You are on page 1of 9

Aku adalah Dia yang kucinta dan Dia yang kucinta adalah aku Kami adalah dua jiwa

yang bertempat dalam satu tubuh. Jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia, dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat aku Maha suci zat yang sifat kemanusiaan-Nya, membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian kelihatan baginya mahluk-Nya, dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku, sebagaimana anggur disatukan dengan air murni. Jika sesuatu menyentuh Engkau, ia meyentuhku pula, dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku. Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku Aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami. Sebelumnya tidak mendahului-Nya, setelah tidak menyela-Nya, daripada tidak bersaing dengan Dia dalam hal keterdahuluan, dari tidak sesuai dengan Dia, ketidak menyatu dengan dia, Dia tidak mendiami Dia, kala tidak menghentikan Dia, jika tidak berunding dengan Dia, atas tidak membayangi Dia,dibawah tidak menyangga Dia, sebaliknya tidak menghadapi-Nya, dengan tidak menekan Dia, dibalik tidak mengikat Dia, didepan tidak membatasi Dia, terdahulu tidak memameri Dia, dibelakang tidak membuat Dia luruh, semua tidak menyatukan Dia, ada tidak memunculkan Dia, tidak ada tidak membuat Dia lenyap, penyembunyian tidak menyelubungi Dia, pra-eksistensi-Nya mendahului waktu, adanya Dia mendahului yang belum ada, kekalahan-Nya mendahului adanya batas. Di dalam kemuliaan tiada aku, atau Engkau atau kita, Aku, Kita, Engkau dan Dia seluruhnya menyatu.

Sedikit Tentang Ana Al-Haqq


9 comments [Tanya]

3 May, 2006

Posted by netlog in Sedikit Tentang Ana Al-Haqq.

Saya kemarin membaca bukunya rumi, judul pastinya lupa tapi isinya tentang puisi-puisi harian dari rumi selama satu tahun/12 bulan. Lalu ada puisi yang saya interpretasikan sendiri seperti ini: Hallaj berkata ana al haq, Firaun pun berkata ana al haq, satu kata dua makna. Betulkah? lalu saya juga tertarik dengan fenomena syeh siti jenar, yang katanya jadi Hallajnya indonesia, betulakah dia yang mengatakan konsep manunggaling kawula gusti? kalo tidak salah konsep ini juga diakui oleh penganut kejawen? [Jawab]

Mungkin puisi Rumi yang dimaksud adalah yang ada dalam bukunya Fihi ma Fihi ini: When Hallajs love for God reached its utmost limit, he became his own enemy and naughted himself. He said, I am Haqq, that is, I have been annihilated; God remains, nothing else. This is extreme humility and the utmost limit of servanthood. It means, He alone is. To make a false claim and to be proud is to say, Thou art God and I am the servant. For in this way you are affirming your own existence, and duality is the necessary result. Hence God said, I am God. Other than He, nothing else existed. Hallaj had been annihilated, so those were the words of God. Pharaoh said, I am God, and became despicable. Hallaj said I am Haqq, and was saved. That I brought with it Gods curse, but this I brought His Mercy, oh friend! To say I at the wrong time is a curse, but to say it at the right time is a mercy. Without doubt Hallajs I was a mercy, but that of Pharaoh became a curse. Note this! (William C. Chittick, Fihi ma Fihi, in The Sufi Path of Love: The Spiritual Teachings of Rumi, pp. 191-193) Pertama-tama, saya sendiri berpendapat bahwa tidak mungkin Allah secara total akan sudi bersatu seratus persen dengan makhluk. Ini sudah tentu sesuatu yang mustahil. Hanya saja, saya mengamati bahwa banyak hal yang perlu ditelaah lebih dalam mengenai persoalan ini. Kedua, saya sama sekali bukan orang yang memahami persoalan ini. Hanya saja saya pernah sedikit kutakkatik tentang Al-Haqq dan mungkin bermanfaat jika saya share di sini. Tentang puisi tersebut dan terjemahannya Umumnya orang membaca kutipan puisi tersebut, yang (sayangnya) umumnya hanya mencantumkan kalimat ke dua saja. Kutipan yang sangat umum mengenai puisi tersebut pada buku-buku di Indonesia (sayangnya) hanyalah sepotong ini saja, ditambah dengan kualitas terjemahan yang tidak akurat: Firaun berkata Akulah Tuhan, dan celakalah ia. Hallaj berkata Akulah Tuhan, dan selamatlah ia. Padahal dalam Fihi Ma Fihi, potongan ini justru diterangkan oleh alinea sebelumnya. Chittick, di buku aslinya, mencantumkan terjemahan puisi Rumi dari bahasa Persia dengan cukup akurat. Tapi ketika buku Chittick tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kalimat berikut ini: Pharaoh said, I am God, and became despicable. Hallaj said I am Haqq, and was saved. diterjemahkan menjadi: Firaun berkata Akulah Tuhan, dan celakalah ia. Hallaj berkata Akulah Tuhan, dan selamatlah ia. Terjemahan ini saya kutip dari buku William C. Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi: Ajaran-ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi, Edisi Baru Cetakan Keempat, Penerbit Qalam, Mei 2002; yang menerjemahkan buku ini dari buku Chittick edisi bahasa Inggris di atas.

