You are on page 1of 127

Geliat Perlawanan Basis

Pusat gerakan perlawanan terhadap politik dominan pemerintah dan keamanan yang dikerjakan adalah menjadikan Kota Madya Sorong sebagai sentral informasi dan kampanye. Sedangkan sentral-sentral gerakan perlawanan dipusatkan di beberapa titik, yaitu: 1. Di Ibukota Kota Madya Sorong. 2. Kampung Malaumkarta (Distrik Makbon - Kabupaten Sorong) 3. Kampung Mega (Distrik Moraid - Kabupaten Sorong) 4. Kampung Fef, Bamusbaiman, dan Bamusbama (Kabupaten Tambrauw) 5. Kampung Marey dan Meyah (Kabupaten Maybrat) 6. Semua kampung di Distrik Seremuk (Kabupaten Sorong Selatan) 7. Aimas (ibukota Kabupaten Sorong) 8. Kampung Warimak, Waifoi, Arawai, Beo (Distrik Teluk Mayalibit - Kabupaten Raja Ampat) 9. Kampung Yenbekaki (Distrik Waigeo Timur - Kabupaten Raja Ampat) Sembilan wilayah kampung dan dua wilayah dalam kota di tiap-tiap kabupaten ini dipilih berdasarkan karakteristik wilayah kebudayaan yang menjadi dasar gerakan perlawanan.

Sekilas Sejarah Suku Malamoi (MOI)


Wilayah Kepala burung Provinsi Papua Barat didiami salah satu suku, yaitu suku Moi. Moi berasal dari kata Malamoi, yaitu dua suku kata mala yang berarti burung atau tanah luas dan moi yang berarti halus, lembut. Kata ini lahir pada saat orang Moi mulai bicara tentang adat. Menurut sejarah yang diceritakan para orang tua adat, peradaban orang Moi berawal dari dua kekuatan, yaitu

175

Geliat Perlawanan Basis

Tambrau dan Maladofok. Myte orang Moi menyebut Maladofok sebagai kekuatan perempuan dan Tambrau sebagai kekuatan lakilaki. Teges Maladum adalah wilayah orang-orang Moi pertama tinggal, kemudian berkembang dan mulai melakukan migrasi ke Manokwari, Teminabuan, Ayamaru, dan Kepulauan Raja Ampat. Suku Moi percaya nenek moyangnya keluar dari Gunung Maladofok dan dunia ini dimulai dari gunung itu. Hampir semua suku di wilayah Kepala Burung berasal dari satu nenek moyang Kelinplasa (disebut sebagai menara Babel) di daerah Maladofok. Mereka kemudian terpencar karena menara yang sedang dibangun roboh oleh air bah dan semua orang naik mencari perlindungan di gunung. Karena Waktu itu Tuhan menghukum dengan bahasa yang lain, demikian menurut seorang tua adat. Orang-orang yang hanyut ke tempat lain kemudian hidup terpisah-pisah dan sekarang menjadi suku-suku baru: suku Ayamaru dengan marga-marga Salossa, Kambuaya, Sevaniwi, Bless, Sraun, Duwith, Bleskadith, Kondologit, Konjol, Kamesok, Salambau, dan Momot. Demikian dalam sejarah suku Moi yang menganggap tidak terpisah dengan suku Ayamaru dan Tehit (Teminabuan Sorong Selatan) ataupun suku Maya di Raja Ampat. Sedangkan yang tetap tinggal di tanah asal kemudian menjadi satu suku besar Moi, yang kemudian terbagi dalam 10 subsuku dan 100 marga, dengan sejarah tanah, sistem pembagian wilayah, dan bahasa yang satu. Dalam perkembangannya 10 subsuku ini masing-masing berdiri sendiri dan menganggap mereka suku tersendiri dan tidak ada hubungan sejarah apa pun dengan subsuku lain. Ada banyak rahasia adat yang tidak boleh diketahui orang luar, bahkan oleh orang Moi yang dianggap tidak pantas mengetahuinya.Mereka menyebut rahasia adat dan tempattempat keramat itu sebagai Hal-hal yang tidak boleh diketahui perempuan. Karena itu, kelompok masyarakat suku Moi dibagi dalam empat struktur yang telah ada sejak zaman batu, yaitu :
176

Geliat Perlawanan Basis

1. Tokoh-tokoh adat Terdiri atas para Nedla meliputi: Neliging (orang yang berbahasa baik), nefulus (orang sejarah), ne kook (orang kaya), ne foos (orang suci) serta pejabat-pejabat adat : Unsmas,Tukan, Finise (pemimpin pelaksana rumah adat, terdiri atas marga Ulimpa dan Do), tulukma, untlan (guru yang mengajar di kambik), dan Kmaben. Kelompok ini yang berhak mendapatkan pangkat sebagai kepala suku dan panglima perang yang berwenang melakukan sidang-sidang dan acara adat. 2. Alumni Pendidikan Adat (Wilifi) Adalah kelompok dalam struktur adat yang terdiri atas anak laki-laki yang telah mengikuti pendidikan adat di kambik (rumah adat tempat pendidikan adat) dan telah diwisuda secara adat. Kelompok ini dibina untuk menjadi pemimpin seperti kelompok pertama. Mereka yang diajarkan rumah adat ini belajar tentang filosofi kepemimpinan dan seluk-beluk adat-istiadat suku Moi secara lengkap. 3. Kelompok Laki-laki (Nedla) yang dikategorikan sebagai Nelagi (perempuan) Kelompok ini terdiri atas anak laki-laki, pemuda, dan laki-laki dewasa yang belum pernah mengikuti pendidikan adat di kambik, sehingga dalam struktur adat Moi dikategorikan sebagai Nelagi. 4. Kelompok Nelagi Murni Adalah kelompok yang terdiri atas para perempuan Moi. Kelompok ini juga memiliki pemimpin dan tokoh perempuan. Mereka diajarkan berbagai ilmu pengetahuan secara adat yang disebut Fulus (ilmu-ilmu khusus yang dapat dikuasai dan berkaitan dengan masalah perempuan).

177

Geliat Perlawanan Basis

Dari empat struktur kepemimpinan berdasarkan pendidikan adat tersebut, suku Moi percaya mereka telah menemukan banyak hal yang telah dipakai dunia baru sekarang ini dan mereka tidak merasa kaget dengan perkembangan yang ada. Karena pendidikan adat yang diperoleh di rumah adat mengenai segala hal yang menyangkut suku moi diatur. Misalnya: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Sistem perkawinan Sistem pembagian harta Sistem adat dalam mengatur perempuan Moi Sistem adat dalam hak ulayat tanah Sistem pembayaran adat bagi yang meninggal Sistem pendidikan Sistem bercocok tanam Sistem pengobatan Sistem marga dengan daerah-daerah keramat

1. Sistem Pendidikan Adat Suku Moi percaya segala sesuatu yang ada sekarang, misalnya bahan peledak, obat-obatan, merekayasa hujan, menyembuhkan orang sakit, membunuh orang dengan kekuatan magis secara massal, sampai menghilangkan diri dan menghilangkan orang lain, telah ada dan sudah dibuat masyarakat suku Moi sejak dulu. Mereka telah belajar dan mengajarkan secara turun-temurun semua unsur tersebut dalam sekolah adat yang disebut kambik. Masa pendidikan bervariasi, menurut jenis ilmu yang dipelajari. Mulai dari 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan, 12 bulan, 16 bulan, hingga 24 bulan. Pendidikan adat ini bersifat tertutup dan rahasia, dan hanya boleh diikuti nedla (laki-laki). Perempuan tidak diperbolehkan ikut karena dikhawatirkan jika ikut dalam proses pendidikan di sekolah adat ini, maka kelak jika menikah akan menceritakan rahasia kambik kepada suaminya yang berasal dari marga suku lain. Orang Moi percaya nedla
178

Geliat Perlawanan Basis

benar-benar menjadi laki-laki apabila telah mengikuti pendidikan di sekolah adat, karena dalam sekolah adat semua kekuatan Moi akan diturunkan oleh para guru adat. Setiap nedla yang tidak mengikuti pendidikan maka dalam struktur adat istiadat disebut sebagai masih perempuan atau masih telanjang. Biarpun seseorang pintar, jika belum melewati struktur sekolah adat, ia disebut masih bodoh atau telanjang atau perempuan. Sejak tahun 1960-an rumah pendidikan kambik dianggap oleh pemerintah dan aparat keamanan sebagai kelompok atau organisasi yang menentang pemerintah, sehingga dilarang penyelenggaraannya. Saat ini, jika diketahui ada sekolah adat kambik yang dibangun dan dibuka untuk menerima siswa, maka pemerintah dan aparat keamanan akan membongkar sekolah adat tersebut karena dianggap sebagai tempat pendidikan gerakan Papua merdeka. Pada tahun 1970-an pendidikan adat di kambik tidak diselenggarakan lagi karena dilarang oleh pemerintah, aparat keamanan, dan gereja karena dianggap sebagai tempat separatis dan kafir. Suku Moi, terutama para tua adat lulusan sekolah adat, berharap suatu saat sistem pendidikan adat ini dapat dibuka kembali. Saat ini hanya tinggal alumni kambik yang masih tersisa di kampung dan diangkat sebagai tokoh adat yang dihormati dan ditakuti karena memiliki kekuatan gaib. 2. Sistem Adat dalam Hak Ulayat Tanah Suku Moi percaya tanah adalah perempuan (mama/ibu). Berbicara tentang tanah berarti berbicara tentang perempuan. Tanah adalah ibu sehingga menjual tanah sama artinya dengan menjual ibu. Tanah dianggap sebagai sumber kehidupan, bagai ibu yang menyusui anaknya. Seiring dengan perkembangan zaman, falsafah ini mulai luntur pada diri orang Moi. Jual beli tanah
179

Geliat Perlawanan Basis

semakin banyak terjadi, meski jual beli tanah bukanlah hal yang mudah. Sistem adat mengharuskan suku Moi yang ingin menjual tanah harus memanggil Muwe (saudara-saudara perempuan) jika tidak ingin terkena kutukan. Sebaliknya, jika seorang perempuan ingin menjual tanah warisannya, harus memanggil para saudara lelaki, jika tidak ingin dimasuki roh. Artinya, dalam setiap pengambilan keputusan setiap orang terikat oleh tali kekerabatan yang tidak bisa dilanggar begitu saja. Hak ulayat atas tanah adat itu telah diatur dalam lembaga adat. Hukum adat ini dipakai untuk membagi wilayah tanah adat kepada marga-marga yang ada di suku Moi. Batas-batas wilayah kepemilikan tanah marga ditandai dengan berbagai benda alam, pohon kayu, sungai, batu, gunung, dan sebagainya. Seluruh marga yang ada di suku Moi telah mengetahui batas tanah mereka, sehingga tidak bisa sembarangan masuk ke dusun atau tanah marga lain. Setiap marga biasanya memiliki wilayah atau benda keramat masing-masing yang menjadi tanda tak terbantahkan atas kepemilikan tanah tersebut. Di antara beberapa marga, ada marga yang memiliki tanah besar (luas atau di beberapa wilayah), biasanya mereka keturunan anak kepala suku pada masa lampau. Marga-marga yang memiliki tanah luas ini secara otomatis akan menempati kelas yang penting, berpengaruh, dan dihormati dalam lembaga adat (mereka disebut sebagai orang kaya). 3. Sistem Pengobatan Tradisional Sejak dulu suku Moi telah mengenal berbagai jenis pengobatan untuk menolong warga yang sakit. Mereka memakai tali rotan, kulit kayu, daun-daunan, abu panas, buah-buahan tertentu, dan lain-lain sebagai sarana penyembuhan. Mereka juga memiliki sistem pengaturan kelahiran dengan baik, di mana saat istri hamil 3 bulan, suami akan memisahkan diri ke kampung lain sampai anak lahir dan berumur 4 tahun. Hal ini mereka lakukan
180

Geliat Perlawanan Basis

untuk menjaga kesehatan ibu. Saat ini sistem tersebut sudah tidak berlaku lagi karena, telah ada fasilitas kesehatan yang disiapkan pemerintah. 4. Sistem Pembayaran Adat bagi yang Meninggal Setiap orang yang telah berkeluarga akan dikenai sistem pembayaran adat jika salah satu dari anggota keluarga meninggal dunia. Jika yang meninggal Istri, maka pihak suami diharuskan membayar secara adat. Pembayaran itu meliputi ganti susu, mata, rambut, tulang belakang (dibayar dengan sebilah parang), tengkorak (dibayar dengan gong), pinggang (dibayar dengan piring), darah (dibayar dengan nemala), dan lain-lain. jika suami meninggal, maka pihak perempuan (diwakili saudara laki-laki bapak) harus membayar piring dan gong. Sedangkan jika anak yang meninggal, maka pihak perempuan yang harus membayar karena dianggap istri tidak menjaga anak dengan baik sehingga sakit dan meninggal. Saat ini para pemuda Moi menganggap beban mas kawin laki-laki Moi berat sekali, karena dilakukan tidak hanya sekali saat melamar, tapi terus-menerus sampai akhir hidupnya. 5. Sistem Perkawinan Suku Moi pada zaman dulu tidak mengenal pacaran. Segala sesuatu menyangkut perjodohan diatur orang tua. Perempuan hanya tinggal di rumah menunggu kedatangan orang tua pihak laki-laki yang akan datang memintanya dari orang tuanya. Namun sebelumnya ada beberapa syarat bagi keduanya. Perempuan harus mampu menokok sagu, berkebun, mengetahui berbagai ramuan obat, membuat iviok (tempat ramas sagu), membuat noken, memasak papeda, dan membuat sagu. Sedangkan laki-laki harus mampu membuat rumah, berkebun, membuat perahu, berburu, dan berharta.

181

Geliat Perlawanan Basis

Jika kedua pihak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka kedua orang tua akan mengikat dengan tanda penyerahan mas kawin (sebelum mengenal kain, mereka memakai mas kawin botolbotol kuno). Sejak masuknya VOC, suku Moi mulai mengenal kain dan piring, karena saat itu terjadi pertukaran barang atau barter secara besar-besaran dalam perdagangan. Sejak itu orang Moi memakai kain teba dan kain kain putri air namanya agmai yang khusus dibuat dari kulit kayu dan dimiliki orang-orang tertentu. Kini kain-kain itu hampir tidak ada lagi karena pemiliknya telah meninggal dunia. D isamping kain dan piring, mas kawin yang diberikan juga berupa uang. Setelah ada kesepakatan bersama, maka ditentukan waktu untuk membayarkan harta kedua muda-mudi yang harus dilalui dengan acara adat yang disebut guling rokok sebagai tanda mas kawin laki-laki yang ada di bilik kudus (ruang khusus tempat menaruh barang) akan dilihat oleh orang tua pihak perempuan. Jika lengkap sesuai dengan yang diminta, barulah si laki-laki dan perempuan bisa dipertemukan. Sebelum mas kawin dibayarkan, mereka belum bisa bertemu, karena pada zaman dulu laki-laki tidak bisa sembarang melihat perempuan. Sengaja mengintip perempuan dari jendela saja, laki-laki bisa didenda. Denda juga diterapkan untuk orang yang menyebut nama kemaluan orang lain. Jika seorang perempuan berjalan, maka laki-laki harus di belakang, tidak boleh mendahului. Adat istiadat itu dipegang teguh, bahkan membunuh bisa menjadi hukuman bagi yang melanggarnya. Tetapi kini semua aturan dan adat istiadat itu telah terurai sedikit demi sedikit, dan tak ada sanksi apa pun bagi pelanggarnya.

Sistem Penyelesaian Konflik


Hukum adat suku Moi yang paling keras adalah soal batas tanah adat. Jika ada pelanggaran batas wilayah, bisa terjadi perang
182

Geliat Perlawanan Basis

suku. Demikian juga antar marga. Konflik besar bisa terjadi jika sebuah marga mengklaim tanah milik marga lain. Konflik antar marga biasanya diselesaikan dengan cara mengundang para orang tua adat yang paham tentang hukum adat dan sejarah tanah. Struktur kekerabatan dan sejarah pewarisan selalu digunakan sebagai cara untuk menelusuri siapa pemilik sah atas tanah. Namun jika para orang tua yang turun tetap tidak bisa menyelesaikan, karena masing-masing marga yang bertikai tetap mempertahankan keyakinannya, maka jalan terakhir adalah kedua pihak diminta menunjukkan benda keramat sebagai bukti sah kepemilikan tanah yang tidak bisa ditawar lagi. Jalan akhir ini pada zaman dulu biasanya hanya diterapkan dalam konflik antar suku dan dilakukan untuk mencegah pertumpahan darah dan perang suku. Sengketa tanah antara marga Kalami dan Sapisa telah berlangsung hampir setahun lebih. Sebidang tanah di pesisir kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, yang selama ini dikelola keluarga Sapisa, tiba-tiba diklaim oleh marga Kalami sebagai miliknya. Orang tua adat berkumpul untuk menyelesaikan masalah ini, karena konflik tidak bisa diselesaikan secara musyawarah oleh kedua marga. Bahkan kerabat Kalami, seorang pengacara hukum, telah mengajukan kasus ini ke pengadilan. Karena kedua pihak tetap mempertahankan haknya, maka para orang tua adat kemudian memutuskan mengambil jalan terakhir. Keluarga Sapisa diminta mengeluarkan benda keramat sebagai bukti kepemilikan yang sah. Siang itu disepakati sebagai hari penentuan. Keluarga Sapisa diwakili Pendeta Paulus Sapisa STh memimpin pengambilan benda keramat dari dalam gua penyimpanan harta keluarga. Pengambilan ini tidak mudah. Beberapa orang yang ikut serta bercerita, Kami seperti berputar-putar saja di satu tempat. Sulit sekali menemukan gua itu. Pendeta Sapisa kemudian mulai mengucapkan doa adat

183

Geliat Perlawanan Basis

dan mohon izin kepada nenek moyang untuk meminjam bendabenda keramat, bukan mengambil selamanya.Tak lama kemudian gua ditemukan. Beberapa orang yang berbadan tegap masuk dan mengambil beberapa barang dan membawanya ke tempat sidang adat. Saat itu kami semua terdiam dalam sunyi, kenang seorang saksi sidang adat itu. Benda-benda keramat itu dipikul masuk. Saya lihat wajah pemuda yang memikulnya pucat pasi dan kaki gementar. Beberapa orang yang hadir, termasuk saya, sampai melompat ke pintu karena tidak bisa menahan perasaan aneh saat empat buah batu pengasah parang diletakkan di dalam ruangan. Batu-batu itu bentuknya sederhana tapi telah kelihatan tua. Beberapa saksi menyatakan, Pantai Malaumkarta mendadak gelap seperti malam hari. Hujan deras turun dan kilat besar menyambar-nyambar. Air laut seperti diaduk oleh sendok besar. Hujan kemudian reda dan saat langit terang kembali, orang-orang menemukan banyak ayam peliharaan orang-orang di kampung seberang beserta kandang-kandang, juga pohon-pohon yang tumbang, berserakan terapung di tepi pantai Teluk Dore tengah laut.Tidak ada korban jiwa dalam badai yang berlangsung selama hampir dua jam itu. Marga Kalami akhirnya menyerah dan mengakui kebenaran tanah itu milik marga Sapisa. Banyak peristiwa ajaib terjadi, membuat orang Moi percaya pada penyelesaian adat daripada hukum formal. Bagi mereka, pengadilan versi pemerintah dengan mudah bisa dipermainkan dan dibeli oleh pihak yang memiliki uang, namun pembuktian adat adalah keputusan alam yang tidak bisa ditawar dengan apa pun.

Perlawananan Mempertahankan Identitas Budaya


Krisis identitas sebagai ras Papua Melanesia di negeri sendiri akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengandung elemen-elemen rasisme, etnocide, dan pengabaian kultur. Misalnya
184

Geliat Perlawanan Basis

kebijakan Keluarga Berencana di Papua yang membatasi kelahiran anak-anak sementara pertambahan penduduk Provinsi Papua dipompa menggelembung melalui program transmigrasi ataupun peningkatan sarana transportasi laut dan udara. Fenomena kebijakan ini cenderung dinilai orang Papua sebagai etnocide. Larangan terhadap pengembangan kebudayaan-kebudayaan lokal di Papua Barat, juga pembunuhan terhadap budayawanbudayawan Papua seperti yang terjadi pada April 1984 terhadap Arnold Clemens Ap dan Edward Mofu oleh Komando Pasukan Khusus. Pemerintah Jakarta menganggap pengembangan kebudayaan Papua Melanesia berpotensi menciptakan disintegrasi. Dominasi birokrasi pemerintah maupun akses ekonomi oleh para migran juga turut mendorong proses krisis identitas ini. Ketiga akar persoalan tersebut terus menjadi penyebab aksi-aksi protes dan perlawanan rakyat yang berbuntut pada siklus sentral konflik berkepanjangan di Papua. Konflik ini tidak diselesaikan oleh pemerintah Jakarta secara menyeluruh dan konstruktif. Namun, sebaliknya, memunculkan konflik baru dengan menggunakan senjata melalui aksi-aksi militer yang menurut orang Papua hanya terus menambah daftar korban pelanggaran HAM atau lahirlah padang kejahatan kemanusiaan abadi di Papua Barat. Pandangan bahwa orang Papua bangsa yang primitif, bangsa yang terbelakang dan bodoh, sampai saat ini masih terdengar di masyarakat dan telah menciptakan kultur yang tidak seimbang dalam pergaulan antara penduduk asli dan pendatang. Pemahaman ini tergambar dalam berbagai bentuk perlakuan yang tidak manusiawi, entah dalam bentuk kebijakan peraturan ataupun dalam bentuk pola-pola pendekatan pembanguan. Hal ini mendorong kesadaran kolektif orang Papua untuk membangun diri sendiri sebagai wujud pernyataan sikap akan keberadaanya

185

Geliat Perlawanan Basis

sebagai suatu bangsa dan menyatukan langkah untuk berjuang bersama melawan ketidakadilan. Dalam kebersamaannya orang Papua menyadari akan adanya tiga persoalan utama. Pertama, penyangkalan sejarah terhadap keberadaannya, baik secara antropologis maupun secara politik. Kedua, adanya upaya sistematis untuk menghancurkan kebudayaan Papua. Ketiga, terjadinya ketidakadilan dalam berbagai aspek kehidupan.

Budaya Papua Kian Luntur dan Kehilangan Identitas Diri


Seni budaya Papua adalah salah satu identitas diri yang menunjukkan kepribadian dari suku-suku yang mendiami pulau Papua. Secara nasional, kebudayaan Papua adalah hamparan kebudayaan. Keragaman budaya etnis Papua adalah warisan leluhur yang memiliki atau terkandung nilai-nilai dasar yang mengatur kehidupan manusia untuk berinteraksi sosial dengan: Alam gaib (dengan roh-roh nenek moyang) Alam semesta (seluruh ekosistem alam) l Sesama etnis (hubungan kekerabatan) l Antar-etnis dan dunia luar (hubungan kerja sama)
l l

Tataran nilai-nilai dasar tesebut dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan sejak tanah Papua didatangi oleh dunia luar, terutama misionaris, negara-negara Eropa dan Asia. Keterkaguman akan tradisi budaya Papua sekaligus keindahan dan kekayaan sumber daya alam, membuat Papua menjadi ajang perebutan untuk dikuasai. Akan tetapi budaya papua dianggap budaya kafir yang harus di perbaiki, diperbarui, dan bila perlu dimusnahkan karena menjadi penghalang untuk peradaban baru yang dibawa masuk. Demikian kadang stigma dan slogan yang dikumandangkan untuk membuat perubahan di Papua.
186

Geliat Perlawanan Basis

Upaya Penghancuran Nasionalisme dan Identitas Papua


Sejak masuknya Injil (pengaruh ajaran Kristen) di Tanah Papua pada 5 Februari 1855, kebudayaan Papua mengalami pergeseran yang drastis. Pergeseran tersebut dari waktu ke waktu kian menyurutkan eksistensi budaya Papua. Banyak contoh yang menunjukkan telah terjadi pergeseran nilai budaya Papua, yang secara sadar ataupun tidak sadar, sedang dan akan terus dialami orang Papua. Beberapa contoh konkrit dapat kita simak. 1. Penghancuran dan pembakaran rumah-rumah bujang (sarana pendidikan tradisional) oleh para misionaris, dengan dalih kafir dan orang harus ikut sistem pendidikan modern dan baca Alkitab, karena itu yang bukan kafir. 2. Pergantian nama-nama tradisional (nama tanah) dengan nama-nama Eropa atau tokoh-tokoh dalam sejarah Yahudi dan Arab. Misalnya Ishak atau Ismail. 3. Penamaam tempat yang bertentangan dengan nama lokal. Misalnya Dobonsolo menjadi Cycloop, Numbay menjadi Jayapura. 4. Kebiasaan menari cha-cha-cha daripada Yospan. 5. Kegemaran mengunyah permen karet daripada makan pinang. 6. Kegemaran menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah sendiri dalam berkomunikasi dengan kelompok sesuku dan suku lain. Pandangan ini bukan ekstrem menunjukkan sikap rasial Papua, namun orang Papua sendiri tidak menyadari bahwa dalam beberapa generasi yang akan datang mereka akan kehilangan

187

Geliat Perlawanan Basis

identitas budaya (sama seperti orang Afro-Amerika atau orang Afrika yang telah berada di Amerika). Secara alamiah setiap kelompok manusia (suku) di mana pun selalu mengalami akulturasi (percampuran budaya). Sejak dulu orang Papua sudah tahu tentang konsep hari kiamat dan surga, serta mesias atau tokoh pembebas, namun karena masuknya pengaruh unsur religi dari luar seperti ajaran Kristen dan Islam, maka orang Papua segera meninggalkan ajaran agama suku, dan dianggap sebagai kepercayaan kafir. Contoh ini dapat dilihat pada pandangan orang Biak dan Raja Ampat tentang manarmakeri dan koreri, pandangan orang Ndani/Nduga tentang nabelan-kabelan/ naberal-kaberal, pandangan orang Nimboran tentang kaisep dan wairam, atau pandangan orang Wandamen dan Waropen tentang kuri dan pasai. Apakah semua pandangan ini salah dan harus dianggap kafir? Mengapa dianggap kafir? Misalnya pernyataan sederhana yang disampaikan Dr. Benny Giay, Seandainya kitorang yang duluan kenal tulisan, maka pasti orang di dunia akan percaya sama koreri dan bukan surga. Pernyataan ini bukan bermaksud menyalahkan agama Kristen atau Islam, namun hendak menunjukkan bahwa orang Papua menerima kedua ajaran agama tersebut sebagai bagian dari proses akulturasi, sehingga mengadopsi nilai-nilai kedua ajaran tersebut kedalam pemahaman budaya orang Papua. Namun, apakah pernyataan ini masih relevan, ketika dikritik oleh kelompok masyarakat yang menyandera dua warga Belgia di Ilaga? Ini kamu dua bawa pulang kamu pu gereja dengan agama ini, ucap seorang Ilaga sambil menyerahkan Alkitab dan sebuah kaos bergambar wajah Yesus kepada Dr. Beny Giay dan Theo van den Broek OFM. Apakah tindakan orang itu pantas disebut kafir? Tindakan tersebut sebenarnya secara spontan menunjukkan bahwa nilai-nilai Kristen yang dulu diadopsi ke dalam pemahaman

188

Geliat Perlawanan Basis

orang Ilaga (atau juga orang Papua) mungkin pada saat ini sudah tidak sepadan dengan pemahaman religi mereka, karena bias merdeka merupakan nilai yang sepadan dengan pemahaman religi orang Ilaga (atau juga orang Papua). Saat ini banyak pihak menjadi kebingungan, karena melihat perubahan karakter yang terjadi pada orang Papua. Misalnya aksiaksi demonstrasi damai hingga kerusuhan (contoh kasus Wamena 7 Oktober 2000, Abepura 2006), dan perang suku di Timika (20042005, 2009-2010), adalah bentuk ekspresi rakyat yang sekian tahun ruang berdemokrasinya dikekang. Semua peristiwa tersebut bila dikaji dan dilihat dari sisi budaya lokalnya, yang sangat bertentangan dengan aturan perang orang Ndani dan suku-suku lain di Pegunungan Tengah, yang mengatur bahwa pembunuhan terhadap lawan yang tidak memiliki senjata, perempuan, dan anakanak adalah suatu pelanggaran perang, sehingga pelaku harus membayar denda kepada pihak lawan. Banyak saudara perempuan yang hamil sebelum menikah, yang dulu jarang terjadi (sebelum masuknya ajaran Kristen atau Islam di Papua), atau hal-hal lain. Terakhir adalah minuman keras yang begitu subur di Papua dan menjadi salah satu mesin pembunuh orang Papua. Kondisi tersebut saat ini merupakan masalah sosial dan budaya cermin hidup di Papua. Mengapa? Jawabannya bisa beragam. Banyak faktor yang menyebabkan munculnya fenomena tersebut. Namun, yang paling mendasar adalah faktor budaya. Ke mana budaya orang Papua yang dulu, sehingga semua ini muncul? Atau mungkin budaya orang Papua sudah mati?

