You are on page 1of 19

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Aksi-aksi kekerasan terjadi dimana saja, seperti di jalan-jalan, di sekolah, bahkan di kompleks-kompleks perumahan. Aksi-aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mencaci maki) maupun kekerasan non verbal (memukul, meninju). Agresivitas yang dilakukan oleh individu akan berdampak terhadap dirinya juga. Bahaya agresivitas terhadap individu itu sendiri adalah orang lain akan menjauhi pelaku yang hanya akan menyakiti orang lain tanpa berfikir panjang akibat yang akan di dapat setelah menyakiti orang lain. Perilaku agresif sangat rentan di kehidupan remaja. Pada masa pubertas atau masa menjelang dewasa ini, remaja banyak mengalami pengaruh-pengaruh dari luar yang menyebabkan remaja terbawa pengaruh oleh lingkungan tersebut. Pengaruh kelompok atau geng sebaya sangat kuat karena pada masa remaja lebih banyak di luar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagian kelompok, sehingga pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Pada kalangan remaja aksi yang biasa dikenal sebagai tawuran pelajar/massal merupakan hal yang sudah terlalu sering kita saksikan, bahkan cenderung dianggap biasa. Pelaku-pelaku tindakan aksi ini bahkan sudah mulai dilakukan agresi oleh dari siswa-siswa di tingkat SLTP/SMP. Hal ini sangatlah seorang individu atau kelompok (http://www.ememprihatinkan. Hal yang terjadi pada saat tawuran sebenarnya adalah perilaku psikologi.com/remaja.htm).

B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana upaya mengurangi dan mengatasi perilaku gresif?

C. Tujuan dan Manfaat 1. Agar para pendidik dapat mengetahui upaya-upaya mengurangi dan mengatasi perilaku agresif yang terjadi di sekolah. 2. Agar mahasiswa BK dapat mengetahui upaya-upaya mengurangi dan mengatasi perilaku agresif yang terjadi di lingkungannya. 3. Agar orang tua dapat mengetahui upaya-upaya mengurangi dan mengatasi perilaku agresif yang terjadi pada putra/putrinya. 4. Agar masyarakat dapat mengetahui upaya-upaya mengurangi dan mengatasi perilaku agresif yang terjadi di lingkungan setempat.

BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Perilaku Agresif Menurut Sarwono, Meinarno, dkk (2009) Agresi merupakan tindakan melukai yang disengaja oleh seseorang/institusi terhadap orang/institusi lain yang sejatinya disengaja. Agresi merupakan segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan itu (Baron dan Richardson dalam Krahe, 2005) Berkowitz (dalam Sarwono, Meinarno, dkk, 2009), mendefinisikan agresi sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang, baik secara fisik maupun mental. Perilaku agresif adalah sebuah fenomena yang kompleks di mana faktor risiko campur tangan termasuk genetik, neurologis, variabel biologi, konteks sosial budaya, dan pengalaman hidup awal, antara lain dilihat untuk tinjauan ( Dodge & Pettit dalam Calvete, E &Orue, I.,2010). Kemudian Yusuf (2011) mengemukakan bahwa agresi adalah perilaku menyerang baik secara fisik (non verbal) maupun kata-kata (verbal). Dari pendapat diatas dapat dikatakan bahwa perilaku agresi merupakan segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti individu lain, dengan ataupun tanpa tujuan tertentu, baik secara fisik (non verbal) maupun verbal.

