You are on page 1of 12

Nama : Riri Paraswari (1105025093) Prodi / Kelas : Pend.

Kimia

Perkembangan Kognitif Menurut Piaget dan Vygotsky


Pendidikan harus sesuai dengan perkembangan. Ini berarti pengajaran untuk anak-anak harus dilakukan pada tingkat yang tidak terlalu sulit (sesuai dengan kemampuan si anak) dan tidak terlalu menegangkan atau terlalu mudah bagi anak tsb sehingga belajar tidak menjadi hal yang menjemukan bagi si anak. Ada 2 tokoh terkenal yang membahas tentang teori perkembangan kognitif utama, yaitu Jean Piaget (1896-1980) dan Lev Vygotsky (1896-1934). Bagaimanakah pembahasan dari kedua tokoh ini? Let's cekidoot.. Teori Piaget

Melalui observasinya, Piaget membagi perkembangan kognitif terjadi dalam empat tahapan, yaitu: 1. Tahap Sensorimotor (0-2 tahun) Pada tahap ini bayi membangun pemahaman dunia dg mengoordinasikan pengalaman indrawi dan tindakan fisik. Bayi melangkah maju dari tindakan instingtual dan refleksif saat baru saja lahir ke pemikiran simbolis menjelang akhir tahap ini. 2. Tahap Pra-operasional (2-7 tahun) Anak mulai merepresentasikan dunia dg kata dan gambar. Kata dan gambar ini merefleksikan peningkatan pemikiran simbolis dan melampaui koneksi informasi indrawi dan tindakan fisik.

3. Tahap Operasional Konkret (7-11 tahun) Anak kini bisa bernalar secara logis tentang kejadian-kejadian konkret dan mampu mengklasifikasi objek ke dalam kelompok yang berbeda-beda. 4. Tahap Operasional Formal (11 tahun sampai dewasa) Remaja berpikir secara lebih abstrak, idealistis, dan logis. Teori Vygotsky

Asumsi Vygotsky: 1. Keahlian kognitif anak dapat dipahami dianalisis dan diinterpretasikan secara developmental. 2. Kemampuan kognitif dimediasi dengan kata, bahasa, dan bentuk diskursus, yang berfungsi sebagai alat psikologis untuk membantu dan mentransformasi aktivitas mental. 3. Kemampuan kognitif berasal dari relasi sosial dan dipengaruhi oleh latar belakang sosiokultural. Ada satu ide unik dari Vygotsky mengenai zone of proximal development, adalah istilah Vygotsky untuk serangkaian tugas yang terlalu sulit dikuasai anak secara sendirian tapi dapat dipelajari dg bantuan dari orang dewasa atau anak yang lebih mampu. Jadi, batas bawah dari ZPD ialah tingkat masalah yang dapat sipecahkan oleh anak seorang diri. Dan batas atasnya adalah tingkat tanggung jawab atau tugas tambahan yang dapat diterima anak dg bantuan dari infrastruktur yang mampu. Adapun juga istilah scaffolding yang erat kaitannya dg ZPD, scaffolding ialah teknik untuk mengubah level dukungan. Ketika tugas yang akan dipelajari si murid adalah tugas yang baru, maka orang yang lebih ahli dapat menggunakan teknik instruksi langsung. Saat kemampuan murid meningkat, maka semakin sedikit bimbingan yang diberikan.

Teori perkembangan kognitif


Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemataskema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental. Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan. Untuk pengembangan teori ini, Piaget memperoleh Erasmus Prize. Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia:

Periode sensorimotor (usia 02 tahun) Periode praoperasional (usia 27 tahun) Periode operasional konkrit (usia 711 tahun) Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)

Periode sensorimotor
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan: 1. Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks. 2. Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan. 3. Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan. 3

4. Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek). 5. Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan. 6. Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.

Tahapan praoperasional
Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra)Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda. Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.

Tahapan operasional konkrit


Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Prosesproses penting selama tahapan ini adalah: Pengurutankemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil. Klasifikasikemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa

serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan) Decenteringanak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi. Reversibilityanak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya. Konservasimemahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain. Penghilangan sifat Egosentrismekemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.

Tahapan operasional formal


Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.