Sayang sekali kata terjemahannya adalah Akulah Tuhan, padahal kata-katanya adalah Anal Haqq, dan Chittick menerjemahkan ke bahasa Inggris dengan lebih akurat, I am Haqq. Beberapa penerjemah bahasa Inggris lain kadang menerjemahkan dengan I am The Truth. Oleh penerjemah ke bahasa Indonesia, sayang kata-katanya berubah jauh menjadi Akulah Tuhan. Mungkin karena umumnya orang tidak membacanya secara lengkap, maka ini menimbulkan kebingungan pada mereka yang hanya membaca sepotong ini saja. Padahal Rumi telah menerangkan apa maksud katakata Mansur Al-Hallaj tersebut pada alinea sebelumnya (dan pada banyak puisi Rumi lainnya). Sendainya kita membaca dengan teliti alinea sebelumnya, maka sedikit banyak akan kita dapatkan perbedaan maupun kisi-kisi makna Anal Haqq yang dikatakannya, yaitu (dalam alinea sebelumnya) aku sesungguhnya tidak ada, hanya Allah yang eksis, tiada yang lain. Ini menegaskan bahwa kesejatian hanyalah Allah saja, dan tidak ada yang sejati, yang benar-benar tidak ada hubungan sebab-akibat dengan apapun, selain Allah. Sebuah kenyataan yang agak disayangkan, bahwa di Indonesia hampir semuanya menerjemahkan Ana AlHaqq dari Hallaj serta-merta menjadi Akulah Tuhan. Padahal dia tidak mengatakan Ana Rabb, atau Ana Llah. Jarang yang menerjemahkannya menjadi Aku Al-Haqq, sebagaimana adanya. Sedangkan Firaun, ia memang mengatakan Ilah, ia adalah ilah yang patut disembah kaumnya, sebagaimana diabadikan Al-Quran surat 28:38, Yaa ayyuhal malaau maa alimtulakum min ilaahi ghairii. Ada perbedaan yang sangat besar di antara perkataan mereka yang mengatakan diri sebagai Al-Haqq dan sebagai Ilah. Dengan demikian, dengan segala keawaman maupun keterbatasan pengetahuan saya, rasanya saya mempercayai bahwa Hallaj tidak sedang mengatakan akulah Allah. Al-Haqq Apakah Al-Haqq itu? Al-Haqq adalah satu nama Allah, tepatnya nama-Nya yang ke lima puluh dua, dari sembilan puluh sembilan nama-nama indah-Nya yang Dia izinkan untuk manusia ketahui. Sebagaimana diterangkan di Quran pula, Haqq adalah kebalikan dari Batil (2:42, 8:8, 17:81, 21:18, 34:49, 47:3). Tidak hanya Hallaj, Al-Quran pun mengatakan bahwa para Rasul membawa Al-Haqq (Q.S. [7]: 53): Qad jaaat rusulu rabbina bi Al-Haqq, telah datang rasul-rasul Rabb kami dengan Al-Haqq. Sedangkan pada Q.S.[10]:35 dikatakan bahwa Allahlah yang memberi petunjuk kepada Al-Haqq: Qulil Laahu yahdi lil-Haqq, Allahlah yang memberi petunjuk kepada Al-Haqq. Dengan data-data itu, rasanya saya pun akhirnya terpaksa mengakui bahwa siapapun dapat memperoleh Al-Haqq, jika ditunjuki-Nya. Dan, juga dari data-data itu, rasanya saya percaya bahwa Al-Haqq bukan berarti Allah. Ini dua hal yang berbeda. Allah tidak otomatis sama dengan Al-Haqq, tapi Allah yang menunjuki siapapun kepada Al-Haqq. Jadi rasanya (ini pendapat saya, kesimpulan sementara dan liar saja, sangat mungkin salah) bahwa Hallaj memaksudkan bahwa dalam diriku ada Al-Haqq, atau Aku hanyalah salah satu tanda Al-Haqq, atau