B. Jenis-jenis Perilaku Agresif Menurut Bettencourt, Talley, dkk (2006) agresi terdiri dari dua jenis yaitu: 1. Agresi reaktif lebih bersikap memusuhi tanggapan terhadap ancaman atau provokasi. Mereka menjelaskan bahwa Persepsi ancaman dan pengalaman kemarahan mendorong individu reaktif agresif untuk membalas.Oleh karena itu, tujuan agresi reaktif adalah untuk ganti rugi merupakan ancaman atau kemarahan. 2. Agresi proaktif yang dilakukan untuk mendapatkan sumber daya atau kontrol atas orang lain dan tidak perlu di menanggapi provokasi, dari pemaksaan dan kekuasaan dimulai untuk mendapatkan sumber daya atau untuk mengintimidasi yang lainnya. Buss dan Durkee (dalam Fortuna, F. 2007) menggolongkan beberapa bentuk tindakan agresif yang secara operasional dapat digunakan untuk mengukur agresi, yaitu sebagai berikut: 1. Penyerangan: kekerasan fisik terhadap manusia termasuk perkelahian, tidak termasuk pengerusakan properti. 2. Agresi tidak langsung: menyebarkan gosip yang berkonotasi negatif, gurauan (yang negatif). 3. Negativisme: tingkah laku menantang, termasuk penolakan untuk bekerja sama, menolak untuk patuh dan pembangkangan. 4. Agresi verbal: berdebat, berteriak, menjerit, mengancam dan memaki. 5. Irritability: kesiapan untuk marah meliputi temper yang cepat dan kekasaran. 6. Resentment: iri dan rasa benci terhadap orang lain. 7. Kecurigaan: ketidakpercayaan dan proyeksi permusuhan terhadap orang lain, bentuk ekstrim dari kecurigaan ini adalah paranoia.

C. Tipe-tipe Agresif Tipe-tipe Agresi Menurut Berkowitz (dalam Aprillia K, 2007) tipe agresi terdiri

dari : 1. Agresi instrumental Suatu tindakan yang dilakukan lebih untuk tujuan ekstrinsik daripada kesenangan , yang diperolehnya sebagai prilaku instrumental. Biasanya agresi instrumental ini merupakan usaha paksaan atau suatu upaya mempertahankan kekuasaan , dominasi, atau status sosioal seseorang .

2. Agresi emosional Menurut istilah Feshbach (dalam Berkowitz, 2003), agresi jenis ini seringdisebut sebagai agresi jahat. Ini juga bisa dianggap sebagai agresi emosional,afektif, atau marah, karena terjadi ketika seseorang tersinggung atau berusaha menyakiti orang lain. Pembagian agresi diajukan oleh Moyer (dalam Sarwono, 1988 dalam Fortuna 2008) yang merinci agresi menjadi ke dalam tujuh tipe agresi, sebagai berikut: 1. Agresi predatori Agresi predatori dipicu oleh kehadiran objek alamiah ( mangsa) bisanya pada organisme atau spesies hewan yang menjadikan hewan dari spesies lain sebagai mangsanya . 2. Agresi antar jantan Agresi antar jantan secara tipikal dipicu oleh kehadiran sesama jantan pada suatu spesies . 3. Agresi ketakutan Agresi ketakutan dipicu oleh ketertutupanya kesempatan untuk menghindari dari ancaman . 4. Agresi tersinggung Agresi tersinggung dipicu oleh perasaan tersinggung atau kemarahan , respon menyerang muncul terhadap stimulus yang luas (tanpa memilih sasaran) baik berupa objek-objek hidup maupun objek-objek mati. 5. Agresi pertahanan

Agresi pertahanan dilakukan oleh organisme dalam rangka mempertahankan daerah kekuasaannya dari ancaman dan gangguan anggota spesiesnya sendiri. 6. Agresi maternal Agresi maternal spesifik pada spesies atau organisme betina (induk) yang dilakukan dalam upaya melindungi anak-anaknya dari berbagai ancaman.

7. Agresi instrumental Agresi instrumental dipelajari, diperkuat dan dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu . D. Faktor yang mempengaruhi Agresif Mutadin (dalam Aprillia K, 2007) menyebutkan beberapa faktor penyebab perilaku agresi, sebagai berikut: 1. Amarah Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktifitas sistem saraf parasimpatik yang lebih tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak. Pada saat amarah ada perasaan ingin menyerang, meninju, menghancurkan atau melempar sesuatu dan biasanya timbul pikiran yang kejam. Bila hal-hal tersebut disalurkan maka terjadilah perilaku agresi. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyatannya agresi adalah suatu respon terhadap amarah. Kekecewaan, sakit fisik, penghinaan, atau ancaman sering memancing amarah dan akhirnyamemancing agresi. Dan apabila tubuh telah berada dalam kondisi tak sabaran, dan ada sesuatu yang memicu kerja emosi, maka emosi berikutnya entah marah atau cemas, intensitasnya akan amat tinggi sehingga mengilhami dan mempermudah terjadinya agresi.

