You are on page 1of 14

ANALISIS EVALUASI DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN KESEHATAN KEPMENKES RI NO 432/MENKES/SK/IV/2007 TENTANG PEDOMAN MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

(K3) DI RUMAH SAKIT


Diajukan untuk memenuhi nilai Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah Analisis Kebijakan Kesehatan (AKK)

Disusun Oleh: Abu Zar 108101000006

SEMESTER VI PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3) PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1432 H. 2011 M. A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sudah lama istilah modal manusia (human capital) telah menjadi sangat familiar digunakan oleh para ekonom. Banyak ekonom berpendapat bahwa istilah human capital berkonotasi memperlakukan orang sebagai budak atau mesin. Padahal sumberdaya manusia atau tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang diperlukan selain faktor produksi lainnya yang harus dikelola dan diperlihara secara baik. Agar pekerja dapat bekerja secara optimal dan mengurangi resiko kecelakaan kerja maka yang harus diperhatikan adalah tentang kesehatan dan keselamatan kerja bagi tenaga kerja. Usaha pencegahan kecelakaan kerja hanya dapat berhasil dengan memperbaiki manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. Menyangkut tentang kecelakaan kerja yang dapat terjadi dan menimpa tenaga kerja di tempat-tempat mereka bekerja seperti kebakaran, jatuh dari tempat tinggi, tergelincir dan lain sebagainya. Akibat yang ditimbulkan oleh kecelakaan tersebut dapat berupa kerugian materil, cedera kecil hingga kematian. Penyebab kecelakaan inipun bisa beragam, bisa disebabkan oleh kelalaian manusia, kondisi lingkungan yang tidak aman, alam, dan lain-lain. Untuk itu diperlukan suatu usaha pencegahan dan penanganan yang baik terhadap kecelakaan yang mungkin dapat terjadi, dengan demikian akibat negatif yang dapat timbul bisa diminimalisasi atau dihilangkan. Dalam hal ini tenaga kerja membutuhkan perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja dalam melakukan aktivitas bekerja, sehingga dapat dirancang suatu usulan acuan pengembangan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan-perusahaan maupun instansi pemerintah. Dalam manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dilakukan dengan

mengkomunikasikan dan mendukung rencana dalam mencapai tujuan yang diharapkan, mengintegrasikan dan menjaga komitmen pada keselamatan dan kesehatan kerja serta fokus pada perbaikan berkelanjutan dari manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. Sudah saatnya bidang ketenagakerjaan menjadi kebijakan publik dalam pembangunan daerahnya, ketika pemerintah dihadapkan dengan kenyataan mengenai penataan sektor tenaga kerja dan

diikuti tuntutan masyarakat terhadap ketenagakerjaan maka kemudian pemerintah perlu menyusun kebijakan publik sektor ketenagakerjaan. Sejalan dengan perkembangan ini, setidaknya ada tiga dasar signifikansi studi kebijakan publik. Yang pertama adalah kenyataan adanya tuntutan dari masyarakat yang beragam dan dengan adanya hal tersebut diperlukan suatu kajian berupa research and development sebelum kebijakan publik akan diterapkan.Yang kedua adalah kemampuan bagi para pengambil keputusan terhadap penerapan kebijakan publik secara mendalam, adanya analisis terhadap kebijakan publik dan adanya penasehat yang memahami mengenai kebijakan publik saat ini. Yang ketiga adalah dengan adanya perkembangan global saat ini maka diperlukan kebijakan publik yang strategis dalam rangka menghadapi berbagai persoalan baik yang bersifat internal maupun eksternal. Kebijakan publik di bidang keselamatan dan kesehatan kerja mencakup peningkatan koordinasi berdasarkan kemitraan yang saling mendukung, pemberdayaan pengusaha dan tenaga kerja serta pemerintah dalam meningkatkan budaya keselamatan dan kesehatan kerja, sebagai bagian dari manajemen perusahaan, pemahaman dan penerapan norma keselamatan dan kesehatan kerja yang berkelanjutan, meningkatkan komitmen pengusaha dan tenaga kerja, meningkatkan peran dan fungsi semua sektor dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja. Sehubungan dengan kebijakan publik tersebut ternyata perkembangan daerah dan tenaga kerja juga dapat mendorong penerapan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja untuk dilaksanakan. Sebagai salah satu indikator keberhasilan kinerja sistem ketenagakerjaan adalah terlaksananya pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja secara efektif, bermutu tinggi, efisien, dan akuntabel dalam kerangka satu sistem ketenagakerjaan yang salah satunya ditandai dengan terbentuknya organisasi dan manajemen profesional yang fungsional di tingkat institusi yang mempergunakan tenaga kerja. Disamping itu juga terjaminnya pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang keberlanjutan dengan dukungan peraturan perundangundangan dan ketetapan yuridis yang kuat untuk melindungi hak dan kepentingan masyarakat pekerja, dunia usaha dan lembaga lainnya, serta pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah.1

