You are on page 1of 20

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian Inflasi dan pengangguran sudah sejak lama menjadi permasalahan yang dihadapi oleh banyak negara, terutama negara sedang berkembang. Inflasi sering didefinisikan sebagai kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus menerus (Boediono,1992). Dengan kenaikan harga barang tersebut, perekonomian akan mengalami ketidakstabilan secara menyeluruh dan akan mempengaruhi perilaku pemerintah dan masyarakat. Pemerintah berusaha untuk menekan laju inflasi di bawah 10% karena persentase tersebut menjadi semacam batas psikologis yang dipakai sebagai ukuran stabilitas harga, dan itu juga berarti stabilitas perekonomian makro secara menyeluruh (Prasentiontono,1993,hal 126). T.Nakamura dalam artikelnya yang berjudul Inflation in the Republic of Korea, Phillipine and Indonesia menyebutkan alasan mengapa inflasi begitu penting untuk mendapatkan perhatian pemerintah, yaitu : a) inflasi dapat memperburuk neraca pembayaran

b) inflasi dapat menurunkan tabungan domestik yang merupakan sumber dana investasi bagi negara sedang berkembang c) defisit neraca perdagangan akan dapat menaikkan jumlah utang luar negeri Dengan alasan-alasan tersebut, maka pemerintah menetapkan untuk menekan inflasi tidak mencapai dua digit. Pembicaraan mengenai inflasi mulai sangat populer di Indonesia ketika terjadi inflasi yang mencapai 650% pada pertengahan tahun 1960-an. Berdasarkan pengalaman pahit tersebut, pemerintah senantiasa berusaha untuk mengendalikan laju inflasi. Di bawah ini adalah laporan inflasi dari November 1999 s/d Juni 2002 berdasarkan perhitungan inflasi tahunan. Tabel 1.1
Bulan Tahun June 2002 May 2002 April 2002 March 2002 February 2002 January 2002 December 2001 November 2001 October 2001 September 2001 August 2001 July 2001 June 2001 May 2001 April 2001 March 2001 February 2001 January 2001 December 2000 November 2000 October 2000 September 2000 August 2000 July 2000 June 2000 May 2000 April 2000 Tingkat Inflasi 11.48 % 12.93 % 13.30 % 14.08 % 15.13 % 14.42 % 12.55 % 12.91 % 12.47 % 13.01 % 12.23 % 13.04 % 12.11 % 10.82 % 10.51 % 10.62 % 9.14 % 8.28 % 9.35 % 9.12 % 7.97 % 6.79 % 6.11 % 4.56 % 2.15 % 1.28 % 0.15 %

March 2000 February 2000 January 2000 December 1999 November 1999

- 1.10 % -0.84 % 0.35 % 2.01 % 1.75 %

Sumber : Laporan Bank Indonesia Juli 2002

Pengangguran adalah kelompok masyarakat yang sudah masuk dalam golongan angkatan kerja, tapi mereka tidak bekerja, atau tidak mendapatkan pekerjaan atau sedang mencari pekerjaan (Paul R.Milgran dan John Robert,1992) Pengangguran merupakan masalah yang ada di seluruh negara di dunia, terutama negara-negara sedang berkembang. Sebenarnya pengangguran merupakan masalah sosial, namun pada akhirnya menjadi masalah ekonomi juga karena akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan perekonomian negara. Sebagai negara baru/negara miskin (kebanyakan), jumlah lapangan pekerjaan di negara sedang berkembang masih belum dapat menampung jumlah pencari kerja. Pengangguran di berbagai negara akan menimbulkan banyak gejolak ekonomi seperti halnya dengan inflasi akan mempengaruhi kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Tidak tertampungnya tenaga kerja dalam suatu kegiatan ekonomi disebabkan oleh banyak hal diantaranya, kurangnya keahlian yang dimiliki oleh si tenaga kerja dan terbatasnya jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Menurut Dr. Payaman J.Simanjuntak, dunia ketenagakerjaan nasional kini tengah menghadapi masalah besar yaitu timpangnya laju kesempatan kerja dibandingkan dengan pertambahan angkatan kerja setiap tahunnya. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran di Indonesia menunjukkan kecenderungan naik sejak tahun 1997 hingga 1999 dan sedikit menurun pada tahun 2000. Tingkat pengangguran pada tahun 2000 tercatat sebesar 6,14 persen, sedangkan tahun 1999 sebesar 6,36 persen. Pihak BPS sendiri menyatakan belum mempublikasikan berapa tepatnya jumlah pengangguran di tahun 2000. Tingkat
3

