Professional Documents
Culture Documents
Berulang-kali pemerintah mengeluarkan target bombastis, tetapi tidak satupun yang menjadi kenyataan. Kalaupun ada yang berubah, itu hanya angka-angka di atas kertas belaka. Tetapi fakta menunjukkan bahwa kehidupan rakyat makin susah, sedangkan lapangan kerja semakin menghilang. Salah satu target bombastis terbaru pemerintah datang dari Kementerian Sosial, bekerjasama dengan kementerian lainnya, adalah: Indonesia Bebas Anak Jalanan tahun 2011. Kedengarannya memang sangat indah, tetapi kita tidak tahu seperti apa pemerintah akan mencapai target tersebut. Persoalan anak jalanan di Indonesia berakar dalam relasi ekonomi-politik, yakni sebuah sistem ekonomi yang terus-menerus memproduksi kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan pendapatan. Kami sering menyebut sistim ekonomi tersebut dengan istilah neoliberalisme. Karena pemerintah gandrung menjalankan agenda neoliberal, maka setiap tahunnya ada ribuan anak-anak Indonesia yang terlempar ke jalanan. Di Jakarta, contohnya, peningkatan anak jalanan mencapai 50% setiap tahunnya. Menurut Komnas Perlindungan Anak, Jika pada 2008 jumlahnya sekitar 8.000 orang, maka pada 2009 jumlah mereka mencapai lebih dari 12.000 jiwa. Badan Pusat Statistik (BPS) mendata pada 2009 jumlah anak jalanan di seluruh Indonesia mencapai 230 ribu orang. Kalau musim PHK, bisa naik sampai 40 persen. Kalau ekonomi stabil, tumbuh 20 persen per tahun, ujar Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Anak DKI Jakarta, Sunarto, sebagaimana dikutip Kompas. Sementara itu, selama ini pemerintah masih menggunakan metode pendekatan represif untuk mengatasi persoalan ini, yaitu melakukan penggarukan dan menempatkan mereka di rumah singgah. Cara ini tidak menjawab persoalan, malah membawa dampak buruk pada psikologis anak. Bagi sebagian anak jalanan yang pernah ditangkap dan dititipkan di rumah singgah, pengalaman tersebut sama seperti orang yang dipenjara. Jadi, alih-alih rumah singgah bisa menyelamatkan anak jalanan, tempat tersebut justru dianggap layaknya Hotel Prodeo. Di sana kami diperlakukan secara sewenang-wenang. Kami dipekerjakan layaknya budak. Tidak hanya itu, siksaan demi siksaan juga harus kami hadapi setiap hari, kata Haris, anak jalanan yang pernah menghuni Hotel Prodeo di Kedoya, Jakarta Barat. Tidak mungkin membayangkan Indonesia tanpa anak jalanan, jika tidak menghentikan sistem ekonomi yang menyebabkan kemiskinan. Ini seperti berusaha menampung air dari tanggung yang jebol dengan menyiapkan ember. Jika ditelisik dari program Kemensos untuk mengurangi anak jalanan, maka solusi andalannya pun masih rumah singgah. Kami berharap bisa menambah jumlah rumah singgah dari 70 menjadi 100 unit yang akan berlokasi di beberapa wilayah di Indonesia khususnya yang menjadi lumbung anak jalanan, kata Mensos Salim Segaf Al Jufrie.