Susilawaty, Analisis Kebijakan Publik Bidang Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Kota Tasikmalaya (Semarang : Universitas Diponegoro, 2007), halaman 14-16

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Pasal 23 dinyatakan bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harus diselenggarakan di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang. Jika memperhatikan isi dari pasal di atas maka jelaslah bahwa Rumah Sakit (RS) termasuk ke dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di RS, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung RS. Sehingga sudah seharusnya pihak pengelola RS menerapkan upaya-upaya K3 di RS. Potensi bahaya di RS, selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi bahayabahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di RS, yaitu kecelakaan (peledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan sumber-sumber cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas anastesi, gangguan psikososial dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut di atas, jelas mengancam jiwa dan kehidupan bagi para karyawan di RS, para pasien maupun para pengunjung yang ada di lingkungan RS. Ditambahkan juga bahwa terdapat beberapa kasus penyakit akut yang diderita petugas RS lebih besar 1.5 kali dari petugas atau pekerja lain, yaitu penyakit infeksi dan parasit, saluran pernafasan, saluran cerna dan keluhan lain, seperti sakit telinga, sakit kepala, gangguan saluran kemih, masalah kelahiran anak, gangguan pada saat kehamilan, penyakit kulit dan sistem otot dan tulang rangka. Dari berbagai potensi bahaya tersebut, maka perlu upaya untuk mengendalikan, meminimalisasi dan bila mungkin meniadakannya, oleh karena itu K3 RS perlu dikelola dengan baik. Agar penyelenggaraan K3 RS lebih efektif, efisien dan terpadu, diperlukan sebuah pedoman manajemen K3 di RS, baik bagi pengelola maupun karyawan RS.2 2. Tujuan dan Manfaat Dalam kebijakan dicantumkan secara jelas tujuan dari kebijakan ini. Adapun tujuan dari dibuatnya kebijakan ini adalah Terciptanya cara kerja, lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan karyawan RS.

Republik Indonesia, Keputusan Menteri Kesehatan No 432 Tahun 2007 Tentang Pedoman Manajemen K3 di Rumah Sakit, halaman 4-5

Dengan melihat tujuan dari kebijakan tersebut bahwa kebijakan ini lebih menekankan kepada meningkatkan kualitas kesehatan karyawan RS. Dengan kata lain, kebijakan ini tidak tidak terlalu menekankan kepada pengunjung dan masyarakat sekitar rumah sakit ini. Manfaat : Bagi RS : a. Meningkatkan mutu pelayanan b. Mempertahankan kelangsungan operasional RS c. Meningkatkan citra RS. Bagi karyawan RS : a. Melindungi karyawan dari Penyakit Akibat Kerja (PAK) b. Mencegah terjadinya Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) Bagi pasien dan pengunjung : a. Mutu layanan yang baik b. Kepuasan pasien dan pengunjung Dalam kebijakan ini disebutkan bahwa manfaat dari dibuatnya kebijakan ini ada 3 garis besar yaitu untuk Rumah Sakit, untuk karyawan Rumah Sakit sebagai sasaran utama, dan bagi pasien dan pengunjung Rumah Sakit. Dalam manfaat, seharusnya juga ada manfaat untuk masyarakat sekitar Rumah Sakit. Sebagai contoh, jika dilakukan pengendalian dalam pengelolaan limbah, maka masyarakat sekitar juga akan merasakan manfaatnya yaitu air sekitar Rumah Sakit tidak tercemar limbah Rumah Sakit. Itu hanya sebagai salah satu contoh saja, banyak manfaat lain yang mungkin akan dirasakan bagi masyarakat sekitar karena dikendalikannya bahaya-bahaya yang mungkin terjadi dalam Rumah Sakit.

