You are on page 1of 11

BAB 1 PENDAHULUAN 1.

LATAR BELAKANG Pada dasarnya sistem pencernaan makanan dalam tubuh manusia dibagi menjadi 3 bagian, yaitu proses penghancuran makanan yang terjadi dalam mulut hingga lambung.Selanjutnya adalah proses penyerapan sari sari makanan yang terjadi di dalam usus. Kemudian proses pengeluaran sisa - sisa makanan melalui anus. Pada normalnya Esofagus bagian bawah terdapat sfingter gastroesofangeal yang terbuka atau berelaksasi sewaktu gelombang peristaltik penelanan melewati esofagus dan mempermudah pendorongan makanan yang ditelan kedalam lambung. Namun tidak jarang sfingter tidak berelakssi dengan baik, yang disebut achalasia. 2. TUJUAN Untuk menjelaskan kepada pembaca mengenai achalasia serta eologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, dan penatalaksanaan sehingga pembaca dapat melakukan usaha pencegahan dan pengobatan untuk kelainan tersebut.

3. RUMUSAN MASALAH Untuk mengetahui definisi serta etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, dan penatalaksanaan dai akalasia.

BAB II PEMBAHASAN

1. DEFINISI Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama Simple ectasia, Kardiospasme, Megaesofagus, Dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau Dilatasi esofagus idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Istilah achalasia berarti gagal untuk mengendur dan merujuk pada

ketidakmampuan dari lower esophageal sphincter (cincin otot antara esophagus bagian bawah dan lambung) untuk membuka dan membiarkan makanan lewat kedalam lambung.

2. ANATOMI FISIOLOGI ESOFAGUS Esofagus adalah suatu saluran otot vertikal yang menghubungkan hipofaring dengan lambung. Ukuran panjangnya 23-25 cm dan lebarnya sekitar 2 cm (pada keadaan yang paling lebar) pada orang dewasa. Esofagus dimulai dari batas bawah kartilago krikoidea kira-kira setinggi vertebra servikal VI.4 Dari batas tadi, esofagus terbagi menjadi tiga bagian yaitu, pars cervical, pars thoracal dan pars abdominal. Esofagus diinervasi oleh persarafan simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari pleksus esofagus atau yang biasa disebut pleksus mienterik Auerbach yang terletak di antara otot longitudinal dan otot sirkular sepanjang esofagus.1,4,5.
2

Esofagus mempunyai 3 bagian fungsional. Bagian paling atas adalah upper esophageal sphincter (sfingter esofagus atas), suatu cincin otot yang membentuk bagian atas esofagus dan memisahkan esofagus dengan tenggorokan. Sfingter ini selalu menutup untuk mencegah makanan dari bagian utama esofagus masuk ke dalam tenggorokan. Bagian utama dari esofagus disebut sebagai badan dari esofagus, suatu saluran otot yang panjangnya kira-kira 20 cm. Bagian fungsional yang ketiga dari esofagus yaitu lower esophageal sphincter (sfingter esophagus bawah), suatu cincin otot yang terletak di pertemuan antara esofagus dan lambung. 3. EPIDEMIOLOGI Prevalensi akalasia sekitar 10 kasus per 100.000 populasi. Namun, hingga sekarang, insidens penyakit ini telah cukup stabil dalam 50 tahun terakhir yaitu sekitar 0,5 kasus per 100.000 populasi per tahun. Rasio kejadian penyakit ini sama antara laki-laki dengan perempuan. Menurut penelitian, distribusi umur pada akalasia biasanya sering terjadi antara umur kelahiran sampai dekade ke-9, tapi jarang terjadi pada 2 dekade pertama (kurang dari 5% kasus didapatkan pada anak-anak). Umur rata-rata pada pasien orang dewasa adalah 25-60 tahun.1,3.

4. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Bila ditinjau dari etiologi, akalasia ini dibagi menjadi 2 bagian yaitu: Akalasia primer (paling sering ditemui) Penyebab yang jelas tidak diketahui. Diduga disebabkan oleh virus neurotropik yang berakibat lesi pada nukleus dorsalis vagus pada batang otak dan ganglia mienterikus pada esofagus. Disamping itu, faktor keturunan juga cukup berpengaruhi pada kelainan ini. Akalasia sekunder (jarang ditemukan). Kelainan ini dapat disebabkan oleh infeksi, tumorintraluminer seperti tumor kardia atau pendorongan ekstraluminer seperti pseudokista pankreas.Kemungkinan lain dapat disebabkan oleh obat antikolinergik atau pasca vagotomi. Menurut Castell ada dua defek penting yang didapatkan pada pasien akalasia:

1. Obstruksi pada sambungan esofagus dan gaster akibat peningkatan SEB basal jauh di atas normal dan gagalnya SEB untuk relaksasi sempurna. Beberapa penulis meyebutkan adanya hubungan kenaikan SEB dengan sensitifitas terhadap hormon gastrin. Panjang SEB manusia 3-5 cm, sedangkan tekanan SEB basal normal rata-rata 20 mmHg. Pada akalasia tekanan SEB meningkat kurang lebih dua kali yaitu sekitar 50 mmHg. Gagalnya SEB ini disebabkan penurunan tekanan sebesar 30-40% yang dalam keadaan normal turun sampai 100% yang akan mengakibatkan bolus makanan tidak dapat masuk kedalam gaster. Kegagalan ini berakibat tertahannya mkanan dan minuman di esofagus.

Ketidakmampuan relaksasi sempurna akan menyebabkan adanya tekanan residual: bila tekanan hidrostatik disertai dengan gravitasi dapat melebihi tekanan residual makanan dapat masuk ke dalam gaster. 2. Peristaltis esofagus yang tidak normal disebabkan karena aperistaltis dan dilatasi 2/3 bagian bawah korpus esofagus. Akibat lemah dan tidak terkoordinasinya peristaltis sehingga tidak efektif dalam mendorong bolus makanan melewati SEB. . 5. MANIFESTASI KLINIS
1. Disfagia merupakan keluhan utama dari penderita Akalasia. Disfagia

dapat terjadi secara tiba-tiba setelah menelan atau bila ada gangguan emosi. Disfagia dapat berlangsung sementara atau progresif lambat. Biasanya cairan lebih sukar ditelan dari pada makanan padat.
2. Regurgitasi dapat timbul setelah makan atau pada saat berbaring. Sering

regurgitasi terjadi pada malam hari pada saat penderita tidur, sehingga dapat menimbulkan pneumonia aspirasi dan abses paru.
3. Rasa terbakar dan Nyeri Substernal dapat dirasakan pada stadium

permulaan. Pada stadium lanjut akan timbul rasa nyeri hebat di daerah epigastrium dan rasa nyeri ini dapat menyerupai serangan angina pektoris.
4. Penurunan berat badan terjadi karena penderita berusaha mengurangi

makannya unruk mencegah terjadinya regurgitasi dan perasaan nyeri di daerah substernal.
4

5. Gejala lain yang biasa dirasakan penderita adalah rasa penuh pada

substernal dan akibat komplikasi dari retensi makanan.


6. Pada anak yang paling sering adalah muntah persisten.

6,

DIAGNOSIS Untuk menegakkan diagnosis selain gejala klinis yang dapat memberikan kecurigaan adanya akalasia perlu beberapa pemeriksaan penunjang seperti radiologis (esofgogram), endoskopi saluran cerna atas dan manometri.

Pada Pemeriksaan radiologi Dengan foto polos dada akan menunjukkan gambaran kontur ganda di atas mediastinum bagian kanan, seperti mediastinum melebar dan adanya gambaran batas cairan dan udara. Keadaan ini akan didapati pada stadium lanjut. Pada pemeriksaan fluoroskopi terlihat tidak adanya kontraksi esofagus. Pada pemeriksaan radiologis dengan barium pada akalasia berat akan terlihat adanya dilatasi esofaguS, sering berkelok-kelok dan memanjang dengan ujung distal meruncing disertai permukaan halus berbentuk paruh burung. Pemeriksaan endoskopi pada pasien ini harus dipersiapkan dengan baik dalam bentuk umbah esofagus dengan memakai kanul besar. Tujuan umbah esofagus ini untuk membersihkan makanan padat ataupun cair yang terdapat dalam esofagus. Endoskopi agak sukar penilaiannya karena banyaknya lekungan dan belokan. Pada kebanyakan pasien ditemukan mukosa normal. Kadang-kadang

didapatkan hiperemia ringan difus pada bagian distal esofagus. Juga dapat ditemukan gambaran bercak putih pada mukosa, erosi dan ulkus akibat retensi makanan. Bila pemeriksaan diteruskan ke segmen gastroesofangeal, sering dirasakan tahanan ringan dan bila denan hati-hati alat didorong dapat sampai kedalam gaster. Bila sukar melewati batas esofagus gaster harus difikirkan kemungkinan keganansan atau struktur jinak.