pengangguran tersebut dinyatakan sebagai persentase dari penjumlahan banyaknya penganggur terbuka dan setengah penganggur terpaksa terhadap banyaknya orang yang tercakup sebagai angkatan kerja. Berbicara mengenai pengangguran di Indonesia, maka yang dimaksud adalah pengangguran terbuka dan belum meliputi mereka yang termaksud dalam pengangguran terselubung (disguised unemployment) atau setengah pengangguran yang angkanya selama ini jauh lebih besar dibandingkan angka pengangguran terbuka dan yang lebih menarik, pengangguran terbuka ini didominasi oleh keluarga masyarakat yang berpendidikan cukup tinggi. Data pengangguran tercatat di Indonesia adalah data pengangguran terbuka, tidak termasuk pengangguran terselubung atau setengah pengangguran seperti ibu RT, dan mahasiswa yang masih belajar. Pengangguran terbuka adalah angkatan kerja yang masuk dunia kerja namun tidak memperoleh pekerjaan atau masih mencari pekerjaan. Kondisi setengah pengangguran terbagi lagi menjadi dua keadaan, yaitu setengah pengangguran kentara dan setengah pengangguran tidak kentara. Setengah pengangguran kentara (visible underemployment) mencerminkan ketidakcukupan dalam volume pekerjaan, sedangkan setengah pengangguran tidak kentara (invisible underemployment) mencerminkan ketidaktepatan penempatan sumber daya manusia atau ada

ketidakseimbangan antara tenaga kerja dengan faktor produksi. Definisi bekerja sangat longgar sehingga batas antara orang yang bekerja dan pengangguran tipis. Orang dikatakan telah bekerja jika telah melakukan kegiatan ekonomi dengan maksud memperoleh pendapatan atau keuntungan dalam satu jam secara tidak terputus selama satu minggu yang lalu. Definisi ini berbeda antara negara yang satu

dengan lainnya, tergantung dari keadaan negara tersebut, terutama dalam menentukan berapa jam seseorang dapat digolongkan menjadi kelompok yang telah bekerja. Dengan minimnya jam kerja yang dipersyaratkan dalam definisi ini, sangat banyak orang yang termasuk dalam angkatan kerja. Dalam angka kelompok pengangguran terlihat lebih sedikit dari keadaan nyatanya. Dapat saja jumlah penganggur di Indonesia dalam angka terlihat lebih sedikit dibandingkan dengan negara tetangga. Padahal kenyataannya tidak demikian, secara riil mungkin saja sebenarnya jumlah pengangguran lebih tinggi di Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena standar minimum jam bekerja di negara lain lebih tinggi dibandingkan dengan standar yang digunakan di Indonesia. Sebagai perbandingan, Orgasisasi Buruh Internasional (ILO-International Labour Organization) juga mengeluarkan definisi baku tentang pengangguran dan setengah pengangguran. Definisi ini disusun atas tiga kriteria, yaitu tidak bekerja, bersedia bekerja, dan sedang mencari pekerjaan. Penganggur didefinisikan sebagai seseorang yang termasuk kelompok penduduk usia kerja yang selama periode tertentu tidak bekerja, bersedia menerima pekerjaan, serta sedang mencari pekerjaan. Orang yang termasuk dalam kelompok ini disebut penganggur terbuka atau penganggur penuh (open unemployment). Diantara tujuan-tujuan kebijakan ekonomi makro, inflasi dan pengangguran merupakan masalah tersendiri yang cukup menyita perhatian pemerintah. Untuk mengatasi inflasi, sebelum mengambil kebijakan, harus diketahui terlebih dahulu faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya inflasi. Harga barang-barang umum yang dipantau oleh pemerintah ditentukan oleh permintaan dan penawaran agregat. Bila laju pertumbuhan

