You are on page 1of 30

MONEY LAUNDRY (PENCUCIAN UANG)

Pada beberapa tahun terakhir ini, kejahatan-kejahatan yang melibatkan uang ( dana ) mulai bermunculan. Seperti halnya Money laundry yang jelas illegal karena memberi insentif dan perlindungan terhadap uang-uang haram. Pencucian uang atau money laundry adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Untuk itu, kasus pencucian uang atau money laundry harus dipersulit atau dicegah. Dengan mempersulit dan mencegah Money laundry diharapkan ada sistem yang bisa mengurangi kegiatan-kegiatan ilegal seperti penyelundupan, korupsi, pembiayaan tindak terorisme, penggelapan pajak, dan lain-lain. Kalau seorang kriminal tidak bisa menikmati uang hasil kejahatannya, maka jelas akan berkurang kesempatan bagi mereka untuk melakukan tindak kejahatan. Dan itulah tujuan kegiatan anti money laundry. Pada makalah ini, akan dibahas mengenai perkembangan praktek money laundry, contoh kasus dan pembahasannya, dan juga upaya untuk mencegah kasus money laundry yang terjadi baik di Indonesia maupun di Internasional.

a. Sejarah Money Laundry

Money laundering sebagai salah satu jenis kejahatan kerah putih (white collar crime) yang sebenarnya sudah ada sejak tahun 1967. Pada saat itu, seorang perompak di laut, Henry Every, dalam perompakannya terakhir merompak kapal Portugis berupa berlian senilai 325.000 poundsterling (setara Rp5.671.250.000). Harta rampokan tersebut kemudian dibagi bersama anak buahnya, dan bagian Henry Every ditanamkan pada transaksi perdagangan berlian dimana ternyata perusahaan berlian tersebut juga

merupakan perusahaan pencucian uang milik perompak lain di darat. Namun istilah money laundering baru muncul ketika Al Capone, salah satu mafia besar di Amerika Serikat, pada tahun 1920-an, memulai bisnis Laundromats (tempat cuci otomatis). Bisnis ini dipilih karena menggunakan uang tunai yang mempercepat proses pencucian uang agar uang yang mereka peroleh dari hasil pemerasan, pelacuran, perjudian, dan penyelundupan minuman keras terlihat sebagai uang yang halal. Walau demikian, Al Capone tidak dituntut dan dihukum dengan pidana penjara atas kejahatan tersebut, akan tetapi lebih karena telah melakukan penggelapan pajak. Selain Al Capone, terdapat juga Meyer Lansky, mafia yang menghasilkan uang dari kegiatan perjudian dan menutupi bisnis ilegalnya itu dengan mendirikan bisnis hotel, lapangan golf dan perusahaan pengemasan daging. Uang hasil bisnis illegal ini dikirimkan ke beberapa bank-bank di Swiss yang sangat mengutamakan kerahasian nasabah, untuk didepositokan. Deposito ini kemudian diagunkan untuk mendapatkan pinjaman yang dipergunakan untuk membangun bisnis legalnya. Berbeda dengan Al Capone, Meyer Lansky justru terbebas dari tuntutan melakukan penggelapan pajak, tindak pidana termasuk tindak pidana pencucian uang yang dilakukannya.

b.

Perkembangan Praktek Money Laundry


Asal muasal money laundry dilakukan oleh organisasi kriminal yang sering

dikenal dengan sebutan mafia. Money laundry biasanya dilakukan atas beberapa alasan, seperti karena dana yang dimiliki adalah hasil curian/korupsi, hasil kejahatan (semisal pada sindikat kriminal), penjualan ganja, pelacuran, penggelapan pajak, dan sebagainya. Atas hal tersebut maka uang tersebut harus dicuci atau ditransaksikan ke pihak ketiga, lewat badan hukum, atau melalui negara dunia ketiga. Sehingga uang tersebut dapat diterima kembali oleh pemilik asal uang tersebut seolah-olah berasal dari hasil usaha yang legal. Untuk itu, perlu diperketat mengenai pengawasan aliran dana baik asal usul sumbernya maupun tujuan dana pemakaian dana tersebut. Tujuannya adalah tidak lain untuk memutus dan mencegah rantai aliran dana yang tidak jelas tersebut yang akan dicucikan oleh pemiliknya.

Ada dua sumber dana haram yang biasanya digunakan dalam praktek money laundry, yaitu dana yang berasal dari dalam negeri dan luar negeri. Dana tersebut bergentayangan dan dicarikan tempat yang aman untuk menyimpannya oleh pemiliknya. Hal tersebut dapat dilihat dengan munculnya Dragon Bank. DRAGON BANK merupakan salah satu lembaga keuangan yang mengelola uang haram setelah menerima pemutihan ( money laundering ) dari pemilik dana dan berpusat di Vanuatu Pasifik selatan. Dalam perkembangannya, kasus money laundry tidak hanya melibatkan lembaga keuangan, badan hukum, atau lembaga yang lainnya. Namun parahnya, saat ini kasus money laundry sudah mulai merambah atau melibatkan lembaga keagamaan yang menurut orang-orang merupakan tempat yang suci dan sakral seperti masjid, gereja, pura, dan wihara. Mereka tidak mengecek dari mana asal uang tersebut, yang penting diberikan ke tempat suci tersebut. Tetapi sadarkah kita bahwa bisa saja tempat ibadah kita yang katanya "suci" itu menjadi tempat pencucian uang para koruptor di negeri ini? Ini merupakan salah satu fakta yang menunjukkan bahwa money laundry sudah tidak mengenal tempat yang akan dituju untuk mencuci dana. Entah itu tempat suci atau bukan, seolah-olah dihalalkan oleh para pelakunya. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku money laundry memiliki perilaku moral yang parah dan tidak beretika, seolah-olah mereka buta karena dana tersebut.

c.

Kegiatan dan Pelaku Money laundry


Pencucian uang sebagai tindak pidana yang terorganisir tentu ada beberapa pi-hak

yang terlibat dan mempunyai tugas masing-masing. Biasanya organisasi seperti ini disebut dengan sindikat atau jaringan. Agar organisasi ini berjalan dengan sempurna sesuai dengan rencana perlu adanya kerangka tertentu sebagai sarana. Beberapa literatur yang membahas pencucian uang mengemukakan bahwa kegiatan pencucian uang mempunyai kerangka, model, modus operandi, instrumen, metode, tahapan serta pela-ku tertentu dalam kegiatan kejahatan merupakan satu paket.. Masing-masing sarana terdiri dari berbagai jenis sebagai alternatif. Sarana-sarana ini menjadi pedoman melakukan