mungkin juga Aku adalah tanda kesejatian/kebenaran. Saya tidak tahu persis apa makna perkataannya, tapi yang jelas dari data-data tersebut, rasanya dia tidak sedang mengatakan bahwa Sayalah Allah, sebagaimana banyak yang disalah artikan oleh masyarakat umum. Syaikh Siti Jenar Demikian pula mengenai kata-kata Syaikh Siti Jenar. Saya benar-benar tidak mengetahui apapun tentang beliau, dan kata-katanya Manunggaling Kawulo gusti. Tapi yang saya pahami, jika kita banyak meneliti serat-serat suluk jawa, jika diperhatikan selalu ada dua gusti, yaitu Gusti dengan G kapital dan gusti dengan G biasa. Dalam tradisi puisi sufi, Gusti, atau Raja dengan huruf besar menyimbolkan Allah. Sedangkan gusti, atau tuan dengan huruf kecil, menyimbolkan jiwa yang telah suci dan tenang (nafs muthmainnah) yang memimpin dan menjadi tuan bagi sang raga untuk menuju Allah. Sependek pengetahuan saya, rasanya saya cukup yakin bahwa gusti pada ajaran Siti Djenar adalah gusti dengan g kecil. Demikian menurut pendapat saya. Mungkin ada sahabat yang lebih mengetahui tentang persoalan ini? Silahkan. Yang benar dari Allah semata, dan jika ada kesalahan itu semata-mata karena keterbatasan saya.

ke-9 (3 H). kehidupannya, pengembaraannya dan pandangan hidupnya serta faham tasawufnya, semuanya telah menggegerkan dunia fiqih. Beratus ulama fiqh menentangnya dan beratus pula membelanya. Dia dihukum mati dengan kejam sekali, karena ajarannya dipandang oleh ulamaulama dizamannya merusak kepada pokok kepercayaan Islam. Pendekatannya asal saja orang menyelami perkembangan ilmu tasawuf dalam Islam orang senantiasa akan bertemu dengan al-Hallaj. Dalam makalah ini akan mencoba menjelaskan tentang perjalanan hidup al-Hallaj dan ajaran yang seperti apa yang akhirnya membawa al-Hallaj dalam kematian. II. PEMBAHASAN A. Biografi Nama lengkapnya al-Hallaj adalah Abu al-Mughits al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidhawi, lahir di Baida, sebuah kotakecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/858 M.[1] dan dia mulai dewasa di kota Wasith, dekat Baghdad. Ketika usia 16 tahun, yaitu di tahun 260 H (873 M), dia telah pergi belajar pada seorang sufi yang besar dan terkenal, yaitu Sahl bin Abdullah al-Tusturi di negeri Ahwaaz.[2] Selama 2 tahun lamanya dia belajar kepada sufi besar itu. Sehabis belajar dengan Tusturi, dia berangkat ke Basrah dan belajar kepada Sufi Amar al-Makki, di tahun 264 H (878 M) dia masuk ke Baghdad dan belajar kepada al-Junaid. Setelah itu dia pun pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain, menambah pengetahuan dan pengamalan dalam ilmu tasawuf.

