You are on page 1of 2

Aku selalu tidak kuasa meramu kata yang paling pas untuk mengdeskripsikan sosok Ibu.

Aku rasa tidak hanya aku yang begitu, tapi juga kalian. Ibu, hanya tiga huruf saja kan, Kawan? Tidak lebih! Ah, tiga huruf yang mewakili jutaan definisi tentang sosok seorang Ibu. Setiap kali mendengar kata Ibu, seketika itu juga anganku melebur dan berbaur dalam kenangan bersama Ibu. Bagiku Ibu adalah segalanya. Bagaimana tidak? Dua puluh dua tahun usiaku saat ini, Ibulah satu-satunya wanita yang membuat aku jatuh cinta sepanjang tahun ke tahun. Cintaku pada Ibu menyerupai cinta matahari pada bumi yang tak pernah lelah menyinari, tapi cinta Ibu padaku? Lagi-lagi aku tak kuasa mencari persamaannya, Kawan. Cinta Ibu begitu maha padaku. Hati-hati di rantau orang, Nak! Kuliah yang rajin, biar kelak kau menjadi orang! Kalimat itu, Kawan! Kalimat yang senantiasa menjadi pengingat ketika aku bermuram dan lengah dengan duniaku sebagai anak muda. Siratan mata Ibu empat tahun lalu ketika mengucapkan kalimat itu sungguh membekas dan abadi di retinaku. Siratan doa, harapan, dan barangkali juga kerinduan yang akan menderanya selama kami berpisah. Pernah beberapa kali aku melanggar petuah Ibu. Aku berlalai untuk menuntaskan kewajibanku sebagai mahasiswa, aku keasyikan dengan duniaku, bah! Ibu mana yang senang ketika menerima kabar demikian, Kawan? Ibu menangis ketika berbicara denganku di suatu percakapan melalui telpon. Dan memang tak pernah salah orang-orang tua berpetuah,

penyesalan selalu datang kemudian. Pun demikian denganku, rasa bersalah itu mendera ketika air mata Ibu telah tumpah. Nak, kapan lulus? Si Husni teman SD-mu bulan depan sudah akan wisuda katanya, begitu tanya Ibu suatu hari padaku. Aku tercekal, hanya mampu tersenyum kecil tanpa ada jawaban pasti. Maafkan aku, Bu. Aku sungguh berdosa. Padahal kalau

You might also like