Spirit dan Orientasi Kebudayaan Papua


Kekuatan spiritual yang tersirat dalam kebudayaan Papua secara umum dapat dijumpai dalam kesamaan mitologi rakyat,

189

Geliat Perlawanan Basis

tari, lagu, nilai-nilai budaya, ideologi, sistem nilai, kekerabatan, aturan sistem barter dalam adat, dinamika budaya dari dampak ajaran agama Kristen, bahasa lokal, idealisme lokal, dan ideologi Papua. Spirit dan orientasi kebudayaan Papua yang secara umum dapat dilihat dan ditemui dalam cara pandangnya terhadap alam dan sesama manusia. 1. Konsepsi terhadap hakikat hidup. Semua kebudayaan di dunia ini memiliki konsep tentang hidup. Apa arti hidup ini, apa tujuannya, dan bagaimana menjalaninya? Biasanya agama-agama memberikan tuntunan terhadap seseorang hingga terbentuk persepsi terhadap hakikat hidup. Soal hakikat hidup itu terdapat bermacam tanggapan. Ada yang memandang dan menanggapi hidup ini sebagai kesengsaraan yang harus diterima sebagai ketentuan yang tak dapat dihindari; sebagai kesempatan untuk menebus dosa; sebagai kesempatan untuk menggembirakan diri; menerima sebagaimana adanya; dan berbagai tanggapan lainnya. 2. Konsepsi terhadap karya manusia. Tanggapan tentang arti karya terdapat banyak variasi yang ditampilkan berbagai kebudayaan. Ada yang memandang karya atau bekerja sebagai aktivitas yang memberikan kedudukan yang terhormat dalam masyarakat atau mempunyai arti bagi kehidupan; bekerja adalah pernyataan tentang kehidupan; bekerja adalah intensifikasi dari kehidupan untuk menghasilkan lebih banyak kerja lagi; dan berbagai macam konsepsi lain yang menunjukkan bagaimana manusia hidup dalam kebudayaan tertentu memandang dan menghargai karya itu.

190

Geliat Perlawanan Basis

3. Konsepsi terhadap alam. Bagaimana manusia harus menghadapi alam, juga terdapat persepsi yang berbeda menurut tiap-tiap kebudayaan. Ada yang memandang alam sebagai sesuatu yang potensial dapat memberikan kehidupan yang bahagia bagi manusia dengan mengolahnya. Ada yang memandang alam sebagai sesuatu yang harus dipelihara keseimbangannya sehingga harus diikuti saja hukum-hukumnya. Ada yang memandang alam sebagai sesuatu yang sakral dan maha-dahsyat sehingga manusia pada hakikatnya hanya bisa menerima sebagaimana adanya tanpa berbuat banyak untuk mengolah alam. Dan berbagai tanggapan lainnya. 4. Tanggapan terhadap waktu. Ada berbagai tanggapan tentang waktu menurut tiap-tiap kebudayaan. Ada tanggapan bahwa yang sebaik-baiknya adalah masa lalu yang memberikan pedoman kebijaksanaan dalam hidupnya. Ada yang beranggapan bahwa orientasi ke masa depan itulah yang terbaik untuk kehidupan ini. Dalam kebudayaan serupa itu perencanaan hidup menjadi sesuatu hal yang amat penting. Sebaliknya, ada pula kebudayaan yang hanya mempunyai suatu pandangan waktu yang sempit. Mereka memandang waktu sekarang adalah waktu yang terpenting. Warga dari kebudayaan serupa itu tidak akan memusingkan diri dengan memikirkan zaman yang lampau ataupun masa yang akan datang. Mereka hidup menurut keadaan pada masa sekarang. 5. Tanggapan terhadap sesama manusia. Ada kebudayaan yang menanamkan pada masyarakatnya pandangan terhadap sesama manusia bahwa hubungan vertikal manusia dengan sesamanya amat penting. Dalam pola kelakuannya, manusia yang hidup dalam kebudayaan

191

Geliat Perlawanan Basis

serupa selalu berpedoman pada pola kepemimpinan lokalnya dan atau pada tetua- adatnya. Dengan demikian mereka selalu dijadikan anutan bagi warganya. Di sisi lain ada juga yang menanamkan pandangan bahwa hubungan horizontal antara manusia dan sesamanya sebagai yang terbaik. Dalam pola hubungan ini mereka akan merasa amat tergantung pada sesama, dan usaha untuk memelihara hubungan baik dengan tetangga dan sesama kaum kerabat dianggap amat penting dalam hidup. Dalam kebudayaan seperti ini, individualisme amat dipentingkan dan sangat menghargai orang yang mencapai banyak tujuan dalam hidupnya dengan hanya sedikit bantuan dari orang lain. Nilai budaya yang berorientasi ke masa depan adalah suatu nilai yang mendorong manusia untuk melihat dan merencanakan masa depan dengan lebih saksama dan teliti. Oleh karena itu akan memaksa manusia untuk hidup berhati-hati dan berhemat. Kita semua tahu sifat hemat yang meluas amat perlu untuk memungkinkan suatu bangsa menyisihkan sebagian dari pendapatannya untuk mengakumulasi modal. Berbagai keterangan etnografi tentang kebudayaan di Papua membawa kita pada kesimpulan bahwa orientasi seperti itu tidak dijumpai pada kebudayaan-kebudayaan di Papua. Memang ada beberapa suku di Papua yang mengenal prinsip akumulasi modal, misalnya orang Meybrat, orang Me, dan orang Muyu. Namun, modal yang telah diakumulasi itu dipakai habis untuk penyelenggaraan upacaraupacara adat seperti upacara inisisasi (pada orang Me), upacara pemakaman kembali (pada orang Muyu), dan upacara pembayaran tengkorak (pada orang Meybrat). Ada kecenderungan umum untuk menyelenggarakan upacara-upacara, baik yang bersifat ritus maupun pesta biasa, dalam suasana meriah yang berlebihan sehingga menghabiskan tenaga dan biaya besar.

192

Geliat Perlawanan Basis

Orientasi budaya yang berhasrat mengeksplorasi lingkungan alam dan kekuatan-kekuatan alam akan menambah inovasi, terutama inovasi teknologi. Pembangunan yang memerlukan usaha mengintensifkan produksi tentu harus memanfaatkan teknologi yang kian disempurnakan. Penggunaan teknologi asing tidak bisa begitu saja dipakai, tetapi memerlukan adaptasi yang saksama. Usaha mengadaptasi teknologi juga memerlukan mentalitas yang selain menilai tinggi hasrat bereksplorasi, juga menilai tinggi mutu dan ketelitian. Orientasi nilai budaya yang berhasrat mengeksplorasi lingkungan alam guna berinovasi kurang menonjol. Hal ini bersumber pada kepercayaan tradisional yang sampai sekarang belum hilang dimana banyak kebudayaan di Papua meyakini bahwa alam sekitar tempat hidup manusia terdapat kekuatan-kekuatan gaib yang harus ditakuti dan dihormati karena mengontrol kehidupan manusia. Itu menjadi penyebab suatu nilai budaya tidak aktif terhadap lingkungan alam. Di satu pihak pandangan untuk mengharuskan hidup harmonis dengan lingkungan alam adalah baik, karena searah dengan pandangan globalisasi sekarang yang berwawasan lingkungan, namun di pihak lain pandangan tersebut mematikan daya cipta untuk berinovasi. Walaupun ada pengetahuan tentang produk-produk alam tertentu, misalnya jenis-jenis tanaman atau tumbuhan tertentu yang dapat digunakan untuk pengobatan tradisional, pengetahuan seperti itu biasanya terbatas dalam lingkungan keluarga sendiri atau dalam kelompok tertentu. Pengetahuan tersebut tidak dikembangkan dan disempurnakan sebagai pengetahuan umum yang berguna bagi bagi kepentingan bersama. Walaupun ada hasrat untuk memanfaatkan sumber-sumber alam dalam berbagai aktivitas ekonomi, kegiatankegiatan itu terbatas hanya pada tingkat kepentingan keluarga inti. Lebih tinggi hanya sampai pada tingkat keluarga luas. Namun, tidak ada upaya ke arah peningkatan yang lebih tinggi yang mencakup masyarakat secara luas.

193

Geliat Perlawanan Basis

Menilai tinggi usaha atau karya orang yang dapat mencapai hasil, sedapat mungkin atas usahanya sendiri, adalah manifestasi dari orientasi nilai budaya menghargai karya manusia. Sikap untuk menilai tinggi usaha seseorang dalam masyarakat mendorong orang untuk mengintensifkan usahanya untuk memberikan hasil yang lebih baik. Hal ini di satu sisi menumbuhkan rasa percaya diri dan berkarya sendiri dan pada sisi lain menumbuhkan rasa tanggung jawab. Catatan tentang orientasi seperti ini penting, karena berguna bagi pembangunan. Apabila kita menggunakan unsur budaya sistem kepemimpinan tradisional di Papua sebagai pintu masuk untuk memahami kebudayaan-kebudayan orang Papua, kita akan menjumpai bahwa orientasi nilai budaya menilai tinggi upaya orang terdapat pada banyak kebudayaan di Papua. Misalnya pada orang Meybrat, orang Me, orang Muyu, orang Dani, dan orang Asmat yang mengenal sistem kepemimpinan tradisional yang dalam kajian-kajian antropologi dan sosiologi dikenal dengan sebutan big man atau pria berwibawa. Dalam kebudayaankebudayaan itu kita jumpai kedudukan pemimpin didasarkan atas usaha perseorangan. Dalam kebudayaan orang Meybrat, seseorang yang berhasil dalam upayanya untuk melaksanakan dan mengintensifkan sistem pertukaran kain timur berupacara sangat dihargai masyarakat. Wujud nyata dari penghargaan itu adalah pengakuan terhadap orang yang berhasil sebagai pemimpin masyarakat, disebut bobot. Jadi, kedudukan pemimpin dalam masyarakat ditentukan berdasarkan kemampuan usaha seseorang. Kedudukan seperti ini disebut kedudukan pencapaian (achieved status). Demikian pula halnya dalam kebudayaan orang Me, di samping pandai berdiplomasi, bermurah hati, dan jujur, seseorang yang berhasil terutama dalam bidang ekonomi (mempunyai banyak kebun yang luas, memelihara babi, dan mempunyai banyak istri) sangat dihargai dan diakui sebagai pemimpin dalam
194

Geliat Perlawanan Basis

masyarakat. Orang seperti itu disebut tonowi atau sonowi, yang berarti pemimpin dan orang kaya. Orientasi menilai tinggi usaha orang terdapat juga pada orang Muyu. Hal itu dapat dilihat pada penghargaan yang diberikan kepada seseorang untuk menduduki posisi pemimpin, kayepak, dalam masyarakat, karena keberhasilan usahanya untuk menyelenggarakan upacara pesta babi yang menjadi fokus kebudayaan orang Muyu. Orientasi nilai budaya menghargai usaha orang juga terdapat pada kebudayaan orang Dani dan Asmat. Pada orang Dani ataupun Asmat, upaya seseorang untuk menampilkan dan mengukuhkan diri sebagai seorang pemimpin perang sangat dihargai dan dinilai tinggi. Sebab, perang merupakan sarana untuk memperlancar berbagai aktivitas kehidupan manusia, baik yang bersifat kegiatan ekonomi maupun upacara-upacara ritus. Penghargaan terhadap orangorang yang berhasil menjadi pemimpin perang adalah pengakuan masyarakat terhadap mereka sebagai pemimpin perang dan pemimpin masyarakat. Secara keseluruhan kebudayaan Papua menunjukkan dua macam persepsi tentang hubungan manusia dengan manusia Pertama, ada kebudayan yang sangat kuat berorientasi vertikal. Hal ini terutama terdapat pada kebudayaan-kebudayaan yang mengenal sistem kepemimpinan berbentuk kerajaan. Misalnya, kebudayaan yang terdapat di Semenanjung Onim dan daerah Kowiai serta kepulauan Raja Ampat. Juga pada kebudayaan-kebudayaan yang mengenal sistem kepemimpinan kepala klen atau kepemimpinan Ondoafi yang didukung sukusuku yang berdiam di bagian timur laut Papua Barat seperti orang Tabla, Skouw, Nimboran, Sentani, dan penduduk Teluk Yos Sudarso (Teluk Humboldt). Kedua, ada kebudayaan di Papua Barat yang sangat kuat berorientasi horizontal. Misalnya pada orang Biak hubungan antar
195

Geliat Perlawanan Basis

warga dalam kelompok kekerabatan amat kuat, menyebabkan kepentingan kelompok kekerabatan lebih diutamakan daripada kepentingan individu. Di antara warga kelompok kekerabatan terdapat perasaan solidaritas yang amat tinggi yang didasarkan pada pandangan pars-prototo sebagian berarti keseluruhan. Pandangan demikian menimbulkan rasa aman pada diri warga kelompok kekerabatan, karena akan selalu dibantu saat mengalami kesulitan. Sebaliknya, pandangan ini menimbulkan kewajiban untuk terus-menerus berusaha memelihara hubungan baik dengan sesama dan sedapat mungkin membagi keuntungan dengan sesama. Kekuatan budaya ini memegang peran sangat mendasar untuk mengikat masyarakat adat Papua untuk melakukan perlawanan rakyat terhadap kekuatan represif negara, TNI, Polri, swasta/investor, pemerintah daerah, lembaga agama, kelompok resistensi, dan LSM. Spirit rakyat inilah yang kemudian digali dan dikembangkan Grup Mambesak dalam semboyan Menyanyi untuk hidup, dari dulu, kini, dan nanti. Nilai filosofi yang tersirat dalam semboyan ini adalah kehidupan spritual rakyat selalu diungkapkan dalam lagu dan tari untuk memperjuangkan hak-hak budaya rakyat Papua. Dengan lagu dan tari, seseorang dapat mengungkapkan perasaan duka, gembira, kepahlawanan, kebencian, dan lain-lain terhadap seseorang individu, kelompok, dan suku. Dampak dari ungkapan ini dapat mengakibatkan perang, permusuhan, perdamaian, persahabatan, dan sebagainya. Melihat kekuatan budaya yang dimiliki masyarakat sebagai alat perekat ini, maka dengan kekuatan yang dimiliki negara berusaha melakukan tindakan represif oleh militer dengan melakukan tekanan-tekanan dan tindakan ketidakberpihakan pemerintah daerah dalam pengembangan budaya lokal. Tindakan eksploitasi manusia dan budaya Papua oleh pemerintah, militer,

196

Geliat Perlawanan Basis

dan misionaris adalah fenomena tersendiri yang turut memberi warna dalam penghancuran budaya rakyat Papua. Sistem pemerintahan yang berbasis ideologi budaya Jawa (jawanisasi budaya lokal) turut memberikan peluang yang sangat besar bagi masyarakat pendatang dalam mengeksploitasi budaya Papua untuk kepentingan bisnis mereka. Keseluruhan sistem ini berkembang dengan subur dari tahun ke tahun. Selain itu tidak adanya aturan daerah yang melindungi hak cipta masyarakat lokal Papua.

Penghancuran Budaya Papua secara Sistematis dan Terencana


Jika dilihat dari sudut proses, peminggiran budaya Papua dimulai dari kata-kata (verbal), tindak-tanduk (behavioral), dan perampasan paksa (performance). Sementara itu resistensi masyarakat adat juga seirama dan setara dengan tingkatan proses tersebut. Penghancuran yang sistematis terhadap eksistensi masyarakat adat dan budaya yang dimiliki dilakukan melalui: 1. Pendidikan Rumah Adat dan Pendidikan Formal Pendidikan formal (sekolah) sebagai impian dan harapan akan membuka pikiran dan wawasan serta membuat orang menjadi kritis. Di sisi lain, ketika proses pendidikan sekolah diberlangsungkan dengan penuh indoktrinasi, akan mencabut orang Papua dari akar budayanya. Itulah fenomena yang sedang terjadi di Papua. Anakanak didoktrin untuk melecehkan budaya sendiri. Para petani dianggap berladang liar. Ladang modern adalah sistem sawah di Jawa. Sedangkan sagu, keladi, dan ubi-ubian sama sekali tidak pernah dibicarakan. Padahal, sistem pendidikan nonformal yang diperoleh masyarakat adat Papua yang diajarkan dalam rumah

197

Geliat Perlawanan Basis

adat itulah yang dipraktikkan, misalnya cara bercocok tanam yang baik dan berburu yang baik. Maka anak-anak Papua tumbuh menjadi manusia asing di negeri sendiri yang memusuhi budaya sendiri. Pikiran mereka berubah dari pikiran nyata menjadi pemimpi. Mereka lebih mengenal hal-hal yang berada di luar kemampuan berpikir dan kerjanya daripada yang ada di sekitar mereka. Pola pikir semacam ini memberikan sumbangan yang sangat signifikan terhadap proses kepunahan kebudayaan Papua. Pendidikan nonformal yang telah turun-temurun dilakukan orang Papua di rumah adat, saat ini tidak lagi dilaksanakan karena pusat pendidikan adat telah dimusnakan oleh pemerintah, militer, dan lembaga keagamaan (Kristen dan Islam), karena dianggap sebagai pusat gerakan perlawanan terhadap pemerintah dan dianggap oleh misionaris dan agama Kristen sebagai tempat penyembahan berhala. Budaya-budaya di luar superculture tersebut dianggap primitif, biadab, kanibal, sehingga manusianya harus diubah. Dan itu identik dengan Papua. Terlebih masalah pengembangan budaya di Papua selalu distigmakan sebagai kegiatan yang bersifat separatis yang berusaha merongrong keutuhan integritas negara. Kondisi ini dapat dilihat pada berbagai kasus dan stigma yang dialamatkan kepada masyarakat adat yang berusaha mengembangkan budaya lokal, dan secara khusus melalui sistem pendidikan nonformal yang diselenggarakan di rumah adat. Sistem dan pola pendidikan dalam rumah adat tidak dijumpai lagi karena masyarakat adat Papua takut terhadap berbagai ancaman dari pemerintah dan militer. 2. Dominasi Budaya Luar Selama masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan kebudayaan memiliki tiga ciri utama. Pertama, budaya dipersempit
198

Geliat Perlawanan Basis

hingga menjadi seni budaya. Kedua, pengembangan budaya harus berorientasi dunia bisnis (komersial). Ketiga, pertunjukan seni budaya harus sejalan dengan kemauan pemerintah. Dengan demikian terjadi pendangkalan-pendangkalan nilai, bentuk, fungsi, dan makna kebudayaan. Seiring dengan itu terjadi pemasungan, pemerkosaan, dan dominasi terhadap budaya-budaya etnik. Di beberapa tempat di Papua, penyelenggaraan pesta kawin, pesta budaya, pertujukan, pelantikan ketua adat, dan upacara adat harus terlebih dahulu mendapat izin lisan dari kepolisian. Dominasi budaya luar Papua berkembang dengan begitu cepat dari kota ke kampung, tanpa ada proteksi yang dilakukan pemerintah daerah ataupun masyarakat adat. Lembaga-lembaga adat yang dibentuk untuk tetap mempertahankan eksistensi budaya lokal, saat ini telah beralih fungsi dan mengurus politik. Tekanan budaya luar yang begitu besar telah menghadapkan masyarakat pada pilihan-pilihan ekonomis dan politik dengan mengesampingkan budaya.

Inisiatif Membangun Gerakan Perlawanan Rakyat


Dari berbagai fakta dan kasus yang disebutkan, sudah sepantasnya semua pihak merumuskan strategi bersama untuk mengatasi berbagai persoalan yang sedang dan terus berlangsung di tanah Papua. Tentu dalam melaksanakan perubahan dan penanganan masalah, tiap-tiap pihak memiliki strategi sendiri. Namun yang penting adalah pendekatan budaya dalam menyelesaikan masalah. Sebab, tanpa pendekatan budaya, upaya menyelesaikan masalah saat ini akan mengalami hambatan. Melihat dan menyelesaikan masalah secara holistik melalui pendekatan budaya mutlak dilakukan setiap orang yang menyatakan diri pelaku pembangunan di tanah Papua.

199

Geliat Perlawanan Basis

Strategi Perlawanan Membangun Kekuatan Rakyat


Strategi yang saat ini dilakukan untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lokal sebagai kekuatan untuk mempertahankan diri dari berbagai ancaman, baik dari dalam maupun luar suku, adalah melalui berbagai kegiatan-kegiatan pendidikan di kampung-kampung, seperti: 1. Monitoring dan Investigasi Kegiatan ini terus dilakukan di beberapa wilayah yang dianggap strategis dalam membangun kesadaran rakyat, seperti telah ditampilkan (lihat peta halaman 2).Tujuannya agar mendapat informasi dan data berbagai kasus di wilayah tersebut untuk kemudian dilakukan advokasi. 2. Pendidikan Kritis Dari berbagai kasus yang disebutkan, langkah strategis yang sudah dan sedang dilakukan adalah melaksanakan kegiatan pendidikan kritis di kampung-kampung di 9 wilayah yang telah ditetapkan. Kegiatan pendidikan kritis ini berkaitan dengan minimnya informasi tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Bentuk-bentuk kegiatan pendidikan kritis: 1. Diskusi-diskusi rutin di 9 wilayah target 2. Pelatihan-pelatihan khusus (investigasi, monitoring, dokumentasi) 3. Pembentukan sanggar-sanggar belajar alternatif yang bisa berfungsi sebagai pusat belajar 4. Pelatihan usaha ekonomi 5. Penelitian

200

Geliat Perlawanan Basis

6. Dokumentasi audio visual 7. Penyusunan modul-modul pendidikan kritis

Konsolidasi Gerakan Budaya


Pembangunan dan penindasan, penundukan, atau penghancuran terhadap budaya Papua dilakukan secara sistematis. Dari hal yang bersifat vebal (pelecehan dan penghinaan lisan dan tertulis), behavioral (contoh yang disertai dengan tindakan dan perilaku), dan performance (perampasan) sumbersumber kehidupanan sosial, budaya, ekonomi, religius, dan politis masyarakat adat. Terhadap yang verbal, masyarakat Papua merespons dengan tindakan sikap empati walaupun sebenarnya mereka secara mental sangat terpukul oleh berbagai bentuk penghinaan verbal. Artinya, bentuk-bentuk resistensinya adalah masyarakat menerima itu dan menggabungkan dengan politik yang kemudian memunculkan gerakan perlawanan secara kolektif. Resistensi terhadap contoh perilaku, masyarakat menerima dan mengadaptasikan pola perilaku yang baru. Atau mereka berpindah ke tempat permukiman baru yang bebas dari gravitasi modernisasi. Sikap perlawanan terhadap perampasan paksa adalah terpaksa lawan balik. Upaya terakhir adalah tindakan extra-legal, yakni merampas balik apa yang telah dirampas, atau membakar, melakukan perlawanan fisik. Tindakan ini biasanya dilakukan apabila tindakan-tindakan lain tidak mendapatkan hasil atau tidak didengar. Baru setelah aksi ekstralegal itu biasanya pihak-pihak terkait mengajak masyarakat adat berunding. Perlawanan balik yang dilakukan masyarakat terhadap fonemena sosial dan budaya yang terjadi saat ini di Papua, yang sebenarnya merupakan perlawanan budaya, telah digabungkan dengan masalah politik. Sikap apatis dan pragmatis yang dialami masyarakat cukup memberi ruang yang besar untuk melakukan refleksi diri sekaligus melakukan perlawanan terhadap

201

Geliat Perlawanan Basis

kondisi yang dialami, yang tidak pernah menemukan jawaban atas berbagai masalah yang dialami. Fokus utama yang dianggap penting adalah mengupayakan sekolah-sekolah adat (kambik, dan lain-lain) yang dulu dilaksanakan masyarakat adat di wilayah Kepala Burung dapat dihidupkan kembali. Memang untuk menghidupkan kembali sekolah adat tantangannya sangat besar, karena stigma negatif (sekolah separatis, kafir) masih melekat pada pendidikan nonformal ini. Untuk menghindari dan mengurangi stigma negatif tersebut, bentuk yang ditawarkan adalah melaksanakan pendidikan adat dalam bentuk yang lain, yaitu melalui sanggar-sanggar belajar yang dibangun di kampung-kampung dapat dijadikan sebagai pusat belajar adat. Dengan demikian, pendidikan adat diharapkan dapat membangkitkan kembali kesadaran kolektif masyarakat untuk melestarikan dan menjadi aset pertahanan rakyat dalam menghadapi perubahan politik yang terjadi dari waktu ke waktu. Konsolidasi gerakan budaya ini dilalui dengan membentuk kelompok-kelompok sel grup adat untuk mulai mendiskusikan kembali nilai-nilai budaya yang dimiliki serta membangun kekuatan budaya lokal untuk mempertahankan diri. Selain itu, gerakan budaya ini diharapkan dapat menjadi media belajar bagi generasi muda di wilayah-wilayah sasaran. Dengan pendidikan melalui sekolah-sekolah adat, alam sebagai sumber kehidupan dan tempat tinggal bagi makhluk hidup akan terpelihara dan dapat dimanfaatkan masyarakat adat Papua secara arif dan berkelanjutan. Semangat mengaktifkan kembali sekolah adat terus berjalan dan masyarakat adat, khususnya lulusan sekolah adat, mulai menyadari pentingnya sekolah adat dalam rangka mempertahankan dan memproteksi dari ekspolitasi sumber daya alam oleh orang luar yang selama ini merusak alam dan tidak memberikan manfaat bagi masyarakat pemilik tanah dan hutan adat.
202

Geliat Perlawanan Basis

Langkah awal membangun gerakan sekolah adat adalah melakukan survei di wilayah yang ditetapkan. Juga membangun pemahaman dan kesadaran bersama tokoh adat agar gerakan budaya melalui sekolah adat dapat berjalan untuk melindungi aset budaya masyarakat yang saat ini tertekan. Di sisi lain langkah ini merupakan strategi untuk memproteksi hutan adat masyarakat dari kerusakan hutan akibat aktivitas penebangan hutan oleh perusahaan pemegang HPH dan pembukaan lahan kelapa sawit. Salah satu contoh gerakan ini adalah munculnya kesadaran masyarakat adat dan lembaga adat di Seremuk, Kabupaten Sorong Selatan, untuk melindungi wilayah hutan dan tanah adatnya melalui Deklarasi Adat pada November 2009 di Kampung Mlaswat. Harapannya, wilayah-wilayah lain yang menjadi target berikutnya mengikuti jejak ini untuk melindungi hutan-hutan adatnya.