2. Faktor biologis Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi: a. Gen, tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi. Dari penelitian yang dilakukan terhadap binatang, mulai dari yang sulit sampai yang paling mudah dipancing amarahnya, faktor keturunan nampaknya membuat hewan jantan yang berasal dari berbagai jenis lebih mudah marah dibandingkan betinanya. b. Sistem otak. Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi. Pada hewan marah dapat dihambat atau ditingkatkan dengan merangsang sistem limbik (daerah yang dapat menimbulkan kenikmatan pada manusia) sehingga muncul hubungan timbal balik antara kenikmatan dan kekejaman. Prescott (dalam Mutadin, 2002 dalam Aprillia K, 2007) menyatakan bahwa orang yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang yang tidak pernah mengalami kesenangan, kegembiraan atau santai cenderung untuk melakukan kekejaman atau penghancuran (agresi). Prescott (dalam Mutadin, 2002 dalam Aprillia K, 2007) yakin bahwa keinginan yang kuat untuk menghancurkan disebabkan oleh ketidakmampuan untuk menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena kurang rangsangan sewaktu bayi. c. Kimia darah. Kimia darah (khususnya hormone seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi. Dalam suatu eksperimen, ilmuwan menyuntikan hormon testosteron pada tikus dan beberapa hewan lain maka tikus-tikus tersebut berkelahi

semakin sering dan lebih kuat. Sewaktu testosteron dikurangi hewan tersebut menjadi lembut. 3. Kesenjangan generasi Adanya perbedaan atau jurang pemisah (Gap) antara generasi anak dengan orangtuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan seringkali tidak nyambung. Kegagalan komunikasi orangtua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya agresi pada anak (Mutadin, 2002 dalam Aprillia K, 2007)

. 4. Lingkungan Hal-hal di dalam lingkungan yang dapat mempengaruhi perilaku agresi adalah sebagai berikut: a. Kemiskinan Bila seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku agresi mereka secara alami mengalami penguatan (McCandless, dalam Mutadin 2002 dalam Aprillia K, 2007). Hal ini dapat kita lihat dan alami dalam kehidupan sehari-hari di ibukota Jakarta, di perempatan jalan dalam antrian lampu merah (Traffic Light) anda biasa didatangi pengamen cilik yang jumlahnya lebih dari satu orang yang datang silih berganti. Bila anda memberi salah satu dari mereka maka anda siapsiap diserbu anak yang lain untuk meminta pada anda dan resikonya anda mungkin dicaci maki bahkan ada yang berani memukul pintu mobil anda jika anda tidak memberi uang, terlebih bila mereka tahu jumlah uang yang diberikan pada temannya cukup besar. Mereka juga bahkan tidak segan-segan menyerang temannya yang telah diberi uang dan berusaha merebutnya. Hal ini sudah menjadi pemandangan yang seolah-olah biasa saja. b. Anonimitas

Kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota besar lainnya menyajikan berbagai suara, cahaya dan bermacam informasi yang besarnya sangat luar biasa. Orang secara otomatis cenderung berusaha untuk beradaptasi dengan melakukan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang berlebihan tersebut. Terlalu banyak rangsangan indera dan kognitif membuat dunia menjadi sangat impersonal, artinya antara satu orang dengan orang lain tidak lagi saling mengenal atau mengetahui secara baik. Lebih lanjut lagi, setiap individu cenderung menjadi anonim (tidak mempunyai identitas diri). Bila seseorang merasa anonim ia cenderung berperilaku semaunya sendiri, karena ia merasa tidak lagi terikat dengan norma masyarakat dan kurang bersimpati pada orang lain (Mutadin, 2002 dalam Aprillia K, 2007). c. Suhu udara yang panas Bila diperhatikan dengan seksama tawuran yang terjadi di Jakarta seringkali terjadi pada siang hari di terik panas matahari, tapi bila musim hujanrelatif tidak ada peristiwa tersebut. Begitu juga dengan aksi-aksi demontrasi yang berujung pada bentrokan dengan petugas keamanan yang biasa terjadi pada cuaca yang terik dan panas tapi bila hari diguyur hujan aksi tersebut juga menjadi sepi (Mutadin, 2002a). Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa suhu suatu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku sosial berupa peningkatan agresivitas. Pada tahun 1968 US Riot Comision(dalam Aprillia K, 2007)pernah melaporkan bahwa dalam musim panas, rangkaian kerusuhan dan agresivitas massa lebih banyak terjadi di Amerika Serikat dibandingkan dengan musim-musim lainnya (Fisher, dkk dalam Mutadin 2002 dalam Aprillia K, 2007). 5. Peran belajar model kekerasan Acara-acara yang menampilkan adegan kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dalam tontonan yang disajikan di televisi mulai dari film kartun, sinetron, sampai film laga. Selain itu ada pula acara-acara televisi yang menyajikan acara khusus perkelahian yang sangat populer dikalangan remaja

seperti: Smack Down, UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan namun diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya. Davidoff (Mutadin, dalam Aprillia K, 2007) mengatakan bahwa menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut. Dalam suatu penelitian Stein (Mutadin, 2002 dalam Aprillia K, 2007) dikemukakan bahwa anak-anak yang memiliki kadar agresi diatas normal akan lebih cenderung berlaku agresif, mereka akan bertindak keras terhadap sesame anak lain setelah menyaksikan adegan kekerasan dan meningkatkan agresi dalam kehidupan seharihari, dan ada kemungkinan efek ini sifatnya menetap. Hal ini diperkuat dengan penelitian Barlett, C. P., & Rodeheffer, C. (2009) terhadap 39 laki-laki dan 35 perempuan yang memainkan video game kekerasan, menerangkan bahwa video game kekerasan mempengaruhi pemikiran, perasaan, perilaku agresif dan gairah fisiologis seseorang. Ditandai dengan detak jantung berdetak lebih cepat dari biasa, dan suhu tubuh meningkat. Dan research ini juga menunjukkan bahwa laki-laki lebih cepat mengalami perilaku agresif dibandingkan dengan perempuan. 6. Frustrasi Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresimerupakan salah satu berespon terhadap frustrasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhanyang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi (Mutadin, 2002 dalam Aprillia K, 2007). 7. Proses pendisiplinan yang keliru

11

Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh buruk bagi remaja (Sukadji, dalam Mutadin 2002 dalam Aprillia K, 2007). Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi kepada orang lain. Hubungan dengan lingkungan sosial berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya, sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Pola pendisiplinan tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar (contoh: dilarang untuk keluar main, tetapi di dalam rumah tidak diperhatikan oleh kedua orangtuanya karena kesibukan mereka). Aini dalam Aprillia K, 2007) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan agresivitas pada remaja akhir, dimana semakin tinggi kecerdasan emosi pada remaja akhir maka semakin merendah agresivitasnya. Selanjutnya dalam penelitian Calvete, E & Orue, I. (2010) da pat disimpulkan, bahwa penelitiannya bertujuan untuk menguji hubungan antara tiga skema kognitif (pembenaran kekerasan, narsisme, dan pelecehan) dan perilaku agresif pada remaja, dan untuk menguji apakah hubungan ini dimediasi oleh SIP. Dalam konsistensi dengan studi sebelumnya, kami mengusulkan hipotesis berikut: a. Pembenaran kekerasan akan dikaitkan dengan kedua proaktif dan reaktif agresi, dan asosiasi ini akan dimediasi oleh SIP (terutama dengan komponen pemilihan perilaku agresif). b. Narsisme akan dikaitkan dengan agresi proaktif, dan asosiasi ini akan dimediasi oleh SIP. c. Sebaliknya, penyalahgunaan akan dikaitkan dengan agresi reaktif dan asosiasi ini akan dimediasi oleh komponen penafsiran SIP. Selain itu, kami berharap menemukan asosiasi antar komponen SIP