pencucian uang sehingga untuk melakukan pencucian uang dapat dipilih dari beberapa alternatif. Model Schaap, Cees sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady mengemukakan banyak model untuk melakukan kejahatan pencucian uang. Diantara model pencucian uang yang paling lazim adalah : 1. Model dengan operasi C-Chase. Model ini menyimpan uang di bank diba-wah ketentuan sehingga bebas dari kewajiban lapor transaksi keuangan (Non Currency Transaction Reports) dan melibatkan bank luar negeri dengan memanfaatkan tax haven. 2. Model pizza connection. Model ini memanfaatkan sisa uang yang ditanam di bank untuk mendapatkan konsesi Pizza, dan melibatkan negara tax haven dengan memanfaatkan ekspor fiktif. 3. Model La Mina. Model ini memanfaatkan pedagang grosir emas dan permata dalam negeri dan luar negeri. 4. Model dengan penyelundupan uang kontan ke negara lain. Model ini mempergunakan konspirasi bisnis semu dengan system bank parallel. 5. Model dengan melakukan perdagangan saham di Bursa Efek. Model ini melakukan kerja sama dengan lemabaga keuangan yang bergerak di bursa efek. Modus Operandi Dalam perbuatan tindak pidana pencucian uang terdapat pengkategorian beberapa modus yang didasarkan pada tipologinya : a. tipologi dasar : 1) modus orang ketiga, yaitu dengan menggunakan seseorang untuk menjalankan perbuatan tertentu yang diinginkan oleh pelaku pencurian uang, dapat dengan menggunakan atau mengatasnamakan orang ketiga atau orang lain lagi yang berlainan. Ciri-cirinya adalah : orang ketiga hampir selalu nyata dan bukan hanya nama palsu dalam dokumen, orang ketiga biasanya menyadari ia dipergunakan, orang ketiga tersebut merupakan orang kepercayaan yang bisa dikendalikan, dan hubungannya dengan pelaku sangat dekat sehingga dapat berkomunikasi setiap saat.

2) modus topeng usaha sederhana, merupakan kelanjutan modus orang ketiga, dimana orang tersebut akan diperintahkan untuk mendirikan suatu bidang usaha dengan menggunakan kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. 3) modus perbankan sederhana, dapat merupakan kelanjutan modus pertama dan kedua, namun juga dapat berdiri sendiri. Disini terjadi perpindahan sistem transaksi tunai yang berubah dalam bentuk cek kontan, cek perjalanan, atau bentuk lain dalam deposito, tabungan yang dapat ditransfer dengan cepat dan digunakan lagi dalam pembelian asetaset. Modus ini banyak meninggalkan jejak melalui dokumen rekening koran, cek, dan data-data lain yang mengarah pada nasabah itu, serta keluar masuknya dari proses transaksi baik yang menuju pada seseorang maupun pada aset-aset, atau pun pada pembayaran-pembayaran lain. 4) modus kombinasi perbankan atau usaha, yang dilakukan oleh orang ketiga yang menguasai suatu usaha dengan memasukkan uang hasil kejahatan ke bank untuk kemudian ditukar dengan cek yang kemudian digunakan untuk pembelian aset atau pendirian usaha-usaha lain. b. tipologi ekonomi : 1) modus smurfing, yakni pelaku menggunakan rekan-rekannya yang banyak untuk memecah sejumlah besar uang tunai dalam jumlah-jumlah kecil dibawah batas uang tunai sehingga bank tidak mencurigaivkegiatan tersebut untuk kemudian uang tunai tersebut ditukarkan divbank dengan cek wisata atau cek kontan. Bentuk lain adalah dengan memasukkan dalam rekening para smurfing di satu tempat pada suatu bank kemudian mengambil pada bank yang sama di kota yang berbeda atau disetorkan pada rekeningrekening pelaku pencucian uang di kota lain sehingga terkumpul dalam beberapa rekening pelaku pencucian uang. Rekening ini tidak langsung atas nama pelaku namun bisa menunjuk pada suatu perusahaan lain atau rekening lain yang disamarkan nama pemiliknya. 2) modus perusahaan rangka, disebut demikian karena perusahaan ini sebenarnya tidak menjalankan kegiatan usaha apapun, melainkan dibentuk agar rekening perusahaannya dapat digunakan untuk memindahkan sesuatu atau uang. Perusahaan rangka dapat digunakan untuk penempatan (placement) dana sementara sebelum dipindah atau

digunakan lagi. Perusahaan rangka dapat terhubung satu dengan yang lain misal saham PT A dimiliki oleh PT B yang berada di daerah atau Negara lain, sementara saham PT B sebagian dimiliki oleh PT A, PT B, PT C, dan/atau PT D yang berada di daerah atau Negara lain 3) modus pinjaman kembali, adalah suatu variasi dari kombinasi modus perbankan dan modus usaha. Contohnya : pelaku pencucian uang menyerahkan uang hasil tindak pidana kepada A (orang ketiga), dan A memasukkan sebagian dana tersebut ke bank B dan sebagian dana juga didepositokan ke bank C. Selain itu A meminjam uang ke bank D. Dengan bunga deposito bank C, A kemudian membayar bunga dan pokok pinjamannya dari bank D. Dari segi jumlah memang terdapat kerugian karena harus membayar bunga pinjaman namun uang illegal tersebut telah berubah menjadi uang pinjaman yang bersih dengan dokumen yang lengkap. 4) modus menyerupai MLM. 5) modus under invoicing, yaitu modus untuk memasukkan uang hasil tindak pidana dalam pembelian suatu barang yang nilai jual barang tersebut sebenarnya lebih besar daripada yang dicantumkan dalam faktur. 6) modus over invoicing, merupakan kebalikan dari modus under invoicing. 7) modus over invoicing II, dimana sebenarnya tidak ada barang yang diperjualbelikan, yang ada hanya faktur-faktur yang dijadikan bukti pembelian (penjualan fiktif) sebab penjual dan pembeli sebenarnya adalah pelaku pencucian uang. 8) modus pembelian kembali, dimana pelaku menggunakan dana yang telah dicuci untuk membeli sesuatu yang telah dia miliki. c. tipologi IT : 1). modus E-Bisnis, hampir sama dengan modus menyerupai MLM, namun menggunakan sarana internet. 2). modus scanner merupakan tindak pidana pencucian uang dengan predicate crime berupa penipuan dan pemalsuan atas dokumendokumen transaksi keuangan. d. tipologi hitek adalah suatu bentuk kejahatan terorganisir secara skema namun orangorang kunci tidak saling mengenal, nilai uang relatif tidak besar tetapi bila dikumpulkan

