You are on page 1of 12

A.

Islam dan Musik


1. Pengertian Seni Musik
Seni musik (instrumental art) adalah bidang seni yang berhubungan dengan alat-alat musik
dan irama yang keluar dari alat musik tersebut. Bidang ini membahas cara menggunakan
instrument musik, misalnya musik vocal dan musik instrumentalia.
Seni musik dapat disatukan dengan seni instrumental atau seni vocal. Seni instrumentalia
adalah seni suara yang dipendengarkan melalui media alat-alat musik, sedangkan seni vocal
adalah melagukan syair yang hanya dinyanyikan dengan perantaraan oral (suara saja) tanpa
iringan instrument musik.
1

2. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:
a. Berdasarkan firman Allah:
=}g`4 +EEL- }4` O)O4;=4C
4O;_ g+CgE^- E_NOg }4N
O):Ec *.- )OO4) Ug
E-EOgC+-4C4 -+O- _
Elj^q +O _-EO4N -)_G`
^g
Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna
(lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan
menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.
(Qs. Luqmn [31]: 6)
b. Hadits Abu Malik Al-Asyari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:

1
Omar, Toha Yahya. 1983. Hukum Seni Musik, Seni Suara, dan Seni Tari Dalam Islam. Cetakan II. (Jakarta :
Penerbit Widjaya).

Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera,
arak, dan alat-alat musik (al-maazif). [HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590].
c. Hadits Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:
Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya,
mempelajarinya atau mendengar-kannya. Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR.
Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].
d. Hadits dari Ibnu Masud ra, Rasulullah Saw bersabda:
Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang. [HR. Ibnu Abi
Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf].
e. Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda:
Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi
dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.
[HR. Ibnu Abid Dunya.].
f. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Auf ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara
nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan
seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek
pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).
2

3. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian:
a. Firman Allah SWT:
Og^4C 4g~-.- W-ONL4`-47
W-ON`@OO4q` ge4:jOC .4` EEO

2
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/18/hukum-menyanyi-dan-musik-dalam-fiqih-islam/

+.- 7 4 W-4-u> _ ])
-.- OUg47 4g4u^- ^g_
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang yang melampaui batas. (Qs. al-Midah [5]: 87).
b. Hadits dari Nafi ra, katanya:
Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar suara
seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata;
Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu? sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia
lepaskan jarinya dan berkata; Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw. [HR. Ibnu
Abid Dunya dan al-Baihaqi].
c. Rubai Binti Muawwidz Bin Afra berkata:
Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu
denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan
mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah
seorang di antara mereka berkata: Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang
akan terjadi kemudian. Maka Nabi Saw bersabda:
Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi. [HR. Bukhari,
dalam Fth al-Br, juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].
d. Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba
Rasulullah Saw bersabda:
Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.
[HR. Bukhari].
e. Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang
melantunkan syiir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan
berkata:
Aku pernah bersyiir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu
Rasulullah Saw) [HR. Muslim, juz II, hal. 485].
3




4. Hukum Mendengarkan Nyanyian
a. Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama al-Ghina)
Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab
memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina) dengan
mendengar lagu (sama al-ghina). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-l
(perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara (at-taqayyud bi al-hukm
asy-syari). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-l jibiliyah, yang
hukum asalnya mubah. Af-l jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang
muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki,
menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya.
Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga
hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara gemericik air,
suara halilintar, suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya
saja di sini ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka
meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban amar maruf nahi munkar, dan tidak boleh
mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan, Saya akan membunuh si
Fulan! Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi,
sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar
maruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya.
Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah,
bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum

3
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/18/hukum-menyanyi-dan-musik-dalam-fiqih-islam/

asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak
dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar maruf nahi munkar. Nabi Saw bersabda:
Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan
tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika
tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemah-
lemah iman. [HR. Imam Muslim, an-Nasai, Abu Dawud dan Ibnu Majah].
4



5. Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima al-Ghina)
Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama al-ghina). Ada hukum
lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima li al-ghina). Dalam bahasa
Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama) dengan mendengar-interaktif (istima).
Mendengar nyanyian (sama al-ghina) adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi
misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan istima li al-ghina,
adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi dengan
penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana,
dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki,
Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama al-ghina)
adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (istima al-ghina)
bukan perbuatan jibiliyyah.
Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang
melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka
orang itu boleh mendengarkan nyanyian tersebut.
Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima al-ghina) dan
nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada

4
Al-Jazairi, Abi Bakar Jabir. 1992. Haramkah Musik dan Lagu ? (Al-Ilam bi Anna Al-Azif wa Al-Ghina
Haram). Alih Bahasa oleh Awfal Ahdi. Cetakan I. (Jakarta : Wala` Press).

ikhthilat) karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah
haram (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf an-Nas, hal. 104). Allah
SWT berfirman:
E W-N^> _E4` _/4EO
W-OOC O) `+Cg4 j)OOEN _
7^^) -+O) _UuVg)`
Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan
yang lainnya. (Qs. an-Nis [4]: 140).




