You are on page 1of 9

MATA KULIAH FARMAKOLOGI TERAPI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN

ANTIPARKINSON

RAHMATUN SAHRA N 111 08 318

MAKASSAR 2010

I.

DESKRIPSI PENYAKIT

A. Definisi

Parkinson adalah (paralisis agitans) merupakan suatu sindrom dengan gejala utama berupa trias gangguan neuromuskular, yaitu tremor, rigiditas, akinesia (hipokinesia) disertai kelainan postur tubuh dan gaya berjalan. Gerakan halus yang memerlukan koordinasi kerja otot skelet sukar dilakukan pasien, misalnya menyuap makanan, mengancingkan baju dan menulis. Akibat gejala ini, pasien sangat bergantung pada bantuan orang lain dalam kegiatan hidupnya sehari-hari. Di samping gejala utama tersebut, sering ditemukan gangguan system otonom berupa sialorea, seborea, hiperhidrosis..
B. Etiologi Penyakit Parkinson biasanya timbul mengikuti serangan Ensefalitis

Epidemik atau oleh kare na Ater osklerosis Serebral, ker acu nan mangan ata u karbon mo noksida , trauma pada ke pala, neu rosifilis atau kecelakaan

serebrovaskular. Fak tor pemicu yang menjad i penyebab, sering tidak diketahui. Walaupun fak tor etiologi tidak di temuka n pada mayoritas ka sus , telah ditemukan s uatu toksin ya ng dihub ungk an dengan ter jadinya penyakit

Parkinson pada mereka yang terpa jan , yaitu MPTP (N-metil-4-fe nil-1,2,3,6tetra hidropiridin). Parkinso nisme, de ngan etiologi apap un, menunj ukkan

adanya defisiensi dop amin di k orpus striatu m. C. Patologi Secara makrosko pis, subs tansia nigra dan locus seruleus mengalami depigmentasi dan dari pemeriksaan ma kroskopis p ada daerah terseb ut

ditemukan hilangnya neuron ya ng mengandu ng melanin. Pada beberapa neuron yang tersisa ditemukan ba dan lewy, yaitu inklusi dalam sitoplasma yang berbentuk bula t sampai memanja ng, ber sifat osmofili k dengan por osnya yang padat dikelilingi oleh lingkaran yang lebih je rnih.

Secara histologis, terdap at degenerasi dari jalur nigrostratia dop aminergik, dengan hilangnya badan-bada n sel dari substansia ni gra, degenerasi akso dan sinaps di dalam striatum dengan akibat berkurangnya isi dopamin dalam striatum.

D. Patofisiologi 1. Berkurangnya/kehilangan neuron dopamine di bagian nigrostriatal menghasilkan penurunan aktivitas kortikal; semua gangguan motorik pada IPD dikaitkan dengan kehilangan cukup banyak neuron dopaminergik di sekitar putamen. Terdapat korelasi positif antara tingkat kehilangan dopamine nigrostriatal dengan tingkat keparahan penyakit. 2. Obat yang dapat meningkatkan dopaminergik atau menghambat asetilkolin atau neurotransmisi glutamat terbukti mengobati IPD. Hasil penelitian terbaru menyatakan bahwa antagonis reseptor adenosine A20 juga menjanjikan keberhasilan di masa yang akan datang. 3. Aktivasi reseptor D2 tampaknya merupakan mediator yang sangat penting sebagai perantara perbaikan klinis maupun beberapa efek samping (misalnya halusinasi). Reseptor D1 tampaknya terlibat dalam menyebabkan gejala diskinesia. 4. Degenerasi neuron dopamine nigrostriatal menghasilkan peningkatan aktivitas interneuron kolinergik striatal dorsal horn yang progresif.