menimbulkan kerugian yang sangat besar. Dikenal dengan nama modus cleaning dimana kejahatan ini biasanya dilakukan dengan menembus sistem data base suatu bank. Mahmoeddin, H.AS yang dikutip oleh Munir Fuady mengemukakan ada 8 (delapan) modus operandi pencucian uang : 1. Kerjasama Penanaman Modal Uang hasil kejahatan dibawa ke luar negeri. Kemudian uang itu dimasukkan lagi ke dalam negeri lewat proyek penanaman modal asing (joint venture). Selanjkutnya keuntungan dari perusahaan joint venture diinvestasikan lagi ke dalam proyek-proyek yang lain, sehingga keuntungan dari proyek terse-but sudah uang bersih bahkan sudah dikenakan pajak. 2. Kredit Bank Swiss Uang hasil kejahatan diselundupkan dulu ke luar negeri lalu dimasukkan di bank tertentu, lalu di transfer ke bank Swiss dalam bentuk deposito. Deposito dijadikan jaminan hutang atas pinjaman di bank lain di negara lain. Uang dari pinjaman ditanamkan kembali ke negara asal dimana kejahatan dilakukan. Atas segala kegiatan ini menjadikan uang itu sudah bersih. 3. Transfer ke luar Negeri Uang hasil kejahatan ditransfer ke luar negeri lewat cabang bank luar negeri di negara asal. Selanjutnya dari luar negeri uang dibawa kembali ke dalam negeri oleh orang tertentu seolah-olah uang itu berasal dari luar negeri. 4. Usaha Tersamar di dalam Negeri Suatu perusahaan samaran di dalam negeri didirikan dengan uang hasil keja-hatan. Perusahaan itu berbisnis tidak mempersoalkan untung atau rugi. Akan tetapi seolaholah terjadi adalah perusahaan itu telah menghasilkan uang bersih. 5. Tersamar Dalam Perjudian Uang hasil, kejahatan didirikanlah suatu usaha perjudian, sehingga uang itu dianggap sebagai usaha judi. Atau membeli nomor undian berhadiah dengan nomor menang dipesan dengan harga tinggi sehingga uang itu dianggap se-bagai hasil menang undian.

6. Penyamaran Dokumen Uang hasil kejahatan tetap di dalam negeri. Keberadaan uang itu didukung oleh dokumen bisnis yang dipalsukan atau direkayasa sehingga ada kesan bahwa uang itu merupakan hasil beberbisnis yang berhubungan dengan do-kumen yang bersangkutan. Rekayasa itu misalnya dengan melakukan double invoice dalam hal ekspor impor sehingga uang itu dianggap hasil kegiatan ekspor impor. 7. Pinjaman Luar Negeri Uang hasil kejahatan dibawa ke luar negeri. Kemudian uang itu dimasukkan lagi ke dalam negeri asal dalam bentuk pinjaman luar negri. Sehingga uang itu dianggap diperoleh dari pinjaman (bantuan kredit ) dari luar negeri. 8. Rekayasa Pinjaman Luar Negeri. Uang hasil kejahatan tetap berada di dalam negeri. Namun dibuat rekayasa dokumen seakan-akan bantuan pinjaman dari luar negeri Metode Ada tiga metode yang dipergunakan melakukan pencucian uang, sbb : 1. Buy and Sell Conversions Metode ini dilakukan meallui transaksi barang dan jasa. Suatu aset dapat dijual kepada konspirator yang bersedia membeli atau menjual lebih mahal dengan mendapatkan fee atau deskon. Selisih harga yang dibayar kemudian dicuci secara transaki bisnis. Barang atau jasa dapat diubah menjadi hasil yang legal melalui rekening pribadi atau perusahaan yang ada di suatu bank 2. Offshore Conversions Uang hasil, kejahatan dikonversi ke dalam wilayah yang merupakan tempat yang sangat menyenagkan bagi penghindaran pajak (tax heaven money laun-dering centers) untuk kemudian di depositokan di bank yang berada di wila-yah tersebut. Negara yang termasuk atau berciri tax heaven memang terdapat system hukum perpajakan yang tidak ketat. Akan tetapi system rahasia bank sangat ketat. Birokrasi bisnis cukup mudah untuk memungkinkan adanya ra-hasia bisnis yang ketat serta pembentukan usaha trust fund. Untuk mendu- kung usaha itu pelaku memakai jasa pengacara,

akuntan dan konsultan keuangan dan para pengelola dana yang handal untuk memanfaatkan segala cela yang ada di negara itu. 3. Legitimate Business Conversions Metode ini dengan melakukan kegiatan bisnis yang sah sebagai cara peng-alihan atau pemanfaatan hasil uang kotor. Uang kotor kemudian dikonversi secara transfer, cek atau alat pembayaran lain untuk disimpan di rekening bank atau ditransfer kemudian ke rekening bank lainnya. Biasanya pelaku bekerja sama dengan perusahaan yang rekeningnya dapat digunakan sebagai terminal untuk menampung uang kotor. Instrumen Instrumen yang dimaksud berupa lembaga penyedia jasa baik penyedia jasa keuangan berupa bank ataupun non bank maupun non keuangan. Ada 8 (delapan) Instrumen yang dipergunakan dalam pencucian uang. yaitu : 1. Bank dan Lembaga Keuangan lainnya 2. Perusahaan Swasta 3. Real estate 4. Deposit Taking Institution dan Money Changer 5. Institusi Penanaman Uang Asing 6. Pasar Modal dan Pasar uang. Menurut UU No 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan public yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. (Pasasl 1 angka 13). Pasar Uang adalah sarana yang menyediakan pembaiayaan jangka pendek (kurang dari satu tahun). Pasar uang tidak mempunyai tempat fisik seperti pasar modal. Pasar uang memperdagangkan antara lain : surat berharga pemerintah, sertifikat deposito,surat perusahaan seperti aksep, dan wesel. Lemabaga lembaga yang aktif dalam pasar uang adalah bank komersial, merchant banks, bank dagang, penyalur uang, dan bank sentral . 7. Emas dan Barang Antik 8. Kantor konsultan keuangan

Pelaku Kejahatan terorganisir termasuk pencucian uang pelakunya juga lebih dari satu atau dua orang . Terorganisir dalam pengertian terdapat kerjasama diantara pelaku dan masing-masing pelaku dapat berada pada tempat yang berlainan. Pencucian uang sebagai kejhahatan terorgaanisir dilakukan oleh orang yang me-nguasai dunia penyedia jasa keuangan baik bank maupun non bank Tindak pidana seba-gai mana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat saja dilakukan oleh siapa saja. Akan tetapi untuk melanjutkannya ke tingkat pencucian uang diperlukan pengetahuan khusus tentang dunia penyedia jasa keuangan. Bahkan harus menguasasi ilmu pengetahuan computer. Pencucian uang merupakan kejahatan kerah putih (white collar crime). Kejahatan kerah putih tidak ada rumusan yang jelas baik dari sisi kriminologi maupun dalam perundang-undangan. Pergerakan kejahatan kerah putih sangat luas yang dapat meliputi perekonomian, keuangan dan biasanya dilakukan secara terorganisir (organized crime) . Kejahatan kerah putih dilakukan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi mulai dari manual hingga exrtra sophisticated atau super canggih yang memasuki dunia maya (cyberspace) sehingga kejahatan kerah putih dalam bidang pencucian uang disebut dengan cyber laundering merupakan bagian dari cyber crime yang didukung oleh pengetahuan tentang bank, bisnis, electronic banking.yang cukup.

d.