permintaan agregat lebih besar daripada laju pertumbuhan penawaran agregat, maka akan timbul inflasi yang didorong oleh permintaan (demand pull inflation-Nopirin,1997) Dalam kaitannya dengan inflasi, jumlah pengangguran bisa dipengaruhi melalui perusahaan tempat pekerja bekerja, atau lewat pasar tenaga kerja. Pada perusahaan, saat terjadi inflasi, harga barang produksinya naik sehingga perusahaan mendapat keuntungan tambahan. Tambahan keuntungan tersebut digunakan untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Peningkatan kapasitas produksi memerlukan tambahan sumber daya termasuk tenaga kerja, sehingga menyerap tenaga kerja, dan hal itu menyebabkan angka pengangguran berkurang. Namun jika terjadi deflasi (inflasi negatif), harga barang-barang turun, sehingga pendapatan perusahaan berkurang. Di sisi lain, pengeluaran perusahaan tetap, antara lain untuk gaji karyawan. Sehingga untuk menjaga kelangsungan hidup perusahaan dilakukan PHK oleh pemilik perusahaan terhadap karyawan, terutama yang tidak atau kurang produktif. Tabel 1.2
Pengangguran berdasar Tingkat Pendidikan pada th 1997, 1998, 1999, 2000 dan 2001 Tingkat Pendidikan 1997 1998 1999 2000*) 2001**) Tidak Bersekolah 216,495 257,330 278,500 221,242 851,426 SD 760,172 911,782 1,151,252 1,216,976 1,893,565 SLTP 736,375 984,104 1,159,478 1,367,892 1,786,317 SLTA 2,106,182 2,479,739 2,886,216 2,546,355 2,933,490 Diploma I/II 37,676 47,380 90,230 Akademi/Diploma III 104,054 128,037 153,696 184,690***) 251,134***) Universitas 236,352 254,111 310,947 276,076 289,099 Total 4,197,306 5,062,783 6,030,319 5,813,231 5,813,231 *) Tidak termasuk Provinsi Maluku **) Mencari kerja, mendirikan usaha/perusahaan baru, tidak ada kesempatan kerja, dan akan memulai pekerjaan di masa depan ***) Academi / Diploma I/II/III Sumber : Survei Tenaga Kerja Nasional 1997, 1998, 1999, 2000 dan 2001 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Hampir sama halnya dengan pasar tenaga kerja. Saat terjadi inflasi, pendapatan perusahaan meningkat, sehingga perusahaan berniat meningkatkan kapasitas

produksinya. Perusahaan menbutuhkan tenaga kerja baru, dan bersedia membayar upah diatas upah nominal. Tingginya upah tersebut menarik minat tenaga kerja untuk bergabung bersama perusahaan tersebut. Berbeda jika terjadi deflasi. Pendapatan perusahaan berkurang, sementara pengeluaran tetap. Dalam situasi ini perusahaan tidak akan menaikkan upah pekerjanya, malah ada kemungkinan melakukan pemutusan hubungan kerja, sehingga menambah jumlah angka pengangguran. Salah satu alat untuk mengamati hubungan antara tingkat inflasi dan pengangguran adalah kurva Phillips, yang dihasilkan dari pengamatan A.W Phillips terhadap hubungan empiris antara tingkat perubahan upah dan pengangguran di Inggris pada tahun 18611957. Hasil pengamatan tersebut menyatakan bahwa antara tingkat perubahan upah dan pengangguran memiliki hubungan yang negatif atau terbalik. Phillips menggunakan tingkat perubahan upah karena upah akan mempengaruhi daya beli konsumen, yang kemudian mempengaruhi harga barang dan jasa, dan pada akhirnya juga mempengaruhi inflasi (Mankiew,1997). Kurva Phillips adalah suatu fenomena empirik untuk mencari suatu teori, dan pada saat itu, terdapat dua teori inflasi yang bersaing, keduanya dikemukakan oleh Keynes dalam tempat yang berlainan yaitu : demand-pull inflation dan cost-push inflation. Teori infasi demand-pull dan cost-push inflation

keduanya dapat direkonsiliasikan dengan fenomena empirik yang dirangkum ke dalam kurva Phillips: pada saat tidak ada pengangguran (full employment), maka inflasi upah dan harga akan meningkat. Sebagai sebuah kurva yang menjelaskan hubungan antara