sendiri: interpretasi, kemarahan, dan seleksi respon. Terakhir, kami menguji apakah peran skema kognitif dan komponen SIP adalah serupa untuk kedua anak laki-laki dan perempuan, menggunakan model kelompok beberapa persamaan struktural. Sedangkan kita harapkan bahwa peran pembenaran skema kekerasan dan narsisme akan sama baik untuk anak laki-laki dan perempuan, kami tidak berspekulasi apapun hipotesis untuk peran skema penyalahgunaan, sebagai studi sebelumnya telah memberikan hasil yang beragam. Tanpa disadari banyak hal pada keluarga yang sering kali merupakan sebab terjadinya tingkah laku anak menjadi agresif. Menurut Muljono Abdurrachman dan Sudjadi S (1994) antara lain: a. Ketidakberadaan orang tua atau ketidakhadiran orang tua bersama anak-anak sering kali menimbulkan sikap agresif pada anak. b. Orang tua terlalu memberikan kebebasan, dan tidak konsisten. c. Kurang perhatian dan kasih sayang dari orang tua. d. Pengawasan yang terlalu keras dari orang tua. e. Hukuman fisik yang diberikan orang tua, tidak adnaya kasih sayang, diasingkan oleh kedua orang tuanya. f. Keberadaannya atau kelahirannya anak ini tidak diharapkan karena merupakan hasil perkawinan paksa. g. Keadaan keluarga yang berantakan atau tidak rukun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fortuna, F. (2007) dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan pola asuh otoriter dengan perilaku agresif pada remaja. Pemaksaan dan kontrol yang sangat ketat dapat menyebabkan kegagalan dalam berinisiatif pada anak dan memiliki ketrampilan komunikasi yang sangat rendah. Anak akan menjadi seorang yang sulit untuk bersosialisasi dengan teman2nya sehingga anak akan mempunyai rasa sepi dan ingin diperhatikan oleh

13

orang lain dengan cara berperilaku agresif. E. Dampak Perilaku Agresif 1. Dampak internal yaitu dampak yang merugikan pelaku agresif seperti terkena hukuman, mendapatkan penilaian buruk dari lingkungan, dan tidak tenang hidupnya. 2. Dampak Eksternal yaitu dampak yang dirasakan oleh lingkungan yang ada di sekitar pelaku agresif, seperti menyebabkan sakit secara fisik maupun psikis, kerugian materiil, dan terganggunya ketenteraman lingkungan.

F. Teori-teori Perilaku Agresif 1. Teori Bawaan Teori bawaan atau bakat terdiri atas teori naluri dan teori biologi. a. Teori Naluri Freud dalam teori psikoanalisis klasiknya mengemukakan bahwa agresi adalah satu dari dua naluri dasar manusia. Jika naluri seks berfungsi untuk melanjutkan keturunan, naluri agresi berfungsi mempertahankan jenis. Kedua naluri tersebut berada dalam alam ketidaksadaran, khususnya pada bagian dari kepribadian yang disebut id yang pada prinsipnya pelaku ingin agar kemauannya dituruti (prinsip kesenangan atau pleasure principle). Akan tetapi, tidak semua keinginan id dapat terpenuhi. Kendalinya terletak pada bagian lain dari kepribadian yang dinamakan super-ego yang mewakili norma-norma yang ada dalam masyarakat dan ego yang berhadapan dengan kenyataan. b. Teori Biologi

