You are on page 1of 29

PROPOSAL SKRIPSI ANALISA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN PADA INDUSTRI KECIL

Tugas: Metologi Penelitian.

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Nama Nim Prodi

: JOMPUTRA ARICTOJA : 108084000042 : IESP

Konsentrasi: Pembangunan

JURUSAN ILMU EKONOMI STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pembangunan pada hakekatnya adalah suatu proses perubahan yang dilakukan secara terus menerus dan merupakan perbaikan ke arah yang lebih baik. Sedangkan tujuan pembangunan secara umum adalah menciptakan kemakmuran masyarakat yang adil dan merata. Dua hal yang tidak bisa dipisahkan adalah mengenai peningkatan taraf hidup dan pemerataan pendapatan masyarakat. Usaha-usaha pemerintah telah banyak dilakukan untuk merealisasikan tujuan tersebut yaitu melaksanakan pembangunan disegala bidang kehidupan dan menitikberatkan pada pembangunan ekonomi yang didukung oleh bidang-bidang lainnya. Sebagaimana telah ditetapkan dalam GBHN maka pembangunan ekonomi didalam rangka pembangunan Nasional Jangka Panjang mempunyai sasaran utama mencapai keseimbangan antara bidang-bidang pertanian dan bidang industri (Hadi Prayitno, 1987: 51). Berbicara mengenai industri, tidak hanya ditujukan kepada industri-industri besar dan menengah saja, tetapi juga diarahkan kepada industri kecil dan industri rumah tangga. Penggolongan industri kecil selaras dengan arah pemasaran produknya dibagi ke dalam empat golongan sebagai berikut : 1. Industri kecil yang menghasilkan produk-produk (komponen-komponen bagi industri besar dan menengah). 2. 3. Industri kecil yang menghasilkan barang-barang jadi untuk pasaran umum. Industri kecil atau lebih tepat lagi kerajinan yang membuat barang-barang yang bercitra seni, umumnya untuk lingkungan pariwisata. 4. Industri kecil atau lebih tepat lagi industri pedesaan yang memberi jasa dan membuat barang untuk pasaran terbatas diwilayah pedesaan.

Kondisi Industri Kecil 1993-1998 Perusahaan-perusahaan yang tergolong industri kecil di Indonesia (dengan menggunakan definisi tenaga kerja kurang dari 20 orang) merupakan bagian terbesar dari unit usaha kecil manufaktur yang ada (lebih dari 99%) dan menyerap hampir 60% tenaga kerja. Lebih dari 90% unit usaha yang tergolong ke dalam IK adalah berupa industri kerajinan dan rumah tangga (didefinisikan sebagai perusahaan dengan tenaga kerja kurang dari 5 orang) yang menyerap hampir 40% tenaga kerja sektor manufaktur. Kelompok industri dengan tenaga kerja 5-19 orang (yaitu IK menurut definisi BPS) memiliki distribusi jumlah tenaga kerja yang condong pada skala lebih kecil : 67,4% adalah memiliki jumlah tenaga kerja 5-7 orang; 16,3% perusahaan dengan 8-10 tenaga kerja; dan 18,3% perusahaan dengan tenaga kerja 1119 orang (BPS, 1995). Mungkin diantara kita tidak pernah mengira bahwa bangsa Indonesia yang sebelumnya mengalami pertumbuhan yang pesat, secara tiba-tiba mengalami krisis luar biasa. Akibatnya, terjadilah kemerosotan ekonomi dan krisis luar biasa dan sudah dapat diduga bidang -bidang kehidupan lainnya juga ikut terganggu. Para ahli berpendapat bahwa permasalahan terjadi karena kesalahan pemilihan strategi pembangunan yang hanya mem acu pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan sektor industri manufaktur yang berskala menengah dan besar saja. Padahal jika kita telusuri lebih lanjut, usaha kecil memegang peranan yang penting dalam perekonomian terutama dalam negara yang sedang berkembang. Bukan hanya karena sifatnya yang sangat padat karya sehingga dapat mengurangi permasalahan pengangguran, tetapi juga sebagai suatu struktur sosial yang dapat berproduksi dengan efektif dan dengan investasi yang kecil. Selain itu juga, sektor ini tidak terkait dengan hutang luar negeri maupun bahan baku impor, jadi meskipun terjadi krisis, sektor ini masih tetap bisa bertahan. Seperti pada industri gula merah di Desa Bades, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang yang akan peneliti bahas selanjutnya. Dari tahun ke tahun jumlah industri yang ada semakin meningkat. Pada tahun 1997 jumlah unit usaha yang ada sebanyak 122 unit usaha

menjadi 350 unit usaha pada tahun 2001 dengan tenaga kerja kurang lebih 700 orang (Sumber: Data Monografi Desa Bades 2001). Hal ini membuktikan bahwa meskipun terjadi krisis, industri kecil tetap bisa bertahan. Bahkan merupakan salah satu penopang perekonomian rakyat karena dapat menyerap tenaga kerja sehingga bisa mengatasi pengangguran di Kabupaten Lumajang pada umumnya dan di Desa Bades, Kecamatan Pasirian pada khususnya. Terdapat beberapa alasan kuat yang mendasari resistensi dari keberadaan industri kecil dan kerajinan rumah tangga dalam perekonomian Indonesia. Alasannya adalah : 1. Sebagian besar populasi industri kecil dan kerajinan rumah tangga berlokasi didaerah pedesaan, sehingga jika dikaitkan dengan kenyataan tenaga kerja yang semakin meningkat serta luas tanah garapan pertanian yang relatif berkurang, industri kecil merupakan jalan keluar. 2. Beberapa jenis kegiatan industri kecil dan rumah tangga banyak menggunakan bahan baku dari sumber-sumber di lingkungan terdekat (disamping tingkat upah murah) telah menyebabkan biaya produksi dapat ditekan rendah. 3. Harga jual yang relatif murah serta tingkat pendapatan kelompok bawah yang rendah sesungguhnya merupakan suatu kondisi terjawab tersendiri yang memberi peluang bagi industri kecil dan kerajinan rumah tangga untuk tetap bertahan. 4. Tetap adanya permintaan terhadap beberapa jenis komoditi yang tidak diproduksi secara masinal (misalnya batik tulis, anyam-anyaman, barang ukiran, dan sebagainya) juga merupakan salah satu aspek pendukung (Irsan Azhari Saleh,1986:11). Di sisi lain tampaknya pemerintah telah berusaha untuk terlibat dalam permasalahan yang dihadapi oleh industri kecil yaitu dengan jalan meningkatkan pembinaan sektor informal dalam rangka perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan. Akan tetapi timbul permasalahan kembali karena kebijakan pengembangan industri kecil pada PELITA