Kampanye Publik
Untuk membangkitkan kesadaran masyarakat umum akan pentingnya alam dan budaya, dilakukan beberapa kegiatan: 1. 2. 3. 4. 5. Pergelaran musik dan lagu Mambesak Pameran buku koleksi Belantara - Proton dan Mitra Dialog budaya dan HAM Eksebisi melukis di kanfas dengan ludah pinang Ekspedisi turun kampung untuk melakukan pendidikan kritis, diskusi, pergelaran musik di kampung, dokumentasi foto dan audiovisual, assessment, monitoring, dan lain-lain 6. Dialog interaktif di RRI melalui Gelar Senat (media informasi pendidikan kritis tentang lingkungan hidup dan budaya)

203

Geliat Perlawanan Basis

Respons Masyarakat Adat di 9 Wilayah Basis Gerakan Perlawanan Budaya


Ke mana identitas budaya lokal harus dicari? Bagaimana melakukan usaha-usaha proteksi terhadap pengaruh budaya luar? Sampai saat ini belum ada kerja serius yang dilakukan LSM untuk melihat permasalahan budaya di Papua. Kalaupun ada, hanya bersifat titipan dalam berbagai program yang dilakukan. Usaha ke arah kemandirian masyarakat untuk melakukan proteksi diri belum dilakukan LSM. Belum ada LSM yang bergerak khusus di bidang budaya untuk melakukan kegiatan revitalisasi budaya lokal Papua. Yang terjadi justru menjamurnya grup musik - tari yang tumbuh, berkembang, bubar atau mati, karena mengejar popularitas semata. Usaha-usaha pemberdayaan masyarakat adat pewaris aktif budaya untuk mengembangkan dan melestarikan budaya lokal tidak berjalan. Kehancuran alam dan budaya Papua mulai dirasakan dan kebangkitan kesadaran mulai terbentuk di masyarakat dengan membentuk pertahanan-pertanahan kolektif sendiri. Contoh dari proses panjang membangun kesadaran kolektif ini mulai muncul: 1. Kelompok berdasarkan kesamaan marga 2. Kelompok berdasarkan (se) kampung 3. Kelompok berdasar hubungan saudara senenek moyang/ keret/gen 4. Kelompok campuran/modern 5. Kelompok kesenian (kelompok Suling Tambur) 6. Kelompok berdasarkan suku yang mengklaim diri sebagai suku asli (LMA)
204

Geliat Perlawanan Basis

7. Kelompok migran yang secara historis kultural dan religius telah berinteraksi begitu lama dengan alam dan manusia di daerah ini. 8. Kelompok budayawan dan seniman Kelompok-kelompok yang terbentuk ini merupakan bagian dari kesadaran akan identitas lokal yang kian tercabut dari budaya akibat kerusakan alam dan media-media budaya yang dimusnahkan oleh kepentingan politik dominan dari waktu ke waktu hingga saat ini. Upaya membangun kesadaran identitas budaya Papua merupakan gerakan budaya berperspektif pendidikan politik adat adalah kerangka berpikir membangun ideologi adat (perubahan sosial yang diinginkan) dan dengan menggunakan kesadaran apa, serta bagaimana membangun ideologi kerakyatan (masyarakat lokal) dan bagaimana merebut kembali keadilan yang direbut orang lain / negara dalam mengelola sumber daya alam, sumber daya manusia, ekonomi, politik, sosial, kawasan adat, keamanan dan kepercayaan, budaya / identitas, sepanjang negara tidak mengakui kami. Tujuan Gerakan Perlawanan 1. Menunjukkan kepada dunia bahwa di belahan dunia ada satu etnik yang masih hidup dan memiliki nilai-nilai budaya yang sangat tinggi dan dapat dituangkan dalam bentuk tradisi lisan 2. Memperkenalkan budaya tradisi lisan etnik Papua 3. Mencari dukungan internasional untuk pelestarian dan pengembangan tradisi lisan etnik Papua

205

Geliat Perlawanan Basis

4. Menunjukkan kepada dunia bahwa meski dijadikan sebagai ladang penggarapan kekuasaan pemerintah dan militer, etnik Papua dapat mengimprovisasikan diri melalui tradisi lisan 5. Merebut kembali keadilan berekspresi budaya 6. Membangun jaringan kerja sama penyelamatan budaya tradisi lisan etnik Papua 7. Membangun ideologi kerakyatan etnik Papua untuk merebut kembali apa yang pernah dimiliki dengan membangun gerakan budaya berperspektif politik untuk mengusahakan perubahan sistem dengan membangun kapasitas kemandirian dan pendanaan Output yang Diharapkan 1. Perhatian dunia internasional terhadap budaya tradisi lisan etnik Papua 2. Usaha-usaha penyelamatan budaya tradisi lisan etnik Papua sebagai bagian dari situs budaya lokal dunia 3. Usaha-usaha revitalisasi pengembangan budaya tradisi lisan etnik Papua (internasional, nasiona, lokal) Harapan Tekanan kapitalisme dan krisis ekonomi dan politik yang berkepanjangan berpengaruh dan berdampak sangat besar terhadap kehidupan dan perkembangan budaya lokal di Papua. Oleh karena itu, pengakuan terhadap identitas budaya lokal masyarakat adat Papua merupakan wujud membangun

206

Geliat Perlawanan Basis

demokrasi, khususnya di bidang budaya. Wacana pengembangan demokrasi budaya Papua hendaknya dapat menciptakan ruang guna mewujudkan cita-cita, nilai-nilai pengakuan dan keyakinan yang terbaik bagi masyarakat adat untuk mengembangkan kreativitas budaya secara demokrasi dan mandiri. Adanya ruang yang luas merupakan bagian dari usaha untuk melakukan penguatan dalam pengelolaan manajemen budaya lokal sekaligus melakukan reorientasi dan reposisi ideologis untuk revitalisasi budaya lokal Papua. Di sisi lain, masyarakat adat Papua saat ini belum memiliki arah alternatif ideologis budaya yang akan membawa mereka ke tempat yang adil, makmur, dan sejahtera dalam mengelola budaya lokal akibat intervensi dan tekanan politik, militer, dan agama yang begitu kuat. Kondisi ini demikian kuat menekan sehingga menempatkan masyarakat adat Papua pada posisi dilematis dan traumatis berkepanjangan. Dampak lain, masyarakat adat Papua saat ini terjebak dalam arus globalisasi yang dilandaskan pada paham neoliberialisme. Selain itu, masyarakat adat Papua dilanda peperangan ideologis antara paham otonomisasi dan tuntutan aspirasi merdeka. Pertarungan ideologis ini membuat masyarakat dihadapkan pada berbagai pilihan yang kurang aspiratif dan cenderung menciptakan konflik internal dan eksternal dalam kehidupan masyarakat. Memberikan ruang untuk masyarakat mengembangkan dan mengorganisasi diri (institusi lokal) secara otonomi merupakan peluang yang tepat untuk mengembangkan demokrasi adat sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini guna membangun kemandirian dan kepercayaan masyarakat serta mengurangi tekanan politik pemerintahan dan militerisme.

207

Geliat Perlawanan Basis

Masalah pokok yang perlu menjadi perhatian dalam membangun demokrasi budaya Papua dalam ruang otonomi adalah mengembalikan kedaulatan budaya kepada masyarakat untuk menentukan pilihan-pilihan pengembangan budaya tanpa harus diwakilkan, karena demokrasi bukanlah kedaulatan yang diwakilkan. Dari persoalan di atas dapat diidentifikasi dua hal penting. Pertama, apakah masyarakat adat Papua masih memiliki hak untuk mengendalikan, mengontrol, atau mempertahankan sistem lokal atau tidak dalam iklim demokrasi saat ini? Karena pada kenyataannya budaya Papua hanya sebagai pelengkap dan pemuas kepentingan politik, ekonomi, dan keamanan negara. Kedua, apakah masyarakat adat Papua masih memiliki kesempatan untuk memperjuangkan dan mengendalikan sistem lokal sendiri, tanpa tekanan politik dan kekuatan militer yang membelenggu kebebasan budayanya? Bila kebebasan budaya terus dikekang, suatu saat akan terjadi konflik budaya yang meluas di Papua (antar-orang Papua ataupun dengan orang luar) dan ini akan memperkeruh upaya membangun budaya damai yang selama ini diperjuangkan. Semoga.

208

Desa Budaya Lung Anai: Dilema Invensi Budaya yang Sirna dan Siasat Penguasaan Sumber Penghidupan
Simpul Kalimantan Timur FBB Prakarsa Rakyat 1

Pembuka Jalan

K
1

omunitas Dayak Kenyah Lepoq Jalan di Desa Lung Anai, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, sontak menjadi perhatian elite Dayak sejak dikukuhkan sebagai Desa Budaya. Pada tahun 2005 tatkala Lung Anai diresmikan sebagai Desa Budaya, diselenggarakan pula Pekenoq
Tulisan dipersiapkan oleh Abdullah Naim dan Roedy Haryo Widjono AMZ. Abdullah Naim adalah aktivis di Naladwipa Institute for Social and Culture Studies, sedangkan Roedy Haryo Widjono AMZ, Koordinator Komunitas Studi Silang Budaya (Nomaden Institute for Cross Culture Studies). Keduanya menetap di Samarinda, Kalimantan Timur.

209

Geliat Perlawanan Basis

Tawai (reuni) suku Dayak Kenyah Lepoq Jalan se-Kalimantan Timur. Perhelatan akbar ini merupakan peristiwa pertama dalam sejarah kehidupan Dayak Kenyah Lepoq Jalan. Sejak Lung Anai menyandang gelar Desa Budaya, pelbagai ritual adat yang sekitar 40 tahun ditinggalkan, mulai diutakatik dan diputar ulang untuk dihidupkan kembali dalam suasana kekinian. Terutama seiring dengan euforia otonomi daerah yang menempatkan kehidupan tradisional suku Dayak beserta sejumlah ritual adat sebagai komoditas pariwisata untuk meraup pendapatan asli daerah Kabupaten Kutai Kartanegara. Rame teqoajao2 (pesta panen) dan alaq tau (mencari hari baik dalam menanam padi) misalnya, merupakan ritual adat dalam siklus kehidupan orang Dayak Kenyah di Lung Anai yang diputar ulang untuk kepentingan agenda pariwisata. Bila ritual yang bertalian dengan adat perladangan dinyatakan dapat ditampilkan kembali sebagai komoditas budaya, tidak demikian halnya dengan ritual belian (penyembuhan) dan mamat bali akang (merayakan keberanian dalam tradisi mengayau). Kedua ritual itu masih menjadi perdebatan keras apakah bisa ditampilkan sebagai agenda budaya atau tidak. Argumentasinya, terutama karena dua ritual itu telah lama sirna sejak komunitas Dayak Kenyah memeluk agama Kristen Protestan. Sejatinya ritual adat yang direka-ulang diniatkan sebagai ikhtiar membangun kembali identitas Dayak Kenyah Lepoq Jalan. Desa Budaya adalah jalan pembuka bagi rekonstruksi identitas Dayak Kenyah, sebagaimana dinyatakan Samuel Robert Djukuw,
2 Ritual rame teqoajao atau pesta panen, biasanya menyuguhkan makanan tradisional dari hasil pertanian, seperti lemang (makanan yang terbuat dari ketan dimasukkan dalam bambu lalu dibakar), dan undrat (tepung beras ketan dicampur gula lalu dimasukkan dalam bambu, mirip lemang).

210

Geliat Perlawanan Basis

Ketua Persekutuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT), Kabupaten Kutai Kartanegara, yang juga Asisten 1 Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Ihwal penemuan kembali (invention) kebudayaan Dayak Kenyah ini sejatinya menyimpan perkara menarik bertalian dengan persepsi dan sikap masyarakat sebagai konsekuensi logis terhadap penetapan Lung Anai sebagai Desa Budaya oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Realitas sosial komunitas Dayak Kenyah di Lung Anai mengisyaratkan, selain ada yang antusias menyambut proyek Desa Budaya, ada pula resistensi dari warga setempat. Namun sesungguhnya terdapat ikhtiar strategi survival yang mereka terapkan untuk merebut sumber penghidupan yang selama ini tercerabut akibat gempuran modernitas. Dilema opsi itulah yang tertuang dalam tulisan ini, terutama mengenai resistensi dan siasat yang dimainkan komunitas Dayak Kenyah Lepoq Jalan di Lung Anai. Benarkah Desa Budaya merupakan jalan pembuka bagi upaya pemulihan identitas kultural Dayak Kenyah Lepoq Jalan?

Deskripsi Geografis dan Demografis


Orang Dayak Kenyah Lepoq Jalan mulai bermukim di Lung Anai sejak tahun 1985. Mereka merupakan kelompok migran dari kampung Long Nawang dan Long Ampung di Dataran Tinggi Apo Kayan di perbatasan Indonesia - Malaysia, yang kini termasuk wilayah Kabupaten Malinau. Peristiwa Ganyang Malaysia pada 1963 - 1966 memaksa komunitas Dayak bermigrasi ke tempat lain. Peristiwa Ganyang Malaysia di era kepemimpinan Soekarno merupakan salah satu tonggak sejarah migrasi orang Dayak Kenyah. Sejak perpindahan dari Apo Kayan (1967 -1974),

211

Geliat Perlawanan Basis

sebagian dari mereka menetap di Malaysia dan sebagian melakukan perjalanan panjang migrasi ke sejumlah wilayah di Kalimantan Timur. Hingga saat ini terdapat 22 kawasan konsentrasi hunian orang Kenyah Lepoq Jalan di Kalimantan Timur, di antaranya di Datah Bilang (Kabupaten Kutai Barat), Tepian Buah (Kabupaten Berau), Sentosa, Gemar Baru dan Long Segar (Kabupaten Kutai Timur), Ritan Baru, Lekaq Kidau, Sungai Bawang, dan Lung Anai di Kabupaten Kutai Kartanegara. Lung Anai semula salah satu dusun di Desa Sungai Payan, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Hunian orang Dayak Kenyah Lepoq Jalan di Lung Anai diapit kampung Kuntap di sebelah hilir, yang dihuni suku Dayak Tunjung Benuaq, dan di sebelah hulu adalah kampung Sentuk yang dihuni suku Kutai dan Banjar. Posisi perkampungan Long Anai tidak mengikuti pola ruang seperti kampung Kuntap dan Sentuk, yang membentang mengikuti alur sungai, melainkan membentuk pola huruf T dengan tidak mengikuti alur sungai. Warga Dayak Kenyah Lepoq Jalan di Lung Anai tidak memiliki rakit jamban sebagaimana lazim permukiman suku Dayak yang berada di tepi sungai. Bahkan sejak 1994, tatkala sumber air dari pegunungan dialirkan ke rumah warga, sungai bukan lagi menjadi esensi aktivitas mandi dan mencuci. Pola khas lainnya, tepat di ujung kampung permukiman warga terdapat jalan raya bekas jalan perusahaan HPH PT. ITCI. Jalan sepanjang 25 kilometer ini menghubungkan Lung Anai dengan ibu kota Kecamatan Loa Kulu. Orang Dayak Kenyah di Lung Anai lebih intensif menggunakan transportasi darat daripada transportasi sungai, terutama dengan alasan murah dan efisien. Sejatinya kultur kehidupan sungai lambat laun mulai mereka tinggalkan.

212

Geliat Perlawanan Basis

Sejak tahun 2007 dusun Lung Anai ditetapkan sebagai desa defenitif, meski secara administratif belum memenuhi persyaratan sebagai desa. Namun karena perjuangan para elite Dayak Kenyah yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan birokrasi di Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, Lung Anai dapat ditetapkan sebagai desa. Bahkan, ditambah dengan gelar Desa Budaya. Selain persoalan komodifikasi kebudayaan, kehadiran mereka di Lung Anai sejatinya dikepung oleh ragam masalah. Stigma sebagai pendatang yang tak memiliki hak penguasaan sumber daya, menjadi persoalan hakiki dalam kehidupan mereka. Kebiasaan berladang niscaya membutuhkan areal yang cukup luas. Namun, sebagai pendatang, mereka dianggap tidak memiliki hak menguasai wilayah di sekitar desa. Contoh konkretnya, kawasan perladangan mereka di Benuang sebelah hilir Lung Anai statusnya adalah ladang yang dipinjamkan orang Kutai kepada warga setempat. Penetapan Lung Anai sebagai Desa Budaya mereka percayai sebagai salah satu peluang untuk memastikan kepemilikan sumbersumber penghidupan secara sah sebagai sarana mengekspresikan identitas budaya. Dalam benak mereka, tidaklah mungkin Desa Budaya tanpa memiliki areal ladang, pun areal perkampungan, karena tradisi perladangan dan model perkampungan lokal merupakan karakter identitas budaya Dayak Kenyah. Maka, diaspora geografis dan demografi Dayak Kenyah di Lung Anai dalam konteks Desa Budaya pada satu sisi dimanfaatkan sebagian elit eDayak Kenyah untuk kepentingan ekonomi (event pariwisata), politik (pemilu dan pilkada), serta penemuan kembali budaya yang sirna. Namun, pada sisi lain, warga setempat justru memandang sebagai jalan strategis untuk merebut kembali penguasaan sumber-sumber penghidupan.

213

Geliat Perlawanan Basis

Jejak Migrasi Dayak Kenyah Lepoq Jalan


Ihwal suku Dayak Kenyah Lepoq Jalan3 bermula sebagai salah satu suku Dayak yang mendiami wilayah Apo Kayan di kawasan perbatasan Indonesia - Malaysia. Mereka hidup berkelompok dalam sistem hunian umaq. Di kawasan Apo Kayan setidaknya terdapat 12 umaq4 (rumah panjang) dan setiap umaq dihuni berpuluh kepala keluarga. Migrasi bagi kalangan Dayak Kenyah merupakan bagian dari sejarah kehidupan. Riwayat kehidupan mereka merupakan sejarah gerak perpindahan jarak dekat, jauh, dari, ke, dan melewati pedalaman Kalimantan. Perpindahan mereka membentuk kerangka sejarah prakolonial di kawasan Kalimantan dan terekam dalam tradisi lisan Dayak Kenyah.5 Dalam perspektif historis, perpindahan Dayak Kenyah dapat dikenali dalam tiga periode penting. Pertama, pada masa prakolonial, sekitar abad ke-17, tatkala mereka menetap pertama kali di kawasan Apo Kayan.6 Migrasi gelombang kedua berlangsung pada masa kolonial sekitar tahun 1900. Migrasi gelombang ketiga berlangsung pada masa Republik Indonesia
3 Lepoq yang termasuk dalam kategori subsuku Dayak Kenyah adalah Lepoq Jalan, Kulit, Bakung, Tukung, Kayan, Tunjung, Tau, Timai, Baka, Tepu, Selabing, Bem, Krayan, Badeng, Timai, Lasan, Alim, Qe, Punan, dan Maut. Dalam ingatan Pirin, terdapat 12 umaq dalam rumpun Lepoq Jalan, yakni Umaq Daduq, Drak Tuan, Naa, Lung, Apou Lingat, Juman, Lulau, Lalut Labok, Lung Tisai, Sungan, dan Ampung. Penjelasan selengkapnya mengenai sejarah migrasi Dayak Kenyah, dapat disimak dalam Central Borneo. Ethnic Identity and Social Life Stratified Society, Jerome Rousseau, Oxford: Clarendom Press, 1990 Penjelasan selengkapnya lihat pada artikel bertajuk Sejarah dan Pola Perpindahan di Kalangan Orang Kayan dan Kenyah dari Apokayan karangan Christina Eghenter, dalam buku Kebudayaan dan Pelestarian Alam: Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan, WWF, Ford Foundation dan PHPA, Jakarta, 1999

214

Geliat Perlawanan Basis

yang berlangsung pada kekuasaan rezim Orde Lama, teristimewa semasa Konfrontasi Malaysia (1963-1967), dan Orde Baru melalui proyek Reseltemen Penduduk (Respen) sejak tahun 1970. Bahkan, di masa otonomi daerah proses migrasi terus berlanjut. Peristiwa Konfrontasi Malaysia membuat gelombang migran besar-besaran dari tanah leluhur Apo Kayan. Tidak ada informasi persis berapa jumlah gelombang migran dari Apo Kayan ke wilayah lain. Diaspora ini berlangsung begitu mengerikan, karena tak ada satu orang Kenyah pun yang kala itu tahu persis ke mana daerah yang akan dituju. Dalam ingatan Pirin, warga Lung Anai, ketika pindah dari Apo Kayan ke Lung Anai, mereka melalui delapan tempat persinggahan. Ia tidak ingat kapan peristiwa itu terjadi. Yang diingat saat saat itu ia masih gadis. Pertama kali ia meninggalkan Apo Kayan beserta rombongan ratusan orang. Umaq Lung Tisai disebut-sebut sebagai kelompok pertama yang pindah dengan jumlah sekitar 200 kepala keluarga. Disusul kelompok Umaq Lulau dengan 50 kepala keluarga, kemudian Umaq Sungan dengan 50 kepala keluarga. Lalu lambat-laun kelompok lain mengikuti eksodus dengan jumlah semakin banyak. Penggalan peristiwa eksodus itu dituturkan Taman Dion: Waktu berangkat dari Apo Kayan, umur saya sekitar 25 tahun. Kami pindah karena ada imbauan dari Camat Long Nawang untuk segera pindah bagi yang mau pindah. Kami memilih pindah, meski sedih rasanya meninggalkan kampung leluhur. Rombongan kami sekitar 500-an orang. Akibat dari perpindahan ini, ada yang sampai cerai dengan suami atau istrinya karena ada yang mau pindah dan ada yang mau tetap di Apo Kayan. Kepala Adat sebenarnya

215

Geliat Perlawanan Basis

tidak menginginkan pindah, tetapi kami tidak peduli. Kami diam-diam saja meninggalkan kampung, demi mengikuti anjuran Pak Camat. Pola migrasi mereka bukan tunggal. Oleh sebab itu, terdapat beberapa tempat yang menjadi jalur perpindahan kolosal Dayak Kenyah. Salah satunya jalur perjalanan mereka seperti yang dilakukan kelompok Lung Tisai. Dari Apo Kayan mereka menuju Jeng, masih dalam wilayah Long Nawang. Perjalanan menuju Jeng ditempuh sekitar satu bulan menyusuri Sungai Kayan dan Sungai Lamp ke hilir. Di Jeng mereka bermukim selama tiga tahun. Mereka berladang sambil membuat perahu sebagai persiapan perjalanan selanjutnya. Perjalanan dimulai lagi menuju Lekaq Way, menyusuri Sungai Luy. Mereka menetap di tepi Sungai Lekaq Way sekitar sepuluh tahun. Selain berladang di Lekaq Way mereka bekerja mencari butiran emas dengan peralatan tradisional. Di tempat ini mereka mulai mengadakan kontak dengan pedagang China yang membeli butiran emas. Di antara mereka ada juga yang menjual butiran emas ke Samarinda. Lantaran Lekaq Way dianggap tidak cocok lagi sebagai hunian, mereka melanjutkan perjalanan ke Belinau, melewati Long Sule di Kecamatan Long Nawang. Belinau adalah kampung yang sudah dihuni orang Dayak Punan. Mereka diterima bermukim di Belinau dengan memberi sebagian lahan untuk berladang. Meski demikian, mereka masih tetap berkeyakinan perjalanan harus dilanjutkan. Mereka lalu berjalan kaki ke hulu Sungai Tabang. Di hulu Sungai Tabang (kini masuk wilayah Kecamatan Tabang, Kabupaten Kutai Kartanegara), mereka mulai mengenal kegiatan pembalakan kayu secara tradisional, yang kala itu dikenal dengan istilah banjirkap.
216

Geliat Perlawanan Basis

Selanjutnya mereka meneruskan perjalanan hingga Sungai Pedohon, kemudian bermukim sekitar dua tahun. Setelah itu berpindah ke Lulau Lupa dan bermukim selama dua tahun. Kemudian melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Atan menuju ke Gemar Lama (kini termasuk wilayah Kecamatan Muara Ancalong, Kabupaten Kutai Timur) dan menetap sekitar sepuluh tahun. Eksodus belum usai. Mereka pindah ke Gemar Baru dan bermukim selama sepuluh tahun juga. Pada tahun 1985 dan 1986 mereka melanjutkan eksodus ke Lung Anai, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara, hingga saat ini. Sejatinya, orang Dayak Kenyah yang bermukin di Lung Anai tidak hanya kelompok migran Apo Kayan yang pernah menetap di kampung Long Segar, Gemar Baru, dan Sentosa (Kabupaten Kutai Timur). Sebab, pada tahun 2006 bergabung pula warga Dayak Kenyah Lepoq Jalan yang semula bermukim di Datah Bilang, Kabupaten Kutai Barat. Kepala Adat Lung Anai menjelaskan riwayat perpindahan warga Dayak Kenyah Lepoq Jalan dari kampung Long Segar ke Lung Anai, Pelujuk: Waktu kami pindah dari Apo Kayan, ada sekitar 500 orang. Kami pindah ke hilir hingga ke Long Segar. Bertahun-tahun kami dalam perjalanan. Pindah ke Long Anai ini gara-gara Kepala Desa Long Segar menerima pekerja sebagai buruh perkebunan kelapa sawit dan kelapa hibrida. Jadinya, warga terbelah. Tidak ada lagi persatuan. Kami merasa sulit tetap bertahan bersama. Lalu kami berkeinginan pindah. Jumlah yang mau pindah 25 KK. Kami melakukan survei di sekitar Lung Anai ini, apakah cocok untuk dihuni. Setelah kami merasa yakin, maka tahun 1985 kami pindah ke sini.
217

Geliat Perlawanan Basis

Perkampungan Dayak Kenyah di Lung Anai semula dikenal dengan sebutan Tanah Merah yang dihuni komunitas Dayak Basap. Pelujuk dan Pangit adalah tetua adat Kenyah yang melakukan survei sebelum memastikan Lung Anai layak dijadikan hunian. Awalnya mereka memilih Gitan yang sudah dihuni komunitas Dayak Basap. Kami minta tanah sama orang Basap. Mereka katakan bisa saja menetap di sini. Lalu kami tanam singkong banyak-banyak. Setelah itu kami kembali ke Long Segar mengambil keluarga untuk pindah, ujar Pelujuk mengenang riwayat perpindahan mereka. Gitan dianggap sebagai kawasan yang cocok untuk perladangan, sedangkan Lung Anai dipilih sebagai tempat pemukiman karena dianggap cocok untuk hunian. Seiring dengan perkembangan zaman, apakah penetapan Lung Anai sebagai Desa Budaya dapat membuat mereka betah menetap selamanya, atau Lung Anai sekadar persinggahan untuk meneruskan eksodus selanjutnya? Jawabannya niscaya terkait dengan proses penemuan identitas budaya Kenyah, karena sejatinya migrasi Dayak Kenyah adalah perjalanan sejarah identitas budaya mereka.

Invensi Budaya yang Sirna


Suasana peresmian Lung Anai sebagai Desa Budaya terasa gegap gempita, sebagaimana dituturkan Musa Din, salah seorang tetua adat. Warga Lung Anai terlihat tidak seperti lazimnya. Para tetua adat tak henti memanggil warga melalui pengeras suara dengan bahasa Dayak Kenyah agar secepatnya datang ke Balai Adat untuk latihan terakhir. Mereka sibuk mempersiapkan acara penyambutan Wakil Bupati Kutai Kartanegara yang akan meresmikan desa mereka sebagai Desa Budaya.

218

Geliat Perlawanan Basis

Seluruh warga Lung Anai hadir memenuhi Balai Adat. Mereka mengambil posisi sesuai tugas yang diberikan tetua adat. Ada yang latihan menari, seperti tarian datun julud (tari masal), hudoq7 (tari topeng), kancet lasan (tari tunggal), tari perang, dan bermain musik sampeq8 serta jatun utan (kelentangan). Ada pula yang latihan upacara seremonial. Kepala Dusun Lung Anai latihan mempraktikan memberikan sambutan. Beberapa gadis Kenyah berjalan gemulai membawa baki berisi pemukul gong yang akan digunakan Wakil Bupati9 meresmikan Desa Budaya. Beberapa orang tua, meski terkantuk-kantuk, ikut menikmati latihan pada malam itu. Sesekali mereka terbahak-bahak dan bertepuk tangan, karena ada yang dianggap lucu. Di luar Balai Adat, sekelompok anak muda asyik bergerombol memperbincangkan apa yang sedang terjadi di kampung. Menurut Yurni, pemuda Dayak Kenyah, mereka sedang berdiskusi mengapa tiba-tiba dusun Lung Anai ditingkatkan statusnya menjadi Desa Budaya. Mengapa kami disuruh menggali kembali tradisi? Bukankah tradisi memanjangkan telinga, bertato,
7 Hudoq dalam tradisi Dayak merupakan tarian persembahan kepada penguasa alam yang dilaksanakan pada awal musim tanam padi. Sedangkan ritual alaq tau (melihat bayangan matahari) dilaksanakan untuk menemukan waktu yang baik untuk memulai tanam padi. Namun sejak menganut agama Kristen Protestan, tarian hudoq hanya untuk tarian kesenian saja. Pui Pubun, salah seorang tetua di Lung Anai, menyebutnya hanya untuk main-main saja. Sampeq adalah alat musik petik khas Dayak, dibuat dari kayu adau. Saat ini mereka kesulitan mendapatkan jenis kayu ini. Langkanya kayu adau, seiring dengan hilangnya hutan mereka. Komunitas Dayak Kenyah menyebut gong sebagai tawaq. Sedangkan kentongan yang terbuat dari kayu mereka sebut gong. Di Balai Adat lazim terdapat gong besar sebagai alat informasi memanggil warga. Terdapat tiga jenis bunyi gong sesuai maksudnya, yakni: (1). memanggil warga untuk pertemuan, bunyinya tongtong tong dengan nada lambat; (2). Memanggil warga untuk acara kesenian, berbunyi tongtotongtong; (3). tanda bahaya dan darurat seperti kematian, bunyi nadanya dipercepat, tong...tong...tongtong.

