You are on page 1of 14

MINORITAS DALAM DEMOKRASI Advokasi Hak-hak Masyarakat Adat : Pengalaman dari Tanah Dayak Written by Giring, Institut Dayakologi,

Pontianak Tuesday, 02 September 2008 06:53 Pengantar Keanekaragaman etnik dan cultural di negara ini adalah sehuah kenyataan. Akan tetapi, kebijakan negara seringkali menyeragamkan keberadaan kelompok-kelompok masyarakat multi-etnis. UUD 1945 amandemen (terutama pasal 18b) mengakui keberadan hak-hak adat yang melekat pada masyarakat dalam wilayah persekutuan hukum adatnya. Kelompok minoritas dan masyarakat adat adalah kelompok yang diterima dan sekaligus ditolak di negara ini. Masyarakat adat tidak selalu sama dengan kelompok minoritas, namun bisa juga merupakan kelompok minoritas tergantung konteks posisinya dalam aspek-aspek tertentu. Mesikpun mayoritas orang Dayak hidup dalam wilayah persekutuan hukum adat sesuai subsukunya, tetapi mereka minoritas dalam konteks ketersingkiran baik dalam aspek sosial, budaya, ekonomi, dan potitik). Meraka mengakui adat-istiadat, dan mengakui-melindungi wilayah persekutuan hukum adatnya masing-masing, serta memiliki hak-hak asal-usul yang jelas (hak milik individu, keluarga, kolektif). Sebaliknya, kelompok minoritas pun belum tentu merupakan masyarak.at adat (cth. kelompok minoritas Tionghoa, Arab, India di Indonesia) Mereka tak mengenal wilayah/teritori persekutuan hukum adat & hak milik kolektif. Namun demikian, kelompok minoritas Tionghoa, Arab dan India sangat berperan dalam sistem perekonomian nasional.

Masyarakat adat Vs Negara

Negara bukannya tak tahu tentang adanya hak-hak masyarakat adat, dan hak-hak kelompok minoritas tetapi sesungguhnya negara (pemerintah) tak punya kemauan baik (good will) untuk mengakui dan melindungi mereka. Oleh karena itu, tidak heran jika negara cenderung turut mendukung proses penghancuran atas hak-hak masyarakat. Atas nama pembangunan negara (pemerintah pusat maupun daerah) memfasilitasi investor merampas dan menghancurkan SDA di wilayah persekutuan hukum adat orang Dayak. Dalam konteks ini seringkali terjadi pelanggaran atas hak-hak kepemilikan adat, baik yang berbasis individu, keluarga maupun kolektif. Sumber-sumber kehidupan: ekonomi primer/sekunder, kesehatan sosial-budaya masyarakat adat (Dayak) terancam dan bahkan hari ini secara massif teus menuju pada proses kehancuran. Sekedar contoh, ekspansi lahan perkebunan kelapa sawit 1,8 juta HA di sepanjang perbatasan RI. Malaysia (Kalimantan-Sarawak) 875 Km yang sedang beroperasi secara nyata mengancam keberadaan dan hak-hak masyarakat adat (berbagai sub-suku Dayak).

Keseriusan ancaman tersebut bisa ditunjukkan dengan adanya aksi protes, maupun penolakan dari masyarakat adat (Dayak): masyarakat adat (Dayak Iban) di Semunying Jaya (Kec. Seluas) terhadap PT. Ledo Lestari; masy. Adat (Dayak Bekati) di Rodaya di Kc. Lumar terhadap PT. Bengkayang Subur; dll). Masuknya investasi skala besar ini juga menimbulkan konflik (horisontal maupun vertikal). Masyarakat adat seringkali kalah dalam berhadapan dengan investasi skala besar. Negara dan aparaturnya justru berpihak kepada investor (kasus Nyayat (2001), Belimbing (1995), Rodaya (2008), Semunying Jaya (2008).

Tabel: Perluasan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Kalbar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Kabupaten Pontianak Sambas Bengkayang Landak Sanggau Sekadau Sintang Melawi Kapuas hulu Ketapang Total Perusahaan 25 19 16 31 26 16 27 13 24 64 251 Luas (ha) 401.472,00 195.470,00 191.125,00 434.860,00 372.259,00 269,544,00 519.400,00 172.650,00 425.000,00 1.164.208,00 2.981.780,00

Sumber: BAPPEDA KALBAR, April 2007

Padahal, selama ini, secara turun-temurun mereka mengelola SDA di wilayah persekutuan hukum adatnya untuk kelangsungan hidup mereka sesuai prinsip dan nilai sosial-kultural mereka. Sebagai pola adaptasi terhadap kharakteristik lingkungan alamnya, mereka mempraktikkan berladang dan bercocok tanam padi, sayuran, buah dengan cara tebastebang-bakar dan sistem gilir-balik.

