You are on page 1of 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Keberadaan proIesi perawat yang bermutu sebagai pemberi pelayanan
kepada masyarakat di Indonesia saat ini sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, di
Indonesia kini diberlakukan uji kompetensi keperawatan yang diharapkan
dapat meningkatkan standar kualitas perawat-perawat di Indonesia.

Uji kompetensi ini bertujuan untuk mendapatkan SertiIikat Kompetensi,
yang selanjutnya akan diterbitkan Surat Tanda Registrasi (STR). Hal itu
merupakan amanat dari Permenkes No. 161 tahun 2010 tentang Registrasi
Tenaga Kesehatan dan Permenkes No 148 tahun 2010 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Perawat.

Adanya jumlah lulusan dari berbagai universitas yang semakin
bertambah dan adanya perubahan ranah kerja secara nasional dan
internasional menjadi pendorong dibutuhkannya proses uji kompetensi. Uji
Kompetensi sangat diperlukan juga karena program studi ilmu keperawatan
tersebar di berbagai pulau di Indonesia yang masing-masing institusi
mempunyai standarisasi yang berbeda-beda, sehingga untuk mengukur
standart kompetensi keilmuannya, perlu diadakan standarisasi yang seragam.
Selain itu, Uji Kompetensi juga merupakan Ieedback untuk membuktikan
capaian usaha dalam pendidikan keperawatan. Standar acuan yang digunakan
dalam Uji Kompetensi Keperawatan adalah HPEC (Health ProIIesional
Education Project).



1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana trend dan issue pengembangan proIesi dan pendidikan
keperawatan di Indonesia?
2. Apa deIinisi dari uji kompetensi nasional keperawatan itu?
3. Apa saja syarat seorang perawat untuk mengikuti uji kompetensi nasional
keperawatan?
4. Bagaimana kriteria kelulusan dari uji kompetensi nasional keperawatan
itu?
5. Apa saja dasar hukum di laksanakan uji kompetensi nasional
keperawatan?
1.3. Tujuan
1. Agar mahasiswa mengetahui trend dan isu pengembangan proIesi dan
pendidikan keperawatan di Indonesia.
2. Agar mahasiswa mengetahui tentang deIinisi dari uji kompetensi
keperawatan.
3. Agar mahasiswa mengetahui syarat yang diperlukan untuk mengikuti uji
kompetensi keperawatan.
4. Agar mahasiswa mengetahui kriteria yang harus di capai untuk
menentukan kelulusan dari uji kompetensi keperawatan.
5. Agar mahasiswa mengetahui dasar hukum dalam pelaksanaan uji
kompetensi keperawatan.
1.4. ManIaat
1. Mahasiswa mampu mengetahui trend dan isu pengembangan proIesi dan
pendidikan keperawatan di Indonesia.
2. Mahasiswa mampu mengetahui deIinisi uji kompetensi keperawatan.
3. Mahasiswa mampu mengetahui syarat yang diperlukan untuk mengikuti
uji kompetensi keperawatan.
4. Mahasiswa mampu mengetahui kriteria yang harus di capai untuk
menentukan kelulusan dari uji kompetensi keperawatan.
5. Mahasiswa mampu mengetahui dasar hukum dalam pelaksanaan uji
kompetensi keperawatan.



























BAB II
PEMBAHASAN
Gambaran Keperawatan di Indonesia


Kondisi keperawatan di Indonesia memang cukup tertinggal dibandingkan
negara-negara ASEAN seperti Piliphina, Thailand, dan Malaysia, apalagi bila ingin
disandingkan dengan Amerika dan Eropa. Pendidikan rendah, gaji rendah, pekerjaan
selangit inilah paradoks yang ada. Rendahnya gaji menyebabkan tidak sedikit perawat
yang bekerja di dua tempat, pagi hingga siang di rumah sakit negeri, siang hingga
malam di rumah sakit swasta. Dalam kondisi yang demikian maka sulit untuk
mengharapkan kinerja yang maksimal. Apalagi bila dilihat dari rasio perawat dan
pasien, dalam satu shiIt hanya ada 2-3 perawat yang jaga sedangkan pasien ada 20-25
per bangsal jelas tidak proporsional(YusuI,2006).

Jumlah perawat yang menganggur di Indonesia ternyata cukup
mencengangkan. Hingga tahun 2005 mencapai 100 ribu orang. Hal ini disebabkan
kebijakan :ero growth pegawai pemerintah, ketidakmampuan rumah sakit swasta
mempekerjakan perawat dalam jumlah memadai, rendahnya pertumbuhan rumah
sakit dan lemahnya kemampuan berbahasa asing. Ironisnya, data WHO 2005
menunjukkan bahwa dunia justru kekurangan 2 juta perawat, baik di AS, Eropa,
Australia dan Timur Tengah. (YusuI, 2006).

Kemampuan bersaing perawat Indonesia bila di bandingkan dengan negara-
negara lain seperti Philipines dan India masih kalah . Pemicu yang paling nyata
adalah karena dalam system pendidikan keperawatan kita masih menggunakan
'Bahasa Indonesiasebagai pengantar dalam proses pendidikan. Hal tersebut yang
membuat Perawat kita kalah bersaing di tingkat global. Salah satu tolak ukur kualitas
dari Perawat di percaturan internasional adalah kemampuan untuk bias lulus dalam
Uji Kompetensi keperawatan seperti ujian NCLEX-RN dan EILTS sebagai syarat
mutlak bagi seorang perawat untuk dapat bekerja di USA. Dalam hal ini kualitas dan
kemampuan perawat Indonesia masih sangat memprihatinkan (Muhammad, 2005)

Keluarnya Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,
UU No 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta Surat Keputusan Menteri
Kesehatan No 1239/Menkes/SK/2001 tentang registrasi dan praktik keperawatan
lebih mengukuhkan keperawatan sebagai suatu proIesi di Indonesia. Adanya Undang-
undang No. 8 tahun 1999 tetang Perlindungan Konsumen semakin menuntut perawat
untuk melaksanakan praktik keperawatan secara proIesional menjadi suatu kehitawar-
tawar lagi. Penguasaan Ilmu dan keterampilan, pemahaman tetang standar praktik,
standar asuhan dan pemahaman hak-hak pasien menjadi suatu hal yang penting bagi
setiap insan pelaku praktik keperawatan di Indonesia (Yanto, 2001)
Konsekuensi dari perkembangan itu harus ada jenjang karier dan
pengembangan staI yang tertata baik, imbalan jasa, insentiI serta sistem penghargaan
yang sesuai dan memadai. Rendahnya imbalan jasa bagi perawat selama ini
mempengaruhi kinerja perawat. Banyak perawat bergaji di bawah upah minimum
regional (UMR). Sebagai gambaran, gaji perawat pemerintah di Indonesia antara Rp
300.000-Rp 1 juta per bulan tergantung golongan. Sementara perawat di Filipina tak
kurang dari Rp 3,5 juta (Kompas, 2001)
Selain memiliki kemampuan intelektual, interpersonal dan teknikal, perawat
di Indonesia juga harus mempunyai otonomi yang berarti mandiri dan bersedia
menanggung resiko, bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan
yang dilakukannya, termasuk dalam melakukan dan mengatur dirinya sendiri. Tetapi
yang terjadi di lapangan sangat memilukan, banyak sekali rekan-rekan Perawat yang
melakukan 'Praktek Pelayanan Kedokteran dan Pengobatan yang sangat tidak
relevan dengan ilmu keperawatan itu sendiri. Hal tersebut telah membuat proIesi
Perawat di pandang rendah oleh proIesi lain. Banyak hal yang menyebabkan hal ini
berlangsung berlarut-larut antara lain:
a. Kurangnya kesadaran diri dan pengetahuan dari individu perawat itu sendiri.
b. Tidak jelasnya aturan yang ada serta tidak tegasnya komitmen penegakan hukum
di Negara Republik Indonesia.
c.Minimnya pendapatan secara Iinansial dari rekan-rekan perawat secara umum
d.Kurang peranya organisasi proIesi dalam membantu pemecahan permasalah
tersebut.
e.Rendahnya pengetahuan masyarakat, terutama di daerah yang masih menganggap
bahwa Perawat juga tidak berbeda dengan 'DOKTERatau petugas kesehatan yang
lain (Muhammad, 2005)


Kondisi Sistem Pendidikan Keperawatan di Indonesia
Pengakuan -ody of knowledge keperawatan di Indonesia dimulai sejak tahun
1985, yakni ketika program studi ilmu keperawatan untuk pertama kali dibuka di
Fakultas Kedokteran UI. Dengan telah diakuinya -ody of knowledge tersebut maka
pada saat ini pekerjaan proIesi keperawatan tidak lagi dianggap sebagai suatu
okupasi, melainkan suatu proIesi yang kedudukannya sejajar dengan proIesi lain di
Indonesia. Tahun 1984 dikembangkan kurikulum untuk mempersiapkan perawat
menjadi pekerja proIesional, pengajar, manajer, dan peneliti. Kurikulum ini
diimplementasikan tahun 1985 sebagai Program Studi Ilmu Keperawatan di Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Tahun 1995 program studi itu mandiri sebagai
Fakultas Ilmu Keperawatan, lulusannya disebut ners atau perawat proIesional.
Program Pascasarjana Keperawatan dimulai tahun 1999. Kini sudah ada Program
Magister Keperawatan dan Program Spesialis Keperawatan Medikal Bedah,
Komunitas, Maternitas, Anak Dan Jiwa.