VII mempunyai banyak tujuan yang kurang jelas prioritasnya sehingga kebijakan-kebijakan tersebut seringkali inkonsisten. Bantuan berupa subsidi, jaminan kredit atau penyertaan modal merupakan intervensi pemerintah dalam perekonomian dan hanya efektif jika pemerintah mempunyai kemampuan dalam menjalankannya. Kebanyakan bantuan

pemerintah adalah membantu mengkompensasi kelemahan internal perusahaan industri kecil, sedangkan masalah yang menyangkut lingkungan usaha, seperti persaingan yang tidak sehat kurang diperhatikan. Di Desa Bades banyak sekali terdapat tanaman kelapa dan hanya dijual dalam bentuk kelapa butiran. Akan tetapi ada pengembangan produk kelapa berupa diversifikasi usaha yang dapat menghasilkan bentuk produk bernilai ekonomi tinggi bagi petani yaitu dengan usaha pembuatan gula merah kelapa yang telah dilakukan sejak dari dulu dan bersifat turun temurun. Gula kelapa atau gula merah adalah salah satu bahan pangan pemanis yang cukup potensial untuk masa yang akan datang, baik sebagai kebutuhan dalam negeri maupun bahan ekspor. Mengingat impor gula tebu dalam setiap tahun cukup besar, maka gula kelapa ini juga tampaknya mempunyai potensi dan prospek yang baik sebagai bahan substitusi dari gula tebu. Masalah pokok yang dihadapi pengrajin dalam pengembangan usaha gula kelapa di Desa Bades yaitu sistem usaha yang masih dalam bentuk usaha keluarga dengan teknologi serba tradisional sehingga produktivitas yang diperoleh masih rendah dan hal ini mempengaruhi pendapatan yang mereka peroleh. Perluasan skala usaha juga masih dibatasi oleh keterbatasan sumber daya, dan yang paling penting adalah kebutuhan akan modal. Berdasarkan kenyataan-kenyataan diatas maka penulis tertarik untuk mengamati masalah pendapatan pengrajin industri kecil dan mengkaji lebih dalam lagi tentang : Analisa Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Pengrajin Pada Industri Kecil .

Permasalahan Dari latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya dapat ditarik adanya beberapa permasalahan yang akan dibahas dan diteliti lebih lanjut. Masalah -masalah tersebut antara lain : 1. 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pendapatan industri kecil? Seberapa besar pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap tingkat pendapatan industri kecil? 3. Bagaimana kehidupan sosial ekonomi para pelaku industri kecil?

1.2 Tujuan Penelitian 1. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan industri kecil. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap tingkat pendapatan pada industri kecil. 3. Untuk mengetahui kehidupan sosial pelaku industri kecil.

1.3 Kegunaan Penelitian 1. Sebagai sumbangan pemikiran dan informasi bagi pembuat kebijaksanaan terutama pemerintah. 2. Sebagai sumbangan pemikiran terhadap pihak industri kecil dalam menyikapi fenomena mengenai pendapatan mereka, agar dapat lebih ditingkatkan lagi 3. Sebagai masukan untuk penelitian selanjutnya baik dari segi pandangan maupun pengetahuan yang berhubungan dengan masalah industri kecil.

BAB II TINJAUAN TEORITIS

2.1 Pengertian Industri Kecil Atribut kecil pada industri kecil memiliki arti yang berbeda dalam berbagai konteks dan lembaga yang menggunakannya, dan hal ini seringkali menimbulkan kekeliruan interpretasi bagi yang mencoba mengadopsi kebijakan atau pengalaman negara lain dalam pengembangan industri kecil. BPS di Indonesia menggunakan kriteria perusahaan dengan jumlah tenaga kerja 1-4 orang sebagai industri kerajinan dan rumah tangga, perusahaan dengan tenaga kerja 5-19 orang sebagai industri kecil, perusahaan dengan tenaga kerja 20-99 orang sebagai industri sedang atau menengah, dan perusahaan dengan tenaga kerja lebih dari 100 orang sebagai industri besar. Deperindag mendefinisikan industri kecil berdasarkan asset dan kepemilikan, yaitu perusahaan yang memiliki asset sampai Rp. 600 juta di luar tanah dan bangunan yang ditempatinya dan dimiliki oleh warga negara Indonesia (BAPIK,1994) . Undang-undang Usaha Kecil no. 9 tahun 1995 yang digunakan oleh Departemen Koperasi, menetapkan kriteria usaha kecil sebagai usaha yang memiliki kekayaan bersih maksimum Rp. 200 juta di luar tanah dan bangunan atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1 miliar dan dimiliki oleh warga negara Indonesia.