219

Geliat Perlawanan Basis

menari, menyanyi sudah lama tak dilakukan? Jika dilakukan hanya sebagai pertunjukan yang berhubungan dengan ritual, ujar Yurni. Itulah sejumlah pertanyaan yang sempat terekam dari perbincangan anak-anak muda yang gamang terhadap upaya penemuan kembali budaya yang telah sirna. Mengenai riwayat peresmian Lung Anai sebagai Desa Budaya, Musa Din, warga Dayak Kenyah, menuturkan: Peresmian Desa Budaya hanya diperagakan sesuai pesanan orang-orang dari Kabupaten dan Dinas Pariwisata. Saya juga tidak mengerti betul budaya Kenyah. Alaq tau10 yang diperagakan baru pertama kali saya saksikan. Padahal alaq tau atau mamat bali akang ditampilkan harus hati-hati. Masalahnya ada yang pernah menjalankan, tetapi karena terlalu menghayati, orangnya kesurupan. Maka kita mesti lihat dulu, apa bisa dilakukan atau tidak. Seandainya bisa, maka mungkin diganti bahasanya. Begitu juga belian. Kami pun dulu pernah ada waktu zaman menyembah Bungan Malan, bisa saja tetapi mungkin mantranya yang diganti. Sebenarnya warga desa sudah 15 hari tidak pergi ke ladang, karena diwajibkan ikut dalam kegiatan peresmian Desa Budaya. Sebenarnya bulan September - Oktober adalah musim nugal, yang seharusnya warga bekerja di ladang. Namun setiap malam warga terpaksa mengikuti latihan kesenian, demi keberhasilan peresmian Desa Budaya.
10 Alaq Tau sesungguhnya merupakan local wisdom astronomi lokal. Sebelum menganut agama Kristen Protestan, mereka memiliki kebiasaan melalukan ritual alaq tau (melihat bayangan matahari) untuk mencari waktu yang tepat menamam padi. Maka pelaksanaan Alaq Tau pada acara peresmian Desa Budaya merupakan ikhtiar menghidupkan kembali kearifan lokal.

220

Geliat Perlawanan Basis

Begitulah faktanya. Sebagian warga Lung Anai menganggap acara peresmian Desa Budaya justru mengganggu kegiatan berladang. Sejak ada desa budaya banyak betul kegiatan di kampung, tahun lalu saja ada 8 kali. Ya, mengganggu juga kita cari makan, ujar Amat, salah seorang warga Lung Anai. Elite Dayak yang bekerja di pemerintahan justru amat bersemangat dengan peresmian Desa Budaya, sebagaimana diungkapkan Samuel Robert Djukuw, yang saat peresmian Desa Budaya menjabat Kepala Dinas Pariwisata, dan sepuluh hari kemudian diangkat menjadi Asisten 1 Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Bahkan Wakil Bupati Syamsuri Aspar menganggap Samuel berjasa dalam proses penetapan Lung Anai sebagai Desa Budaya. Terwujudnya Desa Budaya Lung Anai tidak terlepas dari perjuangan Samuel Robert Djukuw, kata Syamsuri Aspar, sebagaimana dituturkan salah seorang warga setempat. Penetapan Lung Anai sebagai Desa Budaya memiliki implikasi terhadap warganya yang harus bertindak selaku duta budaya. Artinya, warga desa harus mampu berperan sebagai duta budaya dengan mengekspresikan tradisi dan penanda ke-Dayakan mereka. Tak heran jika para tokoh masyarakat Dayak Kenyah, terutama mereka yang berasal dari kota, senantiasa menyerukan warga agar berupaya terus-menerus menggali kembali tradisi. Orang tua diajak untuk tidak lupa mengajari anak-anak menari, bermain sampeq, memanjangkan daun telinga, dan bertato, agar kebudayaan Dayak Kenyah tak sirna ditelan zaman. Sejak Lung Anai dikukuhkan sebagai Desa Budaya, warga setempat terasa menyandang beban gelar tersebut. Mereka berikhtiar tiada henti menggali tradisi dan mempraktikkan kembali pelbagai ritual adat dalam kehidupan sehari-hari. Ritual belian (tradisi pengobatan) dan ritual mamat bali akang yang mengandung unsur sosio-magis kembali dihidupkan.
221

Geliat Perlawanan Basis

Padahal, kedua ritual ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari konsep ajaran agama lokal Dayak Kenyah yang dahulu dikenal dengan Bungan Malan Paselong Luan, yang dipercayai bertentangan dengan agama Kristen Protestan yang mereka anut saat ini. Agama Bungan pertama kali diperkenalkan oleh Jok Apuy yang berasal dari suku Dayak Kenyah Leppo Jalan.11 Dalam keyakinan orang Dayak Kenyah, Bungan Malan dipercayai sebagai seorang dewi dan Paselong Luan seorang dewa. Ajaran mereka disebut agama Bungan. Pada hakikatnya Bungan Malan Paselong Luan adalah dewa-dewi yang melindungi kehidupan, maka ajaran agama Bungan hakikatnya tentang kepercayaan terhadap amenamen (para dewa). Dalam agama Bungan terdapat beberapa upacara ritual berkaitan dengan pertanian. Misalnya menyat tana (memohon kesuburan tanah), malan tau (menjalani pantangan agar panen berhasil), pudau (mohon berkat saat menugal), dan bunut (panen padi). Selain bertalian dengan siklus pertanian, praktik agama Bungan berkaitan pula dengan ritual penyembuhan. Misalnya belian (pengobatan) dan mending (mengusir roh jahat). Terdapat juga ritual adat yang bertalian dengan upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian. Tentu saja beberapa ritual upacara adat agama Bungan mengundang perdebatan argumentasi di kalangan warga. Perdebatan itu tidak semata karena warga Dayak Kenyah telah meninggalkannya sejak 40 tahun silam, tetapi terutama karena
11 Uraian selengkapnya, simak dalam artikel karangan Fredrik Ngindra, bertajuk Upacara Agama Bungan pada Masyarakat Kenyah Bakung di Long Apan Baru, dalam buku Kebudayaan dan Pelestarian Alam: Penelitian Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan, penyunting Cristina Eghenter dan Bernard Sellato, WWF, Ford Foundation dan PHPA, Jakarta, 1999

222

Geliat Perlawanan Basis

kebijakan Gereja Kristen Protestan menganggap ritual itu terlarang lantaran mengandung unsur magis dan tahayul Setidaknya dua ritual adat menjadi perdebatan sengit, yakni belian dan mamat. Istilah mamat dalam tradisi semula menunjukkan pesta agung berupa serangkaian upacara: pesta tahun baru padi, penyucian kampung, memotong kepala/ngayau, penambahan semangat berperang, dan penentuan kedewasaan seseorang. Upacara mamat dilaksanakan seusai panen selama tujuh hari tujuh malam dan merupakan penanda terpenting dalam siklus kehidupan orang Dayak Kenyah. Ritual upacara mamat sebenarnya sudah lama ditinggalkan orang Dayak Kenyah di Lung Anai karena dilarang agama. Namun, bagi Samuel Legi, Kepala Adat Sungai Bawang, ritual adat belian dapat ditumbuhkan kembali, tetapi tidak untuk diyakini seperti zaman dulu. Mantra doanya bisa dialihkan kepada Tuhan, walaupun prosesinya ritual adat. Begitu pula ritual mamat, dapat diramu sedemikian rupa dengan doa Kristen. Ritual belian dan mamat tidak perlu lagi dipahami sebagai keyakinan, karena sudah ada agama. Kalau dulu ritual ditujukan kepada para dewa, sekarang bisa dialihkan kepada Tuhan, atau dipertahankan sebagai tontonan saja, kata Samuel yang berupaya mendamaikan perbedaan pendapat dalam memaknai kelampauan ritual adat dalam kondisi kekinian. Demikianlah faktanya, dalam proses invensi budaya, komunitas Dayak Kenyah di Lung Anai terpaksa melakukan kompromi dan negosiasi agar warisan budaya yang mengandung unsur religus-magis dapat direka ulang dan tampil di panggung Desa Budaya dalam kemasan industri wisata, tanpa resistensi dari warga setempat.

223

Geliat Perlawanan Basis

Siasat Penguasaan Sumber Penghidupan


Penemuan kembali budaya yang sirna di kalangan warga Dayak Kenyah dengan konsekuensi dilema yang mesti dihadapi, justru dimaknai masyarakat sebagai siasat untuk penguasaan sumber-sumber penghidupan. Status Lung Anai sebagai Desa Budaya justru dimanfaatkan sebagai jalan pembuka bagi peneguhan eksistensi mereka di Lung Anai. Mamak Weq misalnya, menganggap Desa Budaya merupakan sarana strategis untuk memastikan mereka tetap bisa berdomisili di Lung Anai dan memiliki hak penguasaan tanah yang berkekuatan yuridis formal. Desa budaya hanya untuk membuktikan kami punya tradisi. Namun, yang lebih penting, tanah-tanah kami memiliki sertifikat, sehingga kami tidak lagi pindah ke mana-mana, ujar Mamak Weq penuh keyakinan. Tak pelak penetapan Desa Budaya pada satu sisi memunculkan harapan bagi masyarakat untuk penguasaan sumber penghidupan dan mempertahankan hak tanah-tanah mereka. Rasanya dengan status Desa Budaya, hak kepemilikan kami menjadi lebih kuat, sehingga kami dapat mempertahankan tanah dari klaim kepemilikan pihak luar, kata Yurni, pemuda Dayak Kenyah di Lung Anai. Sedangkan menurut Aweq, predikat desa budaya melegakan hati, karena ada kepastian mereka tidak akan lagi melakukan perjalanan migrasi dalam pengertian pindah atau dipindahkan dari Lung Anai. Kami ini orang Dayak Kenyah Lepoq Jalan. Namanya juga Lepoq Jalan, orang yang suka berjalan (tafsiran canda Aweq, yang bukan arti sesungguhnya), berpindah dari suatu tempat ke tempat lain. Lung Anai mungkin bukan tempat terakhir. Bisa jadi kami pindah lagi mencari hunian baru. Tapi karena ada Desa Budaya, kami menetap di sini, ujar Aweq penuh semangat.

224

Geliat Perlawanan Basis

Keyakinan pendapat Mamak Weq dan Aweq bukan tanpa alasan. Lantaran sebelum Lung Anai ditetapkan sebagai Desa Budaya, salah satu persoalan yang sangat mengkhawatirkan bagi mereka adalah status penguasaan sumber penghidupan, termasuk kepemilikan tanah di desa. Mereka menyadari keberadaannya sebagai pendatang. Sewaktu-waktu kepemilikan atas sumber penghidupan dapat diklaim oleh komunitas lain yang mengaku sebagai pemilik semula, termasuk ekspansi lahan perusahan perkebunan kelapa sawit di sekitar kampung Lung Anai. Oleh karena itu, Desa Budaya merupakan salah satu cara untuk memperjuangkan pengakuan dari pemerintah terhadap keberadaan mereka di Desa Lung Anai. Ikhtiar penguasaan sumber penghidupan diakui Kepala Desa Lung Anai yang segera membuat surat-surat kepemilikan tanah orang Kenyah di Lung Anai. Saya sudah mulai membuatkan surat-surat tanah milik masyarakat, mulai dari tanah permukiman sampai tanah perkebunan, ujar Tingai Lawing. Siasat penguasaan sumber penghidupan yang dilakukan warga Lung Anai tidak sepenuhnya dipahami elite Dayak Kenyah di Tenggarong (ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara) dan Samarinda (ibu kota Provinsi Kalimantan Timur) yang tergabung dalam Persekutuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT), karena di antara mereka memiliki tujuan berbeda. Meski Desa Budaya disepakati sebagai upaya penemuan kembali budaya yang sirna, antara elite Dayak Kenyah dan warga setempat bersimpang jalan dalam esensi tujuan. Sejatinya penemuan kembali budaya yang sirna dengan menggali tradisi, oleh warga setempat dianggap tidak dibutuhkan lagi. Mereka hanya berkompromi dalam hal kesenian yang sekadar ditampilkan untuk dipertontonkan pada agenda pariwisata.

225

Geliat Perlawanan Basis

Berbagai tarian berkaitan dengan ritus adat tak lagi bermakna apa-apa bagi mereka. Yurni, misalnya, mengaku sudah menganggap ritual malang tau (proses mencari ladang) dan alemiud (berpantang) tidak diperlukan lagi, karena sudah tidak relevan dengan kehidupan saat ini. Begitu pula penanda fisik identitas budaya seperti tato dan telinga panjang, sudah tidak relevan seiring kemajuan zaman.
12

Gong Penutup
Riwayat migrasi komunitas Dayak Kenyah Lepoq Jalan sejak di Apo Kayan hingga tiba di Lung Anai sesungguhnya menyimpan catatan sejarah yang tidak semata beraura heroik, tetapi juga serpihan sejarah kelam kesirnaan identitas sebagai orang Dayak. Bahkan, sistem religi sebagai esensi dari local wisdom yang bersumber dari agama bumi Bungan Malan sirna pula lantaran derasnya gempuran agama langit Kristen Protestan. Seiring dengan penemuan Lung Anai sebagai tanah terjanji, mereka harus berhadapan dengan ketidakjelasan status kepemilikan terhadap sumber-sumber penghidupan. Bahkan mereka semakin tercerabut dari akar kebudayaannya, hingga hampir seluruh sistem kebudayaan sirna seiring dengan derasnya arus modernisasi di era otonomi daerah.
12 Bagi mereka yang sedang malang tau atau mencari area ladang, saat dalam perjalanan mencari ladang berjumpa burung isit yang terbang di depan dari sisi kiri ke kanan, maka harus melakukan ritual alemiud (pura-pura bermalam). Berpurapura bermalam dapat dilakukan jika burung isit melintas sekali saja. Bila burung itu melintas tiga kali dalam sehari, maka diharuskan menunda kegiatan mencari ladang dan segera pulang ke rumah. Jika tidak, diyakini akan terkena musibah. Sedangkan mereka yang sudah menebas pohon lantas menemukan duktalun (sejenis monyet, bentuk badannya lebih kecil), diyakini area itu tidak cocok untuk berladang, maka harus ditinggalkan dan mencari tempat lain yang lebih baik.

226

Geliat Perlawanan Basis

Hingga akhirnya mereka dipaksa bersentuhan dengan roh modernisasi yang bergentayangan dalam kemasan Desa Budaya. Meski demikian, dalam kondisi dilematis harapan membuncah untuk menemukan kembali peradaban silam yang sirna. Kemudian mereka melakoni sebagai aktor dalam ikhtiar menggali, mengingat, dan memerankan kembali sebagai pelaku tradisi leluhur yang telah lama mereka tinggalkan. Sebagian dari mereka merasa gamang, karena tak menemukan pijakan relevansi terhadap invensi budaya dalam kondisi kehidupan kekinian yang kian bercorak modernitas. Maka dunia masa silam beraura eksotis-magis dipercayai sebagai komoditas industri wisata, maknanya sekadar tontonan (art), bukan lagi tuntutan (wisdom) sebagaimana kehidupan para leluhur. Di tengah pergumulan hidup menanggung beban gelar duta budaya, justru mereka menemukan makna Desa Budaya merupakan jalan siasat bagi penguasaan sumber-sumber penghidupan. Memang sejarah tak mengenal jalan pulang. Komodifikasi budaya Dayak Kenyah melalui Desa Budaya, pada satu sisi bermakna sebagai ikhtiar invensi budaya memaknai riwayat kelampauan dalam konteks kekinian. Pada sisi lain diyakini sebagai siasat jitu penguasaan sumber-sumber penghidupan. Sejatinya orang Dayak Kenyah di Lung Anai berkehendak tak ingin menjadi tumbal modernisasi berlabel Desa Budaya.

227

Geliat Perlawanan Kultural Komunitas Nyerakat di Tengah Gempuran Modernitas


Simpul Kalimantan Timur FBB Prakarsa Rakyat 1

Pengantar

S
1

ekambing, begitulah sebutan awal sebuah kawasan di Kecamatan Bontang Selatan, Kota Bontang, Provinsi Kalimantan Timur, yang terdiri atas Dusun Nyerakat, Segendis, Teluk Kadere, Santan, Pagung, Baltim, dan Sekangat. Seiring perkembangan otonomi daerah, sejak tahun 2006 Pemerintah Kota Bontang menetapkan kawasan itu sebagai
Tulisan dipersiapkan oleh Merah Johansyah Ismail, Abdullah Naim, dan Roedy Haryo Widjono AMZ. Merah Johansyah Ismail dan Abdullah Naim adalah peneliti budaya pada Naladwipa Institute for Social and Culture Studies. Roedy Haryo Widjono AMZ adalah Koordinator Komunitas Studi Silang Budaya (Nomaden Institute for Cross Culture Studies). Ketiganya berdomisili di Samarinda, Kalimantan Timur.

229

Geliat Perlawanan Basis

kelurahan dan mengubah nama Sekambing menjadi Bontang Lestari. Tentu saja perubahan nama itu memiliki konsekuensi sosio-kultural, terutama karena sebutan nama dusun sekaligus merupakan sebutan bagi komunitas setempat. Nyerakat misalnya, selain merupakan nama dusun, juga merupakan manifestasi identitas kultural komunitas Nyerakat. Akses menuju Nyerakat dapat ditempuh melalui tiga jalur. Pertama, lewat poros jalan Km 10 di ujung selatan Bontang, kemudian masuk jalan perusahaan batu bara PT Indominco Mandiri. Akses jalan ini dilalui mobil-mobil raksasa pengangkut batu bara yang setiap saat mengancam keselamatan warga yang melintasi jalan bertabur debu itu. Menyalakan lampu walau di siang hari sudah menjadi keharusan bagi semua pengendara. Di beberapa ruas jalan terdapat beberapa pos penjaga yang bertugas mengawasi pengguna jalan, karena selain digunakan sebagai moda transportasi angkutan batu bara, jalan ini dimanfaatkan juga sebagai jalan alternatif oleh masyarakat Nyerakat dan sekitarnya. Jalur kedua, melalui poros jalan raya Bontang yang menjadi megaproyek Pemerintah Kota Bontang. Jalan yang dulu milik perusahaan HPH CV Rangga Jati dan CV GST (sudah tidak beroperasi), kini tertata megah dengan konstruksi jalan dua jalur. Maklum ini adalah jalan penghubung kota Bontang dengan Sekambing (Bontang Lestari) yang dinobatkan Pemkot Bontang sebagai kota satelit. Jalur ketiga melalui laut, yang sejak semula digunakan masyarakat Nyerakat sebagai jalur transportasi utama. Dari Kampung Nyerakat hingga kawasan Pelabuhan Tanjung Laut terdapat kawasan perusahaan PT Badak LNG yang mengeksploitasi gas bumi sekaligus menguasai seluruh pantai di wilayah Bontang. Perahu-perahu nelayan dilarang memasuki kawasan itu. Bahkan di sepanjang pantai terdapat papan peringatan Dilarang
230

Geliat Perlawanan Basis

menambatkan perahu di kawasan pantai Marina. Bila warga kampung mendekat ke kawasan pantai pasti ditegur oleh satpam. Apalagi bila ada warga yang menambatkan perahu di pantai yang semula menjadi sumber penghidupan mereka, sebelum PT Badak beroperasi pada tahun 1978, pasti diusir. Sekambing yang kini manyandang nama baru Kelurahan Bontang Lestari terbilang penting dan strategis dalam geliat proses pembangunan di era otonomi daerah. Stadion utama yang digunakan untuk PON XVII dan kantor DPRD Bontang dibangun dengan megah di kawasan ini. Tak pelak Nyerakat kini dikepung kekuatan raksasa berdaya rusak tinggi terhadap budaya orang Nyerakat. Kekuatan pertama adalah perusahaan (PT Badak LNG dan PT Indominco) yang terus melakukan eksplorasi sumber daya alam di darat dan laut. Kekuatan kedua adalah Pemerintah Kota Bontang, yang terus bernafsu membangun megaproyek di kawasan Bontang Lestari. Kekuatan ketiga adalah stigma dari para pemuka agama yang bersikukuh pada tafsir tunggal kebenaran ajaran agama. Kekuatan keempat adalah hegemoni negara melalui pemaksaan program pariwisata dan kesehatan. Ironisnya, justru komunitas Nyerakat kini menjadi tumbal modernisasi dalam kemasan otonomi daerah.

Ihwal Komunitas: Historis Etnis dan Ritual Adat


Dalam ingatan warga setempat, Nyerakat mulai dihuni sejak tahun 1942. Ketika itu tentara Jepang mulai mendarat di Bontang. Mulanya ada empat keluarga sebagai perintis hunian di Nyerakat. Motifnya bersembunyi dari kejaran tentara Jepang yang mulai menyisir daerah pantai. Nyerakat menjadi pilihan strategis karena tempatnya tersembunyi oleh hutan bakau yang membentang di sepanjang pantai. Hutan bakau ini membentang

231

Geliat Perlawanan Basis

sepanjang 1 kilometer dari bibir pelabuhan kampung ke muara laut. Rombongan berikutnya datang dari Bontang Kuala dan Sekangat sekitar tahun 1969, ketika sedang ramai pembalakan kayu secara tradisional, yang kala itu disebut banjirkap. Di kawasan hunian baru itu mereka membuka ladang pertanian. Kawasan hunian itu mereka beri nama Nyerakat, sesuai dengan nama kayu yang banyak tumbuh di tempat ini. Kayu jenis nyerakat terkenal kuat untuk bahan membuat perahu. Secara sosiologis, pemberian nama Nyerakat dimaknai sebagai ekspresi kehendak warga agar rekat satu sama lain. Sejak awal warga Nyerakat terdiri atas beragam etnis hingga membentuk satu identitas suku baru yang mereka sebut Melayu Bontang atau yang dalam tata pergaulan sehari-hari mereka menyebut diri orang Nyerakat sebagai penanda identitas etnis dan kawasan hunian. Bahasa yang mereka gunakan terdapat kosa kata mirip bahasa Bugis, seperti mengapa kau gadoi (kenapa kamu campuri). Ada juga yang serupa bahasa Melayu Malaysia ini bukanlah urusan budak-budak (ini bukan urusan anak-anak) atau tak hendakku yang lazim disingkat tekendakku (saya tidak mau). Ada juga istilah yang mirip bahasa Makassar, semisal sandro (dukun). Penggunaan bahasa pada komunitas Nyerakat menegaskan hibriditas komunitas ini. Namun diksi yang paling dominan digunakan bermuasal dari bahasa Kutai, seperti ungkapan kata berakhiran maaha. Misalnya berdua maaha (berdua saja). Namun ucapan maaha dalam bahasa Nyerakat berbeda bunyi dari kosa kata maha pada komunitas Kutai. Orang Nyerakat lebih panjang pada vokal a pada kata maaha dan sejenisnya.

232

Geliat Perlawanan Basis

Komunitas Nyerakat generasi tua lazim menggunakan bahasa Bugis, Mandar, dan Bajo. Multilingual ini menjadi tanda mereka mengalami perjumpaan kultural yang amat erat dengan berbagai komunitas. Selain bahasa sebagai penanda interaksi sosial, terdapat pula tempat bersejarah bagi perjumpaan mereka dengan etnis lain. Senganakan, Bontang Kuala, Selangan, dan Sekangat merupakan tempat awal perjumpaan multi-etnis di kawasan Bontang Kuala. Dalam ingatan warga, di tempat-tempat itulah orang Bugis, Kutai, Bajo, dan China berkumpul untuk maksud perniagaan. Bukti lain yang memperkuat fakta, sejak dulu di Bontang Kuala dan Sekangat dipentaskan kesenian multi-etnis seperti mamanda (sandiwara tradisional Kutai), jepenan, terbangan, dan kuntaw (pencak silat). Sementara untuk laku ritual terdapat bebalai, ance (membuang pisang), mandi bunga (pernikahan adat), nurungkan pisang (mappeno salo), lepas ayam (untuk menenangkan makhluk halus), dan mandi buyu (mandi untuk bayi yang terkena penyakit). Kesenian dan ritual adat yang menjadi karakter multietnis tumbuh dan berkembang dalam komunitas Nyerakat hingga saat ini. Pertunjukan sandiwara mamanda dan kesenian lainnya dilakukan di sela-sela ritual bebalai yang pada masa dulu dilaksanakan selama 11 hari. Namun belakangan kesenian rakyat seperti mamanda dan jepenan amat jarang dipentaskan dibanding ritual bebalai. Upacara adat bebalai oleh komunitas Nyerakat dimaknai sebagai ritual pengobatan dan ikhtiar bagi harmoni kosmologi. Ritual turun-temurun ini dilaksanakan pada akhir tahun, diawali dengan mengundang para arwah leluhur, penguasa laut, karang, sungai, kampung, dan hutan yang mereka sebut sebagai sahabat.
233

Geliat Perlawanan Basis

Selain itu, juga mengundang semua warga untuk mengobati diri agar tetap sehat jasmani dan rohani. Ritual bebalai senantiasa disertai tarian diiringi musik gong, kelentangan, dan dua buah gendang. Langkah dan hentakan kaki pemimpin ritual bebalai, yang menyerupai tarian diikuti keluarga dan warga, hingga membentuk putaran tidak terputus. Mereka mengelilingi balai yang terbuat dari bambu persegi empat (1 x 1 meter, tinggi 2,5 meter) penuh dengan sesaji. Seraya larut dalam suara musik dan tarian bebalai, mereka yang ikut dalam pusaran tarian mengelilingi balai beberapa kali sudah bisa dipolesi pinang mayang (pucuk kelapa) sebagai medium pengobatan. Ritual bebalai berlangsung pada malam hari selama tiga hingga empat malam. Kehadiran warga, para penunggu laut, darat, sungai, karang, dan hutan menyatu dalam ritual tradisi leluhur. Bukan hanya warga Nyerakat, komunitas Bontang Kuala, Selangan dan Melahing yang masih dalam satu rumpun kultur juga hadir dalam ritual ini. Sejatinya Nyerakat dengan ritual bebalai menjadi wahana berkumpul para arwah leluhur dan penguasa alam, serta warga setempat. Sebenarnya muasal ritual bebalai masih menjadi perdebatan. Sebagian dari mereka berpendapat bebalai adalah ritual pengobatan warisan suku Kutai. Sedangkan yang lain menegaskan bebalai merupakan ritual dari Makassar, Sulawesi Selatan. Dalam ingatan Mak Beda, ritual bebalai memang berasal dari Makassar. Saya pernah diceritakan oleh ayah, waktu masih di Makassar kalau sudah dilarung, semua orang yang turun ke laut tidak basah, ujarnya. Tetapi Midin mengaku ada beberapa kesamaan antara bebalai dengan ritual belian pada suku Dayak Benuaq. Salah satu buktinya adalah tempat bebalai dan tariannya. Kesamaan juga
234

Geliat Perlawanan Basis

tampak pada warna dominan pada baju kuning dan beras kuning. Ritual bebalai juga mirip dengan ritual suku Kutai, yang lazim menggunakan beras kuning. Terlepas dari perdebatan muasal, menurut pemimpin ritual bebalai seperti Mak Kumala dan Mak Beda, bebalai lebih tepat disebut ritual yang saling mengambil dan menerima. Contohnya mantra yang digunakan dari berbagai bahasa. Ada bahasa Kutai, Bugis, ada juga Melayu, ujar Kumala. Sedangkan Mak Beda memastikan ritual turun-temurun itu bermuasal dari Makassar, tetapi sudah bercampur dengan ritual etnis lain.