Sejak tahun 2000 terjadi euphoria Pendirian Institusi Keperawatan baik itu
tingkat Diploma III (akademi keperawatan) maupun Strata I. Pertumbuhan institusi
keperawatan di Indonesia menjadi tidak terkendali. Seperti jamur di musim kemarau.
Artinya di masa sulitnya lapangan kerja, proses produksi tenaga perawat justru
meningkat pesat. Parahnya lagi, Iakta dilapangan menunjukkan penyelenggara
pendidikan tinggi keperawatan berasal dari pelaku bisnis murni dan dari proIesi non
keperawatan, sehingga pemahaman tentang hakikat proIesi keperawatan dan arah
pengembangan perguruan tinggi keperawatan kurang dipahami. Belum lagi sarana
prasarana cenderung untuk dipaksakan, kalaupun ada sangat terbatas (YusuI, 2006).
Saat ini di Indonesia berdiri 32 buah Politeknik kesehatan dan 598 Akademi Perawat
yang berstatus milik daerah,ABRI dan swasta (DAS) yang telah menghasilkan
lulusan sekitar 20.000 23.000 lulusan tenaga keperawatan setiap tahunnya. Apabila
dibandingkan dengan jumlah kebutuhan untuk menunjang Indonesia sehat 2010
sebanyak 6.130 orang setiap tahun, maka akan terjadi surplus tenaga perawat sekitar
16.670 setiap tahunnya. (Sugiharto, 2005).

Salah satu tantangan terberat adalah peningkatan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) tenaga keperawatan yang walaupun secara kuantitas merupakan
jumlah tenaga kesehatan terbanyak dan terlama kontak dengan pasien, namun secara
kualitas masih jauh dari harapan masyarakat. Indikator makronya adalah rata-rata
tingkat pendidikan Iormal perawat yang bekerja di unit pelayanan kesehatan (rumah
sakit/puskesmas) hanyalah tamatan SPK (sederajat SMA/SMU). Berangkat dari
kondisi tersebut, maka dalam kurun waktu 1990-2000 dengan bantuan dana dari
World Bank, melalui program 'health project (HP V) dibukalah kelas khusus D III
keperawatan hampir di setiap kabupaten. Selain itu bank dunia juga memberikan
bantuan untu peningkatan kualitas guru dan dosen melalui program 'GUDOSEN.
Program tersebut merupakan suatu percepatan untuk meng-upgrade tingkat
pendidikan perawat dari rata-rata hanya berlatar belakang pendidikan SPK menjadi
Diploma III (Institusi keperawatan). Tujuan lain dari program ini diharapkan bisa
memperkecil gap antara perawat dan dokter sehingga perawat tidak lagi menjadi
perpanjangan tangan dokter (!rolonged physicians arms) tapi sudah bisa menjadi
mitra kerja dalam pemberian pelayanan kesehatan(YusuI, 2006).
Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan sisitem pendidikan keperawatan
di Indonesia adalah UU no. 2 tahun 1989 tentang pendidikan nasional, Peraturan
pemerintah no. 60 tahun 1999 tentang pendidikan tinggi dan keputusan Mendiknas
no. 0686 tahun 1991 tentang Pedoman Pendirian Pendidikan Tinggi (Munadi, 2006).
Pengembangan sistem pendidikan tinggi keperawatan yang bemutu merupakan cara
untuk menghasilkan tenaga keperawatan yang proIesional dan memenuhi standar
global. Hal-hal lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu lulusan
pendidikan keperawatan menurut YusuI (2006) dan Muhammad (2005) adalah :
1. Standarisasi jenjang, kualitas/mutu, kurikulum dari institusi pada pendidikan.
2. Merubah bahasa pengantar dalam pendidikan keperawatan dengan menggunakan
bahasa inggris. Semua Dosen dan staI pengajar di institusi pendidikan
keperawatan harus mampu berbahasa inggris secara aktiI
3. Menutup institusi keperawatan yang tidak berkualitas
4. institusi harus dipimpin oleh seorang dengan latar belakang pendidikan
keperawatan
5. Pengelola insttusi hendaknya memberikan warna tersendiri dalam institusi dalam
bentuk muatan lokal,misalnya emergency Nursing, pediatric nursing, coronary
nursing.
6. Standarisasi kurikulum dan evaluasi bertahan terhadap staI pengajar di insitusi
pendidikan keperawatan
7. Departemen Pendidikan, Departemen Kesehatan, dan Organisasi proIesi serta
sector lain yang terlibat mulai dari proses perizinan juga memiliki tanggung jawab
moril untuk melakukan pembinaan.


Pada akhirnya keperawatan yang bermutu adalah suatu bentuk pelayanan
yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan pasien sebagai
pelanggan. Untuk mencapainya Perawat dapat memulai dari dirinya
sendiri, Perawat harus bekerja sesuai standar praktek pelayanan
keperawatan sesuai wewenang dan tangung jawabnya, selalu berupaya
mengembangkan diri melalui pendidikan dan pelatihan yang
berkesinambungan serta sistem jenjang karir.
2.1 DeIinisi
Pengertian kompetensi
Kompeten adalah kemampuan dan kewenangan yang dimiliki
seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan yang di dasari oleh
pengetahuan, ketrampilan dan sikap sesuai penampilan kerja / kinerja yang
ditetapkan .
Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung
jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh
masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. (
sk. Mendiknas no 045/U /2002)
Uji kompetensi keperawatan adalah suatu proses untuk mengukur
pengetahuan, ketrampilan, dan sikap tenaga kesehatan sesuai dengan standar
proIesi keperawatan.

Komponen kompetensi (baskoro poedjinoegroho e, 2002)
- pengetahuan
- skill atau keterampilan
- aIektiI atau perilaku
- ability atau kecakapan

2.2 Dasar Hukum
Komite Nasional Uji Kompetensi Perwat (KNUKP PPNI)
Dibentuk tahun 2008
Dukungan berbagai stakeholder
Dukungan dari Canadian Nurse Ass.
Sistem pembuatan soal terstandar
Validasi soal oleh dewan pakar
Peserta ujian 15.000 perawat

1. UU No. 20, Tahun 2003, SPN (SISDIKNAS)
O Pasal 38 ayat 3:
Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan
tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional
untuk setiap program studi
O Pasal 38 ayat 4:
Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi
dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan
mengacu pada standar nasional untuk setiap program studi
O Penjelasan UU No. 20/2003 pengembangan dan pelaksanaan
kurikulum berbasis kompetensi
2. UU NO 19/2002
Pasal 12 ayat 2
Untuk menjamin tanggung jawab dan akuntabilitas proIesionalisme,
organisasi proIesi wajib menentukan standar, persyaratan, dan sertiIikasi
keahlian, serta kode etik proIesi.
3. UU NO 36/2009
Pasal 24
Standard proIesi dan etik, sesuai dengan organisasi proIesi
4. UU No 44/2009
Pasal 13
Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai
dengan standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur
operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan
mengutamakan keselamatan pasien
5. Pasal 29 ayat 1 Rumah sakit wajib:
memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi,
dan eIektiI dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan
standar pelayanan Rumah Sakit
6. PP 19/2005 PS 89 Ay. 5
Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertiIikasi
mandiri yang dibentuk oleh organisasi profesi yang diakui Pemerintah
sebagai tanda bahwa peserta didik yang bersangkutan telah lulus uji
kompetensi.
7. Permenkes 148/2010
Surat Ijin Praktek Perawat (SIPP)
Menekankan SIPP diberikan kepada yang kompeten
Perlunya rekomendasi organisasi proIesi (PPNI) a Ps. 5
Uji kompetensi PPNI sebagai sarana menjamin akuntabilitas terhadap
pemberian rekomendasi