Advokasi

Visi Institut Dayakologi dan lembaga-lembaga lain di bawah payung Gerakan Pancur Kasih: Masyarakat Dayak, dan masyarakat tertindas pada umumnya, mampu menentukan dan mengelola kehidupan dalam kebersamanan dengan semangat cinta kasih, hingga

mandiri secara ekonomi, bermartabat secara budaya dan berdaulat secara politik Advokasi hak-hak masyarakat adat (Dayak) yang dilakukan Institut Dayakologi tak terlepas dari sinergisitas unit-unit/lembaga kegiatan di bawah payung Gerakan Pancur Kaih. antara lain:

Melakukan inventarisasi, dokumertasi, dan penelitian sastra dan tradisi lisan. Mempublikasikan hasil dokumentasi itu dalam bentuk penerbitan bulanan (Majalah KR). Mendorong munculnya aktivis gerakan rakyat di tingkat kampong Membangun komunikasi dan jaringan kerja dengan organisasi lain (daerah Kalimantan, nasional, internasional). Turut kampanye tentang hak-hak masyarakat adat dalam berbagai kesempatan (lokal, nasional internasional) Mendukung dan mendirikan credit union yang mengadopsi prinsip dan nilai-nilai budaya Dayak, perpustakaan kampong, Sanggar (utusan kelompok masyarakat adat dan Chitagong Hill, Bangladesh, Tebtebba, dan Sabah studi banding ke CU Pancur Kasih untuk melihat lebih dekat gerakan ekonomi kerakyatan di Kalimantan). Revitalisasi dan restitusi kebudayaan Dayak. Institut Dayakologi mendorong aktivisnya merebut ruang-ruang publik (KPID, KPUD, sebagai anggota KOMNAS HAM Daerah Kalbar, PAN WASLU, & posisi di parlemen) untuk mempengaruhi sistem pengambilan keputusan publik terkait advokasi hak-hak masyarakat adat.

Kelompok masyarakat adat bukan merupakan masyarakat yang dominan, makanya diperlukan pengaturan-pengaturan khusus (tapi bukan untuk diistimewakan) buat mereka. advokasi hak-hak masyarakat adat (Dayak) merupakan aksi afirmatif atas keberadaan masyarakat adat terhadap kelompok-kelompok lainnya. Masyarakat adat (Dayak) menuntut pengakuan dan perlindungan atas keberadaan dan hak-hak mereka. Konon, negara Indonesia menjadi salah satu negara yang ikut meratifikasi deklarasi hak-hak MA di forum permanen PBB untuk hak-hak masyarakat adat se-dunia baru-baru ini. Paradoksnya, kenyataan banyak menunjukkan, negara (baca: pemerintah RI) menolak keberadaan hak-hak masyarakat adat.

Refleksi

Negara harus memiliki kemauan baik "good will untuk mengakui dan melindungi hakhak dan keberadaan masyarakat adat, serta hak-hak minoritas. Masyarakat adat seringkali menjadi korban tindak kekerasan, yang memancing tindakan kekerasan balik pula ketika membela hak-haknya. Untuk itu, sangat relevan dilakukan advokasi berbasis hak-hak terhadap masyarakat adat & kelompok minoritas. Tantangan ke depan adalah konflik SDA. Penting mendesak adanya jaringan kerja-kerja advokasi hak-hak masyarakat: multi-level, multi-dimensi, multi-bidang, mengingat dahsyatnya percepatan praktik pelanggaran hakhak masyarakat adat dan hak-hak minoritas. Pihak investor mengubah nama perusahaan mereka dengan konsep lokal untuk mengurangi aksi protes maupun perlawanan dari masyarakat adat setempat, karena nama lokal itu dibayangkan bisa melunakkan sikap penolakan masyarakat.* Last Updated ( Monday, 27 October 2008 05:30 ) Pengertian terhadap hak minoritas Written by Nia Sjarifudin Monday, 27 October 2008 05:17 Pengertian ininoritas selalu dikaitkan dengan jumlah (angka) yang lebih kecil dibanding angka lawan yang lebih besar. Dalam pemahaman demokrasi, hak ininoritas bisa dianalogikan sebagai situasi dimana hak-hak kelompok yang lebih kecil seharusnya menjadi perhatian untuk dilindungi oleh kelompok mayoritas.

Dalam konteks kasus pemeluk kepercayaan, ANBTI melihat tidak terlalu tepat atau tergesagesa mengaitkan kelompok ini kedalam golongan minoritas. Hal tersebut disebabkan oleh dikotomi agama yang diciptakan oleh pemerintah telah menciptakan dan membiarkan begitu lama dampak praktek diskriminasi hingga saat ini. Dikotomi agama resmi dan tidak resmi oleh pemerintah digolongkan menjadi kelompok resmi terdiri dari agama pendatang seperti Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha dan belakangan Kongkhucu. Sementara agama tidak resmi adalah kebanyakan terdiri dari