B. ANALISIS KEBIJAKAN 1. Analisis Permasalahan dan Tujuan Permasalahan yang muncul sebelum adanya surat keputusan ini adalah tingginya permasalahan-permasalahan didalam rumah sakit baik bagi pekerjanya maupun bagi pasien yang datang ke rumah sakit tersebut. Karena seperti yang sudah kita ketahui bahwa rumah sakit dapat menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan timbulnya penularan penyakit dan permasalahan-permasalahan kesehatan yang lainnya. Dari permasalahan menurut kebijakan ini adalah kebijakan ini hanya bertumpu pada pekerja dan pasien yang datang ke rumah sakit tersebut. Kebijakan ini tidak melihat bahwa lingkungan pemukiman tempat tinggal yang berada di sekitar rumah sakit itu juga berpotensi terhadap masalah-masalah kesehatan. Tujuan dibuatnya kebijakan ini adalah terciptanya cara kerja, lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan karyawan RS. Hal ini dimungkinkan dengan belum adanya pedoman teknis dirumah sakit, belum adanya standarisasi IPAL di rumah sakit, dan belum ergonomisnya keadaan-keadaan dirumah sakit bagi pekerja, contohnya alat-alat rumah sakit belum sesuai dengan bentuk antopometri untuk orang indonesia melainkan nyaman untuk orang asing dan tidak nyaman untuk orang indonesia yang cenderung tubuhnya tidak setinggi orang asing.

2. Analisis Upaya K3 Upaya k3 di rumah sakit dalam kebijakan ini adalah seimbangnya kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja. Menyangkut 3 komponen ini, kita sudah dapat melihat bahwa kapasitas pekerja pada 1 instansi saja sudah pasti dengan beban kerja yang cukup berat. Sebagai contoh dokter, kita lihat bahwa dirumah sakit-rumah sakit terlihat bahwa dokter dapat bekerja di berbagai instansi, hal ini menyebabkan tidak seimbangnya 3 komponen tadi. Dari segi kapasitas kerja yang hubungannya dengan beban kerja, seharusnya dokter cukup bekerja pada 1 instasi saja karena jika seperti itu belum tentu semua pasien di rumah sakit bisa ditangani dengan baik. Karena hal ini, dokter akan terburu-buru dalam menghadapi pasien, sehingga hubungan dokter dan pasien tidak terjalin dengan baik. Karena hal ini juga lingkungan kerja terhadap para pekerja yang lain dapat menjadi longgar, bisa saja

pekerja lain berpikiran negatif tentang dokter tersebut sehingga lingkungan kerja di rumah sakit itu tidak terjalin dengan baik.

3. Analisis Bahaya Potensial Bahaya potensial menurut kebijakan ini adalah faktor-faktor biologi (seperti virus, jamur, bakteri), faktor-faktor kimia (seperti desinfektan, obat-obatan), faktor-faktor fisika (seperti kebisingan, suhu, cahaya, radiasi), faktor psikososial (seperti shift kerja, hubungan antar pekerja), faktor ergonomi (seperti alat yang tidak sesuai dengan antropometri tubuh, cara menggunakan alat yang salah, cara kerja yang salah), faktor keselamatan (seperti kebakaran) Dari bahaya-bahaya tersebut dapat kita analisis sebagai berikut : a. Faktor-faktor Biologi Faktor biologi ini memang sudah sangat jelas dapat kita lihat, bahwa banyaknya penyakit-penyakit yang berasal dari mikroorganisme. Pasien yang datang karena penyakit yang bersumber dari mikroorganisme ini tidak sedikit jumlahnya, jadi dapat dikatakan bahwa faktor biologi adalah faktor utama dari bahaya kesehatan yang dapat mungkin terjadi. Faktor bahaya potensial biologi dimunculkan dalam kebijakan ini

dimungkinkan karena faktor higienitas dari pekerja, sebagai contoh perawat yang tangannya terpapar bakteri mikroorganisme dari pasien, lalu sebelum makan perawat tersebut tidak mencuci tangan terlebih dahulu. Atau dapat juga diakibatkan karena faktor APD, sebagai contoh perawat yang sedang mempunyai lesi merawat penderita kusta yang juga mempunyai lesi dan perawat ini tidak menggunakan APD untuk lukanya tersebut sehingga perawat tersebut tertular.