perubahan upah pekerja/tingkat inflasi dan tingkat pengangguran, kurva Phillips merupakan salah satu alat analisis bagi pengambil kebijakan moneter atau pemerintah Penelitian ini dimaksud untuk mengetahui bentuk kurva Phillips di Indonesia. Apakah kurva Phillips di Indonesia betul-betul berbentuk kurva, atau garis linier. Hal ini dilakukan karena menurut data dan sejarah perekonomian moneter Indonesia, perubahan inflasi sangat besar, dan dipengaruhi oleh banyak kejadian di dalam maupun luar negeri. Seperti terjadi Perang Teluk pada tahun 1991 atau deregulasi perbankan tahun 1983 dan 1988 yang dampaknya terhadap peredaran uang cukup besar. Selain itu, akan dilihat pula bagaimana kurva Phillips di Indonesia dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Secara teoritis, dalam jangka panjang kurva Phillips berbentuk garis vertikal (Thomas M. Humphrey, 1976). Berdasarkan latar belakang di atas, penulis menilai bahwa permasalahan tersebut menarik untuk diteliti, karena kausalitas antara inflasi dan pengangguran dengan menggunakan analisis Phillips Curve di Indonesia terbilang masih jarang. Hal ini disebabkan karena adanya asumsi bahwa Phillips Curve tidak berlaku di Indonesia. Periode yang dipilih adalah tahun 1990-2001 dengan alasan ketersediaan data dan rentang waktu yang cukup panjang untuk meneliti kausalitas antara inflasi dan pengangguran di Indonesia. Sehingga judul yang diambil penulis dalam penelitian ini adalah : Analisis Terhadap Hubungan Kausalitas Antara Inflasi Dan Pengangguran Di Indonesia
(Dengan Menggunakan Analisis Phillips Curve)

1.2 Landasan Teori


8

Pada saat pengangguran rendah, inflasi cenderung akan meningkat. Sebaliknya pada saat pengangguran tinggi, inflasi cenderung menurun. Hubungan yang berlawanan antara inflasi dan pengangguran dikenal dengan kurva Phillips. Kurva Phillips adalah hubungan relatif. Pengangguran yang dipertimbangkan rendah atau tinggi berhubungan dengan apa yang disebut dengan tingkat pengangguran alami. Inflasi yang dipertimbangkan rendah atau tinggi berhubungan dengan tingkat inflasi yang diharapkan.
Gambar 1.1 Kurva Phillips

Kurva Phillips mengaitkan inflasi upah dengan pengangguran melalui persamaan sbb : (dw/dt)/w = h(U) dimana h<0, maka ketika pengangguran meningkat, akan menyebabkan inflasi upah menurun. Menahan pergerakan harga satu demi satu ke arah pergerakan upah, sehingga dapat ditulis kembali sbb :

= (dp/dt)/p = h(U)
maka inflasi harga akan berkorelasi negatif dengan pengangguran.

Ketika Friedman memberikan ceramahnya pada tahun 1976, hubungan jangka panjang antara inflasi dan pengangguran masih diperdebatkan. Selama tahun 60-an, kebanyakan ahli ekonomi percaya bahwa rata-rata tingkat pengangguran yang lebih rendah dapat terjadi terus-menerus jika ada yang bersedia untuk menerima tingkat inflasi yang secara permanen lebih tinggi (tapi stabil). Friedman menggunakan pidato Nobelnya untuk menyampaikan dua argumentasi tentang pertukaran inflasi dan pengangguran ini. Pertama, dia melihat kembali alasan pertukaran pada jangka pendek tidak akan berlaku pada jangka panjang. Meningkatkan permintaan nominal untuk menurunkan pengangguran akan mengakibatkan peningkatan upah

selama perusahaan berusaha untuk menarik pekerja tambahan. Perusahaan akan bersedia untuk memberikan upah yang lebih tinggi jika mereka mengharapkan harga output lebih tinggi di masa depan karena adanya ekspansi. Friedman mengasumsikan, bagaimanapun, para pekerja pada awalnya akan merasa kenaikan upah nominal mengakibatkan kenaikan pada upah riil. Mereka merasa demikian karena persepsi dari harga umum yang akan menyesuaikan secara perlahan-lahan, maka upah nominal akan dirasakan mengalami kenaikan lebih cepat dari harga. Sebagai responnya, penawaran tenaga kerja akan