Pengaturan Hukum
Sebelum tahun 1986, tindakan pencucian uang bukan merupakan kejahatan. Pada

tahun 1980-an, jutaan uang hasil tindak kejahatan masuk dalam bisnis legal dan usahausaha ekonomi lain. Bahkan praktek money laundering tidak lagi sesederhana yang dilakukan Al Capone atau Meyer Lansky. Contohnya adalah pengakuan dari seorang mafia obat bius, Franklin Jurador yang menceritakan pemindahtanganan uang hasil kejahatan ke bisnis legal dilakukan dalam berbagai transaksi antara lain jual beli fiktif asset atau penitipan fiktif untuk keperluan investasi, yang melibatkan lebih banyak pihak, tidak hanya secara domestik namun juga antar negara, dengan transaksi yang lebih rumit.

Bahkan berkembangnya transaksi money laundering juga didukung fasilitas financial dunia perbankan, seperti layanan nomor rekening istimewa atau nostro account yang diberikan bank-bank Swiss sejak tahun 1930-an. Layanan ini mengidentifikasi nasabah dengan nomor sandi yang digunakan untuk transaksi sehingga bank tidak mengetahui siapa nasabah dan pihak yang menjadi lawan transaksi. Beberapa bank di kawasan lepas pantai juga menyediakan fasilitas transfer uang antar negara, manajemen pengelolaan dana dan perlindungan asset yang mempermudah kegiatan pencucian uang. Perkembangan kejahatan kerah putih ini menimbulkan kekhawatiran internasional sebab dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas perekonomian karena perputaran dana dalam jumlah besar yang terjadi secara cepat dari satu tempat ke tempat lain bahkan dari satu atau lebih negara ke satu atau lebih negara lain. Untuk itu maka masalah money laundering mulai menjadi perhatian dan dibentuk beberapa peraturan perundang-undangan baik yang bersifat internasional maupun nasional : a. Amerika Serikat Memiliki berbagai macam peraturan perundang-undangan seperti The Bank Secrecy Act (1970), Money Laundering Central Act. (1986), The Annunzio Wylie Act. dan Money Laundering Suppression Act. (1994). Dalam Bank Secrecy Act, terdapat kewajiban lembaga keuangan untuk melaporkan setiap transaksi alat pembayaran yang melebihi $10,000 kepada Internal Revenue Service yang dikenal dengan nama Currency Transaction Report (CTR). Termasuk juga di dalamnya Foreign Transactions Reporting Act yang memperbesar jumlah informasi keuangan yang harus disampaikan kepada instansi-instansi pemerintah yang bersangkutan dengan tindakan pidana, perpajakan dan penuntutan. Setelahnya dalam Money Laundering Central Act (MLCA) diatur adanya unsur yang harus dipenuhi untuk mengkategorikan tindak pidana pencucian uang yakni : (1) terdapat transaksi finansial atau perpindahan internasional; dan (2) terdapat kegiatan melanggar hukum tertentu. b. Swiss, Thailand, Spanyol, Italia, Inggris, Jerman dan Perancis

Swiss memiliki The Money Laundering Act (1998), Thailand memiliki The Money Laundering Prevention and Suppresion Act (1999), Spanyol memiliki The Money Laundering Law (1993), sementara untuk negara Italia, Inggris, Jerman dan Perancis memiliki Penal Code yang mengatur ketentuan anti money laundering. c. Indonesia Pada tahun 1988, United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau lebih dikenal UN Drugs Convention ditandatangani 106 negara, dan Indonesia menjadi salah satu negara anggota yang kemudian baru meratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. Selanjutnya pada tahun 1989 dan 1990 negara-negara yang tergabung dalam Group 7 melahirkan The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) yang bertujuan mendorong Negara-negara agar menyusun peraturan perundangundangan untuk mencegah mengalirnya uang hasil perdagangan narkotik baik melalui bank maupun lembaga keuangan bukan bank. Pada bulan April 1990, FATF memperluas pesertanya mencakup pusat keuangan 15 negara yang kemudian mengeluarkan rekomendasi yang paralel dengan UN Drug Convention agar Negara-negara menciptakan peraturan perundang-undangan mengawasi money laundering. Upaya pemberantasan peredaran gelap obat bius ini diikuti dengan upaya pemberantasan pencucian uang dalam skala internasional karena kegiatan pencucian uang kerap kali digunakan untuk menutupi hasil perdagangan obat bius yang diwujudkan dalam pembentukan konvensi The International Anti-Money Laundering Legal Regime. Konvensi ini mewajibkan negaranegara penandatangan menjadikan pencucian uang sebagai suatu tindakan kriminal dan tergolong kejahatan berat. Selanjutnya pada tahun 1998 dibentuk Basle Committee on Banking Regulations dan Supervisory Practices yang terdiri dari perwakilanperwakilan Bank Sentral dan badan-badan pengawas negara-negara industri, dimana bank harus mengambil langkahlangkah yang masuk akal untuk menetapkan identitas nasabahnya yang dikenal dengan Know Your-Customer Rule. Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang telah diubah

kedua kali dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003. Walaupun secara de jure BI telah mengeluarkan peraturan BI No. 3/10/PBI/2001 tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Pengenalan Nasabah, namun peraturan ini sulit diterapkan untuk memberantas transaksi money laundering. Penerapan ini dibatasi oleh UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dimana Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya kecuali untuk kepentingan perpajakan, untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis, atau dalam hal si nasabah meninggal dunia sehingga ahli waris yang sah wajib diberitahukan mengenai simpanan nasabah yang bersangkutan. Akan tetapi, penerbitan Peraturan Bank Indonesia ini belum dianggap cukup oleh FATF untuk menanggulangi pencucian uang. FATF sendiri sudah mengeluarkan beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan praktek pencucian uang. Rekomendasi tersebut mempunyai tiga ruang lingkup yaitu mengenai peningkatan sistem hukum nasional, peningkatan peranan sistem finansial, dan memperkuat kerjasama internasional. Semua rekomendasi FATF ini menjadi standar internasional untuk mengukur apakah anggota FATF telah mematuhi rekomendasi itu dan memberikan usulan-usulan untuk perbaikan upaya pemberantasan pencucian uang, dan Indonesia dipandang belum mendukung upaya pemberantasan pencucian uang. Indonesia dimasukkan dalam daftar Negara wilayah yang tidak bekerjasama Non Cooperative Countries and Teritories (NCCTs) pada bulan Juni 2001 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dari FATF, dan hal ini berlangsung sampai dengan Februari 2002 mengingat FATF menganggap kurang ada upaya Indonesia dalam memerangi pencucian uang, yang dibuktikan dengan belum adanya program penegakan hukum pencucian yang efektif, belum ada tindakan hukum terhadap para pelaku kejahatan money laundering, belum adanya peningkatan kerja dalam lembaga keuangan untuk memerangi praktek money laundering, belum adanya sistem yang mewajibkan pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan, belum adanya kerja sama dengan negara-negara lain, institusi-institusi internasional atau belum adanya identifikasi nasabah

