You are on page 1of 12

A.

Pengertian Iman

Iman secara bahasa berarti at-tashdiiq (pembenaran), sebagaimana firman Allah taala Mereka berkata: "Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar." Kebanyakan orang menyatakan bahwa kata iman berasal dari kata kerja aminayumanu-amanan yang berarti percaya. Oleh karena itu, iman yang berarti percaya menunjuk sikap batin yang terletak dalam hati. Akibatnya, orang yang percaya kepada Allah dan selainnya seperti yang ada dalam rukun iman, walaupun dalam sikap kesehariannya tidak mencerminkan ketaatan dan kepatuhan (taqwa) kepada yang telah dipercayainya, masih disebut orang yang beriman. Hal itu disebabkan karena adanya keyakinan mereka bahwa yang tahu tentang urusan hati manusia adalah Allah dan dengan membaca dua kalimah syahadat telah menjadi Islam. Dalam surah al-Baqarah ayat 165 dikatakan bahwa orang yang beriman adalah orang yang amat sangat cinta kepada Allah (asyaddu hubban lillah). Artinya: Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya

sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). Oleh karena itu beriman kepada Allah berarti amat sangat rindu terhadap ajaran Allah, yaitu Al-Quran menurut Sunnah Rasul. Hal itu karena apa yang dikehendaki Allah, menjadi kehendak orang yang beriman, sehingga dapat menimbulkan tekad untuk mengorbankan segalanya dan kalau perlu mempertaruhkan nyawa.

Dalam hadits diriwayatkan Ibnu Majah Atthabrani, iman didefinisikan dengan keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan amal perbuatan (Al-Immaanu aqdun bil qalbi waigraarun billisaani waamalun bil arkaan). Dengan demikian, iman merupakan kesatuan atau keselarasan antara hati, ucapan, dan laku perbuatan, serta dapat juga dikatakan sebagai pandangan dan sikap hidup atau gaya hidup. Istilah iman dalam al-Quran selalu dirangkaikan dengan kata lain yang memberikan corak dan warna tentang sesuatu yang diimani, seperti dalam surat anNisa:51 yang dikaitkan dengan jibti (kebatinan/idealisme) Apakah kamu tidak memperhatikan orang-

dan thaghut(realita/naturalisme), yaitu

orang yang diberi bahagian dari Al kitab ? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut , dan mengatakan kepada orang-orang Kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. Sedangkan dalam surat alAnkabut: 52 dikaitkan dengan kata bathil,

yaituwalladziina aamanuu bil baathili. Bhatil berarti tidak benar menurut Allah, yaitu Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan antaramu. Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi. Dan orang-orang yang percaya kepada yang batil dan ingkar kepada Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi. Sementara dalam al-Baqarah: 4, iman dirangkaikan dengan kata ajaran yang Artinya:dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Kata iman yang tidak dirangkaikan dengan kata lain dalam al-Quran, mengandung arti positif. Dengan demikian, kata iman yang tidak dikaitkan dengan kata Allah atau dengan ajarannya, dikatakan sebagai iman haq. Sedangkan yang dikaitkan dengan selainnya, disebut iman bathil. Definisi Iman Secara Istilah Syariy

1. Al-Imaam Ismaaiil bin Muhammad At-Taimiy rahimahullah berkata : Iman dalam pengertian syariy adalah satu perkataan yang mencakup makna semua ketaatan lahir dan batin [Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah, 1/403]. An-Nawawiy menukil perkataannya : Iman dalam istilah syariy adalah pembenaran dengan hati dan perbuatan dengan anggota tubuh [Syarh Shahih Muslim, 1/146]. 2. Imaam Ibnu Abdil-Barr rahimahullah berkata : Para ahli fiqh dan hadits telah sepakat bahwasannya iman itu perkataan dan perbuatan. Dan tidaklah ada perbuatan kecuali dengan niat [At-Tamhiid, 9/238]. 3. Al-Imaam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata : . . : : . Hakekat iman terdiri dari perkataan dan perbuatan. Perkataan ada dua : perkataan hati, yaitu itiqaad; dan perkataan lisan, yaitu perkataan tentang kalimat Islam (mengikrarkan syahadat Abul-Jauzaa). Perbuatan juga ada dua : perbuatan hati, yaitu niat dan keikhlasannya; dan perbuatan anggota badan. Apabila hilang keempat hal tersebut, akan hilang iman dengan kesempurnaannya. Dan apabila hilang pembenaran (tashdiiq) dalam hati, tidak akan bermanfaat tiga hal yang lainnya [AshShalaah wa Hukmu Taarikihaa, hal. 35].