2.1.1 Kriteria Kelompok Industri Kecil Industri kecil merupakan salah satu usaha yang termasuk dalam sektor informal. Dimana sektor informal itu sendiri belum mempunyai definisi secara pasti. Sedangkan ciri-ciri dari sektor informal seperti yang dijelaskan oleh Payaman J. Simanjuntak (1985: 98-99) adalah sebagai berikut: Pertama, kegiatan usaha umumnya sederhana, tidak terlalu tergantung pada kerjasama banyak orang dan sistem pembagian kerja yang ketat, sehingga dapat dilakukan

oleh semua orang yang berminat maupun kerjasama dengan beberapa orang. Kedua, skala usaha relatif kecil, baik modal usaha maupun omset penjualan, umumnya kecil. Ketiga, usaha sektor informal umumnya tidak mempunyai ijin usaha seperti pada Firma atau Perusahaan Terbatas. Keempat, untuk bekerja disektor informal lebih mudah daripada bekerja disektor formal. Seseorang bisa memulai dan melakukan sendiri usaha informal maupun bergabung dengan orang lain, misalnya karena persahabatan atau karena adanya hubungan keluarga. Kelima, tingkat penghasilan disektor informal umumnya rendah walaupun tingkat keuntungan kadang-kadang cukup tinggi, akan tetapi karena omset penjualan relatif kecil, keuntungan absolut umumnya menjadi kecil. Keenam, keterkaitan sektor informal dengan usaha-usaha lain sangat kecil. Hal ini disebabkan karena kebanyakan usaha-usaha sektor informal berfungsi sebagai produsen yang menyalurkan barang langsung ke konsumen sehingga sangat mempengaruhi perubahan-perubahan yang terjadi pada konsumen. Ketujuh, usaha sektor informal beraneka ragam seperti pedagang kaki lima, tukang sepatu, serta usahausaha rumah tangga seperti pembuatan tempe, dan termasuk juga usaha pengolahan gula merah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Berdasarkan eksistensi dinamisnya industri kecil dan kerajinan rumah tangga Indonesia dapat dibagi kedalam tiga kelompok kategori yaitu : Yang pertama, industri lokal adalah kelompok industri yang menggantungkan hidupnya pada pasar setempat yang terbatas serta lokasinya relatif tersebar. Skala usaha umumnya kecil dan mencerminkan pola pengusahaan yang bersifat subsisten. Selain itu target pemasarannya sangat terbatas sehingga menyebabkan kelompok ini menggunakan sarana transportasi yang sederhana (misalnya : sepeda, gerobak, dan pikulan). Peran pedagang perantara kurang menonjol pada kelompok industri lokal karena pemasaran hasil produksinya ditangani sendiri. Kegiatan industri lokal pada dasarnya merupakan aktivitas sambilan. Dibeberapa tempat kegiatan industri lokal ini bahkan kurang memiliki nilai ekonomis dan semata-mata hanya untuk membantu kegiatan

utama. Namun sebaliknya, lambat laun industri lokal ini menampakkan prospek tumbuh yang semakin baik, karena usaha ini semakin mampu menciptakan kekuatan bertahan secara permanen dalam proses perkembangan selanjutnya. Yang kedua, industri sentra adalah kelompok industri yang mempunyai skala kecil, tetapi membentuk suatu pengelompokan atau kawasan produksi yang terdiri dari kumpulan unit usaha yang menghasilkan barang sejenis. Target pemasaran umumnya menjangkau pasar yang lebih luas daripada kategori yang pertama, sehingga peranan pedagang perantara atau pedagang pengumpul menjadi cukup menonjol. Pertumbuhan industri ini sangat dipengaruhi oleh terkonsentrasinya bahan mentah bagi suatu produksi di daerah-daerah tertentu. Sementara keahlian dan keterampilan tertentu memang telah dipunyai oleh kelompok tertentu bagi terciptanya sentra-sentra industri kecil itu. Yang ketiga, yaitu industri mandiri yang pada dasarnya merupakan kelompok industri yang masih mempunyai sifat-sifat industri kecil, namun telah mampu mengadaptasi teknologi produksi yang cukup canggih. Pemasaran hasil produksi kelompok ini relatif tidak tergantung kepada peranan pedagang perantara (Irsan Azhari Saleh, 1986: 51-52).

2.2 Teori Produksi 2.2.1 Fungsi Produksi Dalam membicarakan mengenai teori produksi menurut Ari Sudarman (1992 :124) hal yang selalu mendapat tekanan adalah jumlah output yang selalu tergantung atau merupakan fungsi dari faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Hubungan antara output yang dihasilkan dan faktor-faktor produksi yang digunakan sering dinyatakan dalam suatu fungsi produksi (production function). Sedangkan Soekartawi (1994: 15-16) mengatakan bahwa fungsi produksi adalah hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (Y) dan variabel yang menjelaskan (X). Variabel yang dijelaskan biasanya berupa output dan variabel yang menjelaskan biasanya berupa input.

Fungsi produksi ini penting untuk mengetahui hubungan antara faktor produksi (input) dan produksi (output) secara langsung dan hubungan tersebut dapat lebih mudah dimengerti. Secara matematis, hubungan ini dapat dijelaskan sebagai berikut : Y = f (X1, X2,.,Xi,Xn) Dengan fungsi produksi seperti tersebut, maka hubungan Y dan X dapat diketahui dan sekaligus hubungan X1 ..Xn dan X lainnya dapat diketahui. Proses produksi pada umumnya membutuhkan berbagai macam jenis faktor produksi. Faktor faktor produksi tersebut dapat diklasifikasikan manjadi faktor produksi tenaga kerja, modal, dan bahan mentah. Dalam setiap proses produksi, ketiga faktor produksi tersebut dikombinasikan dalam jumlah dan kualitas yang tertentu. Untuk lebih mudah, maka faktor produksi dibagi menjadi dua macam, yaitu faktor produksi tetap dan faktor produksi variabel. Faktor produksi tetap adalah faktor produksi dimana jumlah yang digunakan dalam proses produksi tidak dapat diubah secara cepat, bila pasar menghendaki perubahan jumlah output. Misalnya gedung, mesin-mesin, dan tenaga pimpinan perusahaan dapat disebutkan sebagi contoh faktor produksi yang bersifat tetap. Faktor-faktor produksi ini tidak dapat ditambah atau dikurangi jumlahnya dalam waktu relatif singkat. Sedangkan faktor produksi variabel adalah faktor produksi dimana jumlahnya dapat diubah-ubah dalam waktu yang relatif singkat sesuai dengan jumlah output yang dihasilkan. Misalnya faktor produksi tenaga kerja, bahan mentah dapat diklasifikasikan sebagai faktor produksi ini. Sedangkan pembagian faktor produksi berdasarkan kurun waktu produksi dibagi menjadi dua macam yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Kurun waktu jangka pendek adalah menunjukkan kurun waktu dimana salah satu faktor produksi atau lebih bersifat tetap. Jadi, dalam kurun waktu ini output dapat diubah jumlahnya dengan jalan mengubah faktor produksi variabel yang digunakan dan dengan peralatan mesin yang ada. Yang dimaksud dengan jangka panjang adalah kurun waktu dimana semua faktor produksi adalah bersifat

