You are on page 1of 4

Unity and Diversity: Urban Planning for Multiculturalism Lauren Schwetz Oleh:

1. Fatih Gama Abisono 2. Sutrisno


Abstrak Lauren Schwetz dalam kajiannya Unity and Diversity: Urban Planning for Multiculturalism menawarkan pembelajaran multikulralisme melalui studi perencanaan tata kota. Bagi Schwetz keragaman budaya telah mengubah hubungan dalam komunitas global dimana keragaman budaya memfasilitasi banyak kesempatan di masyarakat. Namun meski dunia telah terkoneksi melalui teknologi tak serta merta mendorong pemahaman tentang keragaman dunia. Pendidikan budaya masih jauh di belakang kecenderungan globalisasi. Melalui perencanaan kota, orang bisa didorong untuk belajar dan berinteraksi dengan orang-orang dari latar belakang yang berbeda serta meminimalkan konflik budaya dan memproyeksikan multikulturalisme. Menuju Keragaman Budaya Schwetz memulai kajiannya dengan fenomena globalisasi yang mendorong terhubungnya beragam budaya di dunia. Globalisasi menyediakan informasi tentang budaya lain dan memperkenalkan nilai-nilai yang bertentangan. Kemajuan yang cepat dalam teknologi memungkinkan untuk berinteraksi dengan bangsa lain (White 2004). Dampak meleburnya bangsa-bangsa ini diamati melalui mobilitas tinggi antar bangsa dengan kemudahan migrasi. Namun globalisasi juga cenderung memunculkan konflik dimana peningkatan keragaman budaya di negara di dunia kerap melahirkan benturan antar komunitas budaya berbasis ideologi, etnis, dan nasionalisme dalam sebuah negara yang dipicu migrasi. Tantangan bagi negara di zaman global adalah menciptakan sebuah masyarakat yang menyatukan serta menghormati keragaman warganya. Belajar dari Amerika tentang pembentukan bangsa, James A. Bank memperlihatkan semua kelompok diminta untuk berbagi satu budaya dominan yang mengorbankan budaya asli mereka dalam rangka menegakkan kebudayaan nasional (Bank 2004). Model yang bertumpu pada asimisilasi ini menuai kritik yang dapat diatasi dengan multikulturalisme. Schwetz menyatakan: mengasimilasi semua budaya tidak akan mendorong harmoni. Imigran ingin sejarah dan budaya tercermin dalam kebudayaan nasional, dan mereka ingin hak untuk mempertahankan budaya mereka sendiri sambil menikmati hak kewarganegaraan (Bank 2004). Melalui multikulturalisme setiap kelompok ras dan etnis ditoleransi dan dilindungi dalam sistem kesetaraan politik, dimana mereka bebas mengaktualkan tradisi, bahasa, adat istiadat, dan gaya hidup sendiri. Perencanaan Untuk Keanekaragaman Dengan demografi dunia berubah dengan cepat, negara harus menemukan cara untuk mengatasi dampak negatif dari keanekaragaman budaya. Keragaman budaya, sebuah bangsa sesungguhnya merupakan kekuatan sebuah bangsa. Namun keragaman mensyaratkan pengelolaan dengan perencanaan yang tepat dimana konflik dapat diminimalkan. Karena sebagian besar keragaman dan interaksi antar orang dari latar belakang berbeda terjadi di daerah perkotaan, maka dengan desain urban yang tepat, kota-kota perlu meningkatkan hubungan dan pemahaman budaya di kalangan masyarakat. Disinilah peran perencana kota menentukan. Perencana kota dapat mengambil keragaman yang ada dimasyarakat sebagai peluang untuk meminimalkan konflik. Tugas perencana kota adalah sebagai "perencanaan pembangunan fisik dan sosial kota melalui desain tata ruang dan penyediaan layanan dan fasilitas (" Perencanaan Kota "). Dalam konteks keragaman masyarakat, perencana kota perlunya mempertimbangkan latar belakang, budaya, kepercayaan rakyat serta tentang keragaman sosial kota.