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengertian iman adalah pembenaran dengan segala keyakinan tanpa keraguan sedikitpun mengenai yang datang dari Allah SWT dan rasulNya.

B. Iman kepada Allah

Iman kepada Allah mengandung empat unsur : 1. Beriman kepada wujudnya Allah Wujud Allah telah dibuktikan oleh fitrah, akal, syara', dan indra. Bukti fitrah tentang wujud Allah adalah bahwa iman kepada sang Pencipta merupakan fitrah setiap makhluk, tanpa terlebih dahulu berpikir atau belajar. Tidak akan berpaling dari tuntutan fitrah ini, kecuali orang yang di dalam hatinya terdapat sesuatu yang memalingkannya. Rasulullah SAW bersabda : "Semua bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, ibu bapaknyalah yang menjadikan ia yahudi, nasrani, atau majusi." (HR. Al-Bukhari). 2. Bukti akal tentang wujud Allah adalah proses terjadinya semua makhluk, bahwa semua makhluk, yang terdahulu maupun yang akan datang, pasti ada yang menciptakan. Tidak mungkin makhluk menciptakan dirinya sendiri, dan tidak mungkin pula terjadi secara kebetulan. Tidak mungkin wujud itu ada dengan sendirinya, karena segala sesuatu tidak akan dapat mencipakan dirinya sendiri. Sebelum wujudnya tampak, berarti tidak ada. Semua makhluk tidak mungkin tercipta secara kebetulan karena setiap yang diciptakan pasti membutuhkan pencipta. Adanya makhluk dengan aturan aturan yang indah, tersusun rapi, dan saling terkait dengan erat antara sebab-musababnya dan antara

alam semesta satu sama lainnya. Semua itu sama sekali menolak keberadaan seluruh makhluk secara kebetulan, karena sesuatu yang ada secara kebetulan, pada awalnya pasti tidak teratur. Kalau makhluk tidak dapat menciptakan dirinya sendiri, dan tidak tercipta secara kebetulan, maka jelaslah, makhluk-makhluk itu ada yang menciptakan, yaitu Allah Rabb semesta alam. Allah SWT menyebutkan dalail aqli (akal) dan dalil qath'i dalam surat Ath thur : "Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?" ( QS. Ath-thur : 35).

Dari ayat di atas tampak bahwa makhluk tidak diciptakan tanpa pencipta, dan makhluk tidak menciptakan dirinya sendiri. Jadi jelaslah, yang menciptakan makhluk adalah Allah SWT. Ketika Jubair bin Muth'im mendengar dari Rasulullah SAW yang tengah membaca surat Ath-thur dan sampai kepada ayat-ayat ini : "Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun, ataukah mereka menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Robbmu atau merekalah yang berkuasa?" ( QS. At-Thur : 35-37). Ia, yang tatkala itu masih musyrik berkata : "hatiku hampir saja terbang. Itulah permulaan menetapnya keimanan dalam hatiku." (HR. Al-Bukhari). Dalam hal ini Kami ingin memberikan satu contoh. Kalau ada sesorang berkata kepada anda tentang istana yang dibangun, yang dikelilingi kebun-kebun, dialiri sungai-sungai, dialasi oleh hamparan karpet, dan dihiasi dengan berbagai perhiasan pokok dan penyempurna, lalu orang itu mengatakan kepada anda bahwa istana dengan segala kesempurnaanya ini tercipta dengan sendirinya, atau tercipta secara kebetulan tanpa

