservasi tersebut. 2. Pelaksanaan pemantauan lingkungan pertambangan oleh dinas-dinas terkait (yakni: dinas pertambangan, dinas lingkungan hidup dan dinas perikanan dan kelautan) hendaknya dilakukan secara terpadu dan intensif, sehingga: Pelanggaran baik aktivitas penambangan maupun aktivitas lainnya yang dapat merusak daerah konserfasi dapat dicegah atau dihindari. Terlindunginya daerah konservasi seperti daerah perlidungan laut (DPL) dan pulau-pulau kecil dari ancaman terjadinya degradasi lingkungan. Terlindunginya masyarakat kecil, termasuk para nelayan dari kehilangan penopang kehidupannya. 3. Mengingat baik Undang Undang No.27 tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil maupun Undang Undang No. 4 tahun 2009, tentang MINERBA, maka rencana penambangan bijih bauksit (besi) di Pulau Mamot yang hingga kini masih dalam tahap eksplorasi, sebaiknya untuk tidak ditindak lanjuti dengan ijin eksploitasi. dan daerah

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

VI - 4

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, Undang-Undang No.27 Tahun 1999 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Anonim, Undang-Undang No.32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Anonim, Undang-Undang No.4 Tahun 2009, tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Anonim, Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayti dan Ekosistemnya. Anonim, Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Anonim, Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Anonim, Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Anonimous, A field guide to aquatic phenomena, http://www.umaine.edu/

WaterResearch/ FieldGuide/ color. htm#blue. Anonimous, Causes of Color, http:// webexhibits.org /causesofcolor /5B.html Atlas of ADB Project Implementation Area dan Coremap, 2006, Bappeda Kab.Bintan, 2007, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bintan,

Pemerintah Kabupaten Bintan Bappeda Kab.Lingga, 2007, Rencana Tata Ruang Wilayah Pemerintah Kabupaten Lingga BMKG, 2009, Evaluasi Cuaca dan Sifat hujan Bulan Juli serta Prakiraan Cuaca dan Sifat Hujan Bulan Agustus, Buletin Meteorologi, Hang Nadin, Batam BMKG, 2010, Evaluasi Cuaca dan Sifat hujan Bulan Maret serta Prakiraan Cuaca dan Sifat Hujan Bulan April, Buletin Meteorologi, Hang Nadim, Batam Clark, R.B, 1989, Marine pollution, Oxford, Clarendon Press. Harning, R, Djohan, E, Rahayu, S., 2006, Dasar-dasar aspek social Terumbu Karang Indonesia, desa Limbung, Kecamatan Lingga Utara, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau, Coremap-LIPI, Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Jakarta 2006. Hendrik, A.W.C, Djuwariah., 2008, Monitoring Terumbu Karang Pulau Bintan, Pulau Mapur, Coral Reef Rehabilitation and Management Program LIPI, Jakarta. Kabupaten Bintan,

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

VII - 1

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian

Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup, No.Kep-02/MENKLH/I/1988, tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Korzeniewski, K and Neugebaur, E, 1991, Heavy metal contamination in the polish zone at South Baltic. Mar.Pollt.Bull.23, 687 689. Kusnama, Sutisna, K, Amin,T.C, Koesoemadinata, S, Sukardi, Hermanto, B., 1994, Peta Geologi Lembar Tanjungpinang, Sumatera, Pusat Peneltian Geologi, Bandung. Peraturan daerah Kabupaten Bintan Nomor 14 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bintan tanggal 23 Agustus 2007 Peraturan Pemerintah No.21 tahun 2006 tentang Penyelengaraan Penanggulangan Bencana Siegal,B.S., and Gillespie,A.R., Remote Sensing in Geology, John Wiley & Sons, New York, 1979. Sutisna, K, Burham, G, Hermanto, B., 1994, Peta Geologi Lembar Dabo, Sumatera, Pusat Peneltian Geologi, Bandung. Suyartono, 2003, Good Mining Practice Konsep tentang Pengelolaan Pertambangan yang Baik dan Benar, ISBN: 979-97534-7-3, Penerbit Studi Nusa, Semarang. Tim Asdir Kebijakan dan Pengembangan MMA/MCA, 2009, Mengenal Potensi Kawasan Konservasi Perairan (Laut) daerah, Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (Coremap II) Direktorat Jenderal Kelautan Pasisir dan Pulaupulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Vol.1. ISBN 978-6028717-30-4.

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010

VII - 2

You might also like