E. Manifestasi klinik 1. Tremor saat istirahat adalah khas pada IPD dan seringkali menjadi satu-satunya keluhan pasien. Namun, hanya dua per tiga pasien yang mengalami tremor pada saat diagnosis, dan beberapa pasien yang lain tidak pernah mengalami tanda ini. Tremor tampak terutama pada tangan, seringkali bermula dari satu sisi tubuh (unilateral), dan kadang-kadang mempunyai karakteristik seperti gerakan memelintir pil (pil rolling). Tremor saat istirahat ini umumnya hilang jika dilakukan suatu gerakan dengan sengaja dan tidak tampak pada saat pasien tidur. 2. Kekakuan otot meliputi peningkatan resistensi otot terhadap gerakan pasif dan dapat menyerupai putaran roda gigi. Ketidakseimbangan postur dapat mengakibatkan pasien jatuh. 3. Gangguan intelektual tidak nyata, tetapi beberapa pasien menunjukkan gangguan yang sifatnya tidak dapat dibedakan dari penyakit Alzheimer. F. Diagnosis 1. IPD dapat didiagnosa secara klinis ketika paling tidak dua tanda tampak: kekakuan otot, tremor saat istirahat (pada 3 sampai 6 Hz dan hilang pada saat bergerak) atau bradikinesia.

IPD nyata didiagnosis ketika terdapat paling tidak dua gejala: tremor saat istirahat, kekakuan, bradikinesia, dan respon positif terhadap obat antiparkinson. 2. Beberapa kondisi juga harus diikutkan, seperti obat penginduksi parkinsonisme (misalnya: antipsikosis, fenotiazin, antiemetic, atau metoklopramide). Criteria lain diagnosis termasuk tidak adanya gangguan neurologic lainnya.

II.

TERAPI

A. Tujuan Terapi Tujuan dari terapi adalah meminimalisir simpotm, ketidakmampuan dan efek samping sambil mempertahankan kualitas hidup. Pengajaran pada pasien dan perawat sangat penting, dan olahraga serta nutrisi seimbang sangat dibutuhkan. B. Pendekatan Umum TERAPI FARMAKOLOGI 1. Pada pasien dengan gejala ringan, seringkali tidak dibutuhkan obat jika tidak terdapat gangguan kemampuan. Kebanyakan pasien hanya mengalami kelambatan gerak ringan dan tremor saat istirahat yang dapat diatasi secara efektif dengan antikolinergik atau amantadin. 2. Pengobatan IPD yang paling efektif adalah dengan penggantian dopamine neurotransmitter alamiah dengan jalan memberikan precursor yang siap segera (immediate precursor), yaitu levodopa. Walaupun levodopa lebih efektif dibandingkan dengan obat lain yang tersedia, tetapi pertimbangan kemungkinan efek samping jangka panjang menyebabkan beberapa klinis membatasi pemakaiannya. 3. Keputusan untuk menggunakan levodopa atau agonis dopamine ditentukan dengan peningkatan ketidakmampuan atau ketidakefektifan obat alternative untuk memberikan kontrol terhadap gejala secara memadai. 4. L-dopa dan agonis dopaminergik dapat menyebabkan gejala psikiatrik termasuk perilaku kompulsif, delirium, agitasi, paranoia, delusi dan halusinasi. 5. Masalah ini dapat diatasi dengan menggunakan pedoman terapi dan pengobatan antipsikotis.

III. JENIS OBAT a. ANTIKOLINERGIK

1. Obat antikolinergik dapat mengatasi gejala tremor dan distonik secara efektif pada beberapa pasien, tetapi jarang menunjukkan manfaat yang besar untuk bradikinesia atau bentuk ketidakmampuan lain. 2. Efek samping antikolinergik meliputi mulut kering, penglihatan kabur, sembelit, dan retensi urin. Reaksi yang lebih serius meliputi mudah lupa, sedasi, depresi dan kecemasan. Pasien yang sebelumnya telah mengalami gangguan kognitif dan bertambahnya usia adalah yang memiliki risiko terbesar terhadap efek samping antikolinergik sentral.

b. AMANTADIN 1. Amantadin sering efektif untuk gejala ringan, terutama tremor. Juga dapat menurunkan diskinesia pada dosis yang relatif tinggi (400 mg/hr). 2. Mekanisme kerjanya yang pasti belum diketahui, tetapi mungkin melibatkan mekanisme dopaminergik atau non dopaminergik seperti hambatan reseptor N-metil-d-aspartat. 3. Efek samping meliputi sedasi, mimpi buruk, mulut kering, depresi, halusinasi, kecemasan, pusing, psikosis, dan kebingungan. Livedo reticularis (bercak pada kulit yang menyebar/bersifat diffuse) merupakan efek samping yang sering terjadi, namun bersifat reversibel.