Informasi umum mengenai tahapan-tahapan


Keempat tahapan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Walau tahapan-tahapan itu bisa dicapai dalam usia bervariasi tetapi urutannya selalu sama. Tidak ada ada tahapan yang diloncati dan tidak ada urutan yang mundur. Universal (tidak terkait budaya) Bisa digeneralisasi: representasi dan logika dari operasi yang ada dalam diri seseorang berlaku juga pada semua konsep dan isi pengetahuan Tahapan-tahapan tersebut berupa keseluruhan yang terorganisasi secara logis Urutan tahapan bersifat hirarkis (setiap tahapan mencakup elemen-elemen dari tahapan sebelumnya, tapi lebih terdiferensiasi dan terintegrasi) Tahapan merepresentasikan perbedaan secara kualitatif dalam model berpikir, bukan hanya perbedaan kuantitatif

Proses perkembangan
Seorang individu dalam hidupnya selalu berinteraksi dengan lingkungan. Dengan berinteraksi tersebut, seseorang akan memperoleh skema. Skema berupa kategori pengetahuan yang membantu dalam menginterpretasi dan memahami dunia. Skema juga menggambarkan tindakan baik secara mental maupun fisik yang terlibat dalam memahami atau mengetahui sesuatu. Sehingga dalam pandangan Piaget, skema mencakup baik kategori pengetahuan maupun proses perolehan pengetahuan tersebut. Seiring dengan pengalamannya mengeksplorasi lingkungan, informasi yang baru didapatnya digunakan untuk memodifikasi, menambah, atau mengganti skema yang sebelumnya ada. Sebagai contoh, seorang anak mungkin memiliki skema tentang sejenis binatang, misalnya dengan burung. Bila pengalaman awal anak berkaitan dengan burung kenari, anak kemungkinan beranggapan bahwa semua burung adalah kecil, berwarna kuning, dan mencicit. Suatu saat, mungkin anak melihat seekor burung unta. Anak akan perlu memodifikasi skema yang ia miliki sebelumnya tentang burung untuk memasukkan jenis burung yang baru ini. Asimilasi adalah proses menambahkan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada. Proses ini bersifat subjektif, karena seseorang akan cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar bisa masuk ke dalam skema yang sudah ada sebelumnya. Dalam contoh di atas, melihat burung kenari dan memberinya label "burung" adalah contoh mengasimilasi binatang itu pada skema burung si anak. Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada. Dalam proses ini dapat pula terjadi pemunculan skema yang baru sama sekali. Dalam contoh di atas, melihat burung unta dan mengubah skemanya tentang burung sebelum memberinya label "burung" adalah contoh mengakomodasi binatang itu pada skema burung si anak.

Melalui kedua proses penyesuaian tersebut, sistem kognisi seseorang berubah dan berkembang sehingga bisa meningkat dari satu tahap ke tahap di atasnya. Proses penyesuaian tersebut dilakukan seorang individu karena ia ingin mencapai keadaan equilibrium, yaitu berupa keadaan seimbang antara struktur kognisinya dengan pengalamannya di lingkungan. Seseorang akan selalu berupaya agar keadaan seimbang tersebut selalu tercapai dengan menggunakan kedua proses penyesuaian di atas. Dengan demikian, kognisi seseorang berkembang bukan karena menerima pengetahuan dari luar secara pasif tapi orang tersebut secara aktif mengkonstruksi pengetahuannya.

Isu dalam perkembangan kognitif


Isu utama dalam perkembangan kognitif serupa dengan isu perkembangan psikologi secara umum.

Tahapan perkembangan

Perbedaan kualitatif dan kuantitatif

Terdapat kontroversi terhadap pembagian tahapan perkembangan berdasarkan perbedaan kualitas atau kuantitas kognisi.

Kontinuitas dan diskontinuitas

Kontroversi ini membahas apakah pembagian tahapan perkembangan merupakan proses yang berkelanjutan atau proses terputus pada tiap tahapannya.

Homogenitas dari fungsi kognisi

Terdapat perbedaan kemampuan fungsi kognisi dari tiap individu

Natur dan nurtur


Kontroversi natur dan nurtur berasal dari perbedaan antara filsafat nativisme dan filsafat empirisme. Nativisme mempercayai bahwa pada kemampuan otak manusia sejak lahir telah dipersiapkan untuk tugas-tugas kognitif. Empirisme mempercayai bahwa kemampuan kognisi merupakan hasil dari pengalaman.

Stabilitas dan kelenturan dari kecerdasan


Secara relatif kecerdasan seorang anak tetap stabil pada suatu derajat kecerdasan, namun terdapat perbedaan kemampuan kecerdasan seorang anak pada usia 3 tahun dibandingkan dengan usia 15 tahun.