Moyer (dalam Sarwono, 1997) berpendapat bahwa perilaku agresif ditentukan oleh proses tertentu yang terjadi di otak dan susunan syaraf pusat. Demikian pula hormon laki-laki (testoteron) dipercaya sebagai pembawa sifat agresif. 2. Teori Lingkungan a. Teori Frustasi-Agresi Klasik Teori yang dikemukakan oleh Dollard dkk(1993) dan Miller (1941) ini intinya berpendapat bahwa agesi dipicu oleh frustasi. Frustasi itu sendiri artinya adalah hambatan terhadap pencapain suatu tujuan. Dengan demikian, agresi merupakan pelampiasan dari perasaan frustasi. b. Teori Frustasi-Agresi Baru Dalam pengembangannya kemudian terjadi beberapa modifikasi terhadap Teori Frustasi-Agresi Klasik. Salah satu modifikasi adalah Burnstein dan Worchel (1962) yang membedakan anatara frustasi dan iritasi. Jika suatu hambatan terhadap pencapaian tujuan dapat dimengerti alasannya, yang terjadi adalah iritasi (gelisah, sebal) bukan frustasi (kecewa, putus asa). 3. Teori Belajar Sosial Berbeda dari teori bawaan dan Teori Frustasi-Agresi yang menekankan faktor-faktor dorongan dari dalam, teori belajar sosial lebih mem[perhatikan faktor tarikan dari luar. Bandura (dalam Sarwono :2009) mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari pun perilaku agresif dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa. Menurut Bandura (dalam Alwisol, 2010) agresi diperoleh melalui pengamatan, pengamatan langsung dengan renforsemen positif dan negatif, latihan atau perintah, dan keyakinan yang ganjil. Agresi yang ekstrim menjadi disfungsi atau salah suai psikologis. Dari penelitian yang dilakukan Bandura, observasi terhadap perilaku agresi akan menghasilkan respon peniruan yang berlebih. Pengamat akan bertingkahlaku lebih agresif disbanding modelnya.

15

BAB III PEMBAHASAN

A. Upaya mengurangi Perilaku Agresif 1. Menurut Bandura dalam Teori belajar Yaitu dengan melatih orang tua untuk mendidik anak-anak mereka tanpa kekerasan. Anak-anak ternyata banyak meniru dari ornag tuanya yang sedikit-sedikit berteriak, menjerit, marah-marah, baik antar suami-istri, tetangga, maupun kepada anak-anak sendiri. Jika orang tua dapat mengurangi kebiasaan perilaku agresi seperti itu, diharapkan anak-anak juga akan berkurang agresifitasnya. Cara lain adalah mengurangi sarana dan prasarana yang dapat memicu agresi, seperti tampat penjualan minum-minuman (bar), meniadakan media massa, seperti majalah dan video yang berbau pornografi. Selain itu dapat juga dengan menayangkan profil/public figure yang memiliki

perangai atau tingkah laku yang baik, dengan harapan dia dapat meniru tingkah laku baik yang dimiliki profil tersebut. 2. Menurut perspektif Biologis dan Psikodinamika dengan katarsis Seseorang perlu mereduksi dorongan agresinya, ibarat ketel uap yang amat panas, maka dibutuhkan saluran untuk mendinginkan ketel tadi. Freud menyebutnya sebagai katarsis, juga disebut sebagai hipotesis katarsis, yakni upaya untuk menurunkan rasa marah dan kebenciannya dengan cara yang lebih aman sehingga mengurangi bentuk agresifitas yang sekiranya akan muncul. Umumnya, kartarsis berupa kegiatan fisik yang menguras tenaga. Ketika fisik lelah, diperkirakan tingkat agresi akan turun. Beberapa aktifitas itu antara lain olah raga atau menonton film-film laga. Hal yang menarik adalah munculnya pesimisme atas langkah ini. Hal itu disebabkan karena walaupun katarsis menurunkan rasa marah, agresifitas bisa muncul lagi ketika seseorang kembali terprovokasi.