Jika demikian yang dimaksudkan pak Menteri, itu berarti anak jalanan itu bukannya dikurangi atau diselamatkan, melainkan dikirimkan ke kamp-kamp konsentrasi (baca: rumah singgah). Di jalanan memang akan bersih anak jalanan, tetapi rumah singgah seluruh Indonesia akan menjadi semacam kamp konsentrasi jaman Hitler. Kalaupun memberikan bantuan, sebagaimana yang diakui Mensos, yaitu telah memberi buku tabungan bagi 1200 anak untuk tahap pertama, maka program itu tidak akan bisa mengatasi persoalan jikalau program mendasarnya tidak terselesaikan. TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Saat ini baru 5.420 anak jalanan dari sekitar 8.000 anak jalanan di Jakarta yang mendapatkan Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) dengan total bantuan senilai Rp 11,4 miliar dari anggaran sejumlah lembaga seperti Kemensos, Dinas Sosial, ILO, dan Medco. "Dalam upayanya menuntaskan masalah anak jalanan di Indonesia, tahun ini Kemensos sudah memberikan buku tabungan kepada 3.849 anak," ungkap Menteri Sosial Dr. Salim Segaf Al-Jufri, M.A saat peluncuran Belanja Bareng Anak di Bekasi, Rabu (24/8/2011). Selain itu, Kemensos juga bekerjasama dengan Dinas Sosial dalam membantu pemberdayaan 766 keluarga anak jalanan dengan total bantuan senilai Rp 800 juta. Ia menyatakan Program BBA ini diharapkan dapat membantu pemenuhan kebutuhan anak seperti makanan, pakaian, dan peralatan sekolah. "Program ini juga bisa menjadi sarana silaturahmi, rekreasi/hiburan anak, serta sarana untuk mendidik dan mengarahkan mereka agar bisa mengambil keputusan secara mandiri dalam menentukan prioritas barang yang akan dibeli," ungkapnya. Sebagai tindak lanjut kegiatan hari ini, Kemensos akan mendata anak jalanan yang ikut serta guna dibina pada sejumlah rumah singgah mitra Kemensos untuk menampung anak jalanan," ungkapnya. Berdasarkan data Kemensos, saat ini terdapat 230 ribu anak jalanan di Indonesia, dan melalui program-programnya Kemensos berkomitmen membuat Indonesia bebas anak jalanan tiga tahun dari sekarang.
Akademi Rakyat, Sekolah gratis untuk anak jalanan dan kaum miskin..
Sementara Undang-undang Dasar 1945 mengharuskan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, pemerintah dengan kepala batu justru menyerahkan sektor pendidikan pada mekanisme pasar. Akibatnya, ada banyak sekali rakyat Indonesia yang dikeluarkan dari dunia pendidikan, salah satunya, adalah anak jalanan. Anak jalanan, yang telah tersingkirkan secara sosial, hampir tidak pernah mendapat perhatian sedikitpun dari pemerintah. Mereka ibarat perkataan yang mengatakan; antara ada dan
tiada. Ya, pada kenyataannya mereka eksis dalam kehidupan nyata, hadir di tengah-tengah kita, namun seolah-olah perhatian pemerintah menganggap mereka tidak ada. Anak-anak itu sering menjadi buruan satpol PP untuk ditangkap dan diperlakukan seperti binatang. Oleh kekuasaan resmi, mereka sering diberikan label sampah masyarakat, biang kriminalitas, dan lain sebagainya. Situasi itulah yang mendorong dua orang aktivis di Pekanbaru, yaitu Ady Adith Kuswanto dan Ratno Budi, untuk mendirikan Akademi Rakyat, sebuah sekolah yang diperuntukkan khusus untuk anak jalanan dan anak-anak keluarga miskin. Ini adalah sekolah yang diperuntukkan bagi kaum yang terpinggirkan, tegas Adith, yang juga merupakan pengurus Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Pekanbaru. Untuk merealisasikan tugas sangat mulia ini, keduanya lalu menghubungi seorang pengajar di Akademi Melayu Riau (AKMR). Sasaran pertama kami adalah anak-anak jalanan yang berada di persimpangan lampu merah. Namun usaha itu tidak berjalan dengan mudah, sebab ada kelompok-kelompok tertentu yang sengaja mengatur dan mengeksploitasi anak-anak ini. Disamping itu, anak-anak itu sangat sulit untuk dikumpulkan, apalagi untuk diarahkan untuk belajar. mereka terkesan enggan dengan sekolah. Sebab, di kepala mereka itu, sekolah adalah pemenjaraan bakat dan