Tantangan utama perencana kota adalah membangun keseimbangan kesatuan dan keragaman yang mensyaratkan pemahaman intens interaksi dari berbagai budaya. Bank menyatakan perencana harus membuka kesempatan bagi kelompok yang berbeda untuk menjaga aspek budaya masyarakat mereka dan pada saat yang sama membangun bangsa di mana semua kelompok terlibat (2004). Di masa lalu, perencanaan telah dikritik karena tidak peka terhadap terhadap kelompok minoritas yang mendorong konflik (Bollens 2002). Kunci dalam perencanaan kota yang sensitive adalah pemahaman umum tentang bagaimana masyarakat berinteraksi. Selain itu pelibatan semua kelompok diperlukan. Perencana perkotaan harus mengkonsolidasikan opini dan menghasilkan sebuah rencana yang rasional. Ketika mendesain ruang privat, keragaman pilihan harus mencerminkan keragaman masyarakat. Semua warga harus disediakan akses yang sama dan memiliki rumah tinggal yang memenuhi kebutuhan spesifik mereka. Dengan pemahaman aspek sosial tersebut membuat sebuah desain dapat diterima semua kelompok. Bollens menyajikan 4 model perencanaan kota dengan setting masyarakat yang beragam dan memiliki sejarah konflik budaya. Strategi pertama, model yang memisahkan perencanaan dan isu identitas. Kedua, strategi partisan, di mana nilai sebuah kelompok etnis lebih diunggulkan dari kelompok (Bollens 2002). Model ini mirip dengan asimilasi, namun tidak mempertimbangkan ketegangan yang terjadi dalam populasi. Ketiga, strategi ekuitas, di mana keutamaan diberikan kepada afiliasi etnis dalam rangka mengurangi kesenjangan antargolongan (Bollens 2002). Keempat adalah strategi resolver, yang mempertimbangkan kererkaitan isu perkotaan dengan penyebab polarisasi perkotaan, termasuk ketidakseimbangan kekuatan, kompetisi identitas kelompok etnis, dan marginalisasi (Bollens 2002). Leonie Sandercock menawarkan terapi perencanaan sebagai strategi yang memberikan pemahaman terbaik melalui organisasi masyarakat dan perencanaan sosial (2004). Melalui "percakapan multikultural" (Sandercock 2004), masyarakat menjadi terlibat dalam rencana mereka sendiri dan mulai memahami kompleksitas merancang. Mereka juga dididik tentang keragaman orang-orang di komunitas mereka dan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang berbagai kebutuhan. Cara ini benar-benar mengintegrasikan kebutuhan masyarakat. Menyatukan Perbedaan di Israel Penyebab keragaman budaya dan agama Israel adalah adanya imigrasi Yahudi dari seluruh dunia tentang tanah yang dijanjijan. Hal inilah yang menyebabkan bangsa Yahudi berkeinginan membangun bangsa Yahudi di Israel. Karena semakin banyaknya Yahudi yang berimigrasi ke Israel, maka ketimpangan dalam jumlah penduduk pun tak terelakkan. Hal ini dibuktikan dengan adanya pemisahan yang jelas antara demarkasi Arab-Israel (Yahudi-Palestina) dalam perencanaan kota, yang kemudian menyebabkan konflik budaya (agama) dalam masyarakat yang laten. Di Israel, perbedaan agama tersebut menyebabkan konflik; ketidakseimbangan dalam agama ini dibagi menjadi 80% Yahudi, 15% Islam, agama lain 3% Kristen dan 2% ("Israel" 2005). Imigrasi Yahudi tersebut menyebabkan konflik agama dalam masyarakat yang sering disebabkan oleh prasangka agama dan kesalahpahaman. Untuk itulah diperlukan suatu strategi dalam membangun sinergitas keragaman yang ada dengan membuat tata ruang yang membuka akses dan interaksi di dalam masyarakat Israel-Palestina itu sendiri. Dalam studi ini, tata ruang yang dijadikan sebagai bahan eksperimen adalah kota Yerussalem dan Kryat Gat. Scott Bollens mengkritisi pembangunan kota yang ada di Yerussalem yang membuat masyarakat semakin terpolarisasi dengan adanya strategi partisan di mana adanya klaim etnis dan nasionalis (pemberdayaan nilai-nilai satu kelompok etnis yang mempunyai otoritas, sedangkan menolak klaim dari kelompok diberi hak ) yang secara signifikan menyebabkan konflik. Kemudian, Artur Glikson, seorang arsitek dan penulis, memberikan idenya tentang desain perencanaan kota yang menciptakan sebuah lingkungan di mana kehidupan akan dirangsang dengan keanekaragaman penduduknya (Marans 2004). Glikson mengembangkan desain tersebut di kota Kiryat Gat pada tahun

