You are on page 1of 14

MENCERMATI PERKEMBANGAN JKPP DAN PEMETAAN PARTISIPATIF

Oleh : RESTU GANDEN ACHMALIADI

TIDAK terasa telah hampir 10 tahun perjalanan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP). Lembaga yang didirikan pada Mei 1996 ini telah mencoba mengembangkan community mapping yang kemudian disebut pemetaan partisipatif dengan sekuat-kuatnya. Beberapa refleksi dan evaluasi telah dilakukan, baik oleh JKPP sendiri maupun beberapa penelitian. Tulisan ini akan mencoba mencermati perjalanan JKPP, dan menajamkan beberapa momentum penting selama perjalanan JKPP. Tentu saja pengamatan jalanan ini berdasarkan versi saya, yang tentu saja akan berbeda apabila yang menuliskannya orang lain.

Ganden, Sekretaris Nasional JKPP dari sejak berdiri tahun 1996 sampai 2003; saat ini sebagai Sekretaris Pelaksana Perkumpulan Kemala Jawa (PKJ)

ISU-ISU COMMUNITY BASE


Pada awal tahun 90-an, isu-isu yang berkaitan dengan community base dalam pengelolaan sumberdaya alam menjadi arus utama berbagai program-program yang diinisiasi lembaga-lembaga donor, LSM, akademisi, dan lainnya baik di tingkat nasional maupun internasional. Bahkan sampai saat ini pun isu-isu community base dalam kaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam tetap menjadi arus utama dalam kegiatan-kegiatan programatik LSM, penelitian, maupun program-program yang dirancang pemerintah. Community base natural resource management (CBNRM) dan community base forest management (CBFM) adalah dua contoh program-program dengan tekanan kuat pada community base yang diusung oleh berbagai lembaga donor internasional. Untuk konteks Indonesia, CBNRM diterjemahkan menjadi pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat (PSDABM). Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) ide awalnya digagas oleh beberapa LSM adalah padanan dari CBFM, meskipun dalam perkembangannya menjadi sangat khas Indonesia. Pemetaan partisipatif (PP) atau pemetaan berbasis masyarakat tumbuh dan berkembang luas, secara langsung maupun tidak langsung, berkaitan erat dengan maraknya isu-isu community base di Indonesia sejak awal 90-an. Pada awalnya metode-metode pemetaan dengan melibatkan masyarakat dikembangkan oleh lembaga-lembaga yang menggeluti isu-isu konservasi. Pada mulanya penggunaan metode ini hanya untuk kelengkapan proses ekstraksi data spasial yang lebih berperspektif persepsi masyarakat; yang mengambil manfaat utama informasi spasial itu tentunya adalah lembaga-lembaga yang mengekstraksi informasi spasial dari masyarakat tersebut. Pada mulanya metode ini juga dimanfaatkan untuk mencitrakan bahwa program yang dilakukan oleh suatu lembaga telah berlangsung secara partisipatoris dengan pengambil manfaat utama adalah lembaga yang mengembangkan program. Metode PP kemudian berkembang, baik metodologi teknisnya maupun metodologi sosialnya. JKPP

JKPP mencoba menempatkan partisipasi masyarakat menjadi kunci dalam kegiatan PP. Dalam kegiatan PP masyarakat lah yang harus menjadi penyelenggara, penentu manfaat peta yang akan dibuat, penentu substansi pemetaan, pengontrol hasil, dan pelaku utama kegiatan

10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF

pengelolaan sumberdaya alam nusantara sangatlah luar biasa; tata cara pengelolaan, kearifan tradisional, teknologi tradisional, obat-obatan tradisional, kelembagaan ekonomi, plasma nuftah yang dikembangkan dan sebagainya. Sayangnya kekayaan community base tidak mendapat perhatian yang cukup; bahkan pemerintah terlalu terpukau dengan metodologi barat dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Padahal kekayaan community base nusantara bisa menjadi inspirasi utama dalam meluruskan pengelolaan sumberdaya alam nusantara yang saat ini carut marut menuju kehancuran. PP bisa menggambarkan detail modelmodel pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang sangat beraneka ragam; dan sekali lagi akan sangat membantu pemerintah dalam mengembangkan community base lebih lanjut atau menjadikannya acuan dalam program pembangunan.

sebagai tuan rumah. Workshop ini memberikan inspirasi yang kuat bagi para peserta dari Indonesia untuk mengembangkan community mapping lebih jauh. Di Amerika Latin dan Canada, community mapping telah berkembang cukup lama, dan prosesproses community mapping telah diakui negara sebagai bagian proses menuju pengakuan tenurial wilayah masyarakat adat. Filipina telah memiliki perundangan yang jelas bagaimana prosedur menggunakan community mapping untuk pengakuan wilayah masyarakat adat. Sangatlah jelas bahwa community mapping di Indonesia sangat ketinggalan dibandingkan pengalaman negara lain. Setelah workshop, para peserta dari Indonesia sempat berkumpul bersama dan secara singkat bertukar pikiran tentang perkembangan community mapping di Indonesia. Kemudian disepakati bahwa pada bulan Mei 1996 akan diselenggarakan workshop tentang community mapping dengan mengundang berbagai lembaga yang mulai mengembangkan community mapping di Indonesia. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) terbentuk pada workshop (Mei 1996) di Cigadog-Bogor. Selama hampir 10 tahun perjalanannya telah cukup panjang perkembangan community mapping di Indonesia baik metodologi, paradigma, perluasan, maupun organisasi.

lembaganya bisa merupakan bagian dari suatu riset atau merupakan kegiatan tersendiri sehingga informasi spasial yang diinginkan mencitrakan pendapat masyarakat. Karena pengumpulan informasi spasial suatu topik tertentu menjadi tujuan utamanya maka proses-proses partisipasi menjadi lebih dikesampingkan. Proses-proses ekstraksi informasi spasial dari masyarakat dilakukan sesuai dengan topik informasi spasial yang diinginkan, sesuai dengan rencana kerja dan metode yang disiapkan lembaga penyelenggara. Sangatlah jelas bahwa lembaga penyelenggaralah yang akan mendapatkan manfaat dari informasi spasial yang dikumpulkan dengan menggunakan metode PP; adapun masyarakat hanya obyek yang dimintai keterangan atau justru menjadi porter dalam proses di lapangan. Pada pertengahan 1990-an ketika isu tentang pemetaan yang melibatkan masyarakat mulai berkembang beberapa lembaga besar mencoba mengadopsi metode PP dalam proyek-proyeknya. Ciri-ciri proyekproyek tersebut; biasanya bekerja pada suatu wilayah yang luas, bertujuan mengkombinasikan antara isu konservasi dan partisipasi masyarakat, serta cukup ambisius untuk mencapai kondisi pengelolaan sumberdaya alam yang ideal untuk suatu kawasan. Pada prakteknya proyek-proyek model ini tidak berhasil menjadikan masyarakat sebagai subyek kegiatan atau gagal mengajak masyarakat berpartisipasi penuh dalam proyek-proyeknya. Pada akhirnya hampir sama dengan metode di atas masyarakat hanya menjadi porter saja, atau setengah hati terlibat dalam proyek-proyeknya. Beberapa kemungkinan penyebab kekurangberhasilan proyek-proyek tersebut: perencanaan proyek dilakukan tanpa melibatkan