c. LEVODOPA DAN KARBIDOPA/L-DOPA 1. Levodopa, obat paling efektif yang tersedia saat ini, adalah precursor dopamin yang siap segera. Dapat menembus sawar otak, sementara dopamine tidak dapat melewatinya. 2. Pada Susunan Saraf Pusat (SSP) dan di tempat lainnya, levodopa diubah oleh 1-asam amino dekarboksilase (1-AAD) menjadi dopamine. Di jaringan perifer, 1-AAD dapat diblok dengan cara memberikan karbidopa, yang tidak dapat menembus sawar otak. Oleh karena itu, karbidopa meningkatkan penetraasi levodopa eksogenus tersebut serta menurunkan efek samping (missal mual, muntah, aritmia jantung, hipotensi postural, mimpi buruk) akibat metabolism levodopa perifer menjadi dopamine.

3. Efek samping psikiatrik levodopa meliputi delirium, agitasi, paranoia,delusi/waham, dan halusinasi.

d.

MONOAMIN OKSIDASE B INHIBITOR 1. Seleglin (Deprenyl; Eldepryl)adalah penghambat MAO-B secara ireversibel yang memblok pemecahan dopamine dan sedikit dapat memperpanjang lama kerja levodopa (sampai 1 jam). Sehingga seringkali dosis levodopa dapat dikurangi menjadi separuh. 2. Selegilin juga dapat meningkatkan efek puncak levodopa dan dapat memperburuk diskinesia yang telah ada sebelumnya atau gejala psikiatrik seperti delusi/waham dan halusinasi. 3. Metabolit selegilin adalah 1-metamfetamin dan 1-amfetamin. Efek sampingnya minimal dan meliputi insomnia dan kecemasan.

e. PENGHAMBAT COMT 1. Tolkapon (Tasmar) dan entakapon (Comtan) digunakan hanya sebagai terapi tambahan dengan karbidopa/levodopa untuk mencegah konversi perifer levodopa menjadi metabolitnya 3-O-metildopa (3OMD) dan sekaligus memperlama aksi levodopa, yaitu meningkatkan masa on menjadi lebih panjang 1 jam. Obat ini secara bermakna dapat menurunkan masa off sehingga menurunkan kebutuhan terhadap levodopa. Pemakaian

bersamaan dengan penghambat MAO yang tidak selektif harus dihindari untuk mencegah inhibisi/hambatan pada jalur metabolisme katekolamin normal. 2. Inhibisi COMT lebih efektif dibandingkan dengan sediaan karbidopa-L-dopa lepas berkala dalam menghasilkan efek perpanjangan masa kerja secara konsisten serta tidak menunda pemberian. Obat ini lebih menguntungkan dan biayanya lebih efektif daripada memaksimalkan terapi dengan hanya menggunakan karbidopa/L-Dopa.

f.

AGONIS DOPAMIN 1. Derivat ergot pergolida (Permax) dan bromokriptin (Parlodel) dan non ergot pramipeksol (Mirapex) serta ropinirol (Requip) merupakan terapi tambahan yang bermanfaat untuk pasien yang tidak member respon terhadap levodopa, mengalami fluktuasi respon terhadap levodopa, dan pasien dengan respon klinis yang terbatas terhadap levodopa akibat tidak mampu mentoleransi dosis yang lebih besar. Obat ini dapat menurunkan frekuensi masa off dan memberikan efek yang mendukung levodopa (levodopa-sparring effect). 2. Mual adalah efek samping yang paling sering muncul, diikuti dengan sedasi, kepala melayang serta mimpi buruk. Hipotensi postural tanpa gejala cukup sering terjadi, namun tidak selalu harus dilakukan penyesuaian obat.

DAFTAR PUSTAKA

Wells, Barbara G. dkk. 2009. Pharmacotheraphy Handbook 7th Edition. McGraw Hill Company: United States.

Chisolm-Burns, Marie A. dkk. 2008. Pharmacotheraphy: Principles & Practice. McGraw Hill Company: United States.

Dipiro, Joseph T. 2005. Pharmacotheraphy: A Patophysiologic Approach. McGraw Hill Company: United States.

Sukandar, Elin Yulinah, dkk. 2008. ISO Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbitan: Jakarta.

Lllmann, Heinz, dkk. 2005. Color Atlas of Pharmacology 3rd Edition. Thieme Stuttgart: New York

You might also like