b. Faktor-faktor Kimia Banyak sekali faktor-faktor kimia yang mungkin muncul dari rumah sakit, misalnya terpaparnya sedikit demi sedikit akibat debu dari peracikan obat, terpapar sedikit demi sedikit zat-zat antiseptik untuk kulit, terkena tumpahan dari zat-zat kimia yang berbahaya. Hal ini dapat menjadi fatal ketika tua nanti sehingga sebelum kerja pekerja dapat sehat, ketika bekerja juga sehat dan setelah pensiun juga tetap sehat.
7

c. Faktor-faktor Fisika Faktor-faktor fisika yang dapat dilihat dari rumah sakit adalah kebisingan, getaran, suhu, radiasi. Dimunculkannya faktor-faktor fisika dalam kebijakan ini dimungkinkan dengan sudah timbulnya masalah-masalah akibat faktor-faktor fisika ini. Misalnya penurunan pendengaran pada pekerja yang berada di laundry atau peralatan yang bersuara keras lainnya. Karena faktor-faktor fisika di rumah sakit juga kebanyakan yang bersifat tidak langsung, ini sama halnya dengan faktor-faktor kimia sebelumnya yaitu tetap sehat sebelum bekerja, saat bekerja dan setelah pensiun.

d. Faktor-faktor Psikososial Bahaya psikososial dalam kebijakan ini lebih menekankan kepada shift kerja, kerja yang lebih, dan kontak dengan pasien. Menurut saya ini sudah baik, akan tetapi lebih baik juga jika disertakan oleh kontak dengan pemukiman sekitar. Karena jika dekat dengan lingkungan sekitar. Jika terdapat masalah-masalah mengenai masayarakat setempat, masyarakat setempat dapat mudah melapor kepada pihak rumah sakit. Jadi masyarakat tidak hanya pasif dan berbicara sesama masyarakat setempat yang kemudian cerita dari mulut ke mulut dan dapat menurunkan citra dari rumah sakit tersebut.

e. Faktor-faktor Ergonomi Bahaya ergonomi dalam kebijakan ini lebih ditekankan kepada 3, yaitu manual handling, postur saat bekerja dan pekerjaan yang berulang. Menurut saya 3 hal ini belum cukup mewakili dari faktor-faktor ergonomi karena desain alat yang digunakan pekerja yang tidak sesuai dengan antropometri pekerja juga sangat berpengaruh terhadap ketidaknyamanan saat bekerja dan masalah-masalah akibat kerja nantinya. Jadi seharusnya dalam faktor-faktor ergonomi ini juga ditambahkan alat yang sesuai dengan antropometri pekerja Indonesia. Faktor biologi, fisika, dan kimia ini juga seharusnya melihat indikasi-indikasi yang mungkin muncul untuk lingkungan pemukiman sekitar, bukan tidak mungkin karena imunitas yang menurun lingkungan sekitar dapat terkena menjadi dampak karena pengolahan dan pembuangan limbah yang tidak tepat. Selain itu, lingkungan sekitar juga dapat terpapar dari kebisingan dan zat-zat kimia yang berbahaya.

4. Analisis Penyelenggaran Dalam penyelenggaraannya disebutkan sebagai berikut :

Siklus diatas merupakan siklus yang sama persis dengan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang dituliskan pada OHSAS 18000 dan permenkes no 5 tahun 1996. Jadi dapat dikatakan bahwa tidak ada perubahan dalam sistem manajemen k3nya. Mungkin langkah-langkah ini dianggap langkah yang masih pling efektif, tetapi jika dilihat dari permenkes no 5 1996 itu yang sudah ditetapkan sejak 1996 masih saja sistem manajemennya belum berjalan dengan baik. Tapi kebijakan ini masih menggunakan langkah yang sama, seharusnya jika sudah diketahui sejak 1996 tidak berjalan dengan baik, ada langkah yang dirubah diperbaharui atau ditambahkan sehingga menjadi lebih sempurna. Dalam pelaksanaan setelah adanya kebijakan ini, maka banyak adanya pelatihanpelatihan terkait SMK3 Rumah Sakit. Pelatihan-pelatihan ini tentunya memerlukan standar kompetensi sehingga pekerja yang kerjanya terkait tentang SMK3 rumah sakit dapat lebih kompeten dalam pekerjaannya. Standar kompetensi tersebut ditetapkan oleh Depnakertrans RI, waktu yang diperlukan adalah sekurang-kurangnya 3 hari pelatihan dan sertifikat juga harus terakreditasi oleh Depnakertrans RI.3
3