2.3 Alasan
untuk menjaga kualitas pendidikan keperawatan sebagai penyedia
tenaga perawat yang proIesional. Sebab tidak semua institusi pendidikan
itu menghasilkan lulusan yang sesuai dengan standar yang diharapkan.
Dari hasil uji ini juga diharapkan dapat memberi masukan untuk institusi
pendidikan agar lebih berbenah diri
2.4 Syarat mengikuti uji kompetensi
Syarat Uji Kompetensi :
1. Foto Kopi Ijazah terakhir
2. Surat keterangan Dokter, dari dokter yang memiliki ijin Praktek
3. Surat Pelaksanaan akan mematuhi dan melaksanakan peraturan etik
proIesi dan Ioto kopi bukti angkat sumpah
4. PasIoto 4 x 6 sebanyak 2 lembar
2.5 Hambatan dilakukannya Uji kompetensi
1. Sarana dan prasarana yang terbatas pada beberapa daerah sehingga uji
kompetensi tidak terlaksana dengan baik.
2. Kurangnya sosialisai tentang uji kompetensi keperawatan kepada mahasiswa
maupun perawat yang sudah bekerja.
3. Beberapa mahasiswa dan perawat belum mengetahui dan memahami tujuan
dan manIaat pentingnya uji kompetensi sehingga belum banyak yang
mengikutinya dengan maksimal.
2.6 ManIaat dan tujuan mengikuti uji kompetensi
Tujuan :
Menegakan akuntabilitas proIesional
Menegakan standard dan ethik prosesi
Cross check terhadap mutu lulusan/pwt
Melindungi kepercayaan publik terhadap proIesi

2.7 Implementasi uji kompetensi di Indonesia
Hingga saat ini sudah ada beberapa daerah yang melakukan uji
kompetensi, tetapi pelaksanaannya belum merata. Daerah yang sudah
melakukan uji kompetensi antara lain Jawa Tengah, DKI Jakarta, DIY,
Bontang, Magelang, Purworejo, dll.Propinsi Jawa Tengah, DKI Jakarta
mengawali adanya uji kompetensi oleh MTKP dengan berdasarkan
Peraturan Gubernur. Metode yang digunakan dalam uji kompetensi di
Jawa Tengah menggunakan metode OSCA.

2.8 Metode uji kompetensi :
Meode OSCA
Merupakan kompetensi yang bersiIat klinik
Metode tertulis
soal uji kompetensi dan proporsinya
Proporsi Soal
Domain Etika/Legal : 15
Domain Askep : 75
Domain proIesional : 10
Soal tanpa kasus : 10
Soal kasus : 90
Soal Individual : 88
Soal Komunitas/keluarga : 12
2.9 Tinjauan Jurnal
Menurut jurnal yang berjudul Motivasi Perawat Mengikuti Uji
Kompetensi Dalam Rangka Peningkatan Jenjang Karir Di Rumah Sakit
Mardi Rahayu Kudus dengan tujuan penelitian mengetahui gambaran
motivasi perawat mengikuti uji kompetensi dalam rangka peningkatan jenjang
karir di Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus.dan hasil penelitian dari jurnal
tersebut menyebutkan bahwa:
1. Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus telah melakukan uji kompetensi sebagai upaya
peningkatan jenjang karir perawat yang dimulai sejak bulan oktober 2008 dengan
pelaksanaan 2 kali dalam setahun.
2. Karakteristik perawat yang mengikuti uji kompetensi di ruang rawat inap 94 orang
(95,91), berumur 26 30 tahun 52 orang (53,06), berjenis kelamin
perempuan72 orang (73,74) dan berlatar belakang pendidikan DIII 96 orang
(97,95) dan memiliki masa kerja 6- 10 tahun 55 orang (56,12).
3. Motivasi perawat mengikuti uji kompetensi dalam rangka peningkatan jenjang
karir di Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus sebagian besar memiliki motivasi yang
tinggi 72 orang (73,47) dan motivasi sedang 26 orang (26,5), tidak ada yang
memiliki motivasi yang rendah.
4. Perawat yang memiliki motivasi yang tinggi sebagian besar berusia 26 30 tahun
48 orang (92,30), dan masa kerja 6 10 tahun 49 orang (89,09) dengan status
perkawinan menikah 62 orang (76,54) dan berlatar belakang pendidikan D III
70 orang (72,92) , berjenis kelamin perempuan 57 orang (79,17).


Hasil di atas menunjukkan tingkat motivasi pada perawat di RS mardi
rahayu kudus Untuk responden yang mempunyai motivasi yang sedang ada
beberapa Iaktor yang mempengaruhinya baik Iaktor intrinsik maupun Iaktor
ekstrinsiknya. Faktor intrinsik yang mempengaruhi seperti : kurangnya kemauan
untuk mengembangkan diri karena sudah merasa nyaman dengan keadaan yang
saat ini, merasa tidak mampu, hanya ingin mencoba mengikuti uji kompetensi
tanpa tujuan yang jelas, merasa bukan menjadi tanggung jawabnya.

Sedangkan Iaktor Iaktor ekstrinsik yang mempengaruhinya adalah situasi
kerja yang kurang kondusiI, prosedur pelaksanaan uji kompetensi yang kurang dipahami
responden, pemberian tunjangan kompetensi yang tidak sesuai dengan beban yang harus
dilaksanakan.


Dengan adanya anggapan dari responden yang menilai bahwa uji kompetensi
yang ada kurang jelas prosedur dan pelaksanaannya akan berpengaruh pada kemauan para
perawat untuk mengikutinya. Karena apabila uji kompetensi yang ada dimengerti makna
dan tujuannya secara jelas maka perawat berminat untuk mengikutinya tidak hanya sekedar
mendapatkan tunjangan kompetensi tetapi lebih kepada menjadikan perawat yang
berkompeten dalam pemberian asuhan keperawatan sehingga proIesi perawat lebih
dihargai.






















BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan tentang uji kompetensi keperawatan penulis
dapat menyimpulkan bahwa :
1. Salah satu trend dan isu keperawatan saat ini adalah uji
kompetensi perawat, dimana uji kompetensi ini sebagai
standardisasi perawat yang kompeten demi peningkatan mutu
pelayanan kesehatan.
2. Uji kompetensi ini telah didukung oleh beberapa dasar hukum
dan organisasi seperti PPNI dan AIPNI dengan syarat dan
kriteria yang sudah ditentukan secara nasional. Namun
pelaksanaannya masih dalam tingkat daerah.
3. Pada saat ini belum semua perawat di indonesia melakukan uji
kompetensi karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman
perawat tentang uji kompetensi tersebut.

B. Saran
1. Bagi mahasiswa :
a. Dapat mempersiapkan kemampuan secara dini agar dapat mengikuti
uji kompetensi dengan baik.
b. Dapat memahami pentingnya uji kompetensi keperawatan sehingga
mampu memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
2. Bagi perawat :
Diharapkan tetap meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan
memperbaharui pengetahuan mengenai uji kompetensi agar dapat diakui
secara nasional.

DAFTAR PUSTAKA
Netha Damayantie eperawatan Di Indonesia diunduh tanggal 1 November 2011
dari http://ppnibontang.blogspot.com/

http://www.google.co.id/#sclientpsyab&hlid&site&sourcehp&qhambatanuji
kompetensiperawat&pbx1&oqhUji

Wahyuningtyas, T.H., 2009 Motivasi Perawat Mengikuti Uji Kompetensi Dalam
Rangka Peningkatan Jenjang Karir Di Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus. Diakses
tanggal 1 November 2011 dari
Anna Susana. Pengembangan Jenjang Karier Keperawatan Berbasis Kompetensi
Dalam Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan Keperawatan Bandung. 2008. http
://www.pelkesi.or.id/dokumen/Penembangan%20JK % 20 Keperawatan. Pdf.
Diakses 1 November 2011.
Gustini M. Jenjang Karier Perawat di Maryland dan ndonesia.
http://www.google.co.id/152.118.148.220/jenjang%20karier%20 Gustini%20M.
diakses 1 November 2011.
PPN . Standar Kompetensi Bidang Keahlian Perawat. Jakarta. 2005.