variabel. Ini berarti dalam jangka panjang, perubahan output dapat dilakukan dengan cara mengubah faktor produksi dalam tingkat kombinasi yang seoptimal mungkin. Dalam jangka pendek produsen dapat memperbesar output dengan jalan menambah jam kerja per ahri dan pada tingkat skala perusahaan yang ada, teetapi dalam jangka panjang, mungkin akan lebih ekonomis baginya bila ia menambah skala perusahaan dan tidak perlu manambah jam kerja.

2.2.2 Produktivitas Fisik Marginal Yang Semakin Menurun Produktivitas fisik marginal suatu input tergantung pada berapa banyak input itu digunakan. Misalnya, tenaga kerja tidak dapat ditambahkan secara tidak terbatas pada sebidang tanah (sementara jumlah peralatan, pupuk, dan lain-lain dipertahankan tetap) tanpa akhirnya menunjukkan suatu kerusakan pada produktivitasnya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini : Gambar 2.1 Deviasi Kurva-kurva Produk Marjinal dan Produk Rata-rata Tenaga Kerja dari Kurva Produk Total Kuantias per periode

TPL

Input tenaga kerja per periode a. Kurva Total Tenaga Kerja MPL, APL

MPL APL L* L** L*** Input tenaga kerja per periode b. Kurva Produk Marjinal dan Rata-rata Untuk Tenaga Kerja

Untuk sejumlah kecil L, output naik dengan cepat kalau L ditambah. Tetapi, karena input-input lainnya tetap konstan, akhirnya kemampuan tenaga kerja tambahan untuk menghasilkan output tambahan mulai merosot. Akhirnya pada L*** output mencapai tingkat maksimumnya. Setiap tenaga kerja tambahan yang ditambahkan melampaui titik ini akan mengurangi output. Sesudah L*** para pekerja tambahan justru akan menyebabkan output total mulai menurun. Produk fisik marjinal tenaga kerja adalah kemiringan kurva TPL. Kemiringan kurva TPL hanya memperlihatkan bagaimana output bertambah kalau tenaga kerja tambahan ditambah. Kurva produk marjinal (MPL) pada gambar menunjukkan bahwa MPL mencapai maksimum di L* dan menurun karena ditambahkan tenaga kerja tambahan melampaui titik ini. Hal ini merupakan pencerminan asumsi produk marjinal tenaga kerja yang semakin menurun. MPL sama dengan O pada titik L*** tambahan input tenaga kerja selanjutnya akan menurunkan output. Produksi tidak akan berlangsung setelah melampaui titik L*** karena dengan menggunakan tenaga kerja lebih banyak akan menghasilkan output yang lebih sedikit untuk perusahaan yang berganti. Dengan menarik serangkaian garis penghubung melalui titik awal ke berbagai titik pada kurva produk total (TPL), dapat dibuat kurva produk rata-rata tenaga kerja (APL). Dari gambar 2.1 dapat dilihat bahwa produktivitas marjinal dan rata-rata dari tenaga kerja adalah sama pada L**. Untuk tingkat input tenaga kerja ini garis penghubung melalui titik awal tepat menyinggung kurva TPL. Karena itu produk marjinal dan rata-rata tenaga kerja adalah sama. Demikian pula pada L**, produk rata-rata tenaga kerja berada pada nilai maksimumnya. Untuk tingkat-tingkat input tenaga kerja lebih kecil dari L**, produk marjinal tenaga kerja (MPL) melebihi produk rata-ratanya (APL). Akibatnya penambahan satu pekerja lagi akan menaikkan produktivitas rata-rata seluruh pekerja karena tambahan pada output dengan

mempekerjakan pekerja tambahan ini emlebihi output yang diproduksi oleh rata-rata pekerja sebelumnya. 2.3 Budget Line dan Alokasi Waktu Barang konsumsi yang dapat dinikmati oleh suatu keluarga sebanding dengan pendapatan keluarga yang bersangkutan dan ini sebanding dengan jumlah waktu yang disediakan untuk bekerja. Waktu yang tersedia perhari bagi tiap-tiap keluarga sudah tetap, yaitu jumlah angkatan kerja dalam keluarga itu dikalikan 24 jam. Dari jumlah waktu tersebut keluarga yang bersangkutan harus menyediakan waktu untuk keperluan tidur, makan, dan lain-lain yang bersifat personal. Sisanya dipakai untuk bekerja dan untuk waktu senggang. Jadi pada dasarnya setiap penambahan barang konsumsi berarti juga mengurangi jumlah waktu yang dapat dipergunakan untuk waktu senggang. Kenaikan tingkat upah berarti pertambahan pendapatan. Dengan status ekonomi lebih tinggi, seseorang cenderung untuk meningkatkan konsumsi dan menikmati waktu senggang lebih banyak, yang berarti mengurangi jam kerja (income effect). Dipihak lain kenaikan tingkat upah juga berarti harga waktu menjadi lebih mahal. Nilai waktu yang lebih tinggi mendorong keluarga mensubstitusikan waktu senggangnya untuk lebih banyak bekerja menambah konsumsi barang. Penambahan waktu bekerja tersebut dinamakan substitution effect dari kenaikan tingkat upah (Payaman Simanjuntak ,1985 :52-54). Dalam gambar 2.2 berikut ini menjelaskan waktu yang tersedia buat keluarga untuk keperluan bekerja dan waktu senggang :