WORKSHOP COMMUNITY MAPPING DI FILIPINA DAN PEMBENTUKAN JKPP


Sampai dengan tahun 1995-an para pengembang pemetaan yang melibatkan masyarakat praktis masih berjalan sendiri-sendiri. Masingmasing mencoba mengembangkan metode yang disesuaikan dengan kebutuhannya masing-masing. Taraf pengembangan metodenya pun masih dalam rangka uji coba dan terus berubah. Pada Oktober 1995, PAFID (sebuah LSM yang berkedudukan di Filipina) menyelenggarakan sebuah workshop dengan tema perkembangan community mapping di berbagai belahan dunia. Peserta-peserta dari berbagai negara yang diundang dalam workshop tersebut: Indonesia, Panama, Kanada, US, Malaysia, dan Filipina

PERJALANAN PARADIGMA
Pada awalnya, kegiatan pemetaan yang melibatkan masyarakat tarafnya baru uji coba, sehingga terdapat banyak ragam cara dan paradigma yang menyertainya. Ada lembaga yang menggunakan metode PP hanya untuk melengkapi informasi spasial dari suatu wilayah yang dikumpulkan

10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF

mendukung gerakan PP, karena PP akan memperkaya informasi yang dimiliki pemerintah tentang detail kondisi bentang alam dan sosial daerah-daerah perdesaan menurut versi masyarakat; yang selama ini menjadi kelemahan utama data-data pemerintah.

digunakan dalam PP. Penggunaan metode biasanya tergantung pada luas wilayah yang akan dipetakan, biaya yang dipunyai, presisi yang diinginkan, serta kemampuan teknis lembaga masing-masing. Yang paling penting adalah bahwa proses PP tetap memelihara Kode Etik JKPP, di mana masyarakat adalah penentu dan penyelenggara PP. Para fasilitator PP tentunya harus selalu meningkatkan kemampuannya, baik dalam hal tehnik pemetaan, proses sosial, maupun kemampuan memanfaatkan peta yang telah dibuat untuk kepentingan kampung.

menopang kehidupan dan merusak berbagai kearifan komunitas yang telah beradaptasi selama ratusan tahun. Mampukah komunitaskomunitas marjinal ini bertahan ? Kedua, perubahan-perubahan kebijakan yang lebih berpihak kepada komunitas marjinal tidak kunjung datang meskipun Reformasi telah terjadi pada tahun 1998. Kita bisa melihat di sekitar kita bahwa Reformasi tidak banyak membuat perubahan. KKN menjadi lebih canggih dan rumit. Lapisan-lapisan birokrasi bagaikan tembok tebal yang tidak tertembus, meskipun berbagai aksi dan berbagai bentuk desakan sangat kuat mengharapkan perubahan total birokrasi; bertele-telenya birokrasi membuat berbagai pihak kelelahan dalam mendukung Reformasi. Kasus-kasus yang berkaitan dengan sumberdaya alam (konflik tanah, kebakaran hutan, pencemaran lingkungan, ilegal logging, dan lain lain) menjadi kabur tindak lanjutnya karena KKN dan kerumitan birokrasi. Beberapa perubahan peraturan tentang sumberdaya alam telah dibuat, tetapi substansinya hampir sama dengan sebelumnya atau seringkali lebih buruk. Sulitnya perubahan kebijakan ini menyebabkan kita semua kelelahan dalam mengupayakan perubahan kebijakan. Mampukah PP tetap konsisten dengan perannya di tengah kejenuhan mencari perbaikan kebijakan? Ketiga, sangat penting bagi para pengembang PP untuk selalu meningkatkan kemampuan membuat peta menjadi lebih komunikatif dan menggunakan PP dengan metode yang bervariasi. Meskipun hampir semua teknik pemetaan bisa dipergunakan, tetapi para fasilitator PP, pada saat ini, sebagian besar menggunakan metode survey kompas dan GPS. Metodemetode pemetaan lain sangat baik apabila dipelajari dan dipraktekkan sehingga penggunaan metode

PERJALANAN METODE PP
Telah dikemukakan di atas bahwa pada awalnya pemetaan dengan melibatkan masyarakat dilakukan dalam bentuk berbagai uji coba. Metode awalnya pun juga bervariasi sesuai dengan tujuan dan latar belakang masing-masing. Ada beberapa latar belakang yang mendasari penggunaan metode ini : a) ketidakpuasan penggunaan metode peta sketsa dan metode transek dalam participatory rural appraisal (PRA), karena peta sketsa dan transek tidak menggambarkan detail pemanfaatan lahan di kampung, serta terlalu mudah melakukannya; b) ketidakpuasan penggunaan metode penelitian dan survey konvensional yang hanya memanfaatkan orang kampung sebagai obyek; c) ketidakpuasan penggunaan metode pemetaan konvensional yang seringkali tidak mencantumkan/ menghilangkan kekayaan pengetahuan keruangan masyarakat; d) perlunya peta tertulis untuk menunjukkan klaim masyarakat terhadap suatu wilayah dalam prosesproses advokasi sumberdaya alam. Beberapa metode PP yang dipergunakan antara lain : a) metode peta sketsa; b) metode pemetaan dengan berdasarkan hasil survey (kompas, GPS); c) penggunaan GIS; d) metode pemetaan dengan alat bantu penginderaan jarak jauh (citra satelit, peta radar, citra IKONOS); e) metode peta 3 dimensi. Teknik-teknik survey dan pemetaan pada umumnya bisa

PEMETAAN PARTISIPATIF: TANTANGAN KE DEPAN


JKPP pada masa mendatang akan menghadapi tantangan yang tidak ringan. PP sebagai aliran utama yang dikukuhi oleh JKPP akan menghadapi banyak ujian, baik di dalam pasang surutnya konsistensi para anggota JKPP terhadap PP maupun pengaruhpengaruh eksternal di luar JKPP. Berikut ini beberapa tantangan yang sangat mungkin dihadapi JKPP. Pertama, PP sebagai metode yang mendukung komunitas-komunitas marjinal secara idiologis terpaksa berhadap-hadapan dengan arus dominan kapital yang hampir-hampir tiada lawannya saat ini. Arus kapitalisme termasuk di Indonesia seakan-akan bagai gelombang raksasa yang tidak terlawan. Kapitalisme, yang dikontrol dari pusat-pusat industri besar dunia, berkemauan menjadikan seluruh dunia ini menjadi bumi industri yang tentunya juga akan mengindustrikan atau menggerus berbagai wilayah hidup komunitas-komunitas marjinal. Jelaslah industrialisasi dan aliran modal yang tidak terkontrol akan menghancurkan daya dukung alam

10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF

MENATA RUANG, MEMBANGUN KESEPAHAMAN


OLEH : RAKHMAT HIDAYAT (WARSI-JAMBI)

Peta penggunaan tanah masyarakat Desa Batu Kerbau setelah proses digitasi (Dok. WARSI)

MENOLEH KEBELAKANG

Hal yang sangat penting dibangun adalah mempertahankan kawasan hutan yang tersisa sebagai gantungan hidup masyarakat, dengan jalan mempengaruhi kebijakan agar tidak mengkonversi kawasan dengan jalan mempengaruhi penyusunan tataruang daerah