10

meningkat, dan kesempatan kerja dan output akan mengalami ekspansi. Pada akhirnya, pekerja akan menyadari bahwa tingkat harga umum telah mengalami kenaikan dan upah riil mereka sebenarnya tidak meningkat, mengarah pada penyesuaian yang akan mengembalikan perekonomian pada tingkat penggangguran alaminya. Argumen yang kedua dari Friedman adalah bahwa kemiringan dari kurva Phillips sebenarnya dapat menjadi positif--inflasi yang lebih tinggi akan diasosiasikan dengan rata-rata pengangguran yang lebih tinggi. Pada tahun 1970-an, banyak perekonomian yang mengalami kenaikan inflasi dan pengangguran secara simultan. Friedman berusaha memberikan suatu hipotesis yang bersifat sementara untuk fenomena ini. Dalam pandangannya, inflasi yang lebih tinggi cenderung diasosiasikan dengan inflasi yang mudah berubah-rubah dan ketidakpastian inflasi yang lebih besar. Ketidakpastian ini mengurangi efisiensi ekonomi yang seharusnya seimbang sesuai dengan perencanaannya, ketidaksempurnaan dalam sistem indeksasi menjadi lebih terlihat, dan pergerakan harga menimbulkan tanda-tanda yang membingungkan mengenai jenis-jenis perubahan harga relatif yang mengindikasikan perlunya ada perubahan pada sumber daya. Korelasi positif antara inflasi dan pengangguran yang dikemukakan oleh Friedman setelah itu digantikan oleh korelasi negatif pada awal 1980-an, dimana pada saat itu terjadi disinflasi yang diiringi oleh resesi. Sekarang ini, kebanyakan ahli ekonomi akan melihat pergerakan inflasi dan pengangguran sebagai penggambaran dari gangguan penawaran dan permintaan agregat seperti halnya dengan penyesuaian dinamis dari perekonomian sebagai respon dari gangguan tersebut. Ketika gangguan permintaan mendominasi, pada awalnya inflasi dan pengangguran akan cenderung berkorelasi negatif , sebagai contoh, suatu ekspansi akan menurunkan pengangguran dan meningkatkan

11

inflasi. Seperti halnya dengan penyesuaian perekonomian, harga akan terus meningkat dan pengangguran akan mulai meningkat lagi dan kembali pada tingkat alaminya. Ketika gangguan penawaran mendominasi (seperti yang terjadi pada tahun 1970-an), inflasi dan pengangguran pada awalnya akan cenderung bergerak ke arah yang sama. Hampir semua ahli ekonomi mengikuti Friedman untuk menerima bahwa tidak ada pertukaran dalam jangka panjang yang akan mengakibatkan pengangguran permanen yang lebih rendah untuk dipertukarkan dengan inflasi yang lebih tinggi. Dan sebagai bagian dari alasan penerimaan ini adalah berdasarkan kontribusi dari Lucas.

1.3 Perumusan Masalah Masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan antara inflasi dan pengangguran di Indonesia? Bahasan masalah ini juga akan melihat bagaimana kurva Phillips di Indonesia, apakah berslope negatif atau positif? Bagaimana fluktuasi yang terjadi dan pengaruhnya terhadap kurva Phillips, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Selain itu akan dibahas juga bentuk kurva Phillips di Indonesia, berupa garis lurus (linier) atau berupa kurva (kemungkinan antara cembung dan cekung), atau tidak keduanya. Secara keseluruhan, masalah yang timbul adalah benarkah tingkat inflasi dan tingkat pengangguran di Indonesia memilik hubungan seperti yang tergambar pada kurva Phillips? Bagaimana kurva Phillips mempengaruhi kebijakan moneter selama ini?