Sehingga tidak ada lagi seorang syeikh ternama, semua telah dijelangnya dan dimintanya fatwa dan tuntutannya. Dan tiga kali dia naik Haji ke Mekkah.[3] Saat pergi ke Mekkah untuk pertama kalinya dalam rangka menunaikan ibadah haji, dan kembali ke Baghdad, mulailah ia memperoleh murid atau pengikut yang semakin lama semakin banyak. Ia juga melakukan perlawatan ke berbagai negeri, seperti Ahwaz, Khurasan, Turkistan, dan bahkan juga ke India. Dimanapun ia berada, ia melaksanakan dakwah, mengajak umat agar mendekatkan diri kepada Allah. Dengan demikian pengikutpengikutnya yang dikenal dengan sebutan Hallajiyah, makin bertambah besar. Para pengikutnya itu yakin bahwa ia adalah seorang wali, yang memiliki berbagai kekeramatan. Dia kembali ke Baghdad pada tahun 296 H / 909 M. Di kota ini, secara kebetulan ia bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nashr al-Qusyairi, yang mengingatkan sistem tata usaha yang baik dan pemerintah yang bersih. Al-Hallaj selalu mendorong sahabatnya melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap penyelewengan yang terjadi. Gagasan "pemerintah yang bersih" dari Nash alQusyairi dan al-Hallaj ini jelas berbahaya, karena khalifah tidak boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang nyata dan hanya merupakan lambang saja.[4] Mungkin karena kekhawatiran pada kebesaran pengaruhnya, kecenderungan pada aliran syi'ah, dan besarnya jumlah pengikutnya, penguasa di Baghdad menangkap dan memenjarakannya pada 910 (297 H). Dengan sejumlah tuduhan (bahwa ia berkomplot dengan kaum Qaramith, yang mengancam kekuasaan Daulat Bani Abbas; ia dianggap bersifat ketuhanan oleh sebagian pengikutnya yang fanatik; ia mengucapkan "ana al-haq" (akulah yang maka benar); dan menyatakan bahwa ibadah haji tidak wajib).[5] Karena ucapannya, al-Hallaj dipenjara, tetapi setelah satu tahun dipenjara dia dapat melarikan diri dengan pertolongan seorang penjaga yang menaruh simpati kepadanya. Dari Baghdad dapatlah ia melarikan diri ke Sus dalam wilayah Ahwas. Disinilah ia bersembunyi empat tahun lamanya. Namun pada tahun 301 H / 930 M dapat ditangkap kembali dan dimasukkan lagi ke penjara sampai delapan tahun lamanya. Akhirnya pada tahun 309 H / 921 M, diadakan persidangan ulama dibawah kerajaan Bani Abbas di masa khalifah al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Zulkaidah 309 H, jatuhlah hukuman padanya. Dia dihukum bunuh dengan mula-mula di pukul dan di cambuk dengan cemeti, lalu di salib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, di penggal lehernya dan ditinggalkan tergantung pecahan-pecahan tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad, kemudian dibakar dan abunya dihanyutkan ke sungai Dajlah.[6] Konon al-Hallaj menghadapi hukuman itu dengan penuh keberanian dan berkata pada saat di salib : "Ya Allah, mereka adalah hamba-hambaMu, yang telah terhimpun untuk membunuhku, karena fanatik pada agama-Mu dan hendak mendekatkan diri kepada-Mu. Ampunilah mereka, sekiranya Engkau singkapkan kepada mereka apa yang telah Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tidak akan memperlakukan seperti ini".[7]