JURNAL
MOTIVASI PERAWAT MENGIKUTI UJI KOMPETENSI DALAM
RANGKA PENINGKATAN JENJANG KARIR DI RUMAH SAKIT MARDI
RAHAYU KUDUS
Tri Haryanti Wahyuningtyas

ABSTRAK
Latar belakang : Kenaikan jenjang karir perawat merupakan proses
peningkatan kemampuan perawat yang berkompeten dengan cara
melakukan uji kompetensi yang di dalamnya mengandung aspek
pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Dengan adanya kenaikan jenjang
karir ini dapat memotivasi perawat untuk lebih meningkatkan kinerja dan
prestasinya.
Tujuan penelitian ini : penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
gambaran motivasi perawat mengikuti uji kompetensi dalam rangka
peningkatan jenjang karir di Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus.
Metode penelitian : penelitian ini adalah penelitian deskripsi
eksploratif. Subyek dalam penelitian ini adalah perawat yang pernah
mengikuti uji kompetensi periode tahun 2008 2009. Pengumpulan data
menggunakan kuesioner karakteristik responden dan motivasi. Analisa
data yang dgunakan secara distribusi frekuensi.
Hasil penelitian : hasil distribusi frekueensi motivasi perawat
mengikuti uji kompetensi adalah perawat memiliki motivasi tinggi
sebanyak 72 orang (73,5%) dan motivasi sedang sebanyak 26 orang
(26,5%) dan tidak ada perawat yang memiliki motivasi rendah, dengan
total responden 98 orang.
Kesimpulan : Uji kompetensi dilakukan untuk peningkatakan jenjang karir
perawat dan motivasi perawat untuk mengikuti uji kompetetensi sangat
berpengaruh terhadap pelaksanaan uji kompetensi
Kata kunci : Motivasi, Uji Kompetensi, Jenjang Karir



Nursing Science Studies Program
Medical Faculty
Diponegoro University
Research, November 2009



ABSTRACT

Tri Haryanti Wahyuningtyas
Title
"Motivation nurse follow Competency Test in order to increase
Career Level Mardi Rahayu Hospital Kudus"
X +52 + pages pictures + 4 + 11 Table 8 attachments

Background: The demand Ior nursing service hospital management
encourages Mardi Rahayu Kudus tested career path improvement program
began in October 2008 through competency testing. The increase in
nursing career path is a process oI improving the ability oI competent
nurses with a way to test the competence oI which contain aspects oI
knowledge, skills and attitudes. With the increase in this career path can
motivate nurses to Iurther improve the perIormance and achievement.
The purpose oI this study: This study aims to Iind a picture oI
motivation to Iollow the nurse competency test in enhancing the career
ladder at the Mardi Rahayu Hospital Kudus.
Method oI research: this research is description oI exploratory
research. Subjects in this study were nurses who had Iollowed the
competency test period Irom 2008 to 2009. Data collection using
questionnaires motivation. Analysis oI characteristics oI respondents and
the data use in the Irequency distribution .
Results oI research: the distribution oI nurses to Iollow Irequency
motivation competency test is highly motivated nurse oI 72 people
(73.5) and motivation were as many as 26 people (26.5) and no nurses
who have low motivation, with a total oI 98 respondents guy.
Conclusion: The test Ior competency is a career ladder improvement
nurses and nurse motivation to Iollow the competency test very inIluential
on the implementation oI competency test
Keywords: Motivation, Competency Test, Level Career



PENDAHULUAN
Perawat merupakan salah satu profesi kesehatan yang berperan
dalam memberikan kontribusi secara langsung dalam pelayanan kepada
pasien dan memiliki jumlah cukup besar dalam memberikan pengaruh
secara langsung dalam pelayanan kepada pasien dan memiliki jumlah
terbesar dalam institusi rumah sakit. Pelayanan keperawatan sebagai ujung
tombak pelayanan di rumah sakit menjamin adanya asuhan keperawatan
yang bermutu tinggi dan profesional dengan terus menerus melibatkan diri
dalam program pengendalian mutu.
2

Agar respon yang disampaikan pelanggan tetap bermutu dan
profesional maka diperlukan adanya seorang perawat yang berkompeten.
Kompeten adalah kemampuan dan kewenangan yang dimiliki seseorang
untuk melakukan suatu pekerjaan yang di dasari oleh pengetahuan,
ketrampilan dan sikap sesuai penampilan kerja / kinerja yang ditetapkan .
5

Untuk itu diperlukan adanya standar kompetensi.
Standar kompetensi sangat diperlukan dalam jenjang karir perawat.
Kenaikan jenjang karir perawat merupakan proses peningkatan
kemampuan perawat agar menghasilkan perawat yang berkompeten
dengan cara melakukan uji kompetensi yang didalamnya mengandung
aspek pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Dengan adanya kenaikan
jenjang karir ini diharapkan dapat memotivasi perawat untuk lebih
meningkatkan kinerja dan prestasinya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran motivasi
perawat mengikuti uji kompetensi dalam rangka peningkatan jenjang karir
di rumah sakit Mardi Rahayu Kudus. Adapun manfaat dari penelitian ini
adalah dapat memotivasi rekan-rekan perawat khususnya yang ada
ditingkat manajerial untuk mengembangkan manajemen sumber daya
manusia keperawatan yang baik, dapat memotivasi rekan-rekan perawat
untuk mengembangkan diri menjadi perawat yang berkompeten dan
profesional sehingga profesi keperawatan semakin dihargai.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian deskriptif untuk mengetahui gambaran motivasi perawat
mengikuti uji kompetensi dalam rangka peningkatan jenjang karir di
rumah sakit Mardi Rahayu Kudus meliputi karakteristik responden dan
motivasi perawat menggunakan alat penelitian kuesioner.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua perawat yang pernah
mengikuti uji kompetensi di rumah sakit Mardi Rahayu Kudus periode
oktober 2008 2009 dan yang menjadi sampel dalam penelitian ini ada
98 responden yang memenuhi kriteria inklusi yang terdiri dari perawat di
ruang rawat inap dan rawat jalan rumah sakit Mardi Rahayu Kudus.
Analisa data menggunakan bantuan program SPSS untuk
menyajikan data distribusi frekuensi dan bersifat deskriptif statistik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik responden
Karakteristik merupakan tanda tanda yang membedakan
seseorang terhadap yang lainya seperti : umur, jenis kelamin, status
perkawinan dan yang lainnya.
Pada penelitian ini sebagian besar responden bertugas di ruang
rawat inap yaitu sebanyak 95,91% dari total responden 98 orang, hal ini
disebabkan di ruang rawat inap mempermudah responden untuk
melaksanakan uji kompetensi dimana responden yang berada di ruang
rawat inap biasa melakukan tindakan yang termasuk dalam uji kompetensi
tersebut.
Perawat yang mengikuti uji kompetensi berdasarkan penelitian ini
sebagian besar responden berumur 26 30 tahun (53,06%) dengan
sebagian besar berstatus menikah (82,65%), dengan masa kerja 6 10
tahun (56,12%), dan berjenis kelamin perempuan 72 orang (73,34%), hal
ini disebabkan karena pada usia tersebut orang masih produktif dan
cenderung kurang terpuaskan dengan pekerjaannya berhubungan dengan
pengharapan pengharapan yang lebih tinggi yang belum tercapai.
3