dan belum ada perangkat hukum untuk mengatasi praktek money laundering yang dibuktikan dengan belum adanya Undang-Undang Anti Pencucian Uang. Baru pada Februari 2005, Indonesia dikeluarkan dari daftar hitam setelah FTAF mengadakan review langsung ke Indonesia dengan mengadakan wawancara dengan para pemimpin instansi yang menangani money laundering, kemudian Presiden mengutus beberapa Menteri ke Negara Amerika, Inggris, Perancis, Australia, Jepang untuk menjelaskan keseriusan Pemerintah Indonesia menangani kasus money laundering. Pada tanggal 17 April 2002 telah diundangkan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang melalui Lembaran Negara No. 30. UU ini tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan pencucian uang, hanya dalam penjelasan dinyatakan bahwa upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini dikenal sebagai pencucian uang (money laundering). Tindak pidana tersebut adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Undang-Undang ini yakni harta kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai setara yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan korupsi; penyuapan; penyeludupan barang; penyeludupan tenaga kerja; penyeludupan imigran; perbankan; narkotika; psikotropika; perdagangan budak, wanita, dan anak; perdagangan senjata gelap; penculikan; terorisme; pencurian; penggelapan; penipuan, yang dilakukan baik di wilayah RI atau di luar wilayah RI dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Berbeda dengan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, perubahan UU ini yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan definisi tentang pencucian uang mendefinisikan pencucian uang sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamar asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1). Perubahan dalam UU No. 25 Tahun 2003 antara lain meliputi :

a. pengertian Penyedia Jasa Keuangan yang diperluas meliputi jasa lainnya yang terkait dengan keuangan guna mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang yang memanfaatkan bentuk penyedia jasa keuangan yang ada di masyarakat namun belum diwajibkan menyampaikan laporan transaksi keuangan dan munculnya bentuk penyedia jasa keuangan baru. Hal ini tampak dari ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun 2002 : Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi, yang kemudian diubah menjadi Pasal 1 angka 5 UU No. 25 Tahun 2003 : Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, custodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos. b. Perluasan definisi Transaksi Keuangan Mencurigakan, yakni Pasal 1 angka 6 UU No. 15 Tahun 2002 : Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini, menjadi Pasal 1 angka 7 UU No. 25 Tahun 2003 , Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah: a. transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan; b. transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau

c. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. c. Pembatasan jumlah hasil tindak pidana yang diperoleh dari tindak pidana dihapus karena penentuan suatu perbuatan dapat dipidana tidak bergantung besar kecilnya hasil tindak pidana yang diperoleh, sebagaimana diatur berdasarkan Pasal 2 UU No. 15 Tahun 2002 : Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan: a. korupsi; b. penyuapan; c. penyelundupan barang; d. penyelundupan tenaga kerja; e. penyeludupan imigran; f. perbankan; g. narkotika; h. psikotropika; i. perdagangan budak, wanita, dan anak; j. perdagangan senjata gelap; k. penculikan; l. terorisme; m. pencurian; n. penggelapan; o. penipuan; yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia, menjadi Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2003, yakni : (1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana : a. korupsi; b. penyuapan; c. penyelundupan barang;

d. penyelundupan tenaga kerja; e. penyelundupan imigran; f. di bidang perbankan; g. di bidang pasar modal; h. di bidang asuransi; i. narkotika; j. psikotropika; k. perdagangan manusia; l. perdagangan senjata gelap; m. penculikan; n. terorisme; o. pencurian; p. penggelapan; q. penipuan; r. pemalsuan uang; s. perjudian; t. prostitusi; u. di bidang perpajakan; v. di bidang kehutanan; w. di bidang lingkungan hidup; x. di bidang kelautan; atau y. tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4(empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. (2) Harta Kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatana terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n. d. Ruang lingkup tindak pidana asal (predicate crime) diperluas untuk mencegah berkembangnya tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan dimana pelaku

tindak pidana berupaya menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil tindak pidana namun perbuatan tersebut tidak dipidana. Berbagai peraturan perundangundangan yang terkait yang mempidana tindak pidana asal antara lain: - UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; - UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika; - UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; - UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. e. Jangka waktu penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dipersingkat, dengan tujuan agar harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang dapat segera dilacak, sebagaimana diatur berdasarkan : Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2002 : (1) Penyampaian Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diketahui oleh Penyedia Jasa Keuangan, menjadi: Pasal 13 UU No. 25 Tahun 2003 (2) Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Penyedia Jasa Keuangan mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan. f. Terdapat ketentuan baru yang menjamin adanya kerahasiaan penyusunan dan penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang disampaikan kepada PPATK atau penyidik (anti-tipping off) bahkan dengan disertai sanksi pidana penjara, dengan tujuan untuk mencegah berpindahnya hasil tindak pidana dan lolosnya pelaku tindak pidana pencucian uang, sebagaimana diatur berdasarkan : Pasal 10A UU No. 25 Tahun 2003 : (1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya

menurut Undang-Undang ini, wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini. (2) Sumber keterangan dan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib dirahasiakan dalam persidangan pengadilan. (3) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun. (4) Jika pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan sengaja, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. g. Penjabaran lebih rinci dan lebih tegas dalam beberapa pasal mengenai ketentuan kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum (mutual legal assistance), merupakan bukti bahwa Pemerintah Indonesia memberikan komitmennya bagi komunitas internasional untuk bersama-sama mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.

e.

Tahapan Pencucian Uang

a. tahap penempatan (placement), merupakan tahap pengumpulan dan penempatan uang hasil kejahatan pada suatu bank atau tempat tertentu yang diperkirakan aman guna mengubah bentuk uang tersebut agar tidak teridentifikasi, biasanya sejumlah uang tunai dalam jumlah besar dibagi dalam jumlah yang lebih kecil dan ditempatkan pada beberapa rekening di beberapa tempat; b. tahap pelapisan (layering), merupakan upaya untuk mengurangi jejak asal muasal uang tersebut diperoleh atau ciri-ciri asli dari uang hasil kejahatan tersebut atau nama pemilik uang hasil tindak pidana, dengan melibatkan tempat-tempat atau bank di negara-negara dimana kerahasiaan bank akan menyulitkan pelacakan jejak uang. Tindakan ini dapat berupa : mentransfer ke negara lain dalam bentuk mata uang asing,

pembelian property, pembelian saham pada bursa efek menggunakan deposit yang ada di Bank A untuk meminjam uang di Bank B dan sebagainya. c. tahap penggabungan (integration), merupakan tahap mengumpulkan dan menyatukan kembali uang hasil kejahatan yang telah melalui tahap pelapisan dalam suatu proses arus keuangan yang sah. Pada tahap ini uang hasil kejahatan benar-benar telah bersih dan sulit untuk dikenali sebagai hasil tindak pidana, muncul kembali sebagai asset atau investasi yang tampak legal.

f.