kepercayaan/spiritualitas budaya lokal bangsa-bangsa nusantara yang jumlah menurut Wikipedia mencapai lebih dari 200 aliran diseluruh Indonesia (Seperti Parmalin/Sumut, Sunda Wiwitan/Jawa Barat, Alu Tadalo/Toraja Sulsel dan seterusnya). Dikotomi tersebut berdampak luas terhadap hak sipil politik masyarakat penganutnya, banyak kasus ditemui mereka kesulitan mengakses pencatatan pernikahan, ketidakbebasan dalam penulisan kolom agama sesuai dengan kepercayaan yang mereka anut, hak anak hasil pernikahan adat yang dilanggar dengan memberikan status mereka menjadi anak yang lahir diluar pernikahan (karena negara tidak mau mencatatkan pernikahan orang tuanya) dan anak-anak ini mendapat stigma anak haram. Dampak akan terus berlanjut pada persoalan ketidaktersediaanya pengajar agama sesuai keyakinan mereka di sekolah, kesempatan mencari pekerjaan, fasilitas sebagai PNS dan sebagainya. Yang lebih memprihatinkan, stigma sesat ini dilegimitasi dengan banyaknya tayangan media yang menggambarkan ritual mereka sebagai sesuatu yang sesat bahkan sampai beberapa cerita sinetron malah memperluas stigma tersebut. Menghadapi hal ini, sejak lama beragam cara telah menjadi pilihan pemeluk kepercayaan untuk keluar dari masalah diskriminasi ini. Yang termudah tentu melakukan cara aman dengan terpaksa mengakui salah satu dari agama resmi, dengan harapan pilihan ini tentunya akan mendapat kemudahan dalam urusan pencatatan sipil dan sebagainya. Sebagian bertahan dengan banyak cara yang menyakitkan dan bahkan misalnya advokasi untuk pengakuan pernikahan secara negara ditempuh sampai jalur-jalur hukum, kebanyakan mereka akan sulit mendapat keadilan. Pada prakteknya, pemerintah juga sering menggolongkan pemeluk kepercayaan adat lokal kedalam agama tertentu. Contoh kasus pemeluk kepercayaan Kaharingan di Kalimantan, masyarakat Naulu di Pulau Seram Maluku, masyarakat Talotang Sulawesi Selatan dan lainnya dikelompokan menjadi pemeluk agama Hindu, padahal ritual mereka sangat berbeda. Realita ini harus menjadi refleksi bagi kita, bahwa data statistik di Indonesia sangat tidak akurat dengan adanya diskriminasi pada pemeluk kepercayaan dari agama yang digolongkan tidak resmi. Oleh karena itu kelompok pemeluk agama/kepercayaan lokal lebih tepat disebut sebagai kelompok termarjinal atau terdiskriminasi.

Pengalaman Advokasi Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) mempunyai mandat untuk melakukan upaya dalam mempertahankan Indonesia sebagai negara Bhinneka Tunggal Ika dan

mengembalikan kehidupan negara yang berkonstitusi. Hal ini sebagai respon keprihatinan terhadap situasi aktual dimana lahirnya ratusan aturan dan kebijakan inkonstitusional dan benuansa agama Islam dan kemudian disusul Raperda Kota Injil di Kabupaten Manokwari Papua. Belum lagi banyak aturan lain menyangkut ketidakadilan dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang sekarang banyak dikuasai asing dan meminggirkan masyarakat di sekitar pusat sumber daya alam tersebut. Kondisi ini jauh dari semangat pasal 33 UUD 1945 dimana harusnya SDA digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan masyarakat. Begitu juga kondisi kebebasan beragama dan menjalankan ibadahnya yang dijamin dalam pasal 29 UUD 1945 tidak terimplementasi dengan baik dengan adanya Dikotomi agama dan mendiskriminasi pemeluk agama lokal. Ini kondisi yang paling memprihatinkan dari kehidupan berbangsa kita karena spiritual lokal yang sebenamya perwujudan dari spiritual jati diri bangsa kita.

Program terkait dengan advokasi diatas adalah - Penguatan jaringan masyarakat penganut kepercayaan khususnya komunitas adat melalui upaya memfasilitasi workshop, sarasehan dan sebagainya (antara lain workshop dijabar dan Sulsel, 2 kali pertemuan di Cigugur dalam tahun 2007) - Advokasi kebijakan (revisi UU Adminduk, UU Sikdinas, Kovenan Ecosoc, RUU APP dan lainnya yang terkait) - Melakukan kampanye untuk mendukung usaha advokasi mengembalikan hak-hak masyarakat penganut kepercayaan - Meningkatkan kapasitas masyarakat adat penganut kepercayaan dalam melakukan advokasi hak-hak mereka (pelatihan penulisan, pembuatan film, dll)

Dalam 5 pertemuan konsolidasi Bhinneka Tunggal Ika di 5 regional (satu diantaranya sudah dilaksanakan di Banjarmasin Kalsel), advokasi masyarakat adat menjadi agenda pembahasan dan menjadi bagian komitmen yang dituangkan dalam deklarasi hasil pertemuan. Khusus sebagai pertemuan nasional masyarakat adat penganut kepercayaan akan diadakan pada Desember 2008 dalam bentuk Sarasehan Nasional Bhinneka Tunggal Ika yang akan diadakan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta dan dilanjutkan dengan menghadiri Saren Taun di Cigugur Kuningan jawa Barat.