Sudut pandang lain


Pada saat ini terdapat beberapa pendekatan yang berbeda untuk menjelaskan perkembangan kognitif.

Teori perkembangan kognitif neurosains [2]

Kemajuan ilmu neurosains dan teknologi memungkinkan mengaitkan antara aktivitas otak dan perilaku. Biologis menjadi dasar dari pendekatan ini untuk menjelaskan perkembangan kognitif. Pendekatan ini memiliki tujuan untuk dapat mengantarai pertanyaan mengenai umat manusia yaitu

1. Apakah hubungan antara pemikiran dan tubuh, khususnya antara otak secara fisik dan mental proses 2. Apakah filogeni atau ontogeni yang menjadi awal mula dari struktur biologis yang teratur

Teori Konstruksi pemikiran-sosial

Selain biologi, konteks sosial juga merupakan salah satu sudut pandang dari perkembangan kognitif. Perspektif ini menyatakan bahwa lingkungan sosial dan budaya akan memberikan pengaruh terbesar terhadap pembentukan kognisi dan pemikiran anak. Teori ini memiliki implikasi langsung pada dunia pendidikan. Teori Vygotsky menyatakan bahwa anak belajar secara aktif lebih baik daripada secara pasif. Tokoh-tokohnya diantaranya Lev Vygotsky, Albert Bandura, Michael Tomasello

Teori Theory of Mind (TOM)

Teori perkembangan kognitif ini percaya bahwa anak memiliki teori maupun skema mengenai dunianya yang menjadi dasar kognisinya. Tokoh dari ToM ini diantaranya adalah Andrew N. Meltzoff

Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg


Lawrence Kohlberg dilahirkan di Bronxville, New York, pada tanggal 25 Oktober 1927. Ia menjabat sebagai profesor di Universitas Chicago serta Universitas Harvard. Ia terkenal karena karyanya dalam pendidikan, penalaran, dan perkembangan moral. Sebagai pengikut teori perkembangan kognitif Jean Piaget, karya Kohlberg mencerminkan dan bahkan memperluas karya pendahulunya. Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan, walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya. Kohlberg menggunakan ceriteraceritera tentang dilema moral dalam penelitiannya, dan ia tertarik pada bagaimana orangorang akan menjustifikasi tindakan-tindakan mereka bila mereka berada dalam persoalan moral yang sama. Hal yang menjadi kajian Kohlberg adalah tertumpu pada argumentasi anak dan perkembangan argumentasi itu sendiri. Melalui penelitian yang dilakukannya selama 14 tahun, Kohlberg kemudian mampu mengidentifikasi 6 (enam) tahap dalam moral reasoning. Keenam tahapan perkembangan moral dari Kohlberg dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pascakonvensional. Taraf Pra-Konvensional Pada taraf ini anak telah memiliki sifat responsif terhadap peraturan dan cap baik dan buruk, hanya cap tersebut ditafsirkan secara fisis dan hedonistis (berdasarkan dengan enak dan tidak enak, suka dan tidak suka) kalau jahat dihukum kalau baik diberi hadiah. Anak pada usia ini juga menafsirkan baik buruk dari segi kekuasaan dari asal peraturan itu diberi (orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya). Pada taraf ini terdiri dari dua tahapan yaitu: 1) punishment and obedience orientation (hukuman dan kepatuhan)/(Moralitas heteronom) Akibat-akibat fisik dari tindakan menentukan baik buruknya tindakan tersebut menghindari hukuman dan taat secara buta pada yang berkuasa dianggap bernilai pada dirinya sendiri. 2) Instrument-relativist orientation Akibat dalam tahap ini beranggapan bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang dapat menjadi alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antar manusia dianggap sebagai hubungan jual beli di pasar. Engkau menjual saya membeli, saya menyenangkan kamu, maka kamu mesti menyenangkan saya.