Gambar 2.2 Budget Line


Barang konsumsi, upah C

F
A

E
U2 B U3 U1 Waktu senggang O D H

Misalkan waktu yang tersedia buat keluarga untuk bekerja dan waktu senggang adalah OH. Sedangkan pendapatannya adalah OA=HB. Bila seluruh waktu yang tersedia OH digunakan untuk waktu senggang maka pendapatan keluarga tersebut hanya OA=HB, dan tingkat utility keluarga tersebut hanya mencapai U1.. Tetapi bila keluarga yang bersangkutan menggunakan seluruh waktu yang tersedia untuk bekerja sehingga waktu senggangnya = 0, maka jumlah barang konsumsinya adalah OC dengan tingkat utility U2. Tingkat utility maksimum dapat dicapai bila fungsi utility (U3) dan menyinggung Budget Line. Budget Line merupakan tempat kedudukan titik-titik yang mencerminkan kombinasi jumlah barang konsumsi dan waktu senggang sehingga jumlah waktu yang dipergunakan tetap. Dalam gambar 2.2 OD menunjukkan jumlah waktu yang dipergunakan keluarga untuk waktu senggang, sedangkan HD merupakan waktu yang dipergunakan untuk bekerja. Waktu senggang diukur dari titik O ke H dan waktu bekerja diukur dari H ke O. Dengan bekerja sebanyak HD jam, keluarga yang bersangkutan memperoleh upah senilai barang konsumsi AF. Jumlah barang konsumsi keluarga adalah jumlah barang senilai hasil kerja ditambah barang senilai pendapatan diluar hasil kerja. OF = OA + AF

Nilai barang konsumsi yang dapat dibeli dari hasil kerja satu jam dinamakan tingkat upah yang dicerminkan dengan kecenderungan (slope) budget line. Semakin tinggi tingkat upah semakin besar slope dari budget line. 2.4 Teori Human Capital Pendidikan dan Latihan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengembangan sumber daya manusia. Pendidikan dan latihan tidak saja menambah pengetahuan, akan tetapi juga meningkatkan keterampilan bekerja, dengan demikian meningkatkan produktivitas kerja. Pendidikan dan latihan dipandang sebagai investasi yang imbalannya dapat diperoleh beberapa tahun kemudian dalam bentuk pertambahan hasil kerja yang tercermin dalam tingkat upah. Hal ini sesuai dengan prinsip investasi dibidang usaha yaitu mengorbankan konsumsi pada saat investasi dilakukan untuk memperoleh tingkat konsumsi yang lebih tinggi beberapa waktu kemudian. Hal ini juga dilakukan dalam investasi di bidang sumber daya manusia. Yang dikorbankan adalah sejumlah dana yang dikeluarkan dan kesempatan memperoleh penghasilan selama proses investasi. Investasi yang demikian dinamakan human capital. Asumsi dasar dari teori human capital adalah bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui peningkatan pendidikan. Setiap tambahan satu tahun sekolah berarti, disatu pihak, meningkatkan kemampuan kerja dan tingkat penghasilan seseorang, akan tetapi, dipihak lain, menunda penerimaan penghasilan selama satu tahun dalam mengikuti sekolah tersebut. Perbedaan tingkat pendapatan tersebut tidak saja disebabkan oleh perbedaan tingkat pendidikan, tetapi juga oleh beberapa faktor lain seperti pengalaman kerja, keahlian, sektor usaha, jenis usaha, lokasi, dan lain-lain. Namun diamati dalam kondisi yang sama, tingkat pendapatan ternyata berbeda menurut tingkat pendidikan. Latihan adalah salah satu aspek human capital. Latihan bisa dilakukan didalam dan diluar pekerjaan. Pada umumnya latihan yang dilakukan diluar pekerjaan bersifat formal dan dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan pegawai baik secara horisontal maupun

vertikal. Peningkatan secara horisontal berarti memperluas aspek-aspek atau jenis pekerjaan yang diketahui. Peningkatan secara vertikal berarti memperdalam pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu. Melihat hal diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat produktivitas seseorang juga berbanding lurus dengan jumlah dan lamanya latihan formal yang diperoleh. Sedangkan latihan didalam pekerjaan juga meningkatkan produktivitas kerja seseorang dan biasanya diukur dalam bentuk pengalaman kerja. Masa kerja seseorang tidak mudah dicatat melalui survey, oleh sebab itu tingkat umur sering dianggap sebagai indikator masa kerja dengan asumsi bahwa masa kerja adalah umur pada tahun yang berlaku dikurangi umur pada saat mulai bekerja. 2.5 Penelitian Terdahulu Pada umumnya produk utama yang dihasilkan dari tanaman kelapa di Indonesai hingga sekarang masih tertuju dalam bentuk produk kelapa butiran, kopra, dan minyak kelapa. Apabila petani hanya mengusahakan kelapa secara monokultur pada tingkat produktivitas yang rendah, maka pendapatan yang diperoleh dalam bentuk produk ini tidak mampu menjamin kehidupan petani secara layak. Sasaran pokok kebijakan pengembangan tanaman kelapa di Indonesia adalah untuk mengimbangi antara laju pertumbuhan produksi dan konsumsi kelapa secara nasional, sedangkan sasaran lainnya adalah untuk meningkatkan pendapatan serta membuka lapangan kerja di pedesaan. Untuk mewujudkan sasaran ya ng kedua ini telah diupayakan pengembangan produk kelapa berupa diversifikasi usaha yang dapat menghasilkan bentuk produk bernilai ekonomi tinggi. (Jurnal terlampir)