(Jakarta, 27 Agustus 2008 oleh Nia Sjarifudin) http://pspn.filsafat.ugm.ac.id/mid/index.php/artikel/7-pengertian-terhadap-hakminoritas.html 20:50 http://pspn.filsafat.ugm.ac.id/mid/index.php/artikel/9-membangun-bangsa-tanpakekerasan.html 20:50 MEMBANGUN BANGSA TANPA KEKERASAN Written by PM Laksono Monday, 27 October 2008 05:22 Pengantar Bayangkan saja heterogenitas yang dimiliki Indonesia. Jumlah penduduknya tahun 2008 diperkirakan lebih dan 230 juta jiwa. Mereka tersebar dalam suatu wilayah kepulauan yang amat luas dari Sabang sampai Merauke. Ukuran pulau-pulaunya berbeda-beda sangat ekstrim dan sangat kecil tidak dihuni manusia hingga ukuran raksasa. Masing-masing pulau dihuni oleh suku bangsa yang berbeda-beda, bahkan dalam satu pulau dapat hidup ratusan suku bangsa, seperti di Papua terdapat paling tidak 236 suku yang jumlah warganya dari ratusan hingga ratusan ribu. Sementra di wilayah barat terdapat suku-suku bangsa dengan jumlah anggotanya hingga puluhan juta jiwa seperti Jawa dan Sunda di pulau Jawa. Di Kalimantan Barat saja inisalnya terdapat 168 suku bangsa. Memang sejak sensus penduduk terakhir 1931, kita tidak memiliki acuan resini untuk mengetahui besaran penduduk Indonesia menurut kesukubangsaannya, sehingga kita menyamakan saja perbedaan bahasa sebagai perbedaan suku bangsa. ini pun pengetahuan kita tentang bahasa-bahasa daerah amat sangat kurang. Bahkan banyak bahasa belum tertuliskan/teridentifikasikan.

Pada awal abad 20 Pemerintah Belanda berhasil menyatukan seluruh wilayah itu di dalam sistem yang oleh JS Furnivall disebut masyarakat plural. Di dalam regim kolonial itu masyarakat yang berbeda-beda asal-usul kesukuannya dipersatukan dan disusun berlapis secara apartheid menurut warna kulitnya. Para pribumi diletakkan di dasar piramida, kemudian orang-orang Cina dan Timur Asing lainnya di atasnya, lalu orang-orang yang dipersamakan dengan orang Eropa di atasnya lagi dan akhirnya di puncak hirarki adalah orang-orang Eropa. Mereka semua hidup terpisah-pisah, berbicara dalam bahasa masingmasing dan memeluk agama serta adat-istiadatnya masing-masing. Satu-satunya tempat pertemuan mereka adalah di pasar dengan menggunakan bahasa Melayu pasar yang kelak kemudian hari berkembang jadi bahasa Indonesia modern. Belanda baru menyerahkan seluruh kepulauan itu kecua1i Papua kepada Republik Indonesia Serikat pada 14 Desember 1949 sebagai responnya terhadap perjuangan kemerdekaan yang diproklamirkan pada

tanggal 17 Agustus 1945. Jadi negara dan bangsa Indonesia paska kolonial selain mewarisi wilayah yang begitu Luas, juga mewarisi segala konsekwensi dari proses penyederhanaan/pemersatuan dari segala macam perbedaan historis serta struktural yang tercakup di seantero negeri ini. Tentu saja juga termasuk konsekwensi dari penyederhanaan sistem agraria dan distribusi sumber daya alam (misalnya hutan, laut dan air) lainnya. Semua itu kemudian terangkum dalam urusan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan), yaitu sekalian hubungan sosial yang nyaris menjadi tabu untuk dibicarakan karena dianggap sensitif sebagai pemicu kekerasan.

Kisah-kisah Khusus Sekitar 20 tahun yang lalu, Orang kaya petinggi tiga desa di pantai timur P Dulah, Kecamatan Kei Kecil, khawatir akan terjadi perkelahian warga berbasis SARA. Konon ia khawatir hanya karena ada seorang perempuan asal Pulau Tanimbar dilecehkan oleh dua orang pemuda Kei, yang sebaliknya juga mengaku dilecehkan oleh si perempuan. Kedua belah pihak tidak hanya beda suku tetapi juga beda agama. Orang kaya khawatir persoalan akan meluas. Agar kekhawatirannya itu tidak menjadi kenyataan, maka ia menggelar sidang adat. Ia ingin menyelesaikannya dengan azas kekeluargaan. Keputusannya pihak laki-laki bagaimanapun bersalah secara adat dan diharuskannya untuk membayar denda penghapus air mata sebesar Rp.50.000,-. Tentu saja pihak laki-laki protes karena mereka merasa pelecehan atas diri mereka oleh si perempuan tidak diperhatikan oleh Orang kaya. Menanggapi keberatan pihak laki-laki itu, pihak keluarga perempuan yang diwakili oleh seorang anggota polisi dan seorang pendeta merasa malu dan mengatakan bersedia juga menerima hukuman. Orang kaya tidak mau mengubah keputusannya menuju pertukaran denda. Ia tidak mau kensafaa, bahwa semua salah semua menang. Ia hanya mau bertahan pada keputusannya, bahwa bagaimanapun adat melindungi perempuan dan tidak sepantasnya laki-laki menghina perempuan di muka umum. Pihak laki-laki pun semakin keras protes sambil unjuk keberanian kalau perkara dibawa ke kantor polisi karena merasa punya keluarga polisi juga, bahkan salah seorang isterinya nimbrung unjuk kekuatan. Karuan saja sidang adat jadi heboh. Orang kaya pun semakin keras bertahan dan menganggap kedua orang laki-laki yang sedang berperkara di hadapannya tidak tahu adat. Sidang adat itu mendadak diakhirinya tanpa keputusan, kecuali membiarkan perkaranya diselesaikan polisi (Laksono 1990). Dalam kasus lain, kekhawatiran terhadap konflik terbuka antar suku akibat seorang perempuan Tanimbar merasa martabatnya dilecehkan oleh seorang laki-laki Kei, yang ingkar janji cinta, dapat diselesaikan secara adat Tanimbar. Kejadiannya seingat saya begini. Perempuan itu merasa telah menjadi pacar sang pemuda, bahkan sudah berkiriman foto segala. Namun kemudian ternyata si pemuda memilih bertunangan dengan perempuan lain. Pihak perempuan kemudian mcnggerakkan keluarga luasnya dipimpin seorang anggota polisi untuk menuntut pihak laki-laki yang dianggap telah mempermalukan si perempuan. Saya kebetulan mengikuti proses penyelesaian adatnya. Orang-orang tua dan salah satu klien bersama-sama berangkat mendatangi rumah pak polisi itu untuk menyerahkan