B. Karya-karya al-Hallaj Selama di penjara, al-Hallaj banyak menulis hingga mencapai 48 buah buku. Judul-judul kitabnya itu tampak asing dan isinya juga banyak yang aneh dan sulit dipahami. Kitab-kitab itu antara lain : 1. Kitab al-Shaihur fi Naqshid Duhur 2. Kitab al-Abad wa al-Mabud 3. Kitab Kaifa Kana wa Kaifa Yakun 4. Kitab Huwa Huwa 5. Kitab Sirru al-Alam wa al-Tauhid 6. Kitab al-Thawasin al-Azal 7. dan lain-lain.[8] Kitab-kitab itu hanya tinggal catatan, karena ketika hukuman dilaksanakan, kitabkitab itu juga ikut dimusnahkan, kecuali sebuah yang disimpan pendukungnya yaitu Ibnu 'Atha dengan judul Al-Thawasin al-Azal. Dari kitab-kitab ini dan sumber-sumber muridnya dapat diketahui tentang ajaran-ajaran al-Hallaj dalam tasawuf. C. Ajaran Tasawuf Al-Hallaj 1. Hulul Al-Hallaj mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat lahut dan nasut, demikian juga manusia. Melalui maqamat, manusia mampu ke tingkat fana, suatu tingkat dimana manusia telah mampu menghilangkan nasut-nya dan meningkatkan lahut yang mengontrol dan menjadi ini kehidupan. Yang demikian itu memungkinkan untuk hulul-nya Tuhan dalam dirinya, atau dengan kata lain, Tuhan menitis kepada hamba yang dipilih-Nya, melalui titik sentral manusia yaitu roh.[9] Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan.[10] Ia menakwilkan ayat:

}43 : {

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (QS. Al-Baqarah : 34). Sesuai dengan ajarannya, maka tatkala ia mengatakan "Aku adalah al-Haq" bukanlah al-Hallaj yang mengucapkan kata-kata itu, tetapi roh Tuhan yang mengambil dalam dirinya. Sementara itu, hululnya Tuhan kepada manusia erat kaitannya dengan maqamat sebagaimana telah disebutkan, terutamamaqam fana. Fana bagi alHallaj mengandung tiga tingkatan : tingkat memfanakan semua kecenderungan dan

keinginan jiwa; tingkat memfanakan semua fikiran (tajrid aqli), khayalan, perasaan dan perbuatan hingga tersimpul semata-mata hanya kepada Allah, dan tingkat menghilang semua kekuatan pikir dan kesadaran. Dari tingkat fana dilanjutkan ke tingkat fana al-fana, peleburan ujud jati diri manusia menjadi sadar ketuhanan melarut dalam hulul hingga yang disadarinya hanyalah Tuhan. 2. Al-Haqiqatul Muhammadiyah Yaitu Nur Muhammad sebagai asal-usul segala kejadian amal perbuatan dan ilmu pengetahuan, dan dengan perantaranyalah seluruh alam ini dijadikan. Al-Hallaj memandang kepada Nabi Muhammad dalam dua bentuk yang berbeda satu sama lain. Satu bentuk adalah berupa Nur Muhammad yang qadim, telah ada sebelum adanya segala yang maujud ini dan pengetahuan yang gaib. Yang kedua adalah bentuk Nabi yang diutus keadaannya baharu, dibatasi oleh tempat dan waktu dan dari sini lahir kenabian dan kewalian.[11] Ide Nur Muhammad itu menghendaki adanya Insan Kamil sebagai manifestasi sempurna pada manusia. Dari sini al-Hallaj menampilkan Insan Kamil itu bukan pada diri Nabi Muhammad sendiri melainkan kepada diri Nabi Isa al-Masih. Bagi al-Hallaj, Isa al-Masih adalah al-Syahid ala wujudillah, tempat tajalli dan berujudnya Tuhan. Demikian juga hidup kewalian yang sesungguhnya ada pada kehidupan Isa al-Masih itu. 3. Kesatuan Segala Agama Nama Agama yang berbagai macam, seperti Islam, Nasrani, Yahudi dan yang lain-lain hanyalah perbedaan nama dari hakikat yang satu saja. Nama berbeda, maksudnya satu. Segala agama adalah agama Allah maksudnya ialah menuju Allah. Orang memilih suatu agama, atau lahir dalam satu agama, bukanlah atas kehendaknya, tetapi dikehendaki untuknya. Cara ibadah bisa berbeda warnanya, namun isinya hanya satu. Pendirian ini disandarkannya kepada ketentuan (takdir) yang telah ditentukan Tuhan Allah. Tidak ada faedahnya seseorang mencela orang yang berlainan agama dengan dia, karena itu adalah takdir (ketentuan) Tuhan buat orang itu. Tidak ada perlunya berselisih dan bertingkah. Tetapi perdalamlah pegangan dalam agama masing-masing.[12] D. Respon Ulama terhadap Ajaran al-Hallaj Berbagai ragam perkataan orang tentang al-Hallaj. Setengahnya mengkafirkan dan setengahnya lagi membela. Beberapa perkataan, terutama dari pihak kekuasaan pada masa itu tersiar bahwasanya ajaran al-Hallaj sangat merusak ketenteraman umum. Kebanyakan kaum fiqhi mengkafirkannya,dengan alasan bahwasanya, mengatakan bahwa dari manusia bersatu dengan Tuhan, adalah stirik yang besar, sebab mempersekutukan Tuhan dengan dirinya, oleh karena itu hukum bunuh yang diterimanya adalah hal yang patut. Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, pengrang yang ternama Ibnu Nadim dan lain lain berpendapat demikian. Tetapi ulama-ulama yang lain seperti Ibnu syuriah,