Perubahan Nama: Marginalisasi Identitas


Sejak Sekambing berubah menjadi Bontang Lestari, status Nyerakat yang semula dusun berubah menjadi RT 7 dan RT 8 (berdasarkan sisi kiri dan kanan yang dibelah jalan kampung). Perubahan nama berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan itu bagi orang Nyerakat justru merupakan awal dari peminggiran identitas dan penegasian historis. Sejatinya ihwal penamaan Sekambing terkait dengan kambing yang dulu banyak dipelihara warga setempat, termasuk Nyerakat. Bahkan Sekambing memiliki riwayat identitas sosial dan kultural sebagai wujud pergulatan dan penghayatan panjang masyarakat dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Oleh sebab itu, setiap dusun di kawasan Sekambing hingga saat ini tetap eksis menjalankan tradisi budaya yang diwarisi secara turun-temurun, seperti komunitas Nyerakat dengan ritual bebalai. Penggunaan kata Bontang Lestari sesungguhnya terkait dengan obsesi Pemkot Bontang untuk memastikan agar lingkungan tetap lestari. Namun obsesi itu justru paradoks dengan realitas empirik. Pembangunan megaproyek di Bontang Lestari justru
235

Geliat Perlawanan Basis

membuat kerusakan lingkungan dan kawasan ini menjadi tidak lestari. Salah seorang penduduk Nyerakat, Anas, menegaskan, Lestari sekadar retorika pemerintah. Buktinya pohon-pohon dan lingkungan malah diporak-porandakan demi pembangunan megaproyek. Pemerintah memang belum bisa menjadi contoh bagi masyarakat. Makanya orang Nyerakat tak peduli dengan perubahan nama. Mereka tetap menyebut Sekambing, bukan Bontang Lestari. Mengapa aparat birokrasi Pemkot Bontang alergi dengan sebutan Sekambing? Perubahan nama itu bertalian dengan ditetapkannya kawasan ini sebagai pusat pengembangan kota. Sekambing pun diubah menjadi Bontang Lestari untuk memastikan bahwa pembangunan tetap lestari. Perubahan nama juga terkait dengan pembangunan mega proyek, dan nama Sekambing terasa tidak sedap sebagai penanda identitas kawasan. Sekambing kurang sedap didengar, karena ada konotasi yang tidak enak, kata Wali Kota Bontang Sofyan Hasdam, seperti ditirukan Thamrin, warga Nyerakat. Tak pelak, penamaan Bontang Lestari menjadi awal dari hegemoni persuasif dan sistematis aparat birokrasi dengan tujuan memastikan mega proyek berjalan mulus. Sebenarnya janji akan menyejahterakan rakyat seiring dengan pembangunan megaproyek Bontang Lestari sudah tersebar dalam kampanye pemilihan Wali Kota Bontang. Pak Sofyan (Wali Kota Bontang saat ini) waktu kampaye menjanjikan akan membangun Nyerakat. Ternyata betul beliau memenuhinya dengan pembangunan proyek pemerintahan, meski harus mengabaikan kepentingan warganya, kata Mak Kumala. Salah seorang pemuda warga Nyerakat menyangsikan pembangunan megaproyek Bontang Lestari dilaksanakan demi
236

Geliat Perlawanan Basis

kepentingan kesejahteraan rakyat. Sahrul menegaskan, sepanjang pengamatannya pembangunan itu tidak memberikan peluang apaapa bagi warga setempat. Malah, pembangunan megaproyek itu merusak sistem ekologi dan kultural, ujarnya. Sesungguhnya warga Nyerakat tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan pembangunan di kawasan Bontang Lestari. Midin misalnya, mengaku tidak pernah diikutkan dalam pembahasan musyawarah perencanaan pembangunan di Nyerakat. Aparat pemerintah tidak pernah memberi tahu kalau akan ada pembangunan proyek. Yang saya tahu, orang kota berdatangan ke kampung dan membeli tanah-tanah masyarakat. Ternyata untuk dibangun stadion, kata Midin.

Penyakit Spekulan: Lapar Tanah


Jalan Flores yang menghubungkan kawasan mega proyek Bontang Lestari dengan kota Bontang menyimpan riwayat tersendiri bagi orang Nyerakat. Jalan sepanjang 22 kilometer lebar 22 meter dibangun di atas tanah rakyat tanpa ganti rugi. Warga yang menuntut hak terus diintimidasi dan distigma sebagai pembangkang pembangunan. Menurut warga Nyerakat, sebagian dari mereka yang rumahnya digusur mendapat ganti rugi Rp 3 juta, tetapi bukan dari pemerintah, melainkan dari H. Arbain, kontraktor pembangunan jalan. Karena intimidasi yang bertubi-tubi, sebagian warga memilih menyewakan sebagian rumah kepada kontraktor proyek jalan. Lain lagi fakta mengenai pembangunan di kawasan Gedung Olah Raga Bontang Lestari yang juga dibangun di atas tanah warga. Sebelum pembangunan stadion olah raga, tanah milik rakyat dibeli H. Arbain dengan harga murah, kemudian

237

Geliat Perlawanan Basis

dijual kepada pemerintah dengan harga mahal. Warga Nyerakat tahu H. Arbain adalah kontraktor jalan yang dikenal dekat dengan Wali Kota Bontang. H. Arbain membeli tanah warga seharga Rp 3.000 hingga Rp 5.000 per meter persegi, kemudian dijual kepada Pemerintah Kota Bontang seharga Rp 25.000 per meter persegi. Maklum kita ini masyarakat kecil, tidak tahu apa-apa, kata Mak Bian. Senyatanya hamparan tanah yang dulu milik warga Nyerakat kini telah berdiri megah Gedung Olah Raga Bontang Lestari seluas 50 hektare. Sejak kasus jual-beli tanah model H. Arbain merebak, sengketa kepemilikan tanah kian meruyak. Tanah-tanah rakyat yang tidak memiliki sertifikat serta-merta diklaim sebagai tanah negara oleh Pemerintah Kota Bontang. Tumpang tindih kepemilikan tanah semakin menjadi-jadi. Batas kepemilikan tanah kian silang sengkarut, karena saat pembuatan surat keterangan pemilikan tanah tidak diukur dengan saksama. Batas tanah saat pengukuran diperkirakan saja. Misalnya ditulis 1 hektare, setelah diukur bisa kurang, bisa juga lebih, ujar Thamrin, Ketua RT 8 Nyerakat. Uniknya, terjadi pula sengketa tanah hibah/wakaf. Misalnya tanah Masjid Nyerakat. Menurut warga, tanah itu sudah dihibahkan pemiliknya, tetapi tidak ada surat keterangan. Karena suaminya tidak memberi tahu kepada istrinya sebelum meninggal, maka istrinya menuntut kembali, papar Mak Kumala. Ironisnya, Kampung Nyerakat tidak memiliki tanah pekuburan. Begitulah faktanya, seiring dengan pembangunan megaproyek Bontang Lestari, tanah di sekitar Nyerakat menjadi rebutan para spekulan dari kota. Tak pelak, tanah milik warga kini beralih kepemilikan ke orang-orang kota. Misalnya, H. Ambo memiliki 7 petak empang seluas 4 hektare. Semula empang itu milik orang Nyerakat, kemudian dijual kepada H. Ambo, orang
238

Geliat Perlawanan Basis

Bontang. Sementara di sebelah empang H. Ambo terdapat 3 petak empang seluas 3 hektare milik H. Aziz, pengusaha Hotel Sanrego di kota Bontang. Tidak jauh dari kawasan stadion olahraga Bontang Lestari terdapat bangunan megah gedung kantor DPRD Bontang seluas 40 hektare. Di kawasan ini juga dibangun perumahan Korpri seluas 68 hektare di selatan Nyerakat, berdekatan dengan bangunan SD dan SMP seluas 38 hektare. Di sebelah utara dibangun Sekolah Tinggi Ilmu Teknologi seluas 32 hektare dan tanah di sampingnya dibebaskan oleh Pemkot Bontang. Di ujung Sekambing, hamparan tanah seluas 65 hektare juga telah dibebaskan oleh Pemkot Bontang. Pemerintah sibuk membebaskan lahan, untuk apa saya tidak tahu, kata Thamrin, warga Nyerakat. Pada sisi lain, menurut Thamrin, justru ada usaha pemerintah mempersulit warga yang hendak mengurus surat kepemilikan tanah. Warga harus membayar biaya administrasi yang sangat tinggi. Hadirnya pembangunan megaproyek Bontang Lestari sejatinya justru melahirkan sejumlah persoalan sosial. Di kawasan yang semula bernama Sekambing kini ada kesibukan baru bagi warganya, yakni menerima penawaran pembelian tanah dari para spekulan tanah. Tak urung hal itu membuat warga sibuk mengukur tanah mereka. Saya sering didatangi orang kota yang mau membeli tanah atau sekadar lihat-lihat. Tetapi saya waspada, karena mereka mau menguasai tanah. Mereka sering menipu. Tanah saya sampai saat ini belum dibayar, ujar Sahrul. Warga menganggap kehadiran megaproyek Bontang Lestari tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Gedung-gedung yang dibangun pemerintah tidak ada manfaatnya bagi kami. Juga tidak berpengaruh apa-apa sama kita, orang kecil ini,
239

Geliat Perlawanan Basis

kata Sahrul. Realitas sosial itu paradoks dengan pesan Wali Kota Bontang yang selalu disampaikan dalam berbagai kesempatan, agar masyarakat tidak menjual tanah. Masyarakat Nyerakat jangan menjual semua tanahnya, kata Wali Kota Sofyan Hasdam, seperti ditirukan Dullah. Tanah rakyat yang masih tersisa namun terancam adalah tanah perkebunan. Kebun di Nyerakat kebanyakan ditanami sayur-sayuran dan lombok. Rata-rata mereka menggarap tanah perkebunan seluas setengah hektare. Setiap hari ada tengkulak yang mengumpulkan hasil kebun warga, lalu menjualnya ke pasar kota. Ahmidin, warga yang berkebun di tanah pinjaman, ratarata panen lombok 3 kilogram per hari dan dijual Rp 8.000 per kilogram. Hasil dari berkebun sayur sementara ini membuat keluarganya bisa tetap bertahan dari himpitan hidup yang kian berat. Ahmidin lebih senang berkebun ketimbang bekerja di proyek bangunan. Dulu saya kerja di proyek, tetapi kerja kontrak, kemudian 3 bulan berhenti. Kalau kerja kebun terus ada kegiatan, meskipun hanya cukup untuk makan sehari-hari, katanya. Hal senada dikatakan Ali. Berkebun adalah pertahanan terakhir. Kalau kami tidak berkebun, ya mati. Mau masuk perusahaan, sudah tua begini, sedangkan proyek bangunan hanya sementara. Apalagi saya tidak pernah sekolah, kata Ali, yang saat ini punya kebun kacang panjang seluas dua kali lapangan bola voli. Benar kiranya yang dikatakan Ali bahwa berkebun adalah pertahanan terakhir. Sesungguhnya sejak mereka menetap di Nyerakat telah mengolah ladang dan sawah yang lokasinya di sisi barat dan utara kampung. Mereka bekerja menurut kelompok keluarga. Namun ladang yang mereka garap semakin jauh dari kampung dan tidak subur lagi. Sedangkan sawah yang mereka
240

Geliat Perlawanan Basis

garap juga tidak terlalu luas, sekitar 20 hektare. Setiap hektare biasanya menghasilkan 100 hingga 200 kaleng padi. Menurut Dullah, mantan Kepala Dusun Nyerakat, warga kampung sudah tidak sanggup menggarap sawah, karena tinggal orang-orang tua. Anak-anak muda lebih suka kerja di perusahaan daripada menggarap sawah. Karena lebih jelas hasilnya. Habis bulan terima gaji. Tidak seperti bertani, kerja belum tentu ada hasilnya, ujarnya. Riwayat pertanian di Nyerakat sejatinya tinggal kenangan. Tahun 1998 sawah mereka mengalami puso, akibat serangan tikus dan keong. Tahun 1999 menjadi tahun kenangan pahit penduduk kampung karena menjadi panen terakhir. Sejak itu warga Nyerakat tidak lagi menggarap sawah. Menurut Mak Bian, masyarakat mulai kesulitan menggarap tanah karena banyak hama keong, tikus, dan burung pipit. Bagaimana tidak berhenti menggarap sawah, menanam padi sekaleng kembali hanya sekaleng? keluh Mak Bian. Selain serangan tikus ganas, kehadiran perusahan PAMA dan Indominco menjadi penyebab musnahnya tradisi pertanian. Menurut pengakuan warga, areal persawahan mereka tercemar limbah perusahaan batu bara Indominco Mandiri. Limbah pencucian alat-alat berat milik perusahaan mengalir ke sawahsawah milik warga Nyerakat. Air di persawahan bau minyak, rupanya air bekas cucian mobil perusahaan, ujar Masdar. Setelah riwayat pertanian berakhir, masyarakat Nyerakat mengalami kesulitan diterima bekerja di perusahaan. Penderitaan itu kian bertambah setelah kawasan lahan mereka beralih fungsi menjadi bangunan megaproyek. Bahkan, status kepemilikan tanah sudah hampir sepenuhya dalam genggaman para spekulan. Padahal, menurut pengakuan Anas, warga Nyerakat, Sekambing
241

Geliat Perlawanan Basis

atau kini dikenal dengan sebutan Bontang Lestari adalah kawasan yang cocok untuk pengembangan pertanian. Dan sejatinya tradisi pertanian dan kelautan adalah riwayat identitas semula komunitas Nyerakat.

Perlawanan Kultural Lewat Ritual


Amatan pertama saat masuk Nyerakat adalah sebuah masjid di ujung timur kampung. Tentu sebagaimana lazimnya, kampung ini ramai dengan kegiatan salat berjamaah. Namun dugaan itu meleset. Ternyata warga tidak banyak mengikuti salat berjamaah. Suatu ketika, disaat salat magrib hanya diikuti tujuh jamaah. Suatu kali saat salat Jumat, sekitar 40-an orang memenuhi Masjid Nurul Hidayah Nyerakat. Seorang pendakwah dari Badan Koordinasi Dakwah Islamiyah Bontang (BKDIB) menyampaikan ajakan dan nasihat. Salah satunya mengajak seluruh jamaah mengamalkan perbuatan baik dalam kehidupan sehari-hari. Bagi Masdar, apa yang disampaikan pendakwah, benar saja. Menurut dia, hal itu merupakan pandangan pendakwah dalam memahami agama, meskipun dia mempunyai cara sendiri dalam memaknai perintah agama. Menurut Masdar, yang paling penting adalah awwaluddin marifatullah, dari awal sampai akhir. Artinya, manusia harus sempurna mengenal Tuhan dan sesama manusia. Mengenal penilaian terhadap perbuatan manusia, Tuhan jugalah yang paling tahu, siapa diri kita dan siapa diri orang lain, ujarnya. Selain salat Jumat khusus bagi laki-laki, tak ketinggalan ibu-ibu melaksanakan kegiatan yasinan mingguan, dirangkai dengan arisan. Sejak tahun 2001 kegiatan arisan dan yasinan mulai

242

Geliat Perlawanan Basis

dilaksanakan di Nyerakat atas usulan Mak Kumala. Kegiatan yang diikuti 36 orang itu dilaksanakan supaya warga memiliki kegiatan dan orang kampung tidak berkelahi. Supaya sadar semua, jangan berkelahi, ujar Mak Kumala sambil tertawa kecil. Hal itu juga dibenarkan ketua kelompok yasinan, Siti Rokaseh. Menurut dia, bukan arisan yang penting, melainkan kumpul-kumpulnya. Selepas yasinan, lazimnya terlontar aneka perbincangan. Ada yang berkisah tentang tanah yang diperjualbelikan, juga perbincangan tafsir agama. Salah satunya mengenai ritual haji. Menurut mereka tidak perlu terlalu sibuk bernafsu naik haji, karena di dalam tubuh sendiri sudah terdapat makna dan simbol haji. Kalau orang tahu, Kabah itu sudah ada dalam diri manusia. Jadi, kenapa pergi haji? Itu kata orang yang tahu, ujar Mak Beda, peserta yasinan. Lain lagi pendapat Mak Kumala. Menurut dia, jika tanahnya laku terjual, dia akan menunaikan haji ke tanah suci. Berhaji itu penting untuk menyempurnakan ibadat seseorang dalam pengabdiannya kepada Allah. Selain itu, menguatkan pendapat bahwa ritual bebalai tidak dianggap praktik syirik, ujar Mak Kumala. Yasinan bagi orang Nyerakat adalah sarana berkumpul, tetapi juga bermakna sebagai perisai menangkal stigmatisasi yang selama ini menimpa komunitas Nyerakat, karena masih melaksanakan pelbagai ritual adat. Senyatanya, sejak ada yasinan, Mak Kumala sering diundang dalam acara Festival Budaya Pesta Laut yang diselenggarakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bontang. Stigma ritual adat sebagai praktik syirik memang ditimpakan kepada warga Nyerakat. Misalnya, dalam salah satu fatwanya, Majelis Ulama Islam Kota Bontang menegaskan
243

Geliat Perlawanan Basis

praktik ritual adat seperti bebalai dan ance sebagai lakon syirik yang melanggar ketentuan agama Islam. Kalau ritual itu diyakini membawa kebaikan atau untuk menolak bala, maka telah menyeret pelakunya ke pengaburan dan pendangkalan akidah. Bahkan bisa terjerumus pada kemusyrikan, kata H. Umar, Ketua MUI Kota Bontang. Stigma musyrik dialami Mak Kumala. Saat sedang mengobati pasien di Melahing, tiba-tiba seorang ustad yang ia sebut seperti orang Arab, memakai jubah dan sering tinggal dari masjid ke masjid, memperingatkan bahwa apa yang ia lakukan menyalahi syariat Islam. Bahkan ustad itu berusaha menghalangi Mak Kumala mengobati pasiennya. Sesungguhnya stigma itu telah dibantah komunitas warga Nyerakat dalam berbagai kesempatan. Menurut mereka, ritual adat dengan menggunakan makhluk halus tidak bisa dianggap sebagai musyrik, karena permohonan mereka tetap ditujukan kepada Allah Yang Maha Kuasa. Ada pendapat bahwa ritual adat orang Nyerakat itu musyrik. Padahal, kami tidak meminta berkah kepada makhluk halus, bambu, atau daun-daun. Mereka tidak tahu, sebab adat ini ada di mana-mana, di Jawa, Sulawesi, kata seorang pria asal Sulawesi yang menikah dengan orang Bontang Kuala. Hal serupa dikatakan Masdar, suami Mak Kumala. Dalam mengobati, permohonan ditujukan kepada Allah untuk menunjukkan kekuasaan-Nya dengan menyembuhkan pasien, bukan meminta kepada setan dan bukan juga kepada patung. Bahkan HAAT M. Nasir Makkaraka (HAAT singkatan dari Haji Andi Aji Tan yang melambangkan percampuran etnis Bugis, Kutai, dan Cina), tokoh komunitas Bontang Kuala, malah mencurigai orang-orang yang mengatakan praktik ritual adat
244

Geliat Perlawanan Basis

seperti bebalai sebagai musyrik tidak memahami agama dengan baik. Saya sebagai pelaku ritual adat, tidak pernah melarang orang salat. Sebaliknya malah menganjurkannya. Tapi ironisnya, ada orang yang rajin salat tetapi tidak baik relasi sosialnya dengan sesama, korupsi di kantor, dan segala perbuatan tak terpuji lainnya. Ibadahnya hanya kedok. Mestinya itu yang menjadi perhatian para ulama, bukan mengurusi ritual budaya kami, ujar M. Nasir. Kalau mau jujur, musyrik itu berbarengan hadirnya dengan modernitas. Masuknya modernisasi, nelayan mulai pintar mem-bom ikan dan merusak lingkungan. Itulah yang menyalahi ajaran agama. Jadi, kita dituntut menafsirkan agama sesuai konteks kehidupan. Kemusyrikan itu tidak semata persoalan teologis, tetapi juga sosial. M. Nasir juga menegaskan, fungsi kebudayaan pada dasarnya meneguhkan agama. Maka bagi warga Nyerakat, ritual bebalai diyakini sebagai ritus untuk mendekatkan serta menyatukan manusia dan alam sekitar. Tentu hal itu sesuai dengan prinsip agama Islam yang menekankan pentingnya penghargaan terhadap alam. Melalui ritual bebalai, diharapkan laut bermurah hati memberikan ikannya bagi para pelaut, bumi menjadi subur sehingga padi dan tanaman lainnya bisa menghasilkan panen berlimpah. Bahkan diyakini jika ritual bebalai tidak dilakukan, warga akan mendapat musibah. Masdar mengatakan, apabila lalai, apalagi tidak melaksanakan, pasti ada saja anak-cucu yang terkena musibah penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Dibawa ke rumah sakit, tidak apa-apa kata dokter. Tetapi kalau sudah dilaksanakan bebalai, hanya diperciki air putih pasti sembuh, ujar Masdar. Hal inilah yang sering dijadikan pembenar bagi orang luar, setan dan roh-roh jahat sering mengganggu kampung Nyerakat, agar mereka terus-menerus meyakini ritual adat.
245

Geliat Perlawanan Basis

Sesungguhnya di kalangan komunitas Nyerakat dan Bontang Kuala tidak semata bebalai yang tetap dilaksanakan sebagai ritual budaya, tetapi juga ritual ance dan samper yang biasanya dilaksanakan setiap tahun. Selain itu, ada juga ritual yang dapat dilakukan setiap saat, misalnya buang pisang (larung pisang), mandi buyu (mandi penyakit untuk anak bayi), dan mandi pesili (mandi tolak bala bagi pengantin baru) lazim disebut mandi bunga yang konon ritual ini berasal dari komunitas Bugis. Ritual budaya mandi pesili diyakini sebagai tradisi perkawinan sebelum mereka mengenal agama Islam. Bagi warga Nyerakat, mandi bunga menjadi keharusan setiap pengantin. Jika tidak dilakukan akan memunculkan keburukan dalam kehidupan rumah tangga, semisal bercerai dan sakit keras. Sedangkan ritual adat samper terakhir kali dilaksanakan dalam pesta adat, Desember 2005. Namun di Kampung Guntung, ritual samper masih dilaksanakan dan dikabarkan mereka memakai jin kafir dalam laku ritualnya. Kabar mengenai orang Guntung melakonkan ritual samper memakai jasa jin kafir justru menjadi fakta penguat bahwa orang Nyerakat dan Bontang Kuala masih setia dengan jin Islam. Sekaligus argumen ini menegaskan ritual adat orang Nyerakat tidak mencemari apalagi mendangkalkan agama.

Resistensi Identitas di Tengah Gempuran Modernitas


Stigmatisasi musyrik terhadap komunitas Nyerakat dan Bontang Kuala sejatinya bermuara pada interpretasi makna agama. Bagi komunitas Nyerakat, agama adalah praktik manusia berbuat baik, bukan bagaimana manusia mempraktikkan simbol peribadatan secara kaku dan ritual ibadat agama bukan seremonial semata.

246

Geliat Perlawanan Basis

Meski warga Nyerakat dikepung stigma, masih ada ustad menganjurkan ritual budaya terus dipertahankan, karena agama dan ritual budaya dapat berjalan seiring dalam kehidupan warga. Namun tetap saja ada yang menganggap ritual budaya mereka adalah praktik adat dengan menggunakan jasa iblis. Sepertinya mereka pernah lihat iblis. Padahal, mereka tidak paham, ujar Mak Bian. Tidak mengenal secara mendalam ritual budaya orang Nyerakat menjadi faktor utama yang melatarbelakangi tudingan bernada minor dari pihak luar. Mak Kumala mengaku menggunakan patung manusia sebagai syarat pengobatan. Padahal, penyakit itu disimbolkan dengan patung, baru kita obati dengan memohon kesembuhan pada Allah. Jadi, patung itu hanya silih simbol, kata Mak Kumala menyindir penceramah di radio yang kebetulan sedang membahas tema kemusyrikan. Mak Kumala merasa sulit menjelaskan kepada para uztad, karena mereka tidak mempercayai pengobatan ala ritual bebalai. Demikian pula pendapat Mak Bian terhadap para ustad yang sering menyindir ritual budaya orang Nyerakat sebagai penyakit TBC (takhayul, bidah, khurafat). Ustad yang benarbenar ustad tidak pernah menyinggung ritual budaya, malahan menganjurkan mempertahankannya. Hanya ulama-ulamaan dan ustad-ustadan yang sering menganggap ritual budaya kami sebagai praktik musyrik, katanya. Mak Kumala mengatakan, budaya bukan hanya milik manusia, tetapi Tuhan dan Nabi sekalipun memiliki adat-budaya. Mana bisa dilarang, sedangkan Tuhan dan Nabi saja punya adat? Mana ada manusia jika Tuhan tidak memiliki adat? kata salah seorang pemimpin ritual adat bebalai ini. Sejatinya komunitas Nyerakat mengakui kampung mereka penuh dengan pesona gaib. Mereka juga meyakini kampung
247

Geliat Perlawanan Basis

Nyerakat dihuni makhluk gaib. Oleh karena itu, warga harus bersahabat melalui praktik ritual adat. Relasi antara warga dan makhluk gaib, teristimewa para leluhur, sangat harmonis dalam kehidupan komunitas. Keniscayaan relasi harmonis dengan para leluhur merupakan karakter komunitas Nyerakat di tengah gempuran modernisasi. Menurut penuturan Warha, di antara mereka ada yang meyakini memiliki leluhur seperti buaya atau binatang lainnya. Pendapat ini dapat dibuktikan saat berlangsung ritual bebalai. Mereka yang memiliki relasi spiritual dengan roh leluhur biasanya mengalami trance. Saat itulah mereka mengenali para leluhurnya. Tatkala gaya tarian menirukan gerak laku buaya, maka dipercaya leluhur mereka memiliki relasi spiritual dengan buaya. Dalam keadaan trance, mereka dapat berkomunikasi secara langsung dengan roh-roh leluhur. Keniscayaan itu memberikan makna pengajaran bahwa mereka harus menjaga keseimbangan kosmologi agar senantiasa dapat terus berhubungan dengan para leluhur. Harmonisasi antara tafsir agama dan praktik ritual juga mereka jalankan secara saksama. Pada ritual bebalai misalnya, selalu diakhiri dengan membaca doa-doa. Jika Mak Kumala mendaraskan doa dengan bahasa lokal, Masdar mengakhiri ritual bebalai dengan doa yang diawali dengan pembacaan Al-Fatihah, diteruskan dengan doa selamat dunia dan akhirat. Doa itu mereka maknai sebagai penyempurna rangkaian ritual budaya. Mana bisa kalau tidak ada doanya? Kalau hanya ritual adat tanpa doa, ibaratnya sama saja membuang sandal tanpa makna apa-apa, ujar Mak Kumala. Menurut para tetua, tradisi mengakhiri ritual adat dengan doa-doa menurut agama Islam sudah sejak dulu dilakukan warga Nyerakat. Oleh karena itu, warga Nyerakat tetap bersikukuh bahwa ritual budaya mereka tidak musyrik.
248

Geliat Perlawanan Basis

Perlawanan terhadap Hegemoni Negara


Seiring dengan eksistensi komunitas Nyerakat yang diekspresikan melalui pelbagai ritual budaya, Pemerintah Kota Bontang juga mempromosikan event pariwisata bertajuk Pesta Laut Bontang Kuala. Orang Nyerakat dibujuk untuk terlibat dalam pesta budaya beraura industri pariwisata itu. Setelah berulang kali menolak, akhirnya warga Nyerakat menerima ajakan untuk menampilkan ritual bebalai dalam agenda wisata Pesta Laut, meski ritual bebalai sejatinya tidak untuk konsumsi publik, sebagaimana Pesta Laut Bontang Kuala. Mak Bian mengaku keterlibatan mereka dalam Pesta Laut sekedar siasat agar pemerintah tidak mengganggu pelaksanaan ritual budaya yang dilaksanakan di Nyerakat. Kami menampilkan bebalai dalam Pesta Laut sekadar menyenangkan pemerintah. Karena ritual bebalai yang sebenarnya, ya seperti yang diadakan di Nyerakat, ujar Mak Bian. Dia menambahkan, sepulang dari acara Pesta Laut, mereka meminta maaf kepada roh-roh leluhur. Apa yang dilakukan mak Bian merupakan sebentuk perlawanan terhadap hegemoni negara, karena ritual bebalai dipaksakan sebagai bagian dari komoditas industri wisata. Pada sisi lain, hendak membuktikan eksistensi dan identitas orang Nyerakat bahwa ritual budaya mereka tidak menyalahi aturan agama dan negara. Menurut Mak Kumala, ada perbedaan tujuan antara bebalai di Nyerakat dengan Pesta Laut. Ritual bebalai di Nyerakat untuk menjaga keseimbangan relasi antara manusia, alam, dan para leluhur serta mengusir roh-roh halus yang mengganggu manusia. Sedangkan ritual bebalai pada Pesta Laut Bontang Kuala bertujuan mengusir roh-roh aparat pemerintah agar jangan mengganggu ritual budaya kami, ujarnya.
249

Geliat Perlawanan Basis

Gempuran peradaban modern tidak hanya mengusik warga Nyerakat berkenaan dengan ritual adat bebalai. Keyakinan praktik ritual bebalai yang juga bertujuan mengobati orang sakit pun diserang argumentasi medis melalui pelbagai program kesehatan yang diluncurkan Pemerintah Kota Bontang. Sejak tahun 1993 Pemerintah Kecamatan Bontang Selatan mulai membuka Puskesmas Pembantu di Nyerakat. Keberadaan Puskesmas Pembantu sejatinya tidak membuat peran pemimpin ritual bebalai terpinggirkan. Pengobatan versi bebalai masih diyakini kemujarabannya oleh warga. Mak Kumala misalnya, dalam seminggu rata-rata melayani empat pasien, mulai dari sakit panas, persalinan, hingga penyakit nonmedis. Sekaitan dengan praktik pengobatan versi bebalai, dokter Puskesmas Pembantu di Nyerakat, dr. Endang, berpendapat, Saya tidak sepakat dengan model pengobatan ritual bebalai, namun juga tidak bisa melarang. Jam kerja saya terbatas, sedangkan para dukun bebalai, siap melayani pasien hingga 24 jam. Kehadiran Puskesmas Pembantu bagi orang Nyerakat tidak menjadi persoalan. Tetapi mereka tidak sepakat jika ritual pengobatan yang diwarisi turun-temurun dianggap tidak memiliki manfaat apa-apa dan dicap tidak ilmiah. Bahkan mereka amat gusar, karena mendengar kabar akan ada program pemerintah untuk menghapus praktik pengobatan menurut ritual budaya Nyerakat. Dua-duanya jalan saja. Kalau tidak bisa dokter, ya dukun bebalai, kata Mak Bian. Bahkan menurut dia, peranan dukun bebalai lebih diperlukan oleh warga daripada dokter. Para dukun bebalai bisa dipanggil kapan dan ke mana saja saat warga memerlukan bantuan. Dokter mana bisa? Mereka itu orang sibuk dan tidak punya kebiasaan mengunjungi pasien, ujar Mak Bian yang dikuatkan oleh Mak Kumala. Menanggapi Program Bontang Sehat (PBS) atau yang juga dikenal dengan istilah Program Dokter Keluarga (PDK), warga
250

Geliat Perlawanan Basis

Nyerakat merasa senang saja, sepanjang tidak mengusik tradisi pengobatan mereka. Jika ada penyuluhan tentang hidup sehat, ya bagus itu, agar sehingga masyarakat tahu tentang kesehatan. Tapi harus disesuaikan dengan tradisi kami memahami kesehatan, ujar Edi menanggapi Program Bontang Sehat. Pendapat serupa diungkapkan Mak Bian, disertai komentar bahwa warga Nyerakat juga memiliki pemahaman tentang hidup sehat. Ya itu menurut dokter, bagaimana cara hidup yang sehat. Tetapi kami juga punya cara berobat, bersih diri dan juga bersih kampung. Maka, dokter dan petugas Puskesmas harus belajar bagaimana hidup sehat menurut tradisi masyarakat, ujarnya. Menurut pengakuan Mak Bian, dia pernah mengusulkan kepada petugas Puskesmas agar jangan membuang sampah terlalu dekat dengan gedung Puskesmas, apalagi membuang bekas suntikan secara sembarangan di halaman belakang Puskesmas. Itu kan tidak sehat. Apalagi saya pernah melihat anak-anak main-main menggunakan bekas suntikan, ujarnya. Menurut dia, Puskesmas justru memberi contoh mengenai lingkungan yang tidak sehat, terlebih karena limbah sampah Puskesmas tidak dikelola dengan baik, bahkan anjing pun sering keluar masuk lingkungan Puskesmas. Konsepsi tentang sehat jelas berbeda antara orang Nyerakat dan petugas paramedis. Mak Bian mengaku punya cara sehat tersendiri, salah satunya dengan menghargai makhluk halus. Jika menebang pohon harus melakukan ritual menghambur beras kuning, supaya penghuni pohon tidak marah dan mengganggu manusia. Ya, cara hidup sehat yang baik, pertama-tama memang harus memelihara adat, katanya. Bagi orang Nyerakat, penyakit bisa diakibatkan hilangnya harmoni relasi kosmologi, sehingga bukan semata-mata berlabel
251

Geliat Perlawanan Basis

sakit seturut konsepsi medis. Maka kami harus menjalankan kewajiban budaya melalui ritual adat. Jika ritual adat tidak dilakukan, ada saja di antara keluarga kami yang sakit, kata Mak Beda. Tak heran bila warga Nyerakat melakukan perlawanan kultural dalam menghadapi gempuran hegemoni negara melalui ideologi kesehatan yang dikemas melalui Program Bontang Sehat.