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

12

1) Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimanakah hubungan sebab akibat (kausalitas) antara inflasi dan pengangguran di Indonesia. Jika salah satu variabel di antara variabel inflasi dan pengangguran diketahui variabel mana yang paling besar pengaruhnya terhadap variabel lainnya, maka akan lebih mudah bagi pembuat keputusan untuk membuat kebijakan yang efektif dengan memakai hasil penelitian ini sebagai bahan pertimbangan. 2) Mengetahui kemungkinan terjadinya penyimpangan terhadap kurva Phillips; kemungkinan terjadinya penyimpangan pada kurva Phillips di Indonesia bukan hal yang mustahil. Penyimpangan itu bisa berupa bentuk kurva Phillips, atau penyimpangan yang terjadi pada model kurva Phillips. Jika pada model kurva Phillips, tingkat inflasi (perubahan upah) merupakan variabel dependen, dimana tingkat inflasi akan dipengaruhi oleh jumlah pengangguran. Bisa terjadi kemungkinan bahwa tingkat inflasi akan lebih mempengaruhi jumlah pengangguran.

1.5 Metodologi Penelitian Dalam penelitian pada skripsi ini penulis menggunakan pendekatan analisis deskriptif dan kuantitatif. Analisis deskriptif disusun berdasarkan data sekunder, jurnal artikel, dan hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan permasalahan. Sedangkan untuk analisis kuantitatif penulis menggunakan alat bantu ekonometrika yaitu Eviews software dan Excell software. Data-data diregresi dengan menggunakan OLS. Untuk kriteria penilaian model dilakukan pengujian terhadap persamaan-persamaan tersebut.

13

1.5.1

Model

1.5.1.1 Model Linier Model linier standar dari kurva Phillips jangka pendek berdasarkan teori dan literatur empiris ditunjukkan oleh persamaan:

= + ( ) +

dimana :

= tingkat inflasi = tingkat pengangguran

* = non accelerating inflation rate of unemployment (NAIRU) : dimana pada saat tingkat penggangguran = *, tingkat inflasi sama dengan tingkat inflasi ekspektasi.

= inflasi ekspektasi ; diasumsikan masyarakat melakukan ekspektasi berdasarkan informasi terdahulu.

1.5.1.2 Model Non-linier Kurva Phillips ditunjukkan oleh persamaan :

= +

1.5.1.3 Model Dinamis Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi

14

Berdasarkan

konsep-konsep yang telah diuraikan, estimasi tentang hubungan

variabel-variabel penyebab inflasi di Indonesia didasarkan atas faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya tingkat harga agregat di Indonesia. Spesifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Indonesia dinyatakan dalam fungsi berikut ini : Pt = C0 + C1(wp) + C2(e) + C3log(Mt/Pt-1) + C4log(y) + C5i Dimana : wp = biaya tenaga kerja (upah buruh) e = nilai tukar nominal (nominal exchange rate)

Mt = jumlah uang yang beredar pada tahun t Pt = tingkat harga dalam negeri pada tahun t y i = pendapatan nasional riil (real income), dan = tingkat bunga deposito (deposit interest rate)

1.5.2

Variabel-variabel Penelitian

Variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : a) Tingkat inflasi : kenaikan harga-harga barang umum secara terus menerus dalam satu periode tertentu. Pada penelitian ini akan diamati tingkat inflasi natural dan tingkat inflasi ekspektasi. b) Indeks harga konsumen : suatu angka yang mengukur tingkat harga barang-barang dan jasa kebutuhan umum ke dalam suatu angka indeks berdasarkan tahun dasar tertentu, atau menurut harga berlaku.

15

c) Pengangguran : angkatan kerja yang sudah memasuki usia kerja yang kehilangan pekerjaan atau sedang mencari pekerjaan selama satu bulan lalu dan beberapa minggu terakhir atau sedang menunggu pekerjaan baru dalam 30 hari ke depan.

1.5.3

Data Data pengamatan diperoleh dari BPS, Laporan Keuangan BI, Depnaker, Laporan

International Monetary Funds melalui International Financial Statistic. Terdapat kelemahan dalam perolehan data, terutama data pengangguran. Data pengangguran selama ini hanya diperoleh dari BPS, yaitu data sensus penduduk, SUPAS, dan SAKERNAS. Data pengangguran tidak diterbitkan tiap tahun. Untuk memenuhi kekurangan data ini akan diolah dengan data yang diperoleh dari instansi lainnya. Kelemahan lainnya adalah tidak tersedianya data pengangguran secara kuartalan sehingga harus dilakukan interpolasi linier (kuartalan) data, dengan menggunakan rumus Q1t = [Yt 4,5/12(Y-Yt-1)] Q2t = [Yt 1,5/12(Yt-Yt-1)] Q3t = [Yt + 1,5/12(Yt-Yt-1)] Q4t = [Yt + 4,5/12(Yt-Yt-1)] Dimana Yt = data yang akan diinterpolasi pada tahun ke-t Yt-1 = data kelambanan Qnt = hasil interpolasi data untuk kuartal n, tahun t