kreatifitas. Mereka itu juga terbentur dengan persoalan ekonomi juga. Mereka harus bekerja sepanjang hari untuk mengumpulkan receh, supaya bisa menyambung hidup untuk esok hari. Jadinya, mereka hampir tak punya waktu untuk ikut sekolah gratis ini. Namun, Adith dan kawan-kawannya tidak cepat patah arang, apalagi berfikir untuk menghentikan perjuangannya ini. Mereka pun mendirikan Kelompok Pengamen Jalanan (KPJ), yang menghimpun anak-anak jalanan dari berbagai sudut lampu merah di Pekanbaru. Dari tangan-tangan aktivis gerakan rakyat inilah berdiri Akademi Rakyat. Penggunaan kata akademi akan segera mengingatkan kita kepada filsuf Yunani paling terkemuka, Plato, yang mengutip nama pahlawan YunaniAcademus. Di akademi rakyat, seperti juga di akademi Plato, anak-anak peserta didik menjalankan proses pendidikan melalui dialog dan dilakukan pada waktu senggang Menurut Adith, anak-anak diberi kesempatan untuk menentukan waktu dan tempat belajar. Nanti pengajar akan mengunjungi sesuai jadwal yang sudah diputuskan. jadinya, akademi rakyat ini dilakukan secara nomaden (berpindah-pindah). Tergantung di mana anak-anak paling mudah untuk berkumpul, ungkapnya. Namun, berbeda dengan sekolah-sekolah umum atau sekolah alternatif lainnya, akademi rakyat ini lebih focus pada pemberian skill kepada anak-anak jalanan, seperti melukis, mematung, menari, dan bermain teater.
Ada juga pengetahuan sosial, seperti mengenai sejarah masyarakat, sejarah perjuangan bangsa, dan dasar-dasar filsafat. Intinya kami memberikan mereka pengetahuan yang membebaskan fikiran mereka dari kapitalisme, ujar Adith. Dengan memberikan pelajaran seperti ini, Adith dan kawan-kawan menyakini bahwa anakanak ini akan berguna secara sosial, lebih peka terhadap persoalan rakyat, dan karyakaryanya pun mencerminkan perjuangan rakyat. Disamping itu, anak-anak diharapkan punya skill dan bisa ditampilkan di jalanan, dan dengan begitu tidak lagi dianggap gembel. Untuk sekarang ini, Adith mengaku sudah berhasil mendirikan dua kelompok belajar (KPJ), yaitu KPJ MTQ (basis pengorganisiran SRMI) dan KPJ harapan raya. Untuk KPJ di kawasan MTQ, ada sekitar 40 anak jalanan yang sudah terkumpul dan rutin mengikuti akademi rakyat ini. Sementara KPJ harapan raya belum melaporkan jumlah anak-anak yang berpartisipasi. Adith mengakui, apa yang dicetuskan bersama kawan-kawannya ini masih bersifat awal sekali, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk terus melakukan penyesuaianpenyesuaian dengan kebutuhan praktis di lapangan. (Ulfa) TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Untuk mendukung aktivitas para anak jalanan yang mengenyam bangku pendidikan di sekolah-sekolah, Pemprov DKI memberikan bantuan berupa uang tunai sebesar Rp 1.095.000 kepada 364 anak jalanan dalam bentuk tabungan. Masing-masing anak jalanan akan mendapat uang tersebut agar mampu membeli berbagai perlengkapan sekolah mulai dari seragam sampai alat-alat tulis. Menurut Kepala Dinas Sosial DKI, Kian Kelana, ketiadaan biaya menjadi masalah tersendiri bagi anak jalanan untuk mengenyam pendidikan. Walaupun mendapat pendidikan gratis, berbagai persiapan harus dilakukan untuk mendukung aktivitas selama di bangku sekolah seperti penyediaan baju seragam dan peralatan sekolah lainnya. "Hal-hal seperti itu kan menguras kantong mereka juga. Karena itu melalui program Bantuan Pemenuhan Kebutuhan Dasar, kita berikan bantuan masing-masing sebesar Rp 1.095.000 kepada 364 anak jalanan dalam bentuk tabungan," ujar Kian, Senin (12/12/2011). Kian menuturkan tujuan pemberian bantuan tersebut dalam bentuk tabungan agar bantuan itu tidak dapat digunakan seenaknya oleh yang bersangkutan. Selain itu, pengawasan terhadap dana bantuan tersebut juga dibantu oleh Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) yang ada di tiap kecamatan. "Selain dari kami, pihak swasta juga memberikan bantuan yang sama kepada 180 anak jalanan lainnya," imbuhnya.