Penutup
Dalam sejarah kehidupan orang Nyerakat, mereka mengalami gempuran modernisasi secara bertubi-tubi. Kehidupan orang Nyerakat mulai terusik sejak tahun 1966. Menurut kesaksian warga, kala itu kapal-kapal berbendera Jepang mulai mendarat di Bontang dan membeli kayu berukuran 4 meter dengan diameter mulai 60 centimeter. Kedatangan kapal Jepang ini membuat warga Bontang Kuala, Sekangat, dan Nyerakat mulai terbujuk melayani permintaan orang-orang Jepang, lalu mulai menebangi kayu di kawasan Bontang dan sekitarnya. Peristiwa ini mereka kenal dengan istilah banjirkap. Disebut banjirkap karena pengangkutan kayu menunggu air pasang, sehingga mudah diseret ke laut kemudian diangkut ke kapal milik Jepang. Menggunakan teknologi seadanya seperti gergaji dan kampak, warga mulai menebangi kayu yang dibeli orang Jepang seharga Rp 150 hingga Rp 200 per kubik. Ya, kita ini orang miskin butuh makan. Terpaksa kami ikut banjirkap, ujar Kasim yang mengalami peristiwa banjirkap. Peristiwa banjirkap juga memicu migrasi besar-besaran dari Sulawesi. Aktivitas banjirkap mulai meredup tatkala orang Jepang menolak batang pendek dengan mengganti batang panjang dan tidak menerima langsung dari masyarakat. Maka cara kerja banjirkap mulai terorganisasi dalam kelompok. Orang-orang

252

Geliat Perlawanan Basis

Jepang pula yang mengajari masyarakat menggunakan mesin penebang pohon (chainsaw) sejak tahun 1970. Sesungguhnya banjirkap adalah awal dari petaka ekologi bagi kehidupan masyarakat setempat. Petaka ekologi berlanjut dengan masuknya perusahaan yang mengeksplorasi gas bumi (PT Badak LNG) dan batu bara (PT Indominco Mandiri), hingga mereka mengalami tragedi hilangnya tradisi pertanian. Tatanan sosial orang Nyerakat kian porak-poranda seiring dengan pembangunan megaproyek Bontang Lestari. Penghancuran tatanan kehidupan berlangsung terus-menerus secara sistematis didukung peraturan perundangundangan yang diciptakan untuk melanggengkan proses marginalisasi di era otonomi daerah. Proses marginalisasi itu bermuara pada kebijakan hukum yang bias unifikasi, bias formalitas, dan bias hukum positif yang tidak berakar pada prinsip hukum sebagaimana yang dikenal dalam sistem sosial-budaya komunitas Nyerakat. Bahkan marginalisasi didukung legitimasi kebenaran tafsir agama dan desakan program kesehatan untuk menegasikan kearifan lokal. Stigma pun digulirkan, warga Nyerakat yang bersikap kritis, serta merta dicap dengan sebutan melawan pemerintah atau menentang pembangunan. Padahal faktanya, kearifan sistem religi pada komunitas Nyerakat sesungguhnya merupakan dasar norma tingkah laku yang memberi kontribusi terhadap sejumlah praktik kehidupan sebagai manifestasi dari eksistensi mereka. Namun, dipaksakannya proyek industri pariwisata, seperti Pesta Laut Bontang Kuala, sesungguhnya merupakan tindakan sistematis penguasa yang bertujuan melemahkan eksistensi komunitas Nyerakat. Proyek industri pariwisata yang didominasi kepentingan negara dan pengusaha mengakibatkan mereka tidak lagi menjadi pemilik
253

Geliat Perlawanan Basis

kebudayaan, tetapi menjadi buruh yang dikendalikan kepentingan industri wisata dan berorientasi pada syahwat komersial semata. Namun di tengah gempuran modernisasi, komunitas Nyerakat tak hendak menjadi pecundang dan tumbal modernisasi. Mereka bergerak melakukan perlawanan terhadap hegemoni negara. Ritual adat bebalai merupakan salah satu opsi perlawanan berbasis kultural. Jalan kebudayaan telah menjadi pilihan untuk membuktikan bahwa orang Nyerakat sejatinya bukan orangorang yang kalah dalam pertarungan peradaban.

254

Jalan Terjal Pergulatan Politik Masyarakat Adat Lombok Utara


Simpul NTB FBB Prakarsa Rakyat 1

eberapa hari setelah ratusan anggota masyarakat adat melakukan aksi protes terhadap Pemerintah Kabupaten Lombok Utara, para tokoh adat menyimpulkan Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Pertambangan, dan Energi Kabupaten Lombok Utara, Zainul Arifin, telah melecehkan adat dan melanggar hukum adat Nggawe pati ngelepuhing jagad yang membuat masyarakat resah dan bisa menimbulkan konflik. Kesepakatan ini merupakan hasil gundem (pertemuan) para tokoh adat pada awal Januari 2010 di Sekretariat Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara (Perekat Ombara) yang membahas pernyataan Kepala Dinas yang menganggap ritual Selamatan Telabah merupakan perbuatan syirik. Atas pelanggaran hukum adat tersebut, pelaku terancam dikenai hukuman denda berupa rebang alung (memotong kerbau),
1 Tulisan dipersiapkan oleh Sulistiyono dari Yayasan Koslata Mataram

255

Geliat Perlawanan Basis

seketi kepeng bolong sebanyak 35 keping setara dengan Rp 3 juta lebih, dan 4 dulang 40 ancak makanan yang akan dibagikan kepada fakir miskin. Jika pelaku tidak mau membayar denda akan terkena sanksi karma wet atau selong (diusir). Kejadian tersebut bermula dari permohonan sumbangan dari panitia syukuran Selamatan Telabah kepada Dinas Pekerjaan Umum. Kepala Dinas menolak permohonan tersebut dengan alasan tidak ada dana serta menyatakan syukuran yang disertai dengan memotong kerbau dan kepalanya dibuang, menurut agama Islam, kurang bagus dan termasuk syirik. Walau demikian, Selamatan Telabah tetap dilangsungkan pada 28 Desember 2009 dihadiri ratusan warga anggota kelompok tani pengguna air dan irigasi yang bersumber dari Bendungan Pekatan, Desa Jenggala. Pengingkaran terhadap hak-hak masyarakat adat di Lombok Utara sebenarnya sering terjadi. Bukan hanya pelecehan terhadap nilai-nilai yang terwujud dalam adat (kebiasaan) tetapi juga menyangkut perampasan hak-hak penguasaaan sumber daya alam. Namun reaksi yang ditunjukkan tidak memperlihatkan gejolak berarti sehingga tidak tersiarkan ke publik. Reaksi lebih keras dari masyarakat adat atas pelecehan hakhak masyarakat adat pernah ditunjukkan pada tahun 1999. Warga di sekitar Hutan Monggal membakar base camp PT Angka Wijaya yang memegang izin HPH. Insiden ini dipicu banjir bandang Kali Segara yang dianggap warga sebagai akibat penebangan hutan dan pemegang HPH ingkar janji untuk tidak menebang pohon radius 100 meter dari makam Bebekeq.

Nilai-nilai yang Semakin Tersingkir


Diyakini masyarakat hukum adat di Lombok Utara dulunya merupakan satu kesatuan komunitas yang cukup solid dengan
256

Geliat Perlawanan Basis

wilayah hukum adat yang cukup luas, lintas desa. Sedangkan sekarang terpecah-pecah dalam banyak komunitas kecil dengan wilayah hukum adat yang kecil pula. Tingkat keguyuban antara komunitas adat satu dan yang lain berbeda-beda serta relasi sosialnya cenderung semakin renggang. Namun, bila dibandingkan dengan situasi masyarakat Lombok lainnya, masyarakat hukum adat di Lombok Utara masih konsisten menerapkan nilai-nilai adat dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai masyarakatnya belum tersentuh atau tercemari budaya modern yang cenderung menitikberatkan kepentingan ekonomi dalam bentuk komoditas dan konsumerisme. Nilai ini mewujud dalam bentuk pranata hukum adat yang disebut awiq-awiq. Awiq-awiq merupakan aturan hukum bersumber berbagai kesepakatan masyarakat, berlaku secara turun-temurun, menjadi pondasi tatanan perilaku kehidupan masyarakat, baik dalam berhubungan di antara sesama manusia, maupun manusia dengan alam. Beberapa lokasi di Lombok bagian utara dijumpai pranata hukum atau awig-awiq yang masih diberlakukan sampai sekarang, seperti: bila bibir (memfitnah); bila mapak (menganiaya atau memukul); bila gondang atau sumitra atau ngiwat (berzinah); maling (mengambil milik orang lain); nyedang (merusak barang milik orang dan masyarakat adat); serta larangan menikah pada bulan puasa. Dalam tata kehidupan sosial terdapat tiga organ kelembagaan adat utama yang dijumpai pada hampir setiap komunitas adat, yaitu pembekel, pengulu, dan pemangku. Pembagian peran ini mengikuti pranata hukum adat yang juga dibedakan menjadi tiga, yakni aturan hukum yang mengatur tapsila (kesusilaan), krama (tata krama), dan gama (agama). Pembekel merupakan pelaksana yang menjalankan kegiatan atau keputusan lembaga adat melalui gundem (musyawarah). Di
257

Geliat Perlawanan Basis

wilayah Bayan dan sekitarnya terdapat empat pembekel beleq, yaitu Pembekel Loloan, Pembekel Bayan Timur, Pembekel Karang Bajo, dan Pembekel Bayan Barat. Sedangkan pengulu merupakan organ lembaga adat yang mengurusi bidang keagamaan, terutama kegiatan keagamaan di masjid, memimpin doa, dan sebagainya. Dalam menjalankan tugasnya, pengulu dibantu kiai, lebe, ketep, dan modin. Pemangku merupakan semacam jabatan, sebagai perumbak (penjaga) daerah tertentu yang menyangkut kepentingan sosial masyarakat (hubungan horizontal), religi (hubungan vertikal), dan lingkungan alam. Misalnya, Perumbak Daya menjaga wilayah pegunungan sebelah selatan dan Perumbak Lauk menjaga wilayah dataran rendah sebelah utara. Tugas perumbak menjaga kearifan yang lingkungan baik di dataran tinggi maupun dataran rendah, seperti gunung, hutan, air, termasuk manusianya. Perumbak juga berperan menegakkan awiq-awiq di mana penyelenggaraan sidang adatnya melalui pembekel. Berbeda dari pemangku yang juga disebut Lokaq Montong, tugasnya menjaga gubuk (kampung), namun wilayahnya lebih kecil dibandingkan dengan wilayah pemangku (perumbak). Lokaq Montong dapat dijumpai di lembaga adat Semokan di Desa Sukadana. Adanya jabatan mangku gumi, mangku alas, pekasih, atau inan aik, yang di beberapa tempat masih dipatuhi masyarakat, membuktikan masyarakat memandang peran mereka sangat penting dalam pengelolaan sumber daya alam. Istilah mabangar, ngelokoang di Bangket Bayan yang mengatur pengelolaan sumber air, Ntok Lekoq Buaq di Senaru sebagai prosesi pendakian ke Gunung Rinjani, menunjukkan masyarakat hukum adat telah mempraktikkan sistem atau mekanisme kelola lingkungan sumber daya alam selama turun-temurun.
258

Geliat Perlawanan Basis

Sistem yang dikembangkan secara evolutif bahkan membedakan fungsi-fungsi sumber daya yang mengakomodasi berbagai kepentingan seperti kelestarian alam, ekonomi, budaya, sosial, dan politik. Dalam sistem kelola sumber daya lahan ada perbedaan mendasar dalam pemaknaan paer, pecatu, pauman, dan tanak panguripan gubuk. Demikian halnya dalam kelola hutan, ada kategori pawang dan gawah. Pawang merupakan hutan yang harus dijaga kelestariannya, bahkan di beberapa komunitas dianggap sakral, digunakan sebagai tempat ritual baik untuk pemujaan, upacara adat, atau berziarah. Biasanya pawang yang tidak boleh dirusak, kondisinya masih utuh. Lain halnya dengan gawah yang boleh digarap dan dimanfaatkan hasil hutannya. Tidak heran beberapa sumber mata air di sekitar hutan adat seperti Bangket Bayan di Desa Bayan, Sembaik dan Semokan di Desa Sukadana, dan Pawang Gedeng di Desa Gumantar masih terjaga kelestariannya. Dalam perspektif ilmu kehutanan, hutan adat yang dikelola masyarakat adat memiliki tiga fungsi utama. Pertama, fungsi ekologi dan konservasi yang dapat dilihat pada keanekaragaman hayati, seperti adanya berbagai macam jenis pepohonan dan kelestarian sumber mata air. Beberapa sumber mata air di wilayah hutan adat dimanfaatkan PDAM untuk kebutuhan air bersih masyarakat, antara lain mata air Pawang Mandala dan mata air Pawang Bangket Bayan. Kedua, fungsi sosial budaya, yakni hutan adat sebagai pusat pelaksanaan kegiatan sosial budaya dan tempat peninggalan sejarah para leluhur (misalnya makam). Selain itu pemanfaatan kayu di hutan adat diperuntukkan bahan rumah adat, masjid, dan kepentingan umum lainnya, setelah mendapat persetujuan pemangku.

259

Geliat Perlawanan Basis

Ketiga, fungsi ekonomi. Hasil hutan adat yang boleh dimanfaatkan masyarakat adat berupa nira, rotan, kemiri, kenari, nangka hutan, mangga, pisang, pakis, cabe tandan, umbi-umbian (gadung, kembilik), ketak, dan lain-lain. Pemungutan hasil hutan selain kayu ini biasanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Masih berlakunya tiga fungsi hutan ini tidak terlepas dari kepatuhan masyarakat terhadap awiq-awiq, sehingga berbagai jenis pepohonan tetap dipertahankan, bahkan tidak satu pohon pun terganggu, walau mati dan tumbang dibiarkan lapuk kembali ke alam. Awiq-awiq berupa larangan yang masih diberlakukan secara ketat, di antaranya di wilayah hutan adat Desa Sambik Elen (masyarakat adat Barong Birak), masyarakat Gumantar, masyarakat adat Buani dan Barumurmas di Desa Bentek, masyarakat adat Lokok Getak di Desa Loloan. Di kawasan hutan adat, anggota masyarakat dilarang menebang pohon, berburu, menambatkan atau melepas hewan ternak, membuka lahan, dan melakukan pembakaran. Pelanggaran terhadap awiq-awiq tersebut akan mendapat sanksi berupa denda 1 ekor kambing, 1 ekor ayam, uang Rp 49.000, padi 4 tekelan, reket 2 tekelan, dan kebutuhan upacara lainnya seperti gula, kelapa, dan sirih. Sanksi diperberat jika pelanggaran awiqawiq dilakukan berulang-ulang atau melakukan perusakan serius terhadap hutan adat.

Paradoks Kebijakan
Setelah dalam beberapa dekade (masa Orde Baru) mengalami kekaburan, saat ini secara normatif hak-hak masyarakat hukum adat dilindungi konstitusi negara. Pengakuan negara terhadap hak-hak masyarakat hukum adat tertuang dalam UUD 1945 Amandemen IV Pasal 18B Poin (2). Dalam pasal itu

260

Geliat Perlawanan Basis

dinyatakan: Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RI, yang diatur dalam undang-undang. Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya menegaskan pemerintah berkewajiban menghormati (obligation to respect) dan melindungi (obligation to protect) komunitas masyarakat adat beserta pranata-pranata, identitas, dan hukum adatnya serta hak-hak tradisional yang diwariskan dari leluhurnya. Sedangkan penentuan suatu komunitas sebagai masyarakat adat sepenuhnya berada di tangan komunitas yang bersangkutan (selfidentification and self-claiming). Pasal 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan penegakan hak asasi manusia, perbedaan, dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. Di samping itu ditegaskan identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Beberapa kebijakan sektoral memuat perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat, seperti tertuang dalam Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960 bahwa hukum adat merupakan dasar bagi pembentukan hukum agraria nasional. Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1960 menyatakan, Hukum agraria yang berlakuialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negarasegala sesuatu dengan menghindarkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juga memberikan pengakuan secara tegas terhadap keberadaan masyarakat hukum adat.
261

Geliat Perlawanan Basis

Namun dalam praktiknya selama ini pemerintah tidak mengindahkan hak-hak masyarakat adat atas sumber daya agraria ataupun kehidupan nilai-nilai adatnya. Pelaksanaan pembangunan justru cenderung menyingkirkan keberadaan masyarakat adat. Alih-alih memberikan perhatian khusus (affirmative), kebijakan pembangunan daerah yang selama ini diterapkan justru tidak menjangkau kebutuhan masyarakat adat yang kebanyakan tinggal di wilayah yang terpencil dengan fasilitas kebutuhan dasar pembangunan (kesehatan, pendidikan, dan ekonomi) yang minimal. Perbenturan kepentingan dan nilai budaya yang terjadi antara masyarakat adat dan komunitas lainnya sering kali mengalahkan hak-hak masyarakat adat. Dalam konteks seperti ini, pemerintah cenderung mengambil langkah pembiaran terhadap situasi tersebut. Akibatnya, ruang gerak masyarakat hukum adat semakin terbatas dan terkucilkan. Selama satu dekade belakangan ini muncul beberapa inisiatif lokal untuk mengubah situasi tersebut. Mulai dari pembentukan organisasi yang mewakili masyarakat hukum adat, pemekaran wilayah kabupaten, serta upaya mendorong pengakuan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adat.

Mendorong Pengakuan Hak atas Hutan Adat


Saat ini sejumlah hutan adat terancam hilang, hanya tertinggal namanya. Pawang Singang Pakok, Pawang Montong Leneng, dan Lokok Manisan di Senaru; Pawang Busur, Pawang Duria, Pawang Bedugul, dan Pawang Batu Ampar di Desa Rempek; Pawang Tutupan Mpeng Bleleng, Tutupan Gunung Kono, Tutupan Sentul, Tutupan Kubur Setinggi, dan Tutupan Pemandian Sayyidina Ali di Desa Sesait; Pawang Semboya, Lokok

262

Geliat Perlawanan Basis

Odang, dan Lokok Pejawak di Desa Santong; serta Tutupan Lende dan Tutupan Saji Bringin Jemarun Gedeng di Desa Kayangan semakin menyempit luasnya, bahkan beberapa sudah berubah menjadi sawah, kebun, dan permukiman penduduk. Kebijakan negara yang belum mengakui keberadaan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan pada khususnya dan sumber daya alam pada umumnya, pembiaran terhadap lemahnya akses politik masyarakat hukum adat, dan infiltrasi nilai budaya modernitas merupakan beberapa faktor yang memiliki andil menciptakan situasi ini. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan ketidakberdayaan pelayanan publik dari pemerintah untuk menjangkau masyarakat adat yang umumnya tinggal di pinggiran hutan, baik dalam hal pendidikan, kesehatan, administrasi, bahkan informasi. Sehingga dalam pergulatan kepentingan sosial, ekonomi, dan politik, posisi masyarakat adat cenderung dikalahkan. Fakta masalah ini mulai dimunculkan Yayasan Koslata yang mengkaji pengaruh pengembangan pariwisata terhadap hak-hak masyarakat adat Senaru di Lombok (1998). Sejak saat itu mulai dikampanyekan pentingnya pengakuan hak masyarakat adat di Lombok dalam pengelolaan hutan baru. Hasil kaji tindak partisipatif Tim PAR Rinjani (kerja sama multipihak kalangan pemerintah, NGO, dan masyarakat kawasan Rinjani) menyatakan ketidakjelasan status hukum hak masyarakat adat menimbulkan dampak terjadinya konflik antara pemerintah dan masyarakat, berlanjutnya kerusakan hutan, serta munculnya kecemburuan masyarakat lain terhadap pengelolaan hutan (PAR Rinjani, 2004). Legitimasinya semakin diperkuat dengan adanya kesepakatan multipihak yang merekomendasikan perlunya pengakuan atas hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan. Bermodalkan kesepakatan tersebut Koslata mengembangkan proses pengakuan hak masyarakat adat dalam
263

Geliat Perlawanan Basis

pengelolaan hutan adat di Lombok Barat dengan menggunakan peluang kebijakan yang ada. Secara teknis operasional peraturan perundangan yang berhubungan dengan hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adalah UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 67 ayat (1) undang-undang tersebut memberikan pengakuan atas keberadaan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan sepanjang memenuhi syarat-syarat:
l

l l

Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; Ada wilayah hukum adat yang jelas; Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kehidupan sehari-hari.

Artinya, keberadaan masyarakat adat secara hukum harus dibuktikan dengan keberadaan lembaga adat, persekutuan masyarakat hukum adat, hukum adat (awiq-awiq), batas-batas wilayah hukum adat, dan keberadaan kawasan hutan adat (sebagai tanah ulayat) beserta pranata pengelolaannya. Surat edaran Menteri Kehutanan Nomor S.75/MenhutII/2004 perihal hukum adat dan tuntutan kompensasi/ganti rugi oleh masyarakat adat yang ditujukan kepada gubernur, bupati / wali kota, memberikan petunjuk kepada kepala daerah manakala ada tuntutan masyarakat hukum adat dengan mengambil langkahlangkah: a. Melakukan peneliteian yang melibatkan pakar hukum adat, tokoh masyarakat di daerah bersangkutan, instansi atau pihak lain yang terkait, serta memperhatikan aspirasi
264

Geliat Perlawanan Basis

masyarakat setempat. Peneliteian tersebut mengacu pada kriteria sebagaimana ditentukan dalam penjelasan pasal 67 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 1999. b. Untuk penetapan hutan negara sebagai hutan adat, bupati/ wali kota melakukan pengusulan hutan negara tersebut untuk ditetapkan sebagai hutan adat dengan memuat letak, luas, serta peta hutan adat yang diusulkan kepada Menteri Kehutanan dengan rekomendasi gubernur. c. Apabila berdasarkan hasil peneliteian, permohonan tersebut memenuhi syarat, masyarakat hukum adat dapat ditetapkan dengan perda provinsi. Perda tentang keberadaan masyarakat hukum adat selanjutnya disampaikan kepada Menteri Kehutanan untuk diajukan permohonan penetapannya sebagai hutan adat, di mana Menteri Kehutanan dapat menyetujui ataupun menolaknya. Apabila diterima, ditetapkan hutan adat untuk masyarakat bersangkutan. Oleh karena itu, upaya awal yang dilakukan adalah membentuk tim penelitei yang anggotanya terdiri atas akademisi Universitas Mataram, tokoh masyarakat, LSM, BPN, serta Dinas Kehutanan NTB dan Lombok Barat, yang ditetapkan melalui SK Bupati Lombok Barat Nomor 374/Koslata/17/ 2005. Hasil peneliteian Tim Penelitei dan Pengkaji Lombok Barat tentang keberadaan masyarakat adat di Kabupaten Lombok Barat (2006) menyimpulkan terdapat sejumlah kelompok masyarakat yang secara turun-temurun telah memanfaatkan kawasan hutan untuk berbagai kepentingan, tidak saja terkait dengan kepentingan sosial budaya dan agama, tetapi juga untuk kepentingan-kepentingan ekologis dan ekonomis. Kelompok masyarakat adat bermukim di Desa Sambik Elen, Loloan, Bayan, Senaru, Sukadana, Akar-akar, Gumantar, Sesait, Rempek, Bentek, Jenggala, Tegal Maja, dan masyarakat adat Desa Tebango (Pemenang Timur).
265

Geliat Perlawanan Basis

Selain itu, dilakukan pemetaan hutan adat secara partisipatif oleh Koslata dan YPMP. Hasil pemetaan mengikuti kaidah dan kelayakan formal serta diverifikasi Dinas Kehutanan dan BPN. Berdasarkan hasil peneliteian dan pemetaan tersebut, kemudian disusun rancangan peraturan daerah untuk kemudian diajukan pembahasannya di DPRD Lombok Barat. Untuk memastikan keseriusan anggota Dewan, beberapa kalangan LSM seperti Walhi NTB, Perekat Ombara, Koslata, bersama perwakilan masyarakat adat melakukan dengar pendapat ke DPRD Lombok Barat pada Juli 2007. Saat itu sebagian anggota Dewan menyatakan komitmennya untuk mendukung raperda ini. Gelang ini merupakan pertanda kita sudah mengikat janji, kata perwakilan masyarakat adat Lombok Utara selepas menyerahkan gelang tangan dari untaian benang kepada beberapa anggota DPRD Lombok Barat yang langsung memakainya. Rancangan perda pengukuhan hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adat di Lombok Barat pernah dibahas DPRD Lombok Barat yang telah membentuk panitia khusus. Namun, hasil pansus justru merekomendasikan untuk diproses ke Kabupaten Lombok Utara yang pada saat itu sedang menuju penetapan pemekaran dari kabupaten induk (Lombok Barat).