1.5.4

Alat analisis

16

Analisis data dalam penelitian ini akan menggunakan metode runtun waktu untuk melakukan estimasi terhadap kurva Phillips di Indonesia. Selain itu juga menggunakan beberapa alat uji. Alat uji yang pertama yaitu uji akar-akar unit. Uji ini merupakan suatu uji untuk mengamati apakah koefisien tertentu dari model autoregresif yang ditaksir mempunyai nilai 1 atau tidak. Pengujian ini ditujukan untuk mengetahui adanya anggapan stasionaritas pada persamaan yang sedang diestimasi. Untuk mengetahui adanya unit root dilakukan pengujian Dickey-Fuller (DF Test), antara lain ; Yt = Yt 1 + Ut H0 : = 0 (terdapat unit roots, variabel Y tidak stasioner) H1 : # 0 (tidak terdapat unit roots, variabel Y stasioner)

Kedua adalah uji derajat integrasi. Uji ini dilakukan untuk mengetahui pada derajat atau order diferensiasi ke berapa data yang diamati akan stasioner. Integrasi disini berarti, suatu data runtun waktu dikatakan berintegrasi pada derajat Q atau I(d) bila data tersebut didiferensiasi Q kali untuk dapat menjadi data yang stasioner atau I(Q). Ketiga adalah uji kointegrasi. Uji ini merupakan kelanjutan dari dua uji sebelumnya. Hal ini untuk menyakinkan bahwa variabel terkait dalam pendekatan ini mempunyai derajat integrasi yang berbeda, misal X = I(1) dan YI(2), maka kedua variabel tersebut tidak dapat berkointegrasi. Uji ini untuk mengetahui apakah dalam jangka panjang dan variabel yang terkait memiliki hubungan jangka panjang atau tidak. 1.5.5 Pengujian Statistik Pengujian dilakukan untuk mengetahui adanya anggapan stasioneritas pada persamaan yang diestimasi.

17

Dalam penelitian ini akan dihitung koefisien determinasi (R2), yaitu angka yang menunjukkan besarnya kemampuan varians/penyebaran dari variabel-variabel bebas menerangkan variabel-variabel tidak bebas dengan tujuan untuk menyakinkan kebenaran hubungan fungsi tersebut. Besarnya koefisien determinasi berkisar antara nol s/d satu. Model dianggap baik apabila koefisien determinasi sama dengan 1, artinya varians dari variabel bebas semakin dapat menjelaskan varians variabel tidak bebas (mendekati 100%). Untuk melihat kesesuaian antara hasil model dengan teori yang ada dapat dilihat dari tanda yang terdapat pada koefisien parameter hasil regresi. Pengujian statistik lainnya dilakukan juga untuk menguji model dalam penelitian ini, yaitu antara lain :
1. Uji t, untuk menguji pengaruh parsial dari masing-masing variabel bebas yang

digunakan dalam model terhadap variabel tidak bebasnya. 2. Uji F, untuk menguji signifikansi seluruh variabel bebas sebagai satu kesatuan.
3. Uji multikolinieritas, dilakukan bila dalam pengolahan data ditemukan R2 yang tinggi

tetapi tidak satupun atau sangat sedikit koefisien yang ditaksir yang penting secara statistik, dilihat dari tidak signifikannya beberapa variabel melalui test individual t-test. Uji hubungan variabel bebas terhadap variabel tidak bebas (t-test) yang tidak signifikan, dan koefisien korelasi antara variabel yang tinggi.
4. Uji autokorelasi, adanya autokorelasi diuji dengan menggunakan uji Durbin-Watson

atau menggunakan run test jika hasil dari uji sebelumnya memberikan hasil yang tidak jelas.

18

19

20

You might also like