3. Menurut perspektif Skinner Sejarah manusia mencatat lebih banyak hukuman sebagai cara penanganan agresifitas. Hal ini bisa dilihat mulai dari agresifitas yang dilakukan individu hingga yang dilakukan oleh institusi atau bahkan negara. Pada individu, para pelaku kekerasan seperti pemerkosa dan pembunuhan akan dihukum penjara atau hukuman mati. Negara agresor seperti jepang saat menganeksasi Cina tahun 1930-an, diberi sanksi oleh Liga Bangsa-Bangsa. Namun tetap saja agresivitas muncul. Hal yang paling penting dalam penggunaan hukuman adalah hukuman harus jelas dan sesegera mungkin mengikuti agresivitas yang dilakukan. Kedua, hukuman harus amat keras

17

sehingga mengurangi kemungkinan pengulangan oleh pelaku.

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan Perilaku agresif adalah suatu tindakan yang didasari oleh suatu rencana atau niat, sebagai wujud dari luapan perasaan negatif yang dimaksudkan untuk menyakiti, menyerang orang lain, sehingga menimbulkan akibat negatif pada obyek yang diserang, dimana akibat itulah yang diharapkan oleh pelaku agresi Factor yang mempengaruhi perilaku agresif terdiri dari dua factor yaitu factor internal dan eksternal. Factor internal meliputi factor biologis, kecerdasan emosional, pola asuh orang tua. Factor eksternal meliputi lingkungan tempat tinggal, keadaan ekonomi dan social, keadaan masyarakat sekitar, lingkungan pergaulan, acara kekerasan di media massa baik elektronik maupun non elektronik, dan video game. Dampak dari perilaku agresif terdiri dari dampak internal dan ekternal. Dampak internal yaitu dampak yang merugikan pelaku agresif seperti terkena hukuman, mendapatkan penilaian buruk dari lingkungan, dan tidak tenang hidupnya. Dampak Eksternal yaitu dampak yang dirasakan oleh lingkungan yang ada di sekitar pelaku agresif, seperti menyebabkan sakit secara fisik maupun psikis, kerugian materiil, dan terganggunya ketenteraman lingkungan. Upaya untuk mengurangi perilaku agresif dapat dilakukan dengan pendekatan Bandura dalam Teori belajar, perspektif Biologis dan Psikodinamika dengan kattarsis dan perspektif Skinner dengan pemberian hukuman. B. Saran Pemaparan agresifisme masih sangat sederhana, sehingga selanjutnya dapat dikembangkan dengan referensi yang lebih up date dan aktual. Terutama dalam upaya mengurangi dan mengatasi perilaku agresif yang kian merebah di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

19

Abdurrahman, M., & Sudjadi, S. (1994). Pendidikan Anak Luar Biasa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Alwisol. (2010). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press. Aprillia K. (2007) Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Perilaku Agresi Pada Remaja. Research. Bekasi: Universitas Gunadarma. Calvete, E &Orue, I. (2010). Cognitive Schemas and Aggressive Behavior in Adolescents: The Mediating Role of Social Information Processing. The Spanish Journal of Psychology. Vol. 13. No. 1, 190-201. Calvete, E &Orue, I. (2010). Cognitive Schemas and Aggressive Behavior in Adolescents: The Mediating Role of Social Information Processing. The Spanish Journal of Psychology. Vol. 13. No. 1, 190-201. Calvete, E &Orue, I. (2010). Cognitive Schemas and Aggressive Behavior in Adolescents: The Mediating Role of Social Information Processing. The Spanish Journal of Psychology. Vol. 13. No. 1, 190-201. Fortuna, F. (2007).Hubungan Pola Asuh Otoriter dengan Perilaku Agresif Pada Remaja. Research. Bekasi: Universitas Gunadarma. Krahe, B. (2005). The Social Psychology of Aggression. Alih Bahasa Helly P. S. & Sri M. S. menjadi Perilaku Agresif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sarwono, S. W., Meinarno, E. A., dkk. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika. Yusuf, S. (2011). Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

You might also like