Sebagian besar responden yang mengikuti uji kompetensi berjenis
kelamin perempuan karena sebagian besar perawat berjenis kelamin
perempuan. Latar belakang pendidikan responden adalah D sebanyak
96 orang (97,95%) karena sebagian besar perawat Rumah Sakit Mardi
Rahayu Kudus berlatar belakang pendidikan D .
B. Motivasi perawat mengikuti uji kompetensi dalam rangka peningkatan jenjang
karir.
Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus sudah memulai program jenjang
karir dengan memberlakukan uji kompetensi yang dilaksanakan sejak
oktober 2008 dimana tiap tahunnya dilakukan 2 kali uji kompetensi yang
dapat diikuti oleh semua perawat. Uji kompetensi ini menjadi tanggung
jawab tim uji kompetensi yang terdiri dari semua perawat yang masuk
dalam jajaran struktural keperawatan dan telah mendapatkan SK Direksi
Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus.
Adapun proses dari uji kompetensi yang dilakukan meliputi
pembuatan jadwal uji kompetensi, pendaftaran perawat yang akan
mengikuti uji kompetensi, setelah pendaftaran dilanjutkan dengan
pelaksanaan uji kompetensi yang pertama yaitu uji tulis, selanjutnya uji
ketrampilan dengan melakukan perasat langsung kepada pasien yang
dinilai oleh tim uji kompetensi kemudian uji kompetensi yang terakhir
berupa responsi untuk mengetahui pengetahuan dan sikap yang dimiliki
berupa wawancara yang dilakukan oleh tim uji kompetensi, berisi
pertanyaan tentang anatomi dan fisiologi tubuh, nama, kegunaan, dan
pemeliharan alat yang dipakai dalam tindakan keperawatan sesuai dengan
prosedur yang ada.
Dari hasil uji kompetensi yang telah dilakukan, tim uji kompetensi
membuat laporan kepada Direktur Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus untuk
pengajuan sertifikasi dan pemberian tunjangan kompetensi.
Usaha yang dilakukan bidang keperawatan untuk peningkatan
jenjang karir perawat di Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus merupakan
kesempatan yang diberikan kepada perawat untuk meningkatkan jenjang
karirnya melalui uji kompetensi yang telah ditetapkan. Karena diharapkan
dengan adanya jenjang karir ini akan menumbuhkan perawat perawat
yang berkompeten dalam pemberian asuhan keperawatan..
Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa 72 orang (73,47%)
memiliki motivasi yang tinggi dalam mengikuti uji kompetensi akan tetapi
ada 26 orang (26,53%) yang mempunyai motivasi yang sedang dari
jumlah responden 98 orang. Motivasi merupakan energi yang mendorong
seseorang untuk bangkit menjalankan tugas pekerjaan mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.
3
Kebutuhan manusia tersusun atas suatu urutan kebutuhan mulai
dari kebutuhan yang paling mendasar (kebutuhan fisiologis) sampai pada
yang paling tinggi (aktualisasi diri), dengan kata lain seseorang akan
termotivasi untuk memenuhi kebutuhan yang paling menonjol atau yang
paling dirasakan saat ini.
4
1. Distribusi tingkat motivasi berdasarkan usia
Perawat yang memiliki motivasi yang tinggi berusia 26 30 tahun
sebanyak 48 orang (64,7%), hal ini dikarenakan usia tersebut
merupakan usia yang produktif, para karyawan yang lebih muda kurang
terpuaskan karena berbagai pengharapan yang lebih tinggi, kurang
penyesuaian dan penyebab penyebab lain. Begitu pula untuk orang
dengan jenjang pekerjaan lebih tinggi cenderung lebih mendapatkan
pengalaman.
11
2. Distribusi tingkat motivasi berdasarkan jenis kelamin
Perawat dengan jenis kelamin perempuan lebih memiliki motivasi yang
tinggi 57 orang (79,17%), hal ini hanya dikarenakan tenaga perawat
sebagian besar adalah perempuan sehingga motivasinya lebih tinggi
dibandingkan lak- laki.
3. Distribusi frekuensi motivasi berdasarkan masa kerja
Perawat dengan masa kerja 6 10 tahun memiliki motivasi yang lebih
tinggi sebanyak 49 orang (89,09%), dibanding perawat yang
mempunyai masa kerja kurang dari 1 - 5 tahun 20 orang (80%)
maupun yang lebih dari 10 tahun 3 orang (16,67%), hal ini dipengaruhi
oleh pengharapan pengharapan yang lebih tinggi dan penyesuaian
penyesuaian yang lebih baik terhadap situasi kerja dan pengalaman
pengalaman yang diharapkan. Usia produktif dan masa kerja yang
tidak terlalu awal mendorong seseorang untuk melakukan
pekerjaannya dengan lebih giat lagi untuk mencapai kepuasan kerja
yang diinginkan.
1
4. Distribusi tingkat motivasi berdasarkan status perkawinan
Perawat dengan status perkawinan menikah memiliki motivasi yang
tinggi sebanyak 62 orang (76,54%) dikarenakan dorongan yang tinggi
untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Pada kondisi seperti ini
seseorang terdorong untuk melakukan sesuatu agar kebutuhan hidup
dan kepuasan kerja yang diharapkan dapat tercapai, sesuai dengan
teori motivasi menurut Abraham Maslow yang memandang bahwa
kebutuhan manusia tersusun atas suatu urutan kebutuhan mulai dari
kebutuhan yang paling mendasar (kebutuhan fisiologis) sampai yang
paling tinggi (aktualisasi diri).
5. Distribusi tingkat motivasi berdasarkan latar belakang pendidikan
Motivasi yang tinggi dimiliki oleh perawat dengan latar belakang
pendidikan D sebanyak 70 orang (72,92%), dikarenakan sebagian
besar perawat yang bekerja di Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus
dengan latar belakang pendiikan D , sedangkan untuk S1 hanya
terdiri dari beberapa orang saja.
Motivasi yang dimiliki perawat Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus
untuk mengikuti uji kompetensi sebagian besar mempunyai motivasi yang
tinggi dikarenakan responden memiliki dorongan yang tinggi untuk
mengembangkan kemampuan dan ketrampilan serta memiliki sikap yang
profesional. Dengan adanya uji kompetensi memberikan peluang bagi
responden untuk meningkatkan karirnya.
Untuk responden yang mempunyai motivasi yang sedang ada
beberapa faktor yang mempengaruhinya baik faktor intrinsik maupun faktor
ekstrinsiknya. Faktor intrinsik yang mempengaruhi seperti : kurangnya
kemauan untuk mengembangkan diri karena sudah merasa nyaman
dengan keadaan yang saat ini, merasa tidak mampu, hanya ingin mencoba
mengikuti uji kompetensi tanpa tujuan yang jelas, merasa bukan menjadi
tanggung jawabnya.
3
Jika kebutuhan seseorang sangat kuat maka hal itu akan
memotivasinya untuk menggunakan prilaku yang mengarah pada
pemusatan kebutuhan tersebut.
4
Dengan hal ini apabila seseorang
menganggap peningkatan jenjang karir bukan merupakan kebutuhannya
maka tidak akan ada dorongan bagi seseorang untuk mengikuti uji
kompetensi.
Sedangkan faktor faktor ekstrinsik yang mempengaruhinya
adalah situasi kerja yang kurang kondusif, prosedur pelaksanaan uji
kompetensi yang kurang dipahami responden, pemberian tunjangan
kompetensi yang tidak sesuai dengan beban yang harus dilaksanakan.
3
Uji kompetensi yang dilakukan di Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus
bersifat terbuka artinya bagi perawat yang ingin mengembangkan
kemampuannya untuk meningkatkan karirnya diberi kesempatan untuk
mengikutinya, apabila ada perawat yang tidak mengikutinya, tidak ada
sangsi apapun yang diberikan, sehingga masih ada responden yang
mengikuti uji kompetensi hanya sekedar mencoba saja. Hal ini bisa
disebabkan karena responden beranggapan bahwa uji kompetensi bukan
merupakan sarana untuk meningkatkan karirnya.
Dengan adanya anggapan dari responden yang menilai bahwa uji
kompetensi yang ada kurang jelas prosedur dan pelaksanaannya akan
berpengaruh pada kemauan para perawat untuk mengikutinya. Karena
apabila uji kompetensi yang ada dimengerti makna dan tujuannya secara
jelas maka perawat berminat untuk mengikutinya tidak hanya sekedar
mendapatkan tunjangan kompetensi tetapi lebih kepada menjadikan
perawat yang berkompeten dalam pemberian asuhan keperawatan
sehingga profesi perawat lebih dihargai.
Kerja karyawan dipengaruhi oleh faktor faktor seperti balas jasa yang
adil dan layak, penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian, berat
ringannya pekerjaan, suasana dan lingkungan pekerjaan, peralatan yang
menunjang pelakasanaan pekerjaan, sikap pimpinan dalam
kepemimpinannya dan sifat pekerjaan monoton atau tidak. Apabila upah /
imbalan yang diberikan telah diperhitungkan berdasarkan pada tuntutan
pekerjaan, tingkat ketrampilan dan standar pengupahan, maka
kemungkinan besar akan diperoleh kepuasan kerja.
11
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
5. Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus telah melakukan uji kompetensi
sebagai upaya peningkatan jenjang karir perawat yang dimulai sejak
bulan oktober 2008 dengan pelaksanaan 2 kali dalam setahun.
6. Karakteristik perawat yang mengikuti uji kompetensi di ruang rawat
inap 94 orang (95,91%), berumur 26 30 tahun 52 orang (53,06%),
berjenis kelamin perempuan72 orang (73,74%) dan berlatar belakang
pendidikan D 96 orang (97,95%) dan memiliki masa kerja 6- 10
tahun 55 orang (56,12%).
7. Motivasi perawat mengikuti uji kompetensi dalam rangka peningkatan
jenjang karir di Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus sebagian besar
memiliki motivasi yang tinggi 72 orang (73,47%) dan motivasi sedang
26 orang (26,5%), tidak ada yang memiliki motivasi yang rendah.
8. Perawat yang memiliki motivasi yang tinggi sebagian besar berusia
26 30 tahun 48 orang (92,30%), dan masa kerja 6 10 tahun 49
orang (89,09%) dengan status perkawinan menikah 62 orang
(76,54%) dan berlatar belakang pendidikan D 70 orang (72,92%) ,
berjenis kelamin perempuan 57 orang (79,17%).
Saran
1. Bagi nstitusi RS Mardi Rahayu Kudus, diharapkan untuk melakukan
evaluasi tentang program jenjang karir karena dari hasil penelitian
diperoleh hasil bahwa perawat Rumah Sakit Mardi Kudus yang
mengikuti uji kompetensi memiliki motivasi yang tinggi akan tetapi
belum semua perawat mengikutinya, perlu adanya evaluasi apakah
reward/ penghargaan yang diberikan sudah sesuai yang diharapkan
dan perlu adanya alur/mekanisme dari rumah sakit yang
memberlakukan uji kompetensi wajib diikuti oleh seluruh karyawan
dengan target masing masing jenjang sehingga dapat
menghasilkan karyawan yang betul betul berkompeten agar
pelayanan keperawatan akan dirasakan lebih baik.
2. Bagi perawat di Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus agar
menggunakan kesempatan yang diberikan dengan sebaik baiknya
agar menjadi perawat yang berkompeten, sehingga pelayanan yang
diberikan kepada pelanggan lebih baik dan memberikan kepuasan
bagi pelanggan.
3. Bagi peneliti lain, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang
motivasi perawat mengikuti uji kompetensi dengan metode penelitian
kualitatif dan faktor faktor yang mempengaruhi perawat mengikuti
uji kompetensi secara penelitian kuantitatif.