Hari baru saja hujan, kendati tidak terlalu lebat. Jalan tanah yang dilalui bagaikan kain basah yang kusut dan licin. Harus ekstra hati-hati untuk mengemudikan kendaraan roda dua, salah perhitungan sedikit pasti akan tersungkur dijalan berlumpur. Telah berkali-kali roda kendaraan berhenti berputar, karena telah penuh dengan tanah liat yang kuning kemerahan, sehingga harus dicungkil untuk bisa jalan kembali. Hanya Elang Hitam (Ictinaetus malayenis) sesekali berputar dan berteriak disela kerimbunan kawasan hutan. Jatuh terguling, bukan sesuatu yang asing. Namun sudah merupakan makanan rutin dalam perjalanan menuju kampung-kampung dihulu sungai, baik desa Batu Kerbau, Batang Kibul ataupun Lubuk Bedorong. Letih dan ngilu pada lutut dan siku seakan tidak berarti ketika puncak bubungan rumah dikampung sudah terlihat dari atas bukit. Terhampar dihadapan mata pemandangan indah bagai lukisan para maestro. Pucuk-pucuk enau dan beringin seolah berebut memanah matahari, kemudian menariknya perlahan hingga rata dengan bebatuan. Semburat merah kian pias, meluntur dalam rendaman lubuk yang berjajar sepanjang jalan. Sementara itu anak-anak kecil dengan riang berloncatan dari sulur beringin diiringi kecipratan air lubuk larangan, teriakan dan gelak tawa, sedangkan ibu mereka asyik mebersihkan dulang yang dipakai mencari emas sejak tengah hari tadi. Para pria dengan penuh konsentrasi memperhatikan bandul pancing yang bergoyang dipermainkan ikan diluar lubuk larangan, dan keceprak.... seekor ikan semah sebesar pangkal lengan menggelepar. Masyarakat adat yang hidup dihulu-hulu sungai telah memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan dan hewan untuk keperluan akan pemenuhan kebutuhan pangan,

10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF

berkelanjutandan berkeadilan serta memperoleh pengakuan, perlindungan dan dukungan kebijakan. Untuk itu masyarakat yang telah turun temurun hidup disekitar dan didalam hutan harus diberi kesempatan untuk membuktikan kemampuannya didalam mengelola sumberdaya alam agar berdampak nyata terhadap kesejahteraan rakyat yang berkelanjutan, khususnya untuk a) mengembangkan sistim pengelolaan hutan sesuai dengan pengetahuan lokal, praktek-praktek, tradisi, institusi dan teknologi yang dimiliknya, b) melakukan pemantauan, pengawasan dan perlindungan atas kegiatankegiatan pengelolaan sumberdaya hutan serta dampak yang ditimbulkannya, c) meningkatkan kemampuan dalam penyampaian informasi yang diperlukan untuk perlindungan dan pengamanan sumberdaya hutan dan d) membangun sistim nilai, norma dan kelembagaan yang mengarah pada prinsip pengelolaan hutan yang adil dan demokratis. Sejak tahun 1995 WARSI secara berkala menganyam kesepahaman dan kemitraan bersama masyarakat didalam memutus kesewenangan penguasa dan pengusaha yang terus mengeksploitasi sumberdaya alam mereka. Ancaman dan intimidasi menjadi hal yang biasa, bahkan pengalaman Datuk Rasyid salah seorang tokoh Adat di desa Batu Kerbau bisa menjadi contoh. Kayu jelutung yang baru disadap sore kemarin, pagi harinya telah ditumbang (istilah lokal untuki ditebang) perusahaan, ketika diprotes mereka mengancam akan menggusur desa, sebab masuk dalam peta konsesi. Diskusi awal dengan masyarakat dilakukan untuk menemukenali pemahaman bersama, kesetiakawanan, kerelawanan dan

menguatkan militansi. Fase berikutnya melakukan survei-survei sederhana yang bertujuan untuk a) mengembangkan sistim pengelolaan hutan sesuai dengan pengetahuan lokal, praktek-praktek, tradisi, institusi dan teknologi yang dimiliknya, b) melakukan pemantauan, pengawasan dan perlindungan atas kegiatankegiatan pengelolaan sumberdaya hutan serta dampak yang ditimbulkannya, c) meningkatkan kemampuan dalam penyampaian informasi yang diperlukan untuk perlindungan dan pengamanan sumberdaya hutan dan d) membangun sistim nilai, norma dan kelembagaan yang mengarah pada prinsip pengelolaan hutan yang adil dan demokratis. Upaya refleksi bersama ternyata menghasilkan keteguhan sikap dan pengentalan militansi bahwa mereka bisa mengelola sumberdayanya sendiri, tanpa harus menjadikan kawasan itu HPH/HTI, sawit, Translok ataupun IPK. Pertemuan dusun dan desa diinisiasi untuk merancang strategi bersama menghadapi tekanan, hasilnya dikeluarkannya Surat Kepala Desa untuk membentuk kelompok pengelola sumberdaya alam Batu Kerbau, pemetaan partisipatif, piagam kesepakatan masyarakat dan pembagian peran didalam proses pengakuan. Secara teknis kegiatan yang dilaksanakan melalui periode tingkatan pelaksanaan sebagai berikut:a) pemetaan partisipatif terhadap kawasan yang akan diatur dan dikelola oleh masyarakat, b) penggalian aspirasi masyarakat, yaitu menghimpun ide-ide dari masyarakat mengenai definisi hutan adat mereka, kegunaan hutan adat, cara pengelolaan hutan adat dan sanksi-sanksi terhadap pelanggaran. Selain itu juga dihimpun aturan-aturan mengenai pengelolaan kawasan hutan yang telah ada (aturan

adat), c) penghimpunan aspirasi masyarakat, yaitu membuat kedalam bentuk piagam tentang pengelolaan hutan adat dari aspirasi-aspirasi dan aturan adat yang telah disepakati masyarakat dan d) advokasi kebijakan, yaitu mengupayakan adanya suatu SK Bupati yang mengukuhkan hutan adat dan adanya Perda yang mengatur pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat.

MENDORONG TATARUANG MIKROPERAN


Untuk merubah pandangan Pemerintah terhadap kemampuan masyarakat didalam pengelolaan ruang mikro, sudah waktunya dibangun wacana dan paradigma baru yang lebih berorientasi pada kesejahteraan masyarakat disekitar dan didalam hutan juga ekologi, dimana negara melibatkan dan memasukan dimensi pemahaman ruang mikro oleh masyarakat didalam kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan. Masyarakat adat dan lokal sebagai pemilik sumber daya alam diwilayahnya, memiliki pengetahuan dan informasi tentang potensi serta batas-batas wilayah kekuasaan mereka. Umumnya pengetahuan tersebut diperoleh secara lisan melalui cerita dari generasi sebelumnya. Pengakuan secara lisan yang berkembang ditengah mereka akhirnya berkembang menjadi kesepakatan yang dihargai oleh masyarakat disekitar dan terus berkembang. Masyarakat lain disekitar juga akan melakukan hal yang sama, sehingga masingmasing kelompok memiliki wilayah dengan batas-batas yang disepakati secara lisan, dengan memakai tanda alam, seperti sungai, bukit, ataupun bentuk lain dan kemudian menjadi batas yang dihormati. Perkembangannya kemudian