pencipta, pasti anda tidak akan mempercayainya, dan menganggap perkataan itu adalah perkataan dusta dan dungu. Kini Kami bertanya kepada anda, masih mungkinkah alam semesta yang luas ini beserta apa-apa yang ada di dalamnya tercipta dengan sendirinya atau tercipta secara kebetulan?. 3. Bukti syara' tentang wujud Allah SWT bahwa seluruh kitab samawi ( yang diturunkan dari langit ) berbicara tentang itu. Seluruh hukum yang mengandung kemaslahatan manusia yang dibawa kitab-kitab tersebut merupakan dalil bahwa kitab-kitab itu datang dari Robb yang maha Bijaksana dan Mengetahui segala kemaslahatan makhluk-Nya. Berita-berita alam semesta yang dapat disaksikan oleh realitas akan kebenarannya yang didatangkan kitab-kitab itu juga merupakan dalil atau bukti bahwa kitab-kitab itu datang dati Robb Yang Maha Kuasa untuk mewujudkan apa yang diberitakan itu. 4. Bukti inderawi tentang wujud Allah SWT dapat dibagi menjadi dua: a. kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya do'a orang-orang yang berdo'a serta penolong-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Alah SWT. Allah berfirman : "Dan (ingatlah kisah) Nuh sebelum itu ketika dia berdo'a, dan Kami memperkenankan do'anya, lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar." ( QS. Al-Anbiya : 76). "Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Robbmu, lalu diperkenankannya bagimu " ( QS. Al-Anfal : 9) Anas bin Malik t berkata : " Pernah ada seorang badui datang pada hari jum'at. Pada waktu itu Nabi SAW tengah berkhotbah. Lelaki itu berkata : "Hai Rasul Allah, harta benda Kami telah habis, seluruh warga sudah kelaparan. Oleh karena itu mohonkanlah kepada Allah SWT untuk mengatasi kesulitan Kami. "Rasululah lalu mengangkat kedua tangannya dan berdo'a. tiba-tiba awan mendung bertebaran bagaikan gunung-gunung.

Rasulullah belum turun dari mimbar, hujan turun membasahi jenggotnya. Pada hari jum'at yang kedua, orang badui atau orang lain berdiri dan berkata : 'Hai Rasulullah, bangunan Kami hancur dan harta bendapun tenggelam, doakanlah Kami ini kepada Allah (agar selamat).' Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya, seraya berdo'a : "Ya Robbku, turunkanlah hujan di sekeliling Kami, dan jangan Engkau turunkan sebagai bencana bagi Kami." Akhirnya beliau tidak mengisyaratkan pada suatu tempat kecuali menjadi terang (tanpa hujan)." (HR. Al-Bukhari). b. Tanda-tanda para Nabi yang disebut mukjizat, yang dapat disaksikan atau didengar banyak orang merupakan bukti yang jelas tentang wujud yang mengutus para Nabi tesebut, yaitu Allah SWT, karena hal-hal itu berada di luar kemampuan manusia. Allah melakukannya sebagai penguat dan penolong bagi para Rasul. Ketika Allah memerintahkan Nabi Musa untuk memukul laut dengan tongkatnya, Musa memukulnya, lalu terbelahlah laut itu menjadi dua belas jalur yang kering, sementara air di antara jalur-jalur itu menjadi seperti gunung-gunung yang bergulung. Allah berfirman, yang artinya : "Lalu Kami mewahyukan kepada Musa : "Pukullah lautan itu dengan tongkatmu." Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar." ( QS. Asy-Syuara' : 63). Contoh kedua adalah mukjizat Nabi Isa AS ketika menghidupkan orang-orang yang sudah mati; lalu mengeluarkannya dari kubur dengan izin Allah. Allah SWT berfirman yang artinya : " dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah" (QS. Al-Imran : 49). " dan (ingatlah) ketika kamu mengeluarkan orang mati dari kuburnya (menjadi hidup) dengan izinKu .." ( QS. Al-Maidah : 110). Contoh ketiga adalah mukjizat Nabi Muhammad SAW ketika kaum Quraisy meminta