Kerangka Pemikiran

MODAL

TENAGA KERJA

PENDAPATAN INDUSTRI KECIL

JAM KERJA

PENGALAMAN KERJA

Dari tinjauan teoritis diatas dapat dijelaskan kerangka pemikiran sebagai berikut : 1. Modal Pada industri kecil gula merah, faktor modal memiliki peranan yang sangat penting dalam kegiatan produksi, dapat dikatakan bahwa modal merupakan faktor utama yang harus diberi perhatian lebih. Adapun modal yang dimaksud adalah modal tetap dan modal tidak tetap. Modal tetap adalah biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membeli barang-barang yang tidak habis dalam satu kali proses produksi dan biasanya digunakan dalam jangka waktu yang panjang/lebih dari satu tahun, misalnya membeli alat-alat yang digunakan untuk memasak, alat-alat untuk menderes, dan lain-lain. Sedangkan modal tidak tetap yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membeli bahan-bahan yang habis dalam satu kali proses produksi atau jangka waktunya pendek atau kurang dari satu tahun, misalnya untuk membeli obat pengawet, bahan bakar/sekam, dan lain-lain. Kenaikan modal dalam skala yang lebih besar akan mendorong kenaikan produktivitas dan output. Jadi modal merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pendapatan.

2. Tenaga Kerja Faktor tenaga kerja merupakan faktor yang juga mempengaruhi pendapatan. Penggunaan tenaga kerja yang efisien, baik jumlah maupun kualitas diharapkan mampu meningkatkan produktivitas yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan pengrajin. Dalam hal ini adalah tenaga kerja yang dibayar maupun yang tidak dibayar. Makin banyak jumlah anggota keluarga yang terlibat dalam usaha gula merah, cenderung makin banyak pula jumlah pohon yang dapat disadap sehingga gula yang dihasilkan juga semakin banyak. 3. Jam Kerja Jam kerja erat kaitannya dengan tingkat pendapatan. Pendapatan seseorang dalam sektor informal ditentukan oleh pencurahan waktu kerja untuk berproduksi dalam setiap harinya. Karena tingkat upah dalam industri kecil bukan tingkat upah target, melainkan ditentukan oleh barang dan jasa yang dihasilkan. Oleh karena itu tingkat pendapatan juga dipengaruhi oleh jumlah jam kerja yang dicurahkan oleh pengrajin dalam setiap harinya untuk memproduksi gula merah.

4. Pengalaman Kerja Yang dimaksud dengan pengalaman kerja adalah lamanya seseorang dalam

bekerja/menjalankan usaha. Ada asumsi yang mengatakan bahwa semakin lama seseorang menekuni usaha tersebut maka keahlian yang mereka miliki semakin tinggi, sehingga akan dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatannya. 2.7 Hipotesa Hipotesa dapat didefinisikan sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang kebenarannya harus terus diuji secara empiris. Berdasarkan permasalahan diatas, teoriteori yang telah ada serta tujuan penulis maka hipotesa yang dapat dikemukakan adalah :

Diduga bahwa modal, tenaga kerja, jam kerja, , dan pengalaman kerja adalah faktorfaktor yang mempengaruhi pendapatani industri kecil.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1

Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah Desa Bades, Kec. Pasirian, Kab. Lumajang.

Pemilihan Desa Bades sebagai lokasi penelitian ditetapkan secara sengaja, atas dasar pertimbangan bahwa Desa Bades merupakan salah satu desa di wilayah Kec Pasirian, Kab. Lumajang sebagai desa potensial penghasil gula merah (kelapa) karena banyak tersedianya

bahan baku berupa pohon kelapa yang merupakan input utama pembuatan produksi gula merah Penelitian ini membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan yang diterima oleh pekerja pada industri kecil. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi pendapatan pekerja antara lain: modal, tenaga kerja, jam kerja, banyaknya nira, dan pengalaman kerja. Hal ini akan diteliti lebih lanjut oleh penyusun. 3.2 Deskripsi Data 3.2.1 Jenis Data Data primer adalah data yang diperoleh dari pengamatan dan observasi secara langsung terhadap obyek yang diteliti atau dengan kata lain data ini dikumpulkan langsung dari responden yang diteliti dan diolah sendiri oleh organisasi atau pihak yang menerbitkannya. Data ini adalah sumber utama penelitian yang akan dilakukan. Kelayakan penelitian ini tergantung pada pengolahan data primer yang akan diperoleh setelah pengisian kuisioner oleh pihak-pihak yang dipilih secara acak. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak yang bukan pengolahnya. Pada penelitian ini, data sekunder bertujuan untuk melengkapi informasi yang akan disajikan pada penyusunan skripsi. Data ini diperoleh dari literatur-literatur yang ada serta badan-badan terkait yang sesuai dengan tema penelitian. 3.2.2 Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah : 1. Metode wawancara yaitu dengan mengadakan wawancara langsung dengan responden untuk mendapatkan data-data yang dimaksud dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan dalam bentuk kuisioner.

2.

Metode Observasi yaitu dengan mengadakan pengamatan secara langsung kepada obyek penelitian, dalam hal ini adalah pengrajin gula merah di Desa Bades, Kec. Pasirian, Kab. Lumajang.