11

10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF

Proses klarifikasi peta partisipatif oleh masyarakat (Dok. WARSI)

keputusan penting didalam proses menuju pengakuan, baik terkait dengan aspirasi pemanfaatan ruang dan lahan menjadi hal yang paling mendasar dan tidak boleh tidak. Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten sebagai pihak pemegang dan pembuat kebijakan ditingkat makro harus merespon dan mengakomodasi kepentingan masyarakat. Selain itu peran peta yang dihasilkan dari proses pemetaan partisipatif dapat dipakai sebagai alat untuk mediasi dan fasilitasi dalam setiap penyelesaian batas dan pemanfataan ruang. Lembaga adat kecamatan dan kabupaten berperan sebagai sumber informasi dan memberikan masukan dan argumen dalam pemanfaatan ruang dan persoalan batas berdasarkan nilai-nilai dan ketentuan yang berlaku secara turun temurun. Tataruang Mikro sebagai wujud dari implementasi peran serta masyarakat didalam pengelolaan sumberdaya hutan bukanlah sesuatu yang mengada-ada, namun merupakan

upaya yang dilindungi oleh berbagai payung hukum di republik ini. Beberapa payung hukum terkait dengan hal itu adalah UUD 1945, Amandemen ke-2, pasal 28F, yang berbunyi setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi. Kemudian UU No 28 Tahun1999 tentang Penyelengaraan Negara Bebas KKN, dimana masyarakat berhak untuk mencari, memperoleh dan memberikan informasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintah, dan berhak untuk menyampaikan pendapat dan masukan terhadap kebijakan penyelenggaraan pemerintah, ditambah dengan Peraturan Pemerintah No. 96 Tahun 1996 tentang Peran Serta Masyarakat didalam Penataan Ruang dan Permendagri No. 5 Tahun1998 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang Propinsi dan Kabupaten/Kota. Sebenarnya tataruang bukanlah sesuatu yang baru bagi masyarakat,

jauh sebelum negara ini berdiri mereka sudah mempunyai konsepkonsep pengelolaan ruang. Beberapa warisan pemikiran yang bijak senantiasa diturunkan oleh para tetua adat, Ninik mamak dan lainnya lewat petatah-petitih adat yang berbunyi Nan lereang ditanam tabu, nan gurun buek ka parak, nan bancah jadikan sawah, nan munggu ka pandam pakuburan, nan gauang ka tabe ikan, nan lambah kubangan kabau, dan nan padek ka parumahan (dalam bahasa Indonesia berarti yang lereng ditanami tebu, yang datar dibuat ladang, yang berlumpur di buat sawah,yang kering dibuat pekuburan, yang berair dibuat kolam ikan, yang dilembag untuk kubangan kerbau dan yang kersa untuk pemukiman). Gambaran tersebut merupakan bukti kalau secara tradisional masyarakat adat dan lokal secara luar biasa telah mampu membuat perencanaan ruang (tataruang mikro) yang berbasis pada potensi lokal. Ungkapan tersebut menggambarkan adanya keterkaitan antara pemanfaatan lahan dengan peruntukannya baik secara estetika,

13

10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF

Apa harapan Anda dan PLASMA saat JKPP berdiri? Setelah beberapa tahun melaksanakan program PP, kami menyadari bahwa kegiatan pemetaan oleh Ornop sudah terjadi di banyak tempat. Dampak pemetaan yang dilakukan mulai terasa di tingkat lokal, tetapi kami membutuhkan lembaga yang bisa mempengaruhi kebijakan penataan ruang di tingkat nasional. Untuk itulah saat para peserta lokakarya pemetaan partisipatif di Bogor pada pertengahan tahun 1996 seluruh peserta sepakat untuk mendirikan JKPP. PLASMA menjadi salah satu anggota pertama jaringan ini. Setelah JKPP berdiri kami berharap bahwa jaringan ini bisa mengembangkan metodologi PP dan memperluas gerakan PP di Indonesia. Saat itu beberapa Ornop yang memiliki program pemetaan yang sangat baik seperti PPSDAK, tetapi banyak juga yang baru mau belajar tentang pemetaan. Disamping itu juga, kami merasakan sebuah kebutuhan untuk mengembangkan PP sebagai sebuah proses politik. Kami berharap sebuah koalisi seperti JKPP bisa memobilisasi menjadi sebuah proses yang lebih politis. Pemetaan sangat politik karena berbicara mengenai tanah, teritori dan sumberdaya alam. Menurut Anda bagaimana perkembangan JKPP selama selama ini? Saya melihat bahwa pada tiga/empat tahun pertama JKPP mampu mendorong perkembangan gerakan pemetaan dengan cepat, terutama dalam menyebarkan metodologi pemetaan. Namun sejak

inisiatif ini, namun kerjasama atau pengembangan PP lebih merupakan inisiatif ornop ke ornop. Tidak ada dorongan lembaga-lembaga dana, meskipun saya pikir mereka cukup tertarik dengan prakarsa ini. Harus diakui pula pengembangan PP ini bisa berjalan karena dukungan mereka, tetapi secara politik inisiatif ini merupakan murni gagasan para ornop dan komunitas masyarakat adat. Bagaimana pengaruh pemetaan di Kayan Mentarang yang mulai pada tahun 1992 terhadap program PP di PLASMA? Tidak ada pengaruh langsung. Kami mendengar kegiatan pemetaan di Kayan Mentarang dari staf WWF, terutama Martua Sirait. Tapi kami mengembangkan sendiri metode pemetaan. Berbeda dengan PPSDAK yang lebih menekankan pada percepatan proses pemetaan tanah adat, kami lebih menekankan pada pemetaan sebagai bagian dari pengorganisasian, mobilisasi dan perencanaan kampung. Dalam pemetaan kami mengajak penduduk kampung untuk mendiskusikan visi mereka tentang masa depan kampung mereka, memprediksi ancaman-ancaman serta mengantisipasinya.

tahun 2000 dampak PP terasa berkurang. Tampaknya hal ini sangat dipengaruhi oleh perubahan politik saat itu dimana prioritas-prioritas bisa saja berubah, atau kita kurang cepat melihat peluangpeluang baru. Dengan demikian JKPP harus meredefinisi gerakannya dengan mengembangkan pendekatan-pendekatan baru untuk menanggapi keadaan sosial politik yang berbeda. Bila dulu JKPP bermain pada tingkat kampung, sudah saatnya jaringan ini main pada skala yang lebih besar, misalnya pada proses pembuatan RTRW Provinsi dan nasional, utamanya dimana kekuatan korporasi multinasional saat ini telah semakin kuat di era globalisasi ekonomi saat ini. Teknologi yang ada sekarang sangat memungkin intervensi demikian. Apa penilaian Anda tentang JKPP sebagai sebuah gerakan sosial? Saya pikir selama ini JKPP berhasil melakukan kampanye tentang adanya PP, tetapi jaringan ini belum mengembangkan dirinya sebagai sebuah gerakan yang masif dan belum menempatkan dirinya dalam gerakan sosial yang lebih luas. JKPP perlu juga lebih banyak bermain dalam advokasi kebijakan dan membuka ruang-ruang politik dimana proses pemetaan kampung bisa menjadi lebih efektif untuk mengklaim tanah, teritori dan sumberdaya rakyat. Dengan makin kuatnya kekuasaan korporasi multinasional yang menjadi pemain utama dalam globalisasi, JKPP dituntut untuk lebih kreatif dalam mengembangkan gerakan PP. Apalagi sasaran perusahaan-perusahaan tersebut adalah tanah-tanah rakyat. Dengan demikian JKPP memiliki peran sentral dalam upaya perlindungan tanah-tanah tersebut. Dalam upaya tersebut JKPP perlu mengembangkan kerjasama dengan berbagai jaringan lain seperti KPSHK, KPA, Jatam, WALHI, dll. ***