Revitalisasi Nilai dan Pemekaran Wilayah


Di samping terbentuk lembaga-lembaga dalam lingkup lokal desa, juga terbentuk lembaga dalam lingkup lebih luas, yakni Persatuan masyarakat Adat Lombok Utara (Perekat Ombara). Pembentukan perkumpulan masyarakat adat Lombok Utara ini diprakarsai kepala desa dan tokoh masyarakat pada akhir tahun 1999. Pada masa awal berdirinya, Perekat Ombara mulai mewacanakan pemekaran wilayah kabupaten Lombok Utara dari

266

Geliat Perlawanan Basis

kabupaten induk Lombok Barat. Dalam kampanyenya, isu yang dikedepankan adalah Lombok Utara memiliki ciri khas budaya. Dengan mengusung kepentingan kesejarahan dan budaya, terkandung harapan untuk merevitalisasikan nilai-nilai adat. Wacana ini mendapatkan sambutan masyarakat Lombok Utara yang merasakan jauhnya jangkauan dan aksesibilitas pelayanan publik. Dibandingkan dengan wilayah lain di Kabupaten Lombok Barat, seperti Kecamatan Narmada, Kediri, dan Gerung, wilayah Lombok Utara relatif jauh dari jangkauan pelayanan publik pemerintahan kabupaten, terutama urusan administrasi pertanahan, perizinan, dan urusan surat-menyurat yang harus ditandatangani pejabat kabupaten. Secara politik, keterwakilan masyarakat Lombok Utara yang memiliki peran penentu kebijakan baik di legislatif maupun eksekutif masih terbatas. Karena keterbatasan keterwakilan masyarakat Lombok Utara dalam pembuatan kebijakan, maka kepentingan dan aspirasi masyarakat tidak banyak diakomodasi dalam kebijakan pembangunan Kabupaten Lombok Barat. Para politikus Lombok Utara juga sangat mendukung pembentukan kabupaten baru. Sebagian besar politikus dan birokrat dari Lombok Utara yang bergabung dalam Ikatan Keluarga Lombok Utara (Kagalu) cukup sering menyuarakan pentingnya pembentukan kabupaten Lombok Utara. Pada tahun 2006 secara formal Bupati Lombok Barat memberikan persetujuan terhadap pembentukan kabupaten Lombok Utara, yang kemudian diikuti persetujuan Gubernur melalui Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor 301 Tahun 2006 tanggal 7 Agustus 2006 tentang Persetujuan Pembentukan Kabupaten Lombok Utara sebagai Pemekaran dari Kabupaten Lombok Barat. Dua tahun kemudian, pada Juli 2008 ditetapkan pembentukan Kabupaten Lombok Utara melalui Undang-undang Nomor 26 Tahun 2008.
267

Geliat Perlawanan Basis

Mengingat motif utama pemekaran wilayah berangkat dari keinginan untuk menghargai identitas budaya masyarakat Lombok Utara yang selama ini mendapat stigma keterbelakangan, seperti wetu telu, dengan status sebagai kabupaten baru, berbagai kalangan masyarakat menyambut antusias. Kegiatan tradisi marak diselenggarakan lagi. Beberapa kelompok kesenian semakin tumbuh. Kelembagaan adat juga berbenah. Dalam kondisi seperti inilah muncul pernyataan Kepala Dinas Pekerjaan Umum yang dianggap melecehkan nilai adat, sehingga sikap masyarakat adat cukup reaktif.

268

Karnaval Seni Budaya dalam Politik Elektoral


FX Rudy Gunawan 1

emanfaatan sejumlah bentuk seni hiburan populer, terutama musik, sudah menjadi semacam keharusan bagi para kader partai politik yang berjuang untuk dipilih sebagai wakil rakyat, bupati, wali kota, gubernur, sampai presiden dan wakil presiden. Pemanfaatan ini menempatkan aktivitas seni sebagai sebuah proyek order yang tak berkaitan dengan proses kreatif seorang seniman dalam berkesenian. Dalam konteks ini, bila kitapasca memotret situasi politik Indonesia pasca reformasi, memang ibarat memotret sebuah karnaval yang meriah dan penuh warna, sementara di pinggiran jalan, rakyat miskin menonton untuk melupakan pahitnya penderitaan hidup mereka. Anak-anak dengan ingus meleleh dan baju rombeng, tertawa-tawa melihat badut menari-nari di depan mereka.
1 Penulis adalah Ketua Badan Pengawas Perkumpulan Seni Indonesia.

269

Geliat Perlawanan Basis

Dalam karnaval itu memang ada banyak badut. Ada banyak pejabat dan tokoh masyarakat, ada tokoh-tokoh generasi muda, ada cendekiawan yang senantiasa tersenyum arif seakan bersaing dengan para agamawan yang juga tersenyum lembut sambil terus berdoa. Lalu para anggota parlemen pun membusungkan dada sebagai wakil rakyat terpilih yang terhormat berkat goyang gergaji di ajang kampanye mereka. Selain itu, para selebritas dari berbagai profesi pun turut memeriahkan karnaval. Drum band, kesenian tradisional mulai dari ondel-ondel sampai jaipongan, seniman dan budayawan, Trio Macan, dan trio-trio lainnya, tampil bersemangat sepanjang karnaval. Mereka menggoyang panggung politik elektoral dengan goyang maut nan aduhai, mulai dari goyang ngecor hingga goyang gergaji.

Goyang Gerjaji di Panggung Pemilu


Semua tumplek-blek dalam karnaval yang meriah itu. Semua mencoba ambil bagian untuk memeriahkan karnaval dengan berbagai cara. Tujuannya kurang lebih hanya untuk mendapatkan perhatian rakyat yang menonton karnaval. Rakyat, dalam kondisi ini, masih tetap menjadi objek, menjadi komoditas yang diperjualbelikan, diperas, dan bila perlu dijadikan korban. Relasi status rakyat sebagai objek-komoditas-korban, tergantung pada situasi apa yang sedang terjadi (aktual) dan tujuan apa yang hendak dicapai (goal) oleh para pemegang kekuasaan. Jika rakyat sekadar dibius atau dihipnotis melalui sebuah paket pertunjukan kesenian, maka rakyat dijadikan objek yang tidak terlalu menderita. Melalui karnaval meriah, rakyat bisa diajak untuk lupa akan penderitaan mereka, karena sebuah karnaval hakekatnya adalah hiburan massal. Namun, hiburan massal secanggih apa pun, sebenarnya tak akan pernah benar-benar mampu mengajak rakyat
270

Geliat Perlawanan Basis

untuk melupakan lapar yang menggigit, panas yang membakar, atau dingin yang menusuk tulang. Sifatnya hanya membius sesaat. Persis seperti rakyat yang terbius oleh goyang gerjaji, goyang ngecor, apalagi goyang ngangkang para penyanyi dangdut super seksi di panggung pemilu nasional dan daerah. Demokrasi menjadi pesta yang jauh lebih mahal, karena setiap daerah menyelenggarakan sendiri pemilihan legislatif dan eksekutifnya. Di sisi lain, karnaval budaya di panggung politik elektoral juga makin ramai. Sayangnya, karena masih asyik berkarnaval-ria, upaya mewujudkan kehidupan demokratis yang sejahtera, aman, dan damai sebagai cita-cita reformasi, sepertinya jauh dari kenyataan. Panggung politik hasil Pemilu 2009, terutama di wilayah legislatif, mungkin bisa menjadi ilustrasi menarik dengan banyaknya selebritas dunia hiburan (budaya pop) yang berhasil merebut kursi legislatif. Mungkin ini bisa dianggap sebagai keberhasilan dari karnaval budaya (pop) di panggung pemilu yang memberikan peluang lebih besar kepada para pelaku budaya pop. Ada simbiosis mutualisme antara para pelaku budaya pop dan partai politik yang berkembang pesat. Dari awalnya hanya berperan sebagai vote getter, para pelaku budaya pop lantas mengambil kesempatan untuk ikut bermain langsung sebagai politikus dadakan. Masalahnya kemudian adalah kapasitas. Dalam berkesenian, para pelaku budaya pop masih jauh dari cita-cita membangun masyarakat yang berbudaya, adil, sejahtera, dan demokratis. Umumnya mereka tidak siap untuk mengemban tanggung jawab sebagai wakil rakyat atau wakil gubernur sekalipun. Ketidaksiapan ini mirip dengan ketidaksiapan pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi daerah ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan oleh para pemikir desentralisasi. Jika harapan otonomi daerah adalah pemerataan kesejahteraan, maka yang terjadi justru pemerataan sistem Orde Baru di berbagai

271

Geliat Perlawanan Basis

daerah. Artinya, terjadi diseminasi sistem secara instan, karena tidak ada alternatif sistem lain yang diketahui oleh pemerintahan daerah. Sistem yang memang sudah membudaya, menjadi sangat menyatu dengan kehidupan masyarakat dan mudah diimplementasikan seketika. Lebih celaka lagi, otonomi daerah justru diterjemahkan sebagai ajang mengeruk keuntungan di tingkat daerah ketika tak perlu terlalu menghamba pada pemerintah pusat. Tak mengherankan bila kita mendapati bertumpuk berkas korupsi, baik yang dilakukan oleh anggota parlemen daerah maupun birokratnya. Atau menemukan sekian ragam peraturan daerah aneh-aneh yang justru bertentangan dengan semangat demokrasi, begitu keran desentralisasi terbuka lebar dan terimplementasikan. Tak heran bila kemudian Teten Masduki, aktivis antikorupsi, mengatakan bahwa tipologi korupsi pascareformasi mengalami pergeseran baik secara vertikal maupun horizontal. Bila dulu korupsi cuma menjadi barang mainan para kroni dan kerabat Soeharto, kini korupsi telah menyebar rata di partai-partai serta lapis-lapis politikus baru dan para birokrat dari pusat hingga daerah. Ilustrasi di atas memperlihatkan kepada kita bahwa setiap proses perubahan sistem dalam masyarakat selalu memunculkan tabrakan-tabrakan politik serta rasa masygul. Hal tersebut muncul karena jaringan politik lama masih eksis dan proses transformasi belum menunjukkan hasil nyata. Sementara secara sosial-kultural, masyarakat yang telah terbentuk oleh sistem lama juga cenderung nerimo dan bersikap apatis saja. Hal-hal yang dipedulikan masyarakat masih seputar kebutuhan dasar, seperti turunnya harga kebutuhan pokok, murahnya biaya pendidikan, jaminan kesehatan hingga pekerjaan yang memang belum terakomodasi dengan baik. Tak jarang kondisi seperti ini dimanfaatkan oleh kekuatan politik lama sebagai rute untuk kembali berkuasa.
272

Geliat Perlawanan Basis

Tak bisa disangkal bahwa proses transformasi politik dan kultur kekuasaan butuh waktu. Namun, tak bijak juga untuk menyembunyikan setiap keraguan memerangi sisa kekuatan politik lama dalam permakluman tersebut. Sekarang waktunya meluruskan sejarah, menggergaji yang bengkok atau miring. Menimbang dengan arif kesalahan dan kemaslahatan lampau. Menghukum dan menghargai dengan bijak para pelaku dan korban di masa lalu. Dalam batas-batas tertentu, agenda seperti itu sungguh memerlukan kontribusi besar dari para senimanbudayawan dan cendekiawan. Kontribusi sebagai pelaku budaya yang menciptakan perubahan dalam masyarakat, bukan sekedar sebagai peserta karnaval di panggung politik elektoral dewasa ini. Bukan asal goyang gergaji di panggung pemilu.

Seniman-Budayawan di Panggung Politik


Di dalam dunia politik, budayawan WS Rendra menancapkan keberadaannya sebagai sang pemberi kesaksian yang kritis dan berani. Seorang penyair atau prosais atau dramawan sudah seharusnya memposisikan diri secara jelas dalam konstelasi dan relasi-relasi kekuasaan yang bermain sebagai sistem yang melingkupi dunianya. Di masa mudanya, pada tahun 1970-an, Rendra melakukan perlawanan terhadap sistem politik dengan memakai media kebudayaan, yaitu puisi dan panggung teater. Memang ia juga pernah melakukan beberapa kegiatan semacam unjuk rasa atau demonstrasi, tapi tetap dalam konteks kebudayaan. Istilah yang digunakannya pun sangat kultural, malam tirakatan, misalnya. Tujuan aksinya hanya berusaha untuk memberikan kesaksian sebagai bentuk perlawanan dan perjuangannya. Kita juga memiliki seorang penyair yang berjuang secara lebih frontal, yakni Wiji Thukul. Saking frontalnya berjuang
273

Geliat Perlawanan Basis

melalui media kebudayaan untuk hak asasi rakyat tertindas, dia diculik dan tak diketahui lagi keberadaannya sampai detik ini. Diduga keras Wiji Thukul telah dibunuh dan dibuang entah di mana. Diduga keras pelakunya adalah kelompok yang disebut sebagai Tim Mawar dari Kopassus, yang juga melakukan penghilangan paksa dan penculikan terhadap sejumlah aktivis antara tahun 1997 dan 1998. Apa yang dialami Wiji Thukul adalah resiko ekstrim dari perjuangan seorang penyair yang berpihak kepada rakyat tertindas. Tukul memang tidak hanya berjuang melalui puisipuisinya. Dia terlibat langsung dan total dalam gerakan rakyat yang diperjuangkannya. Dia ikut mengacungkan kepalan tangan, ikut berteriak, ikut berkeringat dan kelaparan, dan disiksa oleh aparat keamanan dalam bentrokan-bentrokan yang tak terhindarkan antara rakyat dan aparat. Tukul adalah bagian langsung dari rakyat jelata yang tertindas. Dia tak berjarak sedikit pun. Dia pejuang kemanusiaan yang gigih dan pantang menyerah. Puisi hanya salah satu bentuk perjuangannya untuk menyuarakan penderitaan rakyat. Makna keberadaannya di panggung politik tegas dan jelas dideklarasikan melalui karya dan kiprahnya. Inilah yang akan membedakan secara jelas seorang Rendra dengan Goenawan Mohamad, misalnya. Atau Wiji Thukul dengan Joko Pinurbo. Atau Sapardi Djoko Damono dengan Sutardji Calzoum Bahri. Meski Rendra melakukan aksi semacam unjuk rasa, dia tidak melakukannya sebagaimana Wiji Thukul melakukan aksi turun ke jalan dengan tujuan melawan rezim yang otoriter dan sewenang-wenang. Rendra melakukannya hanya untuk membangunkan orang-orang yang tertidur dan tak peduli lagi pada apa yang terjadi di sekelilingnya. Orang-orang itu mungkin terbuai mimpi indah menjadi raja, menjadi kaya-raya, atau

274

Geliat Perlawanan Basis

menjadi selebritas. Mereka tertidur sampai sebuah mimpi buruk yang nyata mengejutkan dan membangunkan mereka. Namun, karena mereka terjaga pada saat mimpi buruk sudah terjadi, maka semuanya kemudian terlambat. Rendra tidak menjadi bagian partai politik, tapi ia pernah berpartisipasi untuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam kasus Pilkada Depok sekitar Agustus 2005. Sebenarnya sejak awal Rendra merasa tidak memiliki tendensi politik. Itulah sebabnya dalam menanggapi masalah-masalah politik, dia selalu menggunakan media kesenian dan kebudayaan. Karya dramanya Mastodon dan Burung Kondor jelas mengangkat tema politik sebagai bentuk kepedulian dan keberanian yang besar untuk bersaksi dan memberontak terhadap sistem yang tidak benar. Bagi Rendra, hidup adalah kebudayaan itu sendiri, dalam pengertian: hidup adalah usaha-usaha manusia untuk memperluas, memperbaiki, dan memperindah kemungkinan-kemungkinan bagi cita-cita bersama masyarakat. Jadi, kebudayaan adalah daya hidup manusia yang harus terus dijaga dan ditingkatkan. Drama Kisah Perjuangan Suku Naga mengangkat tema dari hasil pergulatan Rendra tentang kehidupan sebuah desa. Dia melakukan observasi dan wawancara dengan kepala desa, ibuibu di desa, para petani, anak-anak muda desa yang merantau ke kota, juga anak-anak kecil. Dalam drama ini, Rendra mengkritik para penguasa dalam bentuk sindiran-sindiran lucu yang sekaligus bisa membuat para penonton tertawa terbahak dan juga takut, karena semuanya adalah tentang penguasa. Pada saat drama itu dipentaskan, Orde Baru sedang galak-galaknya sebagai rezim yang baru mereguk kekuasaan selama 10 tahun. Tentang anggota DPR dalam lakon Kisah Perjuangan Suku Naga ini, Rendra mengatakan: tugas kami yang utama / adalah banyak bicara / yang sifatnya membesarkan / tetapi menghindari perdebatan / di dalam

275

Geliat Perlawanan Basis

parlemen / persatuan lebih utama dari perdebatan / dan penyebab persatuan / adalah perintah atasan. Sebuah kritik yang tajam. Namun, nyatanya para anggota DPR masa kini tetap tidak menjadi lebih baik. Mereka bahkan meminta kenaikan gaji hingga puluhan juta rupiah di saat rakyat kecil terperosok dalam jurang penderitaan dan kemiskinan yang tak kenal ampun. Para penguasa semakin kejam dan telengas. Mereka tega menculik dan membunuh anak-anak muda yang kritis dan berani. Itulah yang kemudian dialami Wiji Thukul sebagai satu-satunya penyair yang memposisikan diri sebagai pemberontak sekaligus aktivis politik. Jalan yang dipilih Tukul memang berbeda. Ia tidak memperluas konsep dan pemahamannya terhadap media kebudayaan sebagai sikap politik sebagaimana yang dilakukan Rendra. Sebaliknya, Tukul menajamkan dan mempersempitnya menjadi senjata politik untuk melawan dan terjun ke kancah politik praktis. Apa yang diperjuangkan Rendra masih menjadi agenda yang relevan bagi siapa pun yang peduli dan ingin menciptakan kehidupan yang lebih baik melalui jalan kebudayaan. Harapan pada kehidupan yang lebih baik adalah inti semua pemberontakan dan perlawanan yang dilakukan orang-orang seperti Wiji Thukul, Rendra, Pramoedya Ananta Toer, atau bahkan seorang tukang becak dan gelandangan sekalipun. Harapan akan kehidupan yang lebih baik adalah harapan semua orang yang harus diperjuangkan bersama-sama tanpa membeda-bedakan warna kulit, keyakinan, suku, agama, ideologi, atau jenis kelamin. Sayangnya, saat ini justru primordialisme dalam pengertian sempit dan politis, berkembang menjadi sesuatu yang memicu banyak konflik horizontal. Seiring dengan itu, fundamentalisme pun merebak dan meruyak kehidupan dengan senjata tajam terhunus yang meminta banyak korban. Menyedihkan. Kita mengalami

276

Geliat Perlawanan Basis

kemunduran dalam tatanan kehidupan budaya kita yang maunya demokratis, harmonis, dan gemah ripah loh jinawi. Sebagai anggota sebuah tatanan sosial-budaya, setiap manusia dipaksa untuk memenuhi aturan dan sistem nilai yang dipercaya sebagai landasan eksistensialnya. Nilai dan norma ini yang menentukan kewajaran perilaku dan martabat seseorang. Begitu perilaku seseorang keluar dari tatanan dan sistem nilai yang ada di masyarakatnya, ia akan menerima cap sebagai: tidak bermoral, bejat, pemberontak, atau bahkan gila. Untuk menghindari cap ini, berbagai penyimpangan perilaku ditutup rapat-rapat dan menjadi rahasia yang dibawa mati atas nama kehormatan dan martabat luhur manusia. Hal ini melahirkan hipokrisi dalam perilaku sebagian anggota masyarakat, terutama pada kalangan terhormat dan terpelajar (kaum bangsawan, ningrat, atau kaum intelektual) yang tak bisa menolak godaan untuk keluar dari sistem nilai tatanan sosial-budaya masyarakatnya. Sosok seperti penyair Chairil Anwar adalah sosok antagonis dari hipokrisi atau kemunafikan kaum terhormat yang juga melakukan berbagai perilaku yang dianggap tidak bermoral, bejat, atau gila. Chairil menjadi antagonis karena ia tidak menutup-nutupi perilaku liarnya. Ia menegaskan kejalangan dirinya dalam bait puisi fenomenalnya: aku ini binatang jalang / dari kumpulan yang terbuang. Dengan keberaniannya untuk jujur, Chairil membebaskan dirinya dari sistem nilai tatanan sosial-budaya masyarakat kita. Pertanyaannya kemudian: mengapa perilaku-perilaku tersebut muncul dan tak tertahankan, bahkan oleh kaum terpelajar? Jawabannya jelas: zaman berubah. Dunia berubah. Nilai-nilai pun dengan sendirinya mengalami pergeseran. Tidak ada nilai yang absolut, kecuali prinsip-prinsip paling substansial yang menjadi pondasi keberadaan manusia. Misalnya prinsip
277

Geliat Perlawanan Basis

tentang hak asasi manusia bahwa setiap manusia dilahirkan sama dan karenanya memiliki hak yang sama tanpa membedakan suku, agama, ataupun warna kulit. Tanpa membedakan ideologi politik ataupun strata sosial yang hanya merupakan hasil konstruksi kekuasaan.

Arts Activism dan Partisipasinya Dalam Politik Elektoral


Karya sastra dan seni-budaya lain harus peka terhadap pergeseran nilai dan perubahan yang terjadi. Karya seni-budaya seharusnya menjadi alat pembebasan bagi masyarakat. Karya sastra harus membebaskan pembacanya dari konstruksi sistem nilai yang sudah tidak relevan lagi, karena perubahan yang terjadi. Dan hal inilah yang kita dapatkan dari novel-novel Pramoedya Ananta Toer atau puisi-puisi Chairil Anwar yang mengusung pemberontakan pada sisi lain. Ia secara terbuka mengusung nilai kebebasan eksistensial dengan cara yang frontal. Kita harus melihatnya dari sudut pandang yang objektif dan netral. Apa yang dilakukannya adalah pemberontakan terhadap kemunafikan perilaku manusia, adalah upaya untuk menelanjangi kebobrokan moral dari kelompok orang-orang yang dianggap bermoral. Aktivitas seni-budaya (arts activism) harus bertanggung jawab terhadap persoalan-persoalan sosial-politik-budaya yang melingkupinya. Bertanggung jawab terhadap persoalan-persoalan kemanusian dan ketertindasan manusia dalam sistem yang sewenang-sewang dan otoriter. Lantas peran apa yang bisa diambil oleh kesenian dan kebudayaan secara nyata dalam meresponss perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat? Setidaknya kita bisa memulai dengan hal-hal sederhana namun sangat prinsipil. Sebut misalnya soal integritas yang harus dimiliki seniman dan budayawan agar bisa tetap menjaga independensi dan karakter masing-masing. Dengan memiliki integritas yang kuat, maka tidak
278

Geliat Perlawanan Basis

perlu dikhawatirkan adanya kepentingan-kepentingan politik yang bisa menunggangi mereka. Seni dan budaya tetap harus independen dan berpihak hanya pada nilai-nilai kemanusiaan yang asasi. Akarnya harus tetap menancap kuat di dalam persoalan-persoalan nyata yang terjadi di masyarakat. Jika kini korupsi menjadi persoalan besar yang merusak kehidupan masyarakat, maka para senimanbudayawan seharusnya tidak menutup mata terhadap persoalan korupsi. Sebaliknya, mereka harus menceburkan diri dan enerji mereka untuk turut serta membantu memerangi budaya korupsi. Dengan menceburkan diri, maka persinggungan-persinggungan para seniman-budayawan dengan elemen-elemen masyarakat lain akan lebih intens dan kuat, sehingga bisa menghasilkan gerakan kebudayaan yang sinergis, yang memang diperlukan untuk mengubah keadaan. Perkumpulan Seni Indonesia (PSI) sebagai lembaga seni budaya yang independen, dalam kegiatan-kegiatannya selalu mencoba melakukan sinergi antara seniman-budayawan dan elemen-elemen masyarakat lain seluas-luasnya. Dengan mengangkat persoalan-persoalan sosial-politik yang dihadapi masyarakat, PSI mengolahnya menjadi karya untuk menggugah masyarakat. Tahun 2009 PSI memproduksi pementasan teater yang diadaptasi dari novel Ladang Perminus karya Ramadhan KH yang bertema korupsi di perusahaan minyak negara. Proyek ini melibatkan sejumlah organisasi di luar dunia seni-budaya yang memiliki kepedulian dan komitmen sama untuk memerangi korupsi. Bermula dari rencana pementasan di dua kota (Jakarta dan Bandung), berkat konsep berjaringan dan sinergi dengan banyak lembaga, pementasan pun berlanjut ke dua kota lain, Solo dan Semarang. Terjadinya perpanjangan atau perluasan pementasan secara langsung merupakan hasil dan manfaat dari konsep gerakan
279

Geliat Perlawanan Basis

budaya yang sinergis dengan berbagai elemen masyarakat. Secara swadaya, beberapa lembaga di Solo dan Semarang mengundang untuk tampil di dua kota itu. Kendala keterbatasan biaya tidak menjadi halangan, karena memang ada kepentingan dan komitmen yang sama untuk memerangi korupsi lewat jalur seni-budaya. Para pemain, kru, sutradara, dan produser sedari awal bersepakat untuk bisa pentas dalam segala kondisi dan keterbatasan. Di Solo, misalnya, pentas diadakan dua kali di dua tempat berbeda. Pentas pertama diadakan di Taman Budaya Surakarta dan yang kedua diadakan di aula SMA Pangudi Luhur St Yosef, yang tentu sangat berbeda dan tidak memiliki sarana laiknya gedung kesenian. Namun, itu semua tidak menjadi persoalan bagi seluruh kru Ladang Perminus. Pementasan teater bisa di mana saja, jika tujuannya adalah menjangkau publik yang lebih luas sebagai gerakan kebudayaan atau gerakan penyadaran. Seniman-budayawan bisa berkarya di mana saja, jika ingin memperluas kedekatannya dengan persoalanpersoalan sosial-politik yang dihadapi masyarakat luas. Justru dengan membongkar atau mendobrak tembok-tembok pemisah antara seni-budaya dan masyarakatnya inilah bisa terjadi sinergi kekuatan masyarakat lewat jalur kebudayaan. Membangun sinergi seperti ini memang memerlukan pendobrakan aturan baku dalam wacana budaya an sich. Meski demikian, karena budaya adalah wilayah kebebasan kreativitas, hal ini tak perlu dirisaukan oleh para seniman-budayawan. Saat ini ada kebutuhan mendesak untuk membangun budaya baru di kalangan generasi muda agar mereka tidak hanya mewarisi dan meneruskan nilai-nilai budaya lama yang sudah kedaluwarsa. Syukurlah gerakan generasi muda di dunia pop sudah melahirkan apa yang disebut sebagai indie label atau indie spirit yang merupakan wujud keberanian atau pemberontakan

280

Geliat Perlawanan Basis

terhadap main stream. Sebut misalnya di dunia musik dan film. Seniman-seniman muda dari wilayah itu sudah terbukti mampu menancapkan diri dengan label indie tanpa rasa minder. Tanpa harus sekadar menjadi penggembira dalam karnaval budaya. Harapan akan masa depan yang lebih baik, mau tidak mau, ditentukan oleh generasi muda. Kesadaran ini jugalah yang membuat PSI dalam program-programnya selalu memfokuskan diri pada kalangan generasi muda tingkat SMA. Perubahan hanya bisa dilakukan oleh generasi muda yang mengusung semangat dan nilai-nilai sosial-budaya-politik yang baru. Mempengaruhi panggung politik elektoral kini dengan gerakan kebudayaan tetap harus dilakukan, terutama melalui pendekatan yang berbasis isu-isu genting. Namun, kontribusi politik yang lebih penting dari kalangan seni-budaya adalah upaya membangun generasi muda baru tersebut. Toh, menyadarkan masyarakat untuk peduli terhadap kerusakan lingkungan atau untuk melawan korupsi adalah kewajiban setiap anggota masyarakat. Sebaliknya, memberikan kontribusi budaya di dunia politik jelas merupakan tanggung jawab seniman-budayawan, jika tak ingin sekadar menjadi penggembira sebuah karnaval budaya di panggung politik.

281

Masyarakat Harus Memiliki Kapasitas untuk Memilih yang Strategis di Antara Berbagai Pilihan Politis
Simpul Maluku FBB Prakarsa Rakyat 1

Latar Belakang

M
1

aluku merupakan provinsi kepulauan dengan ibu kota Ambon. Saat ini Maluku terdiri atas 11 daerah tingkat II, yaitu Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tengah, Kabupaten Maluku Tenggara, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Kabupaten Buru, Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Seram Bagian Barat, Kabupaten Seram Bagian Timur, Kota Tual, Kabupaten Buru Selatan, dan Kabupaten Maluku Barat Daya.
Tulisan dipersiapkan oleh George Corputty, Sekretaris Jendral Jaringan Baileo Maluku.