Conventional Level (taraf Konvensional) Pada taraf ini mengusahakan terwujudnya harapan-harapan keluarga ataubangsa bernilai pada dirinya sendiri. Anak tidak hanya mau berkompromi , tapi setia kepadanya, berusaha mewujudkan secara aktif, menunjukkan ketertiban dan berusaha mewujudkan secara aktif, menunjang ketertiban dan berusaha mengidentifikasi diri mereka yang mengusahakan ketertiban social. Dua tahap dalam taraf ini adalah: 1.Tahap interpersonal corcodance atau good boy-nice girl orientation. Tingkah laku yang lebih baik adalah tingkah laku yang membuat senang orang lain atau yang menolong orang lain dan yang mendapat persetujuan mereka. Supaya diterima dan disetujui orang lain seseorang harus berlaku manis. Orang berusaha membuat dirinya wajar seperti pada umumnya orang lain bertingkah laku. Intensi tingkah laku walaupun kadang-kadang berbeda dari pelaksanaanya sudah diperhitungkan, misalnya orang-orang yang mencuri buat anaknya yang hampir mati dianggap berintensi baik. 2. Tahap law and order, orientation. Otoritas peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan dan pemeliharaan ketertiban sosial dijunjung tinggi dalam tahap ini. Tingkah laku disebut benar, bila orang melakukan kewajibannya, menghormati otoritas dan memelihara ketertiban sosial Postconventional Level (taraf sesudah konvensional) Pada taraf ini seorang individu berusaha mendapatkan perumusan nilai-nilai moral dan berusaha merumuskan prinsip-prinsip yang sah (valid) dan yang dapat diterapkan entah prinsip itu berasal dari otoritas orang atau kelompok yang mana. Tahapannya adalah: 1. Social contract orientation. Dalam tahap ini orang mengartikan benar-salahnya suatu tindakan atas hak-hak individu dan norma-norma yang sudah teruji di masyarakat. Disadari bahwa nilai-nilai yang bersiat relatif, maka perlu ada usaha untuk mencapai suatu konsensus bersama. 2.The universal ethical principle orientation. Benar salahnya tindakan ditentukan oleh keputusan suara nurani hati. Sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dianut oleh orang yang bersangkutan, prinsip prinsip etis itu bersifat abstrak. Pada intinya prinsip etis itu adalah prinsip keadilan, kesamaan hak, hak asasi, hormat pada harkat (nilai) manusia sebagai pribadi. Perkembangan moral Kohlberg memiliki sifat/karakter khusus, diantaranya: 1. Perkembangan setiap tahap-tahap selalu berlangsung dengan cara yang sama, dalam arti si anak dari tahap pertama berlanjut ke tahap kedua 2. Bahwa orang (anak) hanya dapat mengerti penalaran moral satu tahap diatas tahap dimana ia berada.

10

3. Bahwa orang secara kognitif memiliki ketertarikan pada cara berfikir satu tahap diatas tahapnya sendiri.(K.Bertens;2005)[8]. Kritik terhadap Teori Kohlberg Kohlberg (Orang kultur Barat yang terdidik, elit, berkulit putih, dan pria) memandang otonomi dan keadilan individu sebagai nilai moral yang utama. Ia bahkan menyamakan moralitas dengan keadilan (dengan mengabaikan nilai moral lain seperti keberanian, pengendalian-diri, empati, dll.). Para anggota kelas pekerja dan kelas pedesaan, bagaimanapun, cenderung untuk memiliki pendekatan yang lebih komunitarian terhadap hidup. Memandang kebaikan yang umum sebagai nilai yang paling tinggi, mempromosikan hubungan yang harmonis dan kepedulian melebihi keadilan individual. Wanita-wanita diturunkan ke status kelas lebih rendah selama berabad-abad, yang mungkin telah mengembangkan suatu pendekatan yang lebih komunitarian terhadap hidup karena alasan tersebut. Masyarakat dan kultur Non-Barat juga sering melihat bahwa masyarakat lebih penting dibanding individu. Teori Provokatif Kohlberg mengenai perkembangan moral mendapat kritikan dari beberapa kalangan (Kurtines & Gewirtz; 1001; Lapsey. 1992; Puka, 1991). Kritik-kritik tersebut berkenaan dengan hubungan pemikiran moral dan perilaku, kualitas penelitian, kurang mempertimbangkan peranan budaya dalam perkembangan moral, mengesampingkan persepektif tentang kepedulian. Pemikiran tentang Moral dan Perilaku Moral Teori Kohlberg dikritik karena terlalu menekankan pada pemikiran moral dan kurang menekankan pada perilaku moral. Pemahaman moral terkadang bisa menjadi tempat berlindung bagi perbuatan tak bermoral. Penggelapan uang di bank dapat menjadi alasan perbuatan mulia, tetapi perilaku mereka sendiri bisa jadi tidak bermoral. Penipu dan pencuri mengetahui apa yang benar, tetapi tetap melakukan hal yang salah. Pengukuran terhadap Pemahaman Moral Para kaum developmentalist menyalahkan kualitas penelitian Kohlberg dan berpendapat bahwa seharusnya dilakukan pengukuran pada perkembangan moral (Boyes, Giordano, & Galperyn, 1993). Misalnya, James Rest (1976, 1983, 1986) berargumen bahwa metode alternative harus digunakan untuk mengumpulkan informasi mengenai pemikiran moral daripada hanya mengandalkan satu metode yang menuntut individu memahami dilemma moral hipotetis. Rest juga mengatakan bahwa cerita-cerita yang dibuat Kohlberg sangat sulit untuk diberikan angka skor. Untuk mengatasi masalah ini, Rest mengembangkan pengukuran moral development yang disebut Defining Issues Test (DIT). Para peneliti berpendapat bahwa dilemma moral hipotetis yang dibuat dalam cerita Kolhberg tidak sesuai dengan dilemma moral yang dihadapi anak-anak dan orang dewasa dalam kehidupan sehari-hari (Walker, de Vries, & Trevethan, 1987; Yusen, 1997). Kebanyakan cerita Kohlberg fokus pada keluarga dan penguasa. Namun dari sebuah penelitian diketahui bahwa dilemma moral yang dialami orang dewasa adalah pertemanan, hubungan interpersonal, keluarga dan kekuasaan.