Anonim, Pelatihan Sistem Manajemen Rumah Sakit, 2011, diakses dari http://www.prosafeinstitute.com/training-program/general-training/smk3-rumah-sakit.html pada tanggal 06 juli pukul 12:00

Awal ditetapkannya kebijakan ini, banyak rumah sakit yang berbasis meraih keuntungan berpendapat dengan diadakannya penerapan ini maka rumah sakit tersebut akan mengeluarkan biaya yang lebih besar. Akan tetapi rumah sakit rumah sakit tersebut tidak sampai frontal dalam mengemukakan pendapatnya. Karena pada awal kebijakan ini ditunjuk orang oleh Depnakertrans yang akan mengendalikan bahaya-bahaya di Rumah Sakit, maka lama kelamaan semua Rumah Sakitpun dapat mengerti bahwa dengan adanya Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) ini bukan merupakan pemborosan dalam biaya. Akan tetapi walaupun Rumah Sakit sudah mengerti bahwa SMK3 itu bukan merupakan pemborosan dalam pengeluaran biaya, tetap saja biaya untuk K3 dirumah sakit biasanya masih dianggarkan sangat rendah, atau belum mencukupi untuk kebutuhan yang efektif. Hal ini juga disebabkan oleh pekerjanya sendiri, misalnya dalam penggunaan Alat Perlindungan Diri (APD). Dalam undang-undang yang menetapkan tentang Alat Perlindungan Diri (APD), APD itu harus disediakan oleh perusahaan dan dapat digunakan secara cuma-cuma oleh pekerja. Karena hal ini, banyak pekerja yang membandel misalnya dengan sengaja merusak APD atau menjual APD tersebut. Karena hal diatas, tentunya Rumah Sakit juga mempertimbangkan dalam pengeluaran biaya untuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

C. ANALISIS AKTOR 1. Pemerintah


a. Politisi

10

Untuk analisis aktor pembuat kebijakan pada pemerintah khususnya politisi pada kebijakan ini, tidak terlihat adanya keterlibatan khusus oleh partai-partai tertentu. Pada kebijakan ini tidak terlihat adanya ketentuan-ketentuan yang berpihak ke partai-partai tertentu. Akan tetapi, hampir seluruh partai memprioritaskan kesehatan sebagai penarik simpati bagi masyarakat agar memilih partainya. Walaupun tidak ada yang menyebutkan secara khusus bahwa partai mereka memprioritaskan tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
b. Birokrat

Untuk aktor pembuat kebijakan pada birokrat, pada kebijakan ini disebutkan adanya keterlibatan-keterlibatan berbagai pihak yaitu Kementrian Kesehatan, Kementrian Tenaga Kerja, Presiden, dan Kementrian Lingkungan Hidup. Keterlibatan kementrian kesehatan tentunya sudah sangat jelas terlihat. Pertama, dilihat dari segi keputusannya kebijakan ini diputuskan oleh kementrian kesehatan. Akan tetapi kementrian kesehatan ini juga tidak dapat berdiri sendiri, apalagi kaitannya dengan ketenagakerjaan dan lingkungan hidup tentunya melibatkan kementrian tenaga kerja dan kemetrian lingkungan hidup. Kedua, dilihat dari pembagian tugas kementrian kesehatan juga memiliki tugas yang banyak yaitu ikut dalam proses perencanaan. Kementrian kesehatan juga terlibat dalam proses pelaksaan, yaitu sebagai dokter khusus (menurut Permenaker No. Per.02/MEN/1980) pada rumah sakit tersebut yang tugasnya adalah memeriksa, mencatat dan melaporkan keadaan tenaga kerja yang bekerja pada rumah sakit tersebut. Yang yang terakhir kementrian kesehatan juga bertugas pada audit yang diselenggarakan dari rumah sakit ini. Keterlibatan kementrian tenaga kerja juga dapat dilihat dari pengakuan dari kementrian tenaga kerja bahwa tenaga kerja yang kerja pada rumah sakit juga termasuk dalam wilayah kerja kementrian tenaga kerja. Pihak kementrian tenaga kerja juga harus ikut terlibat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, sampai proses pemantauan dan evaluasi. Tetapi dalam proses pelaksanaanya, tugas kementrian tenaga kerja adalah sebagau pengurus (menurut Permenaker No. Per.02/MEN/1980) yang tugas utamanya adalah bertanggung jawab atas ditaatinya peraturan yang telah dibuat.