Daerah kardia gaster harus dievaluasi secermat mungkin untuk menyingkirkan kemungkinan akalasia sekunder akibat kanker. Pemeriksaan manometrik Gunanya untuk memulai fungsi motorik esofagus dengan melakukan pemeriksaan tekanan di dalam lumen sfingter esofagus. Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan kelainan motilitas secara- kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan dilakukan dengan memasukkan pipa untuk pemeriksaan manometri melalui mulut atau hidung. Pada akalasia yang dinilai adalah fungsi motorik badan esofagus dan sfingter esofagus bawah. Pada badan esofagus dinilai tekanan istirahat dan aktifitas peristaltiknya. Sfingter esofagus bagian bawah yang dinilai adalah tekanan istirahat dan mekanisme relaksasinya. Gambaran manometrik yang khas adalah tekanan istirahat badan esofagus meningkat, tidak terdapat gerakan peristaltik sepanjang esofagus sebagai reaksi proses menelan. Tekanan sfingter esofagus bagian bawah normal atau meninggi dan tidak terjadi relaksasi sfingter pada waktu menelan.

7. PENATALAKSANAAN

Pengobatan akalasia antara lain dengan cara medikamentosa oral,dilatasi atau peregangan SEB, esofagomiotomi dan injeksi toksin botulinum (botox) ke sfingter esofagus. Medikamentosa oral Preparat oral yang digunakan dengan harapan dapat merelaksasikan SEB antara lain nitrat (isosorbid dinitrat) dan calcium channel blockers (nifedipin dan verapamil). Meskipun pasien dengan kelainan ini khususnya pada fase awal mendapat perbaikan klinis tetapi sebagian besar pasien tidak merespon bahkan efek samping obat lebih banyak ditemukan. Umumnya pengobatan ini digunakan untuk jangka pendek untuk mengurangi keluhan pasien. Pengobatan medikamentosa untuk memperbaiki proses pengosongan esofagus pada akalasia, pertama dengan pemberian amil nitrit pada waktu pemeriksaan esofagogram yang akan berakibat relaksasi pada daerah kardia. Saat ini isosorbid dinitrit dapat
6

menurunkan tekanan SEB dn meningkatkan pengosongan esofagus. Dengan ditemukan obat antagonis kalsium nifedipin 10-20 mg per oral dapat menurunkan secara bermakna tekanan SEB pasien.

DILATASI/ PEREGANGAN SEB Pengobatan dengan cara dilatasi cecara bertahap akan mengurangi keluhan sementara. Cara yang sederhana dengan businasi Hurst, yang terbuat dari bahan karet yang terisi air raksa dalam satuan ukuran F (french) mempunyai 4 jenis ukuran. Pneumatic dilatation telah menjadi bentuk

terapi utama selama bertahun-tahun. Suatu balon dikembangkan pada bagian gastroesophageal junction yang bertujuan untuk merupturkan serat otot dan membuat mukosa menjadi intak. Persentase keberhasilan awal adalah antara 70% dan 80%, namun akan turun menjadi 50% 10 tahun kemudian, walaupun setelah beberapa kali dilatasi. Rasio terjadinya perforasi sekitar 5%. Jika terjadi perforasi, pasien segera dibawa ke ruang operasi untuk penutupan perforasi dan miotomi yang dilakukan dengan cara thorakotomi kiri. Insidens dari gastroesophageal reflux yang abnormal adalah sekitar 25%. Pasien yang gagal dalam penanganan pneumatic dilatation biasanya di terapi dengan miotomi Heller. ESOFAGOMIOTOMI Tindakan bedah esofagomiotomi dianjurkan bila terdapat: 1. Bebrapa kali (>2kali) dilatasi pneumatik tidak berhasil, 2. Adanya ruptur esofagus akibat dilatasi 3. Kesukaran menempatkan dilator pneumatik karena dilatasi esofagus yang sangat hebat 4. Tidak dapat menyingkirkan kemungkinan tumor esofagus 5. Akalasia pada anak yang kurang dari 12 tahun. Operasi esofagomiotomi distal juga memberikan hasil yang

memuaskan. Perbaikan gejala didpatkan pada 80-90% kasus. Komplikasi yang dapat terjadi adalah masih menetapnya gejalagejala disfagia karena miotomi yang tidak adekuat atau refluk gastroesofangeal.
7