Dampak Money Laundry


Baik cara perolehan uang yang illegal maupun transaksi keuangan untuk

melegalkan uang hasil tindakan illegal menimbulkan dampak ekonomi mikro dan makro. Dampak ekonomi mikro : a. cara perolehan uang yang illegal mengganggu jalannya mekanisme pasar. Esensi sistem pasar adalah adanya pengakuan dan perlindungan terhadap pemilikan pribadi atas faktor-faktor produksi maupun atas barang-barang serta jasa-jasa yang digunakan untuk keperluan konsumsi. Namun dengan adanya peluang perolehan uang yang ilegal telah menunjukkan tidak adanya perlindungan dari penguasa atas hak milik, pasar menjadi tidak efisien yang ditunjukkan dengan meningkatnya biaya transaksi pasar, adanya akses yang asimetris pada informasi pasar yang menyebabkan transaksi bersifat zero sum game dalam arti bahwa keuntungan suatu pihak dapat membawa kerugian bagi pihak lain. b. transaksi keuangan untuk melegalkan hasil perolehan uang yang illegal membawa dampak penurunan produktifitas masyarakat. Dampak ekonomi makro : a. tindak pidana pencucian uang menghindarkan kewajiban pembayaran pajak yang berarti mengurangi penerimaan Negara; b. apabila transaksi keuangan yang dilakukan adalah dengan membawa uang yang ilegal ke luar negeri maka akan menambah defisit neraca pembayaran luar negeri, selain itu

juga mengakibatkan berkurangnya dana perbankan yang menyebabkan kesulitan bank melakukan ekspansi kredit; c. Apabila Negara memperoleh sejumlah uang ilegal dari luar negeri maka akan menambah kegoncangan stabilitas ekonomi makro. Terlebih untuk Negara yang tidak memiliki cukup banyak instrumen moneter sehingga tidak mampu mensterilisasi dampak moneter pemasukan modal. Jika bank sentral membeli devisa yang masuk itu sebagai upaya untuk mempertahankan nilai tukar luar negeri mata uang nasionalnya, jumlah uang beredar akan bertambah dengan cepat dan tambahan jumlah uang beredar itu akan menyulut inflasi sehingga menimbulkan gangguan pada keseimbangan internal perekonomian. Akan tetapi jika bank sentral tidak membeli devisa yang masuk akan menguatkan nilai tukar mata uang nasional yang menyebabkan berkurangnya insentif kegiatan ekspor. Pengurangan ini akan menambah defisit neraca pembayaran luar negeri.

g.

Pembuktian Terbalik
UU Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan bahwa Untuk kepentingan

pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana (Pasal 35 UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003). Hal ini merupakan salah satu kekhususan tindak pidana pencucian uang dibandingkan dengan pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dimana terdakwa tidak dibebani kewajiban tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66), namun pembuktian terbalik untuk tindak pidana pencucian uang hanya dapat dilakukan oleh terdakwa pada tingkat pengadilan bukan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

h.

Kesulitan Penerapan UU Tindak Pidana Pencucian Uang

a.

Fungsi PPATK hanya bersifat administratif, yaitu untuk mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh PPATK (Pasal 26 huruf a) dan bilamana dari hasil analisis ditemukan transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang maka PPATK baru melaporkan kepada kepolisian dan kejaksaan (Pasal 26 huruf g), atau paling lambat 3(tiga) hari kerja sejak ditemukan adanya petunjuk atas dugaan transaksi keuangan yang mencurigakan, PPATK wajib menyerahkan hasil analisis kepada penyidik untuk ditindaklanjuti (Pasal 31). Selain itu PPATK tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan pemblokiran atas dana yang diduga merupakan hasil tindak pidana.

b.

Pihak kepolisian dan penuntut umum memiliki kesulitan dalam membuktikan terjadinya tindak pidana pencucian uang karena modusnya yang bervariasi dan biasanya tidak ditemukan adanya cukup alat bukti.

i.

Upaya Penanggulangan Money Laundry


Berikut ini merupakan beberapa cara yang dilakukan dalam upaya menanggulangi

kasus money laundry baik yang terjadi di dalam negeri maupun internasional. Upaya penanggulangan money laundry dalam negeri ( Domestik ) Indonesia merupakan surga bagi pelaku pencucian uang ( money laundering ). Hal itu disebabkan, antara lain, ketentuan deposito dari nasabah yang tidak boleh diusut asalusulnya, belum adanya UU pencucian uang dan kerahasiaan nasabah yang begitu ketat. Pada tanggal 19 Desember 1988, Indonesia telah bergabung dengan organisasi internasional yaitu United Nations Convention AgainstIllicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau yang lebih dikenal UN Drugs Convention dengan komitmen untuk memberantas kasus money laundry internasional. Kemudian Indonesia mengambil langkah untuk pemberantasan kasus money laundry di dalam negeri dengan menciptakan Undang-undang Nomor 7 tahun 1997. Indonesia juga menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai suatu tindak pidana dan mengambil langkah-langkah dengan

membuat peraturan-peraturan tertentu agar pihak yang berwajib dapat mengidentifikasi, melacak dan membekukan/menyita dana yang tidak jelas asal usulnya. Selain itu, Bank Indonesia juga memberikan langkah konkret dengan menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles). Peraturan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah itu didasarkan pada Basle Committee on Banking Regulation dalam Core Principles for Effective Banking Supervision, dimana penerapan Prinsip Mengenal Nasabah merupakan faktor yang penting dalam melindungi kesehatan bank, maka bank perlu menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah secara lebih efektif. Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) tersebut juga didasarkan sebagaimana yang dikemukakan FATF untuk pencucian uang, dimana Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) merupakan upaya untuk mencegah industri perbankan digunakan sebagai sarana atau sasaran kejahatan, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh pelaku kejahatan. Upaya pemerintah tidak hanya berhenti disitu saja. Pada tahun 2002, pemerintah membuat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) (selanjutnya disebut UUTPPU) yang berlaku sejak diumumkan pada tanggal 17 April 2002. Hal tersebut dilakukan untuk menanggapi keputusan FATF tanggal 22 Juni 2001, yang memasukkan Indonesia sebagai salah satu negara diantara 15 negara yang dianggap tidak kooperatif (non-cooperative countries and teritories) untuk memberantas aksi money laundring, sebagaimana terdapat dalam daftar yang dirilis oleh Financial Actions Task Force on Money Laundring (FATF) yang merupakan satgas dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Dengan demikian, UUTPU ditujukan untuk mencegah dan memberantas kejahatan dalam bentuk praktek pencucian uang di Indonesia. Tidak ada dalam PasalPasal UUTPU itu tidak membuat pengertian dari pencucian uang. Namun, dalam Penjelasan UUTPU tersebut disebutkan, bahwa pencucian uang adalah upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana. Sementara itu, dalam Black s Law Dictionary disebutkan, bahwa pencucian uang disebutkan sebagai Term used to describe invesment or other transfer of money