pembayaran denda adat. Dalam pertemuan itu pihak laki-laki diputuskan harus membayar denda setara dengan sejumlah emas, yang waktu itu (tahun 1986) kalau saya tidak keliru sebesar Rp.200.000,-. Mereka patungan dan bayar lunas denda itu. Setelah itu kami semua yang hadir dalam pertemuan adat itu disuguhi minum sopi oleh pihak perempuan sebagai tanda penutup kesepakatan adat dan tanda pencairan hubungan baik (antar suku Tanimbar dan Kei). Dalam perjalanan pulang Orang Kaya yang menjadi juru bicara perundingan dengan setengah mengumpat menyesalkan pembayaran denda tadi dengan membayangkan lebih baik uang itu untuk membayar harta kawin perempuan itu agar dikawinkan dengan pemuda lain. Dari dua perkara itu jelas kekhawatiran terhadap lahirnya kekerasan antar suku diletakkan sebagai bungkus isu atas prsoalan-persoalan yang lebih personal dan mungkin juga sepele sekali. Tentu saja efektifitas bungkus isu itu tergantung pada kelihaian para pihak yang berselisih untuk menarik konteksnya. Pada kasus pertama jelas-jelas Orang Kaya gagal mengajak para pihak yang berselisih untuk masuk dalam konteks yang dianganangankannya, sehingga sidang adat yang dipimpinnya gagal dan perkara diserahkan ke polisi (hukum positif). Pada kasus yang kedua pak polisi yang mewakili ketua adat orang Tanimbar di Tual berhasil membawa para orang tua Kei untuk menerima bangunan konteks adat (Tanimbar) yang dibayangkannya serta membayar dendanya dan minum sopi bersama, meskipun dengan setengah menyesalinya. Di sini betapa pun kita melihat peluang adat salah satu suku dapat menjadi alat penyelesaian konflik antar dua suku yang berbeda karena salah satu suku jelas-jelas mengalah. Kalau dalam kasus pertama adat dan satu suku gagal menyelesaikan kekhawatiran konflik antar suku, maka dalam kasus kedua justru berhasil. Saya melihat di situ faktor yang membedakan hasil dan penerapan satu strategi yang sama adalah kwalitas para pelaku (agen) pelaksana adat. Pada kasus pertama Orangkaya memilih bertahan pada kuasa katanya bahkan ketika pihak-pihak yang bersengketa sudah mulai sepakat untuk bertukar hukuman. Anggota polisi dan pendeta asal Tanimbar itu bahkan sudah pasrah untuk menerima denda dan kuasa adat Kei. Namun tetap saja Orang kaya memilih untuk melepas pihak laki-laki Kei sebagai tidak tahu adat, sebagai bukan anak adat yang dibayangkannya. Artinya satu adat tertentu beresiko gagal untuk menyelesaikan konflik antar suku dan baru efektif kalau pemangkunya sendiri pertama-tama bulat sepakat menyelesaikan perkaranya lewat jalur adat seperti yang terjadi pada kasus kedua. Pada kasus kedua tidak ada konflik internal di antara pemangku adatnya seperti pada kasus pertama. Selain itu sangat mungkin, walau tidak pernah dikatakan, fakta bahwa wakil adat Tanimbar dalam kasus kedua adalah seorang anggota polisi telah sangat menentukan kesuksesannya menerapkan adat Tanimbar pada orang non Tanimbar (yang terdiri warga sipil saja). Sedang pada kasus pertama klaim bahwa pihak lali-laki juga punya kerabat anggota polisi turut rnenyumbangkan kegagalan adat, sehingga perkara terpaksa yang melibatkan hubungan antar suku itu terpaksa dibawa ke ranah kepolisian (negara) yang dianggap mengatasi urusan antar adat. Relevansi negara justru terletak pada hubungan antar adat, antar suku bangsa, ketika kuasa adat salah satu suku tidak dapat lagi diterapkan di luar batas kesukuannya. Selain dari soal-soal hubungan personal laki-laki dan perempuan beda suku, atau dari