tanda atau mukjizat. Beliau mengisyaratkan pada bulan, lalu terbelahlah bulan itu menjadi dua, dan orang-orang dapat menyaksikannya. Allah SWT berfirman tentang hal ini yang artinya : "Telah dekat (datangnya) saat (kiamat) dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrik) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata : "(ini adalah) sihir yang terus-menerus." (QS. Al-Qomar 1-2). Tanda-tanda yang diberikan Allah, yang dapat dirasakan oleh indera kita itu adalah bukti pasti wujudNya.

Cara Beriman Kepada Allah SWT

Iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari seluruh iman yang tergabung dalam rukun iman. Karena iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari keimanan yang lain, maka keimanan kepada Allah SWT harus tertanam dengan benar kepada diri seseorang. Sebab jika iman kepada Allah SWT tidak tertanam dengan benar, maka ketidak-benaran ini akan berlanjut kepada keimanan yang lain, seperti iman kepada malaikat-malaikat Nya, kitab-kitab Nya, rasul-rasul Nya, hari kiamat, serta qadha dan qadar Nya. Dan pada akhirnya akan merusak ibadah seseorang secara keseluruhan. Di masyarakat tidak jarang kita jumpai cara-cara beribadah seorang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, padahal orang tersebut mengaku beragama Islam. Ditinjau dari segi yang umum dan yang khusus ada dua cara beriman kepada Allah SWT : a. Bersifat Ijmali Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat ijmali maksudnya adalah, bahwa kita mepercayai Allah SWT secara umum atau secara garis besar. Al-Quran sebagai suber ajaran pokok Islam telah memberikan pedoman kepada kita dalam mengenal Allah SWT. Diterangkan, bahwa Allah adalah dzat yang Maha Esa, Maha Suci. Dia Maha Pencipta, Maha Mendengar, Maha Kuasa, dan Maha Sempurna.

b. Bersifat Tafshili Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat tafsili, maksudnya adalah mempercayai Allah secara rinci. Kita wajib percaya dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan sifat-sifat makhluk Nya. Sebagai bukti adalah adanya Asmaul Husna yang kita dianjurkan untuk berdoa dengan Asmaul Husna serta menghafal dan juga meresapi dalam hati dengan menghayati makna yang terkandung di dalamnya.

Hikmah Beriman Kepada Allah SWT Meyakini kepada Allah SWT dengan sifat-sifat-Nya akan memberikan banyak hikmah diantaranya : 1. 2. 3. 4. Meyakini kebesaran Allah SWT Meningkatkan rasa syukur Selalu menjalankan perinyah-Nya. Selalu berusaha menjauhi dan meninggalkan larangan-Nya. 5. Tidak takut menghadapi kematian

C. Iman dalam kehidupan sehari-hari

Iman sangat penting dalam kehidupan manusia. Tanpa iman, ibadah yang dilakukanakan sia-sia, bahkan amal yang dilakukan tidak akan sampai kepada Allah SWT, seperti yang dijelaskan dalam Al Quran surat Al Anbiya 94 :

`BsB uqdur Mys=9$# B @yJt `yJs cq6F2 ms9 $R)ur m|9 xstb#t2
Maka barang siapa yang mengerjakan amal saleh, sedang ia beriman, Maka tidak ada pengingkaran terhadap amalannya itu dan Sesungguhnya Kami menuliskan amalannya itu untuknya. Keimanan dan ketaqwaan yang dianugerahkan Allah SWT untuk kaumnya haruslahdisyukuri dan diperkuat dengan cara meningkatkan ibadah amal, misalnya disamping menjalankan ibadah wajib (sholat, zakat, puasa), juga menjalankan ibadah