6. Hukum Memainkan Alat Musik
Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya?
Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang dengan jelas
diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda
Nabi Saw:
Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal). [HR. Ibnu Majah]
( Abi Bakar Jabir al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (Al-Ilam bi Anna al-Azif wa
al-Ghina Haram), hal. 52; Toha Yahya Omar, Hukum Seni Musik, Seni Suara, Dan Seni
Tari Dalam Islam, hal. 24).
Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang
mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-
Muhalla, juz VI, hal. 59 mengatakan:
Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita
perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka
telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak. (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi,
Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).
Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah.
5
Inilah hukum dasarnya.
Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik
tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum
asalnya, yaitu mubah.
6

















5
Mubah merupakan tuntutan yang bersifat fakultatif. Artinya, tuntutan ini boleh dikerjakan atau tidak
dikerjakan sama sekali
6
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/18/hukum-menyanyi-dan-musik-dalam-fiqih-islam/


B. Islam dan Gender

1. Pengertian Gender

Gender artinya suatu konsep, rancangan atau nilai yang mengacu pada sistem
hubungan sosial yang membedakan fungsi serta peran perempuan dan laki-laki dikarenakan
perbedaan biologis atau kodrat, yang oleh masyarakat kemudian dibakukan menjadi budaya
dan seakan tidak lagi bisa ditawar, ini yang tepat bagi laki-laki dan itu yang tepat bagi
perempuan. Apalagi kemudian dikuatkan oleh nilai ideologi, hukum, politik, ekonomi, dan
sebagainya. Atau dengan kata lain, gender adalah nilai yang dikonstruksi oleh masyarakat
setempat yang telah mengakar dalam bawah sadar kita seakan mutlak dan tidak bisa lagi
diganti.
Jadi, kesetaraan gender adalah suatu keadaan di mana perempuan dan laki-laki
samasama menikmati status, kondisi, atau kedudukan yang setara, sehingga terwujud secara
enuh hak-hak an potensinya bagi pembangunan di segala aspek kehidupan berkeluarga,
berbangsa dan bernegara. Islam mengamanahkan manusia untuk memperhatikan konsep
keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan, baik sesama umat manusia maupun dengan
lingkungan alamnya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan
gender dalam masyrakat, tetapi secara teologis dan teleologis mengatur pola relasi
mikrokosmos (manusia), makrosrosmos (alam), dan Tuhan. Hanya dengan demikian manusia
dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah, dan hanya khalifah sukses yang dapat
mencapai derajat abadi sesungguhnya. Islam memperkenalkan konsep relasi gender yang
mengacu kepada ayat-ayat (al-Quran) substantif yang sekaligus menjadi tujuan umum
syariah (maqashid al-syariah), antara lain: mewujudkan keadilan dan kebajikan (Q.S. an-
Nahl [16]: 90):
Ep) -.- NON`4C ;E^)
^}=O;Oe"-4 ^<.4-C)4 OgO
_.O^- _OeuL4C4 ^}4N
g7.4=E^- @OE:4^-4
+/^4l^-4 _ 7Og4C :^UE
]NO-EO> ^_
Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

2. Kesetaraan Gender Dalam Al Quran

Di dalam ayat-ayat Alquran maupun sunnah nabi yang merupakan sumber utama ajaran
islam, terkandung nilai-nilai universal yang menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia dulu,
kini dan akan datang. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai kemanusiaan, keadilan,
kemerdekaan, kesetaraan dan sebagainya. Berkaitan dengan nilai keadilan dan kesetaraan,
Islam tidak pernah mentolerir adanya perbedaan atau perlakuan diskriminasi diantara umat
manusia. Berikut ini beberapa hal yang perlu diketahui mengenai kesetaraan Gender dalam
Al-quran.

a. Apa yang Dimaksud dengan Istilah "Gender"?

Gender adalah pandangan atau keyakinan yang dibentuk masyarakat tentang bagaimana
seharusnya seorang perempuan atau laki-laki bertingkah laku maupun berpikir. Misalnya
Pandangan bahwa seorang perempuan ideal harus pandai memasak, pandai merawat diri,
lemah-lembut, atau keyakinan bahwa perempuan adalah mahluk yang sensitif, emosional,
selalu memakai perasaan. Sebaliknya seorang laki-laki sering dilukiskan berjiwa pemimpin,
pelindung, kepala rumah-tangga, rasional, tegas dan sebagainya. Singkatnya, gender adalah
jenis kelamin sosial yang dibuat masyarakat, yang belum tentu benar. Berbeda dengan Seks
yang merupakan jenis kelamin biologis ciptaan Tuhan, seperti perempuan memiliki vagina,
payudara, rahim, bisa melahirkan dan menyusui sementara laki-laki memiliki jakun, penis,
dan sperma, yang sudah ada sejak dahulu kala.

b. Apakah Al-quran mengatur tentang kesetaraan Gender?