3. Metode Kepustakaan, yaitu dengan membaca literatur-literatur yang berkaitan dan menunjang baik secara langsung maupun tidak langsung dengan penelitian ini. 3.2.3 Populasi dan Sampel Populasi adalah jumlah keseluruhan dari satu-satuan atau individu-individu yang menjadi subyek penelitian. Dalam penelitian ini populasi terdiri dari semua pengrajin pada industri kecil pengolahan gula merah yang ada di Desa Bades, Kec Pasirian, Kab Lumajang. Sampel adalah sebagian anggota (elemen) dari suatu populasi yang akan dijadikan subyek penelitian. Sedangkan sampling adalah proses pengambilan sampel dari suatu populasi. Dalam penelitian ini dilakukan pengambilan sampel dengan tehnik non random probability sampling dimana tidak semua individu dalam populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi sampel. Metode ini dilakukan karena banyak populasi yang tersebar di enam dusun dan tidak merata. Pada dasarnya dalam menentukan ukuran sampel tidak ada standar baku. Sampel yang baik adalah sampel yang dapat mencerminkan karakteristik populasi. Mengenai besarnya sampel yang diambil, pada umumnya orang berpendapat bahwa tiga puluh subyek penelitian merupakan batas antara sampel kecil dan sampel besar. Tiga puluh atau kurang bisa dikatakan sebagai sampel kecil sedangkan lebih besar dari tiga puluh merupakan sampel besar (Suharsimi Arikunto, 1990 : 124). Penentuan sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan purposive sampling yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Sedangkan pertimbangan yang diambil itu berdasarkan tujuan penelitian. Berdasarkan hal diatas, maka peneliti mengambil sebanyak 50 orang pengrajin dari populasi sebanyak 350 pengrajin. Sedangkan cara pengambilan responden sebagai sampel penelitian adalah Quota Sampling yaitu jumlah subyek yang akan

diteliti ditetapkan terlebih dahulu, tidak dipersoalkan bagaimana peneliti memperoleh responden pada tiap-tiap jenisnya sehingga kuota yang diinginkan terpenuhi. Selain itu juga dengan mempertimbangkan waktu, biaya, dan tenaga yang ada. 3.3 Definisi Variabel Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini digolongkan menjadi dua variabel yaitu variabel terikat dan variabel bebas :

a. Variabel Terikat Dalam penelitian ini variabel terikatnya adalah Y, yang menunjukkan tingkat pendapatan responden per bulan dari usaha gula merah. Pendapatan (Y) merupakan selisih antara total penerimaan dan total biaya yang dikeluarkan tiap bulan. Mengingat usaha ini masih

bersifat tradisional, maka komponen biaya hanya dihitung biaya yang dibayarkan , sedangkan modal keluarga berupa tenaga kerja keluarga dan bahan lainnya yang tidak dibayarkan/dibeli dianggap sebagai pendapatan petani. b. Variabel Bebas Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian adalah : 1. Modal (X1), yaitu semua biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi gula merah yang terdiri dari modal tetap dan modal tidak tetap yang dinyatakan dalam satuan rupiah. 2. Tenaga Kerja (X2 ), yaitu semua tenaga kerja yang terlibat langsung dalam kegiatan proses produksi baik yang diberi upah maupun tidak diberi upah dan dinyatakan dengan satuan orang. 3. Jam Kerja (X3), yaitu jumlah jam kerja yang dicurahkan oleh tenaga kerja setiap harinya dalam satu bulan untuk membuat gula merah dan dinyatakan dengan satuan jam.

4. Pengalaman Kerja (X4 ), yaitu lamanya waktu yang sudah dijalani seseorang dalam usahanya sebagai pengrajin dan dinyatakan dalam satuan tahun.

3.4 Metode Analisa Metode analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah Regresi Linear Berganda, yaitu untuk mengetahui seberapa besar pengaruh yang terjadi antara variabel independent dengan variabel dependent. Model dasar yang dipakai adalah model persamaan regresi linear berganda, yang dapat dirumuskan sebagai berikut : Y = f (X1, X2, X3, X4) Dimana : Y = Pendapatan Pengrajin X1 = Modal X2 = Tenaga Kerja X3 = Jam Kerja X4 = Pengalaman Kerja Sehingga dapat dituliskan persamaan regresinya : Y = F0 + F1 X1 + F2X2 + F3X3 + F4X4 + e

Dimana :
F0

= penaksir/konstanta

F1, F2, F3, F4, F5 = masing-masing penaksir dari X1, X2, X3, dan X4.

= residual

3.5 Uji Statistik

Uji statistik ini dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan ada tidaknya korelasi antara variabel bebas dengan variabel terikat. Dari hasil regresi berganda akan diketahui besarnya koefisien masing-masing variabel. Dari besarnya koefisien akan dilihat adanya hubungan dari variabel-variabel bebas, baik secara terpisah maupun bersama-sama terhadap variabel terikat. Untuk melakukan uji atas hipotesa, dilakukan dengan cara : 3.5.1 Uji Statistik Parsial (t-test) Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel bebas secara individual terhadap variabel terikat. Hipotesis nol dan hipotesis alternatif yang akan diuji pada uji statistik t adalah sebagai berikut ( Imam Ghozali,2001: 40) : H0 = Variabel bebas secara individual tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat. H1 = Variabel bebas secara individual berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat. Sedangkan hipotesis diterima atau ditolak dengan cara membandingkan nilai t hitung dengan nilai t tabel. Nilai t hitung dapat diperoleh dengan rumus sebagai berikut : t hit =
bB Sb

Nilai t tabel dapat dilihat dengan mengetahui tingkat signifikansi (E) dan derajat bebas sebesar n-k- (dimana n ! jumlah observasi, k ! jumlah variabel bebas). Adapun ketentuan dari uji ini adalah :
y H0 akan ditolak jika nilai t-hitung " t-tabel y H0 akan diterima jika nilai t-hitung

t-tabel

3.5.2 Koefisien Determinasi Koefisien determinasi (R2 ) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel terikat. Nilai koefisien determinasi adalah diantara nol dan satu. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel bebas dalam menjelaskan

variasi variabel terikat amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel bebas memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel terikat. Secara umum koefisien determinasi untuk data silang (crossection) relatif rendah karena adanya variasi yang besar antara masing-masing pengamatan, sedangkan untuk data runtun waktu (time series) biasanya mempunyai nilai koefisien determinasi yang tinggi (Imam Ghozali, 2001: 42). 3.5.3 Uji Statistik Simultan (F-Test) Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel terikat( Imam Ghozali, 2001: 41). Hipotesis nol dan hipotesis alternatif yang akan diuji pada uji statistik F adalah sebagai berikut : H0 = Variabel bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh signifikan terhada variabel terikat. H1 = Variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap terikat. variabel