Penanganan Anak Jalanan Dipublikasikan oleh tira - Pada Jumat, 18 Maret 2011 Permasalahan Anak Jalanan Harus Diatasi dengan Banyak Strategi Oleh : Lestari W*)
Untuk mengatasi permasalahan anak jalanan, Kementerian Sosial akan memberikan bantuan modal usaha kepada 500 kepala keluarga ungkap Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kementerian Sosial, Rusli Wahid, usai pembukaan workshop bertema Strategi Percepatan Penanganan Anak Jalanan Melalui Intervensi Keluarga.
Untuk anak jalanannya kita biayai dengan Program Kesejahteraan Sosial Anak sedangkan untuk keluarganya kita berdayakan dengan pemberian modal usaha. Dengan begitu kita harapkan terjadi pengentasan pengurangan angka anak jalanan, terutama di Jakarta, ujar Rusli.
Rusli menjelaskan, modal usaha yang diberikan adalah sebesar Rp 1 juta untuk satu keluarga. Ada pun dana yang disediakan untuk program ini adalah sebesar Rp 500 juta. Program pemberdayaan keluarga bagi keluarga anak jalanan ini telah dilakukan sejak tahun 2009 dengan jumlah penerima sebanyak 300 orang. Dari 300 keluarga tersebut, sebanyak 200 anak sudah tidak lagi turun ke jalanan. Kami optimis program ini akan dapat membantu mencapai target Jakarta Bebas Anak Jalanan Tahun 2011. Pengentasan masalah anak jalanan tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah namun perlu peran serta masyarakat dan dunia usaha. Jadi, menurut kami target itu bukanlah sesuatu yang berat asal ada kerjasama dengan berbagai pihak, paparnya. Hal senada dikemukakan Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial, Toto Utomo, dalam kata sambutannya. Menurut Toto, masalah anak jalanan tidak akan dapat diselesaikan oleh Direktorat Perlindungan Anak atau pun oleh Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial seorang
diri. Bahkan seluruh jajaran dalam Kementerian Sosial pun tidak akan mampu menyelesaikannya. Permasalahan anak jalanan adalah permasalahan yang disebabkan oleh akumulasi permasalahan sosial yang ada. Tidak ada satu permasalahan sosial pun yang bisa diselesaikan dengan satu cara. Kita perlu duduk bersama-sama kembali untuk merumuskan strategi dan menemukan cara-cara lainnya dalam menangani masalah anak jalanan, tegas Toto. Pemerintah daerah, Toto menambahkn, adalah salah satu pihak yang bertanggungjawab untuk mengatasi permasalahan anak jalanan. Keterlibatan pemda, dalam pandangannya, merupakan kunci dalam penanganan masalah anak jalanan. Kita harus menyatukan pandangan dan persepsi dengan pemerintah daerah. Walau bukan berasal dari Jakarta, misalnya, anak jalanan yang ada di wilayah Jakarta adalah anak kita juga. Salah satu strategi yang akan dilakukan oleh Kementerian Sosial adalah dengan mereposisi fungsi balai-balai milik Kementerian Sosial. Balai akan kami fungsikan untuk melakukan koordinasi dengan dinas-dinas yang ada di wilayahnya, Toto menerangkan. Melalui workshop ini diharapkan terjalin sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam menjamin terpenuhinya hak-hak anak, tercipta paradigma bahwa pemberdayaan orang tua anak jalanan yang dilakukan oleh Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) tidak lagi pada tataran caritas namun lebih pada untuk mendorong pemberdayaan orang tua anak jalanan untuk membangun dirinya sendiri, dan tercipta kesamaan persepsi bahwa keluarga merupakan sosok penting dalam menentukan kualitas hidup anak. *) Tim Infocare