flowing from racketeering, drug transactio, and other illegal sources into legitimate channels so that its original source cannot be traced. Upaya Penanggulangan money laundry secara Internasional Pada tahun 2002, Menteri Kehakiman dan HAM pada saat itu, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan akan segera memberlakukan UU untuk memberantas kasus money laundry. Diharapkan UU tersebut dapat memberantas pelaku money laundry di luar negeri, terutama bagi mereka yang melakukannya di negara-negara yang belum melakukan perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, seperti Singapura. Selain itu, Indonesia juga telah menjadi anggota United Nations Convention AgainstIllicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau yang lebih dikenal UN Drugs Convention yang lahir di Wina, Austria pada tanggal 19 Desember 1988 dan ditandatangani 106 negara. Dengan adanya organisasi tersebut, diharapkan akan muncul upaya untuk melakukan pemberantasan kasus money laundry di tingkat internasional yang disebut dengan The International Anti-Money Laundering Legal Regime. Hal tersebut merupakan awal untuk pengawasan internasional terhadap kasus money laundry. Selanjutnya, anggota dari organisasi tersebut diwajibkan untuk menjadikan kasus money laundry sebagai suatu kriminal dan kejahatan berat sehingga setiap anggota diharuskan mengambil langkah untuk membuat Undang-undang dan peraturan untuk melaksanakan komitmen tersebut.

KESIMPULAN Pencucian uang atau money laundry adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Money laundry merupakan salah satu contoh cara menhilangkan jejak dana hasil kejahatan seperti korupsi, penggelapan pajak, dan sebagainya. Modus dari money

laundry juga sederhana, yaitu menyimpan atau melarikan dana hasil kejahatan baik di dalam negeri maupun ke luar negeri untuk digunakan demi kepentingan pelaku. Upaya pencegahan dilakukan baik di tiap negara ( secara domestik ) maupun secara internasional. Namun inti dari langkah pencegahan baik secara domestik dan internasional adalah sama, yaitu memperketat aliran dana yang masuk maupun keluar dari suatu negara. Seperti yang dilakukan bank yang mulai memperketat asal usul dana yang akan di simpan oleh nasabah. Selain itu, dengan adanya United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau yang lebih dikenal UN Drugs Convention, diharapkan dapat meningkatkan kerjasama antar negara dan meningkatkan komitmen untuk memberantas money laundry.

KASUS MONEY LAUNDRY


Kasus Posisi Transaksi Ekspor Fiktif melalui Letter of Credit pada Bank BNI
Adrian Herling Waworuntu sebagai Konsultan Investasi PT. Sagared Team dan sebagai Komisaris PT. Brocolin Internasional telah melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan dengan Maria Pauline Lumowa yang merupakan pemilik sebenarnya dari PT. Sagared Team, dan orang-orang lain yang keterkaitannya akan diuraikan di bawah ini, pada sekitar bulan Januari 2002 sampai dengan Agustus 2003, bertempat di kantor PT. Bank BNI (Persero) Cabang Kebayoran Baru Jakarta Selatan Jalan Hasanuddin 3-4 Jakarta, telah menerima atau menguasai pentransferan atau penitipan harta kekayaan yang diketahuinya merupakan hasil Tindak Pidana yang dilakukan secara berturut-turut, yang dilakukan dengan cara sebagai berikut. Diawali dengan adanya kesepakatan antara Maria Pauline Lumowa dan saksi Edy Santoso selaku Manajer Pelayanan Nasabah Luar Negeri BNI Cabang Kebayoran Baru untuk membantu menutup kerugian BNI akibat beberapa L/C milik PT. Petindo dan PT. Mahesa Karya Putra Mandiri sebesar USD 8.800.000 yang tidak terbayar yakni dengan pengajuan pencairan L/C pada PT. Bank BNI Cabang Kebayoran Baru Jakarta Selatan oleh beberapa perusahaan milik Maria Pauline Lumowa yang seolah-olah mengadakan kegiatan ekspor. Maria Pauline Lumowa menyanggupi kesepakatan tersebut dengan mempersiapkan dan mempergunakan beberapa perusahaan untuk mengajukan dan menerima pembayaran fasilitas wesel ekspor diskonto yakni dengan sarana L/C dengan dokumen ekspor fiktif. Untuk menindaklanjuti kesepakatan tersebut, Maria Pauline Lumowa kemudian membeli beberapa perusahaan yang kemudian dikenal dengan sebutan Gramarindo Group yang terdiri dari PT. Gramarindo Mega Indonesia, PT. Magnetiq Usaha Esa Indonesia, PT. Pan Kifros, PT. Bhinekatama Pacific, PT. Mentrantara dan PT. Basomasindo, dan PT. Triranu Caraka Pasific. Adapun yang duduk sebagai Direktur utama masing-masing perusahaan dan sekaligus bertanggung jawab atas pengajuan pencairan L/C tersebut adalah beberapa orang kepercayaan Maria Pauline Lumowa yang juga duduk dalam kepengurusan PT. Sagared Team. Pencairan dana fasilitas Wesel Ekspor Diskonto tersebut dilakukan dengan menggunakan sarana L/C yang dilampiri dengan dokumen ekspor fiktif pada PT. Bank BNI Cabang Kebayoran Baru Jakarta Selatan secara berulang-ulang hingga mencapai jumlah 41 lembar yang berlangsung dalam kurun waktu antara akhir bulan Desember 2002 hingga bulan Juli 2003 yang diajukan oleh Gramarindo Group yakni oleh Ir. H. Ollah Abdullah Agam sebagai Direktur Utama PT. Gramarindo Mega Indonesia, Adrian Pandelaki

Lumowa sebagai Direktur Utama PT. Magnetik Usaha Esa Indonesia, dan dr. Titiki Pristiwanti sebagai Direktur Utama PT. Bhinekatama Pasific atas perintah Maria Pauline Lumowa yang sebenarnya meminta persetujuan Adrian Herling Waworuntu. Dana-dana pencairan L/C fiktif pada BNI Cabang Kebayoran Baru yang diterima masing-masing perusahaan tergabung dalam Gramarindo Group itu selanjutnya digunakan dan dikelola Maria Pauline Lumowa setelah mendapat persetujuan dari Adrian Herling Waworuntu. Permasalahan : 1. Dari ke 41 L/C yang telah didiskonto tersebut terdapat kejanggalan antara lain: a. Terdapat Discrepancy ; b. Issuing Bank L/C adalah bukan bank koresponden (non correspondence bank) ; c. Nasabah (eksportir) bukan nasabah debitur. 2. Perusahaan yang tergabung dalam Gramarindo Group bukan eksportir karena perusahaan tersebut ternyata tidak pernah melakukan kegiatan ekspor. 3. Perusahaan pelayaran yang tercantum dalam Bill of Lading tidak pernah mengirim barang atas pesanan Gramarindo Group dan tidak pernah menandatangani Bill of Lading sebagai dokumen yang harus dilengkapi dalam L/C.