urusan reproduski biologis dan sosial ikutannya, persoalan kekhawatiran akan perluasan konflik/kekerasan antar suku atau etnik juga seringkali terpicu oleh perebutan akses pada sumber-sumber hidup yang biasanya dianggap terletak lebih dekat pada suku tertentu. Masalah apropriasi tanah oleh para petani pendatang, eksploitasi hasil hutan dan tambang oleh para penambang dari luar, dan ekspoitasi hasil laut oleh nelayan dari luar seringkali memicu konflik antar etnik di berbagai daerah terutama di daerah-daerah yang penduduknya berstruktur sosial tribal dan dalam satuan-satuan yang relatif kecil jumlahnya. Kemudian apropriasi ruang-ruang publik, seperti lahan-lahan parkir, terminal, stasiun, pelabuhan dan pasar di kota-kota yang juga dianggap telah menjadi milik kelompok etnik profesi tertentu juga sering jadi pemicu konflik antar etnik. Wilayah-wilayah rebutan sumber ini secara teknis disebut sebagai frontier, yaitu ruang hampa hukum. Di sana setiap orang dibayarkan dapat maju menaklukkan yang lain untuk menguasai (lebih dahulu) sumber hidup yang ada. Siapa kuat/besar menang. Memang benar di kawasan Timur Indonesia yang komposisi keragaman etniknya begitu besar dalam unit-unit kecil dan rentan, masyarakat etnik tempatannya terancam oleh tekanan kekuatan nilai-nilai dari luar yang lebih kuat dan mendapat dukungan negara, modal serta restu lembaga-lembaga keagamaan. Sementara di wilayah Barat, terutama di pulau-pulau besar seperti Jawa, sebagian Sumatera, Bali, sebagian Sulawesi tinggal kelompok-kelompok suku bangsa dalam unit besar hingga puluhan dan ratusan jiwa. Mereka tinggal di daerah-daerah yang relatif miskin sumber daya alam. Orang-orang dari tempat ini bergerak ke Timur ikut dalam eksploitasi sumber daya alam di sana yang nyaris menyingkirkan partisipasi masyarkat tempatan. Jauh sebelumnya sejak zaman kolonial, misalnya di Papua nilai-nilai keagamaan diperkenalkan terlebih lahulu. Katolik dari arah selatan, Protestan dari arah utara dan Islam dari arah Barat. Agama sejak lama telah dimanfaatkan sebagai alat untuk merubah rakyat yang bebas menjadi tenaga kerja dalam sistem produksi kapitalis. Akibatnya, terjadi kesenjangan antara para pendatang dan warga masyarakat setempat yang sangat efektif untuk membungkus nyaris segala macam soal sehari-hari yang remeh temeh dalam hubungan antar suku. Segala nasib malang warga masyarakat setempat mudah dialamatkan pada akibat dan kelakuan pendatang. Misalnya persebaran penyakit kelamin menular akibat pelacuran yang sangat mencemaskan seperti HIV AIDS itu pun oleh sementara orang kemudian dianggap sebagai bagian dari genocide etnik setempat. Di lain pihak, mereka yang sukses di sana justru biasa menyalahkan derita ketertinggalan dan kemiskinan penduduk setempat itu sebagai akibat kelemahan penduduk setempat itu sendiri. Mereka biasa menyalahkan korban. Fakta seperti itu sebenarnya terjadi hampir di seluruh Indonesia pada wilayah-wilayah garis depan operasi kapital (frontier) baru, seperti di banyak basecamp HPH, perkebunan dan pertambangan Kalimantan dan Sumatera. Di garis depan kapital itu berbagai kelompok etnik: bertemu di bawah payung operasi perusahaan (kompeni) padat modal. Mereka bersaing mengadu nasib secara kreatif dan amat tidak terduga memperebutkan rejeki nomplok uang kemurahan alam dan kelemahan negara di dalam apa yang oleh Anna Lauwenhaupt Tsing disebut sehagai friksi dari interkoneksi antara masyarakat tempatan dan globalisasi. Semua orang di situ bikin cerita/aturan mainnya sendiri-sendiri untuk rayahan mengais keberuntungan pribadinya. Mereka semua ada dalam putaran liar (karena