pernah melakukan hubungan seks bebas. Sering Berbenturan Ketika DKKS Banyumas diminta data anak jalanan, semua saling lempar. Kepala DKKS dr Khoirul Mufied menyuruh menemui Kasubdis Kesejahteraan Sosial, Dra Endang Pudjiorini yang juga menjadi Ketua Panitia Pembentukan Forum Peduli Anak. Namun Endang juga berupaya keras menghindar dengan menyuruh menemui Adhi Pramono, SH . Penggiat KSP Biyung Emban, Dimas Jayasrana mengatakan masalah data sering berbenturan dengan Pemkab Banyumas. Setiap data terbaru diberikan selalu dibantah. ''Kalau data yang kami peroleh di lapangan ada 80 anak jalanan. Pasti selalu dibantah hanya ada 30 anak, padahal Pemkab tidak pernah turun mendata,'' katanya. Dimas juga heran, baru sekarang Pemkab membentuk FPA, padahal permasalahan anak jalanan sudah sejak dulu ada. Seperti di terminal, perempatan Sri Ratu dan beberapa pemberhentian lampu. Menurut Dimas, perhatian Pemkab terhadap anak jalanan sangat rendah. Untuk membantu membuatkan akta kelahiran gratis saja sampai sekarang tidak terpenuhi. (ash-47)
Alokasi bantuan anggaran dana bagi mereka Rp 500.000 per santri/bulan. Dana tersebut terbilang mepet untuk semua kebutuhan santri. Karena itu, dalam pelaksanannya bekerja sama dengan dinas untuk urusan tenaga pendidiknya. Berdasarkan data Kemenag Surakarta, saat ini di Solo ada 27 ponpes. Sepuluh pondok di antaranya berstatus salafiyah yang hanya mengajarkan pelajaran agama dan satu ponpes berstatus modern. Pondok lainnya berstatus kombinasi yang mengajarkan pelajaran agama dan pendidikan formal. (han-75)
Open Dioalo Issue : Penanganan Anak Jalanan Tanggal: Rabu, 04 Mei 2011 Topik: Organisasi Hukum dan Humas
Persoalan Anak Jalanan dan Kemiskinan Harus Diselesaikan Berbarengan Oleh : Lestari W*)
Penyelesaian persoalan anak jalanan dan kemiskinan harus dilakukan secara bersama-sama. Sebab, faktor utama yang mendorong anak-anak turun ke jalanan adalah kemiskinan. Ada dua cara pandang terkait anak jalanan. Pertama, anak jalanan sebagai sebuah masalah dan kedua sebagai sebuah fenomena. Dalam pandangan Dirjen Rehabilitasi Sosial Kemensos, Makmur Sunusi, anak jalanan bukanlah sebuah masalah melainkan sebuah fenomena yang menunjukkan suatu gejala tertentu. Yang jadi masalah adalah apa yang ada di balik fenomena tersebut, apa penyebab utamanya? Dalam kasus anak jalanan, sebab utamanya adalah kemiskinan. Dari situ kemudian kita lihat berapa populasinya dan dari mana kantong-kantongnya. Jadi harus paralel antara mengurangi populasi kemiskinan dengan gejala yang terjadi. Sepanjang kemiskinan masih ada maka fenomena anak jalanan masih akan terus ada," papar Makmur ketika berbicara dalam acara bertajuk Open Dialog Issue/Debat Publik Dalam Rangka Publikasi dan Promosi Program Kesejahteraan Sosial Anak, di Jakarta, Selasa (3/5).