1950, dengan mengintegrasikan sub-sub kelompok populasi yang berbeda, dan perlunya pendidikan perbedaan budaya di dalam kota, apabila ingin mencapai perdamaian. Pendekatan regional Glikson adalah solusi unik untuk keragaman yang disebabkan oleh adanya imigrasi. Glikson mampu menganalisis kota di berbagai tingkatan, lingkungan, sosial, politik, dan ekonomi, yang menggambarkan kebutuhan desain perkotaan di kota-kota yang terpolarisasi. Glikson berusaha untuk menciptakan lingkungan yang akan "merehabilitasi, mendidik dan merubah pemukim warga. Perencanaan Glikson tersebut dikembangkan dengan cara membuka ruang terbuka yang bertujuan adanya kontak sosial warga yang bertemu satu sama lain. Ruang-ruang tersebut menjadi faktor penting masyarakat. Yakni dengan cara membangun jalan setapak yang menghubungkan ke pusat kota, daerah rekreasi, dan kabupaten komersial. Sebuah lingkungan sekolah yang kompleks merupakan upaya pertama untuk merencanakan pembangunan regional ini. Kemudian, skema lain yang diberikan Glikson adalah membawa orang bersama-sama dengan untuk mengurangi penggunaan mobil dengan membangun jalurjalur hijau yang mendorong interaksi dan komunikasi informal mendorong pertumbuhan dalam masyarakat.

Pada tahun 1965, survei dilakukan untuk menganalisis keberhasilan proyek, dan disimpulkan bahwa kemajuan sedang dibuat ke arah sebuah komunitas terpadu (Marans 2004). Kemudian, survei kedua dilakukan sepuluh tahun kemudian, hasilnya interaksi antara tetangga sangat tinggi dan warga lebih puas dengan lingkungan, setengah dari mereka menyatakan keinginan untuk tidak pindah (Marans 2004).
Glikson berhasil membangun kota dengan adanya prinsip keragaman dan kebutuhan masyarakat, yang berhasil mendorong adanya interaksi. Adanya temuan-temuan dari evaluasi dapat digunakan untuk memodifikasi perencanaan kota dalam rangka membangun masyarakat (Marans 2004). Sementara situasi Kiryat Gat adalah unik ke daerah dan penduduk yang beragam, ide-ide bangunan, evaluasi dan perencanaan masyarakat bersifat universal. Hal ini penting untuk memahami konteks sosial, budaya, dan geografis selama tahap awal proses desain (Marans 2004), serta penilaian masyarakat yang terus berubah sepanjang evolusinya. Bahwa tujuan dari kebijakan [perkotaan] tidak boleh mengkooptasi masyarakat yang marginal dan memberi peluang besar masyarakat yang menjadi otoritas. Harus ada keragaman agar bisa hidup berdampingan antar masyarakat yang bebas untuk berinteraksi. Keseimbangan persatuan dan keberagaman harus menjadi tujuan utama dari perencanaan kota. Tujuan utama adalah para pemimpin kota dan pembuat kebijakan harus "menekankan tidak hanya tata ruang kota, tetapi juga sangat menyadari kebutuhan sosial-psikologis dan identitas kompleks kelompok etnis yang beragam di wilayah perkotaan" (Bollens 2001). Kesimpulan Keragaman budaya adalah mengubah cara orang memahami diri mereka sendiri dan komunitas mereka. Melalui pendidikan, masyarakat dapat memfasilitasi hubungan yang lebih baik di kalangan masyarakat. Dengan ada perencanaan kota, adalah mungkin untuk menyatukan masyarakat serta budaya tanpa kehilangan identitas unik dari rakyat. Hal inilah yang terjadi di Israel, di mana adanya kota Yerussalem dan Kiryat Gat dijadikan sebagai tolak ukur bagaimana merencanakan kota yang terdiri dari berbagai macam keragaman. Dengan merancang komunitas untuk tumbuh dan berubah, dan merancang demografi rakyat, perencanaan kota dapat mendukung kesatuan serta keragaman kota. Hal ini dapat menjadikan masyarakat satu sama lain berinteraksi dalam ranah yang sifatnya informal dalam kehidupan sehari-hari. Dengan

meningkatnya keanekaragaman bangsa kita, kita perlu mempertimbangkan cara untuk mempromosikan pemahaman dalam masyarakat terutama masyarakat internasional.

You might also like