DAFTAR PUSTAKA
1. Nursalam. Manajemen Keperawatan : Aplikasi dalam Praktek
Keperawatan
Profesional . Jakarta : Salemba Medika. 2002.
2. PPN . Standar Kompetensi Bidang Keahlian Perawat. Jakarta. 2005.
3. Suyanto. Mengenal Kepemimpinan Dan Manajemen Keperawatan Di
Rumah Sakit. Yogyakarta : Mitra Candika. 2008.
4. S. Suarli Yanyan Bahtiar. Manajemen Keperawatan dengan
Pendekatan Praktis. Jakarta : Erlangga. 2009.
5. YPMK. PERDHAK. Sistim Penggajian Keperawatan Berdasarkan .
Kompetensi. 2005.
6. Anna Susana. Pengembangan Jenjang Karier Keperawatan Berbasis
Kompetensi Dalam Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan Keperawatan
Bandung. 2008.
http ://www.pelkesi.or.id/dokumen/Penembangan%20JK % 20
Keperawatan. Pdf. Diakses 12 September 2009.
7. Azis. Riset Keperawatan dan tehnik penulisan ilmiah. Jakarta : Salemba
Medika. 2003.
8. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D. Bandung :
Alfabeta. 2009.
9. Tati Nurhayati. Kaitan Sertifikasi dengan Sistem Remunerasi dan Pola
Karier Perawat di RS. MMC. Jakarta. 2004.
10. Hariandja, Marihot, TE. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : PT
Grasinda. 2001.
11. Handoko,TH. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Edisi
Kedua. Jakarta : PT Bumi Aksara. 2002.
12. Mangkunegara, A.A.A.P. Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia.
Bandung: Refika Aditama. 2000.
13. Siagian,S.P. Manajemen Sumber Daya Manusia.Cetakan Kesepuluh.
Jakarta: PT. Bumi Aksara. 2003.
14. Gouzali, S. Build in Training. Jurus Jitu Mengembangkan Profesionalisme
SDM. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. 2006.
15. Gustini M. Jenjang Karier Perawat di Maryland dan ndonesia.
http://www.google.co.id/152.118.148.220/jenjang%20karier%20
Gustini%20M. diakses 30 Oktober 2009.





Note :
KEPERAWATAN DI INDONESIA
Oleh : Netha Damayantie
( NPM : 0606027221 )


Seiring dengan era reIormasi dan era globalisasi di Indonesia saat ini, juga
diikuti dengan perubahan pemahaman terhadap konsep sehat-sakit, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta penyebaran inIormasi tentang determinan kesehatan
yang bersiIat multiIaktorial . Kondisi ini mendorong pembangunan kesehatan
nasional ke arah paradigma baru yaitu paradigma sehat. Dalam perkembangannya
keperawatan mengalami pasang surut sekaligus babak baru bagi kehidupan proIesi
keperawatan di Indonesia.

Gambaran Keperawatan di Indonesia
Kondisi keperawatan di Indonesia memang cukup tertinggal dibandingkan
negara-negara ASEAN seperti Piliphina, Thailand, dan Malaysia, apalagi bila ingin
disandingkan dengan Amerika dan Eropa. Pendidikan rendah, gaji rendah, pekerjaan
selangit inilah paradoks yang ada. Rendahnya gaji menyebabkan tidak sedikit perawat
yang bekerja di dua tempat, pagi hingga siang di rumah sakit negeri, siang hingga
malam di rumah sakit swasta. Dalam kondisi yang demikian maka sulit untuk
mengharapkan kinerja yang maksimal. Apalagi bila dilihat dari rasio perawat dan
pasien, dalam satu shiIt hanya ada 2-3 perawat yang jaga sedangkan pasien ada 20-25
per bangsal jelas tidak proporsional(YusuI,2006).

Jumlah perawat yang menganggur di Indonesia ternyata cukup
mencengangkan. Hingga tahun 2005 mencapai 100 ribu orang. Hal ini disebabkan
kebijakan :ero growth pegawai pemerintah, ketidakmampuan rumah sakit swasta
mempekerjakan perawat dalam jumlah memadai, rendahnya pertumbuhan rumah
sakit dan lemahnya kemampuan berbahasa asing. Ironisnya, data WHO 2005
menunjukkan bahwa dunia justru kekurangan 2 juta perawat, baik di AS, Eropa,
Australia dan Timur Tengah. Fakta lain di lapangan, saat ini banyak tenaga perawat
yang bekerja di rumah sakit dan puskesmas dengan status magang (tidak menerima
honor seperserpun) bahkan ada rumah sakit yang meminta bayaran kepada perawat
bila ingin magang. Alasan klasik dari pihak rumah sakit 'mereka sendiri yang datang
minta magang. Dilematis memang, tinggal di rumah menganggur , magang di rumah
sakit/puskesmas tidak dapat apa-apa . Padahal kalau kita menyadari sebenarnya
banyak sekali kesempatan dan tawaran kerja di luar negeri seperti :USA,. Canada,
United Kingdom (Inggris), Kuwait, Saudi Arabia, Australia, New Zaeland, Malaysia,
Qatar, Oman, UEA, Jepang, German, Belanda, Swiss (YusuI, 2006).

Kemampuan bersaing perawat Indonesia bila di bandingkan dengan negara-
negara lain seperti Philipines dan India masih kalah . Pemicu yang paling nyata
adalah karena dalam system pendidikan keperawatan kita masih menggunakan
'Bahasa Indonesiasebagai pengantar dalam proses pendidikan. Hal tersebut yang
membuat Perawat kita kalah bersaing di tingkat global. Salah satu tolak ukur kualitas
dari Perawat di percaturan internasional adalah kemampuan untuk bias lulus dalam
Uji Kompetensi keperawatan seperti ujian NCLEX-RN dan EILTS sebagai syarat
mutlak bagi seorang perawat untuk dapat bekerja di USA. Dalam hal ini kualitas dan
kemampuan perawat Indonesia masih sangat memprihatinkan (Muhammad, 2005)