1. 2. 3. 4. 5. 6.

sunnah,misalnya dengan membayar infaq dan sedekah. Berikut penerapan iman dan taqwadalam kehidupan : Menjalankan keenam rukun iman. Menaati perintah Allah dan beramal sholeh untuk mendapatkan ridhlo Allah. Membersihkan diri dari hal-hal yang diharamkan (menghindari keharaman. Ringan tangan atau saling membantu sesama manusia. Menjaga aurat pada dirinya sesuai dengan ajaran agama. Menjaga amanah dan menepati janji. Sebagai orang yang beriman dan bertaqwaharuslah bisa menjaga amanah yang diberikan kepada dirinya danberusahalahuntuk selalu menepati janji selagi masih mampu. sholat wajib. Menjaga sholat dalam kehidupan sehari-hari bukan

7. Menjaga

persoalanyang mudah. Menjaga sholat ini berarti orang tersebut bisa menjaga waktunya, diaselalu sholat tepat waktu dan tidak menunda-nunda sholatnya. Disamping shalat tepat waktu orang tersebut juga menjaga cara dan bacaannya dengan benar sesuaidengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Disamping itu juga harus bisa menjaga efek positif dari sholat, yaitu dengan benar-benar menghayati danmelaksanakan apa yang telah dibaca dalam melaksanakan sholat. 8. Selalu siap untuk menghadapi kematian sebagaimana dari rukun iman. Penerapan iman dan taqwa dalam kehidupan di atas, memang telah dilakukan olehsebagian anak muda. Namun, sebagian darinya masih juga kurang sepenuhnya menerapkan iman dan taqwanya dalam kehidupan sehari-hari. Banyak masalah yangmuncul akibat kurang kokohnya iman dan taqwa yang tertanam dalam diri masing-masing individu. Ada beberapa faktor penyebab munculnya masalah berkurangnya kekuatan iman dan taqwa dalam diri : a. Tidak mengenal siapa Allah SWT. b. Lalai dan memalingkan diri dari rambu-rambu agama,tidak memperhatikan ayat-ayat Allah dan hukum-hukumNya, baik yang bersifat kauni maupun syari. Sesungguhnya kelalaian dan sikap tidak mau tahu semacam itu pasti akan membuat hati menjadi sakit atau bahkan mati karena belitan syubhat dan jeratan syahwat yangmerasuki hati dan sekujur tubuhnya. c. Berbuat atau mengutarakan ucapan maksiat.Oleh karena itulah iman akan turun,melemah dan surut sebanding dengan tingkatan maksiat, jenisnya, kondisi hati orangyang melakukannya serta kekuatan faktor pendorongnya. Iman akan banyak sekali berkurang dan menjadi sangat lemah apabila seorang hamba terjerumus dalam dosa besar, jauh lebih parah dan lebih mengenaskan daripada apabila dia terjerembab dalam dosa kecil. Berkurangnya keimanan karena kejahatan membunuh tentu lebih besar daripada akibat mengambil harta orang. Sebagaimana iman akan lebih banyak berkurang dan lebih lemah karena dua buah maksiat daripada akibat