Sedangkan hipotesis diterima atau ditolak dengan cara membandingkan nilai F hitung dengan nilai F tabel. Nilai F hitung dapat diperoleh dengan rumus sebagai berikut : Fhit =
R 2 k  1 1  R 2 n  k

Nilai F tabel dapat dilihat dengan mengetahui tingkat signifikansi (E) dan derajat bebas sebesar n-k- (dimana n ! jumlah observasi, k = jumlah variabel bebas). Adapun ketentuan untuk menerima atau menolak adalah sebagai berikut :

y H0 akan ditolak jika nilai F hitung " F tabel y H0 akan diterima jika nilai F hitung

F tabel

3.6 Asumsi-asumsi Klasik Dalam model regresi klasik, untuk memperoleh nilai pemerkira yang tidak bias dan efisien dari persamaan regresi linear berganda dengan metode kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least Square, OLS), maka dalam menganalisa data haruslah dipenuhi asumsiasumsi klasik. Asumsi-asumsi klasik tersebut antara lain :

3.6.1 Uji Multikolinearitas Uji Multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi linear yang sempurna antara variabel-variabel bebas (Imam Ghozali, 2001 : 56). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel bebas. U ntuk mengetahui ada atau tidaknya multikolinearitas didalam model regresi adalah sebagai berikut : 1. Nilai R2 yang dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi empiris sangat tinggi, tetapi secara individual variabel-variabel bebas banyak yang tidak signifikan mempengaruhi variabel terikat. 2. Menganalisis matrik korelasi variabel-variabel bebas. Jika antar variabel bebas ada korelasi yang cukup tinggi (umumnya diatas 0,90), maka hal ini merupakan indikasi adanya multikolinearitas. Tidak adanya korelasi yang tinggi antar variabel bebas tidak berarti bebas dari multikolinearitas. Multikolinearitas dapat disebabkan karena adanya efek kombinasi dua atau lebih variabel bebas. 3. Multikolinearitas dapat juga dilihat dari (1) nilai tolerance dan lawannya (2) variance inflation factor (VIF). Tolerance mengukur variabilitas variabel bebas yang terpilih

yang tidak dapat dijelaskan oleh variabel bebas lainnya. Jadi nilai tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF tinggi dan menunjukkan adanya kolonieritas yang tinggi. Nilai cutoff yang umum dipakai adalah nilai tolerance 0,10 atau sama dengan nilai VIF diatas 10. Tidakan perbaikan bila terdapat multikolinearitas adalah sebagai berikut : 1. Menggunakan informasi sebelumnya. 2. Mengkombinasikan data crossection dan data time series. 3. Meninggalkan variabel yang sangat berkorelasi 4. Mendapatkan tambahan atau data baru. 3.6.2 Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya) (Imam Ghozali, 2001: 60). Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lain. Ada beberapa cara yang digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya korelasi, salah satunya yaitu dengan uji Durbin-Watson (DW-test). Hipotesis yang akan diuji adalah : H0 = tidak ada autokorelasi (V = 0) H1 = ada autokorelasi (V{ 0) Sedangkan pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi :
y

Bila nilai DW terletak antara batas atas atau upper bound (du) dan (4-du), maka koefisien autokorelasi sama dengan nol, berarti tidak ada autokorelasi.

Bila nilai DW lebih rendah daripada batas bawah atau lower bound (dl), maka koefisien autokorelasi lebih besar daripada nol, berarti ada autokorelasi positif.

Bila nilai DW lebih besar daripada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih kecil daripada nol, berarti ada autokorelasi negatif.

Bila nilai DW terletak diantara batas atas (du) dan batas bawah (dl) atau DW terletak antara (4-du) dan (4-dl), maka hasilnya tidak dapat disimpulkan.

Secara grafis dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 3.1. Durbin-Watson

Menolak H0, bukti autokorelasi positif

Daerah keraguraguan

Menerima H0 atau H0* atau kedua-duanya

Daerah keraguraguan

Menolak H0*, bukti autokorelasi negatif

dl

du

4-du

4-dl

3.6.3 Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut Homoskedastisitas dan jika berbeda disebut Heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang Homoskedastisitas atau tidak terjadi Heteroskedastisitas. Kebanyakan data crossection mengandung situasi Heteroskedastisitas karena data ini menghimpun data yang mewakili berbagai ukuran (kecil, sedang, dan besar). Berikut ini cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya heteroskedastisitas (Imam Ghozali, 2001: 70) : a. Melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel terikat (ZPRED) dengan residualnya

(SRESID). Deteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot antara SRESID dan ZPRED dimana sumbu Y adalah Y yang telah diprediksi, dan sumbu X adalah residual (Y prediksi Y sesungguhnya) yang telah di studentized. Dasar analisanya adalah :

y Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur

(bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas.


y Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar diatas dan di bawah angka 0 pada

sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.

3.6.4 Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel terikat dan variabel bebas, keduanya mempunyai distribusi normal ataukah tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal. Untuk menguji apakah distribusi data normal atau tidak dapat dilakukan dengan cara (Imam Ghozali, 2001: 76) : a. Analisa Grafik, yaitu dengan melihat normal probability plot yang membandingkan

distribusi kumulatif dari data sesungguhnya dengan distribusi kumulatif dari distribusi normal. Distribusi normal akan membentuk satu garis lurus diagonal, dan ploting data akan dibandingkan dengan garis diagonal. Jika distribusi data adalah normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya. Pada prinsipnya normalitas dapat dideteksi dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dari grafik. Dasar pengambilan keputusannya adalah :
y

Jika data menyebar disekitar

garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal

menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas.
y

Jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan/atau tidak mengikuti arah garis diagonal tidak menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.

You might also like