Sejak disepakatinya keperawatan sebagai suatu proIesi pada Lokakarya
Nasional Keperawatan tahun 1983, terjadilah pergeseran paradigma keperawatan dari
pelayanan yang siIatnya vokasional menjadi pelayanan yang bersiIat proIessional.
Keperawatan kini dipandang sebagai suatu bentuk pelayanan proIessional yang
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang meliputi aspek
bio,psiko,sosio dan spiritual yang komperehensiI, dan ditujukan kepada individu,
keluarga, kelompok, atau masyarakat yang baik yang sehat maupun yang sakit dan
mencakup seluruh siklus hidup manusia . Sebagai proIesi yang masih dalam proses
menuju 'perwujudan diri, proIesi keperawatan dihadapkan pada berbagai tantangan.
Pembenahan internal yang meliputi empat dimensi domain yaitu; Keperawatan,
pelayanan keperawatan, asuhan keperawatan, dan praktik keperawatan. Belum lagi
tantangan eksternal berupa tuntutan akan adanya registrasi, lisensi, sertiIikasi,
kompetensi dan perubahan pola penyakit, peningkatan kesadaran masyarakat akan
hak dan kewajiban, perubahan sistem pendidikan nasional, serta perubahan-
perubahan pada suprasystem dan pranata lain yang terkait (YusuI, 2006).
Keluarnya Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,
UU No 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta Surat Keputusan Menteri
Kesehatan No 1239/Menkes/SK/2001 tentang registrasi dan praktik keperawatan
lebih mengukuhkan keperawatan sebagai suatu proIesi di Indonesia. Adanya Undang-
undang No. 8 tahun 1999 tetang Perlindungan Konsumen semakin menuntut perawat
untuk melaksanakan praktik keperawatan secara proIesional menjadi suatu keharusan
dan kewajiban yang sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi. Penguasaan Ilmu dan
keterampilan, pemahaman tetang standar praktik, standar asuhan dan pemahaman
hak-hak pasien menjadi suatu hal yang penting bagi setiap insan pelaku praktik
keperawatan di Indonesia (Yanto, 2001)
Konsekuensi dari perkembangan itu harus ada jenjang karier dan
pengembangan staI yang tertata baik, imbalan jasa, insentiI serta sistem penghargaan
yang sesuai dan memadai. Rendahnya imbalan jasa bagi perawat selama ini
mempengaruhi kinerja perawat. Banyak perawat bergaji di bawah upah minimum
regional (UMR). Sebagai gambaran, gaji perawat pemerintah di Indonesia antara Rp
300.000-Rp 1 juta per bulan tergantung golongan. Sementara perawat di Filipina tak
kurang dari Rp 3,5 juta (Kompas, 2001)
Selain memiliki kemampuan intelektual, interpersonal dan teknikal, perawat
di Indonesia juga harus mempunyai otonomi yang berarti mandiri dan bersedia
menanggung resiko, bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap tindakan
yang dilakukannya, termasuk dalam melakukan dan mengatur dirinya sendiri. Tetapi
yang terjadi di lapangan sangat memilukan, banyak sekali rekan-rekan Perawat yang
melakukan 'Praktek Pelayanan Kedokteran dan Pengobatan yang sangat tidak
relevan dengan ilmu keperawatan itu sendiri. Hal tersebut telah membuat proIesi
Perawat di pandang rendah oleh proIesi lain. Banyak hal yang menyebabkan hal ini
berlangsung berlarut-larut antara lain:
a. Kurangnya kesadaran diri dan pengetahuan dari individu perawat itu sendiri.
b. Tidak jelasnya aturan yang ada serta tidak tegasnya komitmen penegakan hukum
di Negara Republik Indonesia.
c.Minimnya pendapatan secara Iinansial dari rekan-rekan perawat secara umum
d.Kurang peranya organisasi proIesi dalam membantu pemecahan permasalah
tersebut.
e.Rendahnya pengetahuan masyarakat, terutama di daerah yang masih menganggap
bahwa Perawat juga tidak berbeda dengan 'DOKTERatau petugas kesehatan yang
lain (Muhammad, 2005)


Kondisi Sistem Pendidikan Keperawatan di Indonesia
Pengakuan -ody of knowledge keperawatan di Indonesia dimulai sejak tahun
1985, yakni ketika program studi ilmu keperawatan untuk pertama kali dibuka di
Fakultas Kedokteran UI. Dengan telah diakuinya -ody of knowledge tersebut maka
pada saat ini pekerjaan proIesi keperawatan tidak lagi dianggap sebagai suatu
okupasi, melainkan suatu proIesi yang kedudukannya sejajar dengan proIesi lain di
Indonesia. Tahun 1984 dikembangkan kurikulum untuk mempersiapkan perawat
menjadi pekerja proIesional, pengajar, manajer, dan peneliti. Kurikulum ini
diimplementasikan tahun 1985 sebagai Program Studi Ilmu Keperawatan di Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Tahun 1995 program studi itu mandiri sebagai
Fakultas Ilmu Keperawatan, lulusannya disebut ners atau perawat proIesional.
Program Pascasarjana Keperawatan dimulai tahun 1999. Kini sudah ada Program
Magister Keperawatan dan Program Spesialis Keperawatan Medikal Bedah,
Komunitas, Maternitas, Anak Dan Jiwa.

Sejak tahun 2000 terjadi euphoria Pendirian Institusi Keperawatan baik itu
tingkat Diploma III (akademi keperawatan) maupun Strata I. Pertumbuhan institusi
keperawatan di Indonesia menjadi tidak terkendali. Seperti jamur di musim kemarau.
Artinya di masa sulitnya lapangan kerja, proses produksi tenaga perawat justru
meningkat pesat. Parahnya lagi, Iakta dilapangan menunjukkan penyelenggara
pendidikan tinggi keperawatan berasal dari pelaku bisnis murni dan dari proIesi non
keperawatan, sehingga pemahaman tentang hakikat proIesi keperawatan dan arah
pengembangan perguruan tinggi keperawatan kurang dipahami. Belum lagi sarana
prasarana cenderung untuk dipaksakan, kalaupun ada sangat terbatas (YusuI, 2006).
Saat ini di Indonesia berdiri 32 buah Politeknik kesehatan dan 598 Akademi Perawat
yang berstatus milik daerah,ABRI dan swasta (DAS) yang telah menghasilkan
lulusan sekitar 20.000 23.000 lulusan tenaga keperawatan setiap tahunnya. Apabila
dibandingkan dengan jumlah kebutuhan untuk menunjang Indonesia sehat 2010
sebanyak 6.130 orang setiap tahun, maka akan terjadi surplus tenaga perawat sekitar
16.670 setiap tahunnya. (Sugiharto, 2005).

Salah satu tantangan terberat adalah peningkatan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) tenaga keperawatan yang walaupun secara kuantitas merupakan
jumlah tenaga kesehatan terbanyak dan terlama kontak dengan pasien, namun secara
kualitas masih jauh dari harapan masyarakat. Indikator makronya adalah rata-rata
tingkat pendidikan Iormal perawat yang bekerja di unit pelayanan kesehatan (rumah
sakit/puskesmas) hanyalah tamatan SPK (sederajat SMA/SMU). Berangkat dari
kondisi tersebut, maka dalam kurun waktu 1990-2000 dengan bantuan dana dari
World Bank, melalui program 'health project (HP V) dibukalah kelas khusus D III
keperawatan hampir di setiap kabupaten. Selain itu bank dunia juga memberikan
bantuan untu peningkatan kualitas guru dan dosen melalui program 'GUDOSEN.
Program tersebut merupakan suatu percepatan untuk meng-upgrade tingkat
pendidikan perawat dari rata-rata hanya berlatar belakang pendidikan SPK menjadi
Diploma III (Institusi keperawatan). Tujuan lain dari program ini diharapkan bisa
memperkecil gap antara perawat dan dokter sehingga perawat tidak lagi menjadi
perpanjangan tangan dokter (!rolonged physicians arms) tapi sudah bisa menjadi
mitra kerja dalam pemberian pelayanan kesehatan(YusuI, 2006).
Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan sisitem pendidikan keperawatan
di Indonesia adalah UU no. 2 tahun 1989 tentang pendidikan nasional, Peraturan
pemerintah no. 60 tahun 1999 tentang pendidikan tinggi dan keputusan Mendiknas
no. 0686 tahun 1991 tentang Pedoman Pendirian Pendidikan Tinggi (Munadi, 2006).
Pengembangan sistem pendidikan tinggi keperawatan yang bemutu merupakan cara
untuk menghasilkan tenaga keperawatan yang proIesional dan memenuhi standar
global. Hal-hal lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu lulusan
pendidikan keperawatan menurut YusuI (2006) dan Muhammad (2005) adalah :
1. Standarisasi jenjang, kualitas/mutu, kurikulum dari institusi pada pendidikan.
2. Merubah bahasa pengantar dalam pendidikan keperawatan dengan menggunakan
bahasa inggris. Semua Dosen dan staI pengajar di institusi pendidikan
keperawatan harus mampu berbahasa inggris secara aktiI
3. Menutup institusi keperawatan yang tidak berkualitas
4. institusi harus dipimpin oleh seorang dengan latar belakang pendidikan
keperawatan
5. Pengelola insttusi hendaknya memberikan warna tersendiri dalam institusi dalam
bentuk muatan lokal,misalnya emergency Nursing, pediatric nursing, coronary
nursing.
6. Standarisasi kurikulum dan evaluasi bertahan terhadap staI pengajar di insitusi
pendidikan keperawatan
7. Departemen Pendidikan, Departemen Kesehatan, dan Organisasi proIesi serta
sector lain yang terlibat mulai dari proses perizinan juga memiliki tanggung jawab
moril untuk melakukan pembinaan.