15

10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF

di atas kertas untuk pertama kalinya, tetapi juga dengan membuat gambaran visual tentang bagaimana mereka mengelola sumberdaya alamnya. Karena bentuknya yang visual, - peta memiliki potensi untuk menjadi sebuah bahasa pengantar yang bisa dimengerti baikoleh pejabat pemerintah maupun para penduduk desa. Potensi peta sebagai bahasa pengantar dapat terwujud hanya bila ada kemauan kedua belah pihak untuk menggunakan bahasa tersebut, untuk berkomunikasi, untuk mendengarkan dan untuk memahami bersama. Kemauan untuk berdialog adalah kuncinya. Untuk penduduk desa kemauan untuk berkomunikasi dengan pemerintah meningkat ketika mereka terorganisir lebih baik dan memiliki kepercayaan pada juru bicara mereka. Untuk para pejabat pemerintah kemauan timbul melalui pendidikan dan pemupukan kesadaran, yang mengembangkan wawasan yang lebih luas tentang aspek-aspek sosial, lingkungan dan ekonomi dari putusan kebijakan pemerintah dan penghargaan terhadap keadaan dari masyarakat pedesaan. Maka, agar dapat digunakan sebagai alat yang efektif untuk meraih/ mendapatkan pengakuan terhadap hak atas tanah dan penyelesaian sengketa tanah, peta perlu digunakan dalam konteks sebagai sebuah proses pendidikan dan pengembangan kepercayaan.

PENGALAMAN DARI FIRST NATIONS, CANADA


Mengapa penekanan pada pemetaan berskala spasial? Ketika kami bekerja untuk mengembangkan dan mengajarkan metode-metode Pemetaan Partisipatif yang sesuai dengan konteks Indonesia, saya tentu saja terpengaruh oleh metode

Pemetaan Partisipatif di negara asal saya, Kanada. Masyarakat adat di Kanada, yang dikenal sebagai First Nations, mulai memetakan daerah jelajah dan daerah pemukiman (land use and occupancy) mereka pada tahun 1970. Mereka memiliki pendanaan yang cukup untuk mengerjakan pemetaan. Mereka sudah terorganisasi cukup baik dalam arti bahwa mereka lembaga-lembaga demokratis yang berfungsi pada tingkat komunitas dan suku. Artinya bahwa masyarakat dapat memilih dan melatih sebuah tim pemetaan, yang dipilih dari komunitas tersebut, dan yakin bahwa tim tersebut akan mewakili kepentingan dari seluruh komunitas. Hal itu juga berarti bahwa peta-peta yang dihasilkan akan diajukan kepada pemerintah oleh juru bicara , perunding, bahkan pengacara hukum yang dipilih masyarakat. Masyarakat adat Kanada tahu bahwa lahan yang sangat luas dan sumber daya yang sangat besar menjadi taruhan dalam perundingan mereka, dan perjuangan panjang akan hak atas tanah akan melibatkan pengadilan. Agar peta dapat dipakai dalam pemeriksaan hukum dan perundingan tingkat tinggi peta-peta tersebut harus memiliki skala, memakai metode standar, dan juga harus konsisten dan memiliki akurasi yang memadai untuk metode dan skala peta yang dipakai. Anggota-anggota JKPP pertama berharap bahwa peta-peta komunitas yang dibuat berskala akan mempunyai kredibilitas dan kepastian dalam pembahasan dan perundingan tentang hak atas tanah dan sengketa pemanfaatan lahan. Peta berskala memang meningkatkan kredibilitas, tetapi bukan tanpa masalah. Akibat sifat birokrasi Indonesia yang teknokratis, ada kecenderungan untuk memusatkan perhatian pada teknologi pemetaan dan perdebatan tentang akurasi dan keabsahan teknis peta. Inti penting dari dikusi ini menjadi hilang, yaitu

apakah masyarakat lokal mempunyai dasar untuk mengklaim penguasaan tanah dan sumber daya yang mereka kelola secara tradisional. Dialog memang akan lebih jelas bila memakai peta berskala dibandingkan dengan peta sketsa. Namun untuk menghindari keterpakuan pada akurasi teknologi peta, proses pendidikan jangka panjang tentang sistem-sistem pengelolaan sumber daya secara tradisional menjadi hal yang juga penting. Dengan melakukan sendiri pemetaan berskala para penduduk desa mendapatkan kepercayaan diri dan kredibilitas. Dalam banyak kesempatan para pejabat pemerintah Indonesia menunjukkan keterkejutan mereka setelah mengetahui bahwa masyarakat desa mampu melakukan survei lapangan dan membuat peta berskala. Pemetaan berskala berbasis masyarakat meningkatkan keahlian dan kemampuan anggota masyarakat dan menunjukkan kepada pemerintah bahwa masyarakat pun mampu mengelola sumber daya mereka sendiri dan berhubungan secara efektif dengan instansi pengelolaan lahan yang terkait. Dengan kata lain, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat lokal bisa mengelola sumber daya alam mereka secara tradisional dan menggunakan cara-cara modern dalam perencanaan, pemantauan dan dokumentasi. Tetapi sekali lagi, peta berskala bisa mendorong kredibilitas hanya bila ada masyarakat yang kohesif dan teroganisasi baik yang berdiri di belakang isi peta serta mengajukan diri untuk memaparkan peta-peta mereka. Pemetaan berskala memang adalah suatu kegiatan teknis, walaupun bisa diajarkan dengan cara sederhana. Saya telah melihat sejumlah penduduk desa yang hanya memiliki sedikit pendidikan formal merasa sangat puas setelah belajar pemetaan berskala

17

10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF

Rangkuman Diskusi

REFLEKSI GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF DI KALIMANTAN BARAT


OLEH : A. HADI PRAMONO komponen Pancur Kasih setelah kegagalan seorang kadernya dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Sekadau. Akibatnya nuansa politis terhadap kegiatan refleksi ini terasa kental yang justru menguntungkan di tengah lemahnya dampak politis dari gerakan PP. Lokakarya yang dipandu oleh Abdon Nababan dan Ita Natalia dimulai dengan sebuah diskusi panel untuk memberi gambaran tentang pengalaman-pengalaman beberapa lembaga dalam pendampingan masyarakat setelah pemetaan kampung berlangsung. Tiga panelis yang memaparkan pengalaman pelaksanaan PP di lembaga masingmasing.adalah John Bamba dari Institut Dayakologi (ID), Sem dari Yayasan Pupuk Tagua, dan Leo Teddy dari Yayasan Biodamar.

Para aktivis Kalimantan Barat melakukan refleksi gerakan pemetaan partisipatif (Dok. JKPP)

PEMETAAN partisipatif (PP) di Kalimantan Barat pertama kali dilakukan di Sidas Daya pada tahun 1994 dan berkembang makin pesat setelah pembentukan Pembinaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK) Pancur Kasih pada tahun 1995. Sampai dengan bulan Desember 2004 lembaga ini telah memetakan 263 kampung yang tersebar di sembilan kabupaten dengan luas cakupan 1.135.415,89 hektar atau 7,58% dari luas wilayah provinsi Kalimantan Barat. Setelah berjalan lebih dari sepuluh tahun PPSDAK merasakan bahwa program pemetaan partisipatif yang dilakukan selama ini belum memberi dampak politik yang signifikan terhadap pengurusan dan penguasaan sumber daya alam dan dalam beberapa kasus justru menimbulkan dampak-dampak yang tidak diinginkan di kampung-kampung yang telah dipetakan. Berangkat dari kesadaran tersebut, PPSDAK memutuskan untuk melakukan refleksi mendalam terhadap program yang dilakukan sampai saat ini. Refleksi yang berlangsung dalam bentuk lokakarya ini dilaksanakan di Aula Pengembangan Ekonomi Kerakyatan Pancur Kasih ini bertujuan untuk mengulas kegiatan pemetaan partisipatif di Kalimantan Barat, melihat kembali metodologi PP dalam konteks perubahan politik yang sedang berlangsung, menggali peluang dan harapan dalam mengembangkan PP sebagai upaya pemberdayaan rakyat secara menyeluruh dan berkelanjutan, membangun mekanisme kerja antar LSM dan lembaga lokal dalam pelaksanaan kegiatan PP, dan meningkatkan kapasitas staf PPSDAK dalam mengelola konflik di lapangan. Para peserta kebanyakan tetap bertahan selama tiga hari pertemuan dengan antusiasme tinggi walaupun acara berlangsung di akhir minggu. Antusiasme yang tinggi ini tampaknya muncul karena pertemuan ini adalah pertemuan pertama berbagai