2. Market
11

Dalam suatu kebijakan ada kebijakan yang berlaku untuk umum ada juga kebijakan yang berlaku untuk kalangan-kalangan tertentu saja. Untuk kebijakan ini, kebijakan dibuat hanya untuk sebatas wilayah kerja rumah sakit saja khususnya yang berhubungan dengan sistem manajemen K3 dan ergonomi pekerja. Disini dapat dilihat bahwa instansi-instansi yang terkait dalah kebijakan ini adalah : Rumah sakit. Rumah sakit sudah barang tentu menjadi market utama dalam kebijakan ini, karena kebijakan ini sudah jelas mengatur tentang tenaga kerja dalam rumah sakit.

Perusahaan obat dan farmasi. Perusahaan obat dan farmasi juga ikut menjadi market dalam kebijakan ini karena dalam kebijakan ini juga diatur tentang bahaya potensial yang berasal dari faktor kimia, khususnya obat.

3. Interest group
a. Civil Society

Menurut saya, civil society yang terlibat dalam kebijakan ini adalah Ikatan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Asosiasi Kedokteran Gigi Seluruh Indonesia (APDOGI), Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI). b. NGO Menurut saya, NGO-NGO yang terlibat dalam kebijakan ini adalah Ikatan Sosial Tenaga Kerja Suka Rela (ISOTKS), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan.

D. PENUTUP

12

1. Simpulan Awal permasalahan dibuatnya kebijakan ini adalah tingginya permasalahanpermasalahan kesehatan dalam rumah sakit. Tujuan dibuatnya kebijakan ini adalah seimbangnya 3 komponen, yaitu komponen kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja. Dalam kebijakan ini bahaya potensial yang diamati adalah bahaya potensial yang berasal dari faktor-faktor biologis, kimia, fisika dan ergonomi. Dalam penyelenggaraannya, Sistem Managemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah Sakit (SMK3-RS) dalam kebijakan ini sama dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh OHSAS dan permenkes no 5 tahun 1996. Aktor-aktor yang berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan ini sangatlah beragam, mulai dari birokrat (kementrian kesehatan, kementrian tenaga kerja, presiden dan kementrian lingkungan hidup), market (rumah sakit dan perusahaan obat dan farmasi), sampai interest group (IAKMI, IDI, APDOGI, ATKI, ISOTKS, LBH-kes).

2. Rekomendasi o Seharusnya dalam kebijakan bukan hanya mengatur tenaga kerja dan pasien yang datang, tetapi perumahan di sekitar rumah sakit juga seharusnya diatur. o Ditambahkannya atau diperbaruinya SMK3 yang telah diatur pada permenkes no 5 tahun 1996. Karena sampai ditetapkannya kebijakan ini, SMK3 yang telah dibuat masih belum efektif dalam pelaksanaannya. o Komitmen dari penegak hukum agar kebijakan ini dapat di tegakkan dengan sebaikbaiknya o Masih simpang siurnya pembagian tugas antar kementrian oleh karena itu diperlukannya pembagian tugas yang jelas dan kerja sama yang jelas antar kementrian. o Tidak adanya kepentingan-kepentingan khusus dari pembuat kebijakan yang bersifat keuntungan pribadi atau menguntungkan golongan tertentu.

13

Adanya aturan untuk pekerja dalam proses Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), sehingga tidak ada pekerja-pekerja yang membandel.

Daftar Pustaka
Anonim. 2011. Pelatihan Sistem Manajemen Rumah Sakit (SMK3 RS). diakses dari http://www.prosafeinstitute.com/training-program/general-training/smk3-rumah-sakit.html pada tanggal 06 juli pukul 12:00

Keputusan Menteri Kesehatan No 432 Tahun 2007 Tentang Pedoman Manajemen K3 di Rumah Sakit Susilawaty, Susy. 2007. Analisis Kebijakan Publik Bidang Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Kota Tasikmalaya. Semarang: Universitas Diponegoro.

14

You might also like