You are on page 1of 3

NAMA

: ILHAM DWI P.

NO. ABSEN : 16 KELAS : 2W AKUNTANSI

ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK KONVERSI MINYAK TANAH KE LPG

Langkah pemerintah untuk mengonversi minyak tanah ke LPG ternyata menimbulkan kehebohan. Di banyak tempat warga antre minyak tanah. Kita bisa memahami niat pemerintah untuk mengonversi energi. Penggunaan minyak tanah sebagai bahan bakar rumah tangga terlalu mahal biayanya. Pemerintah bukan hanya harus mengimpor, tetapi juga memberikan subsidi yang besar. Belum lagi kita bicara soal penyalahgunaannya. Minyak tanah untuk rumah tangga sering kali dipakai oleh industri untuk memanfaatkan subsidinya. Pada sisi lain, kita memiliki banyak sumber energi lain seperti gas, baik dalam gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) ataupun elpiji (liquefied petroleum gas/LPG). Energi yang satu ini bukan hanya lebih murah harganya, tetapi juga lebih ramah terhadap lingkungan. Persoalannya, selama ini kita tidak pernah memanfaatkannya. Bahkan, demi sekadar mengejar devisa, kita menjual energi yang lebih bersih itu ke luar negeri dan sebaliknya mengimpor energi yang kotor ke sini. Sampai di sini, langkah yang ditempuh pemerintah untuk mengganti minyak tanah dengan elpiji benar. Hanya saja, kita tidak boleh lupa, perubahan yang berkaitan dengan kebiasaan hidup masyarakat tidak bisa dilakukan sekali jadi. Harus ada sebuah kajian sosial yang lebih mendalam agar kita bisa mengetahui secara detail kendala yang akan dihadapi apabila kebijakan konversi energi akan dilaksanakan. Di sinilah persoalan itu kita hadapi sekarang ini. Perencanaan untuk penerapan kebijakan konversi energi tidak dilakukan secara lengkap. Aspek sosial yang terkait di dalamnya tidak cukup didalami sehingga akhirnya menimbulkan kehebohan. Padahal, kita sadar betapa pentingnya sebuah perencanaan. Dalam ilmu manajemen selalu dikatakan bahwa perencanaan yang baik dan matang adalah 50 persen dari keberhasilan. Dari pemantauan di lapangan, kita tangkap masalah itu terjadi mulai dari pendataan rumah tangga yang berhak mendapatkan bantuan kompor gas. Kita juga tidak memerhatikan struktur rumah dari mereka yang akan menggunakan kompor gas, yang kebanyakan tidak memiliki sirkulasi udara yang baik sehingga rawan terhadap kebocoran gas. Hal lain yang kita juga alpa, kita tidak
1

memperhatikan struktur pendapatan dari kebanyakan rumah tangga masyarakat kita. Mereka yang tidak memiliki pendapatan tetap sangatlah sulit untuk membeli gas dalam bentuk satuan tabung. Mereka hanya mampu membeli barang dalam bentuk eceran. Itulah yang menjadi alasan keberatan mereka untuk beralih dari minyak tanah. Kita mengerti bahwa konversi energi tidak akan pernah bisa berhasil apabila tidak ada unsur pemaksaan. Namun, sekali lagi, sepanjang itu tidak diikuti dengan pemahaman akan kultur bangsa ini, maka yang muncul adalah salah pengertian. Buruknya sosialisasi dari kebijakan konversi energi harus dibayar dengan banyaknya warga yang mengantre minyak tanah. Ini ironi bagi negeri yang kaya akan sumber daya alam. Lantas bermanfaatkah kebijakan ini dilihat dari sudut pandang kriteria evaluasi kebijakan publik. Analisis terhadap konversi minyak tanah ke LPG : 1.Kewajaran dan keadilan Kebijakan ini wajar dan adil mengingat minyak tanah adalah SDA non renewable dan pada saat ini cadangan minyak bumi sudah terbatas. Untuk itu perlu diambil langkah alternatif lain yaitu memilih LPG sebagai alternatif, karena ketersediaanya yang masih berlimpah. 2. Efisiensi Ekonomi. Dari sisi efisiensi konversi ini akan lebih efisien dalam hal biaya karena penggunaan LPG akan lebih murah daripada minyak tanah. Paling tidak masyarakat akan dapat menghemat Rp. 25.000,- perbulan. Dan juga LPG tidak menyebabkan noda hangus pada alat-alat masak, sehingga alat-alat yang kita miliki akan lebih awet. Namun konversi ini tidak dapat mencapai pareto efisiesi karena akan berdampak negatif pada pengrajin kompor minyak yang akan menurunkan penghasilannya 3. Sistem Paternal. Pemerintah sangat mengetahui bahwa cadangan minyak bumi semakin menipis sedangkan kebutuhan masyarakat semakin meningkat. Sehingga di berbagai daerah di Indonesia mengalami kelangkaan minyak tanah yang menyebabkan harga di pasaran melonjak tinggi, oleh karena itu pemerintah mengambil kebijakan konversi ke LPG agar masyarakat dapat memperoleh bahan bakar dengan mudah dan terjangkau. 4. Kebebasan individu. Meskipun pemerintah mengadakan konversi minyak tanah ke gas, namun minyak tanah di pasaran masih beredar, sehingga masyarakat tetap memiliki kebebasan untuk memilih.

5. Stabilisasi Ekonomi sektor swasta sangat perlu diintervensi oleh pemerintah untuk menjaga ketersediaan barang di pasaran dan menjaga stabilitas harga. 6. Trade off Dalam kebijakan ini pemerintah melakukan trade off, untuk meminimalisir biaya agregat dan menangani kelangkaan minyak tanah di pasaran. Namun di sisi lain mengorbankan penyerapan tenaga kerja, karena para produsen kompor minyak akan mengalami penurunan pendapatan.

REFERENSI : 1. Tim Penyusun BPPK. 2005. Pengantar Keuangan Publik. LPKPAP Press : Jakarta. 2. www.triligayanti.blogspot.com 3. www.bataviase.co.id

You might also like