hukum/negara mangkir) kapitalisme dan beperang satu sama lain (belum contra omnes, siapa kuat menang. Itu semua terjadi di daratan. Pada hal ada garis depan lain yang tidak pernah berhenti dianggap masih perawan sumber dayanya, yaitu wilayah pantai dan lautan kita. Orang pun membayangkan akan datangnya revolusi biru, setelah revolusi hijau di wilayah pertanian kita tandas. Investasi besar-besaran pun dilakukan untuk memanen hasil laut antara lain dengan memperluas kredit untuk memperbesar kapasitas kapal dan peralatan. Memang tidak sepenuhnya salah atau sepenuhnya benar keputusan semacam itu. Dalam kasus nelayan di Pekalongan Pujo Semedi dengan sangat tajam menceritakan dengan bukti-bukti sejarah yang memadai, bahwa usaha seperti itu hanya memperluas wilayah penangkapan ikan (fishing ground), dan sekitar perairan Pekalongan/Wonokerto hingga ke kepulauan Natuna dan Masalembo. Karena fakta sejak tahun 1980an tangkapan dari laut Jawa terus menerus turun, perluasan wilayah jelajah nelayan ini oleh karena itu justru memperbesar ketidakpastian usaha, maka nelayan pun mulai mengarang cerita aneh-aneh dan bermain dukun segala. Bahkan tidak kurang yang bangkrut termakan kredit, kenaikan harga BBM dan jadi gila. Juragan memeras nakoda, nakoda memeras anak buah dan anak buah nilap. Kasus seperti ini bagi saya menggambarkan, meskipun mungkin laut memang belum habis terkuras, tetapi jelas di sana nelayan sudah terksploitasi (oleh mimpinya sendiri?). Para nelayan hampir di seluruh Indonesia terus bernimpi di ufuk langit seberang sana masih ada ikan dan tidak peduli lagi kalau harus menjarah wilayah dan garis pantai adat orang lain. Pantai-pantai dan laut yang dijaga ssi tidak luput dan penjarahan mereka. Penjarahan-penjarahan dan luar macam ini yang menyebabkan fungsi adat dalam pengelolaan kawasan partai j idi kurang efektif dan menyisakan konflik-konflik antar negeri/desa/etnik diperbagai tempat karena perebutan kawasan pencaharian di laut. Di titik konflik seperti ini seharusnya negara hadir dan mempu menjamin pengelolaan laut dan pantai yang lebih terorganisir c.eini kepentingan bersama. AIih-alih menjamin harapan seperti itu, konflik antar departemen di kawasan laut ini justru masih menjadi jadi. Paling tidak ada 14 departemen (Dalam negeri, DKP, Kehutanan Petambangan, Perhubungan, Perindustrian, Luar negeri, Keamanan dll.) di negeri ini yang berebut kepentingan di taut. Gajah berperang, pelanduk mati di tengahnya, pantai kemudian lebih tampak sebagai gambar miring kemiskinan rakyat negeri ini. Kemiskinan yang rata-rata diidap oleh masyarakat nelayan hampir di seluruh Indonesia seringkali menjadi lebih dramatis ketika eksploitasi seperti itu muncul telanjang tanpa perlu rumusan kata-kata lagi. Kasus anak-anak di Sumatera Utara yang dipekerjakan di jermal, untuk industri ikan teri telah menjadi isu internasional. Anak-anak petarli miskin yang tidak pernah mandi laut dibujuk rayu dengan iming-iming penghasilan besar untuk dipekerjakan siang malam di atas jermal. Seorang bocah pelarian di jermal pernah mengkisahkan pelariannya dalam suatu lokakarya pendampingn anak di Medan. Ia menceritakan bersama seorang temannya karena tidak tahan atas kekerasan mandor, kangen emak serta teman-teman bermainnya dan karena kangen makan sayur, nekad melempar wajan raksasa pemasak teri ke laut. Mereka membayangkan wajan itu dapat mereka gunakan bersampan ke darat. Ternyata wajan tenggelam. Karena takut dihajar mandor

mereka berdua nekad nyemplung ke laut pada tengah malam dan berenang maksudnya ke darat. Di tengah laut, mereka terpisah karena terpukul ombak. Temannya lebih dahulu diselamatkan oleh perahu motor yang lewat. Dia sendiri setelah berjam-jam terapung, akhimya tersangkut pada tonggak kayu bekas fondasi jermal. Ada perahu motor lewat ia panggil-panggil, tetapi perahu itu malah menjauh ketakutan. Ia dikira hantu. Setelah lebih dan 20 jam di sana ia baru mendapat pertolongan. Konon masih banyak anak-anak lain jadi korban eksploitasi semacam itu di sana. Sudah miskin tereksploitasi pula.

Refleksi Tragedi-tragedi itu tidak perlu terjadi besar-besaran dan menyebar rata untuk membangkitkan semangat perlawanan etnik. Hampir semua kejadian berkaitan dengan konflik etnik, baik di antara para nelayan di pesisir pantai maupun buruh, kaum profesi dan petani di darat terpicu oleh kasus-kasus remeh temeh yang menyulut friksi antar etnik yang memang sudah nyaris tidak terkendali. Rakyat dan para warga masyarakat tempatan sudah kehilangan kemampuannya untuk mengorganisir diri guna membangun masyarakat baru yang terbuka dan inklusif. Mereka terjebak dalam keliaran pertumbuhan ekonomi yang lagilagi masih terus dikhayalkan bebas dari massa rakyat yang berhak mendapatkan keberuntungannya. Mungkin pemekaran daerah yang seringkali dibungkusi dengan wajah kesukuan dan marak di mana-mana mungkin hanyalah salah satu respon politik dari kehendak rakyat untuk menuntut partisipasi dalam pertumbuhan ekonomi. Tentu saja mengingat pelemahan rakyat yang sudah begitu lama berlangsung sepanjang sejarah, kita harus lebih waspada karena kebangkitan rasa solidaritas kesukuan yang ada di sana sangat mungkin palsu. Cerita ajaib dan aneh-aneh yang menyertai bangun identitas mereka tidak lagi dapat ditafsirkan sebagai bagian dari keaslian mereka dan masa lalu. Rakyat kita di mana-mana telah berubah dan sedang mencari konstruknya yang baru. Bagaimana pun seluruh negeri ini sudah jadi pasar, bagian dari pasar global, dan friksi dalam interkoneksinya dengan masayarakat juga terjadi di mana-mana, bahkan pasar itu sudah menjelma jadi pendorong maraknya budaya korup. Dalam kondisi seperti ini peluang rakyat dapat meraih kembali kemerdekaan dan kemampuannya untuk bersamasama tanpa kekerasan mengelola negeri ini menjadi terbatas. Pad aras ideoogi perlu dipikirkan ulang kekuatan Pancasi1a dalam melawan kecenderungan praksis bahwa rakyat telah saling memusuhi daripada bersaing secara jujur. Pendiri bangsa kita Sukarno dalam pidatonya yang sangat terkenal ketika melahirkan Pancasila telah mengusulkan jalur tawaran yang amat menarik untuk menafsir ulang Pancasila yaitu dengan membungkusnya dalam satu sila yang disebutnya sebagai gotongroyong. Ini salah satu jalur yang terbuka dan dinamis untuk orang dengan latar belakang berbeda-beda bekerja sama membangun bangsa. Sukano mendefiniskan goton royong sebagai gawe bersama ho lopis kontul baris, di mana seluruh komponen bangsa bahu membahu menyongsong masa depan berbasis sejarah masa lalu kita yang berbeda-beda. Konsep ini berbanding terbalik dengan prinsip kekeluargaan yang dipakai untuk menafsir