BERIKUT ADALAH PEMAPARAN DARI PARA PANELIS;


John Bamba, salah satu inisiator gerakan PP di Kalbar, memulai pemaparannya dengan melakukan kilas balik atas gerakan PP di provinsi ini. Kekuatan peta ditemukan secara tak sengaja oleh sejumlah penggiat lingkungan dalam lingkaran WALHI. Mereka mendapati bahwa pada tahun 1990 masyarakat kampung Tering Lama di Kalimantan Timur berhasil mempertahankan kampung mereka dari caplokan sebuah perusahaan emas, PT. Kelian Equator Mining dengan menggunakan sebuah peta yang dibuat pada jaman Hindia Belanda. Pada tahun 1992 kegiatan PP

19

10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF

Sementara itu masyarakat adat memiliki sistem teritorialitas sendiri yang lebih cair (fleksibel atau tidak kaku) dan kompleks. Pada sebuah bidang tanah, misalnya, seringkali menggunakan batas batas alam bisa jadi ada beberapa pihak yang memiliki hak yang berbeda-beda atas tanah dan atau tumbuhan di atasnya. Untuk menyatakan teritorialitas dan klaimnya berbagai kelompok masyarakat adat memakai berbagai macam bentuk komunikasi seperti lagu, syair, lukisan, dan sebagainya. Dengan demikian ada perbedaan dan benturan filsafat serta nilai dalam memetakan suatu wilayah adat. Tantangannya adalah bagaimana mengubah teknologi pemetaan modern agar bisa merepresentasi kompleksitas penguasaan ruang di dalam masyarakat, atau bermain dalam teknologi yang ada tapi kompleksitas penguasaan tetap bisa berlangsung. Dengan kata lain, bagaimanakah para aktivis PP mengarusutamakan pengetahuan asli dalam PP? John Bamba juga mengulas dampakdampak dari tujuan eksternal. Pilihan untuk memetakan batas-batas kampung atau desa sebagai unit sosialpolitik menimbulkan pertanyaan. Di mana sebenarnya posisi PP terhadap tata kuasa kawasan negara? Dengan memetakan kampung/desa PP terjebak dengan wilayah administrasi pemerintahan, yang kemudian berakibat pada delegitimasi masyarakat adat dan negaraisasi sistimsistim adat. Kemudian dalam peta ada kolom tanda tangan pejabat pemerintah, tetapi pertanyaannya apakah perlu pemetaan memperoleh pengakuan dari negara?. Hal ini terjadi karena masyarakat sendiri sudah terkooptasi, sehingga persepsi dan keinginan bahwa peta harus mengikuti satuan administrasi pemerintah juga karena ada ketakutan atas sah atau tidaknya peta-peta yang dihasilkan. Namun tidak bisa dipungkiri hal

tersebut mungkin akibat persepsi yang keliru dari Ornop pendamping. Contoh kongkrit dari persoalan ini muncul dalam pemaparan Sam. Masyarakat Krio Bihak bingung dalam menentukan status hutan yang berada di luar cakupan batas-batas kampung yang mereka petakan. Apakah daerah itu masuk dalam kawasan masyarakat adat, atau wilayah negara atau bahkan wilayah tak bertuan? YPT pun, sebagai pendamping, tidak bisa menjawab persoalan ini yang tampaknya juga terperangkap dalam wacana yang dipakai negara. Ada beberapa persoalan metodologi yang muncul dalam lokakarya ini. Pertama, selama ini metode PP cenderung seragam tanpa mempedulikan perbedaan kondisi dan kebutuhan masyarakat yang wilayahnya dipetakan. Padahal, meminjam wacana manajemen, paling sedikit ada tiga tingkat kondisi masyarakat yang perlu diperhatikan: penyelamatan (damage control), pemulihan (recovery) dan investasi. Hal ini berarti metodologi tidak bisa seragam di semua tempat, tetapi harus memperhatikan berada pada tingkatan yang mana suatu masyarakat saat pemetaan akan dimulai. Persoalan lain adalah komitmen pendampingan oleh Ornop yang membantu pemetaan. Selama ini, jarang sekali Ornop yang memiliki kelanjutan dalam pengorganisasian masyarakat sesudah pemetaan. Ada kesan bahwa Ornop yang aktif dalam PP melakukan tabrak lari, sehingga sepertinya persoalan-persoalan yang muncul kemudian bukan lagi urusan mereka. Leo Teddy mengingatkan bahwa kelanjutan pendampingan atas masalah-masalah yang dihadapi perlu dipertahankan meski tidak lagi bekerja di wilayah yang telah dipetakan. Selanjutnya dalam diskusi sebagian peserta menilai bahwa sebagai sebuah gerakan sosial gaung gerakan PP masih

belum terasa di tingkat nasional. Kelemahan ini terjadi karena gerakan PP selama ini cenderung menekankan kepentingan ekonomi dan ekologi bila dilihat dari jenis-jenis peta yang dihasilkan, yaitu batas kampung dan tata guna lahan. Dengan demikian sampai saat ini gerakan PP masih berupa gerakan kultural yang bertujuan untuk mendidik masyarakat, tetapi belum mengembangkan komponen kedua dari gerakan sosial yaitu sebagai sebuah gerakan politik. Untuk sampai ke sana gerakan PP perlu memiliki perspektif ideologis dan politik yang kuat sebagai sebuah gerakan sosial. Namun bukan berarti kondisi saat ini salah, karena pilihan sebagai gerakan kultural tidak lepas dari sejarah gerakan. Saat gerakan PP dimulai persoalan penyelamatan wilayah masyarakat adat dan menahan kerusakan ekologis dari pencaplokan oleh negara dan kepentingan bisnis menjadi alasan utama pemetaan. Di masa depan PP harus dijadikan suatu gerakan politik masyarakat adat. Namun tantangannya adalah bagaimana membuka ruang hidup masyarakat adat dan memposisikan pekerjaan PP dalam ranah politik seperti sekarang ini. Berdasarkan pemaparan oleh para panelis dan diskusi di antara para peserta, Abdon Nababan selaku fasilitator mengajak para peserta untuk merefleksi pengalaman gerakan PP selama 10 tahun di KALBAR melalui tiga pertanyaan: 1. Apa yang seharusnya tidak kita lakukan di masa lalu? 2. Apa yang yang seharusnya kita lanjutkan dari masa lalu? 3. Apa upaya-upaya baru yang perlu kita lakukan memperkuat PP di masa depan? Peserta kemudian berdiskusi dalam dua kelompok dengan pertanyaan yang sama. Hasil diskusi tersebut adalah sebagai berikut:

21

10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF

sedangkan kelompok kedua mendiskusikan tujuan PP dalam memperkuat gerakan politik baik di kebijakan publik atau kekuasaan. Sebagai sebuah gerakan kultural tujuan PP di Kalbar adalah bahwa masyarakat adat mampu merebut, mempertahankan, memulihkan dan mengurus kawasan adat terutama tanah adat dan hutan adat. Sedangkan strategi yang ditawarkan adalah: 1. Mempertahankan PP sebagai alat pengorganisasian untuk melahirkan tindakan kolektif dalam mempertahankan tanah dan hutan adat. 2. Memulihkan PP sebagai alat perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dan evaluasi untuk memulihkan tanah adat dan hutan adat yang rusak. 3. Mengurus PP sebagai alat perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dalam mengurus tanah adat dan hutan secara efektif sesuai dengan pengetahuan lokal, inovatif, adil dan lestari. Sebagai sebuah gerakan politik tujuan PP di Kalbar adalah penghormatan dan perlindungan terhadap kawasan adat/lokal dan dikuasainya ruang politik oleh rakyat. Adapun strategi untuk mencapai kedua tujuan tersebut adalah: Strategi 1: PP sebagai alat untuk membangun basis massa/ konstituen politik Strategi 2: PP sebagai media untuk membentuk penggerak/penggiat politik dari rakyat Prinsip-prinsip Pemetaan Partisipatif: Musyawarah sebagai pengambil keputusan tertinggi dalam penggunaan peta. Inisiatif dan metode pemetaan dilakukan berdasarkan kebutuhan rakyat setempat.

Pemetaan dilakukan pada kawasan adat yang sudah diorganisir. PP mendorong partisipasi yang bermakna dari para anggota sebuah komunitas. Berdasarkan pengetahuan lokal. Ada tindak lanjut yang jelas setelah pemetaan (misalnya dalam bentuk keberlanjutan dan rencana tindak lanjut). Pemetaan harus dilakukan secara kontekstual. Informasi tentang batas luar klaim masyarakat terbuka untuk dipublikasikan ke pihak luar, sedangakan informasi untuk batas dalam harus melalui musyawarah kampung. Perubahan yang harus dilakukan dalam Metodologi adalah: Penelitian awal/studi kelayakan. Diskusi kritis dengan para anggota masyarakat tentang PP sebelum kegiatan pemetaan dilakukan. Perencanaan kawasan adat pascapemetaan oleh pendamping pemetaan partisipatif (PPPPendamping Pemetaan Partisipatif). PP (baik peta atau prosesnya) adalah alat untuk mencapai tujuan, bukan petanya yang justru menjadi tujuan. Tema peta disesuaikan dengan tujuan PP di masing-masing kampung. Prinsip-prinsip kerja bersama : Kesamaan tujuan (platform) dan metodologi dari para pihak/organorgan gerakan yang diikat dalam satu entitas. Fleksibelitas strategi dalam mencapai tujuan. Menciptakan relasi/konstituen/basis massa dan pekerja/aktivis

politik. Swadaya. Bagi peran dan mekanisme kerjasama: Pembagian peran dengan pendekatan teritorial Ada mekanisme monitoring, evaluasi dan komunikasi bersama Pembagian peran dalam pengelolaan isu dengan memperhatikan segmentasi Pembagian peran dalam pengelolaan logistik Pembagian peran dalam komunikasi politik Penguasaan isu di ruang-ruang publik Sedangkan rencana kegiatan tindak lanjut yang diusulkan kedua kelompok adalah: Lokakarya perumusan metodologi PP oleh PPSDAK Lokakarya pembuatan dan penyusunan modul oleh PPSDAK. Refleksi bagi para Community Mapper Peningkatan Kapasitas P3K (Pendamping Pemetaan Partisipatif Kampung) . Pembuatan modul PP sebagai sarana pengorganisasian politik konstituen massa kritis Penyusun Platform gerakan politik penataan ruang Training of Trainer (ToT) politik

23

10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF

RMI & PEMETAAN PARTISIPATIF


RMI The Indonesian Institute For Forest and Environment, sebuah lembaga non pemerintah yang mempunyai perhatian pada issu lingkungan dan kehutanan memulai pembelajaran lapang tentang pengelolaan sumberdaya hutan di kawasan ini pada akhir 1997. Kondisi di atas menjadi perhatian tersendiri RMI dalam mensikapi pengelolaan Kawasan Ekosistem Halimun. RMI memulai pembelajarannya dari Desa Malasari Bogor atau Kawasan Ekosistem Halimun sebelah timur. Dari daerah inilah RMI melihat ada ketimpangan struktur penguasaan lahan. Untuk memperjelas hal tersebut maka dilakukan pemetaan partisipatif pada tahun 1998 dimana memperlihatkan tata guna lahan yang tidak adil antara masyarakat dan pihak luar. Metode pemetaan partisipatif ini kemudian mengiringi hampir seluruh lokasi dampingan RMI di Kawasan Ekosistem Halimun, yaitu Desa Malasari, Desa Kiarasai, Kampung Nyungcung, Kampung Parigi (Kabupaten Bogor), Desa Sirnaresmi (Kabupaten Sukabumi), Desa Mekarsari, Kasepuhan Citorek, Kasepuhan Cibedug (Kabupaten Lebak). Pemetaan partisipatif juga merupakan alat pengorganisasian masyarakat dalam memperjelas dan memperjuangkan wilayah kelolanya, selain alat negosiasi. Tahapan yang dilalui RMI dalam pemetaan partisipatif adalah sebagai berikut : 1. Perkenalan (introduksi) gagasan pemetaan partisipatif Jauh sebelum melakukan pemetaan partisipatif langkah awal adalah adanya satu perkenalan (introduksi) gagasan pemetaan melalui obrolan kampung atau semacam diskusi informal. Obrolan-obrolan kampung ini

biasanya akan bermuara menjadi tema diskusi berikutnya dan cenderung dilakukan pada riungan kampung yang lebih resmi serta dibuatnya catatan penting yang menjadi kesepakatan komunal (tingkat kampung/desa/ wewengkon adat), bahkan dibeberapa tempat pada saat itu juga disusun tahapan kegiatan yang berhubungan dengan penelusuran ruang-ruang kelola warga sekaligus pembicaraan penggalangan dana melalui swadaya masyarakat 2. Penggalian informasi dasar Pencatatan informasi wilayah yang menyangkut aspek biofisik dan sosial ekonomi serta bentuk atau sistem pengelolaan sumber daya alam yang didasarkan pada kearifan lokal. Hal ini biasanya dilakukan melaui obrolan bahkan dilakukan juga melalui riungan kampung dan survei (transek) di lapangan sampai menghasilkan gambar sederhana berdasarkan pemahaman dan pengetahuan warga (sketsa). Di lain pihak RMI yang memfasilitasi proses pemetaan partisipatif melakukan pencarian informasi seperti peta dasar (Peta Topografi dan Peta lainnya dari Bakosurtanal) juga alat dan bahan yang nantinya relatif mudah dan sederhana digunakan oleh warga serta informasi-informasi lainnya yang relatif sukar diperoleh oleh warga termasuk kaitan kebijakan yang menyangkut pemetaan partisipatif 3. Pelatihan alat pemetaan Untuk mempermudah kegiatan pemetaan dalam menelusuri batasbatas dan ruang-ruang kelola warga maka dilakukan juga tahap pemahaman dan pelatihan alat. Pada tahap ini ada satu transformasi pengetahuan alat pemetaan, yang dilakukan oleh RMI sebagai fasilitator kepada warga yang berencana akan melakukan pemetaan. Pelatihan yang diberikan adalah pengenalan dan penggunaan alat pemetaan (GPS dan Kompas).