Tindakan pembedahan memberikan hasil yang memuaskan dan dalam jangka lama dapat menghilangkan disfagia. Akan tetapi komplikasi refluk esofagus cukup tinggi. INJEKSI TOKSIN BUTOLINUM Suatu injeksi botulinum toksin intrasfingter dapat digunakan untuk menghambat pelepasan asetilkolin pada bagian sfingter esofagus bawah, yang kemudian akan mengembalikan

keseimbangan antara neurotransmiter eksitasi dan inhibisi. Dengan menggunakan endoskopi, toksin diinjeksi dengan memakai jarum skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding esophagus dengan sudut kemiringan 45, dimana jarum dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di atas squamocolumnar junction. Terapi ini mempunyai penilaian terbatas dimana 60% pasien yang telah diterapi masih tidak merasakan disfagia 6 bulan setelah terapi; persentasi ini selanjutnya turun menjadi 30% walaupun setelah beberapa kali penyuntikan dua setengah tahun kemudian. Sebagai tambahan, terapi ini sering menyebabkan reaksi inflamasi pada bagian gastroesophageal junction, yang selanjutnya dapat membuat miotomi menjadi lebih sulit. Terapi ini sebaiknya digunakan pada pasien lansia yang kurang bisa menjalani dilatasi atau pembedahan.

8. KOMPLIKASI

Beberapa komplikasi dan akalasia sebagai akibat an retensi makanan pada esofagus adalah sebagai berikut:
1. Obstruksi saluran pernapasan 2. Bronkitis 3. Pneumonia aspirasi 4. Abses paru 5. Diverticulum 6. Perforasi esofagus 7. Sudden death 8. Small cell carcinoma

9. PROGNOSIS

Prognosis Achalasia bergantung pada durasi penyakit dan banyak sedikitnya gangguan motilitas, semakin singkat durasi penyakitnya dan semakin sedikit gangguan motilitasnya maka prognosis untuk kembali ke ukuran esofagus yang normal setelah pembedahan (Heller) memberikan hasil yang sangat baik.13 Pembedahan memberikan hasil yang lebih baik dalam

menghilangkan gejala pada sebagian besar pasien dan seharusnya lebih baik dilakukan daripada pneumatic dilatation apabila ada ahli bedah yang tersedia. Obat-obatan dan toksin botulinum sebaiknya digunakan hanya pada pasien yang tidak dapat menjalani pneumatic dilatation dan laparascopic Heller myotomy (Lansia).

BAB III PENUTUP KESIMPULAN Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama Simple ectasia, Kardiospasme, Megaesofagus, Dilatasi esofagus difus tanpa stenosis atau Dilatasi esofagus idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Istilah achalasia berarti gagal untuk mengendur dan merujuk pada ketidakmampuan dari lower esophageal sphincter (cincin otot antara esophagus bagian bawah dan lambung) untuk membuka dan membiarkan makanan lewat kedalam lambung. Kegagalan relaksasi batas esofagogastrik pada proses menelan ini menyebabkan dilatasi bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak peristaltik. Akalasia biasanya mulai pada dewasa muda walaupun ada juga yang ditemukan pada bayi dan sangat jarang pada usia lanjut. Biasanya gejala yang ditemukan adalah disfagia, regurgitasi, rasa terbakar dan nyeri substernal, penurunan berat badan dan rasa penuh pada substernal. Diagnosis Akalasia Esofagus ditegakkan berdasarkan gejala klinis, gambaran radiologik, esofagoskopi dan pemeriksaan manometrik

10

DAFTAR PUSTAKA

Sudoyo, Aru W dkk. 2006. Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam jilid 1 Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Sylvia A, Price. 2005. Patofisiologi jilid 2, EGC : Jakarta Isselbacher, Kurt J, 2000. Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Vol 2, EGC: Jakarta Sjamsuhidajat. 1997. Wim de Jong Buku Ajar Itmu Bedah. EGC. Jakarta. Hal. 9-676

11

You might also like