Ya, dalam alquran surat Al-Isra ayat 70 yang berbunyi ( ditulis alqurannya dalam buku
perempuan sebagai kepala rumah tangga hal 41) Bahwa Allah SWT telah menciptakan
manusia yaitu laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang terbaik dengan kedudukan yang
paling terhormat. Manusia juga diciptakan mulia dengan memiliki akal, perasaan dan
menerima petunjuk. Oleh karena itu Al-quran tidak mengenal pembedaan antara lelaki dan
perempuan karena dihadapan Allah SWT, lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan
kedudukan yang sama, dan yang membedakan antara lelaki dan perempuan hanyalah dari
segi biologisnya. Adapun dalil-dalil dalam Al-quran yang mengatur tentang kesetaraan
gender adalah:

1) Tentang hakikat penciptaan lelaki dan perempuan

Surat Ar-rum ayat 21, surat An-nisa ayat 1, surat Hujurat ayat 13 yang pada intinya berisi
bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia berpasang-pasangan yaitu lelaki dan
perempuan, supaya mereka hidup tenang dan tentram, agar saling mencintai dan menyayangi
serta kasih mengasihi, agar lahir dan menyebar banyak laki-laki dan perempuan serta agar
mereka saling mengenal. Ayat -ayat diatas menunjukkan adanya hubungan yang saling timbal
balik antara lelaki dan perempuan, dan tidak ada satupun yang mengindikasikan adanya
superioritas satu jenis atas jenis lainnya.
2) Tentang kedudukan dan kesetaraan antara lelaki dan perempuan

Surat Ali-Imran ayat 195, surat An-nisa ayat 124, surat An-nahl ayat 97, surat Ataubah ayat
71-72, surat Al-ahzab ayat 35. Ayat-ayat tersebut memuat bahwa Allah SWT secara khusus
menunjuk baik kepada perempuan maupun lelaki untuk menegakkan nilai-nilai islam dengan
beriman, bertaqwa dan beramal. Allah SWT juga memberikan peran dan tanggung jawab
yang sama antara lelaki dan perempuan dalam menjalankan kehidupan spiritualnya. Dan
Allah pun memberikan sanksi yang sama terhadap perempuan dan lelaki untuk semua
kesalahan yang dilakukannya. Jadi pada intinya kedudukan dan derajat antara lelaki dan
perempuan dimata Allah SWT adalah sama, dan yang membuatnya tidak sama hanyalah
keimanan dan ketaqwaannya.

3) Apa Saja Prinsip Kesetaraan

Gender dalam Al-Quran?
Menurut D.R. Nasaruddin Umar dalam "Jurnal Pemikiran Islam tentang Pemberdayaan
Perempuan" (2000) ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa prinsip-prinsip kesetaraan
gender ada di dalam Quran, yakni:
Perempuan dan Laki-laki Sama-sama Sebagai Hamba

Menurut Q.S. al-Zariyat (51:56), (ditulis alqurannya dalam buku argumen kesetaraan gender
hal 248) Dalam kapasitas sebagai hamba tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba
ideal. Hamba ideal dalam Quran biasa diistilahkan sebagai orang-orang yang bertaqwa
(mutaqqun), dan untuk mencapai derajat mutaqqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis
kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-
Hujurat (49:13)

Perempuan dan Laki-laki sebagai Khalifah di Bumi

Kapasitas manusia sebagai khalifah di muka bumi (khalifah fi alard) ditegaskan dalam Q.S.
al-Anam(6:165), dan dalam Q.S. al-Baqarah (2:30) Dalam kedua ayat tersebut, kata
khalifah" tidak menunjuk pada salah satu jenis kelamin tertentu, artinya, baik perempuan
maupun laki-laki mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan
mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi.

Perempuan dan Laki-laki Menerima Perjanjian Awal dengan Tuhan

Perempuan dan laki-laki sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian awal
dengan Tuhan, seperti dalam Q.S. al Araf (7:172) yakni ikrar akan keberadaan Tuhan yang
disaksikan oleh para malaikat. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya
diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan
yang sama. Quran juga menegaskan bahwa Allah memuliakan seluruh anak cucu Adam
tanpa pembedaann jenis kelamin. (Q.S. al-Isra/17:70)

Perempuan dan Laki-laki Sama-sama Berpotensi Meraih Prestasi

Peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara perempuan dan laki-
laki ditegaskan secara khusus dalam 3 (tiga) ayat, yakni: Q.S. Ali Imran /3:195; Q.S.an-
Nisa/4:124; Q.S.an-Nahl/16:97. Ketiganya mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang
ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual
maupun karier profesional, tidak mesti didominasi oleh satu jenis kelamin saja

You might also like