Pembahasan Terdakwa Adrian Herling Waworuntu dalam kasus ini telah bekerja sama dengan Maria Pauline Lumowa. Perusahaan tersebut telah memperoleh dana pembayaran L/C tanpa adanya transaksi ekspor impor, dalam hal ini perusahaan tersebut tidak pernah melakukan kegiatan ekspor. Kegiatan ekspor tidak pernah terjadi namun Perusahaan yang di bawahi Adrian Herling Waworuntu membuat seolah-olah bahwa kegiatan ekspor itu ada dan memalsukan dokumen-dokumen L/C. Perusahaan-perusahaan yang melakukan ekspor fiktif tersebut, tentu saja tidak bisa melakukan hal ini sendiri, sehingga mereka memerlukan bantuan pejabat bank yang akan membayar L/C tersebut, yaitu Bank BNI Kebayoran Baru sebagai nominated bank yang melakukan negosiasi. Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dalam pasal 1 ayat (1) dikatakan : Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-oleh menjadi Harta Kekayaan yang sah Dalam kasus ini, Terdakwa Adrian Waworuntu telah memperoleh dana dari hasil pembayaran L/C berdasarkan dokumen-dokumen yang palsu. Disamping itu Terdakwa Adrian Waworuntu telah menikmati dana tersebut untuk kepentingan dirinya sendiri. Dalam hal ini tindakan untuk memperoleh dana dari hasil pemalsuan dokumen tersebut dikategorikan sebagai Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering).

Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 1982/PID.B/2004/PN.Jak.Sel Terdakwa Adrian Waworuntu telah diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1). Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1). Pasal 64 ayat (1). Disamping itu, Adrian Herling Waworuntu, terdakwa Kasus Pembobolan Bank BNI Kebayoran Baru divonis Penjara Seumur hidup, pada sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Adrian Herling Waworuntu dinilai terbukti bersalah atas dakwaan primer dan dakwaan subsidair yaitu pasal 2 ayat 1 jo. pasal 18 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan pasal 3 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 KUHP. Berdasarkan pasal tersebut, terdakwa Adrian Herling Waworuntu dinyatakan bersalah karena melakukan Tindak Pidana Korupsi. Adrian Herling Waworuntu secara sah dan meyakinkan telah memenuhi unsur-unsur dalam dakwaan primer yaitu secara hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Terdakwa Adrian Herling Waworuntu juga terbukti melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam kasus ini, Placement dilakukan dengan menempatkan dana pembayaran L/C ke masing-masing rekening perusahaan Gramarindo Group atas dasar fasilitas kredit berupa L/C untuk membiayai kegiatan ekspor yang tidak pernah ada, proses Layering dapat berupa penggunaan dana dari masing-masing perusahaan yang tergabung dalam perusahaan Gramarindo untuk kegiatan usaha masing-masing perusahaan, dan proses Integration terbukti dengan penggunaan dana pembayaran L/C untuk menutupi L/C yang tidak terbayar. Dalam kasus di atas dapat disimpulkan bahwa Tindak Pidana Pencucian Uang terjadi atas transaksi ekspor yang tidak pernah terjadi dalam hal ini merupakan ekspor fiktif. Money Laundering ini terjadi di mana perusahaan Gramarindo Group tidak pernah melakukan ekspor barang tetapi perusahaan tersebut membuat seolah-olah terjadi ekspor barang dengan bantuan dari pejabat intern bank . Oleh karena itu kasus ini dapat dikategorikan sebagai Money Laundering dan terdakwa Adrian Herling Waworuntu berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 1982/PID.B/2004/PN.Jak.Sel terbukti bersalah telah melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Usut Tuntas Kasus Money Laundering Adelin

Aparat kepolisian harus serius menuntaskan kasus pencucian uang (money laundering) selain kasus pembalakan liar (illegal logging) di Mandailing Natal, Sumatera Utara (Sumut), yang diduga melibatkan terpidana Adelin Lis 10 tahun. Anggota Komisi III DPR Gayus Lumbuun kepada Batak Pos di Jakarta, Senin (4/8), mengatakan, dengan putusan MA tersebut, maka kasus money laundering dapat dibuktikan. Sebabnya, keuntungan yang diperoleh praktik penebangan liar tersebut memang disimpan dalam bank untuk dicuci. Aliran dana illegal logging memang sering kali disalurkan ke dalam rekening bank di luar negeri agar dapat diubah menjadi duit yang legal. Polri harus usut ini hingga tuntas, tuturnya. Sementara itu, Ketua Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein mengatakan, dalam UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Pasal 3 dirumuskan, kegiatan yang berupa menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain, mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain hingga menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dapat dikategorikan sebagai money laundering. Orang itu dapat dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp5 miliar dan paling banyak Rp15 miliar, tuturnya. Sementara itu, Mabes Polri hingga saat ini belum mengetahui keberadaan Adelin Lis. Menurut Kadivhumas Mabes Polri Irjen (Pol) Abubakar Nataprawira, hingga saat ini keberadaannya masih jelas. Keberadaannya benar-benar gelap. Pengacaranya saja tidak tahu. Meski MA sudah memvonisnya, ujarnya. Menurut dia, aparat kepolisian sendiri sebenarnya sudah melakukan pencarian terhadap Adelin Lis sejak surat pencekalannya dikeluarkan. Waktu dia kabur, polisi sudah minta bantuan interpol untuk mencari Adelin, tandasnya. Dia mengatakan, meskipun Adelin Lis saat dinyatakan bebas oleh Pengadilan Negeri (PN) Medan, tapi pihak kepolisian masih membidiknya dengan kasus money laundering yang dilakukannya sehingga dengan keluarnya putusan MA maka Adelin Lis terseret ke dalam dua kasus.

Seperti diketahui, Adelin diputus 10 tahun penjara dan denda Rp1 miliar dan harus membayar uang pengganti Rp119,8 miliar dan 2,938 juta dolar AS terkait aksi pembalakan liar yang dilakukannya di Mandailing Natal, Sumatera Utara. Dengan putusan ini, maka MA membatalkan putusan Pengadilan Negeri Medan No 2240 Bid B tahun 2007 tanggal 7 November 2007 yang menjatuhkan vonis bebas Adelin Lis.

You might also like