11

Budaya dan Perkembangan Moral Dari sudut pandang budaya teori Kohlberg dianggap bias. Berdasarkan penelitian mengenai perkembangan moral di dua puluh tujuh Negara disimpulkan bahwa pemahaman moral lebih bersifat budaya dan sistem penilaian Kohlberg tidak mengenali pemahaman moral yang lebih tinggi pada kelompok budaya tertentu. Contoh pemahaman moral yang tidak diukur oleh system Kohlberg adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan kesetaraan komunal dan kebahagiaan kolektif seperti di Israel, kemanunggalan dan kekeramatan segala aspek kehidupan di India. Kohlberg tidak bisa mengukur hal-hal tersebut diatas karena teori kohlberg tidak menekankan hak individu dan prinsip-prinsip abstrak tentang keadilan. Kesimpulan, pemahaman moral lebih dibentuk oleh nilai dan keyakinan dalam sebuah budaya. Bagaimanapun, banyak kritik terhadap teori Kohlberg tentang pengembangan moral dan metoda-metodanya. Beberapa kritikus mengaku bahwa penggunaan situasi-situasi hipotetis mengurangi hasil karena itu mengukur abstrak bukan penalaran konkret. Ketika anak-anak (dan beberapa orang dewasa) diperkenalkan dengan situasi-situasi di luar dari pengalaman mereka sebelumnya, mereka beralih pada peraturanperaturan yang mereka pelajari dari penguasa eksternal untuk menjawab, bukan berdasarkan pada suara di dalam diri mereka sendiri. Oleh karena itu, anak-anak muda mendasari jawaban mereka pada peraturan tentang benar dan salah yang mereka sudah pelajari dari orang tua dan para guru (Langkah-langkah 1 dan 2 menurut teori Kohlberg). Sebaliknya, jika anak-anak muda diperkenalkan dengan situasi-situasi yang sudah mereka kenal baik, mereka sering mempertunjukan kepedulian dan perhatian kepada orang lain, mendasarkan pilihan moral mereka pada keinginan untuk berbagi kebaikan dan memelihara hubungan-hubungan harmonis, menempatkan mereka di langkah ke 3 atau 4 (yang diklaim Kohlberg sebagai sesuatu yang mustahil pada usia mereka). Penekanan Kohlberg pada penalaran abstrak juga menciptakan hasil yang membingungkan dimana anak-anak muda yang biasa nakal dapat mencetak prestasi lebih tinggi langkah dalam pengembangan moral dibanding anak-anak yang berkelakuan baik. Karena perilaku tidak dipertimbangkan dan penalaran ditentukan melalui situasi-situasi hipotetis, anak-anak yang bertindak dengan cara immoral mungkin mampu menjawab dilema-dilema moral hipotetis dengan cara yang lebih maju dibanding anak-anak yang berkelakuan lebih baik yang berpikir kurang abstrak. Kritik awal terhadap kurangnya perhatian Kohlberg pada perilaku membuat Kohlberg menambahkan tekanan pada tindakan moral kepada program Just Community bidang pendidikannya. Bagi mereka yang sedang mencari bantuan yang nyata dalam mengembangkan nilai moral pada anak-anak, bagaimanapun, teori Kohlberg tetap praktis untuk digunakan.

12

You might also like