Lebih jauh Makmur mengatakan, tertutupnya akses masyarakat miskin ke sumber-sumber modal telah menyebabkan mereka mengambil jalan pintas dengan mengeksploitasi anak mereka sendiri. Karena itu yang harus dilakukan dalam menyelesaikan persoalan anak jalanan pertama-tama adalah bagaimana mengembalikan anak-anak yang sudah terlanjur turun ke jalan agar dapat bersekolah lagi dan memberdayakan orang tua mereka dengan memberi bantuan modal untuk usaha. Dari sini kami ingin agar selain ada Program Keluarga Harapan (PKH) juga ada PKH untuk anak. Sebab selama ini PKH langsung diberikan melalui jalur keluarga sedangkan anak-anak yang termasuk dalam kategori marjinal tidak mendapat bantuan. Inilah awal dari ide membuat Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA), terang Makmur. Makmur menjelaskan, untuk menangani anak jalanan pemerintah sudah menyediakan dana APBN untuk 4.500 anak jalanan. Sementara untuk mencapai target Jakarta Bebas Anak Jalanan Tahun 2011 Pemda DKI melalui APBD telah menganggarkan dana untuk 2.500 anak jalanan dari 8.000 anak jalanan yang ada di DKI Jakarta. Kami terus mencari metode yang sistematis untuk menangani anak jalanan. Dan itu tidak gampang karena harus melihat dari berbagai sisi. Ketika sudah mendapat design yang pas, harus dilihat lagi berapa jumlah populasi mereka dan bagaimana aksinya dengan dana yang ada. Sejauh ini sudah ada 320 perusahaan yang mau terlibat dalam penanganan anak jalanan
sehingga kami optimis target tahun 2011 Jakarta Bebas Anak Jalanan akan bisa tercapai, kata Makmur optimis. Jika nantinya terjadi penyimpangan dalam target tersebut, Makmur menambahkan, itu artinya anak-anak jalanan itu berasal dari luar Jakarta. Untuk mengatasinya harus dibuat blokade atas daerah-daerah yang menjadi daerah tempat anak-anak tersebut berasal. Caranya dengan menerapkan program yang sama di daerah itu dengan melibatkan pemerintah daerah.
Tidak Selalu Bisa Kembali Ke Sekolah Umar Sumardinata dari Rumah Singgah An Nur Muhiyam, Jakarta, yang turut menjadi pembicara dalam acara tersebut menyatakan, sejauh ini PKSA berhasil membuat anak-anak jalanan yang ditanganinya keluar dari jalanan. Dari 75 anak jalanan yang diasuhnya sebanyak 85 persen telah kembali ke keluarga mereka dan bisa bersekolah lagi. Jumlah anak jalanan yang masih dalam usia sekolah sudah jauh berkurang sekarang ini. Yang mengamen justru kebanyakan yang sudah berusia 18 tahun ke atas, yang sudah bukan anak-anak lagi, ujar Umar. Sementara itu Abdul Hakim dari International Labour Organization (ILO) mengatakan, fakta yang terjadi di lapangan seringkali tidak semudah yang dibayangkan, khususnya terkait usaha mengembalikan anak-anak jalanan ke sekolah. Nyatanya, banyak sekolah yang menolak menampung anak-anak jalanan di tempat mereka dengan alasan bukan berasal dari DKI Jakarta. Misalnya saja pada tahun 2009, dari 1.200 anak jalanan yang ditangani hanya 204 yang benar-benar bisa kembali ke sekolah lagi. Itu pun setelah diperjuangkan habis-habisan. Sebab 25 persen dari anak-anak tersebut bukan warga DKI Jakarta. PKSA merupakan program yang menarik, terlebih tujuannya adalah mengembalikan anak ke sekolah. Sayangnya institusi pendidikan yang menjadi rujukan tidak pernah siap, walaupun sudah ada MoU dengan Kementerian Pendidikan Nasional, tegas Hakim. Menanggapi hal tersebut Makmur menyatakan masalah anak jalanan yang tidak diterima di sekolah seharusnya tidak terjadi. Sebab, beberapa tahun lalu hal itu memang tidak menjadi masalah, terlebih ketika ada Biaya Operasional Sekolah (BOS) yang disediakan khusus untuk anak marjinal. "Jadi dulu ada dua BOS yakni di Kemensos, yang dananya berasal dari ADB, dan di Kemendiknas. Dana BOS di Kemensos dibuat untuk anak-anak termarjinalkan seperti anak jalanan. Namun, pada saat ADB pergi, dana BOS di Kemensos dihentikan. Akibatnya, anak jalanan kembali tidak terurus," tukasnya. *) Tim Info Care