pancasila sepanjang -Orde Baru dan yang menghaslikan bisnis- bisnis keluarga yang tertutup daripada usaha-usaha sosial bersama. Dalam bidang ekonomi politik, lembaga macam koperasi masih relevan untuk dijadikan sumber inspirsi bagi pengembangan ekonomi kerakyatan dan proses demokratisasi dalam pengelolaan sumberdaya dan organisasi sosial. Semua inspirasi semacam ini tidak mudah diubah ubah menjadi agenda praksis yang siap pakai banyak proses advokasi yang masih diperlukan dalam rangka reformasa perundang-undangan baik dan atas UUD 45 hingga ke bawah dam perda-perda. Bagaimana pun dalam proses besar itu usaha-usaha praksis pemberdayaan rakyat agar mampu mengelola isu secara damai tanpa kekerasan tetapi efektif. Ada beberapa catatan yang sudah sering kita dengar pada aras pem-berdayaan rakyat. Dan pendekatan budaya misalnya kita tahu: Pendekatan budaya dalam pemeberdayaan masyarakat tidak mengenal jalan pintas dan memerlukan pemikiran yang holistik Pendekatan diarahkan bagi lahirnya masyarakat yang mampu mengorganisir dirinya sendiri melalui lembaga dan pranata-pranata yang disepakatinya Kebudayaan yang dinamis perlu dikembangkan secara partisipatoris melalui wacana tanding dengan menggunakan media-media ekspresi simbolik seperti seni sastra, pertunjukkan, komik, pamflet dan lain-lainnya, yang tidak menjerat dan yang menjauhi kekerasan Fasilitasi rakyat membangun identitasnya secara demokratis Dampingi rakyat agar mendapatkan recognisi yang layak atas hak-haknya Kembangkan siasat rakyat yang detil dan jitu rnenghadapi siasat pasar dan negara yang acapkali cenderung menaklukan yang lemah Fasilitasi hubangan yang jujur antara rakyat negara dan pasar. Ingat rakyat dapat berkata: Kamu akui kami, kami akui kamu. Di sini negara dan pasar tidak dapat terlalu mendominir. Biasakan orang menerima heterogenitas budaya daripada penunggalan alam pikiran.
Kata Indonesia mula-mula dilahirkan oleh James Richardson Logan pada akhir abad 19 dan disebarluaskan di kalangan sarjana Belanda oleh Adolf Bastian tahun 1918 (Ashory http://www.mailarchii ve.com/ rnili-orangmedan@yahoogroups.com ) Sementara Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) baru menggunakan kata Indonesia ketika dibuang di negeri Belanda pada tahun 1913. Konon menurut Statistik Perikanan Indonesia dalam Angka dan Dirjen Perikanan, Departemen Pertanian tahun 1992 termasuk mereka yang ada di perairaan umum jumlahnya sekitar 2.126.000jiwa (Raharjo, 2002). Statistik jumlah nelayan di Indonesia sukar diandalkan karena rupanya nelayan sebagai matap encaharian hidup tidaklah sepasti pekerjaan petani atau pegawai yang dapat dijalani seseorang dalam waktu yang relatif

lama. Selain itu statistik yang ada mendefinisikan nelayan hanya untuk mereka yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang lainnya/tanaman air. Kemudian jumlah nelayan berfluktuasi ikut nasib untung dan malang dari armada penangkapan. Bahkan tidak ada satu kata asli Indonesia untuk menyebutnya. Kata nelayan berasal dari kata nallayar dalam bahasa Tamil yang disanskritisasikan jadi nallayan (Semedi, 2003: 15).

Minotitas dalam Demokrasi, Powered by Joomla! and designed by SiteGround web hosting valid xhtml valid css

You might also like