283

Geliat Perlawanan Basis

Kondisi Ekonomi
Potensi sumber daya alam provinsi Maluku belum diberdayakan secara maksimal. Faktanya provinsi ini memiliki kekayaan alam di darat (pertanian, perkebunan, dan peternakan) serta perikanan dan pesisir (berbagai macam ikan, rumput laut, teripang, dan mutiara). Dengan letak geografis kepulauan, tantangan spesifiknya adalah komunikasi, pemasaran, dan transportasi bagi berbagai hasil produksi. Orientasi pembangunan provinsi Maluku saat ini adalah pengembangan pesisir dan laut serta pengembangan rempahrempah. Namun, pengambilan prioritas pembangunan belum menggambarkan keseriusan dalam menjalankan orientasi pembangunan di Maluku. Dua fakta terlihat jelas, yaitu dengan membangun Gong Perdamaian di Kota Ambon (yang menurut penjelasan Pemda provinsi Maluku adalah yang ke-15 di dunia) dan membangun Jembatan Merah Putih yang akan menghubungkan dua jazirah di Pulau Ambon. Mencermati alasan yang disampaikan Gubernur Maluku, Gong Perdamaian untuk mendatangkan pendapatan asli daerah dari kunjungan wisatawan. Sedangkan Jembatan Merah Putih, menurut penjelasan Kepala Dinas Pekerjaan Umum, untuk mempersingkat waktu tempuh dari bandara ke Kota Ambon, yaitu lebih cepat 15 menit (dari 25 sampai 30 menit menjadi 15 menit) dan menurut rencana akan dibuat tarif penggunaan jembatan. Kedua proyek besar itu tidak ada kaitan dengan orientasi pembangunan di Maluku, tetapi dijadikan sebagai prioritas pembangunan. Banyak pengusaha lokal yang telah menguasai jalur-jalur ekonomi produktif yang strategis. Mereka menguasai dari proses produksi dan pemasaran. Bahkan, mereka juga distributor barangbarang ekonomi produksi luar daerah. Sebagai penguasa ekonomi,
284

Geliat Perlawanan Basis

mereka sangat menguasai jalur produksi dan pemasaran di berbagai wilayah Maluku dan keluar daerah. Perusahaan-perusahaan mereka sebagian besar dengan tujuan ekspor. Harga yang mereka tentukan untuk setiap jenis barang ekonomi yang mereka beli dari masyarakat tidak pernah dikonversi dari harga ekspor, cenderung ditentukan sendiri. Masyarakat tidak mempunyai pilihan lain, karena terlalu besar pengeluaran jika memasarkan sendiri, karena biaya transportasi sangat tinggi untuk mencapai pasar. Ada kecenderungan lain, beberapa izin HPH dan pertambangan yang selalu dikeluarkan dari pusat (tingkat menteri) tidak pernah mengajak diskusi masyarakat pemilik tanah (kepemilikan petuanan adat adalah kepemilikan komunal), sehingga selalu ditolak masyarakat. Selain tidak didiskusikan dengan baik, juga tidak pernah ada kejelasan secara transparan manfaat yang akan diterima masyarakat. Selain itu, tidak ada upaya untuk membangun atau mengembangkan strategi ekonomi desa yang berbasis pada potensi sumber daya tersedia (sumber daya alam dan sumber daya manusia) di desa. Yang dilakukan adalah program ekonomi yang dianalisis secara top-down, sehingga banyak yang tidak sesuai dengan ketersediaan sumber daya desa. Kesan sangat kuat hanya menjalankan tuntutan program dari atas dan masyarakat merasa tidak memiliki program tersebut.

Kondisi Sosial Budaya


Masyarakat Maluku memiliki pola kekerabatan yang masih kuat, dengan hukum adat yang masih diakui dan potensial untuk dijadikan sebagai alat kontrol dalam pengelolaan sumber daya alam. Sebagai contoh, sasi masih dihormati dan diakui pemberlakuannya. Kearifan lokal ini masih digunakan secara

285

Geliat Perlawanan Basis

strategis untuk membangun sistem kelola pemerintahan di desadesa adat. Tetapi harus diakui, degradasi nilai adat terus terjadi. Pada pertengahan tahun 2009, pengusaha David Chiu, penanggung jawab PT Maritim Timur Jaya (MTJ) yang beroperasi di Desa Ngadi, Pulau Dulah, Kota Tual, mendapat gelar adat dari beberapa tokoh adat di Kei. Menurut hasil diskusi pada November 2009 bersama beberapa tokoh adat di Kei, pemberian gelar ini tidak dilakukan secara transparan dan masyarakat menolak dengan menutup Jembatan Usdek yang menghubungkan Pulau Dulah (Kota Tual) dan Pulau Kei Kecil (Kabupaten Maluku Tenggara). Akhirnya David Chiu mengembalikan gelar adat itu kepada masyarakat adat Kei. Proses ini penuh dengan muatan politikekonomi. Terlepas dari proses adat yang tidak sesuai, hal itu menggambarkan dengan jelas bahwa aspek adat dapat digunakan untuk memperkuat proses ekonomi. Sebab, gelar adat yang lahir dari proses yang diakui akan memberikan posisi strategis di suatu wilayah adat. Posisi ini akan sangat memudahkan pengusaha diterima masyarakat untuk mengembangkan usahanya, terutama dalam kaitan dengan eksploitasi sumber daya alam. Ini yang dibaca dengan baik oleh para pengusaha, bila perlu membayar untuk mendapatkan gelar tersebut. Selain itu ada pembentukan lembaga yang cenderung dipaksakan menjadi lembaga adat bernama Lembaga Latupati Maluku. Lembaga ini diprakarsai Gubernur Maluku, tetapi dalam aktivitasnya cenderung politis karena lembaga ini kemudian memberikan gelar adat kepada beberapa tokoh nasional dan daerah atas jasa-jasa mereka. Masih dipertanyakan apa dasar pemberian gelar adat ini, karena setiap gelar adat selalu didasarkan pada sistem adat yang mendapat pengakuan. Tidak ada adat Maluku, yang ada adat suatu desa atau wilayah tertentu, dan
286

Geliat Perlawanan Basis

semua desa adat di Maluku memiliki sejarah adat yang berbedabeda. Selain itu, semua pemberian gelar adat selalu diikuti dengan hak dan kewajiban yang bersifat jangka panjang. Ada pengusaha kelapa sawit yang membaca peta ini dan menggunakan kewenangan beberapa tokoh adat dan raja secara individual untuk memanfaatkan wilayah petuanan mereka. Misalnya ada perusahaan kelapa sawit di bagian utara Pulau Seram (Kabupaten Maluku Tengah) yang membawa raja-raja ke Sulawesi Tenggara dengan alasan exposure dan jalan-jalan serta diberi sepeda motor. Wilayah raja-raja ini rencananya akan ditanami kelapa sawit. Sesudahnya mereka dipaksa mengizinkan perusahaan tersebut untuk berusaha. Organisasi keagamaan juga masih terus digunakan untuk kepentingan pemilik modal. Organisasi gereja Protestan yang terbesar dan berpengaruh di Maluku juga dimanfaatkan dengan baik untuk kepentingan perusahaan tersebut, karena calon wilayah perkebunan berada di dalam kawasan yang dimiliki jemaat Kristen Protestan. Ada beberapa akademisi yang juga bersedia menjadi tameng secara intelektual untuk menyatakan perkebunan kelapa sawit tidak berbahaya untuk keberlanjutan lingkungan.

Kesehatan
Pemenuhan hak kesehatan masyarakat belum dilaksanakan secara maksimal, karena situasi letak geografis kepulauan. Kekurangan tenaga dokter dan paramedis serta penempatan yang belum merata. Semua tenaga medis terpusat di kota-kota, hanya sedikit yang mau ditempatkan di daerah terpencil. Bahkan, tidak ada dokter yang bersedia ditempatkan di Kabupaten Maluku Barat Daya (penerimaan pegawai akhir tahun 2009) walaupun telah diumumkan dibutuhkan 5 dokter.

287

Geliat Perlawanan Basis

Selain itu, infrastruktur yang dibangun tidak diikuti dengan penempatan dokter dan paramedis serta penyediaan obat-obatan. Pemerintah telah memberikan kartu asuransi kesehatan, tetapi faktanya sering tidak dapat digunakan dengan alasan obat habis.

Pendidikan
Situasi yang sama dengan letak geografis kepulauan, sekolah lebih terpusat di kota kabupaten. Banyak sekolah yang juga sudah dibangun (untuk tingkat SD dan SMP) di desa-desa. Faktanya masih kekurangan guru, karena penempatan guru tidak merata. Juga kurang tersedia buku-buku dan kapasitas guru untuk menerapkan kurikulum standar nasional, karena standar ujian nasional yang tinggi.

Wilayah Bencana
Wilayah Maluku adalah daerah rawan bencana. Ada beberapa gunung api yang memiliki siklus meletus 50 tahun hingga 70 tahun. Selain itu, Maluku wilayah rawan gempa yang memilik intensitas gempa yang tinggi. Namun, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota belum menyiapkan strategi penanganan gempa dan bencana. Faktanya belum ada perda yang mengatur dan semua menunggu terjadi bencana baru diatasi. Dalam proses pemekaran berbagai daerah tingkat II cenderung didasarkan pada pertimbangan politis. Bahkan ada kabupaten yang belum memiliki perencanaan strategis yang didasarkan pada konteks wilayahnya. Faktanya sampai saat ini ada kabupaten pemekaran yang masih tergantung pada kabupaten induk dan belum maksimal mengembangkan potensi sumber daya alam.

288

Geliat Perlawanan Basis

Melihat beberapa contoh di atas, orientasi dasar pembangunan yang didasarkan pada analisis strategis belum terlihat dalam penentuan prioritas pembangunan. Pemekaran kabupaten kemudian dijadikan sebagai ajang penjajakan dan penguatan infrastruktur partai politik dan beberapa individu yang akan berpartisipasi dalam pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Perencanaan pembangunan dan penentuan prioritas pembangunan tidak didasarkan pada pertimbangan situasi kepulauan dan konteks Maluku.

Inisatif Perlawanan
Dalam proses politik praktis pemilihan anggota DPRD II, DPRD I, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, serta pemilihan presiden dan wakil presiden, para kandidat juga membuat pemetaan dan analisis konteks wilayah. Bisa terlihat dari isu yang digunakan untuk mempopulerkan diri para kandidat. Mereka juga menggunakan cara-cara lama dengan menggunakan money politics, seolah-olah mereka menjadi orang yang akan menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat. Saat ini para kandidat yang terpilih dan tidak terpilih cenderung melupakan janji ketika kampanye. Untuk tingkat DPRD kabupaten/kota dan provinsi sudah mulai terlihat ada kandidat anggota yang terpilih karena memang dipilih berdasarkan kapasitas dan track record, walaupun dari kuantitas belum signifikan. Tetapi untuk DPR, DPD, dan pemilihan presiden tidak bisa diukur lagi. Ada anggota DPR yang berlatar belakang pengusaha yang memiliki track record tidak terlalu baik seperti merusak lingkungan dari usaha yang dilakukan perusahaannya, ada yang memanfaatkan kekuasaan anggota keluarganya, ada yang memanfaatkan kekuasaan partainya, dan

289

Geliat Perlawanan Basis

ada yang menuntut jasa atas pemekaran daerah tingkat II. Ada anggota DPD yang belum teruji melakukan proses di masyarakat dan menggunakan fasilitas kekuasaan. Dari semua yang terpilih memang tidak bisa diukur kapasitas dan rekam jejaknya. Kedudukan politik bukan akhir dari cita-cita membuat perubahan. Proses ini menjadi strategis dibangun karena terbukti begitu banyak kandidat anggota parlemen di semua level, baik dari parpol kecil/baru yang masih membangun infrastruktur kepartaian maupun parpol besar yang sudah memiliki infrastruktur kepartaian yang besar pula. Mereka memiliki keyakinan yang sama besar akan terpilih. Mimpi akan menjadi orang dengan taraf hidup lebih sejahtera dan populer, jauh lebih kuat tekanannya daripada berpikir secara logika bahwa sebenarnya mereka tidak memiliki kemampuan secara finansial dan kapasitas. Proses penguatan masih sama dengan strategi tahun 2009, tetapi penguatan dari segi pendidikan politik masyarakat harus terus dilakukan. Yang terpenting adalah membuat masyarakat agar dapat mengambil pilihan-pilihan politik yang strategis. Selain itu, yang menjadi soal besar adalah ketidakmampuan masyarakat secara ekonomi. Diperlukan sebuah institusi kolaborasi yang dapat melaksanakan peran dan fungsi kolaborasi lintas sektor yang berbasis masyarakat. Institusi ini jugalah yang membangun mekanisme integrasi lintas sektor serta standar-standar kebijakan serta proses dan prosedur yang mengatur kerja sama antar-sektor terkait. Proses ini dibangun melalui kerja sama dengan beberapa kelompok di masyarakat yang berpengaruh dalam melakukan proses selama ini. Kelompok-kelompok ini ada yang bergabung secara individu atau kelembagaan formal. Sesudah sekitar satu tahun proses ini dibangun, dibentuk Maluku Sustainable Development yang terdiri atas aktivis LSM,
290

Geliat Perlawanan Basis

wartawan, tokoh masyarakat, dan akademisi. Peran strategis yang dijalankan tim ini adalah menganalisis berbagai tantangan pembangunan di setiap stake holders pembangunan serta membangun solusi atas setiap tantangan dengan prinsip dasar tata pemerintahan yang baik dan pembangunan yang berkelanjutan. Model yang dilakukan adalah dilakukan diskusi kritis bersama untuk membuat analisis terhadap suatu isu didasarkan pada referensi ilmu pengetahuan, berbagi pengalaman, dan kontribusi jaringan kemudian ditemukan bersama solusi strategis untuk diusulkan. Dalam kaitan ke masyarakat, saat ini tim mendorong pengembangan industri rumput laut dengan konsep ekonomi kluster yang dikembangkan Advance Maluku (LSM yang bertujuan memberdayakan masyarakat). Pilihan komoditas ini dengan pertimbangan dasar: siklus produksinya pendek (30-45 hari); memiliki produk turunan/derivatif lebih dari 350 jenis; memiliki konsistensi pertumbuhan harga jual dan pertumbuhan tingkat permintaan pasar yang baik; dapat dijadikan komoditas pendorong dalam membangun kluster industri berbasis masyarakat lintas wilayah (lintas kabupaten, lintas provinsi) karena banyaknya kesamaan kondisi alam berbagai daerah pesisir di seluruh Indonesia, sehingga pada akhirnya rumput laut dapat menciptakan economic convergence. Kolaborasi yang dilaksanakan adalah memadukan pengorganisasian yang selama ini dilakukan anggota Jaringan Baileo Maluku untuk membangun otonomi desa dengan konsep ekonomi kluster yang dikembangkan Advance Maluku. Strategi yang mulai dilakukan saat ini di tingkat masyarakat adalah membangun kemampuan otonomi desa dan pengembangan strategi ekonomi desa berdasarkan ketersediaan sumber daya lokal. Dalam kaitan dengan otonomi, karena selama ini para kandidat peserta pemilu selalu memanfaatkan ketidakmampuan
291

Geliat Perlawanan Basis

dalam membuat perencanaan pembangunan. Kalau proses ini dibangun dengan baik, masyarakat akan lebih percaya diri dalam menghadapi berbagai kampanye yang dipenuhi janji-janji para kandidat dan parpol peserta pemilu. Kaitan dengan membangun strategi ekonomi desa, proses ini dilakukan dengan pendekatan profesionalisme. Konsep kluster ekonomi yang sedang dikembangan adalah membangun industri rumput laut di Kepulauan Kei. Proses yang dibangun adalah membangun partisipasi aktif masyarakat dengan memperkuat kapasitasnya. Masyarakat perlu memahami dengan baik konsep program usahanya dan alasan-alasan strategisnya, tahapantahapan yang harus dilewati (dari persiapan, produksi, industri pengolahan, hingga pemasaran), perencanaan bisnisnya, termasuk proyeksi keuntungan sebagai kepastian yang dapat diukur. Terakhir adalah membangun pemahaman ekspektasi terhadap usaha yang akan dikembangkan dengan penentuan indikator capaian yang dapat diukur. Semuanya kemudian diposisikan sebagai syarat mencapai keberhasilan dan dikembalikan ke masyarakat sebagai pilihan strategis. Dalam perkembangannya, sejak diinisiasi sampai saat ini banyak kelompok masyarakat yang mulai terlibat dalam diskusidiskusi kritis untuk membuat perbaikan. Institusi ini tidak sekadar untuk memprotes atau mengkritisi berbagai kebijakan dan aturan yang dihasilkan penyelenggara pemerintahan di Maluku, tetapi lewat studi tematik, mereka juga memberikan solusi. Dengan kekuatan ini akan ada kemampuan di tingkat masyarakat untuk membuat perbaikan. Selain itu upaya memandirikan LSM sebagai sebuah upaya strategis. Diskusi ini juga dilakukan dengan individu beberapa parpol, terutama pada level kabupaten/ kota. Sebab, dalam membangun parpol tidak hanya dibangun infrastruktur politiknya, tetapi juga infrastruktur ekonominya.
292

Geliat Perlawanan Basis

Responss Pihak Luar


Sesudah inisiatif ini dibangun seperti ada ketakutan dari pemerintahan di Maluku, walaupun peluncuran lembaga ini dilakukan di kantor Gubernur, karena posisi kritis lembaga ini tetap dikedepankan dengan memberikan solusi. Dalam mengembangkan ekonomi kluster memang kurang mendapat dukungan dari pemerintah provinsi. Bahkan, ada lembaga pemerintah yang menghalangi pengembangan ekonomi kluster karena memang konsep ini bebas project fee. Selain itu ada kelompok akademisi yang tidak promasyarakat tetapi dekat dengan pemerintahan yang berhasil mengambil untung dari pengembangan konsep ini. Bahkan ada sebuah ormas yang membangun opini negatif di media massa, tetapi kemudian ditanggapi langsung oleh masyarakat yang melaksanakan program kluster ini. Secara positif saat ini banyak kalangan yang mulai terlibat dalam diskusi-diskusi kritis yang dibangun lembaga ini dalam menghadapi kasus-kasus tertentu. Lembaga ini kemudian melakukan berbagai inisiasi untuk ikut memfasilitasi proses perbaikan. Yang menjadi strategis, masyarakat memang merasa membutuhkan proses kolaborasi seperti ini, walaupun inisiatif seperti ini harus terus dibesarkan sehingga manfaatnya bisa dirasakan banyak kalangan.

Analisis Inisiatif
Pengembangan komoditas rumput laut dengan konsep kluster dalam skala industri berbasis sumber daya lokal tersedia adalah salah satu contoh solusi yang tidak hanya dibicarakan, tetapi dipraktikkan. Semua pihak yang terlibat dalam proses ini

293

Geliat Perlawanan Basis

dapat memahami seluruh konsep mulai dari alasan-alasan strategis sampai tahapan-tahapan yang harus dilakukan. Kekuatan konsep ini adalah pemahaman konsep seluruh peserta program dan juga dihubungkan dengan kearifan lokal, karena diperlukan penataan dan pengelolaan lingkungan oleh desa dalam bentuk perencanaan tata ruang desa. Pelaksanaan program ini juga didasarkan pada pola berkelanjutan yang mencegah terjadinya kerusakan lingkungan dalam jangka panjang. Setiap desa juga didorong membuat sistem kelola berdasarkan kearifan lokal dan ketersediaan sumber daya lokal. Selain itu dalam membuat perencanaan pembangunan belum didasarkan pada kapasitas sumber daya alam lokal, tidak didasarkan atas pengembangan dengan skala industri yang memiliki daya saing unggulan, dan tidak membuat prioritas capaian. Sebagai contoh, Pemerintah Daerah provinsi Maluku menyatakan akan mengembangkan dua program utama, yaitu pengembangan pesisir dan laut serta pengembangan rempahrempah, sehingga seluruh program dan kegiatan pembangunan yang dilakukan untuk mendukung kedua program utama. Dalam praktiknya, prioritas pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan belum terlihat konsisten, karena yang diprioritaskan adalah membangun tugu Gong Perdamaian dan Jembatan Merah Putih. Gong Perdamaian dibangun dengan dana miliaran rupiah dan diresmikan Presiden. Dalam konferensi pers menjelang diresmikan, Gubernur Maluku menyatakan tugu itu akan dapat menghasilkan pendapatan asli daerah dari karcis masuk dan pengambilan gambar oleh wisatawan. Sedangkan pembangunan Jembatan Merah Putih membutuhkan dana sekitar Rp 400 miliar.

294

Geliat Perlawanan Basis

Sebagai perbandingan, dana yang dibutuhkan untuk membangun trans Maluku yang akan menguhubungkan pulau-pulau di Maluku lewat darat dan laut adalah Rp 800 miliar lebih (presentasi Kepala Dinas PU pada pertemuan dengan DPD dan masyarakat di kantor Gubernur Maluku). Jembatan ini akan menghubungkan dua jazirah di Pulau Ambon, yang menurut penjelasan Kepala Dinas PU, satusatunya manfaat adalah mengurangi waktu tempuh dari Bandara Pattimura ke Kota Ambon dari 30 menit menjadi 15 menit. Kalau dianalisis dari sisi mana pun tidak ada hubungannya untuk memberikan dukungan kepada program utama Maluku. Dari contoh ini, maka dibutuhkan kerja kolaboratif yang dapat mengkritisi kinerja penyelenggara pembangunan di Maluku. Proses perlawanan ini secara strategis adalah upaya perbaikan yang dilakukan masyarakat. Bentuk perlawanan yang dilakukan lebih konstruktif, karena tidak didasarkan asal melontarkan kritik, tetapi juga memberikan solusi hasil analisis. Kerja kolaboratif adalah pilihan yang dapat dilakukan untuk dapat menyatukan berbagai potensi, sumber daya, pengalaman, keahlian, dan jaringan yang telah dibangun untuk mendorong penegakan kedaulatan rakyat. Secara strategis, pola kolaborasi dapat dijadikan sebagai model pembangunan ke depan, tetapi membangun konsistensinya adalah proses yang harus terus dijalankan dan ditemukan bangunan kerja samanya.

Rekomendasi
Dari berbagai elaborasi dan analisis yang diperkuat proses berbagi pengalaman, ada beberapa rekomendasi. 1. Pola kerja kolaboratif dengan melibatkan seluruh pihak adalah sebuah proses. Diperlukan proses membangun
295

Geliat Perlawanan Basis

pemahaman bersama dan mengembangkan konsep yang dapat diterima masyarakat. 2. Mengkritisi kerja penyelenggara pemerintahan daerah harus dilakukan dengan memberikan usulan konstruktif dalam pengembangan konsep dan hasil analisis bersama. 3. Penyelenggara pemerintahan harus memiliki arah strategis pembangunan sesuai dengan karakteristik wilayah dan ketersediaan sumber daya lokal. 4. Pengembangan konsep pembangunan berdaya saing unggulan yang didasarkan atas karakteristik wilayah dan ketersediaan sumber daya lokal, termasuk kearifan lokal, menjadikan masyarakat sebagai pelaku yang memahami konsep program.

296

GRP HAM Sulawesi Utara dan Spirit Korban 65


Simpul Sulawesi Utara FBB Prakarsa Rakyat 1

ecara prosedural, Sulawesi Utara boleh dibilang daerah yang demokratis, namun praktik politik sehari-hari masih cukup jauh dari substansi demokrasi. Belum ada kesesuaian antara kebijakan yang diputuskan penjabat publik dan kehendak rakyat. Penghormatan terhadap hak-hak rakyat sangat minim. Pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah tidak serta-merta membuat mereka yang terpilih secara demokratis mampu mengambil kebijakan yang memihak rakyat. Bahkan boleh dikatakan pelaksanaan demokrasi prosedural telah memperkuat legitimasi bagi politikus yang terpilih untuk melakukan berbagai tindakan korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

Tulisan dipersiapkan oleh Anton Miharjo, mantan Direktur YDRI periode 2006 2008 dan Ketua Badan Pengurus Kontras Sulawesi Periode 2009 2012.

297

Geliat Perlawanan Basis

Selama lima tahun terakhir kepentingan politik pragmatis dari elite politik masih sangat dominan, yang menyebabkan fungsifungsi pemerintah dalam melindungi kepentingan rakyat begitu terabaikan. Tarik-menarik kepentingan antara elite politik sekadar memperkuat basis ekonomi-politik menghadapi Pemilu 2009 ataupun Pemilihan Gubernur 2010. Misalnya Fraksi Partai Golkar di DPRD pada Agustus 2008 pada pembacaan laporan pertanggungjawaban (LPJ) tiba-tiba mempertanyakan program kerja Gubernur yang dianggap begitu memprioritaskan penyelenggaraan World Ocean Conference (WOC) dibanding program lainnya. Padahal, setahun sebelumnya Partai Golkar begitu antusias mendukung pelaksanaan WOC di Kota Manado. Atau misalnya ketika Gubernur menolak beroperasinya PT MSM yang berencana melakukan penambangan emas karena berpotensi merusak lingkungan, Partai Golkar justru mendukung beroperasinya perusahaan tersebut. Namun, konflik politik seperti ini berakhir begitu saja melalui kompromi politik antara elite politik. Kompromi politik pragmatis bukanlah tanpa imbalan. Sebab, kemudian elite parpol yang bercokol di DPRD mendapat kemudahan fasilitas. Berbagai keinginan pragmatis DPRD, mulai pergantian mobil dinas, pembagian dana THR setiap tahun, dana insentif komunikasi, sampai alokasi anggaran studi banding setiap tahunnya yang mencatat angka miliaran rupiah telah mewarnai dinamika politik Sulawesi Utara selama lima tahun terakhir.2 Ruang demokrasi yang tidak menguntungkan rakyat ini tidak lepas dari kegagapan kekuatan demokratik di Sulawesi Utara dalam merespons Pemilu 2004 dan pilkada. NGO/LSM, gerakan mahasiswa, dan gerakan civil society lainnya cenderung menjauhkan
2 Dana studi banding tahun 2007 menghabiskan anggaran 12 miliar dan tahun 2008 menghabiskan anggaran 7,306 miliar rupiah, Sekwan, Harian Komentar, 9 Januari 2008.

298

Geliat Perlawanan Basis

diri dari ranah politik dan hanya berkutat di unit-unit swadaya, advokasi, usaha-usaha pemberdayaan dan pengorganisasian masyarakat. Kondisi ini kemudian melahirkan jurang yang dalam antara persoalan hidup rakyat dan proses perpolitikan formal. Meski kemudian, dalam proses transisi demokrasi, Sulawesi Utara termasuk daerah yang aman dan daerah yang relatif sejahtera.3 Namun tidak berarti kasus-kasus pelanggaran hakhak rakyat terselesaikan atau minimal negara telah memastikan melindungi kepentingan rakyat. Setidaknya dalam lima tahun terakhir kasus-kasus pelanggaran hak-hak rakyat masih mewarnai proses dinamika politik rakyat. Seperti kasus penggusuran 3.000an PKL di Kota Manado, konflik agraria (perebutan tanah dan sumber daya alam) terutama di Kabupaten Bolaang Mongondow, Minahasa, dan Sangihe Talaud dan kasus pertambangan berskala besar yang berpotensi merusak lingkungan dan mengabaikan kepentingan petani di wilayah sekitar tambang.4 Selain kasus-kasus pelanggaran hak rakyat yang terjadi pasca-reformasi, Sulawesi Utara menyisahkan kisah yang tak pernah tuntas, yaitu tragedi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa 1965. Kisah penyiksaan, penahanan, dan penghilangan secara paksa yang tersistematis dan mereka yang hidup adalah saksi-saksi atas peristiwa tersebut. Yosep Kalengkongan, salah satu korban 65 yang giat menelusuri fakta-fakta peristiwa pembantaian, memperkirakan 25.000 orang di Sulawesi Utara
3 4 Sulawesi Utara berada pada kategori 4 besar terbaik untuk Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2008. Saat ini ada 3 investor asing yang sudah masuk. Salah satunya mulai beroperasi di Bolmong yaitu PT. Avocet. Sementara PT Meiras Mining Soputan (PT MMS) dan PT Tambang Tondano Nusantara di Kabupaten Minahasa Utara, sudah pada tahap pembangunan konstruksi.

299

You might also like