melakukan satumaksiat. Demikianlah seterusnya. Dan apabila seorang hamba yang bermaksiat menyimpan perasaan meremehkan atau menyepelekan dosa di dalam hatinya serta diiringi rasa takut kepada Allah yang sangat minim maka tentu saja pengurangan dankeruntuhan iman yang ditimbulkan juga semakin besar dan semakin berbahaya apabila dibandingkan dengan maksiat yang dilakukan oleh orang yang masihmenyimpan rasa takut kepada Allah tetapi tidak mampu menguasai diri untuk tidak melakukan maksiat. Dan apabila dilihat dari sisi kekuatan faktor pendorong yang dimiliki orang maka penyusutan iman yang terjadipun berbeda. Apabila suatu maksiat terjadi pada diri orang yang faktor pendorongnya semakin lemah atau semakin kecil maka penurunan iman yang ditimbulkannya juga akan semakin besar,semakin parah dan lebih tercela daripada orang yang bermaksiat tapi memang padanya terdapat faktor pendorong yang lebih kuat dan lebih besar. Oleh sebab itulah orang miskin yang sombong dan orang tua bangka yang berzina dosanya lebih besar daripada dosa orang kaya yang sombong dan perbuatan zina seorang yang masih muda. Hal itu sebagaimana dikisahkan di dalam hadits Rasulullah SAW : Ada tiga golongan orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah dan tidak akan diperhatikan oleh-Nya pada hari kiamat. Dan di antara mereka itu adalah orang tua beruban yang berzina dan orang miskin yang sombong. d. Meninggalkan ketaatan, baik berupa keyakinan, ucapan, maupun amalan fisik.Sebab iman akan semakin banyak berkurang apabila ketaatan yang ditinggalkan juga semakin besar. Apabila nilai suatu ketaatan semakin penting dan semakin prinsip maka meninggalkannya pun akan mengakibatkan penyusutan dan keruntuhan iman yangsemakin meninggalkannya bisa membuat pelakunya kehilangan iman secara total, sebagaimana orang yang meninggalkan shalat sama sekali. Perlu diperhatikan pula bahwa orang yang meninggalkan ketaatan itu terbagi menjadi 2 ada yang menyebabkan siksa dan hukuman apabila yang ditinggalkan adalahberupa kewajiban, dan tidak ada alasan yang haq meninggalkannya, kedua sesuatu yang tidak akan mendatangkan hukuman dan siksaan karena meniggalkannya seperti meninggalkan kewajiban karena udzur syari (berdasarkan ketentuan agama) atau hissi (berdasarkan sebab yang terindera) atau tidak melakukan amalan yang hukumnya mustahab/sunnah. Contohnya orang yang meninggalkan kewajiban karena udzur syari atau hissi adalah wanita yang tidak shalat karena haidh, sedangkan contoh orang yang meninggalkan amal mustahab/sunnah adalah orang yang tidak mengerjakan shalat dhuha.

Tidak ada permasalahan yang tidak ada penyelesaiannya, adapun cara penyelesaian terhadap masalah-masalah yang terjadi adalah sebagai berikut : 1. Membiasakan diri membaca Al Quran dan merenungkan ayat-ayat Allah baik ayat kauniyah maupun ayat syari, karena apabila seorang hamba terus menerus memperhatikan dan merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah beserta kemaha kuasa-Nya yang sangat elok itu. 2. Memperbanyak dzikir kepada Allah 3. . Mengenali nama-nama dan sifat-sifat Allah, karena apabila pengetahuan hamba terhadap tuhannya semakin dalam dan berhasil membuahkan berbagi konsekuensi yang diharapkan, maka pastilah keimanan, rasa cinta, dan pengagungannya kepada Allah juga akan semakin meningkat dan menguat. 4. Senantiasa berbuat ketaatan demi mendekatkan diri kepada Allah SWT, karena sesungguhnya pasang surutnya keimanan itu juga tergantung pada kebaikan dan jumlah amalan. Apabila suatu amal memiliki nilai lebih baik disisi Allah maka peningkatan iman yang dihasilkan darinya juga akan semakin besar. Sedangkan standar kebaikan amal itu diukur dengan keikhlasan dan konsistensi mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW. Apabila dilihat dari sisi jenis amalan, maka amal terbagi menjadi amal yang wajib dan amal yang sunnah, yang tentunya amal yang wajib lebih utama dari amalan sunnah. 5. Menghindari dan meninggalkan hal-hal yang berbau maksiat karena rasa takut kepada Allah SWT, karena kemampuan meninggalkan kemaksiatan menujukkan kekuatan yang dimilikinya sebab mampu mengedepankan imannya daripada menuruti hawa nafsunya.

You might also like