Trend Dan Isu Keperawatan Di Indonesia
Salah satu masalah kesehatan yang menonjol di Indonesia semenjak otonomi
daerah adalah kasus gizi buruk. Salah satu cara pemerintah untuk mengatasi masalah
ini adalah dengan melakukan revitalisasi untuk menghidupkan kembali konsep
Posyandu melalui konsep Desa Siaga. Kebijakan pemerintah ini dapat mengalami
hambatan untuk diwujudkan karena tidak melibatkan perawat untuk ambil bagian
dari desa siaga tersebut, yang disebabkan kurangnya pemahaman pemerintah dalam
mengeluarkan kebijakan tersebut atau memang sengaja pemerintah untuk tidak
melibatkan perawat. Padahal dengan adanya spesialisasi keperawatan komunitas dan
keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1239 tahun 2001 tentang registrasi dan praktik
perawat, tenaga keperawatan dapat memberikan kontribusi yan maksimal dalam
penyukseskan program desa siaga.
Saat ini masih terjadi persepsi yang keliru si masyarakat tentang proIesi
keperawatan di Indonesia. Persepsi keliru itu terjadi karena kesalahan inIormasi yang
mereka terima dan kenyataan di lapangan. Kondisi ini didukung pula dengan
kebudayaan dan kebiasaan-kebiasaan perawat seperti mengambilkan stetoskop, tissue
untuk para dokter. Masih banyak para perawat yang tidak percaya diri ketika berjalan
dan berhadapan dengan dokter. Paradigma ini harus dirubah, mengikuti
perkembangan keperawatan dunia. Para perawat menginginkan perubahan mendasar
dalam kegiatan proIesinya. Kalau tadinya hanya membantu pelaksanaan tugas dokter,
menjadi bagian dari upaya mencapai tujuan asuhan medis, kini mereka menginginkan
pelayanan keperawatan mandiri sebagai upaya mencapai tujuan asuhan keperawatan
Institusi pendidikan keperawatan sangat bertanggungjawab dan berperan
penting dalam rangka melahirkan generasi perawat yang berkuwalitas dan
berdedikasi. Pemilik dan pengelola insititusi pendidikan keperawatan yang sama
sekali tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang keperawatan baik secara
disiplin ilmu atau proIesi dapat menjadi penyebab rendahnya mutu lulusan dari
pendidikan keperawatan yang ada. Hal ini dapat di ukur dengan kalah bersaingan para
Perawat Indonesia bila di bandingkan dengan negara-negara lain seperti Philipina dan
India. Pemicu yang paling nyata adalah karena dalam system pendidikan keperawatan
kita masih menggunakan 'Bahasa Indonesiasebagai pengantar dalam proses
pendidikan. Hal tersebut yang membuat Perawat kita kalah bersaing di tingkat
global.Disisi lain dengan berkembangnya pola pelayanan kesehatan di Indonesia
memberikan kesempatan pada perawat untuk memperluas peran dan Iungsinya,
sehingga perlu ditunjang dengan latar belakang jenjang pendidikan tinggi dalam
bidang keperawatan termasuk pendidikan spesialistik, sehingga mampu bekerja pada
berbagai tatanan pelayanan kesehatan.
Isu hangat di berbagai pertemuan keperawatan baik regional maupun
nasional adalah isu tentang jasa keperawatan. Hal ini merupakan kebutuhan
mendesak, karena dapat menimbulkan dampak serius, seperti penurunan mutu
pelayanan, meningkatnya keluhan konsumen, ungkapan ketidakpuasan perawat lewat
unjuk rasa dan sebagainya. Isu ini jika tidak ditanggapi dengan benar dan
proporsional dikhawatirkan dapat menghambat upaya melindungi kepentingan pasien
dan masyarakat yang membutuhkan jasa pelayanan kesehatan, menghambat
perkembangan rumah sakit serta menghambat upaya pengembangan dari keperawatan
sebagai proIesi. Hal ini juga terkait dengan kesiapan Indonesia menghadapi AFTA
2003.
Menurut Muhammad (2005) dan kompas (2001), Ada beberapa hal yang bisa
dilakukan untuk mengatasi masalah tenaga perawat yang menganggur , antara lain :
1. Mengembangkan praktik mandiri keperawatan secara berkelompok maupun
individu untuk konsultasi, melakukan kunjungan rumah, hospice care untuk
pasien terminal
2. Perawat bisa bekerja di perusahaan untuk menjaga kesehatan pekerja dan
kecelakaan kerja
3. Perawat dapat melakukan dan terlibat secara aktiI dalam melakukan riset dan
penelitian di bidang keperawatan
4. Pemerintah memIasilitasi dan menggalakkan penempatan tenaga perawat di luar
negeri bagi perawat yangmemenuhi kualiIikasi.
5. Memberi sangsi kepada rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan yang
memberikan gaji di bawah standar.

Pada akhirnya keperawatan yang bermutu adalah suatu bentuk pelayanan yang
mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan pasien sebagai pelanggan. Untuk
mencapainya Perawat dapat memulai dari dirinya sendiri, Perawat harus bekerja
sesuai standar praktek pelayanan keperawatan sesuai wewenang dan tangung
jawabnya, selalu berupaya mengembangkan diri melalui pendidikan dan pelatihan
yang berkesinambungan serta sistem jenjang
karir.ttp://www.google.co.id/#sclientpsy-
ab&hlid&site&sourcehp&qhambatanujikompetensiperawat&pbx1&oqh
Uji




kompetensi perawat merupakan hal yang tidak bisa dihindari oleh perawat. Sekarang
sudah terbit peraturan dari pemerintah tentang keharusan uji kompetensi bagi
perawat. Peraturan tersebut yaitu Kepmenkes No.161 Tahun 2009. Badan Pelaksana
Uji Kompetensi Perawat adalah Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP).
Suka atau tidak, siap atau tidak, perawat akan berhadapan dengan uji kompetensi.
Bergantung pada tujuannya, uji kompetensi dapat diselenggarakan oleh Rumah Sakit,
lembaga yang dibentuk pemerintah atau lembaga non pemerintah. Uji kompetensi
yang diselenggarakan oleh MTKP terkait dengan perizinan kita sebagai perawat.
Uji kompetensi dapat pula diselenggarakan oleh rumah sakit adalah bertujuan untuk
mendapatkan data dalam pemetaan perawat dalam rangka strategi pengembangan
ketenagaan.
Lembaga penyelenggara uji kompetensi harus menguasai metodelogi dan sarana uji
kompetensi. Yang paling penting, perusahaan yang memakai jasa perawat tersebut
mengakui hasil uji kompetensi tersebut.

Uji Kompetensi Tenaga Kesehatan terkait dengan perizinan tenaga kesehatan
dirancang oleh MTKI / MTKP. Syarat penguji yang duduk di MTKP sudah berusia
40-60 tahun dan merupakan tenaga purna waktu.
Lembaga MTKI-MTKP merupakan perintah atau perangkat pelaksana Kepmenkes
Nomor 1239 Tahun 2001 dalam hal registrasi tenaga keperawatan. Dalam rentang
waktu 2001 hingga 2011, tidak terdapat kemajuan yang berarti. MTKP yang semesti
berdiri di tiap-tiap provinsi untuk merealisasikan registrasi dan lisensi perawat, pada
kenyataannya cuma masih sebatas wacana. Tidak semua provinsi aktiI membentuk
MTKP. Provinsi ini juga tidak bisa disalahkan karena Pusat sendiri belum terbentuk
induknya yakni MTKI. Provinsi yang bergerak membentuk MTKP terpaksa hanya
menggunakan Peraturan Gubernur (Pergub)sebagai payung hukumnya. Oleh karena
ketiadaan kejelasan pembentukan MTKI di pusat, maka Pengurus Pusat PPNI sekitar
2008 silam kemudian berinisiatiI membentuk KNUKP (Komite Nasional Uji
Kompetensi Perawat). Pembentukan KNUKP adalah untuk menjawab perlunya
perawat yang memiliki standard tertentu. Saat ini KNUKP telah menyelenggarakan
beberapa kali uji kompetensi di berbagai wilayah, seperti di DKI Jakarta. Apabila UU
Keperawatan telah terbit, seperti di negara-negara maju, maka Uji Kompetensi akan
diselenggarakan oleh Konsil Keperawatan. Dengan demikian KNUKP akan
dilikuidasi dengan sendirinya.
Sekadar pengetahuan, sebetulnya Badan Nasional SertiIikasi ProIesi (BNSP) telah
membuat Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Khusus proIesi
keperawatan, BNSP telah merancang SKKNI Bidang Kesehatan sub bagian
keperawatan.
Semoga saja KNUKP, MTKI dan BNSP bisa bersinergi sehingga perawat tidak
menjadi korban "perang kepentingan".

http://ppnibontang.blogspot.com/

You might also like