4. Pemetaan Partisipatif Perencanaan pelaksanaan pemetaan disusun bersama dengan membentuk tim pemetaan. Tim ini terdiri dari pemegang GPS, pemegang kompas, pencatat data, perintis jalan, penanda patok, dan logistik jika diperlukan menginap. Biasanya tim terdiri dari 6-9 orang, tetapi bisa juga banyak jika warga lain ingin berpartisipasi aktif dalam pelaksanaannya. Tim ini mengambil data di lapang sesuai perencanaan dan kebutuhan masyarakat akan peta yang akan dibuat. 5. Penggambaran Peta Penggambaran peta adalah proses mengalihkan catatan-catatan hasil penelusuran data di lapang menjadi sebuah gambar peta yang relatif proporsional/skalatis. Penggambaran ini memperhatikan skala yang akan dibuat dan menampilkan informasi penting dari lapang. Penggambaran dilakukan di tempat yang reprentatif di lokasi, tetapi sebagian besar dilakukan di RMI karena pertimbangan peralatan pendukung. 6. Sosialisasi dan Pengesahan Peta Sosialisasi dan Pengesahan Peta merupakan tahap untuk membuat kesepakatan atas peta yang telah dibuat. Sosialisasi peta adalah tahapan untuk menyampaikan hasil penggambaran yang telah dilakukan dengan harapan mendapat masukan dan koreksi atas peta yang telah dibuat. Masukan dan koreksi dapat diberikan untuk kemudian membuat revisi peta jika diperlukan. Pengesahan dilakukan jika masyarakat setuju atas informasi yang tercantum dalam peta, hal itu dapat dibuktikan dengan mencantumkan tanda-tangan atau cap jempol pada lembar pengesahan. Pihak-pihak yang biasanya membubuhkan tanda tangan atau cap jempolnya adalah tokoh masyarakat/ adat/pemerintah desa, pelaku pemetaan, masyarakat umum dan juga

25

10 TAHUN PEMETAAN PARTISIPATIF

menginformasikan perkembangan baik dari RMI kepada warga ataupun sebaliknya. Ketika pasca pemetaan dan pengesahan peta sudah dilakukan hal yang sering muncul ke permukaan adalah ketidaksabaran warga dan hanya memandang cukup dengan peta untuk melakukan negosiasi dengan para pihak, sehingga seperti yang sudah disebutkan diatas bahwa kepentingan peta hanya untuk keluar. Sedangkan upaya penguatan ke dalam (warga) sebelum melakukan negosiasi penting dilakukan, seperti wacana pemetaan partisipatif bisa di bicarakan kembali sehingga akan bisa dipahami oleh hampir semua warga. Dengan memainkan berbagi peran RMI sebagai fasilitator mencoba mencari berbagai informasi lainnya yang berkaitan dengan peluang kebijakan penataan ruang dan celah negosiasi dengan berbagai pihak, atau warga juga bisa memainkan strateginya ketika mempunyai akses dan peluang terhadap birokrasi.

EVALUASI DAN REFLEKSI PEMETAAN PERTISIPATIF : PROSES MENCARI STRATEGI BARU


Pemetaan partisipatif menjadi salah satu alat RMI bersama masyarakat dalam melakukan pembelajaran di Kawasan Ekosistem Halimun. Selama kurun waktu 8 tahun (1997 2005) pemetaan partisipatif hampir selalu dilakukan dalam berproses di 8 lokasi pembelajaran. Beberapa inisiasi dan kreativitas pun dikembangkan dalam metode pemetaan partisipatif. Beberapa hal yang menjadi catatan penting ketika RMI bersama masyarakat melakukan Refleksi dan Pemetaan Partisipatif di Kawasan Ekosistem Halimun pada 29-30 September 2005 adalah :

1. Tujuan Pemetaan Partisipatif : 1. Untuk menyelesaikan masalah (tumpang tindih lahan, keterbatasan lahan) 2. Untuk perencanaan tata ruang, tata guna lahan desa 3. Membantu penyusunan proposal pengembangan desa 2. Peta harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk mencapai tujuan sehingga tidak berhenti ketika peta jadi saja. Perencanaan ruang menjadi alat untuk memperjelas rencana penggunaan lahan dan ruang oleh masyarakat. Pengembangan konsep pengelolaan ruang oleh masyarakat menjadi penting untuk landasan untuk memperoleh pengakuan dari berbagai pihak. 3. KDTK (Kampung Dengan Tujuan Konservasi) adalah konsep perencanaan ruang yang dikembangkan oleh masyarakat Kampung Nyungcung-Desa Malasari-Bogor. KDTK merupakan konsep pengelolaan masyarakat lokal di kawasan konservasi 4. Perencanaan Wewengkon dikembangkan oleh Kasepuhan Cibedug-Lebak untuk mengelola ruang adatnya. Konsep ini berlandaskan kearifan masyarakat adat dalam kawasan konservasi. 5. Selain organisasi rakyat yang kuat dan peta partisipatif sebagai syarat dalam perjuangan kejelasan lahan, serta perencanaan ruang masyarakat juga diperlukan upaya untuk mendialogkan maksud dan tujuan tersebut dengan pihakpihak yang berkepentingan. Dalam mendialogkan pemetaan partisipatif dan tujuan yang ingin dicapai kepada pihak-pihak yang berkepentingan tidaklah mudah. Dalam dialog yang dilakukan, pemerintah masih memandang bahwa

pemetaan adalah tugas dan kewenangan dari pemerintah dan metode yang digunakannya juga harus mengikuti petunjuk yang telah ditetapkan. Sementara beberapa kalangan masyarakat dan NGO memandang bahwa masyarakat harus terlibat aktif dalam perencanaan dan peruntukkan penetapan serta penggunaan lahan di wilayahnya, salah satunya melalui pemetaan partisipatif. Pada kenyataannya banyak konflik tenurial disebabkan oleh ketidakjelasan penetapan kawasan. Hal ini menyebabkan tumpang tindih peruntukkan dan hak atas lahan tersebut. Pemetaan partisipatif merupakan salah satu solusi untuk penyelesaian konflik tenurial, tentunya dengan mengedepankan keadilan, bukan sekedar hukum positif. Akan tetapi pada sisi lain, pemetaan partisipatif juga dapat dipakai untuk memanfaatkan ruang secara lebih baik dan detail. Strategi yang kemudian dikembangkan RMI adalah menggunakan pemetaan partisipatif bukan sekedar community mapping tetapi menjadi community planning. Perencanaan komunitas ini melalui tahap inventarisasi ruang, analisis tapak, sintesis, dan perencanaan ruang. Proses ini diharapkan dapat memfasilitasi masyarakat dalam mengatur penggunaan ruang di wilayahnya sesuai karakteristiknya. Hasil perencanaan komunitas ini juga diharapkan diadopsi dan didukung lewat kebijakan tata ruang di desa, kecamatan, daerah maupun kawasan. Masyarakat sudah saatnya berdaulat atas ruang hidupnya bukan jadi korban dari perencanaan ruang untuk kepentingan investasi dan kepentingan lainnya di luar kepentingannya.***

27

You might also like