seorang ulama yang sangat terkemuka dalam madzhab Malik, telah memberikan jawaban: Ilmuku tidak mendalam tentang tentang dirinya, sebab itu saya tidak berkata apa-apa.[13] Imam Ghozali seketika ditanya orang pula pendapatnya, tentang Al Hallaj Anal Haaq itu, telah menjawab:Perkataan yang demikian keluar dari mulutnya adalah karena sangat cintanya kepada Allah,Apabila cinta sudah sekian mendalamnya, tidak dirasakan lagi perpisahan diantara diri dengan yang dicintai. Sedangkan Ad-Damiri pengarang Hayatul Hayawan berkata: bukanlah perkara mudah mudah menuduh seorang Islam keluar dari dalamnya. kalau kata-katanya masih dapat ditawilkan (diartikan lain),lebih baik diartikan yang lain. Karena mengeluarkan seseorang dari lingkungan Islam, adalah perkara besar. Dan bergesa-gesa menjatuhkan hukum begitu, hanyalah perbuatan orang jahil.[14] III. ANALISIS Hulul yaitu ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri insan (nasut). Dan menurut alHallaj bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Sesuai dengan ajarannya, al-Hallaj mengatakan "Aku adalah Haq". Persatuan antara Tuhan dan Manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk hulul. Agar manusia dapat bersatu, manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya. Setelah sifat-sifat kemanusiaannya hilang dan hanya tinggal sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya. Setelah manusia memahami dan bisa melaksanakan maka akan dengan mudah memahami dan merasakan hulu seperti yang dialami oleh al-Hallaj. Tentang pluralisme agama yang ada di dunia ini pada dasarnya itu hanyalah perbedaan nama saja. Tetapi hakekatnya adalah satu. Mereka mempunyai tujuan yang sama yaitu menuju Allah. Hanya isi dan jalan yang ditempuh dalam menuju Tuhan (beribadah) berbeda. Jadi walaupun kita berlainan agama tidak perlu saling mencela dan berselisih. Yang terpenting adalah bagaimana kita lebih mendalami ajaran kita masing-masing. IV. KESIMPULAN Nama al-Hallaj adalah Abu al-Mughits al-Husain bin Mansur bin Muhammad alBaidhawi, lahir di Baida, sebuah kota kecil di wilayahPersia, pada tahun 244 H / 858 M. alHallaj adalah sufi terkemuka dari abad ke-9 (3 H). Karena ucapannya "Ana al-Haq (Akulah yang maha benar)", al-Hallaj dipenjara. Yang akhirnya pada tahun 309 H / 921 M al-Hallaj dihukum mati. Ajaran Tasawuf al-Hallaj yaitu tentang : 1. Hulul 2. Al-Haqiqatul Muhammadiyah 3. Kesatuan segala agama. Kitab karya al-Hallaj mencapai 48 buah buku. Kitabnya antara lain : 1. Kitab al-Shaihur fi Naqshid Duhur 2. Kitab al-Abad wa al-Mabud 3. Kitab Kaifa Kana wa Kaifa Yakun

4. Kitab Huwa Huwa 5. Kitab Sirru al-Alam wa al-Tauhid 6. Kitab al-Thawasin al-Azal 7. dan lain-lain. _________(o)(o)_________

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung, 2000. Asmara As, Pengantar Studi Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. Hamka, Tasauf, Perkembangan dan Pemurniannya, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